BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG PENELITIAN Arus globalisasi ekonomi yang ditandai dengan adanya istilah“new
economy”danpersainganyang ketat memaksa perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk berusaha mensejajarkan diri dengan perusahaan-perusahaan kelas dunia (World Class Company). Menurut Marsyaf S (2007), “perusahaan kelas dunia adalah perusahaan yang terus menerus melakukan peningkatan dalam semua aspek operasinya, termasuk proses manufakturnya”. Semakin banyak inovasi yang dilakukan dalam bisnis maka semakin terbuka juga peluang untuk masuk ke dalam jajaran perusahaan kelas dunia. Sebuah lembaga konsultan bisnis skala internasional bernama Boston Consulting Group (BCG) melakukan survei terhadap perusahaan-perusahaan yang masuk kategori kelas dunia setiap tahunnya. Sejak tahun 2008 hingga 2010 Boston Consulting Group (BCG) hanya menetapkan 1 perusahaan dari Indonesia yang masuk ke dalam kategori perusahaan kelas dunia, yaitu PT Indofood Sukses Makmur. Baru pada tahun 2011, perusahaan kelas dunia asal Indonesia bertambah menjadi 2, dengan masuknya PT Bumi Resources ke dalam 100 Global Challengers 2012. Namun penambahan ini tetap saja terbilang sangat sedikit bila dibandingkan dengan negara Asia lain seperti Cina yang diwakili oleh 33 perusahaan, dan India oleh 20 perusahaan. Penilaian terhadap perusahaanperusahaan kelas dunia ini di dasarkan pada beberapa kriteria, salah satunya adalah tingkat keluasan dan kedalaman dalam portofolio teknologi dan modal 1
2
intelektual. Kriteria tersebutdigunakan karena saatinitelah terjadipergeseran basis industri dari heavy industry (industri berat) ke technology-based industry (ekonomi berbasis teknologi). Perubahan inilah yang secara prinsip menandai dimulainya “new economy” atau ekonomi baru, yang didorong oleh pesatnya perkembangan teknologi dan infomasi. Di masa ini hampir tidak dapat ditemukan lagi kondisi lingkungan usaha yang stabil dan tanpa persaingan. De Geus (1987) dalamNasih(2012)mengatakan,‘Lingkungan usaha di penuhi oleh ketidak pastian, kebaruan, keragaman, kesementaraan, bergerak secara tidak beraturan dan tidak berkelanjutan, serta cenderung turbulent’. Dengan kondisi usaha demikian, untuk dapat bertahan perusahaan dituntut mengubah strategi bisnisnya dengan tidak hanya menguasai hard capital (aset fisik) seperti tanah, bangunan, dan peralatan sebagai daya saing, akan tetapi juga soft capital, yaitu modal intelektual.
A. Pengungkapan (Disclosure) Hendriksen dan Breda (dalam Benardi dkk, 2009) menyebut pengungkapan (disclosure) sebagai penyajian informasi yang diperlukan dalam laporan keuangan untuk mencapai efisiensi pasar modal. Nuswandari (2009) kemudian menyatakan bahwa istilah pengungkapan tidak hanya merujuk pada penyampaian informasi keuangan saja, tetapi juga mencakup informasi tambahan (supplementary communications) yang terdiri atas catatan kaki, informasi tentang kejadian setelah tanggal pelaporan, analisis manajemen tentang operasi perusahaan di masa yang mendatang, prakiraan keuangan dan operasi, serta informasi lainnya.
