BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1 Agency Theory Teori Agensi merupakan suatu pendekatan yang dapat menjelaskan konsep manajemen laba yang terkait dengan perataan laba yang akan dibahas dalam penelitian ini. Teori Agensi merupakan teori yang menjelaskan hubungan antara pemilik modal (principal) yaitu investor dengan manajer (agent). Investor memberikan wewenang pada manajer untuk mengelola perusahaan. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemilik (principal) dan manajer (agent) sulit tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan (conflic of interest). Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak untuk kepentingan mereka sendiri. Agen diasumsikan akan menerima kepuasan tidak hanya dari kompensasi keuangan tetapi juga dari tambahan yang telihat dalam hubungan suatu agensi, seperti waktu luang yang banyak, kondisi kerja yang menarik dan jam kerja yang fleksibel. Sedangkan prinsipal, diasumsikan hanya tertarik pada pengembalian keuangan yang diperoleh dari investasi mereka di perusahaan tersebut. Dengan demikian teori keagenan (agency theory) berkaitan dengan usaha-usaha untuk memecahkan masalah yang timbul dalam hubungan keagenan. Masalah keagenan muncul jika terdapat perbedaan tujuan (goals) antara
11
agent dan principal serta terdapat kesulitan atau membutuhkan biaya yang mahal bagi principal untuk senantiasa memantau tindakan-tindakan yang diambil oleh agent. Selain itu, masalah keagenan juga akan terjadi jika antara agent dan principal mempunyai sikap atau pandangan yang berbeda terhadap risiko. Belkaouli (2006:13) mengemukakan bahwa terdapat pemisahan antara pemilik sebagai principal dan manajer sebagai agent yang menjalankan perusahaan. Agen dikontrak untuk melakukan tugas tertentu bagi pemilik serta mempunyai tanggung jawab atas tugas yang diberikan pemilik. Pemilik diasumsikan hanya tertarik pada pengembalian keuangan yang diperoleh dari investasi mereka pada perusahaan. Sedangkan agen diasumsikan akan menerima kepuasan tidak hanya dari kompensasi keuangan tetapi juga dari tambahan lain yang terlibat dalam hubungan keagenan. Keberadaan perbedaan kepentingan antara agen dan pemilik inilah yang menyebabkan terjadinya konflik keagenan. Untuk memotivasi agen maka pemilik modal (principal) merancang suatu kontrak agar dapat mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak keagenan yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor yaitu: 1. Manajer (agent) dan pemilik (principal) memiliki informasi yang simetri artinya baik agen maupun prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk kepentingannya sendiri.
12
2. Risiko yang dimiliki manajer (agent) berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti manajer (agent) mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya. Pada kenyataanya simetri informasi tersebut tidak pernah terjadi karena manajer berada di dalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai perusahaan, sedangkan prinsipal jarang atau bahkan tidak pernah datang ke perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini menyebabkan kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan agen dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetris informasi. Pihak agen memiliki keunggulan berupa informasi keuangan daripada pihak pemilik, sedangkan dari pihak pemilik boleh jadi memanfaatkan kepentingan pribadi (self interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan. Ketidakseimbangan penguasaan informasi dapat menjadi pemicu
munculnya
suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Menurut Oktadella dan Zulaikha (2011:4) Adanya asimetri informasi antara manajemen dengan pemilik dapat membuka peluang bagi manajer untuk melakukan tindakan earnings manajement dalam rangka mengelabui pemilik mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Dalam hal ini apabila manajer memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan pemilik saham, maka manajer akan cenderung melakukan kecurangan dengan melakukan praktik manajemen laba untuk meningkatkan keuntungannya sendiri. Bagi pemilik dalam hal ini pemilik
13
modal atau investor akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi. Adanya asimetri informasi ini memungkinkan adanya konflik yang terjadi antara principal dan agent untuk saling mencoba memanfaatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri. Perataan laba timbul ketika terjadi konflik kepentingan antara manajemen dengan pemilik dana dimana setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang menjadi harapannya. Menurut Widaryanti (2009:64) menyatakan dalam hubungan keagenan, manajer memiliki informasi yang asimetri kepada pihak-pihak eksternal perusahaan, seperti kreditor dan investor. Informasi yang asimetri ini terjadi ketika manajer memiliki informasi internal (tentang prospek, resiko dan nilai perusahaan) yang lebih cepat, banyak serta akurat, hal ini disebabkan manajemen mempunyai kemampuan untuk mengakses informasi internal perusahaan secara lebih leluasa dibandingkan dengan pihak eksternal perusahaan Untuk mengatasi asimetri informasi tersebut pihak pemegang saham sebagai principal melakukan pengendalian dengan tiga cara yaitu: monitoring, kebijakan pemberian insentif atau hukuman dan dengan cara menanggung secara bersama-sama atas risiko yang mungkin terjadi. Selanjutnya dijelaskan bahwa didalam suatu organisasi cara yang paling efektif untuk mengubah perilaku anggota organisasi agar sesuai dengan yang diinginkan adalah dengan pemberian reward bukan dengan pemberian hukuman (punishment). Pemberian reward (berupa penghargaan atau insentif) akan berdampak baik dalam arti perilaku yang
14
diinginkan tersebut besar kemungkinan akan terulang lagi. Sebaliknya, bila digunakan hukuman, pengaruh yang bisa timbul adalah munculnya rasa tertekan, tidak tenang dan sebagainya. Hubungan prinsipal dan agen sering ditentukan oleh angka akuntansi dan satu-satunya informasi yang digunakan untuk mengukur kinerja yang selanjutnya diinginkan sebagai dasar dalam pemberian reward adalah informasi akuntansi karena informasi ini dianggap lebih objektif daripada informasi lainnya. Informasi akuntansi juga digunakan oleh para principal untuk menilai kinerja para manajer, yang selanjutnya dijadikan dasar dalam pemberian reward (biasanya dalam bentuk bonus). Konsekuensi logis dari penggunaan informasi akuntansi sebagai satu satunya dasar dalam pemberian reward tersebut adalah munculnya perilaku tidak semestinya dikalangan manajer. Manajer yang seharusnya memilih tindakan-tindakan yang dapat memaksimalkan kekayaan pemegang saham dalam menjalankan kegiatan perusahaan. Pada kenyataannya yang terjadi adalah manajer cenderung memilih dan melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan kepentingannya. Salah satunya adalah dengan melakukan praktik perataan laba (income smoothing) dengan memanipulasi informasi akuntansi yang sebenarnya.
