1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ketergantungan manusia terhadap tanah sudah berlangsung lama yakni sejak manusia memulai pola hidup bertani dan memanfaatkan tanah di sekitarnya baik sejak hidup berpindah-pindah atau menetap. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia yang semakin bertambah maka diperlukan tanah baik untuk pertanian maupun untuk permukiman guna mencukupi kebutuhan hidup. Kenyataan tersebut membuktikan sangat tingginya ketergantungan manusia terhadap tanah, dimana sebagai kebutuhan yang sangat esensial di atas tanah tersebut manusia hidup dan sekaligus untuk mempertahankan hidup. Pesatnya pertambahan penduduk dan peningkatan pembangunan fisik yang sedang dilaksanakan mengakibatkan permasalahan tanah pun semakin meningkat dan bertambah kompleks. Tidak berlebihan jika disebutkan bahwa masalah pertanahan yang terjadi di wilayah antara kota dan kabupaten merupakan suatu perspektif yang harus dihadapi. Keadaan tersebut disebabkan bahwa kota sebagai suatu unit memiliki ruang hidup yang terbatas dan mempunyai penduduk yang lebih padat, sehingga gerakan penduduk untuk mencari tanah cenderung diarahkan pada areal yang terletak dipinggiran kawasan kota. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya konflik dan benturan kepentingan yang tidak dapat dihindarkan antara berbagai kepentingan yang membutuhkan tanah. 1
Universitas Sumatera Utara
2
Tanah
mempunyai
kedudukan
yang
amat
penting dalam
kegiatan
pembangunan yang ditujukan bagi kesejahteraan umum. Berkenaan dengan konsep tersebut,
pembangunan
harus
dicapai
dengan
menitikberatkan
pelaksanaan
penguasaan tanah yang mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat. Hal ini terutama karena alasan bahwa Hukum Agraria Nasional yang dikenal hari ini pada hakekatnya telah lahir, sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria tanggal 24 September 1960 dalam Lembaran Negara nomor 104 tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) untuk menunjang tujuan tersebut.1 Adalah suatu hal yang sia-sia jika suatu produk hukum diciptakan namun tidak dilaksanakan dengan baik. Apalagi produk hukum tersebut secara substantif merupakan cerminan kebutuhan masyarakat atau rakyat Indonesia secara keseluruhan. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 2 dan Pasal 2 ayat (2) UUPA 3 mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan pengaturan dan pemanfaatan atas tanah. Mengenai pengaturan maksudnya terlaksananya kepastian hukum, kepastian kepemilikan atas tanah. Tegasnya secara juridis, pemerintah bertanggung-jawab untuk melaksanakan pendaftaran tanah sesuai ketentuan Pasal 19 UUPA mengenai pendaftaran tanah.
1
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Penerbit C.V. Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 20. 2 Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan: “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kmakmuran rakyat. “ 3 Pasal 2 Ayat (2) UUPA antara lain menyatakan tentang kewenangan pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah.
Universitas Sumatera Utara
3
Pendaftaran tersebut akan menegaskan siapa yang memiliki hak atas tanah. Siapa subjek hukum yang akan diminta bertanggungjawab untuk memanfaatkan tanah sesuai tujuan pembangunan. Menggunakan tanah sesuai peruntukannya. Kemudian, tanah yang tidak berpemilik selayaknya dimanfaatkan pula untuk menunjang kesejahteraan tersebut. Jadi tidak dibiarkan begitu saja. Sehingga apa yang diatur oleh ketentuan Pasal 6, 7, 10, 11 dan Pasal 6 UUPA benar-benar terlaksana.4 Dengan pelaksanaan pasal-pasal UUPA tersebut di atas berarti pula penguasaan tanah secara konsisten menyokong tercapainya pembangunan yang berkemakmuran dan berkeadilan. Karena dengan adanya penguasaan tanah dalam konteks kepemilikan yang tertib dan pasti dengan sendirinya tercapai penguasaan tanah dalam konteks pemanfaatan. Terutama bila hal ini dititikberatkan pada proses pertanggungjawaban. Tercapainya kedua bentuk penguasaan sedemikianlah yang dimaksud menjadi bagian penting dari tujuan UUPA dalam rangka pencapaian pembangunan tersebut. Untuk itu masalah penguasaan tanah membutuhkan penanganan yang amat serius, yang harus dikendalikan dan diawasi secara efektif demi tercapai tujuan tersebut, karena sampai pada masa sekarang konflik penguasaan tanah masih terus
4
Pasal 6 UUPA berbunyi : semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pasal 7 UUPA berbunyi Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 10 UUPA berbunyi : 1). Setiap orang dan Badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan. 2). Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat 1 pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. 3). Pengecualian pada ayat 1 Pasal ini diatur dalam peraturan perundangan. Pasal 11 UUPA berbunyi: 1). Hubungan hukum antara orang, termasuk dalam hukum, dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapainya tujuan yang disebut dalam Pasal 2 Ayat 3 dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. 2). Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum dan golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap golongan yang ekonomis lemah.
