BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1 Profesi Akuntan Publik Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
17/PMK.01/2008
pasal
1
mendefinisikan Akuntan Publik adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari Menteri untuk memberikan jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. Untuk mendapatkan ijin sebagai seorang akuntan publik maka akuntan tersebut harus memenuhi segala persyaratan yang telah dicantumkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 pasal 5 yaitu Akuntan mengajukan permohonan tertulis kepada Sekretaris Jenderal u.p. Kepala Pusat dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Memiliki nomor Register Negara untuk Akuntan; b. Memiliki Sertifikat Tanda Lulus Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP) yang diselenggarakan oleh IAPI; c. Dalam hal tanggal kelulusan USAP sebagaimana dimaksud pada huruf b telah melewati masa 2 (dua) tahun, maka wajib menyerahkan bukti telah mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) paling sedikit 60 (enam puluh) Satuan Kredit PPL (SKP) dalam 2 (dua) tahun terakhir; d. Berpengalaman praktik di bidang audit umum atas laporan keuangan paling sedikit 1000 (seribu) jam dalam 5 (lima) tahun terakhir dan paling sedikit 500 (lima ratus) jam diantaranya memimpin dan/atau mensupervisi
perikatan audit umum, yang disahkan oleh Pemimpin/Pemimpin Rekan KAP; e. Berdomisili di wilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); g. Tidak pernah dikenakan sanksi pencabutan izin Akuntan Publik; dan h. Membuat Surat Permohonan, melengkapi formulir Permohonan Izin Akuntan Publik, membuat surat pernyataan tidak merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, dan membuat surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan bahwa data persyaratan yang disampaikan adalah benar dengan menggunakan Lampiran I sebagaimana terlampir dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. Wadah dari profesi akuntan publik yang diakui oleh pemerintah adalah Institusi Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Profesi akuntan publik lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan seorang auditor. Menurut Boynton et al., (2003:6) menjelaskan terdapat tiga jenis audit yang pada umumnya menunjukkan karakteristik kunci yang tercakup dalam definisi auditing. Jenis-jenis audit tersebut antara lain ; 1.
Audit Laporan Keuangan (financial statement audit)
Berkaitan dengan kegiatan memeroleh dan mengevaluasi bukti tentang laporan-laporan entitas dengan maksud agar dapat memberikan pendapat apakah laporan-laporan tersebut telah disajikan secara wajar dan sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan, yaitu prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP). 2.
Audit Kepatuham (compliance audit)
Berkaitan dengan kegiatan memeroleh dan memeriksa bukti-bukti untuk menetapkan apakah kegiatan keuangan atau operasi suatu entitas telah sesuai dengan persyaratan, ketentuan atau peraturan tertentu. 3.
Audit Operasional (operational audit)
Berkaitan dengan kegiatan memeroleh dan mengevaluasi bukti-bukti tentang efisiensi dan efektivitas kegiatan operasi entitas dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan tertentu. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 pasal 2, menjelaskan bahwa jasa yang diberikan oleh akuntan publik antara lain: (1) Jasa atestasi, yang meliputi: a. jasa audit umum atas laporan keuangan; b. jasa pemeriksaan atas laporan keuangan prospektif; c. jasa pemeriksaan atas pelaporan informasi keuangan proforma; d. jasa reviu atas laporan keuangan; dan e. jasa atestasi lainnya sebagaimana tercantum dalam SPAP (2) Selain jasa atestasi, Akuntan Publik dan KAP dapat memberikan jasa audit lainnya dan jasa yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan, manajemen, kompilasi, perpajakan, dan konsultansi sesuai dengan kompetensi Akuntan Publik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Taylor (1985:4) mengelompokkan auditor menjadi tiga kelompok antara lain: 1.
Auditor eksternal (Auditor Independen atau Akuntan Publik) Disebut auditor eksternal dikarenakan auditor tersebut tidak bekerja dalam perusahaan yang mereka audit. Auditor eksternal dapat mengaudit laporan keuangan perusahaan publik maupun swasta, kemitraan, perseorangan dan berbagai jenis entitas lain. Praktik sebagai akuntan publik harus dilakukan melalui suatu kantor akuntan publik (KAP) yang telah mendapat ijin dari Departemen Keuangan. Dan untuk mendapatkan ijin dari departemen keuangan seorang auditor tersebut harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
2.
