BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1
Pasar Modal Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pasar modal sama saja dengan
pasar-pasar lain pada umumnya yaitu sesuai dengan namanya adalah tempat berlangsungnya kegiatan jual beli. Hal yang membedakan pasar modal dengan pasar lainnya adalah objek yang diperjualbelikan di tempat tersebut (Handayani, 2008: 16). Tandelilin (2010) mendefinisikan pasar modal sebagai tempat bertemunya pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana dengan cara memperjualbelikan sekuritas seperti saham dan obligasi. UU No.8 Tahun 1995 menyebutkan bahwa pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar modal mengemban dua fungsi yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Dalam melaksanakan fungsi ekonominya, pasar modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan dana dari
lender ke borrower. Dengan
menginvestasikan kelebihan dana yang dimiliki, lenders mengharapkan akan memperoleh keuntungan dari penyerahan dana tersebut. Bagi para borrowers, tersedianya dana dari pihak luar memungkinkan mereka untuk melakukan
investasi tanpa harus menunggu tesedianya dana hasil operasi perusahaan. Pada pasar modal Indonesia diperdagangkan dana jangka panjang yang berbeda dengan perbankan yang juga melaksanakan fungsi ekonomi. Fungsi yang kedua adalah fungsi keuangan yang dilakukan dengan menyediakan dana yang diperlukan oleh para borrowers dan para lenders menyediakan dana tanpa harus terlibat langsung dalam kepemilikan aktiva riil untuk keperluan investasi tersebut (Handayani, 2008: 18). Menurut Handono (2006: 27) mengenai pasar modal, ada beberapa peranan pasar modal yaitu: 1. Pasar modal merupakan wahana pengalokasiaan dana secara efisien. Investor dapat melakukan investasi pada beberapa perusahaan melalui pembelian efekefek yang baru ditawarkan ataupun di perdagangkan di pasar modal. Sebaliknya, perusahaan dapat memperoleh dana yang dibutuhkan dengan menawarkan instrumen keuangan jangka panjang melalui pasar modal tersebut. 2. Pasar modal sebagai alternatif investasi. Pasar modal memudahkan alternatif berinvestasi dengan memberikan keuntungan dengan sejumlah risiko tertentu. 3. Memungkinkan para investor untuk memiliki perusahaan yang sehat dan berprospek baik. Perusahaan yang sehat dan mempunyai prospek yang baik sebaiknya tidak hanya dimiliki oleh sejumlah orang-orang tertentu saja, karena penyebaran kepemilikan secara luas akan mendorong perkembangan usaha menjadi lebih transparan.
4. Pelaksanaan manajemen perusahaan secara profesional dan transparan. Keikutsertaan
masyarakat
dalam kepemilikan perusahaan mendorong
perusahaan untuk menerapkan manajemen secara lebih professional, efisien dan berorientasi pada keuntungan, sehingga tercipta suatu kondisi “good governance” serta keuntungan yang lebih baik bagi para investor. 5. Peningkatan aktivitas ekonomi nasional. Dengan keberadaan pasar modal, perusahaan-perusahaan akan lebih mudah memperoleh dana, sehingga akan mendorong perekonomian nasional menjadi lebih maju, yang selanjutnya akan menciptakan kesempatan kerja yang luas, serta meningkatkan pendapatan pajak bagi pemerintah.
2.1.2
Macam–Macam Pasar Modal Menurut Hapsari (2012: 23) jenis-jenis pasar modal antara lain sebagai
berikut: 1. Pasar Perdana Pasar perdana dapat diartikan sebagai tempat atau sarana untuk menawarkan saham dari perusahaan yang menerbitkan saham (emiten) kepada pemodal selama jangka waktu yang ditetapkan pertama kali sebelum saham tersebut diperdagangkan di pasar sekunder. Dikatakan tempat karena secara fisik pihak pembeli dapat bertemu dengan penjamin emisi atau agen penjual untuk melakukan pesanan sekaligus membayar uang pesanan. Dikatakan juga sarana karena pihak pembeli sebenarnya dapat melakukan transaksi pembelian melalui telepon dari rumah dan membayar dengan cara mentransfer uang
melalui bank ke rekening agen penjual. Penawaran umum awal ini akan merubah status perusahaan tertutup menjadi perusahaan terbuka (Tbk.) karena sekarang saham yang ada tidak hanya dimiliki oleh para pendiri perusahaan tetapi juga dimiliki masyarakat luas. Berikut adalah ciri-ciri pasar perdana: (a) Emiten menjual saham kepada masyarakat luas melalui penjamin emisi dengan harga yang telah disepakati antar emiten dan penjamin emisi seperti yang tertera dalam prospektus atau ada perkiraan harga apabila menggunakan sistem book building, (b) Pembeli tidak dipungut biaya transaksi, (c) Pembeli belum pasti memperoleh jumlah saham sebanyak yang dipesan apabila terjadi oversubscribed (jumlah pesanan melebihi jumlah saham yang dijual), (d) Investor membeli melalui penjamin emisi atau agen penjual yang ditunjuk, (e) Masa penawaran terbatas, (f) Penawaran melibatkan profesi akuntan publik, notaris, konsultan hukum dan perusahaan penilai, (g) Pasar perdana disebut juga dengan istilah pasar primer (primary market) atau pasar pertama (first market). 2. Pasar Sekunder Pasar sekunder adalah penjualan efek setelah melewati penjualan pada masa penawaran pada pasar perdana. Jadi, setelah selesai masa penjualan pada pasar perdana maka kemudian saham tersebut dapat dijual dan dibeli oleh pemodal di pasar sekunder. Pada pasar sekunder ini harga efek ditentukan berdasarkan kurs efek tersebut. Naik turunnya kurs suatu efek ditentukan oleh daya tarik menarik antara permintaan dan penawaran efek tersebut. Bagi efek yang dapat memenuhi syarat listing dapat menjual efeknya di dalam bursa
efek, sedangkan bagi efek yang tidak memenuhi syarat listing dapat menjual efeknya di luar bursa efek. Kekuatan permintaan dan penawaran dipengaruhi oleh dua hal yakni: a. Faktor internal perusahaan, yaitu suatu kondisi yang berada di dalam perusahaan dan biasanya dapat dikontrol oleh perusahaan dan akan mempengaruhi kelancaran kegiatan operasi perusahaan seperti kebijakan perusahaan, pembagian dividen, kinerja perusahaan, prospek perusahaan dimasa yang akan datang, dsb. b. Faktor eksternal perusahaan, yaitu suatu kondisi yang berada di luar perusahaan dan biasanya tidak dapat dikontrol oleh perusahaan tetapi dapat mempengaruhi kelancaran kegiatan operasi perusahaan, seperti gejolak ekonomi negara, kebijakan moneter, politik, keamanan negara dan sebagainya. Hasil dari kegiatan jual beli saham ini tidak lagi akan masuk ke dalam kas perusahaan tetapi akan masuk dalam kas para pemodal. Berikut adalah ciri-ciri pasar sekunder: (a) Harga terbentuk oleh investor (order driven) melalui perantara efek (anggota bursa) yang berdagang di Bursa Efek, (b) Transaksi dibebani biaya jual dan beli, (c) Pesanan dapat berjumlah tak terbatas, (d) Anggota bursa memasukkan tawaran jual/beli investor ke dalam komputer perdagangan yang disediakan oleh pihak bursa, (e) Anggota bursa menyelesaikan pembayaran dana kepada Sentral Kliring, kemudian menerima sahamnya dengan cara pemindahbukuan oleh Sentral Kustodian dengan menunjukkan bukti pembayaran dari Sentral Kliring. (f) Anggota bursa jual menyelesaikan penyerahan saham kepada Sentral
Kustodian, kemudian menerima dana dengan cara pemindahbukuan oleh Sentral Kliring dengan menunjukkan bukti penyerahan efek dari Sentral Kustodian. (g) Pasar sekunder disebut juga dengan bursa efek atau secondary market. 3. Pasar Ketiga Pasar ketiga atau disebut juga bursa pararel merupakan pelengkap bursa efek yang ada. Dengan kata lain, pasar ketiga adalah tempat perdagangan saham atau sekuritas lain diluar bursa (over the counter market). Bagi perusahaan yang menerbitkan efek yang akan menjual efeknya melalui bursa dapat dilakukan melalui bursa paralel. Bursa paralel diselenggarakan oleh PPUE (Persatuan Perdagangan Uang dan Efek) dan diawasi dan dibina oleh Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal). Pasar ketiga ini tidak memiliki pusat lokasi perdagangan seperti dalam pasar sekunder yang disebut dengan lantai bursa (floor trading). Operasi yang ada pada pasar ketiga berupa pemusatan informasi yang disebut trading information. Informasi yang diberikan dalam pasar ini meliputi harga saham, jumlah transaksi, dan keterangan lainnya mengenai surat berharga yang bersangkutan. 4. Pasar Keempat Pasar keempat merupakan bentuk perdagangan efek antar pemodal tanpa melalui perantara pedagang efek. Transaksi dilakukan secara tatap muka antara investor beli dan investor jual untuk saham atas pembawa. Dengan kemajuan teknologi, mekanisme ini dapat terjadi melalui ECN (Electronic Communication Network) asalkan para pelaku memenuhi syarat, yaitu
memiliki efek dan dana di Sentral Kustodian dan Sentral Kliring. Pelaku di pasar keempat akan menjadi anggota ECN, Sentral Kustodian dan Sentral Kliring. Pelaku dan bentuk transakasi dalam perdagangan semacam ini biasanya dilakukan oleh investor besar dalam jumlah besar (block sale), karena dapat menghemat biaya.
