BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pencari kerja tahun 2012 di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat sejumlah 1.299.377 jiwa dari total penduduk
di Indonesia (www.bps.go.id). Tercatat
bahwa lowongan pekerjaan yang tersedia di tahun 2012 hanyalah sebanyak 628.603 lowongan. Banyaknya pencari kerja dari tahun ke tahun membuat persaingan dalam dunia industri semakin besar. Badan Pusat Statistik memperlihatkan bahwa penempatan kerja di Indonesia pada tahun 2012 hanyalah sebanyak 365.947 orang saja yang tidak sebanding dengan calon pelamar pekerjaan (www.bps.go.id). Salah satu pekerjaan yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dibuktikan dengan jumlah PNS di Indonesia dari tahun 2003 hingga 2013 mencapai 4,46 juta jiwa (Aditiasari, dalam www.finance.detik.com 2014). Pegawai Aparatur Sipil Negara (Pegawai ASN) menurut undang-undang nomor 5 tahun 2014 pasal 1 adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang dangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sehingga PNS diharapkan masyarakat memiliki kompetensi yang diindikasikan dari sikap dan perilakunya dengan penuh kesetiaan dan pengabdiannya pada Negara, memiliki moral dan mental yang baik, professional dalam pekerjaannya, sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang pelayan publik. Namun, kualifikasi sejumlah PNS kurang memadai karena banyak PNS yang bekerja tidak sesuai bidangnya sehingga kinerja PNS tidak berjalan maksimal dalam melayani publik (Humas Menpan, dalam www.menpan.go.id).
1
2 Anggota komisi I DPRD Sukoharjo menyoroti masalah kinerja PNS setelah diterbitkannya UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN yang dikhawatirkan kinerja pegawai menurun. Usia pensiun diperpanjang dua tahun yang artinya PNS semakin tua. PNS yang sudah memasuki usia lanjut dikhawatirkan tidak dapat produktif memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kenyataannya banyak PNS yang sudah tua dan tidak masuk kerja karena alasan sakit. Meski memiliki cukup tenaga untuk bekerja, tetapi PNS yang masih berusia muda kurang memiliki semangat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ditambah lagi persoalan tidak meratanya distribusi penempatan tugas seorang PNS. Sebab disatu lokasi di salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) memiliki banyak pegawai, tapi di sisi lain, justru mengalami kekurangan (www.krjogja.com). Permasalahan ini membuktikan bahwa tidak maksimalnya kinerja pada PNS yang mengakibatkan menurunnya kinerja pegawai. Indisipliner juga terjadi pada PNS di Kabupaten Pamekasan, dimana kinerja PNS di wilayah tersebut terbilang rendah. Banyak PNS yang dilaporkan oleh masyarakat meninggalkan tempat kerja pada jam istirahat kemudian tidak kembali ke tempat kerjanya lagi. Sahur Abadi selaku ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), menuturkan bahwa saat PNS istirahat jam kerja pada pukul 12.00 WIB, banyak pegawai yang langsung pulang. Alasannya bermacam-macam, ada yang mau shalat di rumah,
makan
di
luar
kantor
dan
alasan
lainnya
(Taufiqurrahman,
www.regional.kompas.com 2014). Berdasarkan permasalahan di atas, satu hal yang perlu menjadi perhatian organisasi adalah kualitas kehidupan kerja yang baik (Lewis, Brazil, Krueger, Lohfeld, Tjam, 2001). Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa kualitas kehidupan kerja dianggap mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para anggota atau pegawai terhadap organisasi. Peneliti melakukan wawancara pra-research terhadap kondisi yang ada pada beberapa
3 instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, ada 4 dimensi utama dari kualitas kehidupan kerja yang perlu mendapat perhatian dari pihak manajemen kepegawaian, yaitu: 1. Pengembangan
