1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Masalah identitas kultural suatu kelompok merupakan pembeda suatu
kelompok dengan kelompok lain yang didasarkan pada parameter tertentu dengan prinsip-prinsip tertentu (Hall dan Gay, 1996). Parameter pembeda dapat diacu pada berbagai dimensi kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok. Sejalan dengan ini, budaya tersebut dapat dilihat sebagai “cultural arena”1 yang menjadi ruang di mana identitas dibangun dan diubah. Dua kebudayaan dapat muncul dan menjadi pilihan bagi sekelompok orang pada suatu tempat, sebagaimana terjadi di daerah perbatasan. Konflik nilai tentu saja tidak bisa dihindari ketika kebudayaan satu dengan yang lain memberikan pilihan yang berbeda atas suatu praktik kehidupan yang kemudian melahirkan ketegangan kultural yang meluas dan berkepanjangan. Setiap ketegangan kultural dapat terjadi karena setiap kebudayaan memiliki nilainilai yang berbeda yang diyakini dan dipraktikkan secara berbeda dalam kehidupan individual dan kolektif. Pembedaan antarmasyarakat yang didasarkan pada perbedaan kebudayaan ini tidak hanya menjadi basis konflik, tetapi juga akomodasi pada saat pertukaranpertukaran kebudayaan terjadi yang menyebabkan identitas suatu masyarakat 1
Cultural Arena ini berbeda dengan konsep Culture Area Franz Boas yang menunjuk pada wilayah kebudayaan secara generik, sementara arena menunjuk pada wilayah interaksi antar orang atau kelompok orang (lihat Wieviorka, 1995).
2
menjadi lebih kaya, sebagaimana terjadi di wilayah perbatasan.2 Dengan demikian, identitas dapat terbentuk atas berbagai alasan dan perbedaan. Arena kebudayaan ditentukan oleh keadaan sekitar, lingkungan dan masyarakat yang mempengaruhi bagaimana kebudayaan dipersepsikan dan dijadikan dasar dalam pembentukan suatu identitas.3 Identitas kebudayaan di Indonesia hampir selalu dihubungkan secara biner antara kebudayaan tradisional dan moderen, kebudayaan timur dan barat, dan antara kebudayaan dalam negeri dan luar negeri. Kasus yang paling menyita perhatian dewasa ini adalah hubungan kebudayaan antara dua negara bersebelahan yang membentuk batas-batas fisik dan simbolis (Appadurai, 1994). Hubungan kedua negara menjadi kompleks karena perbatasan tidak hanya dipandang dari perspektif politik kewilayahan, tetapi juga dari perspektif sosial dan kultural (Abdullah, 2007; Friedman, 1991). Permasalahan wilayah perbatasan semakin kompleks ketika identitas komunitas perbatasan menjadi agenda pembicaraan.4 Penduduk komunitas perbatasan ibarat berada di dua sisi mata uang. Di satu sisi, mereka adalah warga negara Indonesia yang harus tunduk di bawah pemerintahan dan aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Di sisi lain, mereka sangat 2
Wilayah perbatasan juga menjadi tempat bertemunya dua kebudayaan atau lebih yang pertemuan dua kelompok masyarakat. Kondisi seperti ini dapat memperkaya kebudayaan masing-‐masing dan dapat pula melahirkan konflik ketika perbedaan menjadi tekanan. 3 Dalam kebudayaan dikenal istilah relativisme budaya yang menegaskan setiap kebudayaan memiliki keabsahannya sendiri yang tidak dapat dibedakan begitu saja. Seringkali usaha membedakan satu kebudayaan dengan yang lain melahirkan sikap chauvinistic yang mengagungkan budaya sendiri (Ihromi, 1986). 4 Pembicaraan identitas dalam hubungannya dengan wilayah perbatasan dipicu oleh kasus Sipadan dan Ligitan yang menyebabkan Indonesia kehilangan hak atas pulaunya. Hal ini berbuntut dengan keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 78, tanggal 29 Desember 2005 (lihat Abubakar, 2006).
3
menggantungkan realitas hidup sehari-hari dengan negara lain yang disebabkan oleh fakta bahwa fasilitas dan barang publik yang beredar di wilayah perbatasan hampir selalu berurusan dengan negara asing (Ardhana, 2006). Peluang kerja lebih terbuka di wilayah luar Indonesia, fasilitas listrik menggunakan fasilitas negara tetangga, bahkan barang konsumsi sehari-hari yang tersedia juga berasal dari negara tetangga.5 Ketergantungan pada negara tetangga menjadi faktor penting dalam pendefinisian identitas komunitas perbatasan. Adanya pembatasan identitas yang didasarkan pada batas teritorial menyebabkan terpisahnya satu suku-bangsa di dalam dua negara. Batas teritorial yang temboknya begitu kokoh ternyata tidak bisa membatasi nilai-nilai kultural yang ada di dalam komunitas. Nilai-nilai seperti adat-istiadat, kekerabatan dan ideologi ternyata hanya bisa dibatasi oleh batas kultural. Rasa yang melekat pada diri mereka yang menyatakan bahwa mereka masih bersaudara ternyata tidak bisa luntur hanya karena tembok kekuasaan dua negara. Kekuatan kultural merupakan faktor di dalam interaksi dan komunikasi lintas budaya yang melibatkan anggotaanggota dari latar belakang etnis atau agama yang berbeda. Latar belakang etnis ini telah menjadi faktor dalam pembentukan identitas Badau. Mereka terbagi menjadi beberapa suku-bangsa, seperti suku bangsa Jawa, Melayu, dan Dayak Iban yang masing masing-masing menunjukkan eksistensi dirinya dalam ‘bidang kuasa’ yang mereka miliki. Masyarakat Jawa, misalnya dikenal sebagai masyarakat yang menguasai wilayah perdagangan, sedangkan 5
Barang-‐barang seperti gula, tepung, makanan anak-‐anak, bahkan sayur-‐sayuran seringkali berasal dari Malaysia sebagaimana yang terdapat di Badau, Kapuas Hulu. Jumlah komoditi yang berasal dari dalam negeri sangat terbatas di pasar-‐pasar wilayah perbatasan.