2.1.3 Saham Saham adalah suatu bentuk kepemilikan atas perusahaan. Jika seseorang memiliki saham suatu perusahaan yang go public, maka akan mendapatkan dividen dan atau capital gains dalam surat saham tercantum antara lain harga saham. Harga ini disebut nilai nominal atau nilai pari. Secara umum semakin baik kinerja suatu perusahaan, maka tinggi laba usahanya dan semakin banyak keuntungan yang dinikmati pemegang saham. Selain harga nomimal, saham juga mengenal harga baku atau nilai intrinsik berdasarkan penambahan laba ditahan (Nugraheni, 2006: 28). Menurut Husnan (2005) sekuritas merupakan secarik kertas yang menunjukkan hak pemodal (yaitu pihak yang memiliki kertas tersebut) untuk memperoleh bagian dari prospek atau kekayaan organisasi yang menerbitkan sekuritas tersebut, dan berbagai kondisi yang memungkinkan pemodal tersebut menjalankan haknya. Saham dapat dibedakan menjadi saham biasa dan saham preferen. Saham biasa (common stock) adalah sekuritas yang menunjukkan bahwa pemegang saham biasa mempunyai hak kepemilikan atas aset-aset perusahaan. Oleh karena itu, pemegang saham biasa mempunyai hak suara untuk memilih
direktur ataupun manajemen perusahaan dan ikut berperan dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) serta dividen dibayarkan sepanjang perusahaan memperoleh laba. Berbeda dengan saham preferen (preffered stock), saham preferen adalah saham yang memiliki kombinasi karakteristik gabungan dari obligasi maupun saham biasa, karena saham preferen memberikan pendapatan yang tetap seperti halnya obligasi dan juga mendapatkan hak kepemilikan seperti saham biasa. Bedanya dengan saham biasa adalah saham preferen tidak memberikan hak suara kepada pemiliknya (Tandelilin, 2001). Saham baru yang ditawarkan ketika IPO belum memiliki harga pasar terbuka, karena saham-saham ini belum diperdagangkan di pasar terbuka. Harga saham perdana ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan emiten dengan underwriter. Penentuan harga saat IPO merupakan bagian yang sulit, sekaligus penting karena tidak ada harga sebelumnya di pasar dan sejarah mengenai operasi perusahaan sangat sedikit atau hampir tidak ada. Jika harga ditemukan terlalu rendah, perusahaan penerbit tidak dapat memperoleh dana maksimal dari potensi yang ada untuk menaikkan modalnya. Sementara itu jika harga terlalu tinggi, investor akan memperoleh return yang sangat kecil sehingga berakibat pada penolakan investor untuk membeli saham tersebut, dengan demikian tanpa harga (pricing) yang akurat pasar dapat menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pengaktifan kembali pasar modal yaitu pemerataan pendapatan masyarakat (investor) melalui kepemilikan saham perusahaan, akan tetapi harga yang sebenarnya ini baru bisa diketahui setelah saham dijual di pasar sekunder, karena
harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan (supply and demand) dari investor (Handono, 2010: 35).
2.1.4 IPO (Initial Public Offering) Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal makna go public atau yang biasa dikenal dengan IPO (Initial Public Offering) adalah kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten (perusahaan penerbit saham) kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh Undang-Undang Pasar Modal dan Peraturan Pelaksanaanya. Beberapa keuntungan perusahaan yang melakukan go public menurut Tandelilin (2001) yaitu: 1. Diversifikasi. Dengan melakukan go public maka pemilik perusahaan akan membagi kepemilikan perusahaan kepada masyarakat yang berminat untuk membeli saham perusahaan tersebut, sehingga pemilik perusahaan tersebut juga telah membagi risiko yang harus ditanggung jika dia menjadi pemilik tunggal perusahaan. 2. Meningkatkan likuiditas. Saham yang tidak ditawarkan kepada umum akan sulit untuk diperjualbelikan. Jika salah satu pemilik mau menjual saham yang dimiliki, maka dia akan sulit untuk mencari calon pembeli dan kalaupun ada calon pembeli akan sulit menentukan harga dalam melakukan transaksi. Kesulitan tersebut tidak akan terjadi pada perusahaan yang go public. 3. Sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan modal perusahaan. Perusahaan yang tidak melakukan go public akan sulit memperolah dana dengan
penjualan saham baru dan belum tentu para pemegang saham lama ingin menambah kepemilikannya. Sedangkan untuk mencari investor baru tidaklah mudah, karena perusahaan yang tidak go public tidak melaporkan kondisi keuangan sehingga menyulitkan investor menilai kinerja perusahaan. Hal ini tidak terjadi pada perusahaan yang go public. Perusahaan yang go public wajib melaporkan kondisi perusahaan secara rutin kepada umum sehingga investor mudah untuk mengetahui kondisi perusahaan yang sebenarnya, dan bisa mengambil keputusan investasi yang lebih baik. 4. Penentuan nilai perusahaan. Perusahaan go public bisa menentukan secara jelas seberapa besar nilai perusahaan dengan melihat besarnya harga saham perusahaan tersebut di pasar. Hal ini tidak terjadi pada perusahaan yang tidak go public. Meskipun memiliki banyak keuntungan, proses go public juga menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Kerugian yang akan dihadapi oleh perusahaan yang melakukan go public menurut Sucahyo (2009: 30) diantaranya: 1. Biaya laporan yang meningkat. Perusahaan yang go public setiap kuartal dan tahunnya harus menyerahkan laporan-laporan kepada regulator, untuk perusahan yang ukurannya kecil tentunya laporan-laporan ini sangat mahal. 2. Pengungkapan (disclosure). Umumnya beberapa pihak di dalam perusahaan keberatan dengan ide pengungkapan. Manajer enggan mengungkapkan semua informasi yang dimiliki karena dapat digunakan oleh pesaing. Pemilik juga enggan mengungkapkan informasi tentang saham yang dimilikinya karena publik akan mengetahui besarnya kekayaan yang dimiliki.
