BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik adalah hal yang sering terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat yang timbul akibat kesalahpahaman interpersonal maupun kelompok satu dengan kelompok yang lainnya yang didasarkan pada kepentingan pribadi maupun kelompok. Konflik tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan manusia, karena pada dasarnya manusia pasti memiliki konflik. Ini didasarkan pada kepentingankepentingan yang saling berbeda antara satu dengan yang lainnya. Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus) yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa (Susan, 2009:4). Konflik atau pertikaian dalam kehidupan bermasyarakat tidak dapat dihindari. Mulai dari lingkungan keluarga maupun dalam ranah yang lebih luas lagi seperti dalam kelompok. Konflik dapat muncul secara interpersonal dilakukan oleh lebih dari satu orang.Pertikaian dan konflik yang terjadi pada akhirnya membuktikan bahwasannya kehidupan manusia tidak selalu harmonis dan teratur. Tidak seperti dikatakan teori struktural fungsionalis bahwa masyarakat dipandang sebagai suatu organisme biologis yang terdiri dari organ-organ atau bagian -bagian yang saling interdependensi.
1
Bagian -bagian tersebut memiliki fungsi yang berbeda dengan yang lainnya dan pada akhirnya menciptakan struktur dalam masyarakat sesuai dengan kemampuan
2
yang dimilikinya yang membuatnya seimbang sehingga apabila ada bagian yang tidak berfungsi maka akan mempengaruhi bagian yang lainnya. Setiap masyarakat diatur dengan fungsi yang dimiliki sehingga menciptakan keadaan harmoni. Struktur tersebut dipahami bahwasannya konflik tidak akan pernah muncul karena kesadaran individu pada kemampuan dan fungsi yang dimilikinya. Hal ini ditentang oleh para pencetus teori konflik seperti Simmel, Dahrendorf dan lainnya. Konflik sangat dibutuhkan dalam perubahan sosial masyarakat. Menurut Coser konflik tidak hanya berwajah negatif, konflik memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan- perubahan sosial yang diakibatkannya. Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian dapat memberi peran positif atau fungsi positif dalam masyarakat (Susan, 2009:54). Dapat dilihat bahwa sebenarnya konflik ataupun pertikaian memang sangat dibutuhkan dalam mencapai perubahan dalam struktur sosial masyarakat karena dengan adanya konflik maka akan tercipta suatu konsensus. Salah satu konflik yang sering terjadi di Indonesia adalah pertikaian antar pelajar baik berbentuk tawuran, kekerasan dan lain sebagainya. Sebagai contoh yaitu tawuran antar pelajar yang terjadi di daerah Karang Tengah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Tawuran yang terjadi antar kelompok sekolah yaitu SMKN 1 Cibadak dan SMK Lodaya mengakibatkan kerugian yang sangat besar baik. Bukan hanya sarana dan prasarana saja melainkan juga kenyamanan bagi masyarakat disana. Bahkan kasus ini juga mengakibatkan kematian. Peristiwa ini terjadi di tahun 2013,
3
bermula ketika sebagian siswa SMKN 1 Cibadak pulang dan melewati sekolah SMK Lodaya. Pada saat itu mereka dihadang oleh sebagian kelompok SMK dan terjadilah perkelahian. Umumnyadalam aksi tawuran setiap kelompok selalu membawa bendabenda tajam yang berfungsi untuk melukai kelompok lawan. Siswa SMK sadar bahwa massa kelompok mereka tidak sebanyak massa SMK Lodaya maka dari itu sebagian siswa SMK melompat kedalam sungai untuk menghindari pertikaian yang terjadi yang pada akhirnya mengakibatkan kematian karena didasarkan pada ketidakmampuannya untuk berenang dan dilemparinya batu ke sungai oleh kelompok massa SMK Lodaya. Siswa SMKN 1 Cibadak geram dengan adanya peristiwa kematian yang ada dan kejadian ini terdengar oleh para alumni SMKN 1 Cibadak sehingga terjadi aksi penghancuran gedung sekolah SMK Lodaya sebagai aksi balas dendam dan pada akhirnya kasus tersebut diselesaikan melalui jalur hukum. Hal ini tentunya menjadi masalah yang sangat krusial. Permasalahan ini bukan hanya sebatas kenakalan remaja saja tetapi lebih daripada itu. Ada prinsip dan nilai yang dipegang teguh bagi sebagian kelompokdapat dikatakan sebagai suatu aksi balas dendam yang terorganisir. Konflik tersebut ada karena sebelumnya ada penyebab yang pada akhirnya berkorelasi pada pertikaian hingga sekarang. Dikatakan oleh Dahrendorf bahwa konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan mungkin terlibat dalam konflik dan Dahrendorf menyebutnya sebagai “integrated into a common frame of
4
reference” (Susan, 2009:49). Setiap relasi hubungan struktur sosial yang ada ditentukan oleh suatu kekuasaan dan melegalkan koersi dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat digambarkan melalui pertikaian atau konflik antar sekolah ada sesuatu yang mengatur dan tentunya selalu terdapat suatu paksaan yang muncul dari lingkungan sekitar. Penulis ingin mengetahui apakah penyebab yang terjadi sehingga memunculkan pertikaian antar sekolah dan melihat hakikat konflik menurut pelaku serta nilai-nilai yang dipegang teguh dalam melakukan pertikaian bagi sebagian kelompok dengan menggunakan teori Dahrendorf.
