BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan bahwa mahasiswa merupakan sebutan individu yang menuntut ilmu di perguruan tinggi (Poerdawarminta, 2007). Masyarakat memandang mahasiswa memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, ditunjukan dengan kecerdasan dalam berpikir dan memiliki perencanaan dalam bertindak. Pada era globalisasi ini mahasiswa dituntut untuk meningkatkan mutu diri untuk menjadi pribadi yang unggul dan ideal. Indikator mahasiswa yang unggul dan ideal ialah seseorang mahasiswa yang memiliki prestasi akademis yang baik, memiliki pengalaman organisasi guna mengasah softskill dan tanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang baik dengan lingkungan di sekitarnya (Hariyadi, 2013) Pada kenyataannya untuk menjadi seorang mahasiswa yang ideal bukanlah perkara mudah, beberapa mahasiswa menjadi tertekan dan mengalami stres akibat tuntutan tersebut. Hal ini sesuai pendapatan Pathmanathan (2013) yang menegaskan bahwa beberapa mahasiswa berusaha untuk mencapai predikat sebagai mahasiswa yang unggul dan ideal mengalami stres. Stres yang dialami oleh individu merupakan ketidakmampuan mental, fisik, emosional, spiritualitas, untuk mengatasi ancaman yang dihadapi, sehingga pada suatu saat stres yang dialami dapat mempengaruhi kesehatan fisik (Hardjana, 1994). Berdasarkan hasil survei dalam preliminary study yang dilakukan peneliti pada bulan Januari 2015 terhadap 330 mahasiswa, bahwa sumber stres yang dialami mahasiswa Universitas Gadjah Mada meliputi stres akademis, stres dalam organisasi, dan stres terkait hubungan sosial. Stres akademis yang dirasakan oleh mahasiswa meliputi tugas kuliah,
1
ujian, dan tugas akhir atau skripsi. Ujian dan tugas kuliah lebih banyak dirasakan oleh mahasiswa pada tahun pertama dan kedua dengan hasil persentase sebesar 33,33 % dan 32,04%. Hal tersebut sejalan dengan penelitian oleh Kadapatti & Vijayalaxmi (2012) bahwa mahasiswa di tahun kedua menganggap bahwa tugas kuliahlah yang menjadi pemicu munculnya stres sedangkan mahasiswa tahun pertama menjadikan ujian sebagai salah satu pemicu munculnya stres. Mahasiswa di tahun terakhir lebih banyak mengalami stres pada pengerjaan skripsi atau tugas akhir dengan persentase sebesar 38,03%. Sejalan dengan yang diungkapkan Rohmah (2006) bahwasannya pengerjaan skripsi menjadi masalah bagi mahasiswa akhir karena beberapa mahasiswa yang kurang memiliki kemampuan dalam menulis, kurang memadainya kompetensi akademis, dan kurangnya minat penelitian pada mahasiswa. Stres yang terjadi pada mahasiswa tidak hanya berasal dari sisi akademis saja namun juga dapat terjadi di dalam organisasi. Stres dan tekanan tersebut datang dari jabatan atau tanggung jawab mahasiswa yang berat serta banyaknya deadline program kerja yang menekan dan harus segera diselesaikan (Anggraini, 2014). Selain itu, mahasiswa juga dihadapkan dengan dunia sosial yang luas, interaksi di dunia sosial kadang dapat menimbulkan konflik. Konflik yang sering terjadi pada mahasiswa seperti konflik dengan teman, orang tua, atau orang-orang sekitarnya dapat menjadi faktor penyebab stres pada mahasiswa (Anggraini, 2014). Pada mahasiswa baru atau mahasiswa tahun pertama yang berasal dari luar daerah, proses penyesuaian diri sangat dibutuhkan karena adanya perbedaan antara lingkungan baru dengan yang lama. Sebagian besar mahasiswa mampu mengatasi permasalahan tersebut dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru, namun sebagian lainnya gagal dalam beradaptasi sehingga mereka menjauh dan menghindari hubungan sosial, bahkan bersikap acuh sehingga mereka selalu dalam keadaan yang cemas dan tidak tenang (Sobur, 2003).