Universitas Sumatera Utara
4
berlangsung, seperti halnya konflik kepemilikan di areal tanah
garapan
masyarakat. Penggarapan tanah oleh masyarakat di Indonesia diawali dengan penggarapan tanah areal perkebunan yang sejak Perang Dunia ke II sudah terjadi, sebagai akibat dari pada usaha pemerintah bala tentara Jepang untuk menambah hasil bahan pangan. Kemudian keadaan tersebut juga diakibatkan dari perjuangan kemerdekaan yang antara lain karena adanya blokade musuh yang telah menimbulkan keadaan darurat dalam hal persediaan bahan pangan, menyebabkan banyak sekali rakyat yang memakai tanah-tanah perkebunan. Dengan demikian sejak saat itu penggarapan atas tanah khususnya areal perkebunan semakin berkembang. Pada awal tahun 1948, pada masa pendudukan Belanda dikeluarkan “ordonantie onrechtsmatige occupatie van gorden” (Stb. 1948 -110). Penerbitan ordonantie ini dimaksudkan agar penggarap-penggarap tanah perkebunan dapat segera meninggalkan tanah garapannya, setidaknya membatasi rakyat mengadakan penggarapan baru. Namun, demikian menurut kenyataan
kegiatan-kegiatan
penggarapan di atas tanah justru terus berkembang. Kondisi tersebut semakin diperparah saat terjadinya kerawanan pangan sebagai dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak awal tahun 1997. Era reformasi yang bergulir menjadi momentum perjuangan rakyat untuk menguasai areal-areal perkebunan terutama areal yang sedang kosong dan tidak ditanami oleh pihak perkebunan, karena sedang penanaman kembali (replanting). Hal tersebut dapat dilihat dari tuntutan masyarakat di Sumatera Utara, pada 5 (lima) Desa yaitu: Desa
Universitas Sumatera Utara
5
Muliyorejo, Desa Paya Bakung, Desa Helvetia, Desa Tunggu Rono dan Desa Kelambir V. Keadaan itu ditambah lagi dengan adanya kebijakan Pemerintah untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk ditanami masyarakat dengan tanaman palawija dan telah diartikan salah oleh masyarakat dengan memperluas lahan garapannya serta menganggap kebijakan tersebut sebagai legalisasi untuk menguasai areal perkebunan.5 Selain faktor yang dikemukakan di atas, ternyata permasalahan penguasaan rakyat atas areal perkebunan semakin diperparah dengan adanya penerbitan suratsurat kepemilikan atas tanah oleh aparat pemerintah di daerah kepada masyarakat. Padahal areal perkebunan tersebut secara nyata dan sah dikuasai oleh perusahaan dengan Hak Guna Usaha. Kecuali Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh Kepala Desa dan Camat setempat di atas areal tersebut juga kadang-kadang ada yang diterbitkan sertifikat Hak Milik atas nama masyarakat. Selanjutnya menurut Noer Fauzi, sengketa agraria yang terjadi pada masa orde baru dapat dibedakan menjadi empat kategori: Pertama, perusahaan perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Investasi perkebunan membutuhkan tanah sebagai modal utamanya. Fakta menunjukkan bahwa tanah-tanah di Jawa, kecuali lahan hutan, hampir tidak ada lahan kosong yang terlantar. Tanah-tanah eks perkebunan Belanda (hak erpacht) maupun tanah-tanah negara tidak ada yang tersisa. Masalah-masalah utama yang muncul, antara lain
5
Dayat Limbong, Konflik Pertanahan di Areal Perkebunan, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
6
adalah; (i) penolakan petani atas pencabutan hubungannya dengan tanah; (ii) ganti rugi untuk petani yang tidak memadai; (iii) ploretarisasi petani karena hilangnya hubungan dengan tanah; (iv) pemukiman kembali (resetlement) petani yang tergusur dari tanahnya.6 Kedua, konflik tanah akibat eksploitasi hutan. Pemerintah memberikan keleluasaan kepada swasta dan atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengeksploitasi hutan seraya meminggirkan masyarakat sekitarnya. Atas dasar peta hutan yang berlaku di akhir kekuasaan kolonial Belanda, pemerintah membuat batasbatas hutan dan pemukiman dari tanah penduduk setempat. Dalam kasus sengketa tanah berbasis hutan, masalah utama yang sering muncul adalah; (i) penolakan petani untuk keluar dari tanah yang diklaim; (ii) kehancuran sumber daya subsistensi masyarakat adat; (iii) penyediaan sumber ekonomi dan pemukiman alternatif yang memadai; (iv) kemunduran kualitas ekologis di tingkat lokal hingga global.7 Ketiga, pengambilalihan
terdapat
sejumlah
(penggusuran)
kasus
tanah
di
untuk
mana
pemerintah
program
melakukan
pembangunan,
baik
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, real estate, mall, tempat wisata dan lain-lain membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Dalam hal ini, beberapa masalah yang mengemuka adalah; (i) penolakan penduduk untuk menyerahkan tanah garapannya; (ii) ganti rugi yang
6
Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Nasiona, Insist Press dan KPA, Yogyakarta, 1999, hal. 199. 7 Ibid., hal. 201-202.