1. Rumusan masalah Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut? 1. Apa penyebab munculnya konflik antara pelajar SMKN Lodaya dengan SMKN 1 Cibadak dan nilai filosofis apa yang menjadi landasan bagi suatu kelompok? 2. Bagaimana teori Konflik Dahrendorf? 3. Apa relevansi pemikiran Dahrendorf terhadap permasalahan tawuran yang terjadi antara pelajar SMK Lodaya dengan SMKN 1 Cibadak ?
2. Keaslian Penelitian
5
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
dalam
bidang
filsafat
dengan
menggunakan objek material pertikaian antar pelajar dengan menggunakan objek formal teori Konflik Dahrendorf. Sejauh ini tidak ada penelitian yang meneliti tentang hal ini, oleh karena itu penelitian ini dijamin keasliannya. Adapun penelitian yang terkait dengan masalah tawuran sebagai berikut : a. Maulana Arief Kuncoro (09/280416/SP/23199), 2014,Bottom-Up dan SatgasPelajar(Dominasi
Social
Promoted
dalam
Implementasi
Kebijakan
PenangananTawuran Pelajar di Kota Bogor), Skripsi, Yogyakarta: Fakultas ISIPOL UGM. Skripsi tersebut menjelaskan mengenai kebijakan publik dalam menangani permasalahan tentang tawuran pelajar di bogor dengan menciptakan kebijakan baru dalam membentuk satuan petugas pelajar (SATGAS Pelajar) untuk mengontorol dan mengawasi siswa untuk tidak melakukan tawuran. b. Munawar, (0388-H-2013), 2013,Hubungan Konflik Antar Warga Dengan Keamanan Kemanusiaan dan Implikasinya terhadap Ketahanan Wilayah (Studi Kasus Tawuran Warga di Kecamatan Johar Baru Jakarat Pusat Tahun 2010-2011), Tesis, Yogyakarta: S2 Ketahanan Nasional UGM. Tesis ini menjelaskan tentang penyebab dan faktor – faktor yang mempengaruhi konflik serta hubungan antara konflik, keamanan kemanusiaan dan ketahanan wilayah. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi dan menciptakan suatu konflik dalam masyarakat serta terdapat implikasi negatif
6
dan siginifikan antara konflik dengan, ketahanan wilayah dan kemanan kemanusiaan.
c. Maida Rachmania, (08/278935/PPS/01888), 2013,Strategi Pemutusan Rantai Tawuran dan Pengembangan Perdamaian di Sekolah (Studi Kasus di SMA „C‟ Yogyakarta), Tesis, Yogyakarta: S2 Psikologi UGM Tesis ini menjelaskan tentang solusi yang dapat diberikan untuk memutuskan rantai tawuran di SMA „C‟ Yogyakarta dengan menganalisis aspek psikologis dalam proses perdamaian konflik antar pelajar d. Kurniati Zainnudin, S.Psi, 1457-H-2011, 2011,Dendam dan Pemaafan dalam Konflik Antar Kelompok (Studi Kasus Tawuran Kelompok Mahasiswa di Makassar), Tesis, Yogyakarta: S2 Psikologi UGM. Tesis ini menjelaskan bahwa penyebab konflik adalah isu atau rumor negatif dan kekerasan yang diberikan kepada kelompok lain yang pada akhirnya menguatkan identitas kelompok dimana setiap setiap perlakukan buruk pada anggota kelompok dinaggap sebagai ancaman bagi kelompok. Pemaafan sulit terjadi karena adanya rasa ketidakenakan kepada anggota kelompok yang lainnya. e. Hikmah Tahir, 2207-H-2011, 2011,Stereotipisasi Etnis Melalui Resepsi Audiens (Studi Resepsi Audiens Enis Melayu dan Banjar terhadap Tayangan Bentrok dan Tawuran TVONE yang berlokasi di Makassar, Tesis, Yogyakarta: S2 Ilmu Politik/Ilmu Komunikasi UGM. 7
Tesis ini menjelaskan bahwasannya adanya steriotip negatif terhadap salah satu etnis yaitu etnis Makasaar melalui tayangan bentrok dan tawuran yang berlokasi di Makassar yang disirakan di media televisi (TVONE) berdasarkan hasil interpretasi audiens. f. Kartika Wati, 2015, Kajian Kriminologi Terhadap Anak Pelaku Tawuran Antar Pelajar Sekolah Menengah Atas di Wilayah Kabupaten Sleman 2015, Skripsi, Yogyakarta: Hukum UGM
3. Manfaat Penelitian a. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan pengetahuan tentang teori konflik, disertai dengan contoh kasus konkret dan refleksi kritis mengenai pemikiran tokoh tentang konflik.
