BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengalaman Perang Korea turut memengaruhi perumusan kebijakan luar negeri Korea Selatan, salah satunya adalah kemunculan Kebijakan Reunifikasi. Lahir dari kepentingan Korea Selatan yang ingin menyatukan kedua Korea, kebijakan ini menjadi kebijakan kunci dari Presiden Pertama, Rhee Syngman (1948-1960), hingga Presiden saat ini, Park Geun Hye (2012-2017). Tujuan utama kebijakan ini ialah untuk mengurangi pengaruh komunis yang ada di Korea Utara (Yang & Mas'oed, 2004, hal. 31). Faktor kepemimpinan dan perubahan politik domestik memengaruhi perumusan Kebijakan Reunifikasi Korea Selatan. Salah satu bentuk Kebijakan Reunifikasi pasca demokratisasi ialah Sunshine Policy yang dirintis pada masa Presiden Kim Dae Jung (1997-2002). Berangkat dari kata sunshine atau sinar matahari, menunjukkan bahwa Presiden Kim berusaha mengatasi konflik antar Korea melalui hubungan yang hangat dengan Korea Utara dan pada akhirnya menyatukan dua Korea dengan cara-cara damai daripada konfrontasi secara militer (Chang, 2009, hal. 175). Salah satu momen penting dari implementasi Sunshine Policy ialah kedua Pemimpin Negara bertemu untuk pertama kali sepanjang sejarah pada Juni 2000 di Pyongnyang, guna menyepakati kerjasama pelbagai bidang. Keberhasilan kebijakan ini bahkan membuat Presiden Kim Dae Jung meraih penghargaan perdamaian internasional Nobel Peace Prize pada 13 Oktober 2000. Sekaligus mengangkat nama Korea Selatan di dunia internasional. Meski di permukaan kebijakan ini tampak berhasil, pada kenyataannya terjadi pergolakan di dalam Korea Selatan. Perdebatan keras terjadi di kalangan masyarakat dan elit politik. Pertentangan terjadi antar kelompok politik di dalam parlemen, inter dan intra partai politik, media massa, serta masyarakat dengan pemerintah (Levin & Han, 2002; Kim, 2011). Para pendukung Sunshine Policy sering disebut sebagai kelompok progresif (sayap kiri atau reformis), sementara 1
mereka yang mengkritik dan menentang dianggap kelompok konservatif (sayap kanan). Secara umum pergolakan dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan terhadap Korea Utara yang menimbulkan perselisihan mengenai bagaimana seharusnya sikap dan kebijakan luar negeri Korea Selatan terhadap Korea Utara. Fenomena ini biasa disebut dengan istilah South – South Conflict. Kim Dae Jung sendiri merupakan Presiden terpilih yang pertama kali berasal dari kelompok progresif. Meski sebagai ruling party, jumlah kursi partai Kim dan koalisinya di parlemen lebih sedikit daripada kelompok oposisi. Dengan model pemerintahan minority coalition government seperti ini proses pembuatan hingga implementasi kebijakan luar negeri Korea Selatan, khususnya Sunshine Policy, mengalami tantangan dan hambatan. Hal ini diperburuk dengan konflik antara Kim dengan koalisinya, partai ultra sayap kanan, selama pemerintahannya berlangsung. Serta pergantian pemerintahan Amerika Serikat dari Bill Clinton menjadi George W. Bush berkontribusi terhadap tekanan yang datang dari luar. Mesikupn begitu, Sunshine Policy dapat terus berlanjut hingga akhir kepemimpinan Kim Dae Jung. Bahkan dilanjutkan oleh Presiden sesudahnya, Roh Moo Hyun yang sama-sama berasal dari kelompok progresif. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk menilik mengapa pertentangan kepentingan dari dua kelompok tersebut dapat terjadi padahal kebijakan tersebut dapat terus berlangsung dan bahkan diteruskan oleh Presiden sesudahnya.
B. Rumusan Masalah Penelitian ini akan membahas mengenai Sunshine Policy dan konteks politik domestic dari kebijakan tersebut dengan menjawab pertanyaan: Mengapa South-South conflict terhadap Sunshine Policy terjadi di Korea Selatan selama masa pemerintahan Kim Dae Jung?