3
B. Modal Intelektual (Intellectual Capital) Klein dan Prusak (1994) mendefinisikan intellectual capital adalah sebagai bahan intelektual yang telah diformalkan, ditangkap, dan dimanfaatkan untuk menghasilkan asset senilai lebih tinggi. Sementara itu Leif Edvinsson seperti yang dikutip oleh Brinker (2000) menyamakan intellectual capital sebagai jumlah dari human capital, dan struktural capital (misalnya, hubungan dengan konsumen, jaringan teknologi informasi dan manajemen). IC (IntelectualCapital) umumnya di identifikasikan sebagai perbedaan antara nilai pasar perusahaan (bisnis perusahaan) dan nilai buku dari asset perusahaan tersebut dari financial capital-nya. Hal ini berdasarkan suatu observasi bahwa sejak akhir 1980-an, nilai pasar dari bisnis kebanyakan dan secara khusus adalah bisnis yang berdasar pengetahuan telah menjadi lebih besar dari nilai yang dilaporkan dalam laporan keuangan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh akuntan (Roslender & Fincham, 2004). Lebih lanjut, Edvinsson dan Malone (1997) mengidentifikasikan IC sebagai nilai yang tersembunyi (hidden value) dari bisnis. Terminologi “tersembunyi” disini digunakan untuk dua hal yang berhubungan. Pertama, IC khususnya asset intelektual atau asset pengetahuan adalah tidak terlihat secara umum seperti layaknya asset tradisional dan kedua, asset semacam itu biasanya tidak terlihat pula pada laporan keuangan. Menurut Bontis dalam jurnalnya yang berjudul “A Review of The Models Used To Measure Intellectual Capital” menyatakan bahwa Intellectual Capital terdiri dari tiga elemen utama yaitu :
4
1. Human Capital (modal manusia) Human Capital merupakan life blood dalam modal intelektual. Disinilah sumber innovation dan improvement, tetapi merupakan komponen yang sulit untuk diukur. Human capital juga merupakan tempat bersumbernya pengetahuan yang sangat berguna, keterampilan, dan kompetensi dalam suatu organisasi atau perusahaan. Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya. (Brinker, 2000). 2. Structural Capital( Modalstruktural) Structural Capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan, misalnya: system operasional perusahaan, proses manufakturing, budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua bentuk intellectual property yang dimiliki perusahaan. Seorang individu dapat memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki system dan prosedur yang buruk maka intellectual capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal dan potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. 3.Customer Capital( Modal Konsumen) Elemen ketiga ini merupakan komponen modal intelektual yang memberikan nilai secara nyata (Sawarjuwono dan kadir, 2003). Bozzolan et al mendefenisikannya sebagai “Valuable Knowledge that interacts with the external
5
sources of the organization like customers, suppliers and creditors through networksm strategic alliances and distribution channels” (Saleh et al, 2007). Modal konsumen dapat muncul dari berbagai pihak di luar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut. Roos et al (dalam Khalique et al, 2011) menyatakan bahwa hubungan perusahaan dengan pelanggan sangatlah penting karena pelanggan merupakan sumber utama pendapatan perusahaan. Banyakkomunitas bisnis di seluruh dunia juga telah sepakat bahwa aset tidak berwujud berupa pengetahuan atau modal intelektual lebihpentingdalam menciptakandaya saing perusahaandibandingkanfaktor fisik (Saleh et al, 2007). Dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi maka akan dapat diperoleh suatu cara dalam menggunakan sumber daya lainnya secara efisien dan ekonomis yang nantinya akan memberikan keunggulan bersaing (Rupert, 1998 dalam Sawarjuwono, 2003). Sumber daya pengetahuan dan sumber daya fisik bukan merupakan dua hal yang saling menggantikan (tradeoff), keduanya dapat bersinergi dalam menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan. Dengan berkembangnya pengetahuan, pemanfaatan aset lain seperti aset fisik dan tenaga kerja menjadilebih efektif dan efisien melalui inovasi dan pengembangan sistem. Bila dilihat negara Indonesia, negara ini kaya akan sumber daya alam (faktor fisik), namun kelebihan akan sumber daya fisiknya ini tidak lantas menjadikan Indonesia unggul dalam kancah perekonomian dunia. Hal ini terbukti dari nilai daya saing Indonesia yang selalu menduduki peringkat bawah baik di kawasan ASEAN maupun dunia. Menurut hasil survey terbaru oleh World Economic Forum dalam
6
“The Global Competitiveness Report 2012-2013”, Indonesia menduduki peringkat ke-50 dari 144 negara, perbandingannya dengan negara-negara sesama anggota ASEAN dapat terlihat dalam tabel berikut. Tabel 1.1 Indeks Daya Saing Negara-negara ASEAN di Dunia No.