Universitas Sumatera Utara
7
tidak layak dibanding dengan harga tanah di pasar umum; (iii) pemukiman kembali penduduk (resetlement) yang tidak memadai dan alternatif usaha ekonomi.8 Keempat, sengketa tanah yang melibatkan antar warga. Meskipun jenis sengketa yang demikian tidak berdimensi luas, namun bila pihak yang bersengketa cukup banyak dapat menjadi persoalan tersendiri. Masalah-masalah krusial yang mengikuti jenis sengketa ini antara lain (i) menempati lahan tanpa hak; (ii) sengketa wakaf dan lain-lain.9 Karakteristik sengketa konflik agraria terus berubah. Apa yang terjadi sesungguhnya bukan sekedar kelangkaan sumber daya alam saja, tetapi terutama adalah ekspansi modal besar-besaran yang difasilitasi hukum dan kebijakan pemerintah. Kenyataan ini membantah asumsi mazhab klasik yang mengabaikan bagaimana modal bekerja dan merusak hubungan sosial masyarakat yang lama.10 Penyebab sengketa agraria, menurut cara pandang Adam Smitt dan Ricardo, adalah karena kepadatan penduduk di atas tanah yang paling subur terus meningkat, dan organisasi sosial ekonomi tidak disesuaikan dengan tuntutan peningkatan kepadatan penduduk tadi.11 Dengan demikian, menurut Simon, faktor konflik agraria di Indonesia disebabkan beberapa hal: 12
8
Ibid., hal. 200 Ibid., hal. 202. 10 Ibid., hal. 2. 11 Lihat, Sumitro Djojoadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Buku I, Yayasan Obor, Jakarta, 1991, hal. 40-49. 12 Simon, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro, “Gejala Konflik Pertanahan di Indonesia”, Budi Darma, No.45 Juni 1994. 9
Universitas Sumatera Utara
8
1. Proses ekspansi dan perluasan skala akumulasi modal (domestik maupun internasional) dalam bentuk investasi. Sebagai bagian dari pembangunan ekonomi, pemerintah umumnya memfasilitasi kehadiran investor untuk menanamkan modalnya dengan berbagai fasilitas kemudahan dan kepastian hukum. Di sisi lain, pemerintah cenderung melupakan nasib rakyatnya yang juga membutuhkan tanah untuk kehidupannya. 2. Watak otoritarianisme pemerintah yang sering menggunakan pendekatan represif dalam menyelesaikan sengketa tanah. Umumnya pemerintah lebih melindungi kepentingan pengusaha atau investor, dari pada rakyat. 3. Berubahnya strategi dan orientasi pengembangan sumber-sumber agraria dari populis (Orde Lama) menjadi kapitalistik (Orde Baru). Pengintegrasian Indonesia sebagai bagian dan komunitas kapitalisme Internasional (pasar bebas) akan mengarah pada pemenuhan tuntutan-tuntutan Internasional seraya mengenyampingkan kepentingan masyarakat lokal. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan Land Acquisition Program (LAP) dari World Bank yang pada intinya bertujuan agar semua tanah di indonesia memiliki kejelasan hak dan kepemilikan yang kemudian akan memudahkan pemindahtanganan sehingga mempermudah terciptanya pasar tanah (land market) Peraturan hukum mengenai pencabutan, pembebasan, atau pelepasan hak-hak atas tanah untuk keperluan pemerintah maupun swasta dalam praktiknya belum berjalan sesuai dengan isi dan jiwa dan ketentuan-ketentuannya sehingga pada satu pihak timbul kesan seakan-akan hak dan kepentingan rakyat pemilik tanah tidak mendapat perlindungan hukum. Adapun pemerintah atau pihak yang memerlukan tanah juga mengalami kesulitan-kesulitan dalam memperoleh tanah untuk membangun proyeknya. Secara faktual pelaksanaan pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum bernuansa konflik, baik dari sudut peraturan dan paradigma hukum yang berbeda antara masyarakat dengan penguasa/ pemerintah, serta penerapan hukum dari para hakim yang sangat bernuansa paham
Universitas Sumatera Utara
9
positivis yang mengabaikan kaidah-kaidah sosial lainnya dan hukum yang hidup (living law) serta moral dalam masyarakat.13 Konflik atas tanah mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan alam lainnya atau sekedar untuk survive (subsistem) sebagai tempat tinggal atau tanah pertanian. Bagi petani, nelayan, masyarakat adat atau kaum miskin kota, penguasaan, atas tanah adalah syarat keselamatan dan keberlanjutan hidup.14 Pemerintah sigap mengamankan. dan memfasilitasi kehadiran investor dengan berbagai instrumen hukum. Sedang orang-orang miskin berjuang sendirian baik untuk mendapat sepetak tanah maupun saat mempertahankan haknya. Perlindungan dan keberpihakan hukum dan politik secara nyata diberikan sepenuhnya kepada investor. Sementara rakyat kecil tidak berdaya menghadapi alat berat dan ratusan aparat yang siapa mendukung kebijakan pemerintah.15 Setiap kali sengketa tanah, umumnya tidak bisa diakhiri dengan win-win solution. Penggusuran, intimidasi atau bahkan pengosongan paksa menjadi ending yang terus berulang. Korbannya selalu rakyat kecil yang memiliki puluhan meter tanah garapan dan harus merelakan bila sewaktu-waktu diambil paksa oleh pemerintah demi kepentingan umum.16
13
Ibid., hal. 47. Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo, Press, Semarang, 2008, hal. 71. 15 Ibid., hal. 71. 16 Ibid., hal. 71. 14
Universitas Sumatera Utara
10
Akibat penyelesaian penggarapan yang dilakukan oleh Pemerintah dianggap oleh kaum penggarap tidak berpihak kepadanya, maka masalah penggarapan berpotensi untuk menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat, yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia, demikian juga halnya yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara. Daerah Sumatera Utara mempunyai permasalahan sangat kompleks dalam masalah penggarapan rakyat atas tanah, karena sebagai daerah perkebunan wilayah ini sangat potensial menimbulkan permasalahan penguasaan atau penggarapan di atas tanah areal perkebunan tersebut. Konflik pertanahan yang tergolong struktural itu melibatkan kelompok masyarakat berhadapan dengan kekuasaan Negara, baik sebagai pelaku maupun penjamin hak dan karenanya sengketa ini atau masalah pertanahan tidak mudah diselesaikan dan bersifat berkepanjangan. Sifat berkepanjangan konflik pertanahan struktural ini disebabkan beberapa faktor, yaitu:17 1. Rumusan UUPA tentang status Hak-hak Adat Masyarakat Adat Lokal yang tidak jelas, sehingga membingungkan. 2. Ketidakpedulian masyarakat terhadap substansi undang-undang, dan lebih mempersoalkan buruknya prilaku dan sistem hukum yang menjadi pedoman aturan main bernegara. 3. Perumusan Undang-Undang yang tidak jelas membuka peluang terjadinya penafsiran sesuai kebutuhan dan kemauan politik penguasa dalam menanggapi persoalan hak masyarakat adat.