2
C. Kerangka Konseptual Skripsi ini menggunakan kebijakan luar negeri dan konteks politik domestic sebagai kerangka konseptual, di mana state/domestic level (2nd image) menjadi tingkat analisanya. Bahwa setiap proses pembuatan kebijakan luar negeri erat kaitannya dengan konteks atau kondisi pemerintahan dan politik domestik. Karakteristik suatu negara dalam proses pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh cakupan isu politik yang menjadi input perumusan kebijakan, aktor-aktor domestik yang terlibat (partai politik, parlemen, Presiden, dan media), serta faktor lingkungan yang melingkupi (aktor dan lingkungan eksternal, opini public dan budaya politik masyarakat). Sebagaimana tercermin dalam diagram berikut. Gambar 1. Diagram Proses Pembuatan Kebijakan Luar Negeri dalam Konteks Politik Domestik
Sumber: Dugis, V. (2009). Domestic Political Structure and Public Infulence on Foreign Policy, A Basic Model. Jurnal Global dan Strategis, 3 (2), hal.182 dengan sedikit perubahan.
Setiap kebijakan luar negeri memiliki dua aspek utama
yang
memungkinkan terjadinya polarisasi opini public terhadap kebijakan tersebut, yakni sumber-sumber kebijakan dan bagaimana proses memproduksi sumber tersebut menjadi sebuah kebijakan. Melalui dua hal tersebut dapat diketahui mengapa South-South Conflict terjadi terhadap Sunshine Policy. 3
Pertama, sumber-sumber atau komponen utama kebijakan luar negeri. Suatu kebijakan luar negeri memiliki empat komponen utama (Holsti, 1983) 1 . Yakni orientasi, national roles, tujuan, dan aksi. Tiga komponen pertama dapat dikatakan merupakan sumber-sumber dari suatu kebijakan; kemudian dirumuskan melalui proses tertentu hingga terwujud menjadi komponen keempat, yaitu aksiaksi yang dilakukan pemerintah. Tiga sumber tersebut biasanya merupakan input yang berasal dari public berupa aspirasi atau opini publik, cerminan budaya politik masyarakat suatu negara, atau pandangan personal dari para pembuat kebijakan. Publik dalam proses pembuatan kebijakan berperan memberi input berupa isu-isu politik tertentu maupun pandangan terhadap suatu permasalahan. Kemudian setelah kebijakan dibuat dan diimplementasikan, public dapat memberi feedback dan opini. Dalam memberi opini, publik dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya politik yang melingkupi. Budaya politik ialah seperangkat sistem nilai yang terdiri dari ideology politik, norma dan aturan, serta symbol politik yang memengaruhi pembentukan sistem politik dan kebiasaan individu (Ahn, 2003, hal. 17). Faktor budaya politik ini pula yang kemudian memengaruhi proses politik domestic dalam memberi input terhadap pembuatan kebijakan luar negeri. Sebab pandangan individu elit politik dapat terinstitusi menjadi pandangan kelompok yang diartikulasikan melalui politik domestic, hingga pada akhirnya memengaruhi seluruh masyarakat. Ketika kebijakan yang ditetapkan pemerintah memiliki perbedaan pandangan, perangkat nilai, ideology, maupun norma sebagian masyarakat dapat menimbulkan perdebatan dan pertentangan. Sehingga masyarakat kemudian terpolarisasi dalam memandang kebijakan tersebut. Hal inilah yang terjadi pada South-South Conflict terhadap Sunshine Policy. Kedua, proses pembuatan kebijakan. Hal ini erat kaitannya dengan bagaimana proses kebijakan tersebut dibuat beserta aspek-aspek politisnya. Bahwa setiap kebijakan merupakan hasil dari proses politik. Dalam proses pembuatan kebijakan, actor-aktor yang terlibat di dalamnya berperilaku dengan
1
Dikutip dari Dugis (2009), hal. 170-171.