4
masyarakat Dayak Iban dikenal sebagai penguasa ‘tanah’ di wilayah Badau. Pembagian kuasa antaretnis seperti ini, tentu membawa pengaruh tertentu dan menguasai ruang sosial ekonomi dan politik tertentu sehingga menambah kompleksitas persoalan masyarakat perbatasan. Kompleksitas ini seringkali berubah dari waktu ke waktu yang pada akhirnya kompleksitas ini berpuncak pada kasus kewarganegaraan ganda pada masyarakat asli. Sikap mendua seperti ini disebabkan oleh ketimpangan struktural antara masyarakat di daerah perbatasan di Indonesia dan Malaysia sehingga muncul politik etnis yang memungkinkan masyarakat asli untuk memiliki dua identitas yang penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan.6 Ketimpangan struktural yang dialami oleh masyarakat daerah perbatasan, misalnya, adalah kualitas infrastuktur yang masih buruk, sulitnya transportasi, mahalnya berbagai barang kebutuhan pokok, akses kesehatan dan pendidikan yang masih minim, dan ketergantungan yang masih kuat pada Malaysia. Berbagai kekurangan yang mereka dapatkan sebagai orang Indonesia bisa dilengkapi dengan menjadikan diri mereka sebagai orang Malaysia. Menjadi masyarakat Malaysia sebenarnya lebih diuntungkan karena akses pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan yang jauh lebih baik dan lebih murah dibandingkan dengan menjadi warga Indonesia untuk kebutuhan yang sama. Tiga kebutuhan inilah yang pada akhirnya ‘menggoda’ masyarakat Indonesia di perbatasan untuk memiliki dua kewarganegaraan sekaligus atau bahkan sampai mengubah identitas kewarganegaraan mereka. 6
Masyarakat asli bisa diartikan pula sebagai masyarakat Iban atau masyarakat Melayu yang memiliki akses untuk mendapatkan kewarganegaraan ganda akibat bantuan dari saudaranya di Lubok Antu.
5
Fakta ini menjadikan masyarakat Indonesia di Badau terkesan tidak bisa mandiri, yakni suatu kesan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa bantuan Malaysia. Untuk bahan bakar minyak (BBM) saja pemerintah Indonesia tidak bisa menyediakan, begitu juga dengan listrik yang masih dipasok dari Malaysia, tidak mengherankan apabila ‘nilai ke-Indonesiaan’ di daerah ini masih minim sekali. Pemerintah tidak hadir sepenuhnya dalam kehidupan masyarakat, kecuali melalui simbol-simbol negara seperti TNI, POLRI, atau perwakilan pemerintah daerah (seperti Camat dan Lurah), yang sebenarnya simbol-simbol negara ini tidak terlalu dipedulikan oleh masyarakat karena simbol-simbol yang dihadirkan oleh negara ini tidak bisa membantu mereka untuk mengatasi berbagai kesulitan hidup (Manurung, 2006). Untuk mencari nafkah saja, sebagian masyarakat harus bekerja di Malaysia sebagai buruh. Mereka tidak memiliki pilihan lain karena hidup dengan bekerja seadanya di daerah mereka tidak akan bisa mencukupi kebutuhan hidup seperti yang bisa diberikan Malaysia untuk mereka (Prasojo, 2013). Gambaran di atas memperlihatkan adanya tiga dimensi penting dalam perbincangan wilayah perbatasan, khususnya menyangkut identitas yang terbentuk dan berkembang dari waktu ke waktu. Pertama, keberadaan suatu masyarakat sangat ditentukan oleh faktor geografis di mana kondisi geografis dapat menjadi prakondisi bagi lahirnya berbagai sifat dan corak suatu masyarakat (Chambers, 1988; Harris, 1997). Sebagian ahli (Gleditsch, 1996; Ehler dan Gethmann, 2003) menyebutkan ini sebagai environmental determinism yang memperlihatkan bagaimana setiap masyarakat harus berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi alam yang dihadapinya. Kedua, identitas suatu wilayah
6
perbatasan menyangkut latar belakang etnis yang memperlihatkan pengaruh yang signifikan atas orientasi dan tingkat keterlibatan mereka dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (Govers dan Vermeulen, 1997). Faktor etnis ini dapat menjadi katalisator dan dinamisator ketika dikelola dengan cara yang kondusif bagi hubungan-hubungan yang lebih terbuka dan multikultural. Ketiga, keberadaan
suatu
masyarakat
perbatasan
tidak
dapat
dipisahkan
dari
perkembangan ekonomi wilayah di mana hubungan antara satu wilayah dengan wilayah lain di perbatasan banyak ditentukan oleh supply dan demand dalam arti yang sesungguhnya. Ketimpangan dalam supply dan demand yang tampak dari berbagai aspek kehidupan ekonomi dapat dinilai sebagai prakondisi bagi lahirnya kecenderungan tertentu dalam pembentukan dan pelestarian identitas masyarakat (Ardhana, 2006). Demikianlah yang tampak di Badau, suatu desa di wilayah perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Identitas merupakan suatu yang dipertanyakan dalam proses pembentukannya. Posisi geografis Badau yang secara langsung bersinggungan dengan Lubok Anto di Malaysia telah menjadi faktor di dalam mempertanyakan keabsahan identitas orang-orang Indonesia. Berbagai kekuatan etnis (kultural) dan peluang kerja (ekonomi) telah menjadi determinan yang penting di dalam mendefinisikan siapa mereka sesungguhnya, yang menegaskan pentingnya pertanyaan tentang orientasi nilai dan tempat mereka dalam sistem dan struktur sosial (Govers dan Vermeulen, 1997).