b. Bagi Ilmu Filsafat Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi akademis dalam perkembangan ilmu filsafat dan menjadi salah satu kajian pustaka bagi ilmu filsafat terutama fokus studi sosial politik.
c. Bagi Negara Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
gambaran
mengenai
permasalahan tawuran yang terjadi di Indonesia beserta penyebab dan 8
akibatnya. Penelitian ini juga diharapkan mampu untuk dapat memberikan kontribusi dan solusi bagi permasalahan tawuran antar kelompok sekolah dan memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat ataupun kebijakan pemerintah dalam menangani hal ini.
B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui penyebab konflik dan nilai yang muncul dari konflik tersebut 2. Mendeskripsikan dan memahami teori konflik Dahrendorf 3. Memahami konsep pemikiran Dahrendorf dalam menelaah kasus tawuran yang terjadi di Indonesia 4. Menemukan relevansi pemikiran Dahrendorf tentang konflik antara pelajar SMKN Lodaya dengan SMKN 1 Cibadak
C. Tinjauan Pustaka Dunia pada saat ini penuh dengan konflik yang merupakan tantangan baru bagi manusia. Problem eksistensi manusia begitu banyak. Semakin banyaknya persediaan senjata pembunuh massal, eksploitasi sumber alam yang tidak mempertimbangkan akan kelestarian alam yang jumlahnya sangat terbatas, kerakusan, konsumerisme, bahaya pencemaran, ledakan jumlah penduduk yang
9
menderita kemiskinan dan kelaparan, penghisapan terhadap kaum buruh adalah faktor yang sangat potensial untuk memicu terjadinya konflik (Sahanudin, 2003: 98) Konflik tidak bisa dihilangkan dan konflik hanya bisa dikelola sumbersumbernya. Konflik adalah satu bentuk interaksi sosial. Interaksi sosial adalah perjumpaan-perjumpaan di ruang sosial antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Konflik merupakan gejala sosial yang selalu terdapat didalam setiap masyarakat dalam setiap kurun waktu. Konflik merupakan salah satu produk hubungan sosial karena tidak terlepas dari hubungan masyarakat (Muhammad, 2008: 78) Konflik sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Konflik lahir dari interaksi antar individu maupun kelompok dalam berbagai bentuk aktifitas sosial, ekonomi, politik dan budaya. Konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentang dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi sebaliknya integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. (Sahanudin, 2003:95) Salah satu konflik yang terjadi di negara ini adalah tawuran yang dilakukan oleh kelompok pelajar. Tawuran dapat dikatakan suatu aksi yang dilakukan oleh kelompok yang bertikai dengan melakukan perkelahian.Tawuran pelajar merupakan 10
perselisihan yang terjadi antar sekolah yang umumnya perkelahian secara fisik antar pelajar sekolah. Pelajar sekolah menengah atas pada umunya berumur 16 (enam belas) hingga 18 (delapan belas) tahun dan hal ini termasuk dalam fase remaja. Proses pertumbuhan dan perkembangan anak yang digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak. Fase remaja ini dimulai pada usia 14 sampai 21 tahun. Fase tersebut dapat dikatakan sebagai fase pubertas dan adolescent yang berarti terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Fase remaja ini terjadi perubahan-perubahan besar. Perubahan besar yang dialami anak membawa pengaruh pada sikap dan tindakan ke arah yang lebih agresif sehingga pada periode ini banyak anak- anak dalam bertindak dapat digolongkan ke dalam tindakan yang menunjukan ke arah gejala kenakalan anak (Kartika Wati, 2015: 30). Tawuran juga muncul akibat adanya historitas yang dimiliki oleh suatu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Implikasi dari aksi tersebut adalah munculnya identitas kelompok. Dilihat dari kacamata psikologi aksi tawuran merupakan dimana ada sejarah, tradisi dan cap yang lama melekat pada satu sekolah yang lalu terindoktrinasi dari para siswa senior kepada juniornya. Akibat yang terjadi adalah siswa terperangkap dalam identitas sosial sekolah dan tradisi tawuran dengan sekolah lain. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam prilaku tawuran antar pelajar identitas sosial berpengaruh besar terhadap kecendurungan perilaku tersebut (Rahmania, 2013: 37). Kekerasan dengan cara tawuran sudah dipahami oleh siswa
