BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu produk hortikultura Indonesia yang memiliki nilai ekonomis penting. Cabai termasuk ke dalam salah satu di antara dua komoditas strategis produk hortikultura Indonesia selain bawang merah. Produksi cabai Indonesia sebesar 1.013.000 ton pada tahun 2013 telah mengalami peningkatan sebesar 58.520 ton dibandingkan dengan produksi tahun 2012. Peningkatan produksi cabai tahun 2013 tersebut terjadi di wilayah Pulau Jawa sebesar 66.630 ton (Badan Pusat Statistik, 2014). Konsumsi cabai perkapita di Indonesia adalah 1,38 kg, sedangkan jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sekitar 230 juta orang. Maka, kebutuhan cabai yang diperlukan di Indonesia adalah sekitar 317.400 ton per tahun (Badan Pusat Statistik, 2010). Cabai dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat tanpa memandang status sosial, sebagai penambah cita rasa pedas, serta mudah diolah menjadi produk lain yang lebih bermanfaat, seperti obat-obatan dan kosmetik (Herison dkk., 2001). Pada umumnya cabai dikonsumsi dalam keadaan segar, sehingga konsumen menghendaki kondisi cabai yang segar, tanpa cacat, serta masih memiliki tekstur yang tidak lembek sama halnya seperti saat panen. Adanya kondisi cabai yang rusak sebelum sampai ke pasar atau tempat tujuan pemasaran menjadi masalah utama dalam hal penanganan pascapanen. Pada umumnya, cabai
1
2
memiliki masa simpan sekitar 1 bulan setelah panen, akan tetapi cabai telah menunjukkan perubahan karakter morfologis seperti perubahan warna merah menjadi merah kecoklatan setelah 1 minggu masa penyimpanan. Hal tersebut menjadi masalah pascapanen yang berdampak pada penurunan kualitas dari cabai, terutama cabai yang menjadi komoditas ekspor. Proses pengangkutan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan pada cabai, baik karakter morfologis maupun fisiologis, sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh masyarakat dan menyebabkan kerugian besar terutama bagi para petani cabai (Harpenas dan Dermawan, 2011). Maka dari itu, modifikasi penanganan pascapanen sangat diperlukan agar kualitas dari berbagai jenis cabai tetap terjaga, terutama bagi cabai yang paling banyak diminati oleh masyarakat Indonesia, seperti cabai merah. Kerusakan pada cabai saat penyimpanan maupun pengangkutan terjadi akibat adanya interaksi cabai dengan udara luar, sehingga hal tersebut dapat mengarah pada kenaikan laju respirasi yang diikuti dengan meningkatnya sintesis hormone etilen (Rachmawati dkk., 2009). Akibatnya, produk hortikultura ini memiliki daya simpan yang rendah. Setelah dipanen, cabai mengalami perubahan karakter morfologis maupun fisiologis, baik dari segi struktur, tekstur, maupun kandungan yang ada di dalamnya. Kerusakan tersebut berhubungan erat dengan adanya peningkatan laju respirasi dalam buah. Laju respirasi yang tinggi dapat mempercepat masa simpan buah, sehingga buah akan mudah busuk (Salisbury dan Ross, 1995).