17
Iman Jauhari, “Permasalahan Hukum Bidang Pertanahan Di Wilayah Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara”, Slide,Tim Peneliti Legenda Sutra, Medan, tt, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
11
Akar konflik pertanahan struktural yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara sudah sangat meluas dan kasus-kasus yang sudah terjadi banyak menelan korban jiwa dan harta benda pada kasus-kasus tanah perkebunan yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU),18 akibat terjadinya perlawanan masyarakat lokal terhadap pihak-pihak pemegang hak itu karena tidak adanya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal atas tanah dan sumber alam lainnya. Selanjutnya tulisan ini difokuskan pada salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Langkat, karena pada saat ini sedang terjadi dan masih berlangsung konflik pertanahan antara masyarakat dengan pihak pengusaha atau perkebunan, yaitu konflik penguasaaan tanah masyarakat Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit dengan PTPN II Tanjung Keliling yang berawal pada tahun 1942, dimana masyarakat telah menguasai lahan seluas kurang lebih 98 hektar, kemudian pada tahun 1951 lahan yang seluas 8 hektar yang merupakan pemukiman penduduk dan lahan pertanian di rampas oleh Pihak perkebunan, lahan tersebut adalah lahan masyarakat yang bernama Ngadinan dan kawan – kawan dengan alas hak karo Belasting yang pada saat itu dirampas atau diserobot oleh seorang Centeng Kebun yang bernama Kriting atas suruhan dari SAMPE TUAH BANGUN selaku Kepala Distrik. Kemudian pada tahun 1991 lahan kurang lebih 91,2 hektar, yang merupakan lahan pertanian dan persawahan penduduk juga dirampas oleh pihak PTPN-II, lahan 18
Dalam Pasal 28 ayat (1) UUPA disebutkan: Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29 guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
Universitas Sumatera Utara
12
tersebut adalah merupakan lahan dari beberapa warga masyarakat yang antara lain bernama Djuaken Sembiring, Mohamad Sembiring, Bena Sinuraya dan Raja Mentu Meliala serta beberapa warga masyarakat lain, lahan tersebut kemudian ditanami kelapa sawit dan sebagian tanah karet oleh pihak PTPN-II Tanjung Keliling dan dikuasainya hingga sekarang ini. Berdasarkan konflik penguasaaan tanah dalam hal ini tanah garapan antara masyarakat Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit, Kabupaten Langkat dengan PTPN II Tanjung Keliling tersebut di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul ”Analisis Yuridis Terhadap Penyelesaian Konflik Pertanahan di Areal Tanah Garapan (Studi Kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat)”. B. Permasalahan Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah: 1.
Apakah faktor penyebab timbulnya konflik pertanahan pada masyarakat di Kabupaten Langkat?
2.
Bagaimana pelaksanaan penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan Kabupaten Langkat?
3.
Apakah hambatan – hambatan dalam penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan Kabupaten Langkat?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
13
1.
Untuk menjelaskan faktor penyebab timbulnya konflik pertanahan pada masyarakat di Kabupaten Langkat.
2.
Untuk menjelaskan pelaksanaan penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan Kabupaten Langkat.
3.
Untuk menjelaskan hambatan – hambatan dalam penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan Kabupaten Langkat.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis, yaitu: 1.
Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum terutama hukum pertanahan.
2.
Secara praktis, dari hasil penelitian ini adalah sebagai masukan bahan pertimbangan dalam menyelenggarakan kebijakan pertanahan bagi aparat pemerintahan yang terkait, khususnya dalam hal konflik di areal tanah garapan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah dilakukan di perpustakaan Ilmu Magister Hukum maupun pada perpustakaan Magister Kenotariatan di lingkungan Universitas Sumetara Utara (USU) Medan sejauh yang diketahui tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini. Adapun judul penelitian yang ada kaitannya dengan masalah perjanjian adalah sebagai berikut : 1.
Tesis atas nama, Amran Simbolon, NIM : 067011018, dengan judul “Analisis Yuridis Mengenai Faktor Tidak Didaftarkannya Perubahan Data Fisik dan Data
Universitas Sumatera Utara
14
Yuridis Tanah Oleh Masyarakat di Kecamatan Medan Timur Pada Kantor Pertanahan Kota Medan”. 2.
Tesis atas nama, Sriyono, NIM : B4B005227/Mkn Undip, dengan judul “Peran Kantor Pertanahan dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kab. Karanganyar”. Substansi permasalahan yang dibahas didalam kedua penelitian tersebut di
atas adalah berbeda pembahasannya dengan pembahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli adanya. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,19 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.20 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.21 Setidaknya ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk melihat fakta sosial konflik agraria dan resolusinya, diantaranya: Pertama, teori konsensus (salah satunya adalah fungsionalisme struktural) yang memandang norma dan nilai sebagai landasan masyarakat, memusatkan perhatian kepada keteraturan sosial (tertib hukum)
19
J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 20 Ibid., hal. 16. 21 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
15
berdasarkan kesepakatan diam-diam dan memandang perubahan terjadi secara lambat dan teratur. Kedua, teori konflik memandang masyarakat berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan pertentangan terus menerus antar kelompok. Teori konflik melihat tertib hukum didasarkan atas manipulasi dan kontrol dari kelompok dominan kepada kelompok dibawahnya.22 Kedua teori ini bertentangan secara diametral, karena teori yang terakhir dibangun untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural. Oleh karena itu, kedua teori itu dapat dipakai sekaligus untuk melihat masyarakat. Teori konsensus akan menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasaan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan itu. Dahrendorf, mengakui bahwa masyarakat takkan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain.23 Teori fungsionalisme struktural menekankan pada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat dapat berperan dalam menjaga stabilitas. Fungsionalis cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai dan moral.24
22 Goerge Rizer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, edisi VI, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 116. 23 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, penyunting Ali Mandan, Rajawali, Jakarta, hal. 25. 24 Ibid., hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
16
Oleh karena itu kedua teori di atas, akan digunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini, yang membahas tentang analisis yuridis terhadap penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan (studi di Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat). Menurut Parsons, persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem sosial adalah internalisasi dan sosialisasi. Dalam proses sosialisasi yang berhasil, norma dan nilai itu ‘dimasukkan’ (intenalized) dan menjadi bagian dari ‘kesadaran” aktor.25 Dengan kata lain, agar tercapai tertib hukum di masyarakat dibutuhkan
internalisasi
dan
sosialisasi
hukum,
norma
atau
nilai
secara
berkesinambungan dan berkeseimbangan. Penyelesaian sengketa tanah (atau sengketa perdata pada umumnya) dimungkinkan untuk menggunakan dua macam cara penyelesaian tersebut. Meskipun UUPA sama sekali tidak menyebut bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa tanah. Ada beberapa alasan mengapa penyelesaian alternatif sengketa tanah perlu dikedepankan:26 1. Ketidakpuasan terhadap peran pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah yang terlalu formal, lama, mahal dan tidak berkeadilan; 2. Perlu tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang lebih flesksibel dan responsif bagi kebutuhan para pihak yang sedang bersengketa; 3. Mendorong masyarakat untuk ikut menyelesaikan sengketa tanah secara partisipatif; keempat, memperluas akses untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
25 26
Goerge Rizer dan Douglas J. Goodman, op. cit., hal. 125. Abu Rohmad, Op. Cit., hal. 118-119.
