1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu keniscayaan, perihal konsep dan praktik pemerintahan ataupun ketatanegaraan terus menerus mengalami perkembangan seiring dengan kompleksitas problem yang dihadapi suatu negara. Tak dapat dinafikan, perkembangan tersebut merupakan sintesis dari berbagai implikasi yang ditimbulkan. Hal ini dihadapi pula oleh Negara Republik Indonesia, setelah mengalami empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 (1999-2002),1 dimana terjadi perubahan yang sangat mendasar terutama terkait dengan kekuasaan Presiden Republik Indonesia. Jika ditarik sejarahnya, secara klasik, Presiden atau kepala negara maupun dengan sebutan lain, menjalankan kekuasaan eksekutif. Hal ini merupakan implementasi doktrin terkait dasar struktur kekuasaan negara yang dibagi menjadi tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.2 Ketiga cabang kekuasaaan tersebut yang oleh banyak pakar diinterpretasikan melaksanakan fungsinya masing-masing. Kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan
Bagi Moh. Mahfud MD, secara konsep dan substansi amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hanya dilakukan satu kali, tetapi disahkan dalam empat tahap secara berkesinambungan, lihat Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 185. 2 Awal mulanya konsep pembagian tiga cabang kekuasaan dipopuleri oleh John Locke dalam karyanya Two Treaties of Government (1690) yang membagi tiga cabang kekuasaan yakni cabang kekuasan eksekutif, cabang kekuasaan legislatif, dan cabang kekuasaan federatif, dan kemudian dikembangkan oleh Baron Secondate Montesquieu dalam The Spirit of Laws (1748) yang dikenal dengan Trias Politika. 1
2
membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif, kekuasaan yang menjalankan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif, kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang (kekuasaan untuk mengadili).3 Namun dewasa ini, kekuasaan tersebut tidak lagi dispesialisasikan kepada satu cabang kekuasaan semata, sehingga terjadi fenomena campur-sari. Kenyataan inilah yang membuat Ramlan Surbakti mengatakan bahwa ketiga istilah eksekutif, legislatif, dan yudikatif mengandung kelemahan karena mempunyai
pengertian
struktur
mapan
yang
terspesialisasikan
untuk
melaksanakannya, dan proses yang eksplisit untuk melaksanakannya. Sebaliknya, pada berbagai masyarakat fungsi itu tidak dilaksanakan oleh satu struktur.4 Fenomena tersebut terjadi pula pada kekuasaan Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan. Dalam negara modern (modern states), interaksi mendasar antar lembaga negara diatur oleh konstitusi,5 hal tersebut berimplikasi pada penerapan sistem pemerintahan yang berkaitan langsung dengan kekuasaan presiden. Umumnya, terdapat tiga sistem pemerintahan yakni, sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan semi-presidensial. Sistem pemerintahan tersebut, mempunyai karakter berbeda satu sama lainnya. Perbedaan tersebut tidak hanya pada karakter umum melainkan menyangkut pula perihal kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan yang dianut. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia; Pengertian Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 Hingga Kini, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 73. 4 Ramlan Surbakti, 2013, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta, hlm. 221. 5 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 2. 3
3
Oleh karena itu, sebagai sebuah negara modern, Indonesia merupakan salah satu negara yang pernah mempraktikkan beberapa model sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Konsekuensinya akan berdampak pula pada kekuasaan presiden yang bertalian erat dengan sistem pemerintahan. Sepanjang sejarahnya, Indonesia telah menerapkan beberapa konstitusi yang mempunyai arti penting terhadap corak sistem pemerintahan dan kekuasaan presiden. Selama periode 1945-1959, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan yang berbeda dengan tiga konstitusi yang berbeda pula, yakni; Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan sistem pemerintahan yang cenderung menonjolkan corak presidensialismenya yang kemudian diikuti perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (19491950)
dengan
sistem
pemerintahan
yang
cenderung
menonjolkan
parlementariannya, dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 (1950-1959) dengan sistem pemerintahan parlementernya. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959 dan kembali diberlakukannya UUD Tahun 1945, dimulailah langgam otoritarian dalam kehidupan politik di Indonesia di bawah demokrasi terpimpin6 dengan tidak didukung oleh sistem pemerintahan yang jelas yang oleh Sri Soemantri dikatakan bahwa sistem pemerintahan Indonesia pada saat itu mengandung unsur sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer.7
6 7
Moh. Mahfud MD, 2011, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 136. Sri Soemantri, 1976, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-negara Asean, Tarsito, Bandung, hlm. 52-53.