Auditor Internal Disebut auditor internal dikarenakan auditor tersebut dipekerjakan oleh perusahaan untuk mengaudit manajemen perusahaan tersebut. tanggung jawab auditor internal pada berbagai perusahaan sangat beraneka ragam tergantung pada kebutuhan perusahaan yang berangkutan. Untuk melaksanakan tugas audit dengan efektif, seorang auditor internal harus independen terhadap fungsi-fungsi lini dalam organisasi tempat ia bekerja, tetapi untuk menjadi independen seorang auditor sangat sulit untuk melakukannya. Hal ini disebabkan auditor tersebut merupakan pegawai dari perusahaan yang akan diaudit.
3.
Auditor Pemerintahan Disebut auditor pemerintahan dikarenakan auditor tersebut dipekerjakan oleh berbagai kantor pemerintah tingkat federal, negara bagian, dan lokal. Di Indonesia audit dilakukan oleh Badan pemerika Keuangan (BPK) yang
dibentuk sebagai implementasi dari Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “ untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksaan Keuangan yang pengaturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. 2.1.2 Kantor Akuntan Publik Menurut UU No 5 Tahun 2011 Pasal 1 ayat 5, menyatakan bahwa Kantor Akuntan Publik adalah badan usaha yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapatkan izin usaha berdasarkan UndangUndang ini. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008
mendefinisikan
Kantor Akuntan Publik yang selanjutnya disebut KAP, adalah badan usaha yang telah mendapatkan izin dari Menteri sebagai wadah bagi Akuntan Publik dalam memberikan jasanya. Bentuk badan usaha Kantor Akuntan Publik digolongkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 menjadi dua antara lain: a. Perseorangan; atau KAP yang berbentuk badan usaha perseorangan hanya dapat didirikan dan dijalankan oleh seorang Akuntan Publik yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin. b. Persekutuan. KAP yang berbentuk badan usaha persekutuan hanya dapat didirikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang Akuntan Publik, dimana masingmasing sekutu
merupakan rekan dan salah seorang sekutu bertindak sebagai Pemimpin Rekan. Perizinan operasional KAP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 dalam pasal 18, menjelaskan bahwa untuk mendapatkan izin usaha KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat(1) yang berbentuk badan usaha perseorangan, Pemimpin KAP mengajukan permohonan tertulis kepada Sekretaris Jenderal u.p. Kepala Pusat dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin Akuntan Publik; b. menjadi anggota IAPI; c. mempunyai paling sedikit 3 (tiga) orang auditor tetap dengan tingkat pendidikan formal bidang akuntansi yang paling rendah berijazah setara Diploma III dan paling sedikit 1 (satu) orang diantaranya memiliki register negara untuk akuntan; d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); e. memiliki rancangan Sistem Pengendalian Mutu (SPM) KAP yang memenuhi Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan paling kurang mencakup aspek kebijakan atas seluruh unsur pengendalian mutu; f. domisili Pemimpin KAP sama dengan domisili KAP; g. memiliki bukti kepemilikan atau sewa kantor, dan denah kantor yang menunjukkan kantor terisolasi dari kegiatan lain; dan h. membuat Surat Permohonan, melengkapi formulir Permohonan Izin Usaha Kantor Akuntan Publik, dan membuat surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan bahwa data persyaratan yang disampaikan adalah benar
dengan menggunakan Lampiran VI sebagaimana terlampir dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. Selain itu, untuk mendapatkan izin usaha KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat(1) yang berbentuk badan usaha persekutuan, Pemimpin Rekan KAP mengajukan permohonan tertulis kepada Sekretaris Jenderal u.p. Kepala Pusat dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) KAP; c. memiliki perjanjian kerja sama yang disahkan oleh notaris bagi d. KAP yang berbentuk badan usaha persekutuan yang paling sedikit memuat: 1) pihak-pihak yang melakukan persekutuan; 2) alamat para sekutu; 3) bentuk badan usaha persekutuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3); 4) nama dan domisili KAP; 5) hak dan kewajiban para pihak/sekutu; 6) sekutu yang berhak mengadakan perikatan, untuk dan atas nama KAP, dengan pihak ketiga berkaitan dengan jasa yang diberikan; dan 7) penyelesaian sengketa dalam hal terjadi perselisihan. e. memiliki surat izin Akuntan Publik bagi Pemimpin Rekan dan Rekan yang Akuntan Publik; f. memiliki tanda keanggotaan IAPI yang masih berlaku bagi Pemimpin Rekan dan Rekan yang Akuntan Publik;
