BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002). Peradangan juga merupakan patologi dari berbagai penyakit di masyarakat seperti penyakit kardiovaskular, penyakit neurodegeneratif (termasuk Alzheimer). Peradangan juga merupakan komponen penting dari perkembangan kanker dan nyeri neuropatik. Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyakit yang melibatkan berbagai disiplin ilmu (Serhan dkk., 2010). Dalam proses inflamasi terdapat kejadian pokok yang menghasilkan disfungsi dan kerusakan jaringan yaitu pengumpulan dan migrasi leukosit dari aliran darah menuju tempat luka atau infeksi (Jutila dkk., 1989; Springer, 1994). Infiltrasi jaringan yang spesifik oleh subpopulasi leukosit menandai fungsi kritis mereka dalam patogenesis dari penyakit inflamasi (Luster dkk., 2005). Selama aktivasi dan fagositosis, leukosit melepaskan produk mikrobisidal dan produk lain yang merusak sel dan jaringan. Proses yang menetap, berkepanjangan dan tidak dikendalikan menyebabkan infiltrasi leukosit sendiri akan menyerang jaringan dan organ. Dengan hal tersebut, kerusakan jaringan karena leukosit akan menjadi dasar dari berbagai penyakit akut dan kronis manusia (Kumar dkk., 2005).
1
2
Selama ini pengobatan inflamasi umumnya didominasi oleh obat-obat NSAID (Antiinflamasi Non Steroid). Pengunaan obat-obat NSAID ini kerap memunculkan keluhan-keluhan berupa gangguan pencernaan, liver dan ginjal sehingga perlu dikembangkan obat lain yang lebich aman. Salah satu alternatif antiinflamasi yang aman adalah antiinflamasi yang bersumber dari bahan alam. Penggunaan senyawa alam yang terkandung dalam tumbuhan dan hewan untuk pengobatan telah lama berlangsung. Adanya penelitian dari bahan-bahan alam tersebut diharapkan dapat memberikan jalan bagi penemuan obat tradisional atau obat alternatif untuk penyakit-penyakit yang semakin kompleks. Diharapkan pula dengan penelitian dari bahan alam ini, dapat ditemukan alternatif obat baru atau obat tradisional dengan harga yang terjangkau, bahan baku yang cukup tersedia dan mempunyai efek samping minimal. Pada penggunaan obat alami di masyarakat, tanaman Plantago lanceolata digunakan sebagai antiinflamasi, anti bakteri, penyembuh luka, diuretik dan antiasma tanpa adanya toksisitas. Oleh karena itu banyak peneliti yang kemudian melakukan penelitian tentang kandungan senyawa aktif dari Plantago lanceolata sehingga dapat menjelaskan berbagai kegunaan dari tanaman ini (Fons dkk., 1998). Selain itu penelitian secara in vitro maupun in vivo tentang aktivitas antiinflamasi Plantago lanceolata masih sangat terbatas. Diharapkan adanya penelitian tentang aktivitas antiinflamasi dari daun Plantago lanceolata dengan penghambatan migrasi leukosit menjadi penting dan diharapkan memberikan kontribusi bagi penelitian tentang obat antiinflamasi.
3
B. Tinjauan Pustaka 1. Plantago lanceolata Kedudukan tanaman Plantago lanceolata dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermathophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Asteridae
Order
: Plantaginales
Family
: Plantaginaceae
Species
: Plantago lanceolata L.
(Backer dan van den Brink, 1965) Plantago lanceolata merupakan tanaman semak dengan tinggi 30 - 50 cm. Batangnya berbentuk bulat, pendek dan berwarna cokelat. Daunnya berbentuk bulat telur, dengan ujung tumpul, pangkal meruncing, tepi bertoreh, berambut halus, panjang 1 - 28 cm, lebar 5 - 11 cm, pertulangan daun melengkung, tangkai panjang 1 - 20 cm, permukaan atas berwarna hijau keunguan, dan permukaan bawah hijau. Bunganya majemuk, bentuk bulir, panjang 2 - 20 cm, berbulu halus, hijau, tajuk bunga kecil, panjang 0,5 - 1 cm, dan berwarna putih. Buahnya berbentuk kotak kecil berwarna hijau, sedangkan bijinya berbentuk pipih kecil
4
dan berwarna putih yang kemudian menjadi hitam ketika biji sudah tua (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).
Gambar 1. Tanaman Plantago lanceolata skala 1:6
Menurut European Medicine Agency, Plantago lanceolata mengandung glikosida iridoid dengan aukubin dan katalpol sebagai senyawa utama (Jurisic dkk., 2004). Tanaman ini juga mengandung metilester asperulosida, globularin, asam desasetilasperulosida, 2 - 6,5% musilago, arabinogalaktan, glukomanan, rhamnogalakturonan dengan sisi-rantai arabinogalaktan, rhamnoarabinogalaktan dan linear (1-6)-α-D-glukan. Selain itu tanaman ini juga mengandung flavonoid (apigenin 7-O-glukosida, scutellarein), caffeic acid glycosides esters (CGEs) seperti plantamosida, verbaskosida, lavandulifoliosida, dan isoverbaskosida (Fons
5
dkk., 1998). Getahnya juga mempunyai kandungan alkana rantai lurus dan asam triterpen (asam oleanolat dan asam ursolat) (Bakker dkk., 1999). Dekoktanya mempunyai kandungan sumber elemen antara lain Ca, Co, Cu, K, Mn (Rabai dkk., 2012). Plantago lanceolata mempunyai manfaat sebagai antiinflamasi, anti bakteri, penyembuh luka, diuretik dan antiasma tanpa adanya toksisitas (Fons dkk.,1998). Penelitian yang dilakukan oleh Beara dkk. (2010) menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun Plantago lanceolata mempunyai kemampuan antiinflamasi dengan penghambatan COX-1 dan 12-LOX. Salep Plantago lanceolata juga menunjukkan kemampuannya dalam mempercepat penyembuhan tendinitis (Oloumi dkk., 2011). Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Vogl dkk. (2013) menunjukkan bahwa ekstrak diklorometana daun Plantago lanceolata mempunyai aktivitas antiinflamasi yang kuat pada penghambatan NF-κB.