4
Ditambah, kekuasaan Presiden yang teramat luas di dukung dengan tidak adanya sistem checks and balances, seperti yang dikenal dalam sistem Amerika Serikat, di mana badan eksekutif dan legislatif, sekalipun bebas satu sama lain, mengadakan check satu sama lain, tidak dikenal dalam sistem Undang-Undang Dasar Tahun 1945.8 Karena itu pula, dengan ketidakjelasan sistem pemerintahan, ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat melakukan perubahan UUD Tahun 1945 pada tahun 1999-2002, salah satu agenda yakni melakukan purifikasi sistem pemerintahan presidensial pada sistem pemerintahan Indonesia. Walaupun telah mempurifikasi
sistem
pemerintahan
presidensial
dalam
konstitusi
hasil
amandemen, bukan tidak mungkin tidak membawa pengaruh pada kekuasaan presiden. Ditambah sistem pemerintahan presidensial lebih menitikberatkan kekuasaan pada presiden dan presiden merupakan figur yang paling berpengaruh dan lebih menonjol dibandingkan dengan peran kelompok, organisasi, atau partai politik yang ada dalam negara,9 sehingga dapat menjadikan presiden lebih “berkuasa” dari pada unsur yang lainnya. Jika demikian, hal tersebut akan menimbulkan distorsi dalam implementasi kekuasaan presiden. Jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, seorang ahli sejarah Inggris, Lord Acton, menyatakan bahwa, Power tends corrupt, but absolute power corrupts absolutely, dimana kekuasaan
8 9
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, hlm. 311. Saldi Isra, 2010, Pergeseran....., op.cit., hlm. 38.
5
cenderung disalahgunakan dan akan disalahgunakan secara absolut ketika kekuasaan tersebut bersifat absolut pula. Sekiranya perlu pula diperhatikan apa yang diungkapkan oleh Juan Linz yang melihat sistem pemerintahan presidensial merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi. Linz mengungkapkan adanya sebuah korelasi yang kuat antara sistem pemerintahan presidensial dengan pembusukan politik. Pembusukan itu diisyaratkannya sebagai sebuah pemerintahan anti-demokrasi.10 Dua hal yang mendasari pandangan Linz, pertama adalah kecenderungan bahwa sistem pemerintahan presidensial menghasilkan “tirani minoritas” dalam real politik dan kedua, adanya periode waktu pemerintahan yang tidak dapat disela (fixed term) dalam sistem pemerintahan presidensial yang merupakan persoalan mendasar dan turut berkontribusi bagi pembusukan politik sekaligus ancaman terhadap demokrasi. Hal ini menurut Linz memunculkan pemerintahan yang kaku dan tidak sejalan dengan semangat zaman yang dinamis. Bahkan kritikan dalam beberapa kajian mengenai sistem pemerintahan, lebih banyak ditujukan pada sistem pemerintahan presidensial ketimbang sistem pemerintahan yang lainnya. Sumber kritikan tersebut terletak pada kekuasaan presiden yang besar dalam sistem pemerintahan presidensial yang membuka timbulnya penyelewengan kekuasaan oleh presiden.11 Terkait hal ini Arend
Firman Noor, 2009, Menimbang Masa Depan Sistem Presidensial di Indonesia Problematika Demokrasi dan Kebutuhan Perbaikan Sistemik, dalam Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti, Sistem Presidensial & Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 51. 11 Maswadi Rauf, 2009, Evaluasi Sistem Presidensial: Sistem Parlementer dan Sistem Presidensial di Indonesia, dalam Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti, Sistem Presidensial & Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 31. 10
6
Lijphart menuliskan bahwa terdapat banyak ketidakpuasan ataupun sentimen terhadap presidensialisme.12 Ditambah pengalaman Indonesia sebelum dilakukannya perubahan UUD Tahun 1945, memuat anasir sistem pemerintahan presidensial yang mempunyai kontribusi atas dominannya seorang presiden, bahkan Valina Singka Subekti dalam penelitiannya mengungkapkan secara de facto UUD Tahun 1945 tidak pernah mampu menghadirkan pemerintahan yang demokratis. Akibatnya berkembang praktik abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).13 Selain fakta tersebut, Amerika Latin yang juga menerapkan sistem pemerintahan
presidensial
dalam
menyelenggarakan
pemerintahannya