3
Oleh karena itu, cabai memerlukan penanganan pascapanen yang tepat untuk menghindari kerusakan selama masa penyimpanan. Perpanjangan masa simpan hingga saat dikonsumsi dapat dilakukan dengan prinsip penghambatan laju respirasi. Beberapa usaha dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan buah, seperti penyimpanan pada suhu rendah dan penggunaan bahan pelapis (edible coating). Perlakuan suhu sangat berpengaruh terhadap kondisi fisiologis buah selama masa simpan, serta kondisi morfologis buah setelah masa simpan. Penyimpanan pada suhu rendah merupakan salah satu metode yang tepat untuk mempertahankan kesegaran buah. Penyimpanan yang baik dapat memperpanjang masa simpan dan kesegaran buah tanpa menimbulkan adanya perubahan fisik ataupun kimia. Suhu rendah yang optimum sangat baik untuk diaplikasikan dalam penyimpanan buah (Taufik, 2011). Dengan adanya proses pendinginan atau penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat laju respirasi pada buah, serta menekan tingkat perkembangan mikroorganisme dan perubahan biokimia selama masa simpan (Asgar, 2009). Selain penyimpanan pada suhu rendah, terdapat salah satu metode yang dapat menghambat metabolisme pada buah, yaitu dengan menggunakan pelapis bahan makanan yang disebut dengan edible coating. Edible coating merupakan metode pelapisan tipis di atas permukaan produk seperti buah dan sayur yang digunakan untuk mempertahankan mutu produk. Metode ini dapat dilakukan dengan cara pembungkusan, pencelupan, pengolesan, atau penyemprotan sebagai upaya untuk memberikan ketahanan pada buah terhadap perpindahan gas, serta
4
sebagai perlindungan mekanis (Mala dan Rohaman, 2007). Konsentrasi dan jenis edible coating yang digunakan sangat mempengaruhi tingkat perpanjangan masa simpan dari buah (Krochta, 1992). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jianglian dan Shaoying (2013), kitosan sudah terbukti efektif dan memiliki potensi yang baik sebagai pelapis buah dan sayuran. Kitosan dapat digunakan sebagai salah satu pelapis buah-buahan dan sayuran. Kitosan berasal dari kitin yang diekstrak dari limbah kulit udangudangan. Limbah ini tersedia melimpah di Indonesia dengan jumlahnya yang mencapai 67.731 – 68.233 ton (Amri, 2003). Kitin merupakan sumber polisakarida dan sumber biopolimer terbarukan melimpah kedua di dunia setelah selulosa (Fahmi, 1997). Penggunaannya sudah sangat luas dalam bidang industri makanan dan pertanian, terutama sebagai pelapis buah-buahan (Zhang et al., 2011). Penelitian terkait pelapis (coating) pada buah-buahan sebelumnya telah dilakukan pada buah ceri (Chailoo and Asghari, 2011), jeruk (Bashir et al., 2011), mangga (Wongmetha and Ke, 2012), dan belimbing (Hanani et al., 2012). Penggunaan kitosan juga dapat diaplikasikan sebagai fungisida pada buah dengan mencegah miselium pada fungi untuk menembuh ke dalam permukaan kulit buah seperti penelitian Suryanto et al. (2012) yang diterapkan pada cabai. Penelitian mengenai pelapisan kitosan pada cabai sebagai fungsida telah dilakukan oleh Sarwono (2013) dengan menggunakan metode penyemprotan untuk menekan penyakit antraknosa pada cabai. Perlakuan penyimpanan cabai merah pada suhu rendah juga sudah dilakukan oleh Taufik (2011), yaitu penyimpanan pada suhu 4°C lebih optimal dalam memperpanjang masa simpan,
5
sedangkan
kombinasi
antara
variasi
kitosan
dan
suhu
rendah
untuk
memperpanjang masa simpan cabai belum banyak dilakukan. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk menguji pengaruh penyimpanan pada suhu rendah dan variasi konsentrasi kitosan terhadap kekerasan buah yang telah dilapisi kitosan, jarak penetrasi kitosan pada penampang lintang kulit cabai setelah pemberian kitosan, serta karakter fisiologi dan biokimia yang meliputi susut bobot, laju respirasi, pigmen buah, dan vitamin C, pada cabai merah selama masa penyimpanan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengaruh perlakuan suhu rendah dan konsentrasi kitosan terhadap kekerasan, jarak penetrasi kitosan pada penampang kulit, serta karakter fisiologi dan biokimia pada cabai merah selama masa penyimpanan?
2.
Berapakah suhu penyimpanan dan konsentrasi kitosan yang optimum dalam memperpanjang masa simpan cabai merah berdasarkan kekerasan, jarak penetrasi kitosan pada penampang kulit, serta karakter fisiologi dan biokimia?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui pengaruh perlakuan suhu rendah dan konsentrasi kitosan terhadap kekerasan, jarak penetrasi kitosan pada penampang kulit, serta karakter fisiologi dan biokimia pada cabai merah selama masa penyimpanan.
6
2.
Mengetahui suhu penyimpanan dan konsentrasi kitosan yang optimum dalam memperpanjang masa simpan cabai merah berdasarkan kekerasan, jarak penetrasi kitosan pada penampang kulit, serta karakter fisiologi dan biokimia.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh perlakuan suhu rendah dan konsentrasi kitosan terhadap kekerasan, jarak penetrasi kitosan pada penampang kulit, serta karakter fisiologi dan biokimia pada cabai merah selama masa penyimpanan.
2.
Memberikan informasi ilmiah mengenai perlakuan variasi suhu penyimpanan dan konsentrasi kitosan yang optimum dalam memperpanjang masa simpan cabai merah berdasarkan kekerasan, jarak penetrasi kitosan pada penampang kulit, serta karakter fisiologi dan biokimia.