2.1.2 Manajemen Laba Perataan laba (income smoothing) terkait erat dengan konsep manajemen laba (earnings management). Penjelasan konsep manajemen laba menggunakan pendekatan teori keagenan (agency theory) yang menjelaskan bahwa praktik
15
manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Dalam hubungan keagenan, manajemen memiliki asimetri informasi terhadap pihak-pihak eksternal perusahaan, seperti investor dan kreditor. Asimetri informasi terjadi ketika pemilik sebagai principal tidak dapat memonitor langsung aktivitas manajemen sehari-hari untuk memastikan manajemen bekerja sesuai dengan keinginan pemilik atau dengan kata lain principal tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kinerja agent. Sedangkan manajemen sebagai agen memiliki kelebihan informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan. Adanya asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan manajemen memanfaatkan
adanya
asimetri
informasi
yang
dimilikinya
untuk
menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui pemilik dan untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada pemilik terutama bila informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajemen. Fengju et al (2013:156) mengemukakan “Company managers as representatives of shareholders must constantly attempt to set firm’s capital structure so that the cost of company capital is being minimized and consequently value and profitability be maximized. Decisions about capital structure mean how finance corporate which is effective such as other financial management decisions on profitability and value of the firm. And on the one hand, this effectiveness is
16
through the capital cost. Indeed capital cost determines the expected efficiency rate of investment within the company thereby affect on the firm’s asset value. On the one hand, change in the capital structure combination of influence on company financial leverage increase or decrease rate of financial risk of the company”. Menurut Sulistiawan et al. (2011:31) perilaku manajemen laba sebagai salah satu bentuk creative accounting yang timbul karena ada alasan tertentu, alasan tersebut disebut sebagai motivasi untuk melakukan manajemen laba, antara lain: 1. Motivasi Bonus Di dalam perjanjian bisnis para pemegang saham akan memberikan feedback kepada manager berupa insentif dan bonus jika telah menjalankan perusahaan dengan baik. Biasanya pemegang saham sudah menetapkan sejumlah bonus yang akan diberikan dengan tingkat pencapaian yang sudah ditetapkan. Indikator pengukuran tingkat pencapaian manajer adalah menjalankan operasional perusahaan adalah laba usaha. Dengan demikian bonus memotivasi para manager untuk memberikan kinerja terbaiknya yang memungkinkan dilakukannya praktik manajemen laba. 2. Motivasi Utang Manager melakukan perjanjian bisnis tidak hanya dengan pemegang saham tetapi juga dilakukan dengan pihak ketiga yaitu kreditor, tujuannya adalah untuk kepentingan ekspansi perusahaan. Dasar kreditor meminjamkan dananya
17
adalah kinerja perusahaan, jika kinerja perusahaan baik sudah barang tentu kreditor bersedia memberikan pinjaman. Untuk memperoleh pinjaman dalam jumlah yang besar maka manajer berusaha menggunakan kreatifitasnya untuk menampilkan kinerja perusahaan dalam bentuk yang baik dan mampu menarik perhatian kreditor meminjamkan dananya dalam jumlah yang besar. 3. Motivasi pajak Tindakan manajemen laba tidak hanya pada perusahaan go public dan selalu untuk kepentingan harga saham, tetapi juga untuk kepentingan perpajakan. Jika laba sebelum pajak kecil, maka pajak perusahaan juga kecil karena besarnya pajak proporsional dengan besarnya laba. 4. Motivasi penjualan saham Untuk mendapatkan tambahan dana untuk ekspansi maupun menjalankan kegiatan operasional, salah satu cara yang ditempuh oleh perusahaan adalah dengan melakukan penawaran saham perdana ke publik atau dikenal dengan IPO (Initial Public Offerings). Demikian juga bagi perusahaan yang sudah go public akan terus melakukan penawaran sahamnya melalui penjualan saham kepada pemilik lama (right issue), maupun melakukan akuisisi perusahaan lain. Hal yang membuat para calon investor untuk menanamkan modalnya adalah kinerja emiten yang baik, salah satu ukuran kinerja yang dilihat oleh calon investor adalah penyajian laba pada laporan keuangan perusahaan. Dengan demikian maka diindikasikan manajemen laba dilakukan untuk menarik perhatian para calon investor.
