BAB 3 BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2007 di Laboratorium Kultur Jaringan Unit Pelaksana Teknis Balai Benih Induk Dinas Pertanian Sumatera Utara.
3.2. Bahan
Bahan yang digunakan sebagai eksplan adalah jantung pisang barangan (Musa acuminata L.). Bahan ini diambil dari Desa Telun Kenas, kecamatan Deli Tua Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor, yaitu: I.
Faktor Konsentrasi BAP (B) Terdiri 4 taraf yaitu B 0 = 0 mg/l B 1 = 2.5 mg/l B 2 = 3.75 mg/l B 3 = 5.0 mg/l
II.
Faktor Konsentrasi NAA (N) Terdiri 4 taraf yaitu N 0 = 0 mg/l N 1 = 0.5 mg/l N 2 = 1 mg/l N3
= 1.5 mg/l
Sehingga diperoleh 16 kombinasi perlakuan, yaitu:
B0N0
B1N0
B2N0
B3N0
B0N1
B1N1
B2N1
B3N1
B0N2
B1N2
B2N2
B3N2
B0N3
B1N3
B2N3
B3N3
Dengan jumlah ulangan pada setiap perlakuan
5, maka jumlah botol
percobaan seluruhnya adalah 80 satuan percobaan. Lay out percobaan dapat dilihat pada lampiran E.
3.4. Pelaksanaan Penelitian 3.4.1. Sterilisasi Alat
Sterilisasi dimaksudkan agar seluruh alat yang digunakan terbebas dari kontaminasi. Semua alat-alat gelas dicuci dengan detergen sampai bersih dan dikeringkan. Cawan petri diisi dengan kertas saring. Kemudian cawan petri tersebut, beserta dengan pinset, pisau dan batang pengaduk dibungkus dengan kertas dan disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 1210C dan dengan tekanan 15 psi selama 60 menit. Dalam sterilisasi ini juga diikutsertakan akuades dalam erlenmeyer yang telah ditutup dengan aluminium foil (Hartmann et al, 1983, hlm. 601).
3.4.2. Pembuatan Media
Media yang digunakan adalah media MS (Murashige dan Skoog) padat, dengan komposisi seperti terlihat pada lampiran F. Media ini ditambah BAP dan NAA dengan konsentrasi sesuai dengan perlakuan.
Untuk
mempermudah
pembuatan
media
maka
bahan-bahan
yang
dipergunakan dibuat dalam larutan stok. Larutan stok yang diperlukan adalah hara mikro, vitamin dan zat pengatur tumbuh, sementara unsur hara makro, myo-inositol, sukrosa dan agar dapat ditimbang langsung sesuai dengan kebutuhan.
Media yang digunakan sebanyak 5 l sehingga setiap hara makro, mikro, myoinositol, sukrosa, vitamin dan iron dibuat untuk media dengan ukuran 5 l. Larutan MS dibuat penuh dengan cara memasukkan hara makro, myo-inositol dan sukrosa ke dalam gelas ukur 1000 ml yang terlebih dahulu diisi dengan akuades. Ke dalam akuades tersebut dimasukkan unsur hara mikro, iron, vitamin masing-masing 5 ml dari larutan stok dan kemudian dipenuhkan menjadi 5 l. Larutan dibagi menjadi 16 bagian sesuai dengan perlakuan. Setiap bagian diberi BAP dan NAA sesuai dengan perlakuan. Derajat keasaman (pH) larutan diukur dengan menggunakan pH meter dengan pH 5.8. Untuk mendapatkan pH yang diinginkan ditambahkan NaOH 0.1 N atau HCl 0.1 N. Agar ditambahkan sebagai pemadat media dan dipanaskan hingga mendidih.
Selanjutnya media dituang ke dalam botol kultur yang telah diberi label sesuai perlakuan dan banyaknya ulangan, setiap botol ulangan berisi ± 40 ml media kemudian ditutup dengan aluminium foil dan diikat dengan karet gelang. Media dalam botol tersebut kemudian disterilisasi dengan autoklaf bersuhu 1210C dan bertekanan 15 psi selama 30 menit. Botol kultur ditempatkan di rak-rak kultur untuk menghindari kontaminasi (Reinert and Bajaj, 1989, hlm. 184).
