BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada zaman dahulu, orang Indonesia hanya mengenal cara mencuci tekstil atau produk tekstil secara sederhana, yaitu dengan menggunakan air serta lerak. Metode pencucian tersebut berlangsung selama sabun cuci, blau atau kanji belum ditemukan. Seiring dengan perkembangan industri tekstil yang sesuai dengan tingkat kebutuhan manusia akan bahan pakaian, maka cara perawatan pakaian yang sederhana tadi dirasa tidak lagi cukup memuaskan. Penemuan metode dry cleaning dirasa mampu untuk memenuhi kebutuhan perawatan pakaian, seperti mencuci jenis tekstil atau produk tekstil berasal dari serat benang wool, sutera, kulit hewan, polyamida (nilon) dan atau campurannya (Budhi, 2012). Dry cleaning adalah cara pencucian tekstil atau produk tekstil dengan mempergunakan minyak khusus jenis natural petroleum solvent ataupun synthetic petroleum solvent. Dry cleaning digunakan untuk mencuci dan membersihkan bahan-bahan tenunan yang alami ataupun sintesis, seperti bahan-bahan yang terbuat dari bulu, barang-barang kulit, dan lain-lain. Pada awalnya, dry cleaning menggunakan pelarut yang mudah terbakar atau meledak seperti terpentin, bensin atau benzena. Seiring berkembangnya zaman, ditemukan beberapa pelarut yang tidak mudah terbakar, seperti karbon tetraklorida, tricloroethylene, dan fluorocarbon yang diperkenalkan sejak tahun 1900. Pencarian pelarut yang aman terus dilakukan, hingga ditemukan sebuah pelarut berupa tetrachloroethylene atau perchloroethylene (PCE) yang diperkenalkan pada tahun 1940, dan sampai 1
sekarang tetap menjadi pelarut utama yang digunakan untuk dry cleaning (Linn, 2002). Bahan pelarut PCE mempunyai daya pembersihan yang sangat baik, cenderung stabil, tidak mudah terbakar, serta lembut untuk semua bahan (HSIA 1999 sit. Newcombe 2002). Paparan PCE dapat masuk ke dalam tubuh melalui tiga cara, yaitu inhalasi, ingesti, atau kontak langsung dengan kulit (Foxall, 2008). Selama melakukan proses dry cleaning, inhalasi uap PCE berpotensi mengakibatkan bahaya kesehatan. Inhalasi merupakan jalur paparan yang paling berpengaruh untuk pekerja yang berhubungan dengan bahan kimia (Rubin dan Reisner., 2014). Menurut
Pisaraei
(2009)
paparan
PCE
melalui
inhalasi
dapat
menyebabkan depresi sistem saraf pusat. Gejala yang ditimbulkan bervariasi termasuk ketidaksadaran, pusing, sakit kepala, kantuk, adanya gangguan visual, iritasi pada hidung dan tenggorokan, serta keluhan pencernaan seperti mual dan muntah. Selain efek langsung terhadap tubuh, terdapat juga efek psiko-fisiologis diantaranya kelelahan, anoreksia, mudah cepat marah, adanya gangguan memori, dan kebingungan. Kontak langsung PCE cair dengan kulit dapat menyebabkan eritema, luka bakar dan vesikulasi. Studi kasus yang dilakukan oleh Shen dkk. (2011) menunjukkan meningkatnya sel nekrosis hepar pada pekerja dry cleaning yang terpapar PCE. Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, faring, laring, trakea, dan paru. Partikel udara yang masuk melalui inhalasi pada rongga hidung, kemudian melewati faring yang menghubungkan rongga hidung dengan rongga mulut. Pada faring terdapat epiglottis yang berfungsi sebagai katup untuk mencegah makanan
2
masuk ke dalam saluran pernafasan saat menelan makanan. Epiglottis akan tetap terbuka ketika bernafas, sehingga partikel udara bebas menempati ruang, sehingga juga dapat menempati ruang di rongga mulut (Sircar, 2008). Rongga mulut manusia mempunyai mekanisme pertahanan berupa sel-sel bukal yang berfungsi sebagai barier pertama terhadap partikel-partikel yang masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi atau proses penelanan. Hal ini menyebabkan rongga mulut lebih rentan terhadap substansi yang bersifat toksik sehingga dapat mengalami perubahan patologis (Morton dan Richard, 1995). Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat adanya kerusakan setelah paparan stimulus eksogen, seperti iskemia dan bahan kimia yang dapat menyebabkan perubahan morfologis pada sel (Kumar dkk., 2013). Nekrosis ditandai oleh perubahan permanen yang terjadi pada inti sel. Sel yang mengalami nekrosis akibat paparan bahan kimia berbahaya, tampak lebih berkilau karena kehilangan glikogen, mengalami vakuolisasi dan membran sel mengalami fragmentasi (Mitchell dkk., 2008). Tiga tahapan perubahan yang terjadi pada inti sel yang akan mengalami nekrosis diantaranya piknosis, karioreksis dan kariolisis. Piknosis ditandai dengan pengerutan inti sel menjadi kecil dan padat, diikuti dengan pecahnya inti sel menjadi fragmen-fragmen tidak beraturan yang terjadi pada tahap karioreksis dan kariolisis yang ditandai dengan hilangnya inti sel (Majno dan Joris, 1995). Pada tahap piknosis akan terjadi penggumpalan DNA menjadi massa yang solid (Robbins dan Kumar, 1995). Menurut Angelieri dkk. (2010) pengamatan inti sel berupa piknosis, kariolisis dan karioreksis dapat dijadikan pemantauan mengenai
3
efek sitotoksik. Pemantauan efek genotoksik, sitotoksik, indikasi paparan bahan kimia dan respon toksik dapat dilakukan dengan teknik eksfoliasi sel epitel bukal (Celik dkk., 2003).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut timbul suatu permasalahan sebagai berikut: Bagaimana frekuensi piknosis sel epitel mukosa bukal pada pekerja dry cleaning di Yogyakarta akibat paparan perchloroethylene?
C. Keaslian Penelitian Penelitian Shen dkk. (2011) menunjukkan meningkatnya sel nekrosis hepar pada pekerja dry cleaning yang terpapar PCE. Everat dkk. (2013) dalam hasil penelitiannya pada pekerja dry cleaning yang terpapar PCE, menunjukkan terjadinya peningkatan kerusakan DNA dan penyimpangan kromosom. Penelitian frekuensi piknosis epitel sel bukal rongga mulut pada pekerja dry cleaning yang menggunakan PCE di Yogyakarta sejauh penulis ketahui
belum pernah
dilakukan.
D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi piknosis sel epitel mukosa bukal pada pekerja dry cleaning di Yogyakarta akibat paparan perchloroethylene.
4
E. Manfaat Penelitian 1.
Memberikan informasi ilmiah mengenai efek paparan perchloroethylene terhadap perubahan sitogenetik sel epitel rongga mulut.
2.
Menjadi bekal pembelajaran bagi dokter gigi untuk mendeteksi secara dini penyakit rongga mulut berdasarkan analisis frekuensi piknosis pada sel epitel bukal rongga mulut.
5