11
sebagai resolusi terakhir dalam penyelesaian masalah yang ada dan tawuran dianggap sebagai jalan terakhir. Sebagian juga berpendapat bahwa tawuran terjadi akibat pengaruh dengan mengatasnamakan almamater sekolah. Kelompok tawuran pada awalnya merupakan kelompok bermain yang dinamis. Permainan yang bermula bersifat netral, baik dan menyenangkan kemudian berubah menjadi sebuah perilaku eksperimental yang berbahaya dan sering menganggu atau merugikan orang lain. Pada akhirnya kegiatan tesebut menjadi sebuah tindakan kriminal. Semakin sering frekuensi kegiatan bersama dalam bentuk keberandalan dan kejahatan itu membuat kelompok remaja ini menjadi semakin “ahli” dalam berkelahi dan terbentuk sebuah perilaku deskruktif seperti perkelahian kelompok, pengeroyokan, perang batu dan termasuk perkelahian antar sekolah. Aksi tesebut mempunyai tujuan khusus yaitu mendapatkan prestige individual juga memiliki dalih untuk menjunjung tinggi nama sekolah (Aprilia, Indrijati, 2014:75).Tawuran yang terjadi diakibatkan karena kesalahpahaman yang terjadi antara satu kelompok dengan yang lainnya ataupun dendam pribadi yang terus menerus diteruskan oleh kelompok yang dampaknya berakibat bukan hanya pada sarana dan prasarana, masyarakat tetapi juga kepada teman sebaya yang bersekolah di sekolah yang sama. Permasalahan tawuran ini sebenarnya bukan permasalahan yang baru melainkan permasalahan yang telah muncul sejak lama. Permasalahan ini sering terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta, Depok, Bogor, Makassar dsb. Seperti contoh pada periode 1989-
12
1992 tawuran pelajar di kota Jakarta menurut catatan Polda Metro Jaya sebanyak 700 kasus dan itu berarti rata-rata 175 kasus tawuran per tahun dan menewaskan 28 pelajar (Saleh, 2004:21). Berbeda dengan didaerah Depok, Polresta Depok mencatat sejak Januari-September 2015 ada 105 kasus tawuran (Saleh, 2004: 22). Tawuran di daerah Sukabumi juga menyebabkan kematian siswa akibat aksi tawuran. Hal ini semacam kegiatan yang wajib dilakukan bagi kelompok sekolah. Pada umunya aksi tawuran dilakukan oleh sekolah menengah kejuruan walau tidak menutup kemungkinan sekolah menegah atas melakukan hal yang sama. Banyak sekali faktorfaktor yang mempengaruhi individu untuk ikut bergabung dalam aksi tawuran baik faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal meliputi lingkungan sekolah, masyarakat dan juga keluarga yang bersangkutan. Seperti contoh lingkungan sekolah yang kurang memadai baik dari segi sarana maupun prasarana seperti mutu pendidikan, kredibilitas tenaga pendidik dan sebagainya serta pengaruh dari aspek keluarga apakah keluarga tersebut harmonis ataukah tidak dan apakah keluarga tersebut mendidik seta mengontrol tindakan si anak. Faktor internal juga mempengaruhi para siswa untuk melakukan aksi tawuran seperti paksaan yang pada akhirnya menciptakan suatu ancaman yang diberikan oleh salah satu anggota kelompok ataupun rasa solidaritas terhadap kelompok sekolah. Dalam hal ini dapat dikatakan sebagian para siswa melakukan secara terpaksa dikarenakan lingkungan yang memaksa hal tersebut. Hal ini dilakukan dari siswa yang memiliki kedudukan yang tertinggi seperti kakak kelas yang biasanya memaksa
13
kepada siswa baru dengan melakukan perekrutan. Perekrutan biasanya dilakukan sembunyi-sembunyi dan ada juga yang berkedok organisasi baris berbaris ataupun yang lainnya yang pada akhirnya siswa-siswa baru tersebut akan diberikan “pendidikan” oleh seniornya. Selain itu juga faktor konflik internal dalam artian aspek yang ada dalam diri remaja seperti pendirian yang labil, sifat agresif tanpa pikir panjang, kurangnya toleransi dan sikap menganggu ketenangan orang lain. Tawuran merupakan sesuatu fenomena yang ada sering terjadi di negara ini. Pemicu aksi tersebut adalah balas dendam yang sebenarnya bersifat sepele yang pada akhirnya menimbulkan suatu kekecewaan dan berujung pada aksi balas dendam. Dalam hal ini pertikaian yang dilakukan bukan hanya sekedar aksi kenalan remaja
saja
tetapi
lebih
daripada
itu.