7
B.
Rumusan Masalah Kontestasi identitas tidak dapat dipisahkan dari adanya batas geografis dan
politis yang menghubungkan sekaligus memisahkan wilayah Badau dengan wilayah-wilayah di Malaysia. Sejalan dengan ini, menarik untuk dikaji mengapa kontestasi identitas melibatkan sumber-sumber budaya lokal dan bagaimana budaya lokal bertahan dalam proses pencarian identitas yang dilematis di daerah perbatasan. Identitas tidak hanya diterima oleh kelompok masyarakat, tetapi diuji dalam proses interaksi sosial dan dievaluasi dalam suatu wacana sosial yang terjadi secara intensif dari hari ke hari. Ketika identitas nasional selalu berurusan dengan identitas negara-bangsa, maka hal ini menunjukkan pada negara mana dan bangsa mana yang menjadi acuan di dalam pendefinisian jati diri suatu komunitas. Sejalan dengan itu, tiga pertanyaan akan dijadikan landasan dalam pengumpulan data dan analisis penelitian ini, yaitu: 1.
Bagaimana pengaruh ruang tempat tinggal dalam kontestasi identitas budaya pada komunitas di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia?
2.
Bagaimana pengaruh latar belakang etnis masyarakat terhadap hubungan dua negara bangsa dalam pembentukan identitas kultural komunitas perbatasan?
3.
Bagaimana pengaruh kapital ekonomi dalam proses identifikasi diri yang mempengaruhi identitas budaya komunitas perbatasan? Ketiga pertanyaan ini menjadi jalan bagi pemahaman tentang bagaimana
suatu identitas dibentuk dalam suatu ruang struktural suatu masyarakat. Konteks
8
struktural tentu saja tidak dapat diabaikan karena identitas dibangun dan diubah dalam waktu yang berubah secara dinamis.
C.
Tujuan Penelitian Penelitian yang mengkaji identitas sebagai hasil dari suatu dinamika
masyarakat perbatasan ini ditujukan untuk: 1.
Memperoleh suatu peta persoalan kultural yang komprehensif di daerah perbatasan sebagai bagian dari kelanjutan diskusi border studies dalam antropologi;
2.
Menganalisis hubungan kultural yang kontinyu dan diskontinyu dalam masyarakat yang mengalami perubahan seting geografis dan historis; dan
3.
Memahami pilihan-pilihan mendasar yang dibuat oleh sekelompok masyarakat yang memang termarginalkan oleh proses sosial ekonomi dan politik Dengan mencapai sasaran tersebut diharapkan studi ini akan memberikan
manfaat dalam pemikiran ulang pendekatan antropologi dalam meneliti masyarakat perbatasan, khususnya menyangkut hubungan-hubungan dimensi geografis dan antropologis dalam kehidupan komunitas. Dengan cara ini pula manfaat praktis dapat diharapkan, khususnya di dalam membangun pilihanpilihan baru dalam pemecahan masalah daerah perbatasan.
9
D.