Universitas Sumatera Utara
17
Oleh karena tanah merupakan persoalan yang unik dan kompleks, maka mekanisme penyelesaian sengketanya tidak hanya berdasar logika hukum semata. Logika keadilan sosial dan kemaslahatan bersama juga perlu disejajarkan bersama untuk memperoleh penyelesaian yang substantif. Menurut Satjipto Rahardjo, tidak ada standar tipe penegakan hukum yang absolut, yang ada merupakan semacam standar struktur penegakan hukum modern. Oleh karena itu, dimungkinkan modifikasi tipe-tipe penegakan hukum menurut karakteristik bangsa tertentu.27 Meminjam logika penegakan hukum di atas, karakteristik penyelesaian sengketa tanah yang progresif adalah melampaui batas prosedur hukum (tidak anarkis dan tetap dalam batas-batas hukum), cerdas dan bermakna, berkeadilan sosial dan bertumpu pada masyarakat yang otonom.28 Situasi konflik, menurut Paul Conn, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (non zero-sum conflict). Meskipun Conn berbicara pada konteks politik, namun terdapat substansi yang dapat ditarik ke dalam skala konflik hukum juga atau konflik pada umumnya. Konflik menang-kalah adalah situasi konflik yang bersifat antagonistik, tak mungkin diadakan kerja sama, dan hasil dari konflik hanya akan dinikmati oleh pemenang saja. Penyelesaian zero-sum conflict akan diselesaikan lewat pengadilan dengan instrumen utamanya hukum dan perundang-undangan (adjudikatif). Sebagaimana ungkapan Nader, cara give a little, get a little akan digantikan dengan cara yang lebih adil
27 28
Satjipto Rahardjo, dalam Ibid., hal. 119. Ibid., hal. 119.
Universitas Sumatera Utara
18
menurut bunyi kaidah hukum negara yang positivis, yaitu yang berhak (menurut hukum yang berlaku) akan memperoleh semua obyek tuntutannya: the winner will take all.29 Konflik yang kedua (non zero-sum conflict) adalah konflik di mana kedua belah pihak atau lebih masih mungkin bertemu, berdialog, mengadakan kompromikompromi dan saling kerjasama untuk berbagi hal yang sedang diperebutkan. Penyelesaian yang demikian bukan berarti bila ada pihak-pihak yang tanpa dasar jelas mengklaim hak milik orang lain, lalu sekonyong-konyong pemilik yang sah berbagi dengan mereka karena adanya tuntutan itu. Penyelesaian yang demikian tentu bersifat anarkis, bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum pada umumnya dan tentu tidak berkeadilan. Dalam penyelesain alternatif sengketa, dasar-dasar tuntutan harus tetap berdasar hukum dan tidak asal menuntut.30 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 10 disebutkan, ”alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”. Ketentuan itu diperkuat dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa “sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian
29 30
Ibid., hal. 121-122 Ibid., hal. 122.
Universitas Sumatera Utara
19
secara litigasi di Pengadilan Negeri.” Namun, tidak ditemukan penjelasan rinci apa yang dimaksud dengan konsultasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli, kecuali penjelasan mengenai arbitrase. Tidak ada bentuk yang seragam bagaimana konflik harus diselesaikan. Pada setiap budaya masyarakat memiliki metode, cara-cara dan mekanisme tersendiri dalam memecahkan konflik yang mereka hadapi. Meski tidak semua konflik dapat diselesaikan secara non-litigasi, namun pendekatan ini merupakan cara lain yang dapat dipilih oleh masyarakat yang sedang bersengketa. Landasan berpikirnya terletak pada asumsi bahwa masyarakat lebih suka hidup damai daripada bersengketa. Jika terpaksa bersengketa, cara-cara musyawarah mufakat lebih didahulukan dari pada berpekara di pengadilan. Setiap masyarakat memiliki kearifan (local wisdom) sebagai cara untuk mengatasi sengketa di antara mereka. Cara-cara penyelesaian alternatif lebih menggunakan teknik bagaimana meyakinkan, mendidik atau memberdayakan potensi yang dimiliki masyarakat. Oleh karena itu, cara non-litigasi menjanjikan win-win solution, tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Di samping itu, cara ini sangat dipengaruhi oleh kenyataan adanya kekecewaan terhadap peradilan yang tidak efisien, mahal dan terlalu lama. Banyak perkara yang menumpuk di pengadilan karena terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki.