2. Inflamasi Inflamasi merupakan suatu respons terhadap stimulus luka jaringan yang disebabkan oleh berbagai penyebab seperti infeksi, antibodi, atau luka fisik. Respon inflamasi sangat diperlukan untuk menyelamatkan tubuh dari lingkungan patogen dan luka. Pada beberapa situasi dan penyakit, inflamasi dapat memberikan respon yang berlebihan dan berkepanjangan tanpa memberikan manfaat (Burke dkk., 2006). Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi dari mikrosirkulasi beserta substansinya terhadap luka. Mikrosirkulasi yaitu sistem pembuluh darah kecil yang menyediakan darah bagi jaringan yang di dalamnya
6
terdapat berbagai macam leukosit yang merupakan bagian penting dari proses inflamasi. Tujuan dari inflamasi adalah untuk membatasi dan mengobati luka. Pada luka fisik, kerusakan secara langsung pada sistem pembuluh jaringan memulai reaksi inflamasi (Green dan Harris, 2008). Pada proses inflamasi terjadi reaksi vaskular, sehingga cairan, elemenelemen darah, sel darah putih (leukosit), dan mediator kimia terkumpul pada tempat yang cedera untuk menetralkan dan menghilangkan agen-agen berbahaya serta memperbaiki jaringan yang rusak (Kee dan Hayes, 1993). Tanda-tanda pokok inflamasi mencakup kemerahan, panas, nyeri, pembengkakan, perubahan fungsi atau dalam bahasa latin klasik rubor, kalor, dolor, tumor, fungsio laesa (Price
dan
Wilson,
1994).
Tanda-tanda
inflamasi
meliputi
kerusakan
mikrovaskuler, peningkatan permeabilitas kapiler, dan migrasi leukosit ke daerah inflamasi (Wilmana, 1995). Secara garis besar, inflamasi ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem
7
pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton dan Hall, 1997).
Exposure to foreign protein
Celullar damage
Invasion by infective agents
Stimulation of humoral Immune system (B cells)
Antibody production
Stimulation of celluler immune system(T cells)
Activation of T Helper cells
IgE
Release of inflammatory mediators
Antibody/antigen Interaction
Chemotaxis Increased Leukocyte infiltration Vascular permeablity phagocytosis
Pain
Oedema
Release of Cytokines
Activation of cytotoxic T cells
Stimulation of machrophages
Removal of invading cells or foreign protein
Gambar 2. Mekanisme Inflamasi (dimodifikasi dari Gard, 2001)
Inflamasi dapat bersifat akut yaitu berumur pendek atau kronis yaitu berkepanjangan. a. Inflamasi akut Inflamasi akut merupakan respons langsung terhadap agen inflamasi. Respons ini berlangsung dalam waktu relatif singkat, hanya beberapa jam atau hari (Robins dan Kumar, 1987). Inflamasi akut adalah respons awal tubuh oleh benda berbahaya dan meningkat dengan meningkatnya pergerakan plasma dan
8
leukosit dari darah ke jaringan luka. Reaksi biokimia berantai yang mempropagasi dan mematangkan respons imun, termasuk sistem vaskuler, sistem imun, dan berbagai sel yang ada pada jaringan luka ( Gard, 2001). Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan peningkatan aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan migrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell dan Cotran, 2003). Inflamasi akut memiliki tiga proses yaitu: 1.
Perubahan diameter pembuluh darah
2.
Kenaikan permeabilitas vaskuler
3.
Pembentukan eksudat seluler berupa migrasi neutrofil polimorf ke dalam rongga ekstravaskuler (Underwood, 1999). Perubahan yang terjadi di dalam sirkulasi mikro merupakan respons
fisiologi. Fase awal konstriksi arteriol terjadi sementara, yang mungkin kurang penting pada inflamasi akut. Fase vasodilatasi (hiperemi aktif) berikutnya dapat bertahan dari 15 menit sampai beberapa jam, tergantung dari berat ringannya cedera. Secara eksperimental telah dibuktikan bahwa aliran darah ke daerah cedera dapat meningkat hingga 10 kali lipat. Sementara aliran darah mulai mengalir secara perlahan, sel-sel darah mulai mengalir mendekati dinding pembuluh darah, di daerah zona plasmatik. Keadaan ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal terjadinya migrasi leukosit ke dalam ruang ekstravaskuler. Lambatnya aliran darah yang mengikuti fase hiperemia
9
menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel darah tertinggal dalam pembuluh darah. Akibatnya viskositas darah menjadi meningkat (Underwood, 1999). Resolusi dari respons inflamasi ditandai dengan adanya penghilangan leukosit melalui limfa atau dengan apoptosis (bunuh diri sel) dan fagositosis oleh makrofag pada jaringan sehingga respons inflamasi akut berhenti. Selain itu adanya sel debris dan sel darah merah pada kompartemen ekstraseluler dihilangkan oleh fagositosis pada makrofag jaringan. Kegagalan dalam penghilangan sel apoptosis ini akan membawa sel menjadi nekrotik sehingga akan meningkatkan kerusakan jaringan. Bila respons inflamasi akut menjadi berlebihan atau berkepanjangan maka dapat membawa menuju kerusakan jaringan dan organ yang serius (Serhan dkk., 2010). Jika respons inflamatoris tidak berhasil memperbaiki seluruh jaringan yang rusak sehingga kembali ke keadaan aslinya (misalnya gagal melenyapkan substansi asing) atau jika perbaikan jaringan tidak dapat disempurnakan, maka proses akan berlanjut pada keadaan inflamasi kronis. Proses ini berciri dengan adanya limfosit, monosit, dan sel plasma secara terus menerus (Ward, 1993). b. Inflamasi Kronis Inflamasi kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan inflamasi akut yaitu inflamasi akut ditandai dengan perubahan vaskuler,