3. Ketakutan untuk diambil alih. Manajer perusahaan yang hanya mempunyai hak veto kecil akan khawatir apabila perusahaan go public karena manajer perusahaan publik dengan hak veto yang rendah umumnya diganti dengan manajer yang baru jika perusahaan diambil alih. Wulandari (2011: 15) berpendapat bahwa perusahaan yang melakukan go public harus siap dengan berbagai konsekuensi dan permasalahannya, yaitu memenuhi ketentuan yang berlaku dalam perundang-undangan beserta aturan pelaksanaan yang mengikutinya. Sebagai perusahaan publik, para pemilik lama atau pendiri harus menerima keterlibatan pihak-pihak lain dalam perusahaan yang didirikanya tersebut. Sebagaimana yang diwajibkan oleh keputusan menteri keuangan Nomor 1548/KMK.013/1990 perusahaan publik harus memenuhi beberapa kesanggupan, yaitu: 1. Keharusan untuk keterbukaan (full disclosure). Indikator pasar modal yang sehat adalah transparansi atau keterbukaan. Sebagai perusahaan publik yang sahamnya telah dimiliki oleh masyarakat, harus menyadari keterbukaan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, emiten harus memenuhi persyaratan disclosure dalam berbagai aspek sesuai dengan kebutuhan pemegang saham dan masyarakat serta perturan yang berlaku. 2. Keharusan untuk mengikuti peraturan-peraturan pasar modal mengenai kewajiban pelaporan. Setelah perusahaan go public dan mencatatkan efeknya di bursa, maka emiten sebagai perusahaan publik wajib menyampaikan laporan secara rutin maupun laporan lain jika ada kejadian kepada Bapepam dan Bursa Efek Indonesia. Seluruh laporan yang disampaikan oleh emiten
kepada bursa secepatnya akan dipublikasikan oleh bursa kepada masyarakat pemodal melalui pengumuman dilantai bursa maupun melalui papan informasi. Hal ini penting, karena sebagian investor tidak memiliki akses informasi langsung kepada emiten. Untuk mengetahui kinerja perusahaan, investor sangat tergantung pada informasi tersebut dan kewajiban pelaporan dapat membantu penyediaan informasi sehingga informasi dapat sampai secara tepat waktu dan tepat guna kepada investor. 3. Gaya manajemen yang berubah dari informal ke formal. Sebelum go public manajemen tidak mempunyai kewajiban untuk menghasilkan laporan apapun. Tetapi sesudah go public mempunyai komunikasi dengan pihak luar, misalnya Bapepam, akuntan publik, dan stakeholder. Hubungan-hubungan tersebut merupakan hubungan formal yang dilakukan kepada pihak luar dan aturanaturan yang berlaku merupakan aturan yang dapat digunakan oleh semua pihak yang membutuhkan. 4. Kewajiban
membayar
deviden.
Investor
membeli
saham
karena
mengharapkan ada keuntungan atau deviden yang dibagi tiap periode dan perusahaan harus memenuhi kewajiban ini secara teratur dan konstan. Jika tidak, maka akan menurunkan kredibilitas perusahaan. 5. Senantiasa berusaha untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan perusahaan. Perusahaan harus menunjukkan kemampuannya untuk bertahan dalam dunia persaingan sehingga harus bekerja keras untuk memperoleh itu. Hal ini merupakan salah satu kewajiban perusahaan kepada investor yang telah menanamkan modalnya.
Menurut Sutrisno (2001) prosedur dalam melakukan IPO (Initial Public Offering) adalah sebagai berikut: 1. Persiapan. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah persiapan internal bagi perusahaan yang akan melakukan emisi, yaitu dengan mengadakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) mengenai kesepakatan bahwa perusahaan akan melakukan IPO. Hal ini diperlukan karena ketika perusahaan melakukan IPO maka akan mengakibatkan berubahnya anggaran dasar perseroan. 2. Letter of intent. Setelah persiapan internal perusahaan selesai dan adanya kesepakatan untuk melakukan IPO, maka perusahaan yang akan menerbitkan efek (issuer) menyampaikan pernyataan maksud (letter of intent) kepada Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal). Setelah itu emiten segera menghubungi penjamin emisi (underwriter) yang bertugas membantu perusahaan dalam proses emisi efek. Kemudian emiten dan underwriter mempersiapkan dokumen-dokumen dan persyaratan lainnya yang diperlukan untuk melakukan IPO. Underwriter mewakili emiten menyampaikan pendaftaran emisi efek kepada Bapepam serta menyerahkan syarat-syarat yang diperlukan. 3. Evaluasi Bapepam. Setelah pernyataan pendaftaran, Bapepam melakukan evaluasi semua dokumen emisi telah lengkap dan sesuai dengan persyaratan yang berlaku. 4. Izin Bapepam. Bapepam akan memberikan izin emisi apabila dalam evaluasi semua dokumen emisi telah lengkap dan sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
5. Penerbitan prospektus. Setelah mendapatkan izin untuk melakukan emisi untuk Bapepam, perusahaan segera memasuki pasar perdana, yakni melakukan penawaran efek langsung kepada masyarakat. Untuk itu perusahaan perlu menerbitkan prospektus ringkas yang isinya antara lain: (a) Tujuan perusahaan, tujuan emisi, sejarah perusahaan, serta susunan pengurus perusahaan (direksi dan dewan komisaris), (b) Tanggal masa penawaran, tanggal penjatahan, tanggal refund, tanggal penyerahan efek dan tanggal pendaftaran di BEI, (c) Jumlah saham yang ditawarkan, jenis saham, harga nominal, dan harga penawaran, (d) Ikhtisar laporan keuangan dan rasio-rasio yang menunjukkan kinerja perusahaan, prospek, dan risiko usaha. 6. Penjatahan saham. Apabila jumlah permintaan efek oleh investor lebih besar dibanding jumlah efek yang ditawarkan, maka perlu dilakukan penjatahan saham agar pembagian saham dapat dilakukan dengan adil. 7. Refund. Bila terjadi kelebihan permintaan, berarti juga terjadi kelebihan pembayaran oleh investor. Oleh karena itu, setelah proses penjatahan kelebihan sektor tersebut segera dikembalikan (refund). 8. Penyerahan efek. Penyerahan efek kepada pemesan sesuai dengan jatah yang diterima oleh masing-masing investor. 9. Pencatatan ke bursa. Pencatatan efek ke bursa bertujuan agar efek yang telah dibeli oleh investor bisa segera diperjualbelikan ke bursa.
2.1.5
Mekanisme Perdagangan dalam Pasar Perdana Menurut Jayanti (2011) ada tiga tahap yang harus dilalui perusahaan yang
akan melakukan penawaran umum, antara lain: (1) Sebelum emisi, yaitu persiapan yang dilakukan untuk memenuhi syarat-syarat IPO, (2) Tahapan emisi, yaitu masa pelaksanaan IPO hingga saham yang ditawarkan dicatat di bursa efek, (3) Tahapan sesudah emisi, yaitu berupa tahap pelaporan atas pertanggungjawaban terhadap penawaran. Mekanisme perdagangan dalam pasar perdana akan disajikan pada gambar 1.
Sebelum Emisi
Emisi
Intern Perusahaan
BAPEPAM
Sesudah Emisi
Pasar Pasar Pelaporan Perdana Sekunder 1.Rencana Go Public 1. Penyatatan 1. Penawaran 1. Emiten 1. Laporan 2. RUPS pendaftaran umum mencatatkan berkala 3. Penunjukan 2. Ekspose 2. Penjatahan sahamnya di (laporan Underwriter, Profesi terbatas di kepada Bursa Efek tahunan dan Penunjang, dan BAPEPAM pemodal oleh 2. Perdagangan di tengah Lembaga Penunjang 3. Tanggapan atas sindikasi Bursa Efek. tahunan) 4. Mempersiapkan kelengkapan penjamin 2. Laporan dokumen-dokumen dokumen, emisi dan kejadian 5. Konfirmasi sebagai kecukupan dan emiten penting dan agen penjual oleh kejelasan 3. Distribusi relevan penjamin informasi, serta efek kepada (akuisisi, 6. Kontrak keterbukaan pemodal pergantian pendahuluan dengan (aspek hukum, secara direksi,dll) bursa efek akuntansi elektronik. 7. Penandatanganan keuangan, dan perjanjian manajemen. 8. Public expose. 4. Komentar tertulis dalam waktu 45 hari 5. Pernyataan pendaftaran dinyatakan efektif.