Aksi
tersebut
dilakukan
dengan
mempertahankan nilai yang dipegang teguh. Nilai-nilai itulah yang menjadi pegangan bagi suatu kelompok dalam mempertahankan eksistensinya yang diberikan turuntemurun kepada anggota yang baru didalam kelompok tersebut. D. Landasan Teori Tawuran dapat dikatakan sebagai problem sosial dimana terdapat struktur sosial di dalam konflik tersebut. Struktur tersebut bersifat sistematis dalam artian ada seseorang yang memiliki otoritas yang lebih tinggi dibanding yang lainnya. Dahrendorf dalam kritiknya terhadap Ekonomi Kapitalis Marx tentang teori pembentukan kelas mengatakan bahwa hal tersebut terbentuk bukan didasarkan pada kepemilikan alat produksi namun pengontrolan atas alat produksi. Dapat diartikan 14
bahwasannya kuasa atau kedudukan otoritas yang memiliki peran penting dalam mengontrol segalanya. Dahrendorf menganggap bahwa kontrol yang dimilik pemilik modal ini bersifat laten atau potensial (tidak aktif) (Dahrendorf, 1986: 213). Kontrol yang laten dapat diubah menjadi kontrol yang aktif hanya dengan mempengaruhi orang yang ada didalam posisi otoritas tersebut. Menurut Dahrendorf dalam sistem masyarakat selalu terdapat konsensus dan konflik. Kedua hal tersebut tidak dapat saling dipisahkan. Dahrendorf menekankan pemikirannya pada distribusi otoritas yang didalamnya terdapat suatu ketidakbebasan dan koersi. Dinamika konflik yang digambarkan Dahrendorf pada dasarnya menempatkan dua kelompok kelas yang saling bertentangan sebagai akibat dari pembagian otoritas dari keduanya. Namun pembagian otoritas itu tidak bersumber pada kepentingan individu tetapi didasarkan pada posisi yang sudah melembaga dan sah dalam suatu “asosiasi yang terkoordinasi secara imperatif” atau dapat juga disebut dengan Imperatively Coordinated
Associations
(ICA)
(Turner,
1998:166).
Dahrendorf
juga
memperkenalkan apa yang disebut Kepentingan Laten (Laten Interest) yang berarti bahwa kepentingan kelas dibentuk dan ditentukan semata-mata oleh struktur sosial yang memiliki otoritas tanpa disadari oleh anggota kelas sosial (Dahrendorf, 1986: 216). Dahrendof menekankan pada kepemilikan kekuasaan. Kekuasaan memegang peran penting dalam struktur organisasi kekuasaan. (Dahrendorf, 1986: 201).Konflikkonflik yang terjadi pada tingkat kekuasaan, struktur birokrasi dan strata sosial
15
didalam masyarakat merupakan perkembangan manusia dalam pengembangan nilai dan kreativitas serta inovasinya yang keduanya memiliki korelasi yang sangat kuat dan berimbas pada perubahan struktur nilai-nilai ataupun pranata yang ada. Gesekangesekan dan pertikaian yang terjadi antar individu maupun kelompok didalam lingkungan masyarakat dan kompetisi yang menuntun ke arah perubahan. Dahrendorf menitik beratkan pada bentuk kepentingan dan membaginya menjadi dua yaitu kepentingan laten dan kepentingan manifest. Kepentingan manifest muncul ketika kepentingan tersebut berbeda dengan yang lainnya. Konflik laten adalah penyebab yang paling mendasar bagi pertikaian yang terjadi. Konflik laten harus diatasi sebelum konflik tersebut berubah menjadi besar. Konflik laten terjadi muncul karena rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh salah satu pihak kelompok, merasa dirugikan dan dikecewakan. Dahrendorf juga mengatakan bahwa dalam hubungan yang saling berkorelasi selalu saja ada konflik dan hal itu tidak bisa dihindarkan(Zeitlin, 1995: 171). Kepentingan laten adalah kepentingan yang ditentukan semata-mata oleh struktur sosial dan tidak disadari oleh anggota kelas sosial. Jika kepentingankepentingan yang ada hanya bersifat laten maka kepentingan tersebut tidak dapat menjadi dasar yang jelas bagi pembentukan kelompok sosial. Dapat dikatakan bahwa kelompok tersebut adalah kelompok semu yang didalamnya terdiri dari pemegang otoritas untuk dipatuhi dan yang lainnya harus mematuhi. Apabila dalam kelompok semu tersebut mengembangkan kesadaran kepentingannya maka akan lahir kembali
16
apa yang disebut dengan kelompok kepentingan. (Johnson, 1986:186). Pernyataan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
KELOMPOK SEMU
Sadar akan Kepentingannya
KELOMPOK KEPENTINGAN
KELOMPOK KEPENTINGAN
KELOMPOK KEPENTINGAN
DAPAT SALING BERKONFLIK (PERBEDAAN KEPENTINGAN)
(Gambar kelompok semu berubah menjadi kelompok kepentingan) Gambar diatas dapat dijelaskan bahwa ketika suatu kelompok semu berubah menjadi kelompok kepentingan didasarkan pada perubahan kepentingannnya menjadi kepentingan nyata maka kelompok semu tersebut berubah menjadi kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan ini pada dasarnya dapat saling berkonflik