4
cara-cara yang merefleksikan bargain sesuai dengan rancangan kebijakan dan tujuan masing-masing (Catatan Mata Kuliah Teori Politik Luar Negeri HI UGM, 2011; Allison, 1971). Sehingga terjadi dinamika politik domestic tersendiri yang berimplikasi terhadap output dan perubahan dari suatu kebijakan luar negeri. Politik domestik digambarkan sebagai gesekan kepentingan para aktor dalam lingkungan nasional. Aktor-aktor domestik terbagi menjadi actor affirmative dan oposisi yang saling berkompetisi untuk mendapatkan dukungan atas usulan kebijakan (atau kepentingan) mereka. Secara umum, dapat dikatakan bahwa politik domestic merupakan gambaran dari tekanan dan konflik kepentingan di lingkungan domestic suatu negera dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri. Pada kasus Sunshine Policy, gesekan kepentingan atau tujuan terjadi antara dua kelompok “ideologis”, yaitu kelompok progresif dan konservatif. Kelompok progresif sebagai kelompok penguasa yang merancang kebijakan tersebut mendapati conflict of interest dengan kelompok konservatif selaku oposisi. Perdebatan dan pertentangan ini terjadi di kalangan masyarakat dan elit politik Doktrin anti-komunisme dan sosiologi politik masyarakat yang berkembang seiring perubahan situasi politik Korea Selatan menjadi factor mendasar perbedaan pandangan masyarakat terhadap Korea Utara. Perbedaan ini kemudian menimbulkan perbedaan pandangan masing-masing kelompok terhadap empat komponen atau sumber-sumber dari Sunshine Policy, yaitu seputar orientasi, national roles, tujuan, dan aksi/implementasinya.. Bahwa Sunshine Policy dianggap mengusung ide baru dan berbeda dengan kebijakan-kebijakan pendahulunya. Perubahan kebijakan luar negeri umumnya disebabkan oleh dua factor domestik; (1) pergantian rezim atau transformasi negara, (2) pemerintahan yang berjalan mendorong perubahan haluan kebijakan luar negeri (Holsti, 1982). 2 Demokratisasi merupakan salah satu contoh dari factor utama terjadinya perubahan kebijakan luar negeri suatu negara. Sebab pada negara-negara yang
2
Ibid.
5
baru membentuk demokrasi memungkinan terjadinya beberapa penyesuaian (Held, 1988). Muncul peran-peran baru dalam sistem politik seperti fungsi legislative yang lebih kuat, Pemilu, dan lain sebagainya. Pemilu membuka ruang partisipasi masyarakat melalui partai-partai politik dan kelompok kepentingan, sehingga masyarakat semakin mengenal makna ruling party (partai berkuasa) dan oposisi. Ini memunculkan serangkaian kompetisi atau saling bersaing antar elit politik dan partai, termasuk dalam urusan power dan kepemimpinan politik. Konsep dan kondisi ini oleh Held dinamakan kompetisi elit (competitive elitism). Di Korea Selatan, demokratisasi pada tahun 1987 menjadi salah satu factor pendorong sekaligus penyebab terjadinya perubahan dalam kebijakan luar negeri terhadap Korea Utara. Demokratisasi berkontribusi besar terhadap transformasi bertahap terkait penempatan posisi dan peran Korea Utara dalam perpolitikan Korea Selatan (Snyder, 2004, hal. 24). Hal ini disepakati Carl J. Saxer (2013) yang juga menambahkan bahwa respon positif Korea Selatan terhadap globalisasi melalui kebijakan segyehwa pada tahun 1994 semakin berkontribusi terhadap perubahan yang terjadi sejak akhir 1990-an hingga saat ini. Lebih rinci lagi, Tong Whun Park, Dae-Won Ko, dan Kyu-Ryoon Kim (1994) berpendapat bahwa demokratisasi merubah relasi power antara negara dan masyarakat, kepentingan politik rezim dan persepsi tentang keamanaan, serta sistem nilai dan legitimasi ideology negara; yang itu semua mengubah struktur dan proses pembuatan kebijakan luar negeri. 3 Masyarakat mulai diberi ruang untuk mengartikulasikan ide, aspirasi, dan opininya. Ideologi yang dilarang sebelum demokratisasi pun mulai mendapat legitimasi dan pengaruh terhadap publik. Ini kemudian menuntut kemampuan dari para elit dalam membuat keputusan atau kebijakan penting kaitannya dengan urusan legislative dan administratif. Selama masa pra-demokrasi, parlemen dan partai politik Korea Selatan hanya kelompok sayap kanan dan tengah kanan yang melarang segala bentuk komunisme sebagai kedok mempertahankan kuasa. Mereka yang oposisi, pro
3
Dikutip dari Chung (2003), hal. 11.