diri,
yaitu
adanya
kemungkinan
untuk
mengembangkan
kemampuan dan tersedianya kesempatan untuk menyalurkan pengetahuan dan keterampilan yang pegawai miliki. Terlihat dari beberapa dinas di Kabupaten Sleman telah memberikan kesempatan pelatihan kepada pegawai. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya terdapat kenyataan sebagai berikut: a. Kesempatan mengikuti pelatihan dirasakan belum merata oleh pegawai sehingga ada pegawai yang sering sekali ditunjuk mengikuti pelatihan, di sisi lain ada pegawai yang jarang sekali mengkuti pelatihan. Hal ini menyebabkan demotivasi bagi pegawai yang jarang diikutsertakan dalam pelatina oleh organisasi yang berakibat pada menurunnya kinerja pegawai. Hal ini sesuai dengan pernyataan SM berikut: ―Saya sih baru 2 kali diikutkan pelatihan, tapi saya merasa bekalnya belum cukup dengan apa yang saya kerjakan di sini, Mbak. Pengen sih ikut pelatihan gitu, biar saya bisa ahli dalam pekerjaan saya‖ (wawancara Selasa, 08/12/14 pukul 12.45 di Dinas SDAEM Kab. Sleman) b. Kesempatan untuk menggunakan/mengaplikasikan ilmu yang pegawai miliki sering dianggap menjadi stressor oleh pegawai karena mereka tidak dapat menyalurkan ilmunya di tempat kerjanya dimana menjadi PNS struktural mengerjakan pekerjaan yang monoton. Seperti yang diungkapkan PR, KaSubbag Perencanaan dan Keuangan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Sleman. Hal ini sesuai dengan pernyataan PR berikut: ―Yaa, kalo dibilang seneng jadi PNS, yaa enggak, Mbak.. Lha wong kalo jadi PNS struktural kan monoton kerjanya. Susah untuk berkembang baik secara ilmu maupun jabatan. Apalagi saya yang notabene nya S2‖ (wawancara Senin, 07/12/14 pukul 10.20 di Kantor BKD Kab. Sleman).
4 2. Partisipasi, yaitu adanya kesempatan untuk berpartisipasi atau terlibat dalam pengambilan keputusan
yang berpengaruh terhadap kebaikan organisasi.
Berdasarkan pra-research yang menjadi empirical gap dalam penelitian ini adalah keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan baik langsung maupun tidak langsung, dimana pegawai hanya menjadi pelaksana kebijakan pemerintahan. Hal ini berakibat pada pegawai yang merasa tidak diakui kehadirannya di organisasi tersebut. Seperti yang diungkapkan HR, staf Dinas Dukcapil Kabupaten Sleman. Hal ini sesuai dengan pernyataan HR berikut: ―Di sini itu jarang, Mbak ada rapat bahas kenaikan gaji atau insentif. Palingan kalo saya ada saran yaa tak titipkan ke atasan (kepala seksi) saya buat disampaikan ke Pak Kadin (Kepala Dinas). Kalo ngasih saran pas rapat sangat jarang. Kita yaa dikasih tugas apa langsung kerjakan gitu aja‖ (wawancara Selasa, 08/12/14 pukul 09.30 di Dinas Dukcapil Kab. Sleman). 3. Sistem imbalan yang inovatif, adalah bahwa imbalan yang diberikan kepada pegawai memungkinkan mereka untuk memuaskan berbagai kebutuhannya sesuai dengan standard hidup pegawai dan sesuai dengan pengupahan dan penggajian yang berlaku di pasaran kerja. Berdasarkan wawancara pra-research yang menjadi empirical gap dalam penelitian ini adalah pegawai merasakan tidak adanya sistem imbalan yang memadai dan adil, karena tidak semua pegawai struktural maupun fungsional mendapatkan hak tunjangannya. Misalnya, tidak ada upah bagi pegawai yang lembur, tidak tersedianya akomodasi berupa bus bagi pegawai, dan tidak adanya uang bonus bagi pegawai. Seperti yang diungkapkan HR, staf Dinas Dukcapil Kabupaten Sleman. Hal ini sesuai dengan pernyataan HR berikut: ―Kalo lembur yaaa nggak ada uangnya, Mbak. Kita kan sistem pembayaran di depan, jadi dibayar segitu tapi tugas harus selesai semua. Ibaratnya suka ga suka, sudah dibayar‖ (wawancara Jumat, 10/12/14 pukul 09.30 di Dinas Dukcapil Kab. Sleman).