3.4.3. Sterilisasi Bahan
Bahan berupa bunga (jantung) pisang barangan dikupas (seperti pada terlihat pada Gambar 3.1 Halaman 17), pelepah-pelepah dibuang sampai didapatkan jantung dengan ukuran kecil kira-kira 10 cm (seperti pada Gambar 3.2 Halaman 17), jantung dicuci dengan detergen. Eksplan diperkecil lagi dengan cara memotong eksplan dengan pisau dibawah air mengalir. Eksplan direndam dalam larutan Dithane M-45 2 g/l yang ditambahkan dengan 2 tetes Tween 80 selama 1.5 jam dan diguncang dengan
shaker. Eksplan lalu dicuci dengan air mengalir sampai bersih, disemprot dengan alkohol 96% kira-kira 3 menit, dicuci kembali dibawah air mengalir selanjutnya direndam kembali dalam larutan kloroks 20% ditambah 2 tetes Tween 80 dan diguncang selama 20 menit. Ekspan dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali, direndam dalam larutan kloroks 10% dan diguncang selama 10 menit. Eksplan dicuci dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Selanjutnya eksplan diperkecil kembali dengan pisau di atas cawan petri steril tanpa membuang bagian pedunculus dari jantung tersebut sehingga didapatkan eksplan seperti pada Gambar 3.3 Halaman 18. Direndam dalam larutan asam askorbat 2 g/l selama 30 menit. Eksplan dicuci dengan aquades steril sampai bersih. Pekerjaan ini dilakukan di Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) (Unit Pelaksana Teknis Balai Benih Induk, 2007).
Gambar 3.1 Jantung pisang barangan
Gambar 3.2 Jantung pisang barangan yang telah dikupas
3.4.4. Penanaman Eksplan
Satu hari sebelum penanaman diupayakan supaya ruangan dalam keadaan bersih dan telah dipel dengan cairan desinfektan dan lampu UV dalam LAFC juga dihidupkan. Sebelum penanaman dipersiapkan terlebih dahulu alat-alat yang akan digunakan yaitu pinset dan pisau steril yang direndam dalam alkohol 96%, bunsen dan alkohol 70%. Eksplan (Gambar 3.4 Halaman 18) yang telah disterilkan ditanam satu per satu ke dalam media dengan menggunakan pinset steril. Setiap botol media hanya diisi oleh satu eksplan seperti pada Gambar 3.5 Halaman 18. Setiap kali mengambil eksplan dengan pinset terlebih dahulu dicelupkan ke dalam alkohol 96% lalu dibakar. Botol
berisi eksplan kemudian ditutup dengan aluminium foil dan diikat dengan karet gelang.
Gambar 3.3 Pemotongan eksplan
Gambar 3.4 Eksplan siap ditanam
Gambar 3.5 Eksplan dalam media 3.4.5. Pemeliharaan
Botol-botol kultur yang telah ditanami eksplan diletakkan pada rak-rak kultur sesuai dengan lay out penelitian di dalam ruang kultur. Ruang pemeliharaan harus senantiasa bersih dan disemprot dengan alkohol 70% setiap hari. Suhu dijaga berkisar 25o±2oC dengan pengaturan AC. Pada rak kultur intensitas cahaya dengan penyinaran lampu neon 500 lux.
3.4.6. Variabel Pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1. Tipe Pertumbuhan Kultur Tipe pertumbuhan kultur menunjukkan tipe regenerasi pada eksplan. 2. Saat Inisiasi (HST) Saat inisiasi kultur menunjukkan saat terbentuk tunas. Dihitung mulai awal penanaman eksplan sampai terbentuk tonjolan tunas. 3. Jumlah Tunas (buah) Jumlah tunas yang terbentuk dihitung dengan pengamatan visual di akhir penelitian 4. Berat Basah kultur (g) Berat kultur ditimbang dengan timbangan analitik pada akhir penelitian. Eksplan dikeluarkan dari media, dibersihkan dari sisa-sisa media kemudian ditimbang. 5. Persentase kultur yang terkontaminasi (%) Persentase kultur yang terkontaminasi dihitung setiap hari sejak awal hingga akhir penelitian dengan rumus: Jumlah eksplan yang terkontaminasi Persentase terkontaminasi =
X 100% Jumlah eksplan seluruh perlakuan
3.5. Analisis Data
Model analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Kalau terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan Duncan New Multiple Range Test (DMRT) (Sastrosupadi, 2000).