Tinjauan Pustaka Permasalahan terkait daerah perbatasan telah menjadi pokok perbincangan
yang menarik untuk terus diuji. Dimulai dari permasalahan klasik tentang ketimpangan yang dirasakan oleh komunitas perbatasan yang pada akhirnya menyebabkan kecemburuan sosial di antara penduduk, yang sebenarnya satu suku bangsa, tetapi dipisahkan oleh ‘batas teritorial’. Kecemburuan ini pada akhirnya memaksa mereka untuk menilik kembali identitas diri mereka yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam diri manusia. Dalam studinya, Smith (1986) menggambarkan identitas budaya sebagai a collective cultural phenomenon yang mengandung berbagai elemen dasar, seperti adanya kekhasan bahasa, sentimen-sentimen, dan simbolisme yang merekatkan sebuah komunitas yang mendiami suatu wilayah tertentu. Pada awal sejarah kelahirannya, negara-bangsa, menurut Smith, identik dengan ‘negara etnis’. Pada awalnya, batas-batas teritorial dari negara-bangsa merupakan refleksi dari batasbatas geografis sebuah etnis tertentu. Perkembangan selanjutnya dari negarabangsa memperlihatkan bahwa kesamaan cita-cita, yang tidak jarang bersifat lintas-etnis, lebih mengemuka sebagai dasar dari eksistensi sebuah negara-bangsa. Perbatasan sebuah negara dalam konteks semacam itu menunjukkan kompleksitas tersendiri yang memperlihatkan bahwa batas negara tidak hanya membelah etnisitas yang berbeda. Ia bahkan membelah etnis yang sama, karena dialaminya sejarah kebangsaan yang berbeda oleh warga etnis yang sama. Oleh karena itu, identitas bukan hanya merupakan masalah deskripsi diri, tetapi juga merupakan askripsi sosial. Identitas adalah masalah tentang kesamaan dan
10
perbedaan, tentang personal dan sosial, tentang apa yang dimiliki bersama dengan seseorang dan tentang apa yang membedakan dengan lainnya (Nicholson, 2008). Studi tentang identitas memiliki akar sejarah yang panjang pada pendekatan interaksionisme simbolik yang didasarkan pada pemikir-pemikir awal (Foote, 1951; Stryker, 1987). Pada saat itu diyakini bahwa suatu fenomena lebih bisa dipahami melalui definisi individu atau interpretasi diri sendiri, orang lain dan bahkan situasi melalui identifikasi makna-makna yang diberikan aktor pada lingkungannya, memahami isi kepalanya atau melihat dunia dari perspektif mereka, untuk memahami mengapa mereka melakukan sesuatu dengan cara mereka sendiri (Meltzer, Petras dan Reynolds, 1977). Pendekatan ini membawa pemahaman bahwa terjadinya suatu tingkah laku ditentukan oleh seberapa besar sesuatu itu bermakna untuk mereka. Dalam kerangka ini, struktur sosial tidak memainkan peran dalam pembentukan identitas karena dianggap kenyataan sosial tidak memiliki pola sehingga tidak dapat dipetakan apalagi diprediksi. Di sini juga diyakini bahwa struktur itu sendiri berubah karena selalu dibentuk melalui interpretasi dan tindakan individu dalam suatu struktur. Pandangan kaum tradisionalis ini masih sangat berpengaruh walaupun kemudian lahir pemikir-pemikir modern. Nelson Foote (1951) sebagai tokoh yang pertama sekali menggunakan istilah identitas telah mencoba untuk memberikan pengayaan atas pemahaman konseptual ketika ia mengatakan bahwa tujuan-tujuan telah menentukan bagaimana seorang individu melakukan sesuatu. Ketika seseorang ingin memiliki identitas, misalnya sebagai polisi, maka sesungguhnya telah ada suatu struktur yang menentukan mengapa menjadi polisi itu sesuatu
11
yang membanggakan. Untuk itulah dikatakan bahwa identitas itu merupakan: "…the character and the role that an individual devises for himself as an occupant of a particular social position" (McCall and Simmons, 1978: 65). Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Stone (1962: 93) bahwa: "…a person's identity is established when others place him the same words of identity that he appropriate to himself." Kedua kutipan ini memperlihatkan bahwa keberadaan seorang individu tidak dapat dilepaskan dari suatu struktur yang turut mendefinisikan identitasnya. Demikian pula proses identifikasi berlangsung dalam suatu struktur yang memiliki serangkaian nilai dan persyaratan yang harus dipenuhi walaupun seorang individu dapat melakukan tawar menawar dalam hubungannya dengan struktur di mana ia menjadi bagian. Untuk itu McCall dan Simmons mengatakan bahwa: "The cultural expectation tied to social position in the social structure that actors try to meet and they have an idiosyncratic dimension (the identity of role identities) which involved the distinctive interpretation that individuals bring to their roles (Burke dan Stets, 2009: 39). Para ahli mengikuti pandangan ini yang melihat identitas tidak bisa dipisahkan dari struktur yang melingkupinya. Sejalan dengan ini Burke juga mengatakan bahwa identitas diri manusia itu tidak bisa dipandang sebatas siapa dia tetapi identitas diri hanya bisa dijelaskan melalui relasi-relasi sosial yang berada di sekitar ‘aktor’. Adanya relasi sosial di dalam masyarakat pada akhirnya
12
membentuk suatu struktur sosial yang berlaku di dalam masyarakat (Burke, 2001).7 Dimensi lain yang mendapatkan perhatian peneliti dalam berbagai studi identitas adalah kebudayaan yang, seperti dikatakan Nicola Pratt, merupakan faktor penting dalam pembentukan identitas yang selanjutnya menjadi dasar di dalam pembedaan sekelompok orang dengan orang lain (Pratt, 2005). Pembeda ini dapat bersumber pada keadaan sekitar, lingkungan dan masyarakat yang mempengaruhi bagaimana sesuatu dipersepsikan dan dijadikan dasar dalam pembentukan identitas sekelompok orang. Kebudayaan dapat diwakili oleh perbedaan etnis yang ada dalam suatu masyarakat yang memperlihatkan adanya latar belakang kebudayaan tertentu yang menentukan sikap dan perilaku. Arena kebudayaan pun menjadi faktor yang menentukan bagaimana kebudayaan mengejawantah: “Some might be able to adjust to the various cultures in the world by committing to two or more cultures. It is not required to stick to one culture and thus many might be interested in socializing and interacting with people in one culture in addition to another group of people of another culture. The amazing thing about culture is that it's able to take many forms and can change depending on the cultural area” (Holliday, 2010: 177). Suatu arena dapat menjadi basis di mana negosiasi atas suatu kebudayaan dapat
terjadi,
seperti
halnya
wilayah
perbatasan
yang
memungkinkan
ditemukannya dua kebudayaan atau lebih yang dapat dipilih oleh suatu komunitas.