6
demokrasi, dan memiliki ide menjalin hubungan lebih baik dengan Korea Utara dianggap “kiri” atau “progresif”. Pasca demokratisasi ide dan aspirasi dari kelompok yang sebelumnya terepresi mendapat ruang dan sedikit demi sedikit terakomodasi. Isu mengenai kebijakan luar negeri, khususnya perbaikan hubungan dengan Korea Utara, mulai mendapat perhatian lebih dari public. Sementara itu, demokrasi yang dimiliki Korea Selatan merupakan demokrasi modifikasi. Yaitu demokratis secara “prosedural”, di mana prosedur domestic dikombinasikan dengan konsep-konsep tradisional mengenai kekuasaan dan otoritas (Steinberg & Shin, 2006, hal. 522). Pemerintahan Roh Tae Woo, Kim Young Sam, dan Kim Dae Jung mengeluarkan beragam strategi yang bertujuan meredam ketegangan di Semenanjung Korea dan memperbaiki hubungan dengan Korea Utara. Namun, opini publik yang terbagi terhadap hubungan antar Korea bukanlah faktor utama perubahan kebijakan tersebut. Itu semua lebih disebabkan oleh perbedaan latar belakang sejarah politik masing-masing pemimpin dan koalisi yang mendukungnya (Chung, 2003, hal. 13). Sebab kuasa pembuatan kebijakan, khususnya kebijakan luar negeri di Korea Selatan, sejak lama berada di tangan Presiden. (Hoon, 2005). Sehingga demokratisasi terjadi di Korea Selatan, namun kebijakan luar negeri masih menjadi prerogratif Presiden (Kihl, 2005). Hal ini dipengaruhi oleh budaya dan perilaku politik para politisi. Seperti nilai-nilai konfusianisme yang memengaruhi pola interaksi yang terjadi di dalam partai politik dan legislative. Bagi masyarakat Korea, power (대권; daekwon) merupakan hal penting (Steinberg & Shin, 2006, hal. 525). Sehingga aspek sesungguhnya yang paling menonjol dari South-South Conflict ialah perselisihan mengenai distribusi kekuasaan dan perebutan kekuasaan politik (Lee J. W., 2005). Hal ini disepakati Kim Young Mi yang menilai South-South Conflict sebenarnya bukanlah konflik ideologis antara dua kelompok ideologi, melainkan lebih berhubungan dengan pemerintahan Kim Dae Jung dan pertarungan politik partai politik terhadap Sunshine Policy dan penghapusan Undang-Undang Keamanan Nasional (2011, hal. 135). Meskipun Kim Dae Jung dapat menarik massa dan mencetuskan program yang modern dan inovatif, gaya Kim tetaplah seorang politisi tradisional yang 7
menjalankan gaya berpolitik yang sangat tradisional, dan diperlakukan oleh pengikut dekatnya sebagai pemimpin rombongan (Steinberg & Shin, 2006, hal. 532). Presiden Kim Dae Jung melakukan serangkaian manuever untuk tetap memperkuat bargaining pemerintahannya. Sehingga kebijakan Sunshine Policy tetap berlanjut hingga akhir kepemimpinan Presiden Kim, sekalipun mendapat banyak reaksi pro dan kontra. Artinya, perilaku politik para actor di dalamnya dipengaruhi oleh nilainilai dan sistem yang masih berlaku di Korea Selatan, sekalipun sudah berkembang mengikuti perkembangan zaman. Serangkaian nilai dan sistem yang mengakar inilah yang disebut budaya politik. Sehingga budaya politik memengaruhi pula pada bagaimana proses politik dan pembuatan kebijakan Sunshine Policy yang memicu terjadinya South-South Conflict.
