BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN MASALAH
2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1 Teori Legitimasi Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi dapat dikatakan sebagai manfaat atau sumber potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (O’Donovan, 2002). Legitimasi
mengalami
pergeseran
sejalan
dengan
pergeseran
masyarakat dan lingkungan, perusahaan harus dapat meyesuaikan perubahan tersebut baik produk, metode, dan tujuan. Deegan, Robin dan Tobin (2002) (dalam Nor Hadi, 2011:89) menyatakan legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan tidak mengganggu atau sesuai (congruent) dengan eksistensi sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi pergeseran yang menuju ketidaksesuaian, maka pada saat itu legitimasi perusahaan dapat terancam. Hannifa et al. (dalam Sayekti dan Wondabio, 2007) juga menyatakan bahwa legitimasi dianggap penting oleh perusahaan karena berhubungan dengan kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan
masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice dan bagaimana menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem dengan nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan dapat kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan. Legitimasi
merupakan
suatu
sistem
yang
mengedepankan
keberpihakan kepada masyarakat Grey et al. (dalam Hadi, 2011). Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari keberadaan masyarakat. Dengan demikian, legitimasi merupakan manfaat atau sumber potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going concern) (Hadi, 2011:87). Pada dasarnya pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan bertujuan memperlihatkan kepada masyarakat atas aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar. Legitimasi perusahaan di mata Stakeholder dapat dilakukan dengan integritas pelaksanaan etika di berbisnis (business ethics integrity) serta meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaan (social responsibilty). Wibisono (dalam Hadi, 2011:92) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial (social responsibility) perusahaan memiliki manfaat untuk meningkatkan perusahaan.
reputasi
perusahaan,
menjaga
image
dan
strategi
Uraian di atas menjelaskan bahwa teori legitimasi merupakan salah satu teori yang mendasari pengungkapan CSR. Pengungkapan CSR dilakukan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat.
2.1.2 Teori Stakeholder Stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan (Luk, Yau, Tse, Alan, Sin, Leo, dan Raymond, 2005) (dalam Nor Hadi, 2011:46). Dengan demikian, stakeholder merupakan pihak internal maupun eksternal, seperti: pemerintah, perusahaan pesaing, masyarakat sekitar, lingkungan internasional, lembaga di perusahaan (LSM dan sejenisnya), lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas dan lain sebagainya yang keberadaannya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan. Jones (dalam Agustin, 2012) menjelaskan bahwa Stakeholder terbagi dala dua katagori, yaitu: a.
Inside
Stakeholder,
terdiri
atas
orang-orang
yang
memiliki
kepentingan dan tuntutan terhadap sumber daya perusahaan serta yang berada di dalam organisasi perusahaan. Pihak-pihak yang termasuk Inside Stakeholder adalah pemegang saham (stockholder), manager dan karyawan.
b. Outside Stakeholder, terdiri atas orang-orang maupun pihak-pihak yang bukan pemilik perusahaan, pemimpin perusahaan maupun karyawan
perusahaan,
namun
memiliki
kepentingan
terhadap
perusahaan dan dipengaruhi oleh keputusan serta tindakan yang dilakukan oleh perusahaan. Pihak-pihak yang termasuk Outside Stakeholder adalah pelanggan (customers), pemasok (supplier), pemerintah, masyarakat lokal dan masyarakat umum. Dari dua jenis Stakeholder di atas, Stakeholder primer adalah Inside Stakeholder yang paling berpengaruh dalam kelangsungan perusahaan karena mempunyai power yang cukup tinggi terhadap ketersediaan sumber daya perusahaan. Batasan
stakeholder
tersebut
di
atas
mengisyaratkan
bahwa
perusahaan hendaknya memperhatikan stakeholder, karena mereka adalah pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung atas aktivitas serta kebijakan yang diambil dan dilakukan perusahaan. Jika perusahaan tidak memperhatikan stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai protes dan dapat mengeliminasi legitimasi stakeholder (Hadi, 2011:94). Pelaksanaan dan pengungkapan aktivitas CSR merupakan salah satu cara untuk menjaga hubungan baik dengan para Stakeholder. Kegiatan tersebut diharapkan mampu menjembatani keinginan Stakeholder terhadap perusahaan, sehingga akan menghasilkan hubungan yang harmonis dan
kedepannya perusahaan dapat mencapai keberlanjutan (sustainability) atau kelestarian perusahaan.