7
Struktur sosial dapat diartikan sebagai suatu tatanan masyarakat yang tersusun dari relasi-‐relasi baik horizontal maupun vertikal yang menghubungkan individu dan kelompok atas hak dan kewajiban tertentu.
13
Studi-studi terdahulu ini memberi pengaruh pada kajian-kajian wilayah perbatasan, seperti yang dilakukan oleh Riwanto Tirtosudarmo (2005) yang dalam penelitiannya, Wilayah Perbatasan dan Tantangan Abad 21, melihat persoalan manusia yang bermukim di daerah perbatasan dalam konteks transformasi sosial yang berlangsung di mana peran eksternal menjadi faktor dalam banyak persoalan yang dihadapi penduduk daerah perbatasan. Selain studi-studi yang menyangkut masalah konflik dan keamanan, seperti yang dilakukan oleh Ganewati Wuryandari (2009), juga studi tentang potensi lokal sebagaimana yang dilakukan oleh Lisman Manurung (2006). Studi yang menarik juga dilakukan oleh I Ketut Ardhana (2006) yang mengangkat isu migrasi, ketertinggalan, problematika pusat dan daerah, dan perubahan-perubahan pendekatan dalam pertahanan keamanan. Daerah perbatasan selalu diposisikan sebagai daerah tertinggal dan jauh dari pengaruh modernisasi. Sementara itu, pihak-pihak lain mulai memandang penting untuk mengubah pola pikir seperti itu, dengan mengelola daerah perbatasan tersebut dengan sebaik-baiknya sebagai daerah garda depan negara Indonesia. Berdasarkan kajian yang ada tampak tidak banyak perhatian diberikan pada analisis tiga dimensi, lokalitas perbatasan, etnisitas, dan ekonomi politik yang tidak dapat dipisahkan dalam analisis identitas. Pandangan para peneliti awal (Burke, Foote, McCall and Simmons) kurang mendapatkan artikulasi, khususnya menyangkut analisis hubungan kultural (statis) dan struktural (dinamis) dalam keberadaan masyarakat perbatasan, khususnya menyangkut identitas perbatasan. Dimensi inilah yang akan menjadi perhatian penelitian ini dengan melihat
14
identitas dalam dinamika struktural yang bersifat dinamis dalam interaksi dua negara-bangsa.
E.
Kerangka Pemikiran Permasalahan perbatasan semakin mengemuka ketika muncul isu bahwa
Malaysia telah merebut Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.8 Kedua pulau ini sudah cukup lama menjadi perbincangan sampai pada akhirnya pemerintah Malaysia memenangkan kepemilikan kedua pulau ini berdasarkan pada keputusan Mahkamah Internasional. Keputusan ini diambil karena Mahkamah Internasional melihat bahwa pengaruh pemerintahan Malaysia jauh lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh pemerintahan Indonesia sehingga kedua wilayah Indonesia ini bisa jatuh ke tangan negara asing. Pengaruh Malaysia yang begitu kuat di daerah perbatasan memang disengaja oleh pemerintah Malaysia karena pemerintah Malaysia sangat menyadari bahwa ketidakhadiran ‘negara Indonosia’ bisa menjadi pintu masuk mereka untuk bisa menguasai daerah perbatasan Indonesia. Permasalahan wilayah perbatasan memang cukup kompleks, baik secara historis maupun sosiologis. Secara historis keberadaan suatu wilayah perbatasan ditentukan oleh kesepakatan-kesepakatan dua negara yang pernah dibuat atas dasar konvensi tertentu. Peran Belanda dan Inggris saat itu sangat penting dalam perjanjian dan kesepakaatan atas batas-batas wilayah tertentu. Secara sosiologis, wilayah perbatasan menyangkut definisi masyarakat tentang batas itu sendiri 8
Sipadan dan Ligitan merupakan pulau yang terletak di Selat Makasar yang diperebutkan oleh Indonesia dan Malaysia sejak tahun 1967 (Sumber :Wikipedia Indonesia ,http://id.wikipedia.org/wiki/ Sengketa_Sipadan_ dan_Ligitan).