Gambar 1 Mekanisme Perdagangan Dalam Pasar Perdana
2.1.6
Underpricing Menurut Yustisia dan Roza (2012: 158) harga saham pada penawaran
perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan emiten dengan penjamin emisi. Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya peristiwa underpricing karena adanya perbedaan informasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penawaran perdana yaitu emiten, investor, dan penjamin emisi. Underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO (Initial Public Offering). Selisih harga inilah yang dikenal sebagai initial return atau positive return bagi investor. Underpricing adalah fenomena yang umum dan sering terjadi di pasar modal manapun saat emiten melakukan IPO (Yolana dan Martani, 2005: 538). Hapsari (2012: 36) menyatakan bahwa adanya fenomena underpricing sering menimbulkan suatu dilema dalam perusahaan, yakni antara perusahaan yang menjual sahamnya di pasar perdana dengan investor yang akan menginvestasikan dananya. Alasan mengapa pemilik perusahaan menginginkan agar dapat meminimalkan underpricing adalah: (1) Bila saham dijual dalam kondisi
underpricing,
berarti
perusahaan
kehilangan
kesempatan
untuk
mendapatkan dana secara maksimal, serta (2) Terjadinya underpricing ini akan menyebabkan transfer kemakmuran dari pemilik kepada investor. Khususnya yang membeli saham di pasar perdana akan memperoleh capital gain. Sedangkan investor berharap agar underpricing yang terjadi semakin besar karena semakin
besar underpricing, maka semakin besar capital gain yang diterima pada saat saham dijual di pasar sekunder. Beatty (dalam Arman, 2012: 107) menjelaskan bahwa para pemilik perusahaan menginginkan agar meminimalisasikan situasi underpricing, karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran dari pemilik kepada para investor. Kondisi underpricing merugikan bagi perusahaan yang melakukan go public, karena dana yang diperoleh tidak maksimal. Sebaliknya, apabila terjadi overpricing, maka investor akan merugi karena tidak menerima initial return. Menurut Kusuma (2006), ada empat jenis teori yang menjelaskan fenomena underpricing, antara lain: 1. Teori asimetri informasi. Model informasi asimetri beranggapan bahwa salah satu kelompok pelaku pasar modal memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan kelompok pelaku yang lain. Ada empat model yang mendukung teori asimetri informasi, yaitu: 1. Baron (1982) beranggapan bahwa penjamin emisi merupakan pihak yang lebih mengetahui tentang kondisi permintaan di pasar modal daripada perusahaan penerbit (emiten). Teori ini mengarah pada permasalahan principal-agent dimana underpricing digunakan untuk mendorong upaya penjualan saham yang optimal. Penjamin emisi akan memanfaatkan informasi yang dimilikinya untuk memperoleh kesepakatan optimal dengan emiten untuk menjual saham yang underpriced dengan maksud memperkecil resiko kemungkinan saham tidak laku dan keharusan untuk
membeli saham yang tidak laku tersebut (full commitment). Makin tinggi ketidakpastian emiten atas harga saham dipasar, makin banyak masalah dalam penentuan harga dan makin tinggi tingkat underpriced. 2. Welch (1989) berasumsi bahwa emiten lebih tahu tentang kondisi dan nilai sebenarnya (true value) perusahaan. Model ini mengarah pada suatu persamaan dimana perusahaan bernilai tinggi menggunakan underpricing sebagai sinyal untuk menunjukkan nilai perusahaan. 3. Model Rock (1986) beranggapan bahwa terdapat sejumlah investor yang lebih terinformasi (informed investor) dibanding investor lain (uninformed investors) sehingga investor yang terinformasi dapat terhindar dari pembelian saham IPO yang overpriced. 4. Benveniste dan Spindt (1989) beranggapan bahwa
underpricing
mengkompensasi investor yang terinformasi untuk mengungkapkan dengan sebenarnya informasi yang mereka miliki sebelum harga penawaran ditetapkan secara final, untuk mengurangi biaya kerugian dalam melakukan IPO. Model asimetri informasi yang paling terkenal adalah model Rock (1986). Rock berasumsi bahwa beberapa investor lebih terinformasi (informed investor) mengenai nilai sesungguhnya (true value) dari saham yang ditawarkan daripada investor pada umumnya, emiten, maupun penjamin emisi. Investor yang terinformasi hanya membeli saham IPO dengan harga yang atraktif saja dimana harga penawaran saham dibawah true value saham tersebut (underpriced). Sedangkan investor yang kurang terinformasi akan
cenderung membeli saham tanpa pandang bulu. Hal ini menimbulkan beban winner’s curse bagi investor yang terinformasi. Pada penawaran saham IPO yang atraktif, akan terjadi kelebihan permintaan
sehingga
cenderung
terjadi
penjatahan
saham.
Hal
ini
menyebabkan uninformed investor memperoleh bagian saham yang atraktif dalam jumlah yang lebih kecil daripada permintaannya. Sebaliknya, pada penawaran saham IPO yang tidak atraktif dimana harga penawaran saham melebihi nilai sebenarnya saham tersebut (overpriced), mereka akan memperoleh semua saham yang mereka minta, sehingga return negatif yang diperoleh dari pembelian saham yang overpriced akan melebihi return positif yang diperoleh dari pembelian saham yang underpriced, dan uninformed investor mengalami kerugian. Sedangkan informed investor akan memperoleh abnormal return yang positif karena hanya membeli saham yang underpriced. Kondisi ini mengakibatkan uninformed investor tidak akan mau berinvestasi dalam saham IPO dan pada akhirnya pasar IPO hanya akan dipenuhi oleh informed investor. Situasi seperti ini akan tidak menguntungkan bagi perusahaan penerbit saham (emiten), karena dengan dana yang dimiliki oleh informed investor saja, tidak akan mencukupi kebutuhan dana perusahaan. Dengan kata lain, permintaan saham oleh informed investor saja tidak akan cukup untuk memenuhi semua penawaran saham, termasuk pada penawaran yang aktraktif. Karenanya, diperlukan kondisi expected return yang non negatif agar paling tidak uninformed investor break even. Dengan kata lain, semua IPO harus underpriced untuk memastikan kelangsungan
partisipasi uninformed investor di pasar IPO. Rock (1986) berpendapat bahwa underpricing digunakan untuk mengkompensasi uninformed investor atas resiko perdagangan saham melawan informed investor. Berdasarkan model ini, semakin besar proporsi model informed investor yang berpartisipasi dalam IPO, makin besar equilibrium of underpricing-nya. 3. Teori institusional. Teori institusional memfokuskan pada tiga hal, yaitu litigasi, aktifitas stabilisasi harga oleh penjamin emisi saat suatu saham mulai diperdagangkan, serta pajak. Sesuai dengan hipotesis penghindaran tuntutan hukum (lawsuit avoidance), perusahaan yang go public cenderung dengan sengaja menjual sahamnya dibawah harga sebenarnya (true value) saham tersebut untuk memperkecil kemungkinan adanya tuntutan hukum dari pemegang saham dimasa yang akan datang. Investor memiliki kecenderungan untuk mengajukan tuntutan hukum kepada emiten yang merugikan investor dengan melakukan misstatement yang material dalam prospektusnya. Tinic et al. (1988) berpendapat bahwa underpricing dapat berperan layaknya jaminan terhadap kemungkinan munculnya litigasi atau perkara hukum berkaitan dengan saham perusahaan. Suatu tuntutan hukum jelas merugikan bagi perusahaan baik secara langsung, seperti biaya ganti rugi, biaya hukum, dan kerugian waktu manajemen, maupun secara tidak langsung dalam hal rusaknya image. Bagi penjamin emisi, mereka dapat kehilangan kepercayaan dari para investor, sementara emiten harus menghadapi kerugian yang lebih besar dalam melakukan penebitan sekuritas dimasa mendatang. Hughes dan Thakor menawarkan suatu trade-off antara meminimalkan kemungkinan