2.1.3 Teori Agensi Prinsip utama teori ini pada dasarnya menyatakan hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yakni pemilik atau pemegang saham dengan pihak yang menerima wewenang (agen) yakni manajemen atau pengelola. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan hubungan keagenan adalah suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan mendelegasikan sebagian kewenangan pengambilan keputusan kepada agen. Teori agensi mengansumsikan bahwa setiap individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri sehingga seringkali terdapat kemungkinan konflik dalam hubungan antara prinsipal dan agen, dimana konflik tersebut timbul sebagai akibat kepentingan yang saling bertentangan (conflict of interest). Pertentangan kepentingan antara pihak agen dan prinsipal dapat menimbulkan permasalahan dalam agency theory yang dikenal sebagai Asymmetric Information yaitu ketidakseimbangan informasi karena pihak agen berada pada posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan prinsipal. Dalam hal ini dapat
menimbulkan kecenderungan bagi pihak agen untuk menyembunyikan informasi mengenai kinerja perusahaan. Dengan adanya konflik kepentingan dan asimetri informasi ini, maka perusahaan harus menanggung agency cost yakni biaya monitoring (monitoring cost), biaya bonding (bonding cost) dan biaya kerugian residual (Jensen dan Meckling, 1976). Dalam kaitanya dengan pengungkapan tanggung jawab sosial terdapat tiga faktor yang mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial yakni biaya pengawasan (monitoring cost), biaya kontrak (contracting cost), dan visibilitas politis. Berdasarkan teori agensi, perusahaan yang menghadapi biaya kontrak dan biaya pengawasan yang rendah cenderung akan melaporkan laba bersih rendah atau dengan kata lain akan mengeluarkan biaya-biaya untuk kepentingan manajemen (salah satunya biaya yang dapat meningkatkan reputasi perusahaan di masyarakat). Kemudian sebagai wujud pertanggungjawaban, manajer sebagai agen akan berusaha memenuhi seluruh keinginan pihak prinsipal, dalam hal
ini
adalah pengungkapan informasi pertanggungjawaban sosial perusahaan (Fahrizqi, 2010).
2.1.4 Definisi Corporate Social Responsibility Johnson and Johnson (dalam Nor Hadi, 2011:46) mendefinisikan “Corporate Social Responsibility (CSR) is about how companies manages the business processes to produce an overall positive impact on society”. Sedangkan menurut Nor Hadi (2011:48) menyatakan Corporate Social Responsibility merupakan satu bentuk tindakan yang berangkat dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi, yang dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup karyawan berikut
keluarganya,
serta
sekaligus
peningkatan
kualitas
hidup
masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas. Versi lain mengenai definisi CSR dinyatakan oleh World Bank (Wibisono, 2007:7) Lembaga keuangan global ini memandang CSR sebagai komitmen dunia usaha untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan
dan
komunitas masyarakat umum dengan cara yang baik bagi perusahaan dan juga baik bagi pembangunan. Dari beberapa definisi di atas dapat kita tarik kesimpulan mengenai definisi CSR yaitu suatu mekanisme proses bisnis perusahaan yang mengintegrasikan
aspek
sosial,
ekonomi
dan
lingkungan
dalam
aktivitasnya sebagai salah satu upaya meningkatkan pertumbuhan berkelanjutan.
Dauman dan Hargreaves (dalam Fahrizqi, 2010) menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan (CSR) dapat dibagi menjadi tiga level sebagai berikut: 1.
Basic Responsibility (BR). Pada level pertama menghubungkan tanggung jawab yang pertama dari suatu perusahaan yang muncul karena keberadaan perusahaan tersebut seperti: perusahaan harus membayar pajak, memenuhi hukum, memenuhi standar pekerjaan dan memuaskan pemegang saham. Bila tanggung jawab pada level ini tidak dipenuhi akan menimbulkan dampak yang serius.
2.
Organization Responsibility (OR). Pada level kedua ini menunjukan tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi perubahan kebutuhan stakeholder seperti pekerja, pemegang saham, dan masyarakat di sekitarnya.
3.
Sociental Responses (SR). Pada level ketiga, menunjukan tahapan ketika interaksi antara bisnis dan kekuatan lain dalam masyarakat yang demikian kuat sehingga perusahaan dapat tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan, terlibat dengan apa yang terjadi dalam lingkunganya secara keseluruhan.