Negara
Peringkat di Dunia 2008
2012
Perubahan
1
Singapura
5
2
3
2
Malaysia
21
25
-4
3
Brunei Darussalam
39
28
11
4
Thailand
34
38
-4
5
Indonesia
55
50
5
6
Filipina
71
65
6
7
Vietnam
70
75
-5
8
Kamboja
109
85
24
9
Timor-Leste
129
136
-7
Sumber : World Economic Forum 2012-2013 (www.weforum.org) data diolah
Berdasarkan tabel 1.1, terlihat bahwa peringkat Indonesia pada tahun 2008 dan 2012 dalam hal daya saing masih jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand. Posisi terakhir Indonesia di urutan ke-50 ini juga merupakan penurunan dari tahun 2010 (ke-44) dan tahun 2011 (ke-46). Sementara itu Swiss dan Singapura yang menduduki peringkat kesatu dan kedua dalam daftar tersebut, secara faktual bukanlah negara yang kaya dengan sumber daya alam. Fakta ini menunjukkan bahwa faktor fisik saja tidak cukup dalam membentuk daya saing perusahaan atau negara, terutama dalam jangka panjang. Sehingga tidak dapat dielakkan lagi bahwa pengetahuan
7
atau modal intelektual adalah faktor kunci bagi masyarakat dan perusahaan yang ingin terus berkembang. Adapun peranan dari modal intelektual dalam sebuah organisasi adalah sebagai sumber inovasi, produktivitas, kompetensi serta kepekaan terhadap pelanggan yang pada akhirnya membentuk nilai tambah bagi daya saing perusahaan. Banyak perusahaan-perusahaan yang nilai aset fisiknya tidak signifikan tapi dinilai tinggi oleh pasar. (Rooset al,1997) dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003) mengungkapkan, ‘The market value of these companies is many times their net asset value, that is the value of their physical. The difference between the two values is the company’s “hidden value”, which can be expressed as a percentage of the market value’. Dalam pendapatnya tersebut Roose et al menyatakan bahwa nilai pasar dari sebuah perusahaan dapat jauh melebihi nilai aset fisiknya. Selisih antara keduanya dinyatakan sebagai “company’s hidden value” ataunilai tersembunyi perusahaan. Berikut ini daftar beberapa perusahaan di Amerika Serikat yang diketahui memiliki nilai pasar yang jauh lebih tinggi dari nilai aset fisiknya. Tabel 1.2 Market Value and Assets (in billions of dollars) Market Net Company Revenue Profits Value assets
Hidden Value
General Electric
169
79
7.3
31
138 (82%)
Coca-cola
148
19
3.5
6
142 (96%)
Exxon
125
119
7.5
43
82 (66%)
Microsoft
119
9
2.2
7
112 (94%)
Intel
113
21
5.2
17
96 (85%)
(Sumber: Roos, Johan, Goran Roos, Nicola C. Dragonetti & Leif Edvinsson 1997, dalam Sawarjuwono dan Kadir, 2003)
8
Menurut Stewart(1997) dalam Boedi (2008), terjadinya selisih antara nilai aset fisik dan nilai pasar tersebut karena terdapat intangible asset yang tidak dicatatdalam neraca oleh perusahaan, yaitu modal intelektual. Padahal informasi mengenai modal intelektual adalah salah satu informasi yang sangat diperhatikan investor, tujuannya adalah untuk dapat menilai kemampuan perusahaan dalam penciptaan kekayaan di masa datang secara lebih presisi. Muncul tuntutan baru terhadap akuntansi untuk dapat mengakomodasi kebutuhan para investor ini. Menurut Lev dan Zarowin (1999) model akuntansi yang ada sekarang tidak dapat menangkap faktor kunci dari company’s long term value, yaitu intangible resources. Hal ini menyebabkan adanya asimetri informasi antara perusahaan dengan stakeholder atau user (Barth et al., 2001). Sehingga banyak ahli menyarankan perlunya pengungkapan modal intelektual untuk ditambahkan
dalam
laporan
tahunan
sebagai
pengungkapan
tambahan
(suplementary disclosure) yang nantinya menjurus kepada standar akuntansi untuk meningkatkan reliabilitas dan konsistensi informasi. Pengukuran dan pelaporan modal intelektual menjadi topik penting di berbagai institusi akuntansi. Di Indonesia, masalah pengungkapan modal intelektual telah mendapatkan perhatian melalui PSAK no. 19 revisi (IAI, 2000) tentang aktiva tidak berwujud (Boedi, 2008). Di dalam standar ini disebutkan macam-macam aktiva tidak berwujud yang merupakan modal intelektual. Dengan semakin berkembangnya teknologi dan aturan pada PSAK no 19 tersebut, semestinya dapat memotivasi perusahaan-perusahaan untuk lebih giat melaporkan kekayaan intelektualnya melalui laporan tahunan.