10
edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar, sedangkan inflamasi kronis ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell dan Cotran, 2003). Inflamasi kronis pada umumnya primer, kadang-kadang disebut inflamasi kronis ab initio, tetapi adakalanya merupakan kelanjutan inflamasi akut. Inflamasi kronis dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Inflamasi kronis dapat timbul menyusul inflamasi akut, atau responsnya sejak awal bersifat kronis. Perubahan inflamasi akut menjadi inflamasi kronis berlangsung bila respons inflamasi akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab luka yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya inflamasi kronis sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab lukanya memiliki toksisitas lebih rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan inflamasi akut. Terdapat tiga kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu, kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur serta penyakit autoimun. Suatu inflamasi yang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronis, tetapi karena banyak bergantung pada respons efektif tuan rumah dan sifat alami luka, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara inflamasi akut dan kronis sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins dan Kumar, 1995). Inflamasi kronis ditandai terjadinya degenerasi dan fibrosis jaringan. Plasma darah setelah melewati dinding pembuluh darah yang permeabel sifatnya berubah disebut limfe inflamasi. Leukosit dan limfe inflamasi secara bersama
11
membentuk eksudat inflamasi yang menimbulkan pembengkakan pada jaringan. Rasa nyeri disebabkan serabut syaraf yang tertekan akibat pembengkakan jaringan. Kerusakan jaringan disebabkan fagositosis, enzim lisosomal, dan radikal oksigen (Insel, 1996). Inflamasi kronis adalah respons proliferatif dimana terjadi proliferasi fibroblas, endotelium vaskuler, dan infiltrasi sel mononuklear (limfosit, sel
plasma
dan
makrofag).
Eksudat
leukosit
pada
inflamasi
kronis
monomorfonuklir membedakannya dari eksudat polimorfonuklir pada inflamasi akut (Robins dan Kumar, 1987). c. Patologi Inflamasi Selama
aktivasi
dan
fagositosis,
leukosit
melepaskan
produk
mikrobisidal dan produk lain tidak hanya di dalam phagolisosom tetapi juga pada rongga ekstraseluler. Substansi yang paling penting pada neutrofil dan makrofag adalah enzim lisosom yang terdapat pada granul; reactive oxygen intermediate; dan produk metabolisme asam arakhidonat termasuk prostaglandin dan leukotrien. Produk-produk tersebut dapat menyebabkan luka pada endotelial dan merusak jaringan, dan mungkin semakin menguatkan efek dari luka yang pertama. Produk dari monosit/makrofag dan leukosit yang lain mempunyai potensi yang merugikan. Bila hal tersebut menetap, berkepanjangan dan tidak dikendalikan, maka infiltrasi leukosit akan menyerang jaringan dan organ, dan kerusakan jaringan karena leukosit akan menjadi dasar dari berbagai penyakit akut dan kronis manusia (Kumar dkk., 2005). Inflamasi juga berperan dalam meningkatkan resiko kanker pada jaringan yang dikenai. Kondisi klinik yang terlibat dalam inflamasi dan peningkatan resiko
12
kanker meliputi penyakit imunologi, infeksi (bakteri, cacing,virus) dan iritasi kimia dan mekanis yang kronis. Inflamasi terlibat dalam respons yang kompleks, pada inflamasi akut menuju penyembuhan luka dan regenerasi jaringan. Respons ini meliputi perekrutan tipe sel yang spesifik, pelepasan mediator inflamasi dan interaksi antara ligan kemokin dan reseptor sistem. Leukosit (neutrofil, monosit, makrofag, dan eosinofil) menghasilkan spesies oksigen dan nitrogen reaktif yang secara langsung dapat merusak gen yang mengontrol cell growth (Christen dkk., 1999). Sel yang memperantarai respons inflamasi juga menghasilkan faktor autokrin dan parakrin yang merangsang proliferasi sel, menghambat apoptosis, menginduksi angiogenesis dan mengganggu beberapa respons imun. Secara umum faktor-faktor tersebut dapat mempercepat adanya mutagenesis, mendukung keberlangsungan proliferasi dari sel yang telah bermutasi, dan meningkatkan kemungkinan beberapa klon sel menerima mutasi genetik menjadi kanker yang invasif dan metastatic (Thun dkk., 2004). Penyakit inflamasi kronis seperti rheumatoid arthritis dicirikan dengan adanya akumulasi sel inflamasi pada synovial sendi yang menyebabkan kerusakan sendi. Kerusakan fungsi jaringan dan organ sebagai akibat dari respons inflamasi yang tidak tepat juga terlihat pada berbagai penyakit antara lain bronkitis kronis, emfisema, asma, glomerulonefritis, myocardial infarction, dan lain sebagainya. Bagaimanapun selain manfaatnya, inflamasi dapat berhenti memberikan manfaat dan berkontribusi dalam patogenesis dari berbagai penyakit (Serhan dkk., 2010).