18
5. Motivasi pergantian direksi Praktik manajemen laba dapat terjadi pada sekitar periode pergantian direksi atau CEO karena pada akhir masa jabatannya manajer yang memperlihatkan kinerjanya yang baik akan memperoleh bonus. Maka kinerja perusahaan dimungkinkan dipercantik dengan manajemen laba menjelang berakhirnya masa jabatan direksi. 6. Motivasi politis Motivasi ini terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya banyak melibatkan masyarakat luas seperti perusahaan-perusahaan industri strategis (perminyakan, gas, listrik dan air). Motivasinya adalah agar mendapatkan subsidi, maka perusahaan-perusahaan tersebut cenderung menjaga posisi keuangannya dalam keadaan tertentu. Menurut Budiasih (2009:1) mengemukakan bahwa manajemen laba merupakan intervensi manajemen dalam proses menyusun pelaporan keuangan eksternal. Dengan demikian, manajemen dapat menaikkan atau menurunkan laba akuntansi sesuai dengan kepentinganya. Menurut Scott (2009) dalam
Arif (2012:11) mengemukakan bahwa
manajemen laba dilakukan dengan pola sebagai berikut: 1. Taking a bath Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba perusahaan pada periode berjalan menjadi sangat ekstrim rendah (bahkan rugi) atau sangat
19
ekstrim tinggi dibandingkan dengan laba pada periode sebelumnya atau sesudahnya. 2. Minimalisasi laba (income minimization) Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya. 3. Maksimisasi laba (income maximization) Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih tinggi dari pada laba sesungguhnya. 4. Perataan laba (income smoothing) Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan periode-periode tertentu menunjukkan fluktuasi yang normal dalam rangka mencapai kecenderungan atau tingkat laba yang diinginkan. Tindakan pola manajemen laba tersebut menunjukkan tingkat cepat manajer dalam mengatasi masalah yang dihadapi atau mencegah masalah baru yang akan muncul di masa yang akan datang sehingga perusahaan terlihat tetap stabil. Menurut Subramanyam dan Wild (2013:133) dalam buku Analisis Informasi Keuangan menjelaskan dua metode utama manajemen laba antara lain: 1. Pemindahan Laba Pemindahan laba merupakan manajemen laba dengan memindahkan laba dari satu periode dengan periode lainnya. Pemindahan laba dapat dilakukan dengan mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan atau beban. Bentuk
20
manajemen laba ini biasanya menyebabkan dampak pembalik pada satu atau beberapa periode masa depan, seringkali satu periode be-rikutnya. Untuk alasan ini pemindahan laba sangat berguna untuk perataan laba. 2. Manajemen laba melalui klasifikasi Laba juga dapat ditentukan secara khusus mengklasifikasi beban dan pendapatan pada bagian tertentu laporan laba rugi. Bentuk umum dari manajemen laba melalui klasifikasi adalah memindahkan beban dibawah garis, atau melaporkan beban pada pos luar biasa dan tidak berulang sehingga tidak dianggap penting oleh analis. Kasus ekstri dari bentuk manajemen laba ini adalah dengan membuat penyesuaian ekuitas langsung tanpa meletakkannya pada laporan laba rugi.
2.1.3 Perataan Laba Praktik perataan laba adalah salah satu tindakan yang dilakukan manajemen untuk meningkatkan market returns. Tindakan tersebut sengaja dilakukan manajemen untuk mencapai posisi laba yang diinginkan dalam laporan rugi laba perusahaan guna menarik minat pasar dalam berinvestasi, karena perhatian investor sering kali hanya terpusat pada prosedur yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan informasi laba tersebut. Disamping itu, laba yang dilaporkan dalam posisi yang stabil akan memberikan rasa lebih percaya diri bagi pemilik perusahaan yang disertai dengan tujuan untuk meningkatkan kepuasan pemegang saham melalui tingkat pertumbuhan dan stabilitas laba yang
21
dilaporkan, namun masih dalam batas aturan akuntansi yang berlaku. Hal tersebut sama dengan yang dikemukakan Hejazi et al (2012) dalam Parijan (2013:1) “Investors are more interested in buying the shares of firms whose incomes are more stable. Moreover, investors believe that firms reporting high levels of fluctuation take more risks in canalogy to those reporting smooth earnings. Considering this issue, managers are inclined to level the earnings of their firms in order to visualize them alongside high levels of stability in earnings, leading to promotion within a flexible framework of the Generally Accepted Accounting Principles. Smoothing, they believe, results in a company's better performance”. Menurut Kustono (2009:43) mengemukakan bahwa praktik perataan laba merupakan rekayasa manajemen untuk menekan variabilitas laba pada sejumlah periode tertentu dengan tujuan untuk memperoleh tingkat laba sesuai dengan yang diharapkan. Pengurangan variabilitas itu dilakukan karena adanya perbedaan antara laba yang seharusnya dilaporkan dengan laba yang diharapkan. Dengan kata lain, perataan laba adalah rekayasa laba yang dilakukan manajemen sehingga laba laporan memiliki fluktuasi yang relatif rendah. Menurut Butar dan Sudarsi (2012:144) Perataan laba merupakan campur tangan manajemen dalam pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri (manajer). Ada dua tipe aliran perataan laba yaitu perataan laba alamiah (naturally income smoothing) dan perataan laba yang disengaja oleh pihak manajemen (intentionally income smoothing). Adanya perataan laba secara alami merupakan sebuah proses yang dilakukan secara
22
langsung oleh manajemen tanpa adanya rekayasa. Sedangkan peratan laba yang disengaja terjadi karena adanya campur tangan dari pihak manajemen. Menurut Eckel (1981) dalam Dewi (2011:24) perataan laba digolongkan ke dalam 2 tipe, yaitu: 1. Naturally smooth (perataan secara alamai) Perataan ini mempunyai implikasi bahwa sifat proses perataan laba itu sendiri menghasilkan suatu aliran laba yang rata. Hal ini dapat kita dapati pada perolehan penghasilan dari keperluan/pelayanan umum, dimana aliran laba yang ada akan rata dengan sendirinya tanpa ada campur tangan dari pihak lain. 2. Intentionally Being Smoothed by Management (perataan yang disengaja) Dikenal juga dengan designed smoothing, perataan ini berbeda dengan naturally smoothing yang terjadi secara alami. Pada designed smoothing, perataan yang terjadi diakibatkan adanya intervensi atau campur tangan dari pihak lain, dalam hal ini adalah manajemen. Menurut Foster (1986) dalam Widaryanti (2009:63) mengklasifikasikan unsur-unsur laporan keuangan yang seringkali dijadikan sasaran untuk melakukan perataan laba adalah: 1. Unsur Penjualan a. Pembuatan faktur penjualan, sebagai contoh penjualan yang sebenarnya untuk periode yang akan datang pembuatan fakturnya dilakukan pada periode saat ini dan dilaporkan sebagai penjualan periode saat ini. b. Pembuatan pesanan atau penjualan fiktif.