adanya tuntutan pengadilan serta meminimalkan kerugiannya, dengan memaksimalkan perolehan kotor dari pelaksanaan IPO (begitu pula dengan komisi penjamin emisi). 3. Teori kepemilikan dan pengendalian. Teori ini menyatakan bahwa underpricing membantu membentuk basis kepemilikan saham perusahaan sehingga dapat mereduksi intervensi investor luar manakala suatu perusahaan memilih untuk go public. Pihak manajemen akan menghindari pengalokasian saham dalam jumlah besar kepada investor untuk menghindari kemungkinan terungkapnya penyimpangan perilaku (non value maximizing behavior) mereka. Pemegang saham luar dengan porsi saham yang kecil akan dapat mengurangi kemungkinan pengawasan eksternal terhadap menajemen. Peranan underpricing disini adalah untuk menggerakkan permintaan yang berlebih terhadap saham perusahaan yang melakukan IPO, sehingga memungkinkan manajemen perusahaan untuk menjatah para investor sehingga masing-masing investor hanya akan memegang sebagian kecil saham perusahaan. 4. Teori keperilakuan. Pendukung teori ini berasumsi bahwa tidak ada investor yang bersikap irasional dengan menawar harga saham IPO diatas nilai sesungguhnya (true value) saham tersebut, atau emiten melakukan penyimpangan perilaku dengan berusaha mendorong penjamin emisi untuk meminimalkan tingkat underpricing. Handono (2010: 41) berpendapat bahwa teori-teori yang menjelaskan tentang underpricing dan yang telah diuji di berbagai penelitian empiris biasanya
bermuara pada asimetri informasi baik antara pemilik perusahaan dan calon investor, antar calon investor , dan antara issuer atau emiten dan penjamin emisi. Menurut Jayanti (2011) terdapat beberapa teori yang menjelaskan underpricing yang didapat dari teori yang telah dikumpulkan peneliti terdahulu. Beberapa teori tersebut adalah sebagai tersebut : 1. Risk averse – underwriter hypothesis. Menurut Tinic (1988), penjamin emisi (underwriter) memiliki sifat menghindari resiko (risk averse). Underwriter menetapkan underpricing pada penawaran saham perdana dengan tujuan mengurangi resiko dan biaya yang harus ditanggung sehubungan dengan adanya perannya sebagai penjamin emisi. 2. Monopsony – power hypothesis. Teori ini dikemukakan oleh Ritter (1984) yang menyebutkan bahwa underpricing terjadi disebabkan oleh adanya kekuatan monopsony penjamin emisi (underwriter) pada emisi saham biasa dari perusahaan kecil. Underwriter dengan reputasi tinggi pada umunya tidak mau menjamin saham dari perusahaan yang kecil, spekulatif, dan baru tumbuh. Sehingga underwriter memiliki bargaining power yang lebih besar terhadap perusahaan kecil dan bisa menetapkan harga perdana yang underpriced. 3. Speculative bubble hyphothesis. Berdasarkan teori ini, penyebab terjadinya underpricing adalah investor spekulatif yang tidak mampu mendapatkan saham pada saat IPO akibat oversubscribed, sehingga pada hari berikutnya saat di perdagangkan di pasar sekunder, harga saham tersebut akan naik dan memberikan return yang tinggi. Speculative bubble akan terbentuk pada hari
awal perdagangan sekunder akibat investor yang bersikap irasional dan overoptimistic. 4. Asymmetric information hypothesis. Menurut Ritter dan Welch (2002), terdapat tiga teori asimetri informasi yakni sebagai berikut : a. Asimetri informasi antara emiten dan investor. Pada pelaksanaan IPO, emiten diasumsikan mempunyai informasi yang lebih baik mengenai perusahaan dan prospeknya dimasa yang akan datang dibandingkan investor. Pada kondisi ini, emiten sengaja memberikan diskon pada harga perdana sahamnya agar pada saat penerbitan saham dimasa selanjutnya (seasoned offering) dapat mengundang minat investor yang lebih banyak. Teori ini juga dikenal dengan signaling model, dimana perusahaan menggunakan tingkat underpricing sebagai sinyal bahwa perusahaan dalam kondisi baik serta memiliki prospek cerah bagi para investor. b. Asimetri informasi antara informed investor dengan uninformed investor. Menurut Rock (1986) terdapat dua jenis investor yaitu informed investor dan uninformed investor. Informed investor akan mengeluarkan biaya tertentu untuk memperoleh informasi yang lebih baik mengenai perusahaan yang akan melakukan IPO sehingga memperoleh keuntungan karena harga saham yang dibelinya meningkat pada saat perdagangan sekunder. Sementara uninformed investor membeli saham IPO secara acak tanpa mengeluarkan biaya untuk memperoleh informasi lebih. Kondisi asmetri informasi ini menimbulkan winner’s curse yaitu keadaan dimana uninformed investor akan memperoleh semua saham saat perdagangan
sekunder karena saham tersebut ternyata overpriced dan dihindari oleh investor. Investor yang punya informasi akan membeli sahamnya undervalued dan menghindari saham yang overvalued. Akibatnya, investor yang tidak mempunyai informasi sulit mendapatkan saham undervalued, karenanya akan mendapatkan return yang lebih kecil. Karena issuer harus terus menerus menarik investor yang tidak mendapatkan informasi seperti investor yang punya informasi, maka rata – rata harga saham baru tersebut harus underpriced agar investor yang tidak punya informasi tersebut mendapatkan return yang memadai. c. Asimetri informasi antara emiten dan penjamin emisi (underwriter). Baron (1982) menyatakan bahwa penjamin emisi memiliki informasi kondisi pasar yang lebih lengkap dibandingkan emiten, sehingga emiten cenderung menyerahkan keputusan penetapan harga perdana kepada underwriter. Penggunaan informasi yang dimiliki oleh underwriter dalam penetapan harga saham dikompensasikan oleh emiten dengan membiarkan underwriter melakukan underpricing pada saham perdananya. 5. Penjelasan tradisional. Teori ini dirumuskan oleh Ibbotson (1975). Ada beberapa jenis underwriter dalam IPO yang salah satunya adalah tipe full commitment yang memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap sahamnya jika IPO tidak sesukses yang diharapkan atau bahkan ada saham yang tidak terjual. Dalam kondisi ini, underwriter memiliki tanggungjawab secara wajib untuk membeli semua saham yang tidak laku tersebut. Hal ini akan menambah motivasi underwriter untuk dapat menjual seluruh saham
sehingga sering kali perusahaan underwriter akan menetapkan harga perdana secara underpriced dengan harapan saham akan menarik perhatian investor.
2.1.7
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Underpricing Saham Fenomena underpricing tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari hasil
penelitian yang pernah dilakukan oleh Stevani (2004), Saputro dan Agung (2005), Yolana dan Martani (2005), Amelia dan Saftiana (2007), Ekadjaja dan Wendy (2009), Isfaatun dan Hatta (2010), Wijayanto (2010), Sukirman et al. (2011), Zirman dan Darlis (2011), Arman (2012), Putera dan Budiarti (2012), Yustisia dan Roza (2012), Aini (2013), Cahyanda (2013), Maya (2013), Retnowati (2013), Risqi dan Harto (2013), serta Safitri (2013) ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya underpricing saham yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya: 1.