13
3. Migrasi Leukosit Leukosit pada manusia adalah sebagian besar sel imun di dalam darah. Leukosit beredar ke seluruh tubuh manusia melalui pembuluh sirkuler yang terhubung dengan sel endotelial. Saat leukosit meninggalkan darah, hal yang pertama terjadi adalah rolling (menggelinding) pada leukosit. Selama terjadinya rolling leukosit, adhesi leukosit menuju endotelium yang secara umum diperantarai oleh sekelompok reseptor yang disebut selectin, termasuk L-selectin (CD62L) pada leukosit, P- dan E-selectin (CD62P dan CD62E) pada endotelium (Springer, 1990). Selectin berikatan dengan P-selectin glycoprotein ligand 1 (PSGL1) dan ligan terglikosilasi lainnya. Peran yang dominan dimiliki oleh PSGL1 terhadap tiga selectin tersebut walaupun sebenarnya digambarkan sebagai ligan dari P-selectin. Interaksi dari selectin dan ligan membuat leukosit mampu menempel pada endotelium yang mengalami inflamasi dengan kondisi adanya aliran darah (Ley dkk., 2007). Selain selectin, integrin juga berperan dalam rolling dan memperantarai adhesi leukosit. Sel mengekspresikan α 4 β 7 -integrin yang menggerakkan mucosal vascular addressin cell-adhesion molecule 1 (MADCAM-1) dan limfosit dapat menggerakkan
vascular
cell-adhesion
molecule
1
(VCAM-1)
dengan
mengikatkan permukaan sel mereka dengan very late antigen 4 (VLA4 atau dikenal dengan α 4 β 1 -integrin). Rolling melalui VLA4 sering teramati pada sel monosit dan monocyte-like (Ley dkk., 2007). Mengikuti proses rolling sebelumnya yang diperantarai oleh selectin, integrin dan ligannya, aktivasi leukosit terjadi dengan berkurangnya kecepatan
14
rolling dan berubah menjadi adhesi yang kuat. Adhesi sel distabilkan oleh interaksi dari integrin yang berikatan dengan keluarga imunoglobulin yaitu celullar adhesion molecules (CAM), meliputi intercelullar ICAM-1, vascular VCAM-1, dan platelet-endothelial PECAM-1. Imunoglobulin ini diekspreskan oleh endotelium, dan dapat ditingkatkan selama inflamasi, berlaku untuk ICAM-1 dan VCAM-1, sedangkan PECAM-1 diredistribusi ke tempat inflamasi dan terlibat pada interaksi homofilik PECAM-1 dan leukosit (Serhan dkk., 2010)
Gambar 3. Mekanisme migrasi leukosit (Serhan dkk., 2010).
Melanjutkan adhesi yang tetap sebelumnya, leukosit meninggalkan venula postcapillar dan mendorong dirinya ke dalam rongga subendotelial. Kejadian ini disebut ekstravasasi leukosit, atau diapedesis yang tergantung pada susunan proses seluler meliputi ekspresi molekul adhesi dan aktivasi, reorganisasi sitoskeletal, dan alterasi pada fluiditas membran. Molekul seperti molekul adhesi JAM, PECAM-1, ICAM-1, ICAM-2, V-CAM-1, CD99 dan Endothelial cell-
15
selective adhesion molecule (ESAM) dapat ditemukan pada endothelial junction (persimpangan endotelial) dan mengatur migrasi leukosit ke dalam jaringan (Serhan dkk., 2010) Terdapat dua jalur diapedesis yaitu rute paraseluler dan transseluler. Pada proses migrasi paraseluler leukosit harus melewati endothelial junction yang berperan sebagai fungsi pembatas dari pembuluh darah, dan terdiri dari protein adhesi transmembran yang terhubung dengan ligan intraselulernya. Migrasi melalui jalur transseluler agak sulit terjadi pada area sel endotelial yang banyak terdapat ICAM-1. Ligasi dari ICAM-1 oleh integrin pada permukaan leukosit menghasilkan sinyal yang mengarah pada pembentukan saluran dalam sel endotelial, tempat leukosit dapat bermigrasi. Walaupun terdapat beberapa pilihan jalur migrasi, proses ini dipengaruhi oleh stimulus migrasi dan tergantung pada pembuluh darah yang terlibat (Serhan dkk., 2010). Migrasi leukosit tidak hanya bertindak sebagai pengarah migrasi leukosit dari lumen vaskuler menuju jaringan esktravaskular namun juga memberikan peran yang penting dalam mengatur fenotip dari migrasi sel sehingga perilaku leukosit dalam responsnya terhadap kemoatraktan, arah migrasi dan interaksi dengan komponen dari jaringan ekstravaskuler dapat diregulasi. Mekanisme tersebut dapat berkontribusi dalam kemampuan sistem imun untuk memberikan respons yang optimum, tidak berlebihan dan terlokalisasi pada jaringan dengan adanya rangsangan ekstravaskuler tanpa menyebabkan adanya kerusakan pada tingkat vaskuler. Namun pada kondisi infiltrasi leukosit yang tidak terkontrol dan berlebihan baik pada besar maupun durasinya, atau tidak sesuai dengan
16
tempatnya, migrasi leukosit dapat menginduksi penghapusan respons inflamasi pada host (Yadav dkk., 2003). Pengumpulan dan migrasi leukosit dari aliran darah menuju tempat luka atau infeksi adalah kejadian pokok dalam proses inflamasi yang menghasilkan disfungsi dan kerusakan jaringan (Jutila dkk., 1989; Springer, 1994). Infiltrasi jaringan yang spesifik oleh subpopulasi leukosit menandai fungsi kritis mereka dalam patogenesis dari penyakit inflamasi ( Luster dkk., 2005).
4. Leukosit Leukosit atau sel darah putih berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi dan merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih tidak berwarna, dapat bergerak secara amoebeid, dan dapat menembus dinding kapiler/diapedesis (Baratawidjaja, 2004). Jumlah leukosit normal dalam darah adalah 4000-11000/mm3. Konsentrasi leukosit dalam darah lengkap dijaga relatif konstan, walaupun setiap hari sejumlah leukosit mati, leukosit ini diganti melalui pembelahan sel. Pembentukan leukosit di sum-sum tulang disebut granulopoesis. Bertambahnya jumlah leukosit terjadi dengan mitosis. Stem cell mampu membelah diri dan berkembang menjadi sel darah putih matang dalam suatu sekuens pematangan yang teratur kemudian dibebaskan dari sum-sum tulang ke dalam sirkulasi ( Ronald dkk., 2005; Hoffbrand dan Petit, 2005). Leukosit terdiri dari dua kelas utama, yaitu granular dan agranular. Terdapat tiga jenis leukosit granular yaitu neutrofil, eosinofil, dan basofil. Terdapat dua jenis leukosit agranular yaitu limfosit dan monosit (Johnson, 1991).
17
a. Leukosit granular 1.
Neutrofil. Neutrofil atau leukosit polimorfonuklear adalah leukosit yang
paling banyak terdapat pada darah perifer manusia, terdiri dari 40%- 60% dari total leukosit di darah. Sel ini berdiameter 12–15 μm, memilliki inti yang khas dan padat, terdiri tiga lobus, mempunyai heterokromatin yang besar, dan tidak mempunyai nukleus. Sitoplasmanya bersifat lebih asidofilik dan mengandung dua tipe granul (Johnson, 1991). Neutrofil merupakan pertahanan utama tubuh dalam melawan antigen dan mikroorganisme asing. Neutrofil berperan dalam fagositosis mikroorganisme, produksi berbagai mediator, menghasilkan reactive oxygens species (ROS) serta mengeluarkan enzim litik dengan aktivitas antimikroba. Semua kemampuan tersebut sangat penting untuk membunuh patogen (Serhan dkk., 2010). 2.
Eosinofil. Eosinofil mempunyai diameter 12-17 µm dan mempunyai
persentase 1%-6% dari total populasi sel darah putih. Eosinofil terutama berada pada jaringan yang mengandung permukaan mukosa seperti uterus dan saluran pencernaan (Serhan dkk., 2010). Sel ini serupa dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar dan berwarna lebih merah gelap karena mengandung protein basa, dan jarang terdapat lebih dari tiga lobus inti. Mielosit eosinofil dapat dikenali tetapi pada stadium sebelumnya tidak dapat dibedakan dari prekursor neutrofil. Waktu perjalanan dalam darah untuk eosinofil lebih lama daripada neutrofil. Eosinofil memasuki eksudat peradangan dan memainkan peran istimewa pada respons alergi, pada
18
pertahanan melawan parasit dan dalam pengeluaran fibrin yang terbentuk selama peradangan (Hoffbrand dan Pettit, 1996). 3.
Basofil. Basofil adalah leukosit granuler yang paling jarang, yaitu 0,5%-
1,5% dari total leukosit pada darah periferal (Serhan dkk., 2010). Diameter basofil lebih kecil dari neutrofil yaitu sekitar 9-10 μm. Basofil memiliki banyak granula sitoplasma yang menutupi inti dan mengandung heparin dan histamin. Dalam jaringan, basofil menjadi sel mast. Basofil memiliki tempat-tempat perlekatan IgG dan degranulasinya dikaitan dengan pelepasan histamin (Hoffbrand dan Pettit, 1996). Ekspresi mereka pada Fc reseptor IgE, berbagai mediator yang diproduksi, dan keberadaan basofil pada jaringan dan sirkulasi dengan adanya alergen menunjukkan bahwa basofil berperan dalam asma, alergi dan beberapa infeksi (Serhan dkk., 2010). b. Leukosit agranuler 1.
Limfosit. Limfosit adalah jenis dari leukosit dan penting pada pertahanan
tubuh melawan benda asing. Terdapat beberapa jenis limfosit yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda, namun mereka berasal dari stem sel hematopoetik pada sum-sum tulang belakang. Limfosit dapat dibagi berdasarkan ukuran dan granularitas. Sel Natural killer (NK) mempunyai ukuran yang besar, sedangkan limfosit B (sel B) dan limfosit T (sel T) mempunyai ukuran yang kecil (Serhan dkk., 2010). 2.
Monosit. Monosit mempunyai ukuran yang relatif besar dari leukosit darah
tepi lain yaitu berdiameter 16-20 μm dan memiliki inti besar di tengah oval atau berlekuk dengan kromatin mengelompok (Johnson, 1991). Monosit hanya
19
memiliki sedikit persediaan dalam sum-sum tulang belakang, mobilisasi monosit memerlukan waktu yang lebih lama untuk membelah diri dari sel asalnya. Monosit pada keadaan normal mempunyai tempat permanen dalam jaringan berupa makrofag (Ronald dkk., 2005).