g. memiliki surat persetujuan dari seluruh Rekan KAP mengenai penunjukan salah satu Rekan menjadi Pemimpin Rekan; dan h. memiliki bukti domisili Pemimpin Rekan dan Rekan KAP. 2.1.3 Definisi Audit The American Acounting Association Committee on Basic Auditing Concept mendefinisikan
Auditing
merupkan
proses
sistematik
pencariaan
dan
pengevaluasian secara obyektif bukti mengenai asersi tentang peristiwa dan tindakan ekonomik untuk meyakinkan kadar kesesuiaan antara asersi tersebut dengan kriteria yang ditetapkan, dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Menurut Arens, Elder, dan Beasley (dalam Auditing dan Pelayanan Verifikasi, 2003:15) menyatakan bahwa audit adalah pengumpulan serta pengevaluasian bukti-bukti atas informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian informasi tersebut dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilaksanakan oleh seorang yang kompeten dan independen. Pengertian auditing menurut Konraht yang dikutip oleh Sukrisno Agus dalam bukunya “Auditing” (2004:1), bahwa: “Auditing adalah suatu proses sistematis untuk secara lebih objektif mendapatkan dan mengevaluasi bukti mengenai asersi tentang kegiatan-kegiatan dan kejadiankejadian ekonomi untuk meyakinkan tingkat keterkaitan antara asersi tersebut dan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihakpihak yang berkepentingan.”
Menurut Amir Abadi Jusuf, dalam bukunya ”Auditing Pendekatan Terpadu” (2004:2) menyatakan bahwa: “Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten.” 2.1.4 Skeptisme Profesional International Standard On Auditing 200 Tahun 2009 mendefinisikan Skeptisme professional yaitu Professional skepticism is An attitude that includes a questioning mind, being alert to conditions which may indicate possible misstatement due to error or fraud, and a critical assessment of audit evidence. Artinya Profesional skeptisisme merupakan sebuah sikap yang mencakup pemikiran untuk mempertanyakan, bersikap waspada dengan kondisi yang mungkin menunjukkan salah saji karena kesalahan atau kecurangan, dan penilaian kritis terhadap bukti audit. Menurut Standar Audit dalam (Standar Profesional Akuntan Publik 2011 Seksi 230) menjelaskan mengenai skeptisme sebagai berikut: a. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisme profesional. Skeptisme profesional adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit. Auditor menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh profesi akuntan publik untuk melaksanakan dengan cermat dan seksama, dengan
maksud baik dan integritas, pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif. b. Pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif menuntut auditor mempertimbangkan kompetensi dan kecukupan bukti tersebut. Oleh karena bukti dikumpulkan dan dinilai selama proses audit, skeptisme profesional harus digunakan selama proses tersebut. c. Auditor tidak menganggap bahwa manajemen adalah tidak jujur, namun juga tidak menganggap bahwa kejujuran manajemen tidak dipertanyakan lagi. Dalam menggunakan skeptisme profesional, auditor tidak harus puas dengan bukti yang kurang persuasif karena keyakinannya bahwa manajemen adalah jujur. Menurut kamus besar bahasa Indonesia skeptis yaitu kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb). Sedangkan skeptis-isme adalah aliran (paham) yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan). Jadi secara umum skeptis-isme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya. Shaub dan Lawrence (1996) mengartikan skeptisisme profesional auditor sebagai berikut “professional scepticism is a choice to fulfill the professional auditor’s duty to prevent or reduce or harmful consequences of another person’s behavior...”. artinya skeptisme professional auditor adanya suatu sikap yang kritis terhadap bukti audit dalam bentuk keraguan, pertanyaan, atau ketidak setujuan dengan pertanyaan klien atau kesimpulan yang dapat diterima umum. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa skeptisme professional merupakan sikap seorang auditor atau akuntan publik yang mencerminkan sikap
keprofesionalan auditor dengan cara mempertanyakan bukti-bukti audit dan tidak mudah memberi kepercayaan terhadap keterangan-keterangan yang diberikan oleh klien sebagai dasar dalam pemberian opini audit.