2
Timbulnya rasa cemas, stres, dan depresi pada mahasiswa menimbulkan dampak fisik dan psikis (Hardjana, 1994; Durand & Barlow, 2012). Efek psikis dari stres yang sering dialami seperti gelisah, cepat marah, dan sering berpikir negatif sedangkan efek fisik yang sering muncul yaitu individu sering mengalami keluhan-keluhan fisik seperti kelelahan yang berlebihan, sakit kepala, mual, dan gangguan fisik lainnya (Hardjana, 1994). Stres yang dialami oleh mahasiswa menimbulkan reaksi pada tubuh karena saat mengalami stres, organ tubuh seperti jantung, paruparu, alat pencernaan, sistem endokrin, dan sistem saraf akan bekerja lebih berat sehingga jika hal ini terjadi terus menerus maka kemungkinan terjadinya gangguan fisik akan terus meningkat (Anggraini, 2014). Hubungan antara stres dengan gangguan fisik bukanlah hal yang baru. Berabad-abad para dokter telah menduga bahwa kecemasan dan stres dapat mempengaruhi kesehatan fisik seseorang. Pada awal tahun 1970 diduga bahwa 60% dari semua penyakit berkaitan dengan faktor psikologis yaitu stres dan kecemasan. Berdasarkan temuan terbaru tentang interaksi pikiran dengan tubuh, diperkirakan bahwa sebanyak 80% dari keluhan-keluhan fisik disebabkan oleh stres. (National Safety Council, 1995). Salah satu keluhan fisik yang disebabkan oleh stres dan kecemasan ialah gangguan somatisasi (Durand & Barlow, 2012). Gangguan somatisasi merupakan salah satu bentuk dari gangguan somatoform, yang sumber gangguannya adalah kecemasan yang dimanifestasikan menjadi keluhan fisik namun tidak dapat dibuktikan dengan medis (Davidson, Neale, & Kring, 2006; Kendall & Hammen, 2002). Kaplan & Sadock (1991) juga mendefinisikan gangguan somatisasi sebagai suatu gangguan fisik kronis yang tidak dibuktikan secara medis dan berhubungan dengan masalah psikologis. Menurut DSM IV (dalam Durand & Barlow, 2012) keluhan fisik yang dapat mendiagnosis adanya gangguan somatisasi antara lain: empat simtom keluhan sakit, misalnya
3
sakit kepala, sakit punggung, sakit pada persendian, dan nyeri pada tangan, kaki atau dada; dua simtom gastrointestinal yang berupa mual, diare, kembung, dan muntah; satu simtom seksual, meliputi disfungsi ejakulasi/ereksi dan menstruasi tidak teratur; satu simtom neurologis, misalnya kerusakan sistem keseimbangan, pandangan ganda, ketulian, dan kehilangan kesadaran. Idaiani, Suhardi, & Kristanto (2009) menyimpulkan bahwa gejala somatisasi merupakan gejala terbanyak yang dialami oleh masyarakat. Tidak terkecuali pada mahasiswa, penelitian Febrina (2013) pada mahasiswa di Surabaya bahwa 10,5% mahasiswa menderita somatisasi akibat stres dalam menghadapi masalahnya. Sejalan dengan hasil wawancara Indrayati (dalam Rini, 2009) terhadap beberapa mahasiswa yang menunjukkan bahwa mahasiswa mengalami berbagai keluhan seperti sakit kepala, sakit perut, jantung berdebar-debar, dan badan terasa lemas. Seringkali hal tersebut muncul ketika mahasiswa dihadapkan dengan berbagai masalah yang menekannya. Masalah yang sering dihadapkan oleh mahasiswa seperti menghadapi ujian, banyak tugas, dan banyaknya aktivitas yang menguras energi dan pikiran. Jika diuraikan masalah yang dialami oleh mahasiswa bermacam-macam mulai dari masalah akademik, organisasi, hingga hubungan interpersonal. Hasil survei dalam preliminary study yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Januari 2015 ditemukan bahwa keluhan fisik yang sering dialami oleh mahasiswa ialah sakit kepala atau pusing, mengalami gangguan tidur, merasa lelah dan tidak bertenaga, periode menstruasi tidak teratur, mual dan tidak nafsu makan, hingga nyeri pada persendian. Fenomena somatisasi yang terjadi pada mahasiswa merupakan bentuk penghindaran dan ketidakmampuan mahasiswa dalam menghadapi stres. Maxmen (1986) mengatakan bahwa individu secara tidak sadar berusaha untuk menghindar dari tanggung jawab yang menekannya disaat individu tersebut tidak mampu mengatasi tanggung jawab tersebut dengan melakukan
4