2.1.5 Pengungkapan Corporate Social Responsibility Pertanggungjawaban sosial diungkapkan di dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting. Sustainabiliy Reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja
organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan dan pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi (ACCA, 2004 dalam Anggraini, 2006). Tujuan pengungkapan menurut Securities Exchange Commision (SEC) dikategorikan menjadi dua yaitu: protective disclosure yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap investor, dan informative disclosure yang bertujuan untuk memberikan informasi yang layak pada pengguna laporan (Wolk, Francis, dan Teamey dalam Zuhroh dan Putu Pande, 2003). Anggraini (2006) menyatakan bahwa tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi. Tingkat pengungkapan kinerja Corporate Social Responsibility (CSR) menggambarkan aktivitas CSR yang telah dilakukan perusahaan. Tingginya tingkat pengungkapan kinerja CSR menunjukan perusahaan memiliki kepedulian dan tanggung jawab tinggi terhadap stakeholder dan lingkungan sosial.
Beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh perusahaan dengan melaksanakan tanggung jawab sosialnya Ambadar (dalam Mawarni, 2010) yaitu: 1. Perusahaan dapat terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan, yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek saja tanpa memperdulikan akibat dari perilaku buruknya. 2. Kerangka kerja etis yang kokoh dapat memandu para manajer dan karyawan untuk menghadapi masalah seperti permintaan lapangan kerja dan lingkungan sekitarnya. 3. Perusahaan etis mendapat rasa hormat dari kelompok inti masyarakat yang sangat sehat membutuhkan perusahaan ini untuk tetap eksis, terutama pelanggan dan karyawannya. 4. Banyak perusahaan yang sadar bahwa perilaku yang etis dapat membuat perusahaan aman dari gangguan lingkungan sekitar, sehingga dapat beroperasi dengan lancar.
Menurut marketing journal (dalam Agustin, 2012) menyatakan bahwa beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan CSR diantaranya adalah: 1.
Meningkatkan reputasi dan brand image
2.
Meningkatkan profit dan loyalitas pelanggan
3.
Menciptakan kesempatan usaha baru
4.
Meningkatkan kemampuan untuk menarik dan mempertahankan karyawan
5.
Meningkatkan produktivitas dan moral
6.
Menarik investor dan rekan bisnis
7.
Me-manage resiko
8.
Perlakuan istimewa dari pemerintah dan kebijakannya
9.
Meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya operasional
10. Inovasi pasar melalui kerja sama dengan komunitas lokal
Sedangkan manfaat yang dirasakan masyarakat dari pelaksanaan CSR yaitu dapat memberikan kehidupan yang lebih baik dengan adanya peningkatan kualitas hidup, yang pada akhirnya dapat memberikan pengaruh pada profit perusahaan dan akan dikembalikan ke masyarakat secara tidak langsung melalui kegiatan CSR. Dengan demikian akan tercipta suatu hubungan yang menguntungkan semua pihak, baik masyarakat maupun perusahaan. Hal-hal yang biasanya diungkap mengenai pengungkapan CSR antara lain: lingkungan, energi, kesehatan dan keselamatan, kebijakan mengenai tenaga kerja, produk dan keterlibatan dalam menunjang kegiatan dan kesejahteraan masyarakat.
2.1.6 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya perusahaan yang dapat dilihat dari tingkat penjualan, jumlah tenaga kerja atau jumlah aset yang dimiliki perusahaan. Semakin besar tingkat penjualan, jumlah tenaga kerja atau jumlah aset yang dimiliki perusahaan maka makin besar pula ukuran perusahaan tersebut (Kusuma, 2005). Perusahaan yang memiliki tingkat penjualan, jumlah tenaga kerja atau jumlah aset yang besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan di mana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total aset yang kecil Nina dan Suhairi (dalam Herawati, 2010).
2.1.7 Profitabilitas Perusahaan Menurut Harahap (2004:304), mengemukakan bahwa “Profitabilitas atau disebut juga rentabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan sebagainya”. Sedangkan menurut Sawir (2001:17) mengartikan “Profitabilitas merupakan hasil bersih dari berbagai kebijakan dan keputusan manajemen. Rasio kemampulabaan akan memberikan jawaban
akhir tentang efektivitas manajemen perusahaan, rasio ini memberikan gambaran tentang tingkat efektivitas pengelolaan perusahaan.” Darsono dan Ashari (2005:56), menyebutkan bahwa metode perhitungan profitabilitas perusahaan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: 1.