9
Dan pernyataan tersebut disebutkan jugabeberapa contoh dariaktiva tidak berwujud antara lain ilmu pengetahuan dan teknologi, desain danimplementasi sistem atau proses baru, lisensi, hak kekayaan intelektual,pengetahuan mengenai pasar dan merek dagang (termasuk merek produk / brandnames). Selain itu juga ditambahkan piranti lunak komputer, hak paten, hakcipta, film gambar hidup, daftar pelanggan, hak pengusahaan hutan, kuota impor, waralaba, hubungan dengan pemasok atau pelanggan, kesetiaan pelanggan, hakpemasaran, dan pangsa pasar. Meskipun PSAK 19 (revisi 2000) yang di dalamnya secara implisit menyinggung tentang IC telah mulai diperkenalkan sejak tahun 2000, namun dalam dunia praktek IC masih belum dikenal secara luas di Indonesia (Abidin, 2000).
Menurut
Abidin
(2000),
perusahaan-perusahaan
di
Indonesia
cenderungmenggunakan conventional based dalam membangun bisnisnya, sehingga produk yang dihasilkannya masih miskin kandungan teknologi. Di samping itu perusahaan-perusahaan tersebut belum memberikan perhatian lebih terhadap human capital, structural capital, dan customer capital. Padahal semua ini merupakan elemen pembangun IC perusahaan (Sawarjuwono, 2003dalam Ulum, 2007). Bertolak belakang dengan meningkatnya pengakuan IC dalam mendorong nilai dan keunggulan kompetitif perusahaan, pengukuran yang tepat terhadap IC perusahaan belum dapat ditetapkan. Misalnya, Pulic (1998; 1999; 2000) tidak mengukur secara langsung IC perusahaan, tetapi mengajukan suatu ukuran untuk menilai efisiensi dari nilai tambah sebagai hasil dari kemampuan intelektual perusahaan (Value Added Intellectual Coefficient – VAIC™). Komponen utama
10
dari VAIC™ dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital (VACA – value added capital employed), human capital (VAHU – value added human capital), dan structural capital (STVA – structural capital value added) (dalam Ulum, 2007). Menurut Pulic (1998), tujuan utama dalam ekonomi yang berbasis pengetahuan adalah untuk menciptakan value added. Sedangkan untuk dapat menciptakan value added dibutuhkan ukuran yang tepat tentang physical capital (yaitu dana-dana keuangan) dan intellectual potential (di representasikan oleh karyawan dengan segala potensi dan kemapuan yang melekat pada mereka). Lebih lanjut Pulic (1998) menyatakan bahwa intellectual ability (yang kemudian disebut dengan VAIC™) menunjukkan bagaimana kedua sumber daya tersebut (physical capital dan intellectual potential) telah secara efisiensi dimanfaatkan oleh perusahaan. Dan selama ini juga praktik pelaporan modal intelektual di Indonesia masih rendah, ini ditunjukkan oleh hasil dari beberapa penelitian lainnya mengenai tingkat pengungkapan modal intelektual (Intellectual Capital Disclosure) di Indonesia. Di antaranya adalah penelitian oleh Djoko Suhardjanto dan Mari intelektual dari perusahaan multisektor yang terdaftar di BEI hanya sebesar 34,5%. Kemudian penelitian di tahun yang sama oleh Suryo Utomo terhadap perusahaan non Bank dan non properti yang tergabung dalam Indeks LQ-45, menyimpulkan tingkat pengungkapan sebesar 41%. Penelitian selanjutnya oleh Felicia Dwiputri Sutanto pada tahun 2009, menemukan tingkat pengungkapan modal intelektual pada perusahaan manufaktur
11
sebesar 40,87% , dan terakhir penelitian oleh Akin Septiawan Permono pada tahun 2010, yang menemukan tingkat pengungkapan modal intelektual pada perusahaan keuangan sebesar 30%. Pada dasarnya pengungkapan modal intelektual yang masih rendah di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah biaya pengungkapan
yang
cukup
mahal,
sehingga
sebuah
perusahaan
akan
mengungkapkan informasi secara sukarela jika manfaat yang diperoleh dari pengungkapan tersebut lebih besar dari biayanya (Choi dan Levich dalam Meek et al, 2005dalam Sutanto, 2012). Namun faktor ini tidak akan menjadi penghambat manakala perusahaan mengetahui benefit besar yang dapat diperoleh dari hasil pengungkapan tersebut. Ada faktor lain yang lebih fundamental yang mempengaruhi tingkat pengungkapan modal intelektual, yaitu karakteristik perusahaan itu sendiri (Sutanto, 2012). Keenan dan Aggestam (2001) juga menyatakan adanya pengaruh karakteristik
perusahaan,
tujuan,
serta
corporate
governance
dalam