2.1.5 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Skeptisme Profesional Auditor 2.1.5.1 Kompetensi Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan Kompetesi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Standar Auditi dalam (Standar Profeional Akuntan Publik 2011) menjelaskan Kompetensi dalam Seksi 130 tentang Prinsip Komptensi serta Sikap Kecermatan dan Kehati-hatian professional. Antara lain; a) Memelihara pengetahuan dan keahlian professional yang dibutuhkan untuk menjamin pemberian jasa professional yang kompoten kepada klien atau pemberi kerja; dan b) Menggunkan kemahiran profeionalnya dengan saksama sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku dalam memberikan jasa profesionalnya. Standar Audit seksi 130 menyatakan bahwa dalam pemberian jasa professional yang kompeten membutuhkan pertimbangan yang cermat dalam menerapkan pengetahuan dan keahlian professional. Kompetensi professional dapat dibagi menjadi dua tahap yang terpisah sebagai berikut: a) Pencapaiaan kompeteni professional; dan
b) Pemeliharaan kompetensi professional. Pemeliharaan kompetensi professional membutuhkan kesadaran dan pemehaman yang berkelanjutan terhadap perkembangan teknis profesi dan perkembangan bisnis yang relevan. Pengembangan dan pendidikan professional yang berkelanjutan sangat diperlukan untuk meningkatkan dan memelihara kemampuan praktisi agar dapat melakukan pekerjaan secara kompeten dalam lingkungan professional. Berdasarkan Suraida (2005) kompetensi didefiniikan sebagai keahlian professional yang dimiliki oleh auditor sebagai hasil pendidikan formal, ujian professional maupun keikutsertaan dalam pelatihan, seminar, symposium dan lain-lain seperti: (1) untuk luar negeri (AS) ujian CPA (Certified Public Accountant) dan untuk dalam negeri (Indonesia) USAP (Ujian Sertifikasi Akuntan Publik); (2) PPL (Pendidikan Profesi Berkelanjutan); pelatihan-pelatihan intern dan ekstren; (4) keikutsertaan dalam seminar, symposium dan lain-lain. Makin banyak sertifikat yang dimiliki dan makin sering mengikuti pelatihan atau seminar atau symposium diharapkan auditor yang berangkutan akan semakin cakap dalam melaksanakan tugasnya. 2.1.5.2 Pengalaman Audit Pengalaman audit dapat diartikan sebagai pengalaman sesuatu hal yang pernah dilakukan oleh auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan. Butt (1988)
dalam
Kushasyandita (2012) memperlihatkan dalam
penelitiannya bahwa auditor yang berpengalaman akan membuat judgment yang
relatif lebih baik dalam tugas-tugasnya. Auditor dengan jam terbang lebih banyak pasti sudah lebih berpengalaman bila dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman. Libby dan Frederick (1990) dalam Kushasyandita (2012) menemukan bahwa semakin banyak pengalaman auditor semakin dapat menghasilkan berbagai macam dugaan dalam menjelaskan temuan audit. Menurut Herdiansyah (2008) Akuntan pemeriksa yang berpengalaman juga memperlihatkan perhatian selektif yang lebih tinggi pada informasi yang relevan. Oleh karena itu auditor yang lebih tinggi pengalamannya akan lebih tinggi
skeptisisme
profesionalnya
dibandingkan
dengan
auditor
yang
berpengalaman. Pemerintah Indonesia menetapkan bahwa auditor dapat melakukan praktik audit sebagai akuntan publik setelah memenuhi persyaratan yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuanngan Nomor 17/PMK.01/2008 yaitu untuk mendapat izin seorang auditor harus berpengalaman praktik di bidang audit umum atas laporan keuangan paling sedikit 1000 (seribu) jam dalam 5 (lima) tahun terakhir dan paling sedikit 500 (lima ratus) jam diantaranya memimpin dan/atau mensupervisi perikatan audit umum, yang disahkan oleh Pemimpin/Pemimpin Rekan KAP; Standar Audit dalam (Standar Profesional Akuntan Publik 2011 Seksi 210:2) mempertegas bahwa betapa pun tingginya kemampuan seseorang dalam bidang-bidang lain, termasuk dalam bidang bisnis dan keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang dimaksudkan dalam standar auditing ini, jika ia tidak memiliki pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing.
