BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Cedera saraf tepi merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pasca trauma dan tindakan bedah mulut dan maksilofasial. Tindakan bedah mulut dan maksilofasial yang sering menyebabkan cedera saraf diantaranya tindakan, odontektomi gigi impaksi, bedah dentoalveolar yang berdekatan dengan foramen mentalis dan kanalis mandibula, bedah ortognatik, dan bedah tumor rahang (Li et al., 2013). Cedera saraf tepi akhir-akhir ini juga banyak terjadi sebagai akibat meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja. Cedera saraf tepi terjadi pada 2,8% dari pasien trauma (Belkas et al., 2005). Pencegahan terhadap cedera saraf merupakan tindakan paling baik, dengan selalu waspada terhadap adanya kemungkinan tindakan yang akan mengakibatkan cedera saraf tersebut, penguasaan anatomi dengan berbagai kemungkinan variasi letak saraf merupakan hal yang mutlak dikuasai (Hendaya, 2004). Sebagian besar kasus cedera saraf ditangani dengan observasi selama beberapa minggu sampai bulan. Saraf tepi memiliki kemampuan untuk regenerasi yang lebih baik daripada saraf pusat, karena saraf tepi mempunyai lamina basalis sel Schwann yang dapat membentuk tabung regenerasi dan membantu pertumbuhan akson (Gaudet et al., 2011). Sel Schwann juga menghasilkan faktor pertumbuhan yang berperan dalam regenerasi akson (Ide et al.,1996). Regenerasi saraf tepi sering berlangsung
1
2
tidak sempurna karena membutuhkan waktu yang lama dan tidak mampu mencapai target regenerasi sehingga diperlukan cara-cara untuk mengatasi hal tersebut dengan tujuan membantu regenerasi saraf tepi. Salah satu cara untuk membantu regenerasi saraf tepi adalah dengan menambahkan faktor-faktor pertumbuhan. Komponen darah trombosit diketahui dapat melepaskan berbagai faktor pertumbuhan antara lain platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth factor-β1 (TGF-β1), vascularendothelial growth factor (VEGF), insulin-like growth factor-1 (IGF-1), epidermal growth factor (EGF) dan protein-protein yang berfungsi sebagai cell adhesion molecule (CAM), yaitu fibrin, fibronectin, dan vitronectin yang mempunyai efek positif dalam perbaikan jaringan (Frechette et al., 2005; Marx, 2004). Trombosit mudah diambil dari aliran darah dan dikonsentrasikan hingga menjadi Platelet Rich Plasma (PRP). Platelet Rich Plasma mudah didapatkan, dibuat, diaplikasikan, murah, aman, dan telah digunakan secara luas dalam praktik klinis (Lucarelli et al., 2010). Kandungan growth factor akan dikeluarkan setelah PRP diaktivasi. Aktivator yang umum digunakan untuk memicu degranulasi trombosit adalah kombinasi trombin dan CaCl2, tetapi beberapa penelitian menunjukkan adanya kelemahan kombinasi trombin dan CaCl2, antara lain menyebabkan reaksi antibodi, menghambat migrasi fibroblas dan meningkatkan angka retraksi bekuan (Fufa, 2008). Kolagen merupakan alternatif untuk menggantikan trombin sapi dalam aktivasi PRP karena secara alami kolagen juga terlibat dalam kaskade pembekuan intrinsik dan digunakan secara luas sebagai biomaterial (Harrison et al., 2011).
3
Penelitian yang dilakukan oleh Fufa et al. (2008) membuktikan bahwa efektifitas kolagen sama dengan trombin dalam menstimulasi pelepasan PDGF-AB dan VEGF selama hari pertama sampai hari ke sepuluh dan bisa berperan sebagai perancah pada proses penyembuhan luka. Harrison (2011) melaporkan trombosit yang diaktivasi dengan spons kolagen berefek pada pelepasan faktor pertumbuhan yang berkelanjutan sampai hari ke-7. Spons kolagen dengan molekul triple helix tipe-1 mempunyai sifat bio-degradable sehingga tidak perlu diambil atau diganti. Penelitian yang dilakukan oleh Tangsupati (2013) menunjukkan bahwa penambahan spons kolagen pada PRP meningkatkan aktivitas matriks ekstraseluler fibroblast ligamentum periodontal dibandingkan dengan penambahan kolagen rattail pada PRP. Elgazar (2008) menunjukkan bahwa PRP dapat memacu regenerasi serabut saraf setelah neuroanastomosis dengan cryanoacrylate. Efek tersebut terjadi karena meningkatnya proliferasi dan migrasi sel Schwann selain efek neurotropik faktor pertumbuhan yang dikandung PRP (Zhang et al., 2013). Platelet Rich Plasma selain memiliki keunggulan yang telah disebutkan di atas, juga mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah adanya efek pro-inflamasi pada PRP akibat adanya sel darah putih yang ikut teraplikasikan. Neutrofil bersifat fagositik dan mengandung lebih dari 40 enzim hidrolitik. Neutrofil yang aktif akan memfagositosis debris dan melepaskan oksigen radikal bebas dan protease. Pelepasan molekul toksik ini menyebabkan kerusakan jaringan (Tuomi dan Best, 2003; Smith et al., 2008). Platelet Rich Plasma juga membutuhkan perancah agar tidak menyebar dan menimbulkan kerusakan ke jaringan lain. Mengingat hal tersebut di atas maka
4
dibutuhkan suatu cara untuk mengatasi kekurangan PRP dan juga mendukung regenerasi saraf akibat cedera. Cytidine 5’-diphosphocholine atau citicolin adalah neuroprotektor yang telah digunakan sebagai terapi pada penderita stroke, penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, defisit kognitif, serta beberapa penyakit neurologis lainnya. Obat tersebut merupakan molekul organik kompleks yang berfungsi sebagai perantara pada biosintesis
fosfolipid
membran
sel,
sehingga
mempunyai
peranan
dalam
mempertahankan membran sel dari kerusakan. Mekanisme kerja citicolin adalah sebagai prekursor fosfolipid, memperbaiki membran neuron, menetralkan protein beta-amyloid, serta memiliki peranan pada sinapsis dengan mempengaruhi pelepasan norepinefrin dan dopamin (Seccades dan Frontera, 1995). Cytidine 5’-diphosphocholine dilaporkan memicu perbaikan dan sintesis membran neuron sistem saraf pusat melalui sintesis fosfolipid dan mempertahankan integritas membran neuron (Parisi, 2005). Penelitian yang dilakukan Ozay et al. (2007) berhasil membuktikan bahwa citicolin dapat membantu perbaikan fungsi motorik dan proses regenerasi saraf tepi yang cedera. Citicolin juga meningkatkan mekanisme antioksidan dalam tubuh, dan menekan kerusakan akibat radikal bebas pada jaringan saraf (Quereshi et al., 2010). Efek antioksidan dari citicolin telah diteliti dan menunjukkan kemampuannya dalam menstimulasi sintesis glutathione dan mengaktifkan enzim glutathione reductase (Quereshi et al., 2010). Glutathione merupakan antioksidan yang penting yang dimiliki oleh tanaman, jamur, beberapa bakteri, archaea dan pada binatang.