memunculkan penguasa-penguasa otoriter. Bahkan dikatakan oleh Maswadi Rauf bahwa sistem pemerintahan presidensial menurut konstitusi hasil amandemen mempunyai kemiripan dengan sistem pemerintahan presidensial di sejumlah negara Amerika Latin yang menghasilkan penguasa-penguasaa otoriter.14 Dengan kenyataan tersebut, para pengubah UUD telah mempurifikasi sistem pemerintahan presidensial di dalam UUD NRI Tahun 1945 dengan kenyataan bahwa sebelum Indonesia melakukan perubahan terhadap UUD Tahun 1945 telah pula mengandung anasir presidensialisme yang telah menghasilkan penguasa yang sangat dominan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Ditambah, sistem pemerintahan presidensial seperti yang diungkapkan oleh Scoot Ibid. Valina Singka Subekti, 2008, Menyusun Konstitusi Transisi; Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 4. 14 Maswadi Rauf, 2009, Evaluasi....., op.cit., hlm. 33-36. 12 13
7
Mainwaring
sering
menimbulkan
kemandekan
dan
kelumpuhan
terkait
penyelenggaraan pemerintahan sekaligus menimbulkan penguasa-penguasa dominan.15 Hal inilah yang mendorong penulis untuk melihat dan mengkaji lebih jauh perihal kekuasaan presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945 yang telah mempurifikasi sistem pemerintahan presidensial. Penelitian inipun tidak hanya didasarkan pada pengkajian UUD NRI Tahun 1945, namun melihat pula bagaimana interelasi Presiden dan cabang kekuasaan lainnya terkait dengan penggunaan kekuasaan Presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945 dalam bangunan sistem pemerintahan presidensial. Di samping itu, dianalisis pula implikasi yang ditimbulkan terkait dengan penggunaan kekuasaan Presiden terhadap penyelenggaraan pemerintahan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulisan ilmiah ini akan mengkaji permasalahan sebagai berikut: 1.
Apa saja yang menjadi kekuasaan Presiden dalam sistem pemerintahan Indonesia setelah perubahan UUD Tahun 1945?
2.
Bagaimana
interelasi
Presiden
sebagai
pemegang
kekuasaan
pemerintahan dengan cabang kekuasaan lain dalam sistem pemerintahan Indonesia setelah perubahan UUD Tahun 1945?
15
Ibid.
8
3.
Implikasi apa saja yang ditimbulkan terkait penggunaan kekuasaan Presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945 terhadap penyelenggaraan pemerintahan?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman terkait beberapa hal, yakni; mengenai hal apakah yang menjadi kekuasaan Presiden pasca perubahan UUD Tahun 1945 serta bagaimanakah hubungan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD NRI Tahun 1945 dengan cabang kekuasaan lainnya dan sekaligus melihat implikasi apakah yang ditimbulkan terkait dengan penggunaan kekuasaan Presiden. Pertama, mengenai kekuasaan Presiden pasca perubahan UUD Tahun 1945. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran secara komprehensif terkait kekuasaan Presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945 dalam bingkai presidensialisme. Kedua, dalam hal hubungan antara Presiden dan cabang kekuasaan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk untuk melihat interelasi antara Presiden dan cabang kekuasaan lainnya dalam sistem pemerintahan Indonesia baik secara normatif dan sekaligus menghubungkannya dengan berbagai landasan teoritik untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya sistematis. Ketiga, penelitian ini juga bertujuan mencoba melihat implikasi dari penggunaan kekuasaan Presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945 terhadap penyelenggaraan pemerintahan. D. Manfaat Penelitian
9
Penelitian ini mencoba melihat faktor-faktor apa sajakah yang menjadi kekuasaan Presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945 dan melihat pola hubungan antara Presiden dengan cabang kekuasaan lainnya sekaligus melihat dampak yang akan terjadi, sehingga manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu; Pertama, memberikan manfaat terkait dengan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya. Selain itu penelitian ini dapat melengkapi penelitian sebelumnya yang secara spesifik membahas tentang kekuasaan Presiden. Jika diperhatikan, dari penelusuran penulis, pasca amandemen UUD Tahun 1945, minimnya literatur yang membahas terkait dengan kekuasaan Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD Tahun 1945. Pada umumnya kajian-kaijan yang ada hanya membahas terkait kekuasaan Presiden dari pendekatan hukum semata dengan tidak mengasimilasikan kekuasaan Presiden dengan disiplin keilmuan yang lain, semisal pengetahuan politik. Padahal pembahasan kekuasaan Presiden sebagai pucuk pimpinan eksekutif tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan politik. Ismail Suny misalnya, dalam pengantar buku Pergeseran Kekuasaan Eksekutif mengatakan bahwa pembahasan mengenai eksekutif terletak di daerah tapal batas antara hukum dan pengetahuan politik.16 Selain itu kajian-kajian yang ada pun hanya sebatas membahas kekuasaan Presiden yang sifatnya parsial dan tidak secara komprehensif.