Universitas Sumatera Utara
20
Menurut Mas Ahmad Santoso, tipologi penanganan konflik menjadi beberapa kategori, yaitu:31 1. Penghindaran konflik (conflictavoidance) yaitu jika pihak-pihak yang berkonflik berusaha saling menghindar untuk berinteraksi dalam mencari solusi penyelesaian; 2. Pencegahan konflik (conflict prevention) yakni upaya yang dilakukan untuk mencegah konflik sebelum terjadinya kondisi yang negatif dan destruktif; 3. Pengelolaan konflik (conflict management) adalah upaya untuk menangani konflik dengan memfokuskan pada penanggulangan dampak negatif sebagai akibat dan konflik tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan konflik memfokuskan pada causa bella (dampak yang muncul) dan bukan causa prima (penyebab terjadinya konflik); 4. Resolusi konflik (conflict resolution) adalah upaya menyelesaikan konflik baik secara langsung (negosiasi) maupun melalui mediasi secara komprehensif. Dengan kata lain, kesepakatan yang dibangun bukan hanya berkaitan dengan dampak yang muncul tetapi juga berkaitan dengan sumber permasalahannya; 5. Penyelesaian konflik (conflict settlement) adalah upaya penyelesaian konflik yang memfokuskan pada hasil. Namun demikian hasil dimaksud belum tentu memenuhi kepentingan para pihak, tetapi diterima sebagai kesepakatan karena adanya tekanan dengan menggunakan power; 6. Rekonsiliasi yakni upaya mencari solusi terhadap akar permasalahan dan berusaha memperbaiki hubungan diantara para pihak ke arah yang lebih baik. Konflik pada dasarnya tidak mungkin dihindari dalam masyarakat yang kompleks karena masing-masing harus berjuang untuk tetap hidup (survival of the fittest). Oleh karena itu, diperlukan katub penyelamat (safety value) sebagai mekanisme khusus yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik, membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa mengancurkan seluruh struktur, atau agar tidak terjadi konflik zero sum game di mana keuntungan salah satu pihak berarti kerugian bagi pihak lain.32
31
Mas Ahmad Santoso, Kumpulan Bahan tentang Arbitrase, Dispute Resolution, ICEL, Yakarta, 2000, hal. 20. 32 Lewis A Coser, dalam Ibid., hal.21.
Universitas Sumatera Utara
21
Hukum dan peradilan dapat menjadi katub pengaman bagi pihak-pihak yang sedang berkonflik. Begitu pula dengan cara-cara alternatif penyelesaian konflik dapat memainkan peran sebagai lembaga yang otonom. Pola penyelesaian konflik melalui pengadilan masih menjadi paradigma dominan masyarakat, tetapi pola non pengadilan diharapkan semakin membesar perannya di masa datang kelak. Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seuruh masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan yang demikian mengandung pengertian tidak hanya berusaha mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah, melainkan mengejar keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya. Salah satu segi pembangunan nasional adalah berkaitan dengan kebijaksanaan pertanahan. Masalah pertanahan adalah masalah yang terkait langsung dengan rakyat. Sebab tanah merupakan kebutuhan dasar masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan penanganan serta pengaturan yang ekstra hati-hati dan seksama. Untuk mengarahkan kebijaksanaan pertanahan itu, pada tanggal 24 September 1960 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).33 Pelaksanaan UUPA ini mempunyai arti ideologis yang sangat penting. Sebab, undang-undang ini merupakan penjabaran langsung dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai basis atau landasan kekuatan demokrasi ekonomi yang sedang dikembangkan dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat.
33
Lembaran Negara 1960-104, Tambahan Lembaran Negara 2043.
Universitas Sumatera Utara
22
Untuk merealisasikan cita-cita sebelumnya, dapat melalui prinsip-prinsip yang menjadi keinginan politik dari UUPA ketika diundangkan pada tahun 1960. Prinsip-prinsip itu ialah kesatuan hukum agraria, penghapusan pernyataan dokumen negara, fungsi sosial hak atas tanah, pengakuan hukum agraria nasional berdasarkan hukum adat dan pengakuan hak ulayat, persamaan derajat warga Indonesia, pelaksanaan performa hubungan antara manusia Indonesia di tanah atau bumi air dan ruang angkasa, rencana umum penggunaan persediaan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, prinsip rasionalitas.34 Semua itu bermuara dari demokrasi Pancasila, yang ingin mewujudkan citacita negara hukum yang berkesejahteraan dan berkeadilan dengan dilandasi 3 (tiga) aspek penting, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek politik. Hal ini didasari, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, manusia merupakan insan sosial, insan ekonomi, dan insan politik dalam kaitan itu persoalan tanah juga dilihat dari tiga aspek tersebut.35 Dengan demikian, melaksanakan UUPA secara murni dan konsekuen berarti melaksanakan salah satu kebijaksanaan terpenting dalam demokrasi ekonomi. Sebab, hal tersebut merupakan aktualisasi dari salah satu segi penting dari demokrasi Pancasila. Sudargo Gautama, mengemukakan: 34
A.P. Parlindungan, Dimensi Kerakyatan dalam UUPA Peraturan Pelaksanaan dan Pelaksanaannya Persoalan dan Rekomendasi Kebijaksanaan Tata Ruang Nasional dan Aspek Pertanahan dalam Perspektif Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta, cet. I, 1996, hal. 186-187. 35 Cosmas Batubara dalam C. Djembut Blaang (penyunting), Perumahan dan Permukiman Sebagai Kebutuhan Pokok, Yayasan Obor Indonesia (YOI), Jakarta, 1986, hal. 5..