defense mechanism. Bentuk defense mechanism yang sering dilakukan individu ialah memunculkan keluhan-keluhan fisik. Hal ini diperkuat oleh Sarason & Sarason (1993) bahwa individu menggunakan keluhan-keluhan fisiknya untuk lari dari kenyataan dan tanggung jawab yang harus dipenuhinya. Lipowski (1988) juga menambahkan bahwa somatisasi merupakan sebuah gangguan pada individu untuk memanfaatkan tubuh atau soma guna mengekespresikan atau mengkomunikasikan pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan. Banyak orang kerap menyalahartikan gangguan somatisasi sebagai gangguan penyakit medis (Ladwig, Marten-Mittag, Erazo, & Gundel, 2001). Gangguan somatisasi termasuk dalam gangguan psikologis, karena gangguan somatisasi merupakan gangguan somatoform yang munculnya keluhan fisik tidak dapat dibuktikan secara medis (Durand & Barlow 2012), sehingga beberapa penderita somatisasi biasanya melakukan doctor shopping untuk mendukung dan mencari diagnosa keluhan fisik yang dialaminya dengan mengunjungi institusi kesehatan. Penderita somatisasi melakukan doctor shopping, karena merasa tidak puas dengan hasil medis yang tidak menunjukkan adanya gangguan fisik yang berarti. Mereka cenderung berlebihan dalam menyikapi setiap keluhan fisiknya (Durand & Barlow, 2012). Hadjam (2003) menerangkan terdapat dua faktor penyebab somatisasi yaitu faktor pemicu dan faktor pertahanan. Faktor pemicu dijelaskan bahwa somatisasi terjadi karena pengalaman stres yang dialami oleh individu sedangkan faktor pertahanan merupakan faktor yang dapat menghambat munculnya somatisasi. Faktor pertahanan misalnya kepribadian yang tahan banting, memiliki kemandirian, dan harga diri. Kesimpulannya bahwa somatisasi akan muncul ketika faktor pemicu tidak dapat diimbangi dengan faktor pertahanan yang kuat. Sebaliknya ketika faktor pemicu dapat dikurangi dan diimbangi dengan faktor pertahanan yang optimal maka somatisasi dapat dikurangi.
5
Somatisasi dapat terjadi dari berbagai faktor, seperti faktor biologis, faktor psikologis, faktor spiritualitas, faktor sosiodemografis, dan faktor sosial budaya. Salah satunya faktor regulasi emosi. Regulasi emosi merupakan proses yang bertujuan untuk mengatur dan mengelola emosi yang diinginkan, bagaimana mengalami serta mengekspresikan emosi tersebut agar dapat mengurangi stres dan kecemasan pada individu (Gross, 1998). Stres yang terjadi pada mahasiswa seperti tugas kuliah, kesibukan organisasi, dan lain-lain karena mahasiswa tidak mampu mengekpresikan emosinya sehingga mahasiswa melakukan defense mechanism yang berbentuk denial terhadap stres dan akhirnya berujung pada gangguan fisik atau somatisasi. Regulasi emosi dipercaya sebagai faktor pertahanan internal individu untuk mengurangi dampak stres dan kecemasan (Reivich & Shatte, 2002). Hal tersebut didukung oleh penelitian Barret, Christensen, Benvenuato, & Gross (2001) tentang regulasi emosi bahwa individu yang memiliki kemampuan regulasi emosi dapat mengurangi emosi-emosi negatif akibat pengalaman emosional. Begitu juga mahasiswa yang dalam menghadapi stres dan kecemasan membutuhkan adanya regulasi emosi untuk mengurangi emosi negatif (Syahadat, 2013). Selain dapat mengurangi emosi negatif, regulasi emosi dapat menjadi pertahanan pada individu terhadap kesehatan dan penyakit. Hal tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian Waller & Scheidt (2006) terhadap pasien yang memiliki gangguan somatoform, bahwa regulasi emosi dapat menurunkan gangguan somatisasi yang dialami pasien tersebut. Sesuai dengan yang dijelaskan Gross & Munoz (1995) bahwa remaja dinilai kurang mampu memahami, mengkomunikasikan, dan mengekspresikan emosinya sehingga muncul keluhan fisik. Regulasi emosi memiliki kaitan dalam meredam stresor yang datang pada mahasiswa. Ketika mahasiswa memiliki regulasi emosi yang baik maka stres yang mengakibatkan somatisasi dapat diminimalisir namun peneliti belum menemukan adanya penelitian yang menghubungkan
6
