7
BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN MASALAH
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Pengertian Auditing Menurut
Arens,dkk
(2003:15)
auditing
adalah
pengumpulan
serta
pengevaluasian bukti-bukti atas informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian informasi tersebut dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilaksanakan oleh seseorang yang kompeten dan independen. Auditor mengumpulkan bukti-bukti yang diberikan klien, kemudian mengevaluasinya sesuai standar yang telah ditentukan dengan harapan klien mendapatkan bahwa bukti yang diberikan bebas dari salah saji sehingga dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan. Auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataanpernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasilhasilnya kepada pemakai yang berkepentingan (Mulyadi, 2009:9). Menurut ASOBAC (A Statement Basic Of Auditing Concepets) dalam (Halim, 2001) yang mendefinisikan auditing sebagai : “Suatu proses sistematik untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersiasersi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya
kepada para pemakai yang berkepentingan”. 7
8
Menurut Arens dan Loebbecke (1997:1) mendefinisikan auditing sebagai proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksudkan dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten. Auditing bertujuan untuk menilai kewajaran atas informasi yang tercantum dalam laporan keuangan.
Auditor
memberikan
kesimpulan
atas
kegiatan
audit
yang
dilakukannya dan menginformasikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Kualitas hasil audit akan sangat mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pihak yang berkepentingan.
2.1.2 Etika Profesional Etika secara umum didefiniskan sebagai nilai-nilai tingkah laku atau aturan-aturan tingkah laku yang diterima dan digunakan oleh suatu golongan tertentu atau individu (Suraida, 2005:118). Definisi etika secara umum menurut Suraida, (2003: 118) adalah “a set of moral principles or values. Prinsip-prinsip etika tersebut (yang dikutip dari The Yosephine Institute for the Advancement of Ethics) adalah honesty, integrity, promise keeping, loyalty, fairness, caring for others, responsible citizenship, pursuit of excellent and accountability”. Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode etik ini mengikat para anggota IAI di satu sisi dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau belum menjadi anggota IAI
9
di sisi lainnya. Kode Etik Profesi Akuntan Publik (sebelumnya disebut Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik) adalah aturan etika yang harus diterapkan oleh anggota Institut Akuntan Publik Indonesia atau IAPI (sebelumnya Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik atau IAI-KAP) dan staf profesional (baik yang anggota IAPI maupun yang bukan anggota IAPI) yang bekerja pada satu Kantor Akuntan Publik (Diakses di www.wikipedia.com tanggal 17 Februari 2009). Kode Etik Akuntan Indonesia yang baru tersebut terdiri dari tiga bagian (Prosiding kongres VIII, 1998), yaitu (Martadi dan Sri, 2006: 17). a.
Kode Etik Umum. Terdiri dari 8 prinsip etika profesi, yang merupakan landasan perilaku etika profesional, memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika dan mengatur pelaksanaan pemberian jasa professional oleh anggota, yang meliputi: tanggung jawab profesi, kepentingan umum, integritas, obyektifitas, kompetensi dan kehati-hatian profesionalnya, kerahasian, perilaku profesional dan standar teknis.
b.
Kode Etik Akuntan Kompartemen. Kode Etik Akuntan Kompartemen disahkan oleh Rapat Anggota Kompartemen dan mengikat seluruh anggota Kompartemen yang bersangkutan.
c.
Interpretasi Kode Etik Akuntan Kompartemen, merupakan panduan penerapan Kode Etik Akuntan Kompartemen. Pernyataan etika profesi yang berlaku saat itu dapat dipakai sebagai
interpretasi dan atau aturan etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya di Indonesia, penegakan kode etik dilaksanakan oleh
10
sekurang-kurangnya enam unit organisasi, yaitu: Kantor Akuntan Publik, Unit Peer Review Kompartemen Akuntan Publik-IAI, Badan Pengawas Profesi Kompartemen Akuntan Publik-IAI, Dewan Pertimbangan Profesi IAI, Departemen Keuangan RI dan BPKP. Selain keenam unit organisasi tadi, pengawasan terhadap kode etik diharapkan dapat dilakukan sendiri oleh para anggota dan pimpinan KAP. Hal ini tercermin di dalam rumusan Kode Etik Akuntan Indonesia pasal 1 ayat 2, yang berbunyi (Martadi dan Sri, 2006:17): Setiap anggota harus selalu mempertahankan integritas dan obyektivitas dalam melaksanakan tugasnya. Dengan mempertahankan integritas, ia akan bertindak jujur, tegas dan tanpa pretense. Dengan mempertahankan obyektifitas, ia
akan
bertindak
adil
tanpa
dipengaruhi
tekanan/permintaan
pihak
tertentu/kepentingan pribadinya. Ada dua sasaran dalam kode etik ini, yaitu pertama, kode etik ini bermaksud untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari kaum profesional. Kedua, kode etik ini bertujuan untuk melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku buruk orang-orang tertentu yang mengaku dirinya profesional Dengan demikian, Etika Profesi merupakan nilai-nilai tingkah laku atau aturan-aturan tingkah laku yang diterima dan digunakan oleh organisasi profesi akuntan yang meliputi kepribadian, kecakapan profesional, tanggung jawab, pelaksanaan kode etik dan penafsiran dan penyempurnaan kode etik.