15
karena interaksi sosial telah menjadi kekuatan dalam definisi suatu wilayah atas dasar pengelompokan kekerabatan atau komunitas. Selain itu, secara politis pemerintah berusaha untuk menjaga kedaulatan wilayahnya agar tidak direbut oleh negara lain, yakni dengan membangun batas-batas administratif-politis. Namun demikian, kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah dinilai tidak bisa memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat perbatasan. Tidak hanya masalah infrastruktur yang terbatas, tetapi juga masalah-masalah status wilayah perbatasan yang tidak kunjung selesai (Tirtosudarmo, 2005). Masalah utama terkait masalah perbatasan adalah permasalahan identitas. Permasalahan ini menyangkut siapa diri mereka, kapan mereka mengakui suatu identitas diri, dan bagaimana identitas itu bisa berganti sesuai dengan kebutuhan mereka. Sejalan dengan itu Burke dan Stets mengatakan: “An identity is a set of meaning that define who one is when one is an occupant of a particular role in society, a member of a particular group, or claims particular characteristic that identity him or her as a unique person” (Burke dan Stets, 2009 : 3). Dalam pengertian yang diberikan oleh para ahli di atas, dapat dilihat bahwa setiap individu tidak hanya memiliki satu identitas tetapi dapat memiliki beberapa identitas sesuai dengan status dan lingkungan mereka berada yang identitas tersebut terus berganti sesuai dengan konteks. Begitu pula dengan permasalahan identitas pada masyarakat Badau. Mereka seolah memiliki dua identitas yang mereka pakai secara bersamaan sesuai dengan kebutuhan mereka. Identitas ganda ini tidak selalu berkaitan dengan kewarganegaraan tetapi juga terkait pada ketergantungan masyarakat kepada suatu pemerintahan.
16
Secara antropologis, identitas bukan hanya menyangkut ciri sosial pembeda tetapi juga suatu strategi sekelompok masyarakat untuk mencari makna dalam kehidupan bersama (Berger dan Luckmann, 1979; Govers dan Vermeulen, 1997). Identitas masyarakat lokal dalam pembentukan dan perubahannya kemudian menjadi realitas historis dan antropologis karena tekanan hidup manusia global memiliki dimensi yang semakin kompleks secara spatial dan temporal (Ritzer dan Goodman, 2010). Realitas historis identitas terbentuk dalam perspektif temporal yang dimulai dari munculnya kesadaran bersama tentang asal usul dan cita-cita suatu kelompok masyarakat dengan batas-batas fisik, sosial, dan simbolik tertentu (Anderson, 2001; Arnold, 2004). Sebagai sebuah konstruksi yang dinamis, identitas selalu dibangun dan diubah atas realitas kuasa yang berlaku yang melahirkan ketegangan dan perjuangan untuk diterima dan berlakunya suatu identitas. Ketika identitas mulai dipertanyakan dalam suatu siklus kekuasaan dan budaya suatu masyarakat, sebagaimana tampak dalam dinamika masyarakat dewasa ini, maka identitas dapat bersifat cair karena proses identifikasi berlangsung secara terus menerus sejalan dengan perubahan kerangka ideologi (Malasevic, 2006). Hubungan antarnegara merupakan seting penting yang menentukan perubahan ekspresi kebudayaan dan identitas suatu masyarakat karena pertemuan antarwarga dengan struktur sosial yang berbeda membentuk kelompok-kelompok baru dan jaringan serta kesadaran ideologis (Govers dan Vermeulen, 1997). Proses yang sama telah membentuk kesadaran makro tentang hubungan dua kelompok bangsa tentang eksistensi etnisitas dan kewarganegaraan mereka (Melesevic, 2006; Appiah, 2005) yang
17
sekaligus melahirkan pertanyaan-pertanyaan tentang identitas ketika mereka menjadi bagian dari imagined communities (Anderson, 2001).9 Hall menyebutkan bahwa identitas terdiri atas identitas diri dan identitas sosial yang merupakan konstruksi individual dan terikat pada struktur sosial (Hall, 1990). Bagi Giddens (2003), identitas merupakan cara berpikir tentang kita yang berubah dari satu situasi ke situasi yang lain menurut perubahan ruang dan waktu. Dalam konteks inilah identitas perbatasan perlu dikaji. Identitas daerah perbatasan merupakan suatu perdebatan dan bahkan perebutan yang melibatkan hubungan dengan negara asing yang tampak dalam interaksi antarpenduduk di kedua wilayah. Konflik Indonesia dengan Malaysia menjadi contoh populer tentang rentannya identitas Indonesia sebagai negara bangsa yang manifestasi paling jelas dapat ditemukan di wilayah perbatasan. Batas-batas identitas diperebutkan dan ditegaskan secara fisik yang kondisi fisik kedua wilayah negara telah menjadi faktor penting di dalam konstruksi identitas sosial yang tampak dari perebutan ikon dan simbol (Tirtosudarmo, 2011). Kondisi-kondisi fisik geografi dalam pandangan Tirtosudarmo tidak dapat diabaikan karena faktor ini menentukan mobilitas antarorang dan antarkelompok. Dalam hubungan kedua negara-bangsa muncul suatu perebutan simbol 9
Bayangan tentang adanya seseorang atau sekelompok orang, menurut Ben Anderson, dalam suatu komunitas (tanpa tatap muka dan saling kenal) merupakan kekuatan penting pembentuk persatuan dan kesatuan. Nasionalisme menjadi sebuah payung teoritis yang berkuasa penuh di dalam menjelaskan fakta-‐fakta konflik, disintegrasi, dan akhirnya teori nasionalisme. Pemahaman nasionalisme, mengikuti teori ”komunitas terbayang”, harus mengacu pada tiga konsep penting: Nasionalitas (nationality), kenasionalan (nationness), dan nasionalisme (nationalism), khususnya dengan melihat pada ”bagaimana mereka mengada secara historis, bagaimana makna-‐maknanya berubah seiring perjalanan waktu, dan mengapa, sekarang ini, mereka menggugah keabsahan emosional yang demikian dahsyat” (Anderson, 2001: 6).