Reputasi Underwriter Menurut Yustisia dan Roza (2012; 159), penjamin emisi (underwriter) adalah bankir investasi yang memasarkan sekuritas maupun obligasi yang akan ditawarkan kepada publik. Menurut Putra dan Budiarti (2012: 82) ditinjau dari tanggung jawab underwriter sebagai penjamin emisi, terdapat empat tipe penjaminan, yaitu: 1. Full Commitment. Underwriter sebagai penjamin dengan tipe full commitment ini memberikan jaminan kepada emiten, bahwa penjamin emisi akan membeli surat berharga yang ditawarkan dan kemudian menjualnya kembali kepada masyarakat dengan harga yang lebih tinggi
daripada harga yang dibayarkan kepada emiten dengan risiko jika sebagian atau seluruh efek tersebut tidak laku terjual maka seluruhnya menjadi beban penjamin emisi. 2. Best Effort. Underwriter sebagai penjamin dengan tipe best effort ini menempatkan para penjamin emisi hanya berperan sebagai agen dari emiten saja, yaitu dengan menjualkan emisi surat berharga sebaik-baiknya. Penjamin emisi tipe ini hanya akan membayar sebesar harga efek yang laku terjual. 3. Standby Commitment. Underwriter sebagai penjamin emisi dengan tipe standby commitment ini bertanggungjawab untuk menawarkan dan menjual suatu emisi surat berharga dan menyanggupi untuk membeli sisa efek yang tidak laku terjual dengan tingkat harga tertentu sesuai dengan syarat yang dijanjikan. 4. All or None Commitment. Underwriter sebagai penjamin emisi dengan tipe all or none commitment ini, sebelum menjual efek, sudah memiliki dan membeli efek tersebut sehingga mereka dapat menjual dengan harga tertentu. Dalam proses go public, harga saham pada penawaran perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan emiten dengan underwriter. Underwriter dalam hal ini memperoleh informasi lebih baik mengenai permintaan saham-saham emiten, dibandingkan emiten itu sendiri. Risiko maksimum yang akan dihadapi oleh underwriter adalah kemungkinan tidak lakunya efek sehingga menyebabkan underwriter merugi karena menanggung
penuh atas tidak lakunya efek yang disebabkan karena penggunaan penjaminan full commitment di Indonesia. Masalah penetapan harga saham yang ditawarkan kepada calon pembeli merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena rentannya kesalahan kecil yang terjadi saat IPO dapat menyebabkan kegagalan IPO. Harga jual yang terlalu mahal akan menyebabkan sekuritas tidak laku. Sebaliknya, harga yang terlalu murah akan menyebabkan perusahaan mengalami opportunity loss. Banyaknya saham yang dijamin oleh underwriter secara tidak langsung menunjukkan aset yang dimiliki oleh underwriter. Semakin banyak saham yang dapat dijamin berarti semakin besar kemampuan aset underwriter. Besar aset yang dimiliki underwriter untuk mengukur seberapa besar kemampuannya untuk melakukan penjaminan. Semakin baik kemampuan underwriter untuk melakukan penjaminan emisi, maka tingkat underpricing akan semakin rendah (Hapsari, 2012: 43). Reputasi underwriter ini menjadi pertimbangan bagi investor untuk melakukan investasi. Apabila underwriter gagal, maka akan mempengaruhi reputasinya di mata investor, sehingga dapat menghambat perusahaan penjamin emisi untuk memperoleh transaksi potensial di masa depan. Namun underwriter juga tidak dapat menetapkan harga yang terlalu rendah dikarenakan perusahaan menginginkan dana hasil IPO yang besar dan dengan menetapkan harga penawaran saham yang terlalu rendah merupakan suatu biaya bagi perusahaan. Untuk meminimumkan risiko, underwriter biasanya membentuk sindikasi, yaitu kelompok perusahaan sekuritas yang bersama-
sama membeli dan memasarkan saham emiten. Kelompok tersebut terdiri dari lead underwriter (penjamin pelaksana emisi) dan anggota underwriter (penjamin emisi). Underwriting suatu efek dilakukan dengan menandatangani kontrak penjaminan emisi antara lead underwriter dengan emiten. Jika terdapat kerugian maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama (Kristiantari, 2012: 22). 2. Umur Perusahaan Menurut Puspita (2011: 29), umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu bertahan. Semakin lama umur perusahaan, maka semakin banyak informasi yang telah diperoleh masyarakat tentang perusahaan tersebut. Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetri informasi dan memperkecil ketidakpastian di masa yang akan datang. Umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan telah menjalankan usahanya sehingga bepengaruh pada tingkat pengalaman yang dimilikinya dalam menghadapi persaingan. Perusahaan yang beroperasi lebih lama mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada perusahaan yang baru saja berdiri. Selain itu perusahaan-perusahaan yang umurnya lebih tua bisa dipersepsikan sebagai perusahaan yang sudah tahan uji sehingga kadar risikonya rendah. Dengan demikian, pada umumnya semakin tua umur perusahaan, maka peluang terciptanya underpricing semakin rendah (Kristiantari, 2012: 24).
3. Ukuran Perusahaan Suatu perusahaan yang memiliki skala ekonomi yang tinggi diharapkan akan mampu bertahan dalam waktu yang lama. Menurut Arman (2012: 108) ukuran perusahaan dapat dijadikan proksi tingkat ketidakpastian saham. Perusahaan yang berskala besar cenderung lebih dikenal masyarakat sehingga sehingga informasi mengenai prospek perusahaan berskala besar lebih mudah diperoleh. Putra dan Budiarti (2012: 80) menambahkan bahwa dikarenakan lebih dikenal, maka informasi mengenai perusahaan besar lebih banyak dibandingkan perusahaan yang berukuran kecil. Bila informasi yang ada di tangan investor banyak, maka tingkat ketidakpastian investor akan masa depan perusahaan bisa diketahui. Terdapat bermacam-macam kriteria untuk mengukur besar kecilnya perusahaan misalnya jumlah omset penjualan, jumlah produk, modal perusahaan dan total aktiva. Logaritma natural dari total aktiva dan logaritma natural dari total penjualan dapat digunakan sebagai indikator ukuran perusahaan. Total aktiva dianggap mampu menunjukkan ukuran perusahaan karena mewakili kekayaan perusahaan baik berupa aktiva tetap maupun aktiva lancar (Carter dan Manaster dalam Kristiantari, 2012: 25) Menurut Yustisia dan Roza (2012: 159), perusahaan yang besar mempunyai kepastian (certainty) yang lebih besar jika dibandingkan perusahaan kecil. Untuk kepastian yang lebih besar tersebut, investor bisa meminimalisasi risiko yang akan mereka peroleh ketika berinvestasi di perusahaan besar. Tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar pada
umumnya rendah karena dengan skala yang tinggi perusahaan cenderung tidak dipengaruhi pasar, sebaliknya dapat mewarnai dan mempengaruhi keadaan pasar secara keseluruhan. Keadaan ini dapat dinyatakan sebagai kecilnya tingkat resiko investai perusahaan berskala besar dalam jangka panjang. Sedangkan pada perusahaan berskala kecil tingkat ketidakpastian di masa yang akan datang besar, sehingga tingkat resiko investasinya lebih besar dalam jangka panjang. Dengan rendahnya tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar maka akan mengurangi asimetri informasi pada perusahaan yang besar sehingga akan menurunkan tingkat underpricing dan kemungkinan initial return yang akan diterima investor akan semakin rendah (Hapsari, 2012: 50). 4. ROA (Return On Asset) ROA (Return on Asset) merupakan salah satu rasio profibalitas, yaitu rasio yang menunjukkan seberapa efektifnya perusahaan beroperasi sehingga menghasilkan keuntungan atau laba bagi perusahaan. ROA digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan cara memanfaatkan aktiva yang dimilikinya (Ariawati, 2005: 29). Profitabilitas perusahaan yang tinggi menunjukan kemampuan perusahaan menghasilkan laba di masa yang akan datang atau bagaimana perusahaan menggunakan asetnya secara efisien dalam mengelola kegiatannya untuk menghasilkan keuntungan. Profitabilitas perusahaan merupakan informasi penting bagi investor dalam membuat keputusan investasi. Informasi mengenai tingkat profitabilitas yang tinggi suatu perusahaan dapat
mengurangi ketidakpastian bagi investor sehingga menurunkan tingkat underpricing (Maya, 2013: 09). ROA merupakan suatu rasio penting yang dapat dipergunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dengan investasi yang telah ditanamkan untuk mendapat laba. ROA yang semakin besar berarti bahwa perusahaan tersebut dapat memanfaatkan seluruh asetnya dalam memperoleh laba sehingga tingkat underpricing yang diharapkan akan rendah (Wulandari, 2011: 06). 5. IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) Menurut Maya (2013: 07) definisi kondisi pasar adalah keadaan pasar modal yang biasanya tercermin dalam perbedaan angka indeks harga saham. Kondisi pasar akan mempengaruhi perilaku pasar (underwriter) dalam menentukan harga saham perdana perusahaan yang dijaminkan. Ariawati (2005: 28) menyebutkan bahwa kondisi pasar diwakili oleh tingkat return pasar pada hari dimana suatu saham perusahaan mulai diperdagangkan pertama kalinya di pasar sekunder. Kondisi pasar merupakan faktor luar yang dapat mempengaruhi terjadinya underpricing. Kondisi pasar merupakan kondisi pasar modal. Kondisi pasar dalam hal ini akan diproksikan dengan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) di Bursa Efek Indonesia. Jika IHSG tinggi maka dapat menaikkan harga saham dan begitu pula sebaliknya, jika IHSG rendah maka dapat menurunkan harga saham. Dengan demikian, tinggi rendahnya IHSG dapat mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi (Sukirman et al., 2011: 166).