16
Ismail Suny, 1986, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, hlm. vii.
10
Penelitian inipun diharapkan dapat memberikan pengayaan terhadap perkembangan maupun wacana ilmu hukum terkhusus pada ilmu hukum tata negara. Kedua, manfaat bagi pembangunan bangsa dan negara. Kajian ini dapat dijadikan masukan maupun refleksi baik dari segi keilmuan maupun dari segi praktek dalam penyelenggaraan pemerintahan terkhusus Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang telah diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945 sehingga dalam menjalankan kewenangannya Presiden tidak keluar dari koridor-koridor yang telah ditentukan agar penyimpangan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak terjadi. E. Keaslian Penelitian Sepanjang penelusuran penulis dalam berbagai kepustakaan, penulis tidak menemukan penelitian lain yang secara substansi sama dengan penelitian yang penulis lakukan. Namun demikian, penulis mengungkapkan terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden sebagai objek yang penulis teliti, yaitu: 1.
“Politik Hukum Kekuasaan Presiden Dalam Bidang Militer Dan Menyatakan Perang Dengan Negara Lain” merupakan Tesis yang ditulis oleh Dilli Trisna Novitasari pada program pascasarjana fakultas hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2013.
2.
“Mekanisme
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Dalam
Memberikan
Pertimbangan Kepada Presiden Berdasarkan Undang-Undang Dasar
11
Negara Republik Indonesia Tahun 1945” merupakan Tesis yang ditulis oleh Muhammad Yasin pada program pascasarjana fakultas hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2012. 3.
“Fungsi Hak Prerogatif Presiden Dalam Rangka Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial Di Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia” merupakan Tesis yang ditulis oleh Garry Rafeldha Sharon Tapilatu pada program pascasarjana fakultas hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2011. Sederhananya, berdasarkan penjelasan ataupun objek penelitian ini
berbeda dengan beberapa penelitian yang telah disebutkan diatas. Hal yang membedakan dapat dilihat pada: 1.
Perbedaan judul penelitian. Judul penelitian ini adalah “Kekuasaan Presiden Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan UUD Tahun 1945” sedangkan penelitian di atas mempunyai judul yang berbeda dengan judul penelitian ini.
2.
Perbedaan pada rumusan masalah. Penelitian ini memiliki tiga permasalahan, yakni; (1) Hal apa saja yang menjadi kekuasaan Presiden dalam sistem pemerintahan Indonesia setelah perubahan UUD Tahun 1945, (2) Bagaimana hubungan Presiden dengan cabang kekuasaan lain dalam sistem pemerintahan Indonesia setelah perubahan UUD Tahun 1945, dan (3) Implikasi apa saja yang ditimbulkan dalam sistem pemerintahan Indonesia terkait penggunaan kekuasaan Presiden setelah
12
perubahan UUD Tahun 1945. Penelitian yang dilakukan oleh Dilli Trisna Novitasari memuat rumusan masalah, (1) mengapa kekuasaaan dalam bidang militer dan menyatakan perang terhadap negara lain berada pada Presiden, (2) bagaimanakah kekuasaan Presiden dalam bidang militer dan menyatakan perang dengan negara lain, dan (3) bagaimanakah mekanisme kontrol yang dapat diterapkan terhadap kekuatan militer oleh Presiden dalam menyatakan perang. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Yasin merumuskan tiga permasalahan, yakni; (1) bagaimana peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden terhadap pengangkatan duta besar, (2) bagaimana mekanisme Dewan Perwakilan Rakyat dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan (3) apakah implikasi pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat bagi Presiden. Penelitian yang dilakukan
oleh
Garry
Rafeldha
Sharon
Tapilatu
merumuskan
permasalahan, yakni; (1) apakah arti penting hak prerogatif Presiden di dalam ilmu hukum, (2) bagaimana pengaturan hak prerogatif Presiden sepanjang sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, dan yang terakhir, yaitu, (3) apakah hak prerogatif yang dimiliki Presiden Republik Indonesia telah sejalan dengan teori dan konsep sistem pemerintahan presidensial di bidang hukum tata negara. Selain penelitian yang telah dikemukakan, terdapat pula berbagai karya tulis yang telah dipublikasikan sekaligus berkaitan dengan penelitian ini yang
13
penting untuk dicantumkan dalam keaslian penelitian ini. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari kejahatan akademik yang begitu sangat tercela dalam dunia pendidikan yakni plagiat atau dengan sengaja mengambil karya milik orang lain dan menjadikannya seolah-olah karya milik sendiri. Dan, sepanjang penelusuran maupun pengetahuan penulis atas berbagai bahan hukum sekunder, karya tulis yang telah dipublikasikan dan berkaitan dengan tema penelitian ini, yaitu: 1.