18
yang sarat kepentingan dalam membangun identitas nasional. Peristiwa simbolis mengakar dalam suatu ruang historis yang perebutan pengaruh antardua negarabangsa melalui simbol-simbol modernitas membentuk karakter suatu masyarakat di satu pihak dan mempertahankan karakter asal yang dianggap masih relevan di lain pihak (Sari, 2013). Dalam proses ini terjadi kontestasi dari hubungan kedua ideologi dan gaya hidup dalam suatu ruang kontestasi perbatasan. Perebutan simbol di sini merupakan usaha sadar untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain yang terjadi dalam suatu kerangka ideologi dan kekuasaan (Barker dan Galasinski, 2001). Terjadinya proses pembedaan satu subkelompok dengan subkelompok lain melalui berbagai mekanisme simbolis menjadi penanda berlakunya suatu status yang mendapatkan pembenaran historis dan sosiologis. Kontestasi identitas yang berlangsung dalam suatu ruang dan waktu merupakan gambaran komprehensif tentang persoalan identitas yang sedang berlangsung dewasa ini. Di satu sisi, kontestasi identitas memperlihatkan adanya struktur yang turut mendefinisikan realitas sosial kultural yang keterlibatan para pihak dalam struktur itu telah menegaskan adanya kepentingan-kepentingan. Di sisi lain, kontestasi identitas memiliki implikasi bagi eksklusi dan inklusi sosial yang dapat melahirkan ketegangan dan bahkan kekerasan dalam masyarakat. Untuk itu, pemahaman identitas dengan berbagai wajahnya membutuhkan suatu perspektif yang beragam. Identitas merupakan subjek dari permainan sejarah, kebudayaan, dan kekuasaan yang terus berlangsung yang merupakan penanda bagi sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial (Barker, 2005). Sebagai sebuah konstruksi,
19
sebagaimana dinyatakan Berger dan Luckmann, identitas mengalami tiga proses penting. Pertama, proses eksternalisasi yang menjadi bagian dari proses penciptaan realitas dalam berbagai bentuk. Proses ini dapat melibatkan individu maupun kelompok atau institusi. Kedua, proses objektivasi yang merupakan proses integrasi nilai ke dalam fakta sosial objektif yang dapat diterima oleh publik. Identitas bersama terbentuk ketika aspek-aspek identitas diakui dan diterima secara kolektif. Ketiga, proses konstruksi terkait dengan proses internalisasi yang merupakan tahapan untuk menjadikan pengetahuan, nilai dan tindakan menjadi milik individu yang melahirkan komitmen sikap dan perilaku individual (Berger dan Luckmann, 1979). Kerangka Berger dan Luckmann yang menunjukkan tiga tahap konstruksi sosial ini menjadi kerangka acuan di dalam pendekatan identitas masyarakat perbatasan, khususnya menyangkut bagaimana pengalaman bersama komunitas dilihat sebagai bagian dari proses perebutan kepentingan para aktor yang tidak terpisah dari seting ruang dan waktu adanya suatu realitas tersebut. Pembentukan identitas melalui suatu proses yang melibatkan berbagai pihak dan yang dibentuk atau dikonstruksi dalam suatu ruang dan waktu (Eriksen, 1993). Identitas tidak jarang merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap identitas lain. Identitas suku, agama, komunitas dan lain-lain oleh kelompok tertentu dapat dijadikan sebagai perekat atau kohesi kelompok untuk menunjukkan oposisi terhadap yang lain. Dalam suku Batak juga ditemukan pendefinisian diri untuk membedakan yang Batak dengan yang bukan Batak. Di Sumatera Barat, orang-orang Mentawai sebagai kelompok minoritas sering
20
menunjukkan perlawanan terhadap orang Minangkabau yang Muslim (Delfi, 2005). Pembedaan diri seperti ini, tidak jarang memunculkan diskriminasi terhadap yang lain khususnya terhadap yang minoritas (Castells, 2000) karena egoisme yang tinggi untuk menampilkan identitas masing-masing kelompok yang berbeda. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Thomas Hylland Eriksen (1993), John Rajcman (1995), Martijn van Beek (1990) yang memperlihatkan bahwa identitas merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam kelangsungan kelompok.
F.