5
Glutathione mencegah kerusakan pada komponen seluler yang penting yang diakibatkan oleh radikal bebas dan peroksida (Pompella et al., 2003). Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, perlu untuk diteliti pengaruh aplikasi PRP dengan aktivasi spons kolagen yang dikombinasikan dengan pemberian cytidine 5’-diphosphocholine (citicolin) dalam proses regenerasi saraf tepi yang cedera. Nervus mentalis dipilih sebagai model cedera saraf karena sebagian besar akson sensorik (65-75%) nervus trigeminus terdistribusi di nervus mentalis tikus dan nervus mentalis merupakan kelanjutan dari nervus alveolaris inferior yang menginervasi gigi dan rongga mulut (Savignat, 2008). Model cedera saraf pada tikus bisa dilakukan dengan model cedera saraf akibat penjepitan (crush injury). Regenerasi saraf dapat diamati melalui pemeriksaan histomorfometri. Metode histomorfometri adalah studi kuantitatif untuk menilai struktur mikroskopis suatu jaringan (Raimondo et.al, 2009).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut timbul permasalahan apakah aplikasi PRP dengan aktivasi sponskolagen yang dikombinasikan dengan pemberian Cytidine 5’diphosphocholine dapat meningkatkan regenerasi cedera saraf mentalis tikus Wistar akibat crush injury yang diukur dengan metode histomorfometri (jumlah serabut, diameter serabut saraf, diameter akson, dan tebal mielin).
6
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji manfaat PRP yang diaktivasi dengan sponskolagen yang dikombinasikan dengan pemberian cytidine 5’diphosphocholine terhadap proses regenerasi cedera saraf tepi setelah cedera penjepitan (crush injury) pada nervus mentalis tikus Wistar. 2. Tujuan khusus Membandingkan histomorfometri saraf tepi setelah cedera penjepitan (crush injury) nervus mentalis tikus Wistar yang diberi aplikasi PRP dengan aktivasi sponskolagen
yang
dikombinasikan
dengan
pemberian
cytidine
5’-
diphosphocholine dibandingkan dengan kontrol.
D. Manfaat Penelitian 1.
Memberikan informasi mengenai manfaat PRP dengan aktivasi spons kolagen yang dikombinasikan dengan pemberian cytidine 5’-diphosphocholine dalam memicu regenerasi saraf tepi.
2.
Sebagai dasar pengembangan aplikasi klinis terapi regenerasi saraf tepi, baik dengan PRP atau dengan penambahan bahan lainnya.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan referensi yang ada, penelitian untuk menguji aplikasi PRP dengan aktivasi spons kolagen yang dikombinasikan dengan pemberian cytidine 5’-
7
diphosphocholine pada nervus mentalis tikus Wistar yang dijepit belum pernah dilakukan, namun beberapa penelitian yang ditelusur dari pubmed dengan kata kunci rat peripheral nerve injury PRP ditemukan 7 artikel. Untuk penelusuran dengan kata kunci rat peripheral nerve injury citicolin ditemukan 4 artikel. Dari artikel yang ditemukan yang paling mirip dengan penelitian ini adalah Elgazar et al. (2008) yang mengaplikasikan lokal PRP pada saraf yang cedera, Caner et al. (2012) melakukan injeksi citicolin
secara intraperitoneal pada tikus yang mengalami cedera saraf.
Perbedaan dan persamaan penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Persamaan dan perbedaan penelitian dilakukan Referensi
Persamaan
ini dengan penelitian yang telah
Perbedaan
Elgazar et al., 2008
Menggunakan platelet rich - Menggunakan metode gap plasma yang diaplikasikan injury nervus ischiadicus dan lokal pada bagian saraf yang reanastomosis cedera - PRP dengan aktivasi CaCl2bovine thrombin - Tidak dilakukan kombinasi dengan bahan lain
Caner et al., 2012
Menggunakan citicolin - Menggunakan metode transeksi yang diinjeksikan secara nervus ischiadicus intraperitoneal - Tidak dikombinasikan dengan bahan lain