5 4. Lingkungan kerja, adalah tersedianya lingkungan kerja yang kondusif termasuk di dalamnya peraturan dan kebijakan yang berlaku, kepemimpinan, dan lingkungan fisik. Secara bertahap manajemen selallu berusaha memperbaiki kondisi fisik bangunan gedung yang menjadi tempat operasional penyimpanan arsip (depo arsip), hal ini dapat dilihat pada fisik di beberapa kantor dinas Kabupaten Sleman. Manajemen juga berusaha untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, jam kerja yang cukup fleksibel. Berdasarkan wawancara pra-research yang menjadi empirical gap dalam penelitian ini adalah di beberapa kantor dinas belum menyediakan ruangan kerja yang nyaman baik bagi pegawai maupun bagi pemohon karena minimnya ruang pelayanan yang secara langsung maupun tidak langsung berakibat pada suasana kerja. Husnawati (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ada pengaruh yang searah antara kualitas kehidupan kerja dengan kinerja karyawan. Kualitas kehidupan kerja dipandang mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para anggota atau karyawan terhadap organisasi. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan kerja menurut Zin (2004), yaitu partisipasi dalam pemecahan masalah, sistem imbalan
yang
inovatif,
lingkungan
kerja
yang
kondusif,
pengembangan
diri,
kepemimpinan, integrasi dan relevansi sosial. Werther dan Davis (1996) menyatakan bahwa keberhasilan dalam membangun kualitas kehidupan kerja di suatu perusahaan memberi dampak yang besar pada beberapa hal yang spesifik dalam diri pegawai, yaitu kepuasan kerja, motivasi, dan keterlibatan karyawan. Delamotte & Takezawa (1984) menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja merupakan sebuah konsep sebagai respon terhadap efek dari kinerja pegawai dalam hal efikasi dan efektivitas organisasi. Untuk meningkatkan efektivitas kerja baik secara
6 kualitatif maupun kuantitatif meningkatkan produksi sekaligus mengurangi cuti kerja, absen kerja, dan pengalihan kerja dapat digunakan konsep kualitas kehidupan kerja ini. Kualitas kehidupan kerja dapat dipengaruhi langsung oleh lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi prestasi kerja pegawai. Pengaruh lingkungan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu lingkungan ekstrinsik dan lingkungan intrinsik (Steers, 1980). Lingkungan ekstrinsik merupakan gambaran mengenai kekuatan yang berada di luar organisasi, sedangkan lingkunan intrinsik mengarah pada faktor-faktor yang ada di dalam organsasi sehingga menciptakan milieu cultural dan sosial tempat berlangsungnya kegiatan dimana istilah ini lebih dikenal dengan iklim organisasi. Umstot (1988) memiliki pandangan bahwa iklim organisasi diartikan sebagai cara pegawai memahami lingkungan organisasinya sehingga terdapat faktor lain yang dijadikan penting pada satu organisasi, tetapi pada organisasi lainnya, faktor tersebut tidak memiliki makna yang berarti. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Botutihe (2010) menghasilkan bahwa iklim organisasi memiliki pengaruh terhadap kualitas kehidupan kerja. Iklim organisasi merupakan suatu hal yang membawa dampak vital di dalam tempat kerjanya. Persepsi individu terhadap sifat organisasi dan faktor organisasi merupakan penentu utama sebuah iklim dalam iklim organisasi dimana memiliki pengaruh besar terhadap performansi karyawan yang ditentukan oleh tingkat kepuasan dan motivasi. Hal serupa diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Gunaraja dan Venkatramaraju (2013) bahwa adanya hubungan antara iklim organisasi dan kualitas kehidupan kerja. Implikasi utama dari penelitian ini adalah untuk memberitahukan arti penting pada orientasi pegawai terhadap iklim organisasi yang lebih baik dan memperbaiki kualitas kehidupan kerja pegawai. Schneider dan Reichers (1990) memiliki pandangan bahwa membangun iklim memberikan alternatif jawaban sebagai penjelasan terhadap perilaku motivasi di tempat kerja dan menekankan untuk menambahkan pentingnya dinamika kelompok dalam sebuah