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tipe Pertumbuhan Kultur
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data tipe pertumbuhan kultur pada seluruh perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini: Tabel 4.1 Tipe Pertumbuhan Kultur Perlakuan B0N 0 B0N 1 B0N 2 B0N 3 B1N 0 B1N 1 B1N 2 B1N 3 B2N 0 B2N 1 B2N 2 B2N 3 B3N 0 B3N 1 B3N 2 B3N 3
1 T T T T T T T T T T T T T Keterangan: T = Tunas - = Kontaminasi 0 = Tidak tumbuh
2 T T T T T T T T T 0 T T T T T
Ulangan 3 T T T T T T T T T T T T T T
4 T T T T T T T T T 0 T T T -
5 T T T T T T T T T -
Jumlah 62 16 2
Semua kombinasi perlakuan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tunas tetapi tidak menumbuhkan daun, akar dan kalus. Dari pengamatan secara visual
dapat dilihat bahwa tunas biasanya muncul dari bagian pedunculus bunga yang diawali dengan terbentuknya tonjolan tunas yang akan berkembang menjadi tunas. Pada perlakuan B 2 (3.75 mg/l BAP) merupakan perlakuan dengan jumlah kultur yang membentuk tunas yang paling rendah. Katuuk (1998) dalam Sofia (2007) mengatakan bahwa keseimbangan auksin dan sitokinin eksogen menentukan dalam pembentukan jumlah tunas. Ada kalanya pembentukan tunas dapat berlangsung tanpa memberikan salah satu dari kedua zat pengatur tumbuh ini. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perlakuan tanpa BAP dan NAA dapat menumbuhkan tunas.
Dari setiap perlakuan juga tidak ditemukan adanya pembentukan kalus, hal ini mungkin disebabkan karena konsentrasi BAP yang tidak sesuai untuk pertumbuhan kalus. Keseimbangan antara auksin endogen dalam eksplan dengan sitokinin endogen, maupun sitokinin eksogen yang diberikan akan mempengaruhi proses pertumbuhan eksplan itu sendiri. Konsentrasi BAP yang rendah berpengaruh baik pada pembentukan tunas (Sofia, 2007). Dari pendapat ini dapat diduga bahwa konsentrasi BAP kurang tinggi untuk dapat menginduksi kalus.
Tidak tumbuhnya kalus ini juga mungkin disebabkan karena eksplan yang tidak dapat membentuk kalus karena tidak sesuai dengan media yang diberikan. Menurut Santoso dan Nursandi (2004, hlm 63), bahwa teknik kultur jaringan menekankan lingkungan media yang cocok agar eksplan dapat tumbuh dan berkembang. Kebutuhan tiap tanaman berbeda pada hal komposisi dan jumlah yang diperlukan. Eksplan yang tidak tumbuh dapat disebabkan karena tidak responsif terhadap pemberian zat pengatur tumbuh pada media atau sterilisasi yang berlebihan.
4.2 Inisiasi kultur
Data pengamatan saat inisiasi kultur dapat dilihat pada Lampiran A Halaman 33 . Dari daftar sidik ragam dapat dilihat bahwa
pemberian BAP dan NAA serta
interaksinya memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap saat inisiasi kultur. Hubungan rata-rata saat inisiasi kultur dengan konsentrasi BAP dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut:
Saat Inisiasi Kultur (HST)
20 15 10 5 0 B0 (0)
B1 (2.5)
B2 (3.75)
B3 (5)
Konsentrasi BAP (mg/l)
Gambar 4.1 Hubungan rata-rata saat inisiasi kultur HST (hari setelah 0 mg/l NAA, tanam) dengan kombinasi BAP dan NAA, N 0 N1 0.5 mg/l NAA,N 2 1 mg/l NAA, N 3 1.5 mg/l NAA. Saat inisiasi kultur terjadi pada minggu pertama dan minggu kedua setelah tanam, saat inisiasi kultur tercepat adalah pada perlakuan 1 mg/l NAA tanpa penambahan BAP (B 0 N 2 ) dan berbeda nyata dengan semua perlakuan kecuali perlakuan 2.5 mg/l BAP tanpa NAA (B 1 N 0 ), saat inisiasi kultur yang paling lama adalah pada perlakuan 1.5 mg/l NAA tanpa BAP (B 0 N 3 ). Dari gambar di atas juga dapat dilihat pada perlakuan N 2 kecepatan saat inisiasi kultur semakin lambat seiring dengan penambahan BAP sebaliknya pada perlakuan N 3 kecepatan saat inisiasi kultur semakin cepat seiring dengan penambahan BAP. Perbandingan konsentrasi BAP dan NAA dalam media sangat menentukan saat inisiasi kultur dan auksin (NAA) merupakan zat pengatur tumbuh yang dominan dalam menentukan saat inisiasi kultur. Menurut Santoso dan Nursandi (2004), pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu lingkungan tumbuh sedangkan faktor internal yaitu kondisi hormonal sehingga keberhasilan kegiatan kultur jaringan sebagai pengembangan budidaya biasa selain sangat ditentukan dan tergantung pada media yang digunakan, eksplan, lingkungan lainnya juga sangat bergantung pada zat pengatur tumbuh yang diberikan. Menurut Wareing dan Philips (1998) dalam Marlin (2005), bahwa kebutuhan nutrisi dan zat pengatur
tumbuh untuk memacu proses pertumbuhan pada kultur in vitro akan berbeda untuk setiap jenis tanaman dan eksplan yang digunakan.