23
c. Penurunan
produk
(downgrading),
sebagai
contoh
dengan
cara
mengklasifikasikan produk yang belum rusak ke dalam kelompok produk rusak dan selanjutnya dilaporkan telah terjual dengan harga yang lebih rendah dari harga yang sebenarnya. 2. Unsur Biaya a. Memecah-mecah (splitding) faktur, misalnya faktur untuk sebuah pembelian atau pesanan dipecah menjadi beberapa pembelian atau pesanan dan selanjutnya dibuatkan beberapa faktur dengan tanggal yang berbeda kemudian dilaporkan dalam beberapa periode akuntansi. b. Mencatat biaya dibayar dimuka (prepayment) sebagai biaya, misalnya melaporkan biaya advertensi dibayar dimuka untuk tahun depan sebagai biaya advertensi tahun ini. Menurut Sugiharto (2003) dalam Ratnasari (2012:21) berbagai teknik dilakukan dalam perataan laba, diantaranya adalah: 1. Perataan melalui terjadinya transaksi atau pengakuan transaksi. Pihak manajemen dapat menetukan atau mengendalikan waktu transaksi melalui kebijakan manajemen sendiri (accruals) misalnya: pengeluaran biaya riset dan pengembangan. Selain itu banyak juga yang menggunakan kebijakan diskon dan kredit, sehingga hal ini dapat menyebabkan meningkatnya jumlah piutang dan penjualan pada bulan terakhir tiap kuarter dan laba kelihatan stabil pada periode tertentu.
24
2. Perataan melalui alokasi untuk beberapa periode tertentu. Manajer mempunyai wewenang untuk mengalokasikan pendapatan atau beban untuk periode tertentu. Misalnya: jika penjualan meningkat, maka manajemen dapat membebankan biaya riset dan pengembangan serta amortisasi goodwill pada periode itu untuk menstabilkan laba. 3. Perataan melalui klasifikasi. Manajemen memiliki kewenangan untuk mengklasifikasikan pos-pos rugi laba dalam kategori yang berbeda. Misalnya: jika pendapatan non-operasi sulit didefinisikan, maka manajer dapat mengklasifikasikan pos itu pada pnedapatan operasi atau pendapatan nonoperasi. Keleluasaan untuk memakai teknik-teknik akuntansi dalam mencatat terbukti telah disalahgunakan oleh manajemen untuk melakukan perataan laba. Bahkan disinyalir bahwa perataan laba banyak dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik akuntansi yaitu dengan merubah kebijakan akuntansi.
2.1.4 Faktor – faktor yang mempengaruhi Perataan Laba 1. Ukuran Perusahaan Menurut Abiprayu (2011:26) mengemukakan bahwa ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap manajemen laba perusahaan. Perusahaan besar cenderung bertindak hati-hati dalam melakukan pengelolaan perusahaan dan cenderung melakukan pengelolaan laba secara efisien. Perusahaan yang besar lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga
25
mereka akan lebih berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan, sehingga berdampak perusahaan tersebut melaporkan kondisinya lebih akurat. Ukuran perusahaan dalam penelitian Suryandari (2012:203) dinyatakan memiliki pengaruh negatif terhadap income smoothing, perusahaan yang ukurannya lebih besar kemungkinan memiliki sistem pengendalian intern yang lebih ketat daripada perusahaan yang ukurannya lebih kecil, disamping itu tata kelola perusahaan yaitu bekerjanya dewan audit yang lebih efektif dalam hal monitoring. Sedangkan pada penelitian Widhianningrum (2012:32) dinyatakan semakin besar perusahaan dan semakin luas struktur kepemilikan maka perusahaan mempunyai kebebasan yang lebih besar untuk melaporkan laba yang lebih baik. Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya perusahaaan menurut berbagai cara antara lain dengan total aktiva, penjualan bersih, dan kapitalisasi
pasar perusahaan (market
capitalization). Semakin besar total aktiva atau penjualan bersih perusahaan maka akan semakin besar ukuran perusahaan begitu juga sebaliknya, semakin rendah total aktiva atau penjualan bersih perusahaan maka semakin kecil pula ukuran perusahaan. Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam tiga kategori yaitu: perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium firm), dan perusahaan kecil (small firm). Salah satu tolak ukur yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan adalah ukuran aktiva dari perusahaan tersebut. Menurut
26
Diantimala (2008:106) mengemukakan bahwa perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama.
2. Profitabilitas Profitabilitas
sebagai
tolak
ukur
dalam
menentukan
alternatif
pembiayaan, namun cara untuk menilai profitabilitas suatu perusahaan adalah bermacam-macam dan sangat tergantung pada laba dan aktiva atau modal yang akan dibandingkan dari laba yang berasal dari operasi perusahaan atau laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Dengan adanya berbagai cara dalam penelitian profitabilitas suatu perusahaan tidak mengherankan bila ada beberapa perusahaan yang mempunyai perbedaan dalam menentukan suatu alternatif untuk menghitung profitabilitas. Menurut Kartikasari (2011:40) mengemukakan bahwa
profitabilitas
adalah rasio yang menunjukkan hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan. Rasio ini juga menunjukkan kemampuan modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan netto. Informasi ini berguna dalam perumusan pertimbangan tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan sumberdaya. Diasumsikan bahwa investor tidak menyukai resiko sehingga menginginkan tingkat laba yang stabil. Tapi profitabilitas yang tinggi juga dapat meningkatkan biaya politis yang harus ditanggung oleh
27
perusahaan, khususnya pajak. Oleh karena itu bila rasio ini tinggi, perusahaan cenderung menurunkan tingkat laba untuk menghindari munculnya biaya politis dan total akrual menjadi makin rendah. Sedangkan Kustono dan Sari (2012:107) menyatakan tingkat profitabilitas yang stabil memiliki keuntungan bagi manajemen untuk mengamankan posisi atau jabatan dalam perusahaan. Tingkat profitabilitas yang stabil juga memberikan keyakinan pada investor atas investasi yang dilakukan karena perusahaan dinilai baik dalam menghasilkan laba.