Universitas Sumatera Utara
23
UUPA dimaksudkan oleh pembuatnya untuk membawa lebih banyak kepastian-kepastian hukum. Hal ini telah ditegaskan berulang-ulang. Antara lain dapat disaksikan pertimbangan dalam konsiderans yang mengemukakan bahwa hukum agraria penjajahan bagi rakyat asli “tidak menjamin kepastian hukum”. Kata-kata ini diulangi lagi dengan lengkap dalam Memori Penjelasan.36 Hak-hak atas tanah, berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai yang ketentuan-ketentuan pokoknya terdapat dalam UUPA serta hak-hak lain dalam hukum adat setempat, yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan kepada pemegang haknya untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya. Hak-hak atas tanah itu pokok-pokok ketentuannya ada dalam Pasal 4, 9, 16 dan BAB II UUPA.37 Dengan diberikannya hak atas tanah tersebut, maka antara orang atau badan hukum itu telah terjalin suatu hubungan hukum. Dengan adanya hubungan hukum itu, dapatlah dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah kepada pihak lain. Untuk hal-hal tersebut umpamanya dapat melakukan perbuatan hukum berupa jual beli, tukar menukar dan lain-lain.38 Yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah, dengan kata lain yang dapat mempunyai hak atas tanah secara penuh dan luas (semua macam hak) adalah Warga Negara Indonesia (WNI), baik laki-laki maupun perempuan, yakni
36
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Alumni, 1989,
hal. 13. 37
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Universitas Trisakti, 2002, hal. 41. 38 K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
24
untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Sedangkan yang bukan WNI atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia sangat dibatasi sekali, hanyalah hak pakai dan hak sewa saja. Mengenai badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai semua macam hak atas tanah kecuali hak milik terbatas pada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dengan peraturan perundangan saja.39 Mengenai lahirnya hak atas tanah, dimulai karena adanya hubungan dan kedudukan orang dalam persekutuan hidup atau masyarakat hukum adat (rechts gemeenschappen). Artinya, orang yang bukan warga persekutuan tidak berhak menjadi pemilik tanah atau melakukan hubungan hukum melepaskan hak tanah atau menyerahkan tanah kepada orang asing. Orang asing atau mereka yang bukan anggota warga persekutuan, hanya berhak mendapatkan hak mengolah tanah dan menikmati hasil tanah persekutuan hukum, sesuai dengan ketentuan hukum adat setempat.40 Anggota warga persekutuan hukum yang ingin memiliki tanah dengan hak milik, terlebih dahulu memilih dan menetapkan bidang tanah yang akan diduduki dan dikuasainya. Hak untuk memilih dan menetapkan pilihan bidang tanah dan pemberian tanda-tanda larangan untuk dikuasai itu disebut “hak wenang pilih”. Hak ini adalah 39
Ibid, hal. 17. Herman Soesangobeng, “Menuju Penguatan Jaminan Kepastian Hukum Atas Pemilikan, Penguasaan Dan Penggunaan Tanah: Rekomendasi dan Masukan untuk Penyempurnaan Naskah KKPN”, Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Finalisasi KKPN-BAPPENAS Tanggal 6 Nopember 2006 di Jakarta, hal. 17. 40
Universitas Sumatera Utara
25
bukti awal pendudukan yang sama dengan occupare pada sistem hukum Romawi atau bezit pada hukum civil Belanda. Dari hak wenang pilih ini orang harus menunjukkan penguasaan nyata berupa pemberian tanda-tanda batas setelah tanah dibersihkan menjadi lahan siap pakai. Pemberian tanda-tanda batas bidang tanah ini menyebabkan orang tersebut mendapatkan pengakuan masyarakat dengan hak yang lebih kuat lagi yaitu “hak terdahulu” (voorkeursrecht).41 Kemudian setelah tanah ditanami dan dibangun rumah tempat tinggal, maka ia memperoleh “hak menikmati” (genoorsrecht). Hak menikmati ini sama dengan “jus ad rem” pada hukum Romawi yaitu merupakan “hak mempunyai” yang peralihan haknya tidak harus dilakukan dengan tata cara “mancipatie”. Setelah tanah ditanami atau didiami cukup lama maka lahir “hak pakai” (gebruiksrecht). Hak pakai inilah yang merupakan dasar bagi pertumbuhan menjadi hak milik. Maka hak pakai adat ini dapat disamakan dengan “jus in re” dengan hak mempunyai yang sudah berakibat hukum yang dalam sistem hukum Romawi disebut “jus possidendi”.42 Kemudian setelah tanah diwariskan kepada keturunannya, maka lahir hak yang terkuat dan terpenuh yang disebut “milik” atau “hak milik”. Hak milik inilah yang dapat disamakan dengan “dominium eminens” atau “domain” pada teori sistem hukum Romawi. Hak milik ini disebut juga “hak milik adat”, yang dalam kepustakaan hukum Adat disebut individuelle bezitsrecht. Disebut demikian karena sistem hukum Hindia Belanda tidak mengakui keberadaan “hak milik adat”, sehingga 41
Ibid., hal. 17. Sopomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Jambatan, Jakarta,1982, dalam Herman Soesangobeng, loc.cit. lihat juga hal. 14. 42
Universitas Sumatera Utara
26
pemerintah Hindia Belanda pun tidak mengakuinya sebagai hak yang sama kedudukan hukumnya dengan eigendom.43 Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikings recht). Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus menerus, maka tanah tersebut menjadi hak milik secara individual.44 Seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau mengubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang.45 Selama dia masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi dalam hal ini, tekanan diberikan pada hasil produksi dan tanah yang bisa dipetiknya, sebab apabila dia tidak lagi menggarapnya. Konsep penguasaan tanah menurut hukum adat dikenal dengan istilah hak ulayat.46 Hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat merupakan hak pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka ini kepada anggota dari masyarakat lain atau 43
Ibid., hal. 18. Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah di Indonesia Suatu Pemikiran,Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum, Diucapkan Di Hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatra Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, Medan, hal. 4 45 Ter Haar, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, Prajnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 91. 46 Syafruddin Kalo, Op. Cit., hal. 4. 44
Universitas Sumatera Utara
27
pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota komunal tersebut.47 Kenyataan kepemilikan komunal yang demikian ini, berakibat bahwa pendaftaran tanah tidak menjadi bahagian penting dari padanya. Apalagi memang saat itu kebutuhan tanah bagi perkembangan manusia masih tetap terpenuhi. Tetapi dengan kenyataan yang berkembang di belahan dunia atau bahkan tidak terkecuali di wilayah negara ini, kepemilikan tanah bersama terus menjadi kepemilikan yang individual. Maka untuk menjaga keharmonisan atas kepemilikan yang makin lama menjadi kecil luas dan penguasaannya ini. Dengan kata lain akibat terindividualisasinya tanah-tanah di tengah masyarakat maka pendaftaran tanah ini semakin menjadi tuntutan demi menjaga kepemilikan rakyat tadi. Sekalipun memang diakui bahwa pendaftaran tanah tidak menjadi ciri dalam kepemilikan bersama namun karena secara alamiah kepemilikan bersama yang semakin runtuh, tuntutan mendaftarkan tanah ini menjadi hak atas tanah yang dilindungi tentunya tidak lagi dapat dielakkan bahwa pendaftaran tanah sudah menjadi keharusan. Sebab sebagai hak individu yang sifatnya keperdataan diakui sebagai hak yang utuh dengan segala kewenangan dan konsekuensinya pada si pemilik harus terjamin atas hak dan fungsinya.48