5. Obat Antiinflamasi Obat antiinflamasi digolongkan menjadi dua yaitu obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan obat antiinflamasi steroid (SAID). Obat-obat tersebut mempunyai mekanisme yang berbeda dalam mengurangi inflamasi. a. Obat Antiinflamasi Non-steroid (NSAID) Efek terapeutik utama dari NSAID berasal dari kemampuannya menghambat pembentukan prostaglandin. Enzim pertama pada pembentukan prostaglandin adalah prostaglandin endoperoksida sintase atau asam lemak siklooksigenase. Enzim ini mengubah asam arakidonat menjadi senyawa antara yang tidak stabil, yaitu PGG 2 dan PGH 2. Telah diketahui bahwa ada dua bentuk siklooksigenase, yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX2). Enzim COX-1 merupakan suatu isoform konstitutif yang terdapat dalam kebanyakan sel dan jaringan normal, sedangkan COX-2 terinduksi saat berkembang peradangan oleh sitokin dan mediator radang. Namun COX-1 juga diekspresi secara konstitutif di dalam lambung tetapi COX-2 tidak (Roberts dan Morrow, 2007). Selain kemampuan utamanya dalam menghambat sintesis prostaglandin, NSAID juga memiliki kemampuan dalam menghambat faktor transkripsi, faktor
20
pertumbuhan sel, dan menghambat molekul yang mengatur apoptosis. Pada konsentrasi supraterapi, sodium salisilat menghambat transkripsi gen regulator nuclear factor κB (NFκB) yang berperan dalam mengurangi ekspresi dari kemokin dan nitrit oksida (NO), serta mengurangi aktivitas tumor necrosis factor (TNF). Obat NSAID selektif dan nonselektif COX-2 juga mempunyai kemampuan menghambat angiogenesis melalui hambatan terhadap mitogenactivated protein kinase (ERK2) di sel endotelial (Sundy, 2004). Mekanisme kerja NSAID lainnya dalam menghambat COX adalah yang pertama melalui mediasi terhadap inhibisi time-independent dari COX yang tergantung dari konsentrasi obatnya. Kedua, beberapa NSAID (misalnya indometasin dan flurbiprofen) memiliki kemampuan merangsang perubahan struktur time-dependent di tempat COX teraktivasi, yang dapat menyebabkan penghambatan aktivitas enzim semi-ireversibel (Sundy, 2004). Selain itu NSAID tertentu juga dapat menghambat aktivasi dan fungsi neutrofil secara langsung, barangkali dengan menghambat proses yang berkaitan dengan membran, terlepas dari kemampuannya untuk menghambat sintesis prostaglandin. Beberapa NSAID juga dapat menghambat adhesi leukosit yang tampaknya terlepas dari kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin (Roberts dan Morrow, 2007) Obat antiinflamasi non-steroid (NSAID) dapat dibagi dalam 3 kelas besar, yaitu aspirin dan salisilat, nonselektif, serta penghambat selektif COX-2. Obat anti inflamasi non-steroid nonselektif dapat dibagi lagi menjadi beberapa subkelas berdasarkan struktur kimianya (Sundy, 2004). Penghambat selektif
21
COX-2 dibagi dalam 3 golongan, yaitu penghambat semiselektif atau parsial, selektif, dan superselektif COX-2 (Smith dan Whitney, 2003). Walaupun masingmasing NSAID menunjukkan perbedaan yang jelas dalam struktur biokimia dan asalnya, namun NSAID memiliki mekanisme kerja yang mirip satu sama lain, sehingga efek sampingnya juga sama. Keadaan ini dikenal sebagai “group effect”. Perbedaannya hanya pada waktu paruh masing-masing NSAID, yang berpengaruh pada interval pemberian dan potensinya (Roda dkk., 2007). b. Obat Antiinflamasi Steroid (SAID) Obat
antiinflamasi
steroid
(SAID)
merupakan
obat
golongan
glukokortikoid (disebut juga obat-obat golongan kortikosteroid). Kortikosteroid merupakan anti-inflamasi yang identik dengan kortisol, hormon steroid alami pada manusia yang disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal. Kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid menghambat terbentuknya leukotrien dan prostaglandin, sehingga
sifat
antiinflamasinya
kuat.
Pengaruh
glukokortikoid
terhadap
keseimbangan air dan elektrolit kecil, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar adalah nyata. Mineralokortikoid lebih berefek pada keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruh glikogen hepar kecil (Suherman, 1999). Efek antiinflamasi kortikosteroid mempengaruhi berbagai sel imunokompeten seperti sel T, makrofag, sel dendritik, eosinofil, neutrofil, dan sel mast, yaitu dengan menghambat responss inflamasi dan menyebabkan apoptosis berbagai sel tersebut (Smoak dan Clidowski, 2008)
22
Kerja kortikosteroid menekan reaksi inflamasi pada tingkat molekuler terjadi melalui mekanisme genomik dan nongenomik. Glukokortikoid (GK) berdifusi pasif dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid (RG) di sitosol. Ikatan GK-RG mengakibatkan translokasi kompleks tersebut ke inti sel untuk berikatan dengan sekuens DNA spesifik, yaitu glucocorticoid responsse elements (GRE). Ikatan GK-RG dengan DNA mengakibatkan aktivasi atau supresi proses transkripsi. Mekanisme non-genomik GK terjadi melalui aktivasi endothelial nitric oxide synthetase (eNOS) yang menyebabkan lebih banyak pelepasan nitric oxide (NO), suatu mediator antiinflamasi (Lee dkk., 2009; Baschant dan Tuckermann, 2010) Imunosupresi secara genomik terjadi melalui aktivasi annexin-1 (lipocortin-1) dan mitogen-activated proteinkinase (MAPK) phosphatase 1. Selain itu, GK juga meningkatkan transkripsi gen antiinflamasi secretory leukoprotease inhibitor (SLPI) interleukin-10 (IL-10) dan inhibitor nuclear factor-κB (IκB-a). Annexin-1 menghambat pelepasan asam arakhidonat sehingga produksi mediator inflamasi menurun (prostaglandin, tromboksan, prostasiklin, dan leukotrien) (Smoak dan Clidowski, 2008; Barnes, 2006). Kerja enzim MAPK phosphatase 1 menyebabkan MAPK 1 tidak aktif sehingga aktivasi sel T, sel dendritik, dan makrofag terhambat. Mekanisme genomik lain berupa inhibisi faktor transkripsi yang berperan dalam produksi mediator inflamasi, yaitu nuclear factor-κB (NF-κB) dan activator protein-1(AP-1) ( Lee dkk., 2009). Salah satu protein antiinflamasi yang ditingkatkan sintesisnya oleh kortikosteroid adalah lipokortin-1, suatu inhibitor fosfolipase A 2 (Ikawati, 2006).