Pada umur 10 hari rata-rata kultur telah tumbuh dan mulai membentuk calon tunas dan pada umur 15 hari hampir semua kultur telah memiliki tunas. Menurut Marlin (2005), hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi sitokinin (BAP) ke dalam media kultur akan mempercepat pertumbuhan tunas. Menurut Suyadi et al (2003), keberhasilan penggandaan tunas abaca melalui kultur meristem sangat bergantung pada keseimbangan zat pengatur tumbuh golongan auksin dan sitokinin, terutama keseimbangan antara BAP dan NAA. Sitokinin (BAP) adalah zat pengatur tumbuh sintetik yang berperan antara lain dalam pembelahan sel dan morfogenesis sedangkan NAA adalah zat pengatur tumbuh sintetik yang mampu mengatur berbagai proses pertumbuhan dan pemanjangan sel. Pendapat ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan karena penambahan sitokinin (BAP) ke dalam media tidak mempercepat pertumbuhan kultur.
4.3 Jumlah Tunas
Kultur
yang membentuk tunas dapat dilihat pada Gambar 4.3. Tunas umumnya
pertama sekali muncul dari bagian eksplan yang langsung bersentuhan dengan media sehingga tunas ini bertumbuh ke arah media dan seiring pertumbuhannya tunas ini akan kembali tumbuh mengarah ke atas. Tunas juga muncul dari permukaan eksplan yang hijau. Tunas biasanya muncul pada minggu kedua dan ketiga setelah penanaman dari bagian eksplan yang tidak mengalami pencoklatan. Apabila tunas semakin banyak, maka pencoklatan juga akan semakin berkurang. Eksplan yang mengalami pencoklatan kuat umumnya tunas tidak berkembang, dan bila terbentuk tunas maka akan memerlukan waktu yang cukup lama. Pencoklatan pada eksplan juga menyebabkan pencoklatan pada media, ini dapat dilihat dari media yang berubah warna dari putih menjadi coklat tua.
Menurut Santoso dan Nursandi (2004), pencoklatan adalah suatu karakter munculnya warna coklat atau hitam yang sering menyebabkan penghambatan
pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Pencoklatan ini terjadi akibat adanya pengaruh fisik atau biokimia (memar, pengupasan, pemotongan, serangan penyakit, atau kondisi lain yang tidak normal). Pencoklatan kebanyakan dianggap sebagai gangguan dalam kegiatan kultur jaringan, karena gejala pencoklatan umumnya merupakan tanda-tanda kemunduran fisiologi eksplan dan tidak jarang berakhir pada kematian eksplan.
Dalam penelitian ini cara yang digunakan untuk mencegah pencoklatan adalah dengan merendam eksplan dalam larutan asam askorbat selama 30 menit, diguncang dengan shaker, juga dengan cara pemotongan eksplan dilakukan di bawah air mengalir. Pencoklatan ini terjadi mungkin karena kandungan senyawa fenol pada eksplan cukup tinggi
dan media yang tidak dilengkapi dengan zat yang dapat
mencegah pencoklatan. Nisa dan Rodinah (2005) menyatakan bahwa warna coklat menandakan sintesis senyawa fenolik yang dipacu oleh cekaman atau gangguan pada sel tanaman. Senyawa ini sangat toksik bagi tanaman dan dapat menghambat pertumbuhan.