D. Argumen Utama Skripsi ini berangkat dengan asumsi dasar bahwa setiap kebijakan luar negeri memiliki dua aspek utama yang memungkinkan terjadinya polarisasi opini public terhadap kebijakan tersebut, yakni sumber-sumber kebijakan dan bagaimana proses memproduksi sumber tersebut menjadi sebuah kebijakan. Melalui dua hal tersebut dapat diketahui mengapa South-South Conflict terjadi terhadap Sunshine Policy. Dalam dinamika politik domestic Korea Selatan diyakini terjadi SouthSouth Conflict selama proses pembuatan, implikasi, dan reaksi terhadap Sunshine Policy. Terdapat perbedaan pandangan masyarakat terhadap Korea Utara dan Sunshine Policy, yang meruncing menjadi gesekan-gesekan kepentingan maupun tujuan antara kelompok progresif sebagai ruling party yang merancang kebijakan Sunshine Policy dengan konservatif selaku oposisi. Hal ini dilatarbelakangi oleh dua factor budaya politik masyarakat Korea Selatan dalam merespon perubahan politik yang ada. Pertama, doktrin anti-komunisme dan sosiologi politik masyarakat yang berkembang seiring perubahan situasi politik Korea Selatan menjadi factor mendasar perbedaan pandangan masyarakat terhadap Korea Utara. Sehingga 8
menimbulkan perbedaan pandangan masing-masing kelompok terhadap empat komponen atau sumber-sumber dari Sunshine Policy. Yakni seputar orientasi dan tujuan kebijakan tersebut, posisi atau penempatan peran negara terhadap Korea Utara, serta aksi atau implementasinya. Kedua, seputar nilai dan sistem yang berlaku di Korea Selatan pada saat itu. Perbedaan opini publik mengenai hubungan antar Korea dan Sunshine Policy bukan factor tunggal penyebab terjadinya South-South Conflict. Sebab, sebagaimana pendapat Chung (2003), ini lebih disebabkan oleh perbedaan latar belakang
sejarah
politik
masing-masing
pemimpin
dan
koalisi
yang
mendukungnya dalam memutuskan suatu kebijakan. Sehingga perselisihan mengenai distribusi kekuasaan dan perebutan kekuasaan politik, serta pertarungan politik partai politik terhadap Sunshine Policy merupakan South-South Conflict sesungguhnya. Sebagaimana disebutkan Tong Whun Park, Dae-Won Ko, dan Kyu-Ryoon Kim (1994) bahwa pasca demokratisasi terjadi perubahan relasi power antara negara dan masyarakat, kepentingan politik rezim dan persepsi tentang keamanaan, serta sistem nilai dan legitimasi ideology negara; yang itu semua mengubah struktur dan proses pembuatan kebijakan luar negeri. Sehingga memengaruhi perilaku politik para elit politik. Para elit mementingkan daekwon dalam sistem demokrasi modifikasi Korea Selatan sehingga memungkinkan terjadinya perseteruan politik. Terlebih pada masa pemerintahan Kim Dae Jung sebagai Presiden terpilih yang pertama kali berasal dari kelompok progresif dan menjalankan tipe pemerintahan koalisi namun minoritas di parlemen. Meskipun begitu urusan kebijakan luar negeri secara tradisional masih menjadi prerogatif Presiden, yang memperkuat bargaining Kim Dae Jung. Melalui serangkaian manuever-nya Sunshine Policy terus berlanjut hingga akhir kepemimpinannya.
E. Metode Penelitian Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif dengan metode studi pustaka. Data diperoleh dari beragam buku cetak dan elektronik, jurnal dan publikasi penelitian, artikel online, surat kabar, serta publikasi dari situs 9
pemerintah Korea Selatan. Adapun sumber surat kabar elektronik sebagian besar merupakan data sekunder, sebab sebagian besar telah hilang dari situs aslinya sehingga menggunakan hasil olahan para peneliti yang tercantum di dalam buku, artikel, jurnal, paper, dan disertasi. Data yang diperoleh kemudian diolah secara kualitatif untuk dianalisa dengan konsep dan teori yang relevan sebagaimana disebutkan pada bagian landasan konseptual. Diharapkan data tersebut dapat mendukung argumen utama penulis.
F. Jangkauan Penelitian Jangkauan penelitian ini ialah serangkaian peristiwa dan fenomena terkait Sunshine Policy dan perdebatan yang melingkupinya pada masa pemerintahan Kim Dae Jung selama tahun 1998 hingga 2003.
G. Sistematika Penulisan Skripsi dengan judul “South-South Conflict dalam Sunshine Policy (1998 – 2003)” ini akan terbagi menjadi lima bab. 1.
Bab I merupakan pengantar yang berisi latar belakang, rumusan masalah, kerangka konseptual, argumen utama, metode dan jangkauan penelitian, serta sistematika penulisan.
2.
Bab II menjabarkan kontroversi Sunshine Policy.
3.
Bab III pengantar mengenai South-South Conflict, yakni pembahasan seputar polarisasi masyarakat dan elit politik terhadap Sunshine Policy,
4.
Bab IV berisi analisa kontribusi budaya politik terhadap terjadinya SouthSouth Conflict.
5.
Bab V berisi kesimpulan penulis terhadap studi kasus yang dianalisa.
10