Pergeseran Kekuasaan Eksekutif yang ditulis oleh Ismail Suny dan diterbitkan oleh Aksara Baru pada tahun 1986 (cetakan keenam) di Jakarta. Buku ini merupakan penelitian desertasi untuk memenuhi persyaratan strata tiga (S3) sekaligus untuk memperoleh gelar Doktor. Dalam buku ini dilihat pasang surut terkait dengan kekuasaan eksekutif mengingat telah diberlakukannya beberapa konstitusi dalam Negara Republik Indonesia. Landasan yang digunakan dalam buku ini yaitu UUD Tahun 1945, Konstitusi RIS Tahun 1949 dan UUD Sementara Tahun 1950. Dengan ini dapat dilihat perbedaan yang mendasar dari penelitian yang penulis lakukan, yaitu dengan memakai UUD NRI Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional yang utama untuk melihat kekuasaan Presiden, akan tetapi penelitian ini pun tidak melepaskan seutuhnya UUD Tahun 1945, Konstitusi RIS Tahun 1949 dan UUD Sementara Tahun 1950 sebagai bahan hukum. Buku ini sesungguhnya
14
merupakan salah satu dari beberapa buku yang dijadikan penulis sebagai pijakan awal untuk melakukan penelitian dan melihat kekuasaan Presiden sebelum perubahan UUD Tahun 1945. 2.
Lembaga Kepresidenan yang ditulis oleh Bagir Manan dan diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada tahun 2006 di Yogyakarta. Dalam buku ini kekuasaan presiden dibagi dalam sifatnya, yakni kekuasaan presiden yang sifatnya eksekutif, legislatif, yudikatif dan diplomatik. Namun tak dapat dinafikkan bahwa buku inipun memberi peran yang penting dalam penelitian ini sebagai bahan hukum sekunder yang dipakai penulis dalam melakukan penelitian yang lebih mendalam terkait dengan kekuasaan Presiden.
3.
Sistem Presidensial & Sosok Presiden Ideal yang ditulis oleh Maswadi Rauf, Firman Noor, Syamsudin Haris, J. Kristiadi, Andrinof A. Chaniago, Ade Armando, I. Hendrasmo, Lili Romli, Ramlan Surbakti, Kacung Marijan, dan di sunting oleh Moch. Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar pada tahun 2009 di Yogyakarta. Buku ini merupakan kumpulan dari makalah yang telah diseminarkan dalam seminar nasional Asosiasi Ilmu Politik Indonesia di Banjarmasin pada 15-16 April 2008. Buku ini terdiri dari empat bagian; (1) telaah sistem pemerintahan presidensial di Indonesia, (2) sosok Presiden ideal, (3) format kampanye pemilihan Presiden, dan yang terakhir (4) peta
15
politik, perilaku pemilih dan pengalaman pemilihan Presiden pada tahun 2004. Buku ini tidak menitik beratkan pembahasannya pada kekuasaan Presiden, akan tetapi buku ini memberikan pula pengayaan wacana terkait dengan hubungan Presiden dengan cabang kekuasaan lainnya dan memberikan berikan sudut pandang baru untuk tidak melakukan pendekatan dengan pendekatan hukum semata dengan tidak mengindahkan variabel-variabel lain dalam melakukan penelitian, semisal pengetahuan politik. 4.
Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju yang ditulis oleh Abdul Ghoffar dan diterbitkan oleh penerbit Kencana pada tahun 2009 di Jakarta. Buku ini merupakan hasil penelitian untuk meraih gelar magister pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Fokus buku ini yaitu melihat kekuasaan Presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945 dan membandingkannya dengan delapan negara yakni Amerika Serikat, Republik Afrika Selatan, Jerman, Rusia, Jepang, Republik Rakyat Cina, Kuait dan Australia. Walaupun buku ini melihat pula kekuasan Presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945, namun pendekatan dalam buku ini hanya sebatas pendekatan peraturan perundang-undangan semata. Hal ini terlihat pada metode penelitian yang dipakai dimana dalam buku yang dituliskan oleh Abdul Ghoffar adalah melalui pendekatan hukum sedangkan dalam penelitian ini tidak semata-mata hanya dengan melekatkan pada
16
pendekatan
hukum,
mengingat
pembahasan
terkait
dengan
kekuasaan Presiden berada pada tapal batas antara hukum dan pengetahuan politik. Selain itu, “pisau” analisis yang dipakai buku ini untuk menganalisis kekuasaan Presiden berbeda jauh dengan penelitian ini. Abdul Ghoffar memetakan sepuluh kekuasaan Presiden (halaman 96-120) setelah perubahan UUD Tahun 1945 sebagaimana yang tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945. Sepuluh kekuasaan Presiden tersebut yaitu; (1) kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, (2) kekuasaan di bidang peraturan perundangundangan, (3) kekuasaan di bidang yudisial, (4) kekuasaan dalam hubungan luar negeri, (5) kekuasaan menyatakan keadaan bahaya, (6) kekuasaan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, (7) kekuasaan memberi gelar dan tanda kehormatan lainnya, (8) kekuasaan pertimbangan
presiden,
Presiden dalam membentuk (9)
kekuasaan
mengangkat
dewan dan
memberhentikan Menteri-menteri, dan (10) kekuasaan mengangkat, menetapkan atau meresmikan pejabat-pejabat negara lainnya. Pendekatan yang dipakai oleh Abdul Ghoffar dengan memetakan kekuasaan Presiden sesungguhnya telah banyak dipakai oleh para pendahulu yang memfokuskan penelitian pada kekuasaan Presiden, seperti misalnya, Ismail Suny, Bagir Manan, dan Jimly Asshidiqie. 5.
Presidensialisme Setengah Hati; Dari Dilema ke Kompromi yang ditulis oleh Hanta Yuda AR dan diterbitkan oleh Gramedia tahun
17
2010 di Jakarta. Buku ini merupakan penelitian untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada strata satu (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Kekuasaan Presiden dalam Perpaduan Sistem Presidensial dan Multipartai; Telaah Kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono”. Fokus penelitian dalam buku ini lebih menekankan kajian terhadap sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia setelah perubahan UUD Tahun 1945 dimana telah terjadi purifikasi sistem pemerintahan presidensial dengan mengkombinasikannya pada sistem kepartaian yang dianut oleh Indonesia yakni multipartai. Dua hal yang menjadi titik fokus penting dalam penelitian yang dilakukan Hanta Yuda yaitu melihat kekuasaan Presiden Republik Indonesia yang seharusnya kuat dikarenakan setelah perubahan UUD terjadi purifikasi sistem persidensial, namun direduksi oleh faktor eksternal (Partai Politik, DPR) maupun faktor internal (Wakil Presiden, Menteri) akibatnya Presiden Republik Indonesia harus melakukan kompromi-kompromi
politik
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan. 6.
Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia yang ditulis oleh Jimly Asshidiqie dan diterbitkan oleh penerbit Sinar Grafika pada tahun 2011 cetakan kedua di Jakarta, memang tidak secara spesifik membahas kekuasaan Presiden namun tema terkait dalam buku ini yaitu berada pada sub-bab yang berjudul “Kekuasaan Pemerintahan
18
Negara” pada halaman 163-191. Secara singkat dan komprehensif Jimly Asshidiqie memaparkan; peristilahan kepemimpinan negara, kepala pemerintahan, sistem pemerintahan, Presiden dan Wakil Presiden, syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan Presiden, kewenangan Presiden, hubungan Presiden dengan parlemen, dan lembaga eksekutif yang bersifat independen. Berkaitan dengan kekuasaan Presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945 Jimly Asshidiqie merumuskan lima kekuasaan Presiden yaitu; kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudisial, kekuasaan diplomatik, dan kekuasaan administratif. Sesungguhnya, buku yang ditulis oleh Jimly Asshidiqie merupakan salah satu literatur yang menjadi bahan hukum penulis dalam melakukan kajian, namun penulis tidak hendak mengikuti pola pendekatan sebagaimana yang dirumuskan Jimly Asshidiqie terkait dengan kekuasaan Presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945.