Selain itu SA 2011 Seksi 210:3 Pelatihan dan Keahlian Auditor Independen dijelaskan yaitu Dalam melaksanakan audit untuk sampai pada suatu pernyataan pendapat, auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan bidang auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan pendidikan formalnya, yang diperluas melalui pengalamanpengalaman selanjutnya dalam praktik audit. Untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional, auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup. Pelatihan ini harus secara memadai mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Asisten junior, yang baru masuk ke dalam karier auditing harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendapatkan supervisi memadai dan review atas pekerjaannya dari atasannya yang lebih berpengalaman. Sifat dan luasnya supervisi dan review terhadap hasil pekerjaan tersebut harus meliputi keanekaragaman praktik yang luas. Auditor independen yang memikul tanggung jawab akhir atas suatu perikatan, harus menggunakan pertimbangan matang dalam setiap tahap pelaksanaan supervisi dan dalam review terhadap hasil pekerjaan dan pertimbangan-pertimbangan yang dibuat asistennya. Pada gilirannya, para asisten tersebut harus juga memenuhi tanggung jawabnya menurut tingkat dan fungsi pekerjaan mereka masing-masing. 2.1.5.3 Risiko Audit SA dalam (Standar Profesional Akuntan Publik Tahun 2011 seksi 312:2) menyatakan bahwa,
adanya risiko audit diakui dengan pernyataan dalam
penjelasan tentang tanggung jawab dan fungsi auditor independen yang berbunyi sebagai berikut: “Karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan memadai, bukan mutlak, bahwa salah saji material
terdeteksi. Risiko audit adalah risiko yang timbul karena auditor tanpa disadari tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Dalam perencanaan audit, Standar Audit dalam (SPAP 2011) menjelaskan bahwa Auditor harus mempertimbangkan risiko audit dan materialitas baik dalam: a)
Merencanakan audit dan merancang prosedur audit, dan
b)
Mengevaluasi apakah laporan keuanngan secara keseluruhan disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia SA 2011 (Seksi 312:27) menyebutkan bahwa Pada tingkat saldo akun atau
golongan transaksi, risiko audit terdiri dari (a) risiko [yang meliputi risiko bawaan (inherent risk) dan risiko pengendalian (control risk)] bahwa saldo akun atau golongan transaksi mengandung salah saji (disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan) yang dapat menjadi material terhadap laporan keuangan apabila digabungkan dengan salah saji pada saldo akun atau golongan transaksi lainnya, dan (b) risiko [risiko deteksi (detection risk)] bahwa auditor tidak akan mendeteksi salah saji tersebut. Pembahasan berikut menjelaskan risiko audit dalam konteks tiga komponen risiko di atas. Cara yang digunakan oleh auditor untuk mempertimbangkan komponen tersebut dan kombinasinya melibatkan pertimbangan profesional auditor dan tergantung pada pendekatan audit yang dilakukannya. a. Risiko Bawaan
Risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat pengendalian yang terkait. Risiko salah saji demikian adalah lebih besar pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain. Sebagai contoh, perhitungan yang rumit lebih mungkin disajikan salah jika dibandingkan dengan perhitungan yang sederhana. Uang tunai lebih mudah dicuri daripada sediaan batu bara. Akun yang terdiri dari jumlah yang berasal dari estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data berupa fakta. Faktor ekstern juga mempengaruhi risiko bawaan. Sebagai contoh, perkembangan teknologi mungkin menyebabkan produk tertentu menjadi usang, sehingga mengakibatkan sediaan cenderung dilaporkan lebih besar. Di samping itu, terhadap faktor-faktor tersebut yang khusus menyangkut saldo akun atau golongan transaksi tertentu, faktor-faktor yang berhubungan dengan beberapa atau seluruh saldo akun atau golongan transaksi mungkin mempengaruhi risiko bawaan yang berhubungan dengan saldo akun atau golongan transaksi tertentu. Faktor yang terakhir ini mencakup, misalnya kekurangan modal kerja untuk melanjutkan usaha atau penurunan aktivitas industri yang ditandai oleh banyaknya kegagalan usaha. b. Risiko Pengendalian Risiko pengendalian adalah risiko bahwa suatu salah saji material yang dapat terjadi dalam suatu asersi tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini merupakan fungsi efektivitas desain dan operasi pengendalian intern untuk mencapai tujuan entitas yang relevan
dengan penyusunan laporan keuangan entitas. Beberapa risiko pengendalian akan selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian intern. c. Risiko Deteksi Risiko deteksi adalah risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko deteksi merupakan fungsi efektivitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut diperiksa 100%. Ketidakpastian lain semacam itu timbul karena auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai, menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan secara keliru hasil audit. Ketidakpastian lain ini dapat dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diabaikan melalui perencanaan dan supervisi memadai dan pelaksanaan praktik audit yang sesuai dengan standar pengendalian mutu. Mengacu pada Suraida (2005) risiko audit ketika seorang auditor menghadapi kondisi irregularities atau fraud yaitu: 1.
Related Party Transaction
PSAK No.7 (2009) menjelaskan bahwa transaksi antara pihak-pihak yang memunyai hubungan istimewa adalah suatu pengalihan sumber daya, jasa atau kewajiban antara entitas pelapor dengan pihak-pihak yang memunyai hubungan istimewa terlepas apakah ada harga yang dibebankan. Hal yang harus dibuktikan oleh auditor adalah memberikan keyakinan bahwa transaksi
yang terjadi dalam laporan keuangan teridentifikasi sebagai related party transaction atau tidak. 2.
Klien melakukan Penyimpangan
Kecurangan yang dilakukan oleh pihak klien atau manajemen merupakan tindak kecurangan yang sulit untuk diungkap, hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan bahwa satu atau beberapa anggota manajemen mengabaikan pengendalian intern dan usaha manajemen untuk menyembunyikan salah saji. 3.
Kualitas komunikasi
Kualiats komunnikasi ini berhubungan dengan sikap kooperatif tidaknya klien untuk memberikan segala informasi yang dibutuhkan oleh auditor demi kelancaran proses audit. 4.
Pertama kali klien diaudit
Tujuan seorang auditor untuk mengetahui apakah klien yang akan diaudit merupakan perusahaan yang belum pernah diaudit sebelumnya oleh kantor akuntan manapun atau perusahaan tersebut sudah pernah melakukan proses audit sebelumnya adalah untuk mengetauhi apakah auditor dapat mengambil informasi dari auditor sebelumnya mengenai kondisi perusahaan tersebut. 5.