Metode Penelitian Badau merupakan salah satu daerah di Kalimantan Barat yang berbatasan
langsung dengan Malaysia. Desa Badau terletak di ibukota kecamatan Badau yang berjarak 826 km dari Pontianak. Desa ini berbatasan dengan Desa Sebindang di sebelah utara, Desa Janting di sebelah timur dan selatan, serta berbatasan dengan Malaysia di sebelah barat. Desa ini memiliki Pos Lintas Batas (PLB) sebagai pos penghubung untuk masuk ke negara Malaysia. Kedekatan kedua negara ini secara teritorial memberikan pengaruh yang cukup besar kepada masyarakat perbatasan terutama masyarakat Badau. Masyarakat ini menggantungkan kehidupan mereka dari ‘kebaikan hati’ pemerintah Malaysia, meskipun terkadang kegiatan itu dilakukan secara ilegal. Kedekatan hubungan antara masyarakat Badau dengan Malaysia tidak hanya sebatas kedekatan secara lokasi tetapi juga secara historis
21
karena menurut narasi lokal mereka memiliki kesamaan nenek moyang dengan masyarakat Serawak, yaitu berasal dari Dayak Iban.10 Masyarakat Iban di wilayah perbatasan, terbagi menjadi dua, yaitu sebagian berada di wilayah Indonesia dan sebagian di wilayah Malaysia. Keterikatan historis yang cukup kuat di antara dua daerah perbatasan ini menyebabkan mereka saling membantu satu sama lain terutama pada masyarakat desa Badau yang sangat bergantung pada pemerintah Malaysia, mulai dari kebutuhan primer (listrik, sembako, bensin) sampai kepada pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Berbagai kebutuhan itu menyebabkan masyarakat desa Badau menempatkan diri mereka pada dua identitas, yaitu identitas sebagai warga negara Indonesia (secara teritorial) dan identitas sebagai masyarakat Dayak Iban (identitas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi sebagai orang Indonesia). Kedua identitas ini diakui di saat yang bersamaan sesuai dengan kebutuhan mereka. Adanya identitas ganda ini dikarenakan pemerintah Indonesia kurang peduli dan kurang memberikan perhatian khusus kepada masyarakat daerah perbatasan, khususnya Badau, sehingga masyarakat desa Badau mau tidak mau ‘terpaksa’ memanfaatkan Malaysia sebagai satu-satunya tempat bagi mereka untuk tetap bertahan hidup. Berbagai kebutuhan pokok masyarakat desa Badau belum bisa dipenuhi secara maksimal oleh pemerintah Indonesia sehingga pilihan masyarakat Badau hanya tertuju pada Malaysia. Di sisi lain, Malaysia tidak menjadi pihak yang dirugikan karena ini adalah kesempatan bagi mereka untuk 10
Versi lain mengatakan bahwa masyarakat Iban berasal dari daerah sekitar Pos Lintas Batas (PLB). Mereka bermigrasi ke Serawak Malaysia dan kembali lagi ke wilayah Badau.
22
bisa memberikan berbagai pengaruh dengan membawa dokrin bahwa merekalah yang menjadi sumber kehidupan masyarakat desa Badau. Banyak masyarakat Indonesia yang kemudian lebih respek pada pemerintah Malaysia sehingga ‘rela’ berganti kewarganegaraan demi dapat memenuhi kebutuhan mereka secara layak.11 Penelitian ini akan dilakukan dengan teknik pengumpulan data kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap sejumlah informan, seperti Kepada Desa, Kapolsek Badau, Camat Badau, dan Danramil. Dari tokoh masyarakat diwawancarai Penggawa, Tumenggung, dan penduduk yang terlibat langsung dalam proses sosial ekonomi, seperti mantan buruh di Malaysia, konsumen produk Malaysia, dan orang yang sering berinteraksi langsung kepada masyarakat Malaysia di Lubok Antu maupun di Badau. Data ini didukung dengan data sekunder yang bersifat angka dari data Kecamatan, Kelurahan, dan kantor imigrasi. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan dengan cara turun langsung melakukan pengamatan ke masyarakat dan kemudian ikut menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat, walaupun tetap mengambil jarak untuk menjaga objektifitas dan ketajaman dalam pengumpulan data dan analisis. Selain itu, 11
Kasus ini juga terjadi di Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kecamatan Puring Kencana juga merupakan salah satu kecamatan di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Kondisi di kecamatan Puring Kencana lebih parah dibandingkan dengan kondisi di Badau karena mayoritas masyarakatnya memiliki dua kewarganegaraan demi mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Di kecamatan ini, rasa nasionalisme warga juga sangat minim karena mereka terletak sangat jauh dari pusat pemerintahan sehingga satu-‐satunya tempat yang bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah Malaysia. Masyarakat di sana bahkan lebih mengenal Malaysia lebih baik daripada Indonesia.Rasa nasionalisme warga juga sangat minim karena mereka terletak sangat jauh dari pusat pemerintahan sehingga satu-‐satunya tempat yang bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah Malaysia. Masyarakat di sana bahkan lebih mengenal Malaysia lebih baik daripada Indonesia.
23
penelitian ini juga dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder yang didapatkan dari buku-buku pendukung penelitian, teori-teori yang berkaitan dengan penelitian maupun pada data-data yang dimiliki oleh pihak kecamatan seperti data monografi desa yang kemudian dianalisis bersama dengan data yang didapatkan di lapangan. Data dari berbagai sumber yang telah dikumpulkan dianalisis secara interpretif, yakni dengan menghubungkan data sebagai ekspresi dari sistem sosial, material, dan kosmologis masyarakat. Konteks yang melahirkan data merupakan sumber bagi pemahaman atas aspek-aspek yang dikaji.