23
Penghambatan lipokotrin terhadap fosfolipase A 2 mungkin dengan mengganggu pengikatan fosfolipid. Fosfolipase A 2 bekerja mengkatalisis pembentukan asam arakidonat. Dengan picuan sintesis lipokortin-1 oleh obat-obat kortikosteroid, maka sintesis asam arakhidonat juga terhambat sehingga menghambat pembentukan mediator baik melalui jalur siklooksigenase maupun lipooksigenase. Mekanisme ini menjelaskan mengapa kortikosteroid memiliki aksi yang lebih luas dan lebih poten dibandingkan dengan obat NSAID yang hanya menghambat jalur siklooksigenase. Dengan mekanisme itu, obat kortikosteroid memiliki kegunaan terapetik yang luas (Ikawati, 2006).
6. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis merupakan metode kromatografi yang paling sederhana dari metode kromatografi lainnya. Metode ini membutuhkan bejana tertutup berisi pelarut dan lempeng KLT untuk pemisahan dan analisis kualitatif kuantitatif (Sherma, 1996). Dasar dari KLT adalah campuran senyawa ditotolkan pada fase diam. Sampel dikeringkan sebelum dilakukan proses elusi. Fase diam dengan dengan totolan diletakkan pada fase gerak yang biasanya merupakan campuran dari pelarut murni didalam bejana tertutup. Komponen-komponen dari campuran senyawa bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda selama pemisahan dari fase gerak melalui fase diam hingga akhir pengembangan kromatogram. Saat fase gerak telah berkembang sesuai dengan jarak yang diinginkan, fase diam diambil
24
dari bejana, fase gerak dikeringkan dan plat dideteksi dengan reagen visualisasi yang sesuai (Sherma, 1996). Penjerap yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamida, dan lain-lain. Dari penjerap-penjerap tersebut, silika gel adalah penjerap yang paling banyak digunakan. Silika gel ini menghasilkan perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya sehingga silika gel G Merck, menurut spesifikasi Stahl, yang diperkenalkan tahun 1958, telah diterima sebagai bahan standar. Selain itu harus diingat bahwa penjerap seperti aluminium oksida dan silika gel mempunyai kadar air yang berpengaruh nyata terhadap daya pemisahnya (Stahl, 1985). Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending). Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Rohman, 2007). Deteksi paling sederhana adalah komponen yang secara alami mempunyai warna, fluoresensi atau dapat menyerap sinar ultraviolet (UV). Meskipun demikian, penggunaan reagen untuk visualisasi dengan penyemprotan atau pencelupan biasanya diperlukan untuk menghasilkan warna atau fluoresensi pada sebagian besar komponen. Penyerapan sinar UV merupakan kemampuan
25
umum bagi banyak komponen seperti senyawa aromatik dan senyawa yang mempunyai ikatan konjugasi. Hal tersebut membuat metode deteksi yang sederhana dan universal pada lapisan yang diimpregnasi dengan indikator fluoresensi (Sherma, 1996).
7. Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif simplisia nabati dan hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Metode penyarian yang akan digunakan tergantung dari wujud dan kandungan dari bahan yang akan disari. Metode dasar penyarian adalah maserasi, perkolasi dan sokhletasi. Pemilihan terhadap ketiga metode tersebut di atas disesuaikan dengan kepentingan dalam kandungan senyawa yang diinginkan (Harborne, 1987). Pemilihan metode ekstraksi harus mempertimbangkan beberapa faktor di antaranya sifat bahan mentah, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak sempurna atau mendekati sempurna (Ansel dkk., 1999). Maserasi adalah
proses penyarian simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali penggojokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Maserasi merupakan penyarian yang paling sering digunakan karena efektif dan sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari sampai meresap dan susunan selnya lunak sehingga zat-zat yang mudah larut akan segera terlarut. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif
26
sehingga zat aktif akan segera larut. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel menyebabkan larutan yang pekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang hingga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel (Voight, 1994). Dalam proses maserasi, bahan berupa serbuk yang akan disari biasanya ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar, ditutup rapat dan diaduk isinya berulang-ulang. Melalui usaha ini dijamin suatu kesetimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat ke dalam cairan penyari. Keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan zat aktif. Hasil ekstraksi yang diperoleh disimpan dalam keadaan dingin selama beberapa hari lalu cairan dituang dan disaring (Voight, 1994).
8. Uji Migrasi Leukosit yang Diinduksi Thioglikolat Migrasi leukosit dari aliran darah menuju tempat inflamasi adalah komponen pokok dari respons inflamasi (Jutila dkk., 1989; Springer, 1994). Untuk mencapai proses ini, terdapat mekanisme ketika leukosit intravaskular mampu menembus dinding dan berpindah ke tempat terjadinya luka atau infeksi dengan proses yang melibatkan sel endotelial dan mediator-mediator inflamasi. Migrasi leukosit dapat dipelajari secara in vitro maupun in vivo. Migrasi leukosit dipelajari secara in vivo dengan berbagai model. Pendekatan paling umum adalah dengan menghitung migrasi leukosit pada suatu rongga dalam tubuh seperti rongga pleural atau peritoneal menggunakan penginduksi proinflamasi non-
27
spesifik seperti thioglikolat atau glikogen, atau mediator inflamasi tertentu seperti IL-1β atau IL-4 (Yadav dkk., 2003). Dasar dari migrasi leukosit transendotelial sangat diuntungkan dengan adanya teknik in vitro yang memberikan analisis molekuler mendalam dan menjelaskan mekanisme pemberian sinyal yang terlibat dalam proses di bawah kondisi percobaan yang dikehendaki. Akan tetapi pengamatan dari studi in vitro tersebut harus diekstrapolasikan ke dalam keadaan in vivo dengan perhatian penuh, yang bahkan model in vitro yang paling teliti pun tidak dapat sepenuhnya menyerupai struktur dinding pembuluh pada in vivo (Yadav dkk., 2003). Injeksi intraperitoneal dari thioglikolat secara efektif menginduksi pengerahan leukosit kedalam rongga peritoneal. Bioassay ini merupakan model untuk mengetahui kemampuan leukosit untuk bermigrasi ke tempat inflamasi pada mencit (Yadav dkk., 2003). Pada studi dengan eksudat makrofag peritoneal, thioglikolat sering digunakan sebagai eliciting agent (agen pengumpul). Stimulus ini memiliki kelebihan dalam mengumpulkan banyak sel ke tempat inflamasi (Leijh, 1984). Studi kinetik juga menunjukkan bahwa injeksi thioglikolat menginduksi peningkatan jumlah sel leukosit pada peritoneal (Dy M dkk.,1978).