3. Leverage Menurut Bestivano (2013:9) mengemukakan bahwa rasio leverage menunjukkan besarnya modal yang berasal dari pinjaman (modal asing) yang dipergunakan untuk membiayai investasi dan operasional perusahaan. Sumber yang berasal dari modal asing akan meningkatkan resiko perusahaan. Oleh karena itu, makin banyak menggunakan modal asing maka besar pula rasio leverage dan berarti semakin besar pula resiko yang dihadapi perusahaan. Menurut Pratiwi (2013:10) tingkat financial leverage yang tinggi mengindikasikan bahwa risiko keuangan perusahaan tinggi pula, sehingga investor akan meminta tingkat keuntungan yang tinggi pula. Pada saat kondisi perusahaan rugi atau pada saat laba yang tidak terlalu tinggi, investor akan dihadapkan pada risiko penurunan tingkat kesejahteraan mereka. Hal ini disebabkan karena perusahaan harus melunasi kewajiban pada kreditor terlebih
28
dahulu, baru kemudian membagikan dividen kepada investor. Ini berarti ada kemungkinan investor tidak mendapatkan bagian apapun, karena aset yang dimiliki telah habis untuk melunasi kewajiban perusahaan. Akibatnya, manajemen akan cenderung melakukan perataan laba untuk menunjukkan bahwa perusahaan tidak mengalami masalah keuangan apapun, termasuk fluktuasi laba.
4. Kepemilikan Institusional Dalam hubungannya dengan fungsi monitor, investor institusional diyakini memiliki kemampuan untuk memonitor tindakan manajemen lebih baik dibandingkan investor individual. Kepemilikan institusional mewakili suatu sumber kekuasaan (source of power) yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap keberadaan manajemen. Menurut
Irawan
(2013:21)
mengemukakan
bahwa
konsentrasi
kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Kepemilikan
29
institusi
dalam
Butar
dan
berpengaruhnya variabel
Sudarsi
(2012:150)
kepemilikan institusi
menyatakan
tidak
dikarenakan kurangnya
mekanisme monitoring yang efektif oleh pihak institusional atas kontrol perusahaan.
5. Pertumbuhan Perusahaan Menurut Helfert (1997) dalam Harun (2010:11) mengemukakan bahwa pertumbuhan adalah dampak atas arus dana perusahaan dari perubahan operasional yang disebabkan oleh pertumbuhan atau penurunan volume usaha. Pertumbuhan perusahaan dapat diukur dari pertumbuhan aktiva, yaitu dengan membandingkan antara total aktiva tahun berjalan dikurangi total aktiva tahun sebelumnya dibagi dengan total aktiva tahun sebelumnya. Dari sudut pandang investor, pertumbuhan suatu perusahaan merupakan suatu tanda perusahaan memiliki
aspek
mengharapkan
yang tingkat
menguntungkan, pengembalian
sehingga
dari
investor
investasi
yang
pun
akan
dilakukan
menunjukkan perkembangan yang baik. Untuk dapat menarik minat investor, maka pihak manajer berusaha untuk menunjukkan bahwa perusahaannya telah bertumbuh dengan baik. Namun, pertumbuhan yang terlalu tinggi akan dihadapkan pada risiko adanya fluktuasi laba di masa depan. Selain itu, perusahaan yang sedang tumbuh pada umumnya menggunakan utang sebagai sumber dana eksternal untuk aktivitas operasinya. Jika perusahaan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dananya, mereka akan dihadapkan pada
30
risiko terganggunya aktivitas operasi perusahaa. Oleh karena itu, perusahaan dengan tingkat pertumbuhan perusahaan yang tinggi akan cenderung melakukan perataan laba. Pertumbuhan perusahaan dalam Kustono (2009:204) dinyatakan menjadi dua argumen yaitu. Pertama, perusahaan yang tumbuh akan mendapatkan perhatian dari masyarakat sehingga untuk meminimalkan resiko eksternal perusahaan melakukan perataan laba sehingga tidak begitu mencolok. Kedua, perusahaan yang pertumbuhannya tinggi akan menggunakan kontrak kompensasi dan utangnya berdasarkan akuntansi dan untuk mengurangi resiko fluktuasi laba yang tak terkendalikan di masa depan maka perusahaan melakukan praktik perataan laba.
6. Nilai Perusahaan Menurut Purwanto (2009:177) mengemukakan bahwa tindakan perataan laba mempunyai hubungan timbal balik terhadap nilai perusahaan, karena perataan laba menghasilkan berkurangnya fluktuasi laba, sehingga dapat mencerminkan stabilitas kinerja perusahaan atau nilai perusahaan, demikian juga sebaliknya bahwa kinerja perusahaan atau nilai perusahaan merupakan faktor yang mempengaruhi tindakan perataan laba perusahaan. Aji dan Mita (2010:16) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai perusahaan maka perusahaan akan cenderung untuk melakukan praktik perataan laba, karena dengan melakukan perataan laba, variabilitas laba dan
31
risiko saham dari perusahaan akan semakin menurun. Penciptaan nilai perusahaan dilakukan melalui penciptaan laba sebagai hasil dari pengelolaan sumber daya perusahaan. Sebagai pemilik perusahaan wajar menghendaki kemakmuran yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan ini tidak lepas dari pertumbuhan kinerja keuangan manajemen, disamping itu pertumbuhan merupakan refleksi dari prospek perusahaan di masa yang akan datang.