Gross Profit Margin (GPM), dicari dengan penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan dibagi penjualan bersih. Rasio ini berguna untuk mengetahui keuntungan kotor perusahaan dari setiap barang yang dijual. Jadi dapat diketahui untuk setiap barang yang dijual, perusahaan memperoleh keuntungan kotor sebesar x rupiah.
2.
Net Profit Margin (NPM), rasio ini menggambarkan besarnya laba bersih yang diperoleh oleh perusahaan pada setiap penjualan yang dilakukan.
3.
Return on Assets (ROA), merupakan salah satu rasio untuk mengukur profitabilitas perusahaan, yaitu merupakan perbandingan antara laba bersih dengan rata-rata total aktiva.
4.
Return on Equity (ROE), merupakan salah satu rasio untuk mengetahui besarnya kembalian yang diberikan oleh perusahaan untuk setiap rupiah modal dari pemilik.
5.
Earning Per Share (EPS), merupakan alat analisis yang dipakai untuk melihat keuntungan dengan dasar saham adalah earnings per share yang dicari dengan laba bersih dibagi saham beredar. Rasio ini
menggambarkan besarnya pengembalian modal untuk setiap satu lembar saham. 6.
Payout Ratio (PR), merupakan rasio yang menggambarkan presentase deviden kas yang diterima oleh pemegang saham terhadap laba bersih yang diperoleh perusahaan.
7.
Retention Ratio (RR), rupakan rasio yang menggambarkan presentase laba bersih yang digunakan untuk penambahan modal perusahaan.
8.
Productivity Ratio (PR), merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan
operasional
perusahaan
dalam
menjual
dengan
menggunakan aktiva yang dimiliki.
Model perhitungan profitabilitas yang akan digunakan peneliti adalah Return on Assets (ROA). Return on Assets (ROA) merupakan salah satu rasio untuk mengukur profitabilitas perusahaan, yaitu dengan membagi laba bersih dengan ratarata total aktiva. Di mana rata-rata total aktiva dapat diperoleh dari total aktiva awal tahun ditambah total aktiva akhir tahun dibagi dua. ROA juga dapat dicari dengan mengalikan NPM dengan asset turnover. Asset turnover adalah penjualan bersih dibagi rata-rata total aktiva. ROA disebut juga Earning Power karena rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari setiap satu rupiah asset yang digunakan. ROA mengukur berapa presentase laba bersih terhadap total aktiva perusahaan tersebut. Dengan mengetahui rasio
ini dapat dinilai apakah perusahaan telah efisien dalam memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan operasional perusahaan. Rumus Return on Assets adalah:
2.1.8 Hubungan
Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)
Dengan Profitabilitas Perusahaan Menurut Smith C (1994) dalam Adhy (2011), Corporate Social Responsibility diperlukan agar perusahaan dapat meningkatkan reputasi perusahaan dan pada akhirnya juga akan meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Program Corporate Social Responsibility (CSR) yang mencakup pemberdayaan people, profit, dan planet. Dalam menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR), perusahaan membutuhkan dana dan biaya untuk melaksanakannya, seperti yang telah kita ketahui, bahwa halnya biaya ini merupakan salah satu unsur dalam mengurangi pendapatan dan modal perusahaan, akan tetapi tidak semua biaya selalu berdampak negatif terhadap laba perusahaan, akan tetapi Corporate Social Responsibility (CSR) bukanlah suatu alat pemasaran karena Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan kesadaran unit bisnis terhadap para stakeholder-nya dan sifatnya lebih menjurus ke voluntary (sukarela). Besar kecilnya program Corporate Social Responsibility (CSR) yang diusung perusahaan tergantung pada biaya yang dialokasikan oleh
perusahaan terhadap program tersebut, semakin besar biaya yang dikeluarkan semakin besar pula program Corporate Social Responsibility (CSR) yang akan dilaksanakan. Penelitian Pfleiger (dalam Agustin, 2012) menunjukkan bahwa usahausaha pelestarian lingkungan oleh perusahaan akan mendatangkan sejumlah keuntungan, diantaranya adalah ketertarikan pemegang saham dan Stakeholder terhadap keuntungan perusahaan akibat pengelolaan lingkungan yang bertanggungjawab. Hasil lain mengindikasikan bahwa pengelolaan lingkungan yang baik dapat menghindari klaim masyarakat dan pemerintah serta dapat meningkatkan kualitas produk yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi. Sebagian perusahaan dalam industri modern juga menyadari sepenuhnya bahwa isu lingkungan dan sosial juga merupakan bagian penting dari perusahaan.