Data pengamatan jumlah tunas dapat dilihat pada Lampiran B Halaman 34, daftar sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan BAP dan NAA serta interaksinya dalam media memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap jumlah tunas. Hubungan rata-rata jumlah tunas terhadap tingkat konsentrasi BAP dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Dari Gambar 4.2 dapat dilihat kultur yang paling banyak membentuk tunas adalah kultur dengan perlakuan 2.5 mg BAP dan 0.5 mg/l NAA (B 1 N 1 ) dan berbeda nyata dibandingkan dengan semua perlakuan, perlakuan ini juga merupakan perlakuan dengan waktu inisiasi yang termasuk cepat dan berat basah kultur yang cukup tinggi. Sedangkan kultur yang paling sedikit membentuk tunas adalah kultur dengan perlakuan kontrol (B 0 N 0 ). Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), sitokinin terbukti dapat memacu diferensiasi tunas. Dari hasil suatu percobaan terbukti bahwa 76% spesies tanaman membentuk tunas jika menggunakan kinetin atau BAP.
Jumlah Tunas (buah)
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 B0 (0)
B1 (2.5)
B2 (3.75)
B3 (5)
Konsentrasi BAP (mg/l)
Gambar 4.2 Hubungan rata-rata jumlah tunas (buah) dengan kombinasi BAP dan NAA. N 0 0 mg/l NAA, N 1 0.5 mg/l NAA,N 2 1 mg/l NAA, N 3 1.5 mg/l NAA.
Pada gambar dapat juga dilihat penambahan NAA tanpa pemberian BAP semakin meningkatkan jumlah tunas tetapi dengan 2.5 mg/l BAP jumlah tunas cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi BAP justru menurunkan atau menghambat pembentukan tunas. Selanjutnya dapat dilihat pada penambahan 3.75 dan 5 mg/l BAP jumlah tunas menunjukkan penurunan. Hal ini mungkin disebabkan karena konsentrasi BAP yang terlalu tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan tunas. Menurut Suyadi et al (2003), konsentrasi NAA yang sama peningkatan konsentrasi BAP akan menurunkan jumlah tunas yang dihasilkan, hal ini diduga karena BAP mampu menstimulir pembentukan NAA endogen sehingga konsentrasi NAA endogen dan eksogen berada pada kondisi di atas optimum. Menurut Avivi dan Dewanti (2005) terbentuknya tunas pada eksplan kotiledon dipercepat dengan peningkatan konsentrasi BAP sampai 0.5 ppm. Peningkatan konsentrasi BAP selanjutnya menghambat laju pembentukan tunas. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Marlin (2005) yang menyatakan bahwa tingginya persentase pembentukan tunas pada konsentrasi BAP yang rendah dimungkinkan karena secara fisiologis kandungan BAP endogen dari eksplan tersebut sudah mencukupi untuk pembentukan tunas. Kultur yang membentuk tunas dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Tunas
Media
Gambar 4.3 Pembentukan tunas dari kultur bunga pisang barangan (Musa acuminata L.) pada perlakuan B 3 N 2 4.4 Berat Basah Kultur
Hampir setiap botol kultur pada semua ulangan yang tidak terkontaminasi mengalami pertumbuhan. Pada umumnya eksplan akan tumbuh pada minggu kedua setelah penanaman. Eksplan akan berkembang menjadi struktur yang basah, dan eksplan umumnya mengalami penambahan ukuran baik dari segi panjang eksplan maupun berat eksplan.
Data pengamatan berat basah kultur pada Lampiran C Halaman 35 dapat dilihat daftar sidik ragam yang menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan BAP, NAA dan interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap berat basah kultur. Hubungan rata-rata berat basah kultur terhadap tingkat konsentrasi BAP dan NAA dapat dilihat pada Gambar 4.4:
Dari gambar 4.4 dapat dilihat bahwa kombinasi 5 mg/l BAP dengan 0.5 mg/l NAA (B 3 N 1 ) menunjukkan berat basah kultur yang paling tinggi dan berbeda nyata
dengan semua perlakuan kecuali perlakuan 2.5 mg/l BAP tanpa NAA(B 1 N 0 ) dan 2.5 mg/l BAP dan 0.5 mg/l NAA (B 1 N 1 ).