9. Indometasin Indometasin adalah obat golongan antiinflamasi non steroid (NSAID) turunan indol asam asetat. Indometasin mengandung tidak kurang dari 98,5 % C 19 H 16 C l NO 4 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Merupakan serbuk hablur kuning pucat hingga kuning kecoklatan dan kelarutannya dalam air kecil
28
(Anonim, 1979). Indometasin mempunyai khasiat yang kuat setara dengan diklofenak, tetapi lebih sering menimbulkan efek samping khususnya ulcerogen dan pendarahan tersembunyi (occult) (Tjay dan Rahardja, 2002). Indometasin memiliki efek antiinflamasi dan analgesik-antipiretik yang sebanding dengan aspirin, dan efek analgetiknya perifer maupun sentral. Indometasin merupakan inhibitor COX yang kuat dan juga menghambat migrasi dan motilitas leukosit polimorfonuklear (PMN). Seperti banyak NSAID yang lain, indometasin mencegah berpasangannya fosforilasi oksidatif pada konsentrasi di atas terapeutik dan menekan biosintesis mukopolisakarida (Harman dan Limbird, 2008). Indometasin efektif untuk melegakan sakit sendi, bengkak, perih, dan menurunkan durasi dari morning stiffness. Indometasin dapat memberikan beberapa efek samping yang sebagian besar tergantung pada dosis. Keluhan pada lambung serta diare disertai luka pada usus merupakan hal yang paling banyak terjadi (Burke dkk., 2006).
29
C. LANDASAN TEORI Inflamasi merupakan suatu respons terhadap stimulus luka yang disebabkan oleh berbagai penyebab seperti infeksi, antibodi, atau luka fisik. Respon inflamasi sangat diperlukan untuk menyelamatkan tubuh dari lingkungan patogen dan luka. Pada beberapa situasi dan penyakit, inflamasi dapat memberikan respon yang berlebihan dan berkepanjangan tanpa memberikan manfaat (Burke dkk., 2006). Inflamasi yang tidak terkontrol dapat muncul sebagai dasar patofisiologi pada banyak penyakit di masyarakat yang dikaitkan dengan peristiwa pada respons inflamasi (Serhan dkk., 2010). Migrasi leukosit dari aliran darah menuju tempat inflamasi adalah salah satu komponen pokok dari respons inflamasi (Jutila dkk., 1989; Springer, 1994). Migrasi leukosit dipelajari secara in vivo dengan berbagai model. Pendekatan paling umum adalah dengan menghitung migrasi leukosit pada suatu rongga dalam tubuh seperti rongga pleural atau peritoneal menggunakan penginduksi proinflamasi nonspesifik thioglikolat atau glikogen, atau mediator inflamasi tertentu seperti IL-1β atau IL-4. Model dengan injeksi intraperitoneal dari thioglikolat secara efektif menginduksi inflamasi melalui pengerahan leukosit kedalam rongga peritoneal. Bioassay ini merupakan model untuk mengetahui kemampuan leukosit untuk bermigrasi ke tempat inflamasi pada mencit (Yadav dkk., 2003). Plantago lanceolata mengandung glikosida iridoid dengan aukubin dan katalpol sebagai senyawa utama (Jurisic, 2004), metilester asperulosida, globularin
dan
asam
desasetilasperulosida,
2-6,5%
lendir
(muscilago),
30
arabinogalaktan, sebuah glukomanan dan rhamnogalakturonan dengan sisi-rantai arabinogalaktan serta rhamnoarabinogalaktan dan linear (1-6)-α-D-glukan (Wichtl, 2004). Getah Plantago lanceolata mengandung alkana rantai lurus dan asam triterpen yaitu asam oleanolat dan asam ursolat (Bakker, 1999) dan dekoktanya mengandung Ca, Co, Cu, K, Mn (Rabai dkk., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Beara dkk. (2010) menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun Plantago lanceolata mempunyai kemampuan antiinflamasi dengan penghambatan COX-1 dan 12-LOX. Salep Plantago lanceolata juga menunjukkan kemampuannya dalam mempercepat penyembuhan tendinitis (Oloumi dkk., 2011). Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Vogl dkk. (2013) menunjukkan bahwa ekstrak diklorometana daun Plantago lanceolata mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai agen antiinflamasi.
D. HIPOTESIS Ekstrak diklorometana daun Plantago lanceolata dapat menghambat migrasi leukosit ke dalam rongga peritoneal mencit yang diinduksi thioglikolat.
E. RUMUSAN MASALAH Apakah ekstrak diklorometana daun Plantago lanceolata dapat menghambat migrasi leukosit ke dalam rongga peritoneal mencit yang diinduksi thioglikolat?