2.1.9 Hubungan Ukuran Perusahaan Dengan Profitabilitas Hubungan ukuran perusahaan terhadap profitabilitas bisa dilihat pada besarnya ukuran perusahaan itu sendiri. Perusahaan tersebut bisa dikatakan besar apabila memiliki total aset yang cukup besar. Perusahaan dengan total aset yang besar mencerminkan kemapanan perusahaan dalam menghasilkan profitabilitas. Perusahaan yang sudah mapan biasanya kondisi keuangannya juga sudah stabil (Kusuma, 2005).
Hartono (dalam Marberya dan Suaryana, 2007) menyatakan bahwa perbedaan ukuran perusahaan menimbulkan risiko usaha yang berbeda secara signifikan antara perusahaan besar dan perusahaan kecil, mereka juga merumuskan perusahaan yang besar dianggap lebih mempunyai akses ke pasar modal sehingga lebih mudah untuk mendapatkan tambahan dana yang kemudian dapat meningkatkan profitabilitas. Miyajima (dalam Priharyanto, 2009) menyatakan bahwa adanya pengaruh dari ukuran (size) terhadap kinerja perusahaan (ROA) yang sangat kuat. Perusahaan besar dengan akses pasar lebih baik mempunyai aktivitas operasional yang lebih luas sehingga mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan yang besar yang dapat meningkatkan kinerja perusahaan, sehingga antara ukuran perusahaan dan kinerja perusahaan
memiliki
hubungan
yang
positif
dan
menghasilkan
profitabilitas.
2.1.10 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan mengenai Corporate Social Responsibility diantaranya dilakukan oleh Heal dan Gareth (dalam Adityo, 2011) menunjukkan bahwa aktifitas CSR dapat menjadi elemen yang menguntungkan dalam strategi perusahaan, memberikan kontribusi kepada manajemen resiko dan memelihara hubungan yang dapat memberikan keuntungan jangka panjang bagi
perusahaan. CSR memberikan kontribusi bagi perusahaan dalam menciptakan laba. Penelitian mengenai CSR juga dilakukan oleh Sayekti dan Wondabio (2007). Penelitian ini menggunakan CAR sebagai variabel terikat sedangkan unexpected return dan tingkat pengungkapan CSR sebagai variabel
bebas.
Penelitian
ini
mencoba
membuktikan
pengaruh
pengungkapan CSR terhadap Earning Respones Coefficient. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa laporan tahunan perusahaan yang berakhir pada 31 Desember 2005 dari perusahaan yang terdaftar di BEJ. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa tingkat pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan berpengaruh negatif terhadap ERC. Hal ini mengindikasikan bahwa investor mengapresiasi informasi CSR yang diterbitkan oleh perusahaan.
2.2
Rerangka Pemikiran Rerangka berpikir adalah model berpikir konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah didefinisikan sebagai hal penting. Dalam penelitian ini rerangka berfikir akan digambarkan sebagai berikut:
Perusahaan Manufaktur Laporan Keuangan Tahunan
Ukuran Perusahaan (size)
Corporate Social Responsibility (CSR)
Kinerja Keuangan (Profitabilitas)
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
2.3
Perumusan Hipotesis Menurut teori agensi, bahwa keputusan mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan akan diikuti oleh suatu penurunan pendapatan bersih yang diakibatkan oleh biaya-biaya aktivitas sosial. Pembiayaan untuk kinerja sosial perusahaan diasumsikan sama dengan sumber daya perusahaan sehingga pengungkapan informasi tanggung jawab sosial berkorelasi positif dengan kauangan suatu perusahaan (Sembiring, 2005). Ukuran
perusahaan
berkorelasi
positif
dengan
profitabilitas
perusahaan. Hal ini berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Herawati (2010) yang menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki jumlah aset yang besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan di mana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba. Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan teori yang telah dikemukakan, serta rerangka pemikiran yang telah digambarkan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1 : Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) berpengaruh positif terhadap profitabilitas. H2 : Ukuran perusahaan (size) berpengaruh positif terhadap profitabilitas.