2.1.5 Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian
terdahulu
yang
digunakan
sebagai
bahan
perbandingan dan referensi dalam penelitian ini adalah: 1. Alwan Sri Kustono dan Evelin Dwi Kusuma Sari tahun 2012 dalam penelitian “Pengaruh profitabilitas dan financial leverage terhadap praktik perataan penghasilan pada bank-bank Indonesia (2006-2009)” mengungkapkan bahwa profitabilitas berpengaruh negatif terhadap perataan penghasilan pada bankbank di Indonesia, financial leverage tidak berpengaruh terhadap perataan penghasilan pada bank-bank di Indonesia, ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap perataan penghasilan pada bank-bank di Indonesia. 2. Dina Rahmawati dan Dul Muid tahun 2012 dalam penelitian “Analisis faktorfaktor yang berpengaruh terhadap praktik perataan laba (2007-2010) “ mengungkapkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap praktik perataan laba, net profit margin tidak berpengaruh signifikan terhadap
32
praktik perataan laba, debt to equity ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap praktik perataan laba yang dilakukan oleh perusahaan. 3. Dhamar Yudho Aji dan Aria Farah Mita tahun 2010 dalam penelitian “Pengaruh profitabilitas, risiko keuangan, nilai perusahaan, dan struktur kepemilikan terhadap praktik perataan laba : studi empiris perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI (2002-2008)” mengungkapkan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh positif terhadap praktik perataan laba, kepemilikan publik serta keberadaan kepemilikan manejemen juga terbukti tidak berpengaruh positif terhadap perataan laba yang dilakukan perusahaan, risiko perusahaan dan nilai perusahaan terbukti berpengaruh posiitif terhadap praktik perataan laba. 4. Kartika Shintia Dewi dan Prasetiono tahun 2012 dalam penelitian “Analisis pengaruh ROA, NPM, DER, dan Size terhadap praktik perataan laba (20072010)” mengungkapkan bahwa Net Profit Margin (NPM) terbukti berpengaruh positif signifikan terhadap praktik income smoothing, size terbukti berpengaruh positif signifikan terhadap praktik income smoothing, Return On Assets (ROA) terbukti tidak berpengaruh terhadap praktik income smoothing, Debt to Equity Ratio (DER) terbukti tidak berpengaruh terhadap praktik income smoothing. 5. Linda Kurniasih Butar Butar dan Sri Sudarsi tahun 2012 dalam penelitian “Pengaruh ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage, dan kepemilikan institusional terhadap perataan laba : studi empiris pada perusahaan food and beverage yang terdaftar di BEI (2005-2008)” mengungkapkan bahwa ukuran
33
perusahaan berpengaruh signifikan terhadap perataan laba, profitabilitas tidak berpengaruh terhadap perataan laba, leverage tidak berpengaruh terhadap perataan laba, kepemilikan institusional tidak berpengaruh pula terhadap praktik perataan laba. 6. Ni Nyoman Ayu Suryandari, SE tahun 2012 dalam penelitian “Analisis faktorfaktor yang mempengaruhi income smoothing (2000-2005)” mengungkapkan bahwa rasio total debt to total asset tidak berpengaruh terhadap income smoothing, return on asset tidak berpengaruh terhadap income smoothing, Net Profit Margin (NPM) tidak berpengaruh terhadap income smoothing, debt to equity ratio tidak berpengaruh terhadap income smoothing, ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap income smoothing. 7. Purweni Widhianningrum tahun 2012 dalam penelitian “Perataan laba dan variabel-variabel
yang
mempengaruhinya
(studi
empiris
perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEJ) tahun (1999-2003)” mengungkapan bahwa penyebaran kepemilikan memiliki pengaruh signifikan terhadap perataan laba, ukuran perusahaan memiliki pengaruh signifikan terhadap perataan laba, kepemilikan
manajerial
tidak
mempengaruhi
praktik
perataan
laba,
kepemilikan institusi tidak mempengaruhi praktik perataan laba, debt financing tidak mempengaruhi praktik perataan laba, profitabilitas tidak mempengaruhi praktik perataan laba. 8. Rita J.D Atarwaman tahun 2011 dalam penelitian “Analisis pengaruh ukuran perusahaan, profitabilitas, dan kepemilikan manajerial terhadap praktik
34
perataan laba yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur pada Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun (2002-2006)” mengungkapkan bahwa proftabilitas memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik perataan laba, ukuran perusahaan memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik perataan laba, kepemilikan manajerial memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik perataan laba. 9. Sindi Retno Noviana dan Etna Nur Afri Yuyetta tahun 2011 dalam penelitian “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba (studi empiris perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2006-2010)” mengungkapkan bahwa profitabilitas (ROA) tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap perataan laba, risiko keuangan (LEV) tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap perataan laba, nilai perusahaan (PBV) tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap perataan laba, kepemilikan saham manajerial (MOWN) tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap perataan laba, kepemilikan saham publik (POWN) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perusahaan untuk melakukan perataan laba, Dividend Payout Ratio (DPR) memiliki pengaruh positif signifikan terhadap pribabilitas perusahaan untuk melakukan perataan laba. 10.Nurfarizan Mazhani Mahmud tahun 2012 dalam penelitian “Income Smoothing and Industrial Sector” mengungkapkan bahwa industry type, size, ownership and profit memiliki hubungan terhadap praktik perataan laba. Sedangkan growth tidak memiliki hubungan terhadap praktik perataan laba
35
yang terjadi pada perusahaan-perusahaan di Malaysia selama periode 20022006. 11.Khadijeh Khodabakhshi Parijan tahun 2013 dalam penelitian
“Income
smoothing practices; an emipirical investigation of listed firms in Tehran stock exchange (TSE)” mengungkapkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap
praktik
perataan
laba
sedangkan
profitabilitas,
net
profit
margin,leverage, debt to equity ratio tidak berpengaruh pada praktik perataan laba pada perusahaan publik perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Tehran periode 2008-2012.