Menurut Maya (2013: 07) harga saham akan bergerak secara acak tergantung pada informasi baru yang akan diterima, tetapi informasi tersebut tidak diketahui kapan akan diterimanya sehingga informasi baru dan harga saham itu disebut unpredictable. Informasi yang mempengaruhi harga saham nantinya akan berpengaruh kepada kondisi pasar. Jika informasi bersifat kabar baik (good news) maka harga saham akan cenderung mengalami kenaikan dan pasar berada pada keadaan baik atau stabil. Sebaliknya informasi yang bersifat buruk (bad news) harga saham akan mengalami penurunan dan kondisi pasar akan cenderung tidak stabil. Ada pengaruh pada kondisi pasar berarti terjadi peningkatan harga pada pasar sekunder yang dipengaruhi oleh kondisi pasar sebelumnya. Oleh karena itu, perusahaan akan memilih waktu penawaran pada saat kondisi pasar bagus.
2.1.8
Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
underpricing telah banyak dilakukan. Ringkasan terkait penelitian terdahulu akan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No 1.
Peneliti Stevani (2004)
Variabel Dependen: Underpricing Independen: 1. Metode akuntansi persediaan dan penyusutan, 2. Prosentase kepemilikan saham, 3. Reputasi KAP,
Teknik Analisis
Regresi Linier Berganda
Hasil Penelitian Hanya variabel ukuran perusahaan dan ROA yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel metode akuntansi persediaan dan penyusutan, prosentase kepemilikan saham, reputasi KAP, kredibilitas underwriter, umur perusahaan serta financial
2.
3.
4.
5.
6.
Saputro dan Agung (2005)
Yolana dan Martani (2005)
Amelia dan Saftiana (2007)
4. Kredibilitas underwriter, 5. Umur perusahaan, 6. Ukuran perusahaan, 7. ROA, 8. Financial leverage Dependen: Underpricing Independen: 1. Ukuran perusahaan, 2. Umur perusahaan, 3. Reputasi underwriter, 4. Reputasi auditor. Dependen: Underpricing Independen: 1. Reputasi penjamin emisi, 2. Kurs, 3. Skala perusahaan, 4. ROE, 5. Jenis industri. Dependen: Underpricing Independen: 1. Skala atau ukuran perusahaan, 2. Umur perusahaan, 3. Presentase kepemilikan saham yang di tahan, 4. Financial leverage, 5. Profitabilitas.
Ekadjaja dan Wendy (2009)
Dependen: Underpricing
Isfaatun dan Hatta (2010)
Dependen: Underpricing
Independen: 1. Reputasi auditor, 2. Reputasi underwriter, 3. Umur perusahaan, 4. Ukuran perusahaan, 5. Financial leverage.
Independen: 1. Financial leverage, 2. Reputasi auditor, 3. Reputasi underwriter, 4. Umur perusahaan, 5. Profitabilitas.
leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Regresi Linier Berganda
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel ukuran perusahaan dan reputasi auditor berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel umur perusahaan dan reputasi underwriter tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham Variabel kurs, skala perusahaan, ROE, dan jenis industri berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Hanya variabel reputasi penjamin emisi yang tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
Semua variabel dalam penelitian ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel ukuran perusahaan yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel reputasi auditor, reputasi underwriter, umur perusahaan dan financial leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel financial leverage yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel umur perusahaan, reputasi auditor, reputasi underwriter, dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
7.
8.
9.
10.
Wijayanto (2010)
Sukirman et al. (2011)
Zirman dan Darlis (2011)
Arman (2012)
Dependen: Underpricing Independen: 1. ROA, 2. EPS, 3. Financial leverage, 4. Proceed. Dependen: Underpricing Independen: 1. Informasi asimetris, 2. Umur perusahaan, 3. Reputasi auditor, 4. ROE, 5. IHSG. Dependen: Underpricing Independen: 1. ROA, 2. Financial leverage, 3. Ukuran perusahaan, 4. Reputasi underwriter, 5. Reputasi auditor, 6. Umur perusahaan. Dependen: Underpricing Independen: 1. Umur perusahaan, 2. Ukuran perusahaan, 3. Reputasi underwriter, 4. ROA
11.
12.
Putera dan Budiarti (2012)
Yustisia dan Roza (2012)
Dependen: Underpricing Independen: 1. Reputasi underwriter, 2. Umur perusahaan, 3. Ukuran perusahaan, 4. ROA. Dependen: Underpricing Independen: 1. Reputasi penjamin emisi, 2. Reputasi auditor, 3. ROE, 4. Skala perusahaan, 5. Persentase saham yang ditawarkan.
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel EPS dan proceed yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel ROA dan financial leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel informasi asimetris dan IHSG yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel umur perusahaan, reputasi auditor, dan ROE tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel reputasi underwriter yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel ROA, financial leverage, ukuran perusahaan, reputasi auditor, dan umur perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
Semua variabel berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel reputasi underwriter dan ROA yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel umur perusahaan dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Hanya variabel reputasi underwriter yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel reputasi auditor, ROE, skala perusahaan dan persentase saham yang ditawarkan tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
13.
14.
15.
Aini (2013)
Dependen: Underpricing
Cahyanda (2013)
Independen: 1. DER, 2. ROE, 3. Ukuran perusahaan, 4. Umur perusahaan, 5. Reputasi underwriter, 6. Reputasi auditor, 7. Penggunaan dana IPO untuk investasi. Dependen: Underpricing
Maya (2013)
Independen: 1. Ukuran perusahaan, 2. Tingkat leverage, 3. EPS, 4. PER, 5. Reputasi auditor, 6. Reputasi underwriter, 7. Presentase pemegang saham lama, 8. Umur perusahaan. Dependen: Underpricing Independen: 1. Kondisi pasar, 2. Persentase saham yang ditawarkan, 3. Financial leverage, 4. Profitabilitas.