11
2.1.3 Akuntabilitas Akuntabilitas atau dalam bahasa inggris accountability memiliki arti yaitu keadaan untuk dipertanggung-jawabkan, keadaan dapat dimintai pertanggungjawaban. Akuntabilitas sebagai bentuk dorongan psikologi yang membuat seseorang berusaha mempertanggung-jawabkan semua tindakan dan keputusan yang diambil kepada lingkungannya (Tetclock, 1984) dalam (Mardisar dan Sari, 2007). Tanggung jawab auditor terletak pada menemukan salah saji baik yang disebabkan karena kekeliruan atau kecurangan dan memberikan pendapat atas bukti audit yang diberikan klien. Tidak hanya bertanggung jawab pada klien, tapi auditor juga memiliki tanggung jawab terhadap profesinya. Auditor harus mematuhi standar profesi yang ditetapkan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Menurut SPAP (2011:110) auditor independen juga bertanggung jawab terhadap profesinya, tanggung jawab untuk mematuhi standar yang diterima oleh para praktisi rekan seprofesinya. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban mempertanggung-jawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya
melalui suatu media pertanggung-jawaban
yang
dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003). Pengukuran akuntabilitas dapat dilihat dari motivasi, pengabdian pada profesi, dan kewajiban sosial (Elisha dan Icuk, 2010).
12
a.
Motivasi Motivasi adalah dorongan pada diri seseorang yang menimbulkan suatu
keinginan untuk melakukan sesuatu atau tindakan untuk mencapai tujuan. Auditor yang berkualitas memiliki motivasi yang tinggi. Dengan motivasi yang tinggi, seorang auditor akan melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sehingga menghasilkan hasil audit yang berkualitas. Menurut Robbins (2008) dalam Elisha dan Icuk (2010), mendefinisikan motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Moekijat (2002) mendefinisikan motivasi sebagai keinginan di dalam seorang individu yang mendorong ia untuk bertindak. Sedangkan menurut Panitia Istilah Manajemen Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, motivasi adalah proses atau faktor yang mendorong orang untuk bertindak atau berperilaku dengan cara tertentu, yang prosesnya mencakup; pengenalan dan penilaian kebutuhan yang belum dipuaskan, penentuan tujuan yang akan memuaskan kebutuhan, dan penentuan tindakan yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan. b.
Pengabdian pada profesi Pengabdian pada profesi seorang auditor merupakan dedikasi auditor
terhadap pekerjaanya yang dilakukan secara profesional dan total dengan menggunakan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki. Profesional dan totalitas pekerjaan tidak memprioritaskan materi. Menurut Hall (1968) dalam Syahrir (2002:23) pengabdian pada profesi diceminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki serta keteguhan
13
untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sedangkan menurut Elisha dan Icuk (2010) menyatakan bahwa pengabdian kepada profesi merupakan suatu komitmen yang terbentuk dari dalam diri seseorang profesional, tanpa paksaan dari siapapun, dan secara sadar bertanggung jawab terhadap profesinya. Seseorang yang melaksanakan sebuah pekerjaan secara ikhlas maka hasil pekerjaan tersebut akan cenderung lebih baik daripada seseorang yang melakukannya dengan terpaksa. Nugrahaningsih (2005) menyatakan bahwa akuntan memiliki kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi dimana mereka berlindung, profesi mereka, masyarakat dan pribadi mereka sendiri dimana akuntan mempunyai tanggung jawab menjadi kompeten dan berusaha menjaga integritas dan obyektivitas mereka (Alim dkk., 2007). c.