2.2
Rerangka Pemikiran Setiap perusahaan memiliki tujuan dalam menjalankan. Di dalam mencapai tujuan perusahan terdapat perbedaan kepentingan yang berasal dari manajer yang disebut dengan agent dan pemilik perusahaan yang disebut dengan principal. Perbedaan kepentingan antara agen dan principal disebut dengan teory agency. Terjadinya perbedaan kepentingan tersebut disebabkan adanya asimetri informasi yang banyak terjadi pada perusahaan-perusahaan. Untuk meminimalkan adanya asimetri informasi, para pemilik perusahaan melakukan monitoring, kebijakan pemberian insentif atau hukuman dan dengan cara menanggung secara bersama-sama atas risiko yang mungkin terjadi. Hubungan prinsipal dan agen sering ditentukan oleh angka akuntansi dan satu-satunya informasi yang digunakan untuk mengukur kinerja yang selanjutnya
36
diinginkan sebagai dasar dalam pemberian reward adalah informasi akuntansi karena informasi ini dianggap lebih objektif daripada informasi lainnya. Informasi akuntansi juga digunakan oleh para principal untuk menilai kinerja para manajer, yang selanjutnya dijadikan dasar dalam pemberian reward (biasanya dalam bentuk bonus). Konsekuensi logis dari penggunaan informasi akuntansi sebagai satusatunya dasar dalam pemberian reward tersebut adalah munculnya perilaku tidak semestinya dikalangan manajer. Manajer yang seharusnya memilih tindakan-tindakan yang dapat memaksimalkan kekayaan pemegang saham dalam menjalankan kegiatan perusahaan. Pada kenyataannya yang terjadi adalah manajer cenderung memilih dan melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan kepentingannya. Salah satunya adalah dengan melakukan praktik perataan laba (income smoothing) dengan memanipulasi informasi akuntansi yang sebenarnya. Dalam
pelaksanaan
praktik
perataan
laba
banyak
faktor
yang
mempengaruhi, beberapa faktor tersebut yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage, kepemilikan institusional, pertumbuhan perusahaan dan nilai perusahaan dengan variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah perataan laba (income smoothing), Rerangka pemikiran disusun untuk menggambarkan hubungan pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen. Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya, berikut disajikan kerangka pemikiran yang dapat digambarkan seperti di bawah ini:
37
Perusahaan
Tujuan Perusahaan Teory Agency
Asymmetry Theory Principal
Agent
Agency Conflic
Manajemen Laba
Income Smoothing
Taking a bath
Ukuran Perusahaan
Income Minimization
Pertumbuhan Perusahaan
Profitabilitas
Leverage Perusahaan
Kepemilikan Institusional
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
38
Income Maximizationn
Nilai Perusahaan
2.3
Perumusan Hipotesis
2.3.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan (firm size) terhadap Perataan Laba Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi praktik perataan laba. Salah satu alat untuk mengukur besarnya perusahaan adalah dengan total aktiva. Ukuran perusahaan secara umum merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam melakukan operasi dan berinvestasi guna mencari keuntungan bagi perusahaan. Menurut motivasi politik, perusahaan yang ukurannya lebih besar dan dalam industri yang strategis cenderung meratakan labanya karena aktivitasnya melibatkan hidup orang banyak. Pada umumnya perusahaan yang besar akan mendapat lebih banyak perhatian dari berbagai pihak. Untuk itu diperkirakan perusahaan akan menghindari fluktuasi laba yang terlalu drastis sebab kenaikan laba yang terlalu drastis akan menyebabkan bertambahnya pajak. Sebaliknya penurunan laba yang terlalu drastis akan memberikan image yang kurang baik. Oleh karena itu perusahaan besar diperkirakan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan perataan laba. Semakin besar laba yang diperoleh mengindikasikan bahwa ukuran suatu perusahaan itu besar. Menurut Butar dan Sudarsi (2012) mengemukakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap perataan laba. Sama halnya dengan Atarwaman (2011) serta Dewi dan Prasetiono (2012) mengemukakan pula bahwa ukuran perusahaa berpengaruh positif signifikan terhadap praktik perataan laba. Adapun penelitian terdahulu yang menunjukkan hasil berlawanan yaitu Widaryanti (2009), Kustono dan Sari (2012) yang menyatakan bahwa ukuran
39
perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tindakan perataan laba. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis pertama yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut: H1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap perataan laba
2.3.2 Pengaruh Profitabilitas terhadap Perataan Laba Profitabilitas merupakan salah satu alat untuk mengukur kinerja suatu perusahaan. Profitabilitas juga sering digunakan oleh investor maupun kreditor untuk menilai tingkat kesehatan perusahaan. Tingkat profitabilitas yang stabil (smooth) akan memberikan keyakinan pada investor bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja yang baik dalam menghasilkan laba, karena investor lebih menyukai tingkat profitabilitas yang stabil disetiap tahunnya. Dengan kata lain profitabilitas yang rendah atau menurun memiliki kecenderungan bagi perusahaan tersebut untuk melakukan tindakan perataan laba, terlebih lagi jika perusahaan menetapkan skema kompensasi bonus didasarkan pada besarnya profit yang dihasilkan. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Atawarman (2011) yang menyatakan bahwa profitabilitas mempunyai pengaruh positif terhadap perataan laba, sama halnya dengan Cahyani (2012) menyatakan profitabilitas mempunyai pengaruh positif terhadap perataan laba. Adapun penelitian terdahulu yang menunjukkan hasil berlawanan yaitu Widhianningrum (2012), Widaryanti (2009) dan Dewi (2011) yang membuktikan bahwa