penyelenggaraan prudent investment dalam modal intelektual. Sejumlah penelitian lain juga telah membuktikan adanya pengaruh dari karakteristik perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual. Pada dasarnya karakteristik perusahaan adalah ciri atau identitas yang melekat pada sebuah perusahaan sehingga membedakannya dengan perusahaan lain (Suhardjanto dan Wardhani, 2010). Karakteristik perusahaan tentu banyak macamnya, namun diantara sekian banyak karakteristik tersebut, ada beberapa komponen yang dapat mempengaruhi tingkat pengungkapan modal intelektual,
12
salah satunya adalah profitabilitas atau salah satu dari kinerja keuangan perusahaan. Hal menarik untuk melakukan penelitian ini adalah melihat bagiamana perkembangan tingkat pengungkapan modal intelektual di Indonesia setelah adanya informasi penurunan daya saing Indonesia di skala global dari posisi 46 (2011) ke posisi 50 (2012). Serta meneliti bagaimana pengaruh karakteristikkarakteristik perusahaan yang komponennya telah disebutkan di atas terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual, baik secara parsial maupun simultan. Berdasarkan paparan masalah di atas, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul :
“Pengaruh Profitabilitas, Ukuran Perusahaan dan Leverage terhadap Tingkat Pengungkapan Modal Intelektual” (Studi Pada Perusahaan Go Public di Bursa Efek Indonesia PeriodeTahun 2012)
1.2
Rumusan Masalah Modal intelektual dewasa ini menjadi fokus perhatian oleh berbagai
kalangan. Modal intelektual diyakini sebagai faktor kunci yang menyebabkan adanya kesenjangan antara nilai buku dan nilai pasar perusahaan. Kesenjangan ini perlu dikaji agar dapat melindungi kepentingan pengguna informasi keuangan (user). Berpijak dari tujuan ini maka perlu disusun sebuah standar pelaporan tentang modal intelektual yang merupakan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Berdasarkan fenomena ini, masalah yang diangkat dapat dirumuskan sebagai berikut :
13
1. Apakah
profitabilitas
mempunyai
pengaruh
parsial
terhadap
tingkat
pengungkapan modal intelektual? 2. Apakah ukuran perusahaan mempunyai pengaruh parsial terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual? 3. Apakah leverage mempunyai pengaruh parsial terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual? 4. Apakah profitabilitas, ukuran perusahaan, dan leverage mempunyai pengaruh simultan terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual?
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penulis mengadakan penelitian ini adalah agar memperoleh data
yang memadai dan dapat representatif sehingga ditemukan jawaban atas rumusan masalah yang telah ditetapkan Adapun tujuan dari penelitian ini ada dua,yaitu : a) Untuk
mengetahui
praktik
pengungkapan
modal
intelektual
dalam laporantahunan, baik dari segi jumlah (amount) maupun kandungan (content) modal intelektual. b) Untuk mengetahui pengaruh secara parsial profitabilitas terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual. c) Untuk mengetahuipengaruh secara parsial ukuran perusahaan (size) terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual. d) Untuk mengetahui pengaruh secara parsial leverage terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual.
14
e) Untuk mengetahui pengaruh secara simultan profitabilitas, ukuran perusahaan, dan leverage terhadap pengungkapan modal intelektual.
1.4 a.
Kegunaan Penelitian Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan wawasan mengenai Intellectual Capital, khususnya mengenai praktik pengungkapannya dalam laporan tahunan perusahaan - perusahaan di Indonesia khususnya yang listing di BEI.
b.
Bagi Akademisi Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai literatur, bahan pertimbangan dan motivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut bagi para akademisi, praktisi, maupun pengamat sehingga perlunya IC Disclosure semakin nyata dilaksanakan dan lebih dipertimbangkan.
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk keperluan penyusunan penelitian ini, penulis melakukan penelitian
pada beberapa perusahaan yang listing dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia melalui media internet dengan situs www. Idx .co.id, www. Ipot Indonesia .com, dan masing-masing situs perusahaan. Adapun waktu penelitian dilaksanakan pada periode
bulan
september
tahun
2013
sampai
dengan
selesai.