Kewajiban Sosial Kewajiban sosial merupakan suatu bentuk rasa tanggung jawab untuk
melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya dimana akan memberikan kontribusi dan dampak positif bagi masyarakat dan profesinya. Menurut Rendy (2007) menyatakan bahwa kewajiban Sosial merupakan pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. Jika seorang akuntan menyadari akan betapa besar perannya bagi masyarakat dan bagi profesinya, maka ia akan memiliki sebuah keyakinan bahwa dengan melakukan pekerjaan dengan sebaikbaiknya, maka ia akan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi masyarakat dan profesinya tersebut. Maka ia akan merasa berkewajiban untuk memberikan
14
yang terbaik bagi masyarakat dan profesinya tersebut dengan melakukan pekerjaannya dengan sebaik mungkin. Hal inilah yang disebut sebagai kewajiban sosial (Elisha dan Icuk, 2010). 2.1.4 Kompetensi Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP, 2011) menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Kompetensi auditor ditentukan oleh tiga faktor (Boynton et al., 2002:61),
yaitu: (1) pendidikan universitas
formal untuk memasuki profesi, (2) pelatihan praktik dan pengalaman dalam auditing, dan (3) mengikuti pendidikan profesi berkelanjutan selama karir profesional auditor. Cheng dkk. (2002) dalam Nor (2011:5) menyatakan bahwa kompetensi terdiri atas dua faktor, yaitu knowledge (pendidikan, keahlian, pengalaman) dan perilaku. Pengertian kompetensi mencakup tiga ranah, yaitu kognitif (pengetahuan/knowledge), afeksi (sikap dan perilaku-attitude-meliputi etika, kecerdasan emosional,
dan spritual), dan psikomotorik (keterampilan
teknis/fisik). Untuk profesi akuntan, ketiga ranah kompetensi ini mencakup (a) aspek kognitif, yaitu pengetahuan akuntansi dan disiplin ilmu terkait (knowledge); (b) aspek afeksi, yaitu sikap dan perilaku etis, kemampuan berkomunikasi; dan (c) aspek psikomotorik, yaitu keterampilan teknis/fisik, misalnya
penguasaan
teknologi informasi (komputer), teknis audit, dan sebagainya (Nor, 2011:6). Ashton (1991) dalam Saifudin (2004:16) mengatakan bahwa ukuran keahlian tidak cukup hanya pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan-
15
pertimbangan lain dalam pembuatan suatu keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki sejumlah unsur lain dalam pengalaman. 2.1.5 Due Professional Care Due professional care memiliki arti kemahiran profesional yang cermat dan seksama. Sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional mengharuskan setiap praktisi untuk bersikap dan bertindak secara hati-hati, menyeluruh, dan tepat waktu sesuai dengan persyaratan penugasan (SPAP, 2011:130.4). Penggunaan kemahiran profesi dengan cermat dan seksama menyangkut apa yang dikerjakan auditor dan bagaimana kesempurnaan pekerjaannya tersebut (SPAP, 2011:230.1). Due professional care memiliki arti kemahiran profesional yang cermat dan seksama. Menurut PSA No. 4 SPAP (2001), kecermatan dan keseksamaan dalam penggunaan kemahiran profesional menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisme profesional, yaitu suatu sikap auditor yang berpikir kritis terhadap bukti audit dengan selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi terhadap bukti audit tersebut. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan
maupun
melaksanakan
jasa
kecurangan. profesional
Auditor dengan
mempunyai
kewajiban
untuk
sebaik-baiknya
sesuai
dengan
kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik (Mulyadi, 2002). Kehati-hatian profesional adalah auditor diharuskan untuk merencanakan dan mengawasi secara seksama. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menuntut auditor
16
untuk melaksanakan skeptisme profesional, yaitu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit. Dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No.01 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan dinyatakan dalam pelaksanaan pemeriksaan serta penyusunan laporan hasil pemeriksaan, pemeriksa wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama. Pengukuran due professional care dapat dilakukan melalui dua aspek yaitu skeptisme profesional dan keyakinan memadai (SPAP, 2011:230.1). a.