16.
17.
Retnowati (2013)
Risqi dan Harto (2013)
Dependen: Underpricing Independen: 1. DER, 2. ROA, 3. EPS, 4. Umur perusahaan, 5. Ukuran perusahaan, 6. Prosentase penawaran saham. Dependen: Underpricing Independen: 1. Reputasi underwriter, 2. Reputasi auditor, 3. ROE, 4. Tingkat leverage.
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel reputasi auditor berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel DER, ROE, ukuran perusahaan, umur perusahaan, reputasi underwriter, serta penggunaan dana IPO untuk investasi tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel reputasi underwriter yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel ukuran perusahaan, tingkat leverage, EPS, PER, reputasi auditor, presentase pemegang saham lama, dan umur perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel persentase saham yang ditawarkan yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel kondisi pasar, financial leverage, dan profitabilitastidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel EPS, ukuran perusahaan, dan prosentase penawaran saham yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel DER, ROA, dan umur perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Regresi Linier Berganda
Hanya variabel reputasi underwriter yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel reputasi auditor, ROE, dan tingkat leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
18.
Safitri (2013)
Dependen: Underpricing Independen: 1. Ukuran perusahaan, 2. Umur perusahaan, 3. Proporsi penawaran saham, 4. Reputasi underwriter, 5. Reputasi auditor.
Regresi Linier Berganda
Sumber: Jurnal Penelitian (2004-2013) (Diolah)
2.2
Hanya variabel reputasi underwriter dan reputasi auditor yang berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Variabel ukuran perusahaan, umur perusahaan, serta proporsi penawaran saham tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing saham.
Rerangka Pemikiran Emiten Membutuhkan Modal
Sumber Dana Eksternal
Sumber Dana Internal
Penggunaan Laba Ditahan
Go Public
Reputasi Underwriter Umur Perusahaan Ukuran Perusahaan Profitabilitas (ROA) Kondisi Pasar (IHSG)
Keterangan: Diteliti Tidak Diteliti
Gambar 2 Rerangka Pemikiran
Underpricing
Hutang
Perusahaan didirikan dengan harapan bahwa perusahaan tersebut dapat mempertahankan kelangsungan usahanya, berkembang dengan pesat, dan dapat bersaing dalam jangka panjang. Salah satu cara yang bisa ditempuh perusahaan adalah ekspansi. Namun, untuk melakukan hal tersebut perusahaan memerlukan modal yang jumlahnya cukup besar. Sumber dana perusahaan dapat diperoleh dari internal maupun eksternal. Sumber dana internal berupa penggunaan laba ditahan, sedangkan sumber dana eksternal berupa hutang (pinjaman) maupun penerbitan saham baru dengan cara go public. Go public merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk mendapatkan tambahan dana dalam rangka pengembangan usahanya serta dimaksudkan untuk memperkuat modal kerja perusahaan yakni dengan cara melakukan penawaran umum penjualan saham perdana kepada masyarakat secara terbuka melalui bursa efek atau sering disebut dengan IPO (Initial Public Offering). Salah satu fenomena yang melekat dan sering terjadi di pasar modal manapun saat emiten melakukan IPO adalah underpricing. Underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO. Selisih harga inilah yang dikenal sebagai initial return atau positive return bagi investor yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya reputasi underwriter, umur perusahaan, ukuran perusahaan, ROA (Return On Asset), serta IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan).
2.3
Perumusan Hipotesis Hipotesis alternatif yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: 1. Reputasi underwriter dan underpricing saham Reputasi underwriter dapat digunakan sebagai sinyal. Underwriter dengan reputasi tinggi lebih mempunyai kepercayaan diri terhadap kesuksesan penawaran saham yang diserap oleh pasar. Dengan demikian ada kecenderungan underwriter yang bereputasi tinggi lebih berani memberikan harga yang tinggi sebagai konsekuensi dari kualitas penjaminannya, sehingga tingkat underpricing pun rendah. Reputasi underwriter diyakini menjadi pertimbangan penting bagi investor untuk membeli saham suatu perusahaan. Semakin tinggi reputasi underwriter, initial return akan semakin rendah atau reputasi underwriter mempunyai pengaruh negatif pada underpricing (Kristiantari, 2012: 40). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra dan Budiarti (2012) menunjukkan bahwa reputasi underwriter berpengaruh terhadap underpricing saham. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dialakukan oleh Zirman dan Darlis (2011), Arman (2012), Yustisia dan Roza (2012), Cahyanda (2013), Rizqi dan Harto (2013), serta Safitri (2013). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1: Reputasi underwriter berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing saham perdana perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2. Umur perusahaan dan underpricing saham Kristiantari (2012: 41) mengemukakan bahwa semakin lama perusahaan berdiri maka masyarakat luas akan lebih mengenalnya dan investor secara khusus akan lebih percaya terhadap perusahaan yang sudah terkenal dan lama berdiri dibandingkan dengan perusahaan yang relatif masih baru. Perusahaan yang sudah lama berdiri tentunya mempunyai strategi dan kiat-kiat yang lebih baik untuk tetap bertahan di masa depan. Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetri informasi dan memperkecil ketidakpastian di masa yang akan datang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arman (2012) yang menunjukkan bahwa umur perusahaan berpengaruh signifikan negatif terhadap tingkat underpricing saham. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H2: Umur perusahaan berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing saham perdana perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 3. Ukuran perusahaan dan underpricing saham Perusahaan besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat daripada perusahaan kecil. Karena lebih dikenal maka informasi mengenai perusahaan besar lebih banyak dan lebih mudah diperoleh investor dibandingkan perusahaan kecil. Hal ini akan mengurangi asimetri informasi pada perusahaan yang besar sehingga akan mengurangi tingkat underpricing daripada perusahaan kecil karena penyebaran informasi perusahaan kecil belum begitu banyak (Kristiantari, 2012: 42). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Stevani
(2004), Saputro dan Agung (2005), Yolana dan Martani (2007), Ekadjaja dan Wendy (2009), Arman (2012), serta Retnowati (2013) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan negatif terhadap underpricing saham. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H3: Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing saham perdana perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 4. ROA (Return on Asset) dan underpricing saham Informasi mengenai tingkat profitabilitas perusahaan merupakan informasi penting bagi investor dalam membuat keputusan investasi. Profitabilitas perusahaan memberikan informasi kepada investor mengenai efektivitas operasional
perusahaan.
Profitabilitas
yang
tinggi
akan
mengurangi
ketidakpastian perusahaan di masa yang akan datang, dan sekaligus mengurangi ketidakpastian IPO, sehingga akan mengurangi underpricing (Kim et al. dalam Kristiantari,2012: 43). Hasil penelitian Putra dan Budiarti (2012) menunjukkan bahwa ROA berpengaruh terhadap underpricing saham. Kondisi ini terjadi karena dengan adanya ROA yang meningkat, maka penjamin emisi akan memberikan harga yang tinggi terhadap saham tersebut, sehingga underpricing bisa lebih kecil. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Stevani (2004), Arman (2012), serta Safitri (2013). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H4: ROA (Return on Asset) berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing saham perdana perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 5. IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) dan underpricing saham Maya (2013: 11) menyebutkan bahwa kondisi pasar merupakan faktor luar yang dapat mempengaruhi terjadinya underpricing. Apabila harga saham dalam keadaan baik maka emiten dan penjamin emisi akan memiliki keyakinan dalam menetapkan harga penawaran perdana yang lebih tinggi dan akan memperkecil terjadinya underpricing. Sehingga pada kondisi pasar yang stabil maka peluang terjadinya underpricing akan semakin kecil. Hasil penelitian Sukirman et al. (2011) menunjukkan bahwa IHSG berpengaruh negatif terhadap underpricing saham. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H5: IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing saham perdana perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.