47
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Ada, Gunung Agung, Jakarta, 1984, hal. 201-202. 48 Muhammad Yamin, “Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas Tanah Dalam Pendaftaran Tanah”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan Rapat terbuka Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa USU, 2 September 2006, Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
28
Dari teori lahirnya hak kepemilikan tanah seperti diuraikan di atas, terbukti bahwa semua sistem hukum menjadi kedudukan hukum para warganya sebagai pemilik tanah. Hukum pertanahan Adat Indonesia pun menjamin kedudukan warganya sebagai pemilik tanah. Kedudukan sebagai pemilik tanah itu, oleh warga negara atau warga persekutuan masyarakat hukum adat, adalah pertama-tama merupakan hak kepemilikan de facto yaitu hak milik yang diperoleh karena kedudukan sebagai warga negara atau warga persekutuan masyarakat hukum. Hak de facto itu, setelah diputuskan pengakuannya oleh negara/pemerintah, maka lahirlah hak kepemilikan de jure. Artinya hak kepemilikan de jure adalah hak yang sudah dilindungi negara dan diatur oleh hukum harta kekayaan, sehingga penyerahan tanah atau peralihan haknya harus memenuhi tata cara khusus menurut ajaran hukum dan sesuai ketetapan undang-undang. Ajaran hukum itulah yang disebut ajaran lamanya waktu atau verjaring dengan ajaran penyerahan benda tetap yang disebut levering.49 Kemudian berdasarkan UUD 1945 karena kedudukan hukumnya sebagai warga negara Indonesia (WNI) secara otomatis menjadi pemilik tanah de facto. Ketentuan umum kewarganegaraan yang diatur UUD 1945 itu kemudian dipertegas tujuan penggunaan tanahnya dalam Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa tanah harus ditujukan bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Pasal 9 ayat (1) UUPA, menyatakan:
49
Herman Soesangobeng, “Menuju Penguatan Jaminan, Op.Cit., hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
29
(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2. (2) Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Pasal 9 ayat (1) UUPA tersebut menegaskan bahwa WNI adalah pemilik tanah, karena hanya WNI-lah yang berhak mempunyai hak yang terkuat dan terpenuh atas tanah. Jadi baik UUD 1945 maupun UUPA, menetapkan bahwa WNI adalah pemilik tanah de facto atas tanah dalam wilayah negara RI. Hak milik de facto itu baru berubah menjadi hak milik de jure, setelah orang (WNI) tertentu menguasai dan mempunyai tanah dan haknya didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka WNI yang semula merupakan pemilik tanah de facto, berubah menjadi pemilik tanah de jure yang dilindungi hukum Negara.50 2.
Konsepsi Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.51 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.52 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa
50
Ibid., hal. 19-20. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10. 52 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: PPs-USU, 2002, hal 35 51
Universitas Sumatera Utara
30
konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: a.
Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang berbatas.53
b. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atas bagian bangunan di atasnya.54 c.
Data yuridis adalah keterangan mengenai status bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.55
d. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi: pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hakhak tertentu yang membebaninya.56 e. Kantor Pertanahan adalah unit kerja badan pertanahan nasional di wilayah kabupaten atau kota, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.57
53 54
Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pasal Pasal 56 Pasal 57 Pasal 55
1 1 1 1
angka angka angka angka
6 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 7 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 1 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 23 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Universitas Sumatera Utara
31
f.
Konflik adalah situasi atau keadaan di mana dua atau lebih pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing. 58
g. Penggarap adalah orang yang bekerja pada sebuah lahan kebun atau sawah secara terus menerus dan turun temurun.59 h. Ganti Kerugian adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman dan atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.60 G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,61 dalam hal ini penyelesaian konflik di areal tanah garapan. Sifat penelitian ini adalah juridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.62
58
Ronny Hanitijo Soemitro, “Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik”, Majalah Masalah Hukum, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1984, hal. 22. 59 Dayat Limbong, Op. Cit., hal. 23. 60 Pasal 1 angka 7 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. 61 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63. 62 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.13
Universitas Sumatera Utara
32
2.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah mempergunakan
penelitian dengan menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada dibantu dengan data yang diperoleh di lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini Sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa: a.
Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari informan yaitu Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat,
b.
Data Sekunder, yang terdiri dari: 1) Bahan hukum primer, yaitu: a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. b) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah d) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. e) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan dari PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. f)
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi.
Universitas Sumatera Utara
33
g) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan
Kewenangan
Pemberian
dan
Pembatalan
Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah Negara. h) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. i) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1993 Tentang Uraian Tugas Sub Bagian Dan Seksi Pada Kantor Wilayah Badan pertanahan Nasional di Propinsi Dan Uraian Tugas Sub Bagian, Seksi Dan Urusan Serta Sub Seksi Pada Kantor Pertanahan. j) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini. 3) Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus Indonesia dan artikel-artikel lainnya yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder. 3.
Alat Pengumpulan Data Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka
dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran hasilnya, maka dalam hal ini digunakan alat penggumpulan data, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
34
1.
Studi Dokumentasi, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Studi dokumen dari literatur yang berasal dari kepustakaan ataupun yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan penyelesaian konflik di areal tanah garapan.
2.
Studi Lapangan, yang dilakukan dengan pedoman wawancara terhadap informan, yaitu : Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat.
4.
Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data
kualitatif yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan informan hingga dapat menjawab permasalahan dari penulisan tesis ini. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara