BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1
Kinerja Perusahaan
1. Definisi Kinerja Perusahaan Kinerja adalah suatu usaha formal yang dilaksanakan perusahaan untuk mengevaluasi efisien dan efektivitas dari aktivitas perusahaan yang telah dilaksanakan pada periode waktu tertentu (Hanafi dan Halim, 2005: 69). Fidhayatin dan Dewi (2012: 205) menjelaskan bahwa kinerja perusahaan merupakan pengukuran atas prestasi perusahaan yang timbul akibat proses pengambilan keputusan manajemen, karena memiliki hubungan efektivitas pemanfaatan modal, efisiensi dan rentabilitas dari kegiatan kinerja. Dari pendapat di atas, kinerja perusahaan merupakan hasil yang telah dicapai perusahaan yang diukur selama waktu tertentu sesuai dengan proses yang ditempuh oleh manajemen perusahaan atas pengambilan keputusannya. Kinerja diukur untuk menilai efektivitas strategi perusahaan dengan membandingkan kinerja perusahaan tahun-tahun sebelumnya. Dimana hasil kinerja tersebut disajikan dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. Kinerja perusahaan memberikan suatu gambaran mengenai informasi keuangan perusahaan sehingga dapat diketahui baik buruknya keadaan finansial perusahaan yang mencerminkan prestasi atas kinerja perusahaan.
7
8
2. Tujuan Pengukuran Kinerja Perusahaan Munawir (2000: 31) menyebutkan beberapa tujuan penilaian kinerja perusahaan adalah sebagai berikut: a.
Untuk mengetahui tingkat likuiditas, yaitu kemampuan perusahaan untuk memperoleh kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi keuangannya pada saat ditagih.
b.
Untuk mengetahui tingkat solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya apabila perusahaan tersebut dilikuidasi baik kewajiban keuangan jangka pendek maupun jangka panjang.
c.
Untuk mengetahui tingkat rentabilitas atau profitabilitas, yaitu menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu.
d.
Untuk mengetahui tingkat stabilitas usaha, yaitu kemampuan perusahaan untuk
melakukan
usahanya
dengan
stabil,
yang
diukur
dengan
mempertimbangkan kemampuan perusahaan untuk membayar beban bunga atas hutang-hutangnya termasuk membayar kembali pokok hutangnya tepat pada waktunya serta kemampuan membayar deviden secara teratur kepada para pemegang saham tanpa mengalami hambatan atau krisis keuangan. Pengukuran kinerja perusahaan merupakan suatu usaha yang bertujuan untuk mengukur pencapaian dari pelaksanaan kegiatan perusahaan yang masing-masing dapat dilihat dari segi likuiditas, solvabilitas, profitabilitas, maupun stabilitas usahanya.
Berdasarkan
kinerja
perusahaan
sebelumnya,
kinerja
dapat
dibandingkan guna meningkatkan kualitas perusahaan di masa yang akan datang.
9
3. Metode Pengukuran Kinerja Perusahaan Ada beberapa metode untuk mengukur kinerja perusahaan. Salah satunya adalah analisis rasio keuangan perusahaan. Murhadi (2013:56) membagi analisis rasio dalam lima kelompok besar, yaitu: a. Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio) Rasio likuiditas adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi liabilitas jangka pendeknya. Dalam kelompok ini terdapat tiga rasio yang biasa digunakan yaitu: 1) Current Ratio Rasio lancar (current ratio-CR) adalah rasio yang biasa digunakan untuk megukur kemampuan perusahaan memenuhi liabilitas jangka pendek (short run solvency) yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun. 2) Quick Ratio (Acid Test Ratio) Rasio cepat (quick ratio-QR) ini lebih ketat dalam mencerminkan kemampuan perusahaan memenuhi liabilitas lancar. Hal ini dikarenakan unsur aset lancar yang kurang likuid seperti persediaan dan prepayment dikeluarkan dari perhitungan. 3) Cash Ratio Pendekatan lain untuk mengukur kemampuan perusahaan memenuhi liabilitas jangka pendek adalah dengan melihat rasio kas dan setara kas dalam hal ini marketable securities yang dimiliki perusahaan.
10
b. Rasio Pengelolaan Aset (Asset Management Ratio) Rasio pengelolaan aset adalah rasio yang menggambarkan efektivitas perusahaan dalam mengelola aset dalam hal ini mengubah aset nonkas menjadi aset kas. Beberapa rasio yang masuk kategori ini adalah: 1) Receivables Turnover Ratio (RTR) Rasio perputaran piutang menunjukkan perputaran piutang dalam satu periode.
Rata-rata
piutang
(average
receivable)
dihitung
dengan
cara
menjumlahkan data piutang akhir tahun dengan awal tahun, kemudian dibagi dua. 2) Average Collection Period (ACP) atau Days of Sales Outstanding (DSO) Periode pengumpulan piutang mengindikasikan rata-rata lamanya piutang perusahaan yang diberikan kepada konsumennya. Makin panjang DSO, mengindikasikan rendahnya kemampuan perusahaan dalam mengumpulkan piutang atau kebijakan kredit perusahaan relative longgar. Dengan makin besarnya DSO, maka makin besar pula risiko kemungkinan tidak tertagihnya piutang. 3) Inventory Turnover Ratio (ITR) Rasio perputaran persediaan (inventory turnover ratio) mengindikasikan efisien perusahaan dalam memproses dan mengelola persediaannya. Rasio ini menunjukkan berapa kali persediaan barang dagangan diganti/diputar dalam satu periode. Rata-rata persediaan (average of inventory) diperoleh dengan cara menjumlahkan data piutang akhir tahun dengan piutang awal tahun, kemudian dibagi dua.
11
4) Days of Inventory (DOI) Umur persediaan (Days of Inventory) menunjukkan berapa lama persediaan tersebut tersimpan dalam perusahaan. DOI diukur dengan membagi hari dalam setahun terhadap rasio perputaran persediaan. 5) Payable Turnover (PT) Payable Turnover mengukur penggunaan utang oleh perusahaan. Rata-rata utang dagang (average trade payables) diperoleh dengan cara menjumlahkan data utang akhir tahun dengan utang awal tahun, kemudian dibagi dua. 6) Average Payment Period (APP) atau Payables Conversion Period Average payment period menunjukkan rata-rata lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembayaran utang dagang. 7) Total Asset Tornover (TATO) Total
Asset
Turnover
menunjukkan
efektivitas
perusahaan
dalam
menggunakan asetnya umtuk menciptakan pendapatan.
c. Rasio Pengelolaan Utang (Debt Management Ratio) Rasio pengelolaan utang adalah rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam mengelola dan melunasi kewajibannya. Biasanya rasio ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu rasio utang (leverage ratio) yang menggambarkan proporsi utang terhadap aset ataupun ekuitas, dan solvency ratio (debt coverage ratio) yaitu rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pokok maupun bunga. Kategori yang termasuk leverage ratio adalah sebagai berikut:
12
1) Debt Ratio Debt ratio menunjukkan seberapa besar total aset yang dimiliki perusahaan yang didanai oleh seluruh krediturnya. Makin tinggi DR akan menunjukkan makin berisiko perusahaan karena makin besar utang yang digunakan untuk pembelian asetnya. 2) Debt to Equity Ratio (DER) Debt to equity ratio menunjukkan perbandingan antara utang dan ekuitas perusahaan. 3) Long-term Debt to Equity (LTDE) Apabila debt to equity ratio membandingkan antara seluruh utang terhadap ekuitas, maka LTDE menunjukkan perbandingan antara utang jangka panjang terhadap ekuitas. Sedangkan yang termasuk solvency ratio adalah sebagai berikut: 1) Times Interest-Earned Ratio (TIER) / Interest Coverage Ratio Times interest earned ratio adalah rasio yang menggambarkan kemampuan hasil operasional perusahaan untuk menutupi kewajiban bunga. Makin rendah rasio TIER menunjukkan kemampuan hasil operasional perusahaan untuk menutupi bunga adalah rendah. 2) Debt Service Coverage Ratio (DSCR) Dalam keuangan korporat, Debt Service Coverage Ratio merupakan rasio yang menggambarkan jumlah kas yang tersedia untuk memenuhi kewajiban bunga dan pokok utang termasuk di dalamnya alokasi singking fund (yaitu dana yang disisihkan tiap tahun untuk pembayaran kewajiban obligasi pada saat jatuh
13
tempo). Sedangkan dalam keuangan personal, DSCR mencerminkan rasio yang digunakan oleh petugas pemberi pinjaman dari Bank dalam menentukan kemampuan seseorang untuk membayar utangnya. 3) Solvency Ratio (SR) Solvency Ratio mencerminkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Solvency ratio untuk setiap industri berbeda-beda, tetapi sebagai patokan (rule of thumb) maka SR yang disarankan adalah lebih besar dari 20% untuk dapat dikatakan sehat. Makin rendah SR, maka makin besar probabilitas perusahaan untuk gagal memenuhi kewajibannya. 4) DEBT/EBITDA Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation and Amortization (EBITDA) mencerminkan tingkat hasil operasional riil perusahaan. DEBT/EBITDA sendiri mengukur perbandingan antara besarnya utang terhadap kemampuan perusahaan menghasilkan laba operasi. Makin tinggi DEBT/EBITDA maka makin berisiko perusahaan, dimana kemampuan hasil operasional perusahaan tidak mampu mengkover utangnya.
d. Rasio Profitabilitas (Profitability Ratio) Rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan. Rasio laba umumnya diambil dari laporan keuangan laba rugi.
14
1) Gross Profit Margin (GPM) or Gross Profit Rate Gross profit margin menggambarkan persentase laba kotor yang dihasilkan oleh setiap pendapatan perusahaan. Harapannya, makin tinggi GPM, maka akan makin baik. 2) Operating Margin (OM), Operating Income Margin, Operating profit margin or Return on Sales (ROS) Operating income mencerminkan kemampuan manajemen mengubah aktivitasnya menjadi laba. Operating income sering pula disebut sebagai laba sebelum bunga dan pajak (Earning Before Interest and Taxes – EBIT) dengan catatan bahwa di perusahaan tersebut tidak terdapat pendapatan non-operasional. Harapannya, makin tinggi OM, maka akan makin baik. 3) Profit Margin, Net Margin or Net Profit Margin (NPM) Net
profit
margin
mencerminkan
kemampuan
perusahaan
dalam
mengahsilkan laba neto dari setiap penjualannya. Harapannya, makin tinggi NPM, maka akan makin baik. 4) Return on Equity (ROE) Return on Equity mencerminkan seberapa besar return yang dihasilkan bagi pemegang saham atas setiap rupiah uang yang ditanamkannya. Harapannya, makin tinggi ROE, maka akan makin baik. 5) Return on Assets (ROA) Return on Asset mencerminkan seberapa besar return yang dihasilkan atas setiap rupiah uang yang ditanamkan dalam bentuk aset. Harapannya, makin tinggi ROA, maka akan makin baik.
15
e. Rasio Nilai Pasar (Market Value Ratio) 1) Earnings per share (EPS) Earnings per share adalah pendapatan per lembar saham yang dapat dilihat di laporan laba rugi. EPS mencerminkan pendapatan tiap lembar saham yang akan diperoleh pemegang saham, bila semua pendapatan tersebut dibagikan dalam bentuk dividen. 2) Dividend Payout Ratio (DPR) Dividend payout ratio merupakan rasio yang menggambarkan besarnya proporsi dividen yang dibagikan terhadap pendapatan bersih perusahaan. 3) Price to Earnings Ratio (PER) Price to Earning Ratio menggambarkan perbandingan antara harga pasar dengan pendapatan per lembar saham. PER yang terlalu tinggi, mengindikasikan bahwa harga pasar saham perusahaan tersebut telah mahal. 4) Dividend Yield (DY) Dividend Yield menunjukkan perbandingan antara dividen yang diterima investor terhadap harga pasar saham saat ini. 5) Price to Book Value Ratio (P/B or PBV) Price to book value ratio adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara harga pasar saham dan nilai buku ekuitas sebagaimana yang ada di laporan posisi keuangan.
16
6) Price/sales ratio Price/sales ratio adalah rasio yang menggambarkan nilai kapitalisasi pasar perusahaan terhadap penjualan. Rasio ini bertujuan untuk melihat hubungan antara tingkat penjualan dan harga saham perusahaan. PSR diperoleh dengan cara: 7) Price Earnings ratio to Growth (PEG Ratio) PEG Ratio merupakan rasio harga per pendapatan (PER) dibanding terhadap pertumbuhan
perusahaan.
Tingkat
pertumbuhan
yang
diharapkan
dapat
mempergunakan pendekatan pertumbuhan dari penjualan ataupun pertumbuhan dari EPS. Adapun kriteria untuk melihat apakah harga saham tersebut undervalue atau overvalue dengan berdasarkan pada: PEG < 1, harga saham tersebut undervalue PEG = 1, harga saham sudah pada tingkat yang wajar (Fair Value) PEG > 1, harga saham mengalami overvalue
2.1.2 Kinerja Keuangan yang Mempengaruhi Luas Ungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan 1. Return on Asset Return on Asset merupakan rasio dari profitabilitas. Darminto dan Juliaty (2008: 91) mengungkapkan bahwa Return on Total Assets mengukur kemampuan untuk memperoleh laba. Rasio ini mengukur tingkat kembalian investasi yang telah dilakukan oleh perusahaaan dengan menggunakan seluruh dana (aktiva) yang dimilikinya.
17
Hubungan antara kinerja keuangan suatu perusahaan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial menurut Belkaoui dan Karpik (1989) dalam Sembiring (2003) paling baik diekspresikan dengan pandangan bahwa tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kemampuan yang diminta untuk membuat suatu perusahaan memperoleh laba. Dapat diartikan bahwa tingkat profitabilitas itu sendiri berpengaruh terhadap luas ungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Dari penelitian yang dilakukan Utama dan Kurniawati (2012) dihasilkan bahwa profitabilitas yang diukur dengan return on asset secara parsial tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan CSR.
2. Return on Equity Salah satu alasan utama mengapa mengoperasikan perusahaan adalah untuk menghasilkan laba yang akan bermanfaat bagi para pemegang saham (Darminto dan Juliaty, 2008: 93). Return on equity adalah salah satu rasio dari profitabilitas yang dapat dilihat dari perbandingan laba atas ekuitas yang dimiliki perusahaan. Penelitian
yang
dilakukan
Nurkhin
(2009)
mengungkapkan
bahwa
profitabilitas yang diukur melalui return on equity berpengaruh positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
3. Debt to Equity Ratio Dalam rangka mengukur risiko, fokus perhatian kreditor jangka panjang terutama ditujukan pada prospek laba dan perkiraan arus kas. Meskipun demikian, mereka
tidak
dapat
mengabaikan
pentingnya
tetap
mempertahankan
18
keseimbangan antara proporsi aktiva yang didanai oleh kreditor dan yang didanai oleh perusahaan (Darminto dan Juliaty, 2008: 89). Roberts (1992) dalam Sembiring (2003) membuat suatu analisa berdasar pada hipotesis derajat tinggi ketergantungan pada hutang akan mendorong suatu perusahaan
untuk
menyelesaikan
aktivitas
sosial
dan
positif
tentang
pengungkapan informasi dalam rangka mempertemukan harapan kreditur dalam kaitan dengan peranan sosial. Dapat diartikan bahwa hutang yang tinggi akan mendorong perusahaan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial guna memenuhi keinginan kreditur dalam hal kegiatan sosial dan lingkungan. Namun hasil penelitian Sembiring (2003) menyebutkan bahwa tingkat leverage yang diukur melalui debt to equity ratio tidak mempengaruhi tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
2.1.3
Teori Stakeholder
Hadi (2011: 93) menyebutkan bahwa stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Stakeholder
merupakan
individu,
sekelompok
manusia,
komunitas
atau
masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan (Yani, 2013: 10). Jones (1995) dalam Solihin (2011:2) mengklasifikasikan pemangku kepentingan ke dalam dua kategori, yaitu:
19
a. Inside stakeholders, terdiri atas orang-orang yang memiliki kepentingan dan tuntutan terhadap sumber daya perusahaan serta berada di dalam organisasi perusahaan. Yang termasuk ke dalam kategori inside stakeholders adalah pemegang saham (stockholders), para manajer (managers), dan karyawan (employees). b. Outside
stakeholders,
terdiri
atas
orang-orang
maupun
pihak-pihak
(constituencies) yang bukan pemilik perusahaan, bukan pemimpin perusahaan, dan bukan pula karyawan perusahaan, namun memiliki kepentingan perusahaan dan dipengaruhi oleh keputusan serta yang dilakukan oleh perusahaan. Yang termasuk ke dalam kategori outside stakeholders adalah pelanggan (customers), pemasok (suppliers), pemerintah (government), masyarakat lokal (local communities), dan masyarakat secara umum (general public). Tanggung jawab perusahaan yang semula hanya diukur sebatas pada indikator ekonomi (economic focused) dalam laporan keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial (social dimentions) terhadap stakeholder, baik internal maupun eksternal (Hadi, 2011: 93). Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan memberikan peranan penting bagi perusahaan dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial yang ada, karena perusahaan berada di dalam masyarakat. Melalui pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial, perusahaan diharapkan mampu menjaga hubungan yang baik dengan para stakeholdernya.
20
Esensi teori stakeholder tersebut di atas jika ditarik interkoneksi dengan teori legitimasi yang mengisyaratkan bahwa perusahaan hendaknya mengurangi expectation gap dengan masyarakat (publik) sekitar guna meningkatkan legitimasi (pengakuan) masyarakat, ternyata terdapat benang merah. Untuk itu, perusahaan hendaknya menjaga reputasinya yaitu dengan menggeser pola orientasi (tujuan) yang semula-mula diukur dengan economic measurement yang cenderung shareholder orientation, ke arah memperhitungkan faktor sosial (social factors) sebagai
wujud
kepedulian
dan
keberpihakan
terhadap
masalah
sosial
kemasyarakatan (stakeholder orientation) (Hadi, 2011).
2.1.4
Teori Legitimasi
Ghozali dan Chairiri (2007) dalam Yani (2013) menyatakan bahwa hal yang mendasari teori legitimacy adalah “kontrak sosial” yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat dimana perusahaan beroperasi dan menggunakan sumber ekonomi. Legitimasi merupakan keadaan psikologis keberpihakan orang dan kelompok orang yang sangat peka terhadap gejala lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik (Hadi, 2011: 87). Gray et al. (1996) dalam Dewi (2013) berpendapat bahwa legitimasi merupakan sistem pengelolahan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah, individu, dan kelompok masyarakat. Untuk itu sebagai suatu sistem yang mengedepankan keberpihakan kepada masyarakat (society), operasi perusahaan harus kongruen dengan harapan masyarakat.
21
Deegan et al. (2002) seperti dikutip Hadi (2011: 89) menyatakan legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan tidak mengganggu atau sesuai (congruent) dengan eksistensi sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi pergeseran yang menuju ketidaksesuaian, maka pada saat itu legitimasi perusahaan dapat terancam. Perusahaan hendaknya berusaha memonitor nilai-nilai perusahaan dengan nilai-nilai masyarakat, agar kesesuaian tetap terjalin. Melalui pengungkapan tanggung
jawab
sosial,
perusahaan
diharapkan
mampu
memperhatikan
masyarakat dan lingkungan, guna menjaga kepentingan dan harapan masingmasing, baik dari perusahaan maupun masyarakat dan lingkungan. Peran penting legitimasi stakeholder, dalam teori marketing baru didudukkan pada posisi distress strategy. Hal itu karena sejalan dengan perkembangan pola pikir dan kesadaran masyarakat, memiliki kepentingan untuk terlindungi kehidupan dan kepentingan terhadap alam. Untuk itu, satu keniscayaan perusahaan mendudukkan tanggung jawab sosial sebagai bagian dalam mengontruksi strategi operasi (Kasali, 2007 dalam Hadi, 2011).
2.1.5
Teori Keagenan
Jensen dan Mekling (1976) dalam Yani (2013: 13) menyatakan hubungan keagenan adalah suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan mendelegasikan sebagian kewenangan pengambilan keputusan kepada agen.
22
Teori keagenan tidak dapat dilepaskan dari kedua belah pihak di atas, baik prinsipal maupun agen merupakan pelaku utama dan keduanya memiliki posisi dan peran masing-masing. Prinsipal sebagai pemilik modal memiliki akses pada informasi perusahaan, dan agen sebagai pelaku dalam operasional perusahaan memiliki informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara menyeluruh. Teori agensi mengasumsikan bahwa setiap individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri sehingga seringkali terdapat kemungkinan konflik dalam hubungan prinsipal dan agen, dimana konflik tersebut timbul sebagai akibat kepentingan yang saling bertentangan (conflict of interest) (Yani, 2013). Pertentangan yang demikian dapat menimbulkan permasalahan, sehingga pihak agen cenderung membatasi informasi mengenai informasi keuangan. Oleh sebab itu, kontrak yang baik antara pihak prinsipal (pemegang saham) dan pihak agen (manajer) adalah kontrak yang mampu menjelaskan spesifikasispesifikasi apa sajakah yang harus dilakukan manajer dalam mengelola dana para pemegang saham, dan spesifikasi tentang pembagian return antara manajer dengan pemegang saham sehingga dapat diminimalisasi masalah keagenan dengan adanya pengungkapan informasi yang dilakukan oleh agen (Yintayani, 2011) dalam (Dewi, 2013).
2.1.6 1.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility)
merupakan satu bentuk tindakan yang berangkat dari pertimbangan etis
23
perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi, yang dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup bagi karyawan berikut keluarganya, serta sekaligus peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas (Hadi, 2011: 48). Menurut Darwin (2004) dalam Suaryana dan Astyari (2012: 28), pertanggungjawaban sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasi dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum. Harmoni dan Andriyani (2008) dalam Maygarindra dan Maghfiroh (2012) menambahkan, CSR mengandung makna bahwa, seperti halnya individu, perusahaan memiliki tugas moral untuk berlaku jujur, mematuhi hukum, menjunjung integritas, dan tidak korup. CSR menekankan bahwa perusahaan harus mengembangkan praktik bisnis yang etis dan berkesinambungan (sustainable) secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dengan melihat beberapa definisi tanggung jawab sosial yang ada, tanggung jawab sosial perusahaan merupakan kegiatan perusahaan yang dilakukan secara sukarela sebagai bentuk apresiasi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam proses kegiatan usaha perusahaan.
2.
Manfaat Tanggung Jawab Sosial Banyak manfaat yang dapat diperoleh atas aktivitas CSR antara lain:
meningkatkan penjualan dan market share, memperkuat brand positioning,
24
meningkatkan citra perusahaan, menurunkan biaya operasi, dan meningkatkan daya tarik perusahaan di mata para investor dan analis keuangan (Cheng dan Christiawan, 2011: 25). Dengan adanya tanggung jawab sosial sebenarnya perusahaan diuntungkan karena dapat menciptakan lingkungan sosial yang baik serta dapat menumbuhkan citra positif perusahaan, tentu hal ini dapat meningkatkan iklim bisnis bagi perusahaan (Mangoting, 2007: 35). Ambadar (2008) dalam Agustin (2012: 22) menjelaskan beberapa motivasi dan manfaat yang diharapkan perusahaan dengan melakukan tanggung jawab sosial perusahaan meliputi: a. Perusahaan terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan akibat dari pelaku buruk perusahaan. b. Kerangka kerja etis yang kokoh dapat membantu para manajer dan karyawan menghadapi masalah seperti permintaan lapangan kerja di lingkungan dimana perusahaan berada. c. Perusahaan mendapat rasa hormat dari kelompok inti masyarakat yang membutuhkan keberadaan perusahaan khususnya dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan. d. Perilaku etis perusahaan aman dari gangguan lingkungan sekitar sehingga dapat beroperasi secara lancar. Dengan kata lain, melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan akan mendapatkan citra yang baik karena telah melakukan kegiatankegiatan yang bermanfaat dan dibutuhkan bagi masyarakat sekitar maupun
25
lingkungan. Perusahaan tidak hanya mementingkan kepentingan perusahaan saja, namun masih mengingat kepentingan masyarakat dan lingkungannya.
3.
Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Menurut Gray et al. (1987) seperti dikutip Sembiring (2005), tumbuhnya
kesadaran publik akan peran perusahaan di tengah masyarakat melahirkan kritik karena menciptakan masalah sosial, polusi, sumber daya, limbah, mutu produk, tingkat safety produk, serta hak dan status tenaga kerja. Kartadjumena et al. (2011) menyatakan bahwa pengungkapan kinerja corporate social responsibility (CSR) melalui pelaporan berkelanjutan kini menjadi penting dan terutama ketika membuat keputusan investasi jangka panjang. Dengan melalui pelaporan kinerja corporate social responsibility (CSR) tersebut akan mencerminkan apakah perusahaan telah melaksanakan best practice, norma-norma usaha yang sehat, inisiatif, konsensus dan komitmen usaha yang telah sesuai atau tidak dengan peraturan per-undang-undangan berlaku. Pengungkapan ini dituangkan dalam laporan tanggung jawab sosial perusahaan yang biasanya tidak terpisah dari laporan tahunan (annual report) perusahaan. Dalam laporan tersebut berisikan kegiatan atau program sosial dan lingkungan yang telah dilaksanakan perusahaan selama satu tahun. Perusahaan diharapkan menyampaikan informasi yang sesuai dengan kegiatan atau program yang dilaksanakan agar dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholdernya. Standar pelaporan Corporate Social Responsibility (CSR) harus perlu diperhatikan dengan benar oleh dunia usaha. Karena dalam Undang-Undang tidak
26
diatur pedoman penyusunan laporannya, meskipun standar pelaporan merupakan hal yang sangat penting dan berguna sehingga berfungsi sekali untuk tahap persiapan, pemantauan, evaluasi hasil kinerja dari CSR hingga untuk penyempurnaan pada laporan berikutnya (Maygarindra dan Maghfiroh, 2012: 174)
2.2 Rerangka Pemikiran Penulis berpikir bahwa perusahaan yang go public pasti mengeluarkan laporan keuangan setiap tahun. Laporan keuangan merupakan informasi yang digunakan sebagai data untuk mengukur kinerja perusahaan melalui beberapa rasio keuangan. Dalam penelitian ini, penulis berasumsi bahwa kinerja keuangan yang diukur melalui Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE), dan Debt to Equity Ratio (DER) akan berpengaruh pada luas ungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang diukur melaui Corporate Social Responsibility Disclosure Index (CSRI). Penulis beranggapan bahwa semakin besar kinerja perusahaan, maka perusahaan semakin banyak mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan. Berikut ini adalah model rerangka pemikiran yang menggambarkan hubungan variabel-variabel di atas:
27
ROA Luas ungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSRI)
ROE
DER
Gambar 1 Model Rerangka Pemikiran
2.3 Perumusan Hipotesis Hipotesis yang diujikan dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, serta landasan teori, adalah sebagai berikut: H1 : ROA berpengaruh positif terhadap luas ungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. H2 : ROE berpengaruh positif terhadap luas ungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. H3 : DER berpengaruh positif terhadap luas ungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.