BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory) Teori Agensi atau teori keagenan menjelaskan hubungan antara agen (manajemen suatu usaha) dan prinsipal (pemilik usaha). Di dalam hubungan keagenan tersebut terdapat suatu kontrak dimana agen menutup kontrak untuk melakukan tugas-tugas tertentu bagi prinsipal, sedangkan prinsipal menutup kontrak untuk memberi imbalan pada agen. Menurut Horne dan Wachowicz (2013:185), biaya agensi adalah biaya-biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual perusahaan dengan kreditor dan pemegang saham. Jensen dan Mecking (dalam Weston dan Bringham, 1998) menyatakan bahwa hubungan keagenan dianggap sebagai suatu kontrak, dimana satu atau beberapa orang (pemberi kerja atau prinsipal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk melaksanakan sejumlah jasa atas nama prinsipal dan mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Beberapa tujuan dari teori agensi adalah pertama, untuk meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan bagi prinsipal maupun agen dalam mengevaluasi lingkungan. Selain itu untuk mengevaluasi hasil keputusan yang telah diambil untuk mempermudah pengalokasian hasil kontrak kerja antara prinsipal dan agen.
8
9
Berdasarkan teori agensi, perusahaan yang menghadapi biaya kontrak dan biaya pengawasan yang rendah cenderung akan melaporkan laba bersih rendah atau dengan kata lain akan mengeluarkan biaya-biaya untuk kepentingan manajemen (salah satunya biaya yang dapat meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat). Kemudian, sebagai wujud pertanggungjawaban, manajer sebagai agen akan berusaha memenuhi seluruh keinginan pihak prinsipal, dalam hal ini adalah pengungkapan informasi pertanggungjawaban sosial perusahaan (Fahrizqi, 2010).
2.1.2 Teori Legitimasi (Legitimacy Theory) Lindrianasari (2010) menjelaskan bahwa teori legitimasi sangat bermanfaat dalam menganalisis perilaku organisasi. Karena legitimasi adalah hal yang penting bagi organisasi, batasan- batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial, dan reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memperhatikan lingkungan. Legitimasi dianggap sebagai asumsi bahwa tindakan yang dilakukan suatu entitas merupakan tindakan yang diinginkan, pantas dan sesuai dengan sistem, norma, nilai, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial (Rawi dan Munandar, 2010). Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Gray et al. (dalam Ahmad dan Sulaiman, 2004) menjelaskan bahwa dasar pemikiran teori legitimasi adalah organisasi atau
10
perusahaan dapat terus berlanjut dan bertahan hidup jika masyarakat menyadari bahwa organisasi beroperasi sesuai dengan sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai masyarakat.
2.1.3 Teori Sinyal (Signalling Theory) Teori sinyal menekankan kepada pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di luar perusahaan. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya. Informasi yang lengkap, relevan, akurat dan tepat waktu sangat diperlukan oleh investor di pasar modal sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan investasi. Menurut Jogiyanto (2000:392), informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan sinyal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar. Dengan melakukan pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility), perusahaan dapat memberi sinyal kepada masyarakat dan secara tidak langsung akan menunjukkan kinerjanya terhadap masyarakat bahwa perusahaan tersebut memiliki prospek yang bagus untuk masa depan. Sinyal yang diberikan perusahaan terhadap masyarakat akan memberikan hubungan saling timbal