7 penelitian organisasi. Pengetahuan tentang iklim organisasi yang bervariasi dari orang ke orang menjadi satu kesatuan, karena tiap-tiap pegawai memiliki persepsi, pengalaman dan sudut pandang yang berbeda mengenai organisasi walaupun berada dalam organisasi yang sama. Kemudian persepsi diartikan sebagai proses psikologis yang bertujuan menciptakan keteraturan dan makna dari situasi yang lengkap. Gambaran bahwa dalam benak individu telah memahami tentang organisasi di tempat individu tersebut bekerja adalah ukuran iklim organisasinya. Kepuasan kerja pegawai diakui akan dapat menumbuhkan motivasi pegawai untuk tetap tinggal di organisasi tersebut. Selain iklim organisasi, motivasi kerja intrinsik seorang pegawai juga dapat mempengaruhi kualitas kehidupan kerja seorang pegawai. Faktorfaktor yang dapat memotivasi pegawai dalam kepuasan kerja secara tidak langsung merefleksikan praktek-praktek yang berhubungan dengan kualitas kehidupan kerja. Tansuhaj, Donna, Randall, Jim, & McCullough (1998) menyatakan motivasi kerja sebagai keadaan kejiwaan dan sikap mental manusia yang memberikan tenaga, mengarahkan, menyalurkan, mempertahankan dan melanjutkan tindakan dan perilaku pegawai. Pada akhir 1960-an, Edwin Locke (dalam Robbin & Judge, 2013) mengemukakan bahwa niat untuk bekerja terhadap tujuan merupakan sumber utama dari motivasi kerja. Artinya, tujuan memberitahu seorang karyawan apa yang perlu dilakukan dan berapa banyak usaha yang dibutuhkan. Motivasi kerja pegawai dibentuk dengan dukungan indikator-indikator yang terkait dengan rasa tidak puas atau puas pegawai terhadap pekerjaannya. Faktor motivasi kerja dapat muncul dari dalam diri seseorang (intrinsic motivation), maupun dari luar diri seseorang (extrinsic motivation). Pendapat yang dikemukakan oleh Blais, Briere, Lachance, Riddle, dan Vallerand (dalam Fernet, 2013) bahwa autonomous motivation memiliki hubungan yang positif dengan psychological well-being pekerja, dimana
8 autonomous motivation ini mengacu pada tindakan yang dilakukan berdasarkan kemauan diri pekerja itu sendiri dan menikmati pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya untuk kesenangan dan kepuasan pekerja itu sendiri, karena merasa pekerjaan tersebut penting bagi dirinya. Penelitian yang dilakukan oleh Hayat, Yasini, & Saadatalab (2011) menghasilkan bahwa adanya korelasi yang kuat antara kualitas kehidupan kerja dengan motivasi kerja. Maka dari itu, meningkatkan motivasi kerja pada pegawai dan menciptkan kondisi kerja sangatlah penting bagi kualitas kehidupan kerja. Kombinasi dari empat variabel kualitas kehidupan kerja (kondisi kerja, kesempatan berkembang dan keamanan, integrasi sosial dan organisasi, dan penggunaan dan pengembangan kemampuan) secara signifikan berkorelasi dengan motivasi kerja. Telah disebutkan sebelumnya bahwa dengan menciptakan iklim organisasi yang positif, maka akan menimbulkan perilaku motivasi intrinsik yang baik pula pada pegawai. Pada penelitian awal menganggap bahwa iklim orgnisasi berkorelasi dengan motivasi kerja dan produktivitas (Litwin & Stringer, 1968). Dengan meningkatnya iklim organisasi dan motivasi kerja intrinsik seseorang diharapkan akan meningkatkan kualitas kehidupan kerja pegawai pula, sehingga produktivitas organisasi dapat meningkat. Berdasarkan hal di atas penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara empirik apakah ada hubungan antara iklim organisasi dan motivasi kerja intrinsik dengan kualitas kehidupan kerja pada pegawai negeri sipil dan mengetahui faktor mana yang paling memberikan sumbangan terbesar terhadap kualitas kehidupan kerja sehingga pegawai negeri sipil dapat meningkatkan kinerjanya melalui kualitas kehidupan kerja yang baik.
9 B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitan ini adalah untuk mengkaji hubungan antara iklim organisasi dan motivasi kerja intrinsik dengan kualitas kehidupan kerja pada PNS di Kabupaten Sleman. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja untuk meningkatkan kinerja pegawai. C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan tentang faktor pembentuk kualitas kehidupan kerja pada pegawai negeri sipil. Penelitian ini dapat menambah kajian tentang iklim organisasi dan motivasi kerja intrinsik serta hubungannya dengan kualitas kehidupan kerja pada Pegawai Negeri Sipil. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan secara konseptual dan pengembangan teori khususnya di bidang Psikologi Industri dan Organisasi mengenai bagaimana meningkatkan kualitas kehidupan kerja khususnya pada Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di Instansi Pemerintahan Daerah. 2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi untuk kepentingan praktis pada organisasi khususnya di bidang manajemen pemerintahan daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. 1. Sebagai bahan evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan organisasi terutama yang berhubungan dengan upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja melalui peningkatan motivasi kerja intrinsik dan perbaikan dalam segi iklim organisasi.
10 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau landasan bagi peneliti berikutnya yang ingin meneliti dan mengembangkan topik iklim organisasi dan motivasi kerja intrinsik untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja pegawai.