Klien bermasalah
Apabila auditor mengetahui bahwa klien mengalami kesulitah hukum atau kesulitan keuangan, perkara hukum sangat mungkin akan melibatkan auditor yang sering dianggap memiliki” deep pocket”. Oleh sebab itu, auditor mungkin akan membiayai keuangan dan biaya lainnya untuk membela diri mereka , meskipun mereka telah berusaha memberikan jasa audit dengan professional. Sehingga dengan kondisi seperti itu maka auditor seharusnya
berusaha mengidentifikai dan menolak calon klien yang memiliki risiko tinggi untuk dituntut (Boynton et al, 2003:275) ISA 200 menjelaskan bahwa Maintaining professional skepticism throughout the audit is necessary if the auditor is, for example, to reduce the risks of: Overlooking unusual circumstances. Over generalizing when drawing conclusions from audit observations. Using inappropriate assumptions in determining the nature, timing and extent of the audit procedures and evaluating the results thereof. Artinya penggunaan skeptisisme profesional selama proses audit diperlukan oleh auditor, misalnya untuk mengurangi risiko: Dihadapkan pada kondisi yang tidak biasa. Menyamaratakan ketika menarik kesimpulan dari pengamatan audit. Menggunakan asumsi yang tidak sesuai dalam menentukan sifat, waktu dan luasnya prosedur audit dan mengevaluasi hasil. 2.1.5.4 Interpersonal trust Interpersonal trust atau dengan kata lain kepercayaan dapat diartikan sebagai keyakinan auditor kepada kliennya untuk melakukan sesuatu dalam caracara yang wajar. Luhman, (1979) dalam Kriswandari (2006) mengungkapkan Tingkat kepercayaan atau rasa saling percaya diyakini berbeda sesuai tugas, situasi dan orangnya. Mattai, (1989) dalam Ningsih (2002) memaparkan karakteristikan kepercayaan (trust) sebagai kekuatan positif yang menimbulkan kerjasama diantara pihak-pihak yang tertib. Kepercayaan berkaitan dengan kemampuan
seseorang untuk menilai dan memberikan respek terhadap hasil pekerjaan orang lain. Kepercayaan berkaitan dengan keyakinan bahwa peraturan organisasi dan perilaku pemimpin bersifat konsisten sehingga membantu karyawan dalam mengahadapi ketidakpastian atau situasi yang berisiko. Kepercayaan yang menggambarkan ekspektasi atas perilaku yang etis, wajar tidak membahayakan, dan memperhatikan hak-hak orang lain. Kopp (2003) dalam Setyowati (2011) menjelaskan bahwa kepercayaan digolongkan menjadi tiga kelas kepercayaan yaitu
(1) calculus based trust,
knowledge based trust, dan identification based trust. Calculus based trust merupakan sebuah bentuk awal kepercayaan, dan kepercayaan diberikan atau dipegang berdasarkan penilaiaan rasional dari keuntungan dan kerugian relative dari masing-masing alternative yang tersedia. Knowledge based trust merupakan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi. Kepercayaan ini dibangun seiring berjalannya waktu dan terutama didasarkan pda sejarah interaksi antar individu yang bersangkutan. Sedangkan identification based trust merupakaan tingkatan tertinggi dari interpersonal trust. Kopp et al(2003) mengembangkan sebuah teori bahwa kepercayaan (trust) dalam hubungan auditor dengan klien akan memengaruhi skeptisme professional. Hal ini diperjelas bahwa ketika tingkat kepercayaan auditor terhadap klien rendah maka skeptisme professional auditor tersebut akan berada pada tingkat tertinggi, sebaliknya jika seorang auditor sangat percaya terhadap klien maka tingkat skeptisme auditor tersebut rendah. 2.1.5.5 Suspension of judgment
Suspension of judgment merupakan suatu tindakan yang dilakukan penangguhan pemeberian opini yang dilakukan oleh auditor dengan alasan penambahan atau pengumpulan seluruh fakta serta bukti-bukti audit. Hal ini didasari oleh prasangka auditor bahwa kesimpulan atau opini yang akan diberikan haruslah memiliki informasi yang relevan sebagai acuan dalam mengevaluasi serta menilai proses audit. Quadackers (2008) dalam Setyowati (2011) menyatakan bahwa suspension of judgment merupakan salah satu karakteristik utama dari skeptisme profesional. Suspension of judgment dianggap memiliki hubungan negatif dengan kebutuhan akan pengungkapan dengan kata lain need for clousure. Dalam setiap penugasan audit, hasil audit atau opini audit atas laporan keuangan klien merupakan hal yang penting. Opini tersebut merupakan kesimpulan yang diberikan oleh auditor terhadap kesesuaiaan laporan keuangan. Sebelum auditor memberikan opininya, prosedur audit yang harus dilakukan adalah mengevaluasi dan menilai bukti-bukti serta informasi yang diperoleh auditor baik secara lisan maupun non lisan. Skeptisme profesional bisa diartikan sebagai sikap kewaspadaan seorang auditor mengenai bukti-bukti dan informasi merupakan informasi yang relevan, akurat dan valid. Oleh sebab itu tidak jarang auditor melakkukan penangguhan dalam menyimpulkan penugasan audit (suspension of judgment), hal ini biasa terjadi dikarenakan auditor belum yakin akan kualitas dan kuantitas bukti yang telah diperoleh. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa suspension of judgment berpengaruh terhdap skeptisme profesional seorang auditor.