Skeptisme Profesional Skeptisme artinya keragu-raguan, ketidakpercayaan, dan kesangsian. Dengan
menggunakan due professional care, auditor dituntut untuk bersikap skeptis artinya auditor dituntut untuk bersikap ragu-ragu, tidak percaya terhadap buktibukti audit yang diberikan klien. Dengan tujuan bahwa bukti-bukti audit diberikan secara jujur dan obyektif. Menurut SPAP (2011,230.1) skeptisme profesional adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan
dalam
melaksanakan evaluasi secara kritis bukti audit. Selama proses pengumpulan dan penilaian bukti audit skeptisme profesional harus digunakan agar penilaian berjalan dengan benar. Nearon (2005) dalam Mansur (2007) juga menyatakan hal serupa bahwa jika auditor gagal dalam menggunakan sikap skeptis atau penerapan sikap skeptis yang tidak sesuai dengan kondisi pada saat pemeriksaan, maka opini audit yang diterbitkannya tidak berdaya guna dan tidak memiliki kualitas audit yang baik.
17
b.
Keyakinan memadai Penggunaan
kemahiran
profesional
dengan
cermat
dan
seksama
memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan (SPAP, 2011:230.2). Dengan bukti audit yang memadai, maka auditor dapat memberikan pendapat di mana digunakan pihak manajemen untuk dasar pengambilan keputusan. Menurut Goverment Accountability Office atau GAO (2007 : 116) dalam Mansur (2007 : 42), audit kinerja yang sesuai dengan Generally
Accepted
Government
Auditing
Standards
(GAGAS)
harus
memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) bahwa bukti audit telah mencukupi dan sesuai untuk mendukung temuan dan kesimpulan auditor. Keyakinan yang memadai atas bukti-bukti yang ditemukan akan sangat membantu auditor dalam menentukan scope dan metodologi yang akan digunakan dalam melaksanakan pekerjaan audit agar tujuan dapat tercapai. Dengan demikian due professional care berkaitan dengan kualitas audit. 2.1.6 Kualitas Audit Kualitas Audit sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya, (De Angelo,1981). Menurut Public sector dalam Government Accountability Office (GAO) (1986) mendefinisikan audit quality sebagai
pemenuhan terhadap standar profesional dan terhadap syarat-syarat sesuai perjanjian yang harus dipertimbangkan. Sedangkan menurut Standar Pemeriksaan
18
Keuangan Negara, kualitas hasil pemeriksaan adalah laporan hasil pemeriksaan yang memuat adanya kelemahan dalam pengendalian intern, kecurangan, penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, dan ketidakpatutan, harus dilengkapi tanggapan dari pimpinan atau pejabat yang bertanggung jawab pada entitas yang diperiksa mengenai temuan dan rekomendasi serta tindakan koreksi yang direncanakan. Kualitas hasil kerja berhubungan dengan seberapa baik sebuah pekerjaan diselesaikan dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan (Mardisar, 2007). Agar auditor dapat mencapai kualitas audit sesuai dengan yang diharapkan, auditor harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar profesi yang telah ditentukan. Menurut Etika Profesi Ikatan Akuntan Indonesia ada delapan prinsip yang ditentukan (Mulyadi, 2009), yaitu : 1.
Tanggung jawab profesi. Setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2.
Kepentingan publik. Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
3.
Integritas. Setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan intregitas setinggi mungkin.
19
4.
Objektivitas. Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5.
Kompetensi dan kehati-hatian profesional. Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan hati-hati, kompetensi
dan
ketekunan
serta
mempunyai
kewajiban
untuk
mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional. 6.
Kerahasiaan. Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan.
7.
Perilaku profesional. Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8.
Standar teknis. Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan.
Sedangkan menurut SPAP (2011:150) ada tiga standar auditing yang telah ditetapkan yaitu : 1.
Standar umum. a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
20
b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. 2.
Standar Pekerjaan Lapangan. a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. b. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus dapat diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. c. Bukti audit kompeten yang cukup harus dapat diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan, pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.
3.