17
didasarkan perbedaan maksud dan tujuan. Dahrendorf menganggap dengan adanya konflik bahwa akan terjadi perubahan-perubahan baik berupa disintegrasi ataupun perubahan kearah yang lebih baik dan perubahan tersebut timbul karena adanya pertentangan-pertentangan yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat atau kelompok. Aspek otoritas juga memiliki peranan penting bagi Dahrendorf. Seperti sudah disebutkan sebelumnya Dahrendorfmenekankan pada distribusi otoritas. Seseorang dipandang lebih tinggi dilihat berdasarkan kedudukan sosial yang dimilikinya dan biasanya melakukan pengendalian atau pengaturan terhadap seseorang. Perbedaan otoritas ini dapat memicu pertentangan ataupun konflik karena ketidakpuasaan atau kekecewaan yang dialami sesuai dengan kondisi yang dimilikinya (Dahrendorf, 1986: 201). Menurut Dahrendorf kelas sosial juga mempengaruhi konflik yang ada. Mengkritik pemikiran Marx Dahrendorf mengatakan bahwa masalah yang terjadi pada zaman sekarang bukan hanya sebatas antara kaum pemilik modal dengan kaum proletar tetapi lebih kepada seseorang yang memiliki kontrol walaupun kelompok tersebut bukanlah pemilik alat. Ini menandakan adanya kelompok penengah antara kaum pemilik alat dan kaum proletar. Masyarakat post capitalissebenarnya bukan hanya kelompok pemilik modal dan kelompok proletar saja yang ada tetapi juga kelompok ketiga dimana kelompok “proletar” memiliki kontrol atas alat produksi. Konflik-konflik yang ada didasarkan pada kepentingan-kepentingan suatu kelompok.
18
Dahrendorf mengatakan bahwa kepentingan dibagi menjadi dua yaitu kepentingan laten dan kepentingan manifest(Dahrendorf, 1986: 218) Kepentingan laten adalah kepentingan yang tidak disadari oleh suatu kelompok sedangakan kepentingan manifest adalah sebaliknya yaitu kepentingan yang disadari oleh suatu kelompok. Sesuai dengan gambar diatas bahwasannya kelompok-kelompok yang ada dibagi lagi menjadi dua bentuk yaitu kelompok semu dan kelompok kepentingan. Dahrendorf juga memasukan fungsi institusi dalam teori konfliknya.
Menurut
Dahrendorf
institusi
juga
berperan
penting
dalam
menyumbangkan bagian dari konflik sosial baik yang bersifat internal maupun eksternal. Institusi juga dapat berperan sebagai wadah interaksi antara individuindividu ataupun kelompok yang ada sesuai dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Segala aspek yang ada pada akhirnya bertujuan untuk menciptakan suatu perubahan pada setiap elemen masyarakat baik cepat ataupun lambat. Konflik-konflik yang ada pada akhirnya akan menciptakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur sosial masyarakat ke arah yang lebih positif (Dahrendorf, 1986: 219)
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang filsafat dengan objek material tentang pertikaian antar pelajar. Penelitian ini berjenis penelitian
19
kepustakaan dengan menelaah objek permasalahan yang terjadi yang didapatkan dari berbagai sumber literatur dan juga menggunakan jenis penelitian sistematis di lapangan untuk dapat menganalisis keyakinan-keyakinan yang dipegang teguh suatu kelompok dengan menggunakan pendekatan kualitatifyang mempunyai arti sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati sebagai instrumen metodis. Pemilihan tersebut dirasa cocok karena sesuai dengan visi penelitian yang memang ingin menemukan makna dalam tataran subjek.Pendekatan tersebut melihat fenomena empiris melalui proses wawancara kepada sebagian orang yang pernah terlibat dalam pertikaian antar remaja yang bertujuan untuk mengungkap fenomena atau kejadian yang sebenarnya yang pada akhirnya data yang didapat akan diolah dan dianalisis dengan mengaitkan antara objek material dengan objek formal. 2. Bahan Penelitian Bahan penelitian adalah studi pustaka dari berbagai sumber referensi tentang masalah yang terkait dengan dibantu data yang diperoleh melalui proses wawancara kepada sebagian individu yang pernah terlibat dalam aksi tawuran. Sumber atau data yang diperoleh akan digunakan sebagai acuan dan diklasifikasikan menjadi dua yakni bahan yang bersumber dari data primer dan bahan yang bersumber dari data sekunder yaitu studi kepustakaan dengan dibantu hasil data wawancara kepada seseorang yang pernah ikut terlibat akan aksi tawuran.