regulasi emosi dengan kecenderungan somatisasi pada mahasiswa. Hal tersebut yang menjadi landasan peneliti menggunakan regulasi emosi sebagai variabel bebas. Selain faktor pertahanan internal individu, regulasi emosi, terdapat faktor dukungan sosial yang menjadi faktor protektif individu untuk menghadapi stres (Smet, 1994). Hal tersebut didukung oleh (Passer & Smith, 2007) yang mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan faktor protektif bagi individu untuk menghadapi dan mengatasi pengalaman hidup yang menekan secara efektif. East, dkk. (dalam Santrock, 2010) menambahkan bahwa dukungan sosial sangat membantu dalam menyelesaikan masalah dan merupakan pertahan yang baik terhadap stres. Selama beberapa dekade ini studi tentang stres secara konsisten menunjukkan bahwa stres dapat menghasilkan efek yang negatif, baik itu efek pada fisik dan psikologis (Thoits, 2010). Individu yang tidak memiliki dukungan sosial yang kuat akan cenderung memiliki kerentanan terhadap gangguan fisik dan psikologis. Pernyataan tersebut didukung oleh Bozo, Ozlem, Toksabay, & Oya (2009) bahwa dukungan sosial dapat melindungi individu dari depresi sedangkan individu yang kurang memiliki dukungan sosial cenderung lebih rentan terkena gangguan fisik dan psikologis. Selain itu, masalah kuantitas dan kualitas dukungan sosial juga berpengaruh pada penurunan tingkat stres. Individu yang mendapatkan dukungan sosial yang kuat dan banyak akan menurunkan tingkat stres, menurunkan masalah fisik dan psikologis, dan menurunkan angka kematian (Reblin & Uchino, 2008). La Rocco (dalam Sarafino & Smith, 2010) menegaskan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi dampak keluhan fisik. Menurut La Rocco, individu yang memiliki dukungan sosial yang baik akan berkurang kecemasan, gangguan umum, somatisasi, dan depresinya karena individu tersebut merasa bebannya menjadi lebih ringan sehingga tidak lagi merasa cemas dan stres. Ali, dkk. (2010) dalam penelitiannya terhadap pasien somatisasi, menghasilkan bahwa
7
penerimaan dukungan sosial berkorelasi negatif pada somatisasi dan berkorelasi positif pada kepuasan hidup. Bozo, dkk. (2009) dan Berns (2012) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan sumber dukungan yang dapat diperoleh dari anggota keluarga, teman sebaya, anggota kelompok, institusi setempat, dan lingkungan sekitar. Sumber dukungan sosial yang diterima oleh mahasiswa diperoleh dari teman sebaya, dosen dan keluarga (Hombrados, Gomez-Jacinto, Dominguez-Fientes, Garcia-Leiva, & Castro-Trave, 2012). Mahasiswa yang masuk dalam tahap remaja akhir dan dewasa awal membutuhkan adanya dukungan baik itu dari teman atau keluarga untuk bertahan dari tekanan dan tantangan yang datang terus menerus dari tuntutan akademis dan non akademis karena dukungan sosial merupakan faktor pertahanan eksternal yang dapat mengurangi stres mahasiswa. Dukungan sosial dapat diberikan dalam berbagai bentuk seperti dukungan emosional, penilaian, informasi, dan instrumental (House & Khan dalam Cohen & Syme, 1985). Dengan adanya dukungan sosial dari teman atau keluarga membuat mahasiswa merasa lebih percaya diri dalam menghadapi masalah atau stress. Kesimpulannya dukungan sosial akan mengurangi pengalaman stres yang diterima mahasiswa agar keluhan fisik atau somatisasi dapat dihambat namun belum ada penelitian yang mengaitkan antara dukungan sosial dengan kecenderungan somatisasi pada mahasiswa menjadi landasan peneliti untuk melakukan penelitian ini. Begitu pentingnya permasalahan somatisasi pada mahasiswa yang terjadi di seluruh tingkat mahasiswa, mulai dari tingkat bawah hingga tingkat atas. Selain itu, masih belum ada penelitian yang menjelaskan hubungan antara regulasi emosi dan dukungan sosial terhadap kecenderungan somatisasi pada mahasiswa S1 UGM menjadi latar belakang peneliti dalam melakukan penelitian ini.
8
B. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1.
Menguji hubungan regulasi emosi dan dukungan sosial terhadap kecenderungan somatisasi pada mahasiswa S1 Universitas Gadjah Mada.
2.
Menguji hubungan antara regulasi emosi terhadap kecenderungan somatisasi pada mahasiswa S1 Universitas Gadjah Mada.
3.
Menguji hubungan antara dukungan sosial terhadap kecenderungan somatisasi pada mahasiswa S1 Universits Gadjah Mada.
C. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai kondisi kecenderungan somatisasi, regulasi emosi dan dukungan sosial pada mahasiswa S1 Universitas Gadja Mada.
2.
Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan baru dalam bidang psikologi klinis dan kesehatan mental, terutama topik mengenai somatisasi, regulasi emosi dan dukungan sosial pada mahasiswa.
Manfaat praktis penelitian ini menjadi informasi bagi mahasiswa, psikolog, dan ahli medis dalam upaya untuk penanganan somatisasi pada mahasiswa.
9