Berat Basah Kultur (g)
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 B0 (0)
B1 (2.5)
B2 (3.75)
B3 (5)
Konsentrasi BAP (mg/l)
Gambar 4.4 Hubungan rata-rata berat basah kultur dengan kombinasi BAP dan NAA. N 0 0 mg/l NAA, N 1 0.5 mg/l NAA,N 2 1.5 mg/l NAA. 1 mg/l NAA, N 3 Melihat kecenderungan pada Gambar 4.4, penurunan berat basah kultur terjadi pada setiap penambahan konsentrasi NAA tetapi berat basah kultur menunjukkan kecenderungan meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi BAP. Hal ini mungkin terjadi karena konsentrasi BAP yang tidak seimbang dengan konsentrasi NAA. Menurut Wattimena (1992) dalam Purnamaningsih (2006), bahwa pertumbuhan eksplan tergantung kepada keseimbangan auksin dengan sitokinin di dalam media dan interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen yang diserap dari media tumbuh. Auksin mendorong perpanjangan sel (Heddy, 1996) dan sitokinin berperan dalam sitokinesis (Wattimena, 1988).
4.5. Persentase Kultur Terkontaminasi (%)
Data pengamatan persentase kultur yang terkontaminasi dapat dilihat pada Lampiran D Halaman 36. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa persentase kultur yang terkontaminasi adalah sebesar 20% yaitu sebanyak 16 botol dari 80 botol kultur. Kontaminasi terjadi pada minggu pertama dan kedua setelah penanaman yang
mungkin disebabkan karena sterilisasi eksplan yang kurang baik dan botol-botol kultur yang kurang steril. Menurut Gunawan (1995) kontaminasi dapat berasal dari beberapa penyebab, yaitu: a. sterilisasi media yang kurang baik b. lingkungan kerja dan pelaksanaan c. eksplan d. serangga atau hewan kecil lain yang berhasil masuk ke dalam botol kultur setelah diletakkan di ruang kultur.
Kultur jaringan memerlukan kecermatan tinggi dan keadaaan serba suci hama, baik tempat kerja, alat-alat dan bahan, serta tangan orang yang mengerjakannya harus steril (Rahardja, 1988). Bila dalam mengerjakan pembuatan media atau penanaman tidak steril maka dapat cepat mendatangkan jamur atau bakteri terhadap media yang akan mengggangu perkembangan eksplan. Laboratorium kultur jaringan harus selalu mengutamakan dan memperhatikan tingkat sterilitas dari ruang-ruangnya, sehingga terbebas dari kontaminasi mikrobia yang tidak dikehendaki (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Media tumbuh juga sangat menguntungkan bagi pertumbuhan cendawan dan bakteri. Bila diberi kesempatan, organisme mikro tersebut akan tumbuh dengan cepat dan menutupi permukaan media dan eksplan yang ditanam. Disamping itu, organisme mikro menyerang eksplan melalui luka-luka akibat pemotongan dan penanganan waktu sterilisasi sehingga menyebabkan kematian eksplan. Nisa dan Rodinah (2005) menyatakan bahwa kontaminasi oleh jamur terlihat jelas pada media. Media dan eksplan ditutupi oleh spora berbentuk kapas berwarna putih, sedangkan kontaminasi oleh bakteri, pada eksplan terlihat lendir berwarna kuning dan sebagian melekat pada media membentuk gumpalan basah.
Apabila tanaman kultur di dalam botol sudah terkena kontaminan (dijangkiti bakteri dan jamur) maka botol itu harus segera dikeluarkan dari ruang inkubasi. Setelah itu, botol dicuci bersih agar bibit tanaman yang sehat dalam botol lainnya tidak terkontaminasi sebab spora jamur yang sudah berkembang smudah sekali terhambur atau diterbangkan oleh hembusan angin (Nugroho dan Sugito, 2000).
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa: a. Semua perlakuan menumbuhkan tunas tetapi
tidak menumbuhkan kalus, akar
atau planlet. b. Kombinasi perlakuan BAP, NAA dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap berat basah kultur, saat inisiasi kultur dan jumlah tunas. c. Konsentrasi 1.5 mg/l NAA tanpa BAP (B 0 N 3 ) adalah saat inisiasi kultur yang paling cepat. d. Perlakuan B 1 N 1 (2.5 mg/l BAP dan 0.5 mg/l NAA) memberikan pertumbuhan jumlah tunas tertinggi dengan waktu inisiasi yang relatif cepat serta berat basah kultur yang cukup tinggi.
5.2 Saran
a Perlu dilakukan lagi subkultur dengan media yang mengandung zat pengatur tumbuh yang dapat menginduksi planlet dan akar. b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui zat pengatur tumbuh yang dapat menginduksi pertumbuhan kalus dan planlet pada eksplan jantung pisang barangan (Musa acuminata L.).