2.2 Rerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui serta membuktikan bahwa kompetensi, pengalam audit, risiko audit, interpersonal trust, dan suspension of judgment terhadap skeptisme professional auditor.
Kompetensi Pengalaman audit Risiko audit
Skeptisme Profesional Audit
Interpersonal trust Suspension of judgment Gambar 2.2 Rerangka Pemikiran Kompetensi dibutuhkan oleh seorang auditor untuk mengumpulkan dan menilai bukti secara objektif. Proses pengumpulan bukti, seorang auditor harus selalu memelihara skeptisme profesionalnya untuk semua informasi yang diperoleh, baik informasi lisan maupun tertulis. Hal ini dilakukan untuk memeroleh keyakinan mengenai bukti audit. Kamus
besar
Indonesia
(1990)
menjelaskan
bahwa
pengalaman
merupakan sesuatu yang pernah dialami dalam kehidupan ini. Sehingga dapat disimpulkan pengalaman audit merupakan suatu yang pernah dialami seorang auditor selama melakukan praktik audit pemeriksaan laporan keuangan indikator pengalaman adalah lamanya seorang auditor berkecimpung dalam bidang audit atau dengan kata lain waktu.
Dalam melaksanakan audit, seorang auditor harus mempertimbangkan segala risiko audit dalam mengaudit. Risiko yang dimaksud adalah risiko ketika auditor mengahadapi situasi irregularitie atau fraud. Interpersonal trust merupakan sebuah rasa kepercayaan seorang individu atau kelompok, mengenai perkataan, janji, pernyataan secara verbal dari individu atau kelompok yang lain dapat dipercaya. Interpersonal trust dapat memprediksi keputusan skeptisme yang dimiliki auditor, apabila auditor memiliki interpersonal trust yang rendah maka skeptic yang dimiliki seorang auditor akan semakin tinggi. Suspension of judgment merupakan pernyataan yang rasional ketika seorang auditor menangguhkan keputusan yang dilakukan saat mengambil kesimpulan terkait dengan moral atau etika. Sehingga seorang auditor akan melakukan suspension of judgment saat semua fakta atau bukti tersedia. Sehingga suspension of judgment menjadi salah satu karakteristik dari skeptisme professional. 2.3 Perumusan Hipotesis Pendidikan formal, pelatihan dan kompetensi berpengaruh terhadap skeptisme professional ketika digunakan untuk mengevaluasi bukti. Semakin tinggi tingkat kompetensi auditor maka semakin tinggi pula tingkat skeptisme professional yang dimiliki, hal ini berlaku sebaliknya. H1 : Kompetensi berpengaruh terhadap skeptisme professional auditor Keahlian eorang auditor akan terbentuk seiring dengan pengalaman yang dimiliki oleh auditor tersebut. Semakin sering dan lama auditor melakukan audit maka auditor tersebut secara tidak langsung telah mengalami suatu pembelajaran
di lapangan untuk menangani suatu kekliruan atau kecurangan yang terjadi. Dengan pengalaman yang dimiliki oleh auditor maka akan memengaruhi skeptisme professional auditor. H2 : Pengalaman audit berpengaruh terhadap skeptisme professional Menilai risiko terhadap bukti audit serta kecurigaan atas bukti-bukti yang tersedia dapat ditingkatkan dengan skeptisme professional. H3 : Risiko audit berpengaruh terhadap skeptime professional auditor Skeptisme
profesional
adalah
suatu
pemikiran
yang
selalu
mempertanyakan hal secara kritis, terkait dengan kepercayaan pada diri seorang auditor. Tingkat kepercayaan selalu dikaitkan dengan tingkat kecurigaan, dikarenakan kedua hal ini saling bertolak belakang. H4 : Interpersonal trust berpengaruh terhadap skeptisme professional auditor Dalam keadaan tertentu terdapat risiko salah saji material akibat kecurangan dapat memengaruhi skeptisme professional H5 : Suspension of judgment berpengaruh terhadap skeptisme professional auditor