Standar Pelaporan. a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. b. Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan jika ada ketidak konsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
21
d. Laporan auditor harus memuat pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atas suatu asersi. Dengan aturan atau standar yang telah ditetapkan, auditor dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga menghasilkan kualitas audit yang tinggi. Hasil audit yang berkualitas akan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pihak manajemen. Pengukuran kualitas proses audit terpusat pada kinerja yang dilakukan auditor dan kepatuhan pada standar yang telah digariskan (Moizer, 1986). Sedangkan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), audit yang dilakukan auditor dikatakan berkualitas, jika memenuhi standar auditing dan standar pengendalian mutu. Menurut Financial Reporting Council (2006:16) dalam Mansur (2007) kualitas audit dapat diukur melalui : budaya dalam KAP, keahlian dan kualitas personal rekan dan staff audit, efektivitas proses audit, serta keandalan dan manfaat laporan audit. Sedangkan menurut Deis dan Giroux (1992) pengukuran kualitas audit adalah dengan lama hubungan dengan klien (audit tenure), jumlah klien, telaah dari rekan auditor (peer review), ukuran dan kesehatan keuangan klien serta jam kerja audit. 2.1.7 Pengaruh Etika Profesional terhadap Kualitas Audit Etika merupakan
aturan
atau norma
maupun perilaku seseorang. Seorang Akuntan tugasnya dan keputusan
yang mengatur tingkah Publik
masyarakat
menjalankan
auditnya harus mempertimbangkan kode etik etika
profesinya sebagai standar pekerjaan. Etika profesi meyakinkan
dalam
laku
karena
masyarakat
akan
dibutuhkan
untuk
mempercayai
profesi
22
seseorang jika telah menerapkan standar mutu yang tinggi dalam pelaksanaan pekerjaannya. Etika profesi berkaitan erat dengan masalah prinsip yang Akuntan
dipegang
Publik untuk menjaga, menjunjung, serta menjalankan nilai-nilai
kebenaran dan moralitas, seperti tanggung jawab profesi dan perilaku profesional.
Semakin
tinggi etika
yang dijunjung Akuntan Publik maka
diharapkan kualitas audit yang dihasilkan semakin tinggi pula. Festyadela (2011) menyebutkan bahwa, etika berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit seorang Akuntan Publik. Pendapat berkebalikkan diungkapkan Gusti & Ali (2008) menyebutkan bahwa, etika tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan ketepatan pemberian opini auditor oleh Akuntan Publik.
2.1.8 Pengaruh Akuntabilitas terhadap Kualitas Audit Akuntabilitas adalah keadaan dimana seseorang mempertanggung-jawabkan segala tindakan yang dilakukan. Auditor bertanggung-jawab terhadap hasil penilaian bukti-bukti audit yang diberikan klien, sehingga hasil dari penilaian tersebut dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh klien. Jika auditor memiliki akuntabilitas yang tinggi, maka hasil penilaian akan berkualitas. Pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manajer dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik (Mardiasmo, 2002:121). Meisser dan Quilliem meneliti pengaruh akuntabilitas terhadap kualitas hasil kerja auditor “Akuntabilitas yang dimiliki auditor dapat
23
meningkatkan proses kognitif auditor dalam mengambil keputusan” (Meisser dan Quilliem dalam Mardisar dan Sari 2007:3). Berdasarkan teori dan penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kognitif (penilaian kinerja) auditor pada kantor akuntan publik.
2.1.9 Pengaruh Kompetensi terhadap Kualitas Audit Ada tiga faktor kompetensi auditor yang ditentukan oleh Boynton et al. (2002 : 61), yaitu: (1) pendidikan universitas formal untuk memasuki profesi, (2) pelatihan praktik dan pengalaman dalam auditing, dan (3) mengikuti pendidikan profesi berkelanjutan selama karir profesional auditor. Pernyataan standar umum pertama dalam SPKN (BPK RI, 2007) juga menyatakan bahwa “Pemeriksa secara kolektif
harus
memiliki
kecakapan
profesional
yang
memadai
untuk
melaksanakan tugas pemeriksaan”. Auditor bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pemeriksaan dilaksanakan oleh para auditor yang secara kolektif memiliki pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut dengan berpedoman pada standar akuntansi dan standar audit yang telah ditetapkan. De Angelo (1981) juga mendifinisikan bahwa
kualitas audit sebagai
probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya
mengasumsikan bahwa
kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas
24
pemahaman auditor (kompetensi). Penelitian Debora (2012) menyatakan bahwa kompetensi memiliki
pengaruh yang signifikan
terhadap kualitas audit.
Berdasarkan teori di atas, jika dalam melaksanakan tugas, auditor dapat mengerjakan pekerjaannya dengan mudah, cepat, dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan, serta didukung dengan pengetahuan dan keahlian yang mumpuni maka bukan tidak mungkin kualitas audit yang dihasilkan akan meningkat.