40
profitabilitas tidak berpengaruh terhadap praktik perataan laba. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis pertama yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut: H2: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap perataan laba
2.3.3 Pengaruh Leverage terhadap Perataan Laba Leverage adalah perbandingan antara hutang dan aktiva yang menunjukan beberapa bagian aktiva yang digunakan untuk menjamin hutang. Ukuran ini berhubungan dengan keberadaan dan ketat tidaknya suatu persetujuan hutang. Perusahaan yang mempunyai rasio leverage tinggi akibat besarnya jumlah hutang dibandingkan dengan aktiva yang dimiliki perusahaan. Perusahaan yang berada dalam posisi terancam melakukan pelanggaran perjanjian utang cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba, hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. Perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi akibat jumlah utang lebih besar dibandingkan aktiva, diduga melakukan perataan laba karena perusahaan terancam default, sehingga mereka membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan melalui perataan laba tersebut. Aji dan Mita (2010) mengemukakan bahwa risiko keuangan atau yang lebih dikenal dengan leverage berpengaruh positif terhadap praktik perataan laba yang dilakukan perusahaan di tahun berjalan. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian Butar dan Sudarsi (2012) mengemukakan bahwa
leverage tidak
berpengaruh terhadap perataan laba sama halnya dengan widaryanti (2009) yang
41
mengemukakan bahwa leverage tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap tindakan perataan laba. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis pertama yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut: H3: Leverage berpengaruh positif terhadap perataan laba
2.3.4 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Perataan Laba Kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemilik institusi (bank, perusahaan asuransi, perusahaan investasi, dana pensiun, dan sebagainya) memiliki fungsi monitor, investor institusional diyakini memiliki kemampuan untuk memonitor tindakan manajemen lebih baik dibandingkan investor individual. Kepemilikan saham oleh pihak institusional dapat mengimbangi informasi yang dimiliki oleh manajemen sehingga asimetris informasi yang terjadi antara manajemen dan pemilik menjadi rendah. Sehingga hal tersebut menyebabkan manejemen tidak leluasa untuk melakukan pengelolaan atas laba perusahaan. Menurut Santoso dan Salim (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan positif antara variabel kepemilikan institusional dengan praktik perataan laba. Hasil berbeda diungkapkan oleh Widhianningrum (2012) mengemukakan bahwa kepemilikan institusional tidak mempengaruhi praktik perataan laba, sejalan dengan hasil Butar dan Sudarsi (2012) serta Prabayanti dan Yasa (2011). H4: Kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap perataan laba
42
2.3.5 Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadap Perataan Laba Pertumbuhan perusahaan dapat terjadi jika produktivitas dan tingkat keuntungan untuk pemegang saham meningkat. Kedua hal ini akan saling berhubungan. Meningkatnya produktivitas perusahaan akan meningkatkan laba perusahaan sehingga keuntungan untuk pemegang saham juga akan meningkat. Keuntungan pemegang saham ini salah satunya dapat berupa dividen yang dibagikan. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan kinerja perusahaan. Peningkatan ini akan direspon baik oleh investor, sehingga dapat menarik minat investor untuk menginvestasikan dananya di perusahaan tersebut. Dalam Kustono (2009) mengemukakan bahwa pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap tindakan perataan laba. Hal ini mengindikasi bahwa pada pengelola perusahaan (manajemen) merasa perlu untuk melakukan manipulasi antara pertumbuhan perusahaan dengan laba. Adapun penelitian terdahulu yang menunjukkan hasil berlawanan yaitu Mahmud (2012) yang menyatakan bahwa pertumbuhan perusahaan (Growth) tidak berpengaruh terhadap praktik perataan laba. H5: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap perataan laba
2.3.6 Pengaruh Nilai Perusahaan terhadap Perataan Laba Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan. Rendahnya kualitas laba akan dapat membuat kesalahan pembuatan keputusan para pemakainya seperti investor dan kreditor, sehingga nilai perusahaan akan
43
berkurang. Laba sebagai bagian dari laporan keuangan yang tidak menyajikan fakta yang sebenarnya tentang kondisi ekonomis perusahaan dapat diragukan kualitasnya. Laba yang tidak menunjukkan informasi yang sebenarnya tentang kinerja manajemen dapat menyesatkan pihak pengguna laporan. Jika laba seperti ini digunakan oleh investor untuk membentuk nilai pasar perusahaan, maka laba tidak dapat menjelaskan nilai pasar perusahaan yang sebenarnya. Dalam penelitian Cahyani (2012) menunjukkan hasil bahwa nilai perusahaan berpengaruh positif terhadap perataan laba, artinya bahwa semakin tinggi nilai perusahaan maka perusahaan akan cenderung untuk melakukan praktik pertaaan laba, karena dengan melakukan perataan laba, variabilitas laba dan risiko saham dari perusahaan akan semakin menurun. Hal ini sejalan dengan Aji dan Mita (2010) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa nilai perusahaan berpengaruh positif terhadap praktik perataan laba perusahaan. Adapun hasil yang berbeda diungkapkan oleh Noviana dan Yuyetta (2011) yang menyatakan bahwa nilai perusahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perataan laba. H6: Nilai perusahaan berpengaruh positif terhadap perataan laba
44