20
a. Bahan data primer Data primer merupakan data atau bahan penelitian yang berdasarkan pada kepustakaan. Adapun sumber yang dijadikan bahan primer sebagai berikut : 1. Ralf Gustav Dahrendorf, 1986,Class and Class Conflict in Industrial Society diterjemahan Ali Mandan. Konflik dan Konflik dalam masyarakat Industri : Sebuah Analisa Kritik, Jakarta, Rajawali. 2. Saleh, Imam Anshori, 2004,Tawuran Pelajar, Fakta Sosial yang Tak Bekesudahan di Jakarta, Yogyakarta, IRCiSoD. 3. Siswanto, Dwi, 2009, Orientasi Pemikiran Filsafat Sosial, Yogyakarta, Lima. 4. Data lapangan yang dilakukan melalui proses wawancara kepada seseorang yang pernah melakukan aksi tawuran tersebut.
b. Bahan Data Sekunder Penelitian ini juga menggunakan data observasi lapangan untuk mendukung mendukung data primer yaitu data kepustakaan kemudian akan disajikan dalam bentuk teks atau tulisan. Selain itu penelitian ini juga menggunakan sumber lain sebagai bahan pelengkap dan tambahan seperti buku, artikel, majalah, surat kabar maupun berita atau artikel ilmiah dari internet yang berhubungan dengan tema penelitian baik itu objek formal maupun objek materialnya. Adapun buku yang dijadikan data sekunder adalah:
21
1. Beilharz, Peter, 2003,Teori – Teori Sosial Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2. Tuner, Bryan S, 2012, Teori Sosial dari Klasik sampai Postmodern, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 3. Craib, Ian, 1994,Teori-Teori Sosial Modern dari Parsons sampai Habermas, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. 4. Zeitlin, M. Irving, 1995,Memahami Kembali Sosiologi Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, Yogyakarta, Gadjah Mada University. 3. Alur Penelitian Adapun alur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : a) Inventarisasi data : Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan sumber referensi yang beragam untuk dapat menjelaskan objek material dan objek formal dan mencari sumber dari proses wawancara dengan sebelumnya mencari seseorang yang pernah menjadi pelaku aksi tawuran. Wawancara dilakukan melalui approachment terhadap pelaku secara berkesinambungan. b) Klasifikasi data : wawancara
Referensi pustaka yang diperoleh dan data hasil
selanjutnya
menjadi
bahan
penelitian
sehingga
akan
diklasifikasikan menjadi bahan primer dan sekunder. Data yang diperoleh selanjutnya dikategorikan dan dikalsifikasikan. c) Pengolahan dan sistematisasi data : Data yang ada kemudian diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan data yang sistematis didasarkan
22
pada kerangka berpikir. Data yang ada pada akhirnya dikategorikan dan di inventarisasi yaitu pengumpulan data kepustakaan sebanyak mungkin dan penunjang lainnya yang berkaitan dengan objek materal dan objek formal penelitian kemudian dipilah sesuai tujuan penelitian. d) Analisis dan refleksi hasil penelitian : Setelah data yang ada diolah kemudian akan dianalisis dan diinterpretasikanberdasarkan rumusan masalah yang telah disusun sebelumnya dan direfleksikan terhadap kondisi realitas pertikaian antar remaja yang terjadi di Indonesia. 4. Analisis Hasil Analisis hasil penelitian dilaksanakan dengan memperhatikan aspek – aspek berikut : a) Deskripsi yaitu penjelasan secara jelas dan lugas mengenai suatu hal tertentu. Pemikiran yang ada juga perlu dideskripsikan agar dapat dimengerti oleh orang lain sehingga akan menjadi sebuah petuujuk yang bermanfaat bagi hubungan antar manusia. b) Kesinambungan Historis yaitu rangkaian kegiatan dan peristiwa dalam kehidupan seseorang. Sesuatu yang baru berlandaskan yang dahulu tetapi juga sebaliknya bahwa yang lama mendapat arti dan relevansi baru dalam perkembangan di saat kemudian (Baker & Zubair, 1990:47) c) Koherensi Internal yakni terdapat relasi internal yang koheren. Meski ada “oposisi” diantaranya tetapi unsur-unsur didalamnya tidak boleh bertentangan
23
satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur structural menjadi hakikat universal ketika ada kesinambungan antara unsur-unsur struktural tersebut (Baker & Zubair, 1990:44-46). d) Refleksi yaitu penggambaran atas realita yang terjadi dengan nilai sebagai suatu patokan yang seharusnya terjadi dalam segala tindakan. Apakah suatu realitas yang ada sudah sesuai dengan nilai-nilai dan apakah nilai-nilai yang ada didalam kehidupan tersebut sudah diimplementasikan secara nyata pada tindakan dan realitas. Refleksi digunakan untuk evaluasi kritis dan kritik tentang jarak yang ada antara nilai dan fakta. Data yang terkumpul selanjutnya dilakukan tahap inventarisasi dan kategorisasi yaitu pengumpulan data kepustakaan sebanyak mungkin dan penunjang lainnya yang berkaitan dengan objek materal dan objek formal penelitian kemudian dipilah sesuai tujuan penelitian. Selanjutnya dilakukan klasifikasi yaitu memilah data yang telah diperoleh menjadi data primer dan data sekunder. Pemisahan dan klasifikasi dilakukan pada sumber seperti buku, jurnal, dan artikel yang memiliki keterkaitan dengan objek formal dan objek material penelitian. Data primer digunakan sebagai acuan utama sementara data sekunder sebagai penunjang jalannya penelitian. Penelitian ini juga menggunkan unsur metodis deskripsi, interpretasi pemahaman atau verstehen, idealisasi, holistika dan analisis kausal. Deskripsi dalam arti menggambarkan fakta-fakta yang terjadi, sedangkan fakta-fakta yang ada
24
diinterpretasikan yang pada akhirnya harus dilakukan pemahaman(verstehen) untuk melihat konsepsi filsafati yang ada dan berusaha memahami posisi objek dengan empati dan pemancaran. Subjek berusaha sedekat mungkin dengan objek agar mendapatkan pemahaman yang mendekati. Data-data yang ada tidak jarang terdapat inkonsistensi didalamnya oleh karena itu dibutuhkan idealisasi sehingga konsep yang ada menjadi murni. Sedangkan analisis kausal berarti mengidealkan interelasi yang didapat dengan mengidealkan posisi konsep sosiologis yang kemudian diidentifikasi kausalitas kejadiannya dalam ranah historis. Idealisasi berupa pandangan dalam melihat adanya ketidakselarasan serta holistika dalam melihat relasi hakikat manusia didalamnya. 5. Model Penelitian Model penelitian yang digunakan adalah model penelitian mengenai masalah aktual. Penelitian ini mengkaji suatu fenomena yang ada atau situasi aktual yang terjadi pada situasi masyarakat yang multidimensional. Pada nantinya penelitian ini mampu untuk dapat mengidentifikasikan filsafat tersembunyi (konsepsi filosofis) nilai dalam kelompok yang dijadikan suatu landasan bagi eksistensi suatu kelompok. 6. Metode Penelitian Metode penelitian dengan menggunakan proses wawancara untuk dapat mengumpulkan data – data mentah yang ada dilapangan bagi penelitian filosofis . Pertama – tama dikumpulkan dan diuraikan semua data mengenai kedudukan masalah, peristiwa -peristiwa atau situasi faktual. Dalam mengkaji penelitian ini juga digunakan metode hermeunitika untuk mampu mendapatkan interpretasi yang baru 25
dan menemukan arti atau struktur yang ada dalam suatu kelompok dengan mengetahui runtutan historitas yang ada secara berkesinambungan. Pengambilan data juga dilakukan dengan menggunakan metode snowball samplingkepada sebagian responden untuk mendapatkan data sesuai yang diharapkan. Ketika hasil data yang didapat memiliki kesamaan maka pada akhirnya penelitian lapangan berhenti.
F. Hasil yang akan dicapai Hasil yang akan dicapai penelitian filsafat ini mengacu pada rumusan masalah yaitu: 1. Memahami penyebab munculnya konflik pertikaian yang terjadi antar pelajar dan mengetahui nilai yang ada didalam konflik tersebut. 2. Memahami teori Dahrendorf tentang konflik 3. Mampu merefleksikan pemikiran Dahrendorf tentang konflik antar pelajar yang terjadi di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan Rencana Penulisan ini akan disistemasikan menjadi lima bab terdiri dari : BAB I : Menguraikan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah yang terdiri dari rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan
26
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang terdiri dari jenis, bahan, alur dan analisis hasil penelitian, hasil yang ingin dicapai serta sistematika dalam penulisan skripsi. BAB II : Menguraikan teori konflik Dahrendorf secara komprehensif mulai dari biografi tokoh serta pemikirannya tentang konflik. BAB III : Menguraikan akar permasalahan tawuran yang terjadi antar pelajar mulai dari penyebabnya dan sistem yang ada didalamnya yang sebagian besar konflik tersebut bersifat turun- temurun. BAB IV : Menguraikan pemikiran Dahrendorf dalam melihat masalah pertikaian yang terjadi antar pelajar serta mengkaji masalah tersebut dengan teori konflik Dahrendorf bahwa didalam aksi tawuran tersebut terdapat suatu otoritas yang mengatur segalanya. BAB V : Berisi kesimpulan hasil penelitian dan jawaban dari rumusan masalah yang telah diteliti. Bab penutup ini terdiri dari kesimpulan dan saran.
27