2.1.10 Pengaruh Due Professional Care terhadap Kualitas Audit Due professional care adalah kemahiran profesional yang cermat dan seksama. Auditor harus menggunakan due professional care dalam melaksanakan tugasnya. Due professional care mengandung dua aspek yaitu skeptisme profesional dan keyakinan memadai. Auditor dituntut untuk bersikap skeptis, di mana auditor harus mengevaluasi bukti audit dengan tujuan bukti yang diberikan memang benar objektif. Bukti audit yang objektif memungkinkan untuk memperoleh keyakinan memadai, sehingga auditor dapat memberikan pendapat atas bukti audit tersebut. Bila auditor tidak dapat mempertahankan sikap skeptis, maka penilaian atas bukti audit tidak dapat dipercaya dan diragukan kredibilitasnya. Menurut Elisha dan Icuk (2010), auditor harus tetap menjaga sikap skeptis profesionalnya selama proses pemeriksaan, karena ketika auditor sudah tidak mampu lagi mempertahankan sikap skeptis profesionalnya, maka laporan keuangan yang diaudit tidak dapat dipercaya lagi, dan memungkinkan adanya litigasi paska audit. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan Nearon
25
(2005) dalam Mansur (2007) juga menyatakan hal serupa bahwa jika auditor gagal dalam menggunakan sikap skeptis atau penerapan sikap skeptis yang tidak sesuai dengan kondisi pada saat pemeriksaan, maka opini audit yang diterbitkannya tidak berdaya guna dan tidak memiliki kualitas audit yang baik. Oleh karena itu due professional care dapat mempengaruhi kualitas audit.
2.1.11 Penelitian Terdahulu Pada bagian ini akan diuraikan secara singkat beberapa hasil penelitian terdahulu tentang pengaruh akuntabilitas, pengalaman, dan due professional care auditor terhadap kualitas audit yang ditunjukkan dalam tabel 1 berikut :
No
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
Diani Mardisar dkk (2007)
Pengaruh Akuntabilitas dan Pengetahuan Terhadap Kualitas Kerja Auditor
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kompleksitas pekerjaan rendah, baik aspek akuntabilitas dan interaksi akuntabilitas dengan pengetahuan memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas hasil kerja auditor.
2.
Rizki Wahyuni (2010)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kompetensi, Profesionalisme, dan Sensitivitas Etika Profesi Terhadap Kualitas Audit. Sedangkan indepedensi tidak berpengaruh terhadap kualitas audit.
3.
Hardiningsih dan Oktaviani (2011)
Pengaruh Independensi, Kompetensi, Profesionalisme, dan Sensitivitas Etika Profesi Terhadap Kualitas Audit Pengaruh Due Professional Care, Etika, Dan Tenur Terhadap Kualitas Audit
1.
Peneliti
Tabel 1 Penelitian terdahulu
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Due Professional Care mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas audit. Etika mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas audit. Sementara tenur tidak mempunyai pengaruh terhadap kualitas audit.
26
4.
Ika Sukriah dkk (2009)
Pengaruh Pengalaman Kerja, Independensi, Obyektifitas, Integritas dan Kompetensi Terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman kerja, obyektifitas dan kompetensi berpengaruh positif terhadap kualitas hasil pemeriksaan. Sedangkan untuk independensi dan integritas tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas hasil pemeriksaan. Sedangkan secara simultan, kelima variabel tersebut berpengaruh terhadap kualitas hasil pemeriksaan dengan kemampuan menjelaskan terhadap variabel dependen sebesar 58%
2.2 Rerangka Pemikiran Rerangka pemikiran yang akan dikembangkan pada penelitian ini mengacu pada telaah pustaka yang telah dilakukan pada sub bab sebelumnya. Rerangka pemikiran yang dikembangkan seperti tersaji pada gambar 1 berikut ini: Etika Profesional
Akuntabilitas Kualitas Audit Kompetensi
Due Profesional Care
Gambar 1 Sumber : Konsep yang dikembangkan dalam penelitian ini, 2012
27
2.3 Hipotesis Hipotesis – hipotesis yang akan dijawab dalam penelitian ini mengacu pada telaah pustaka yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya. Berdasarkan telaah pustaka, maka beberapa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1: Etika profesional berpengaruh terhadap kualitas audit. H2: Akuntabilitas berpengaruh terhadap kualitas audit. H3: Kompetensi berpengaruh terhadap kualitas audit. H4: Due professional care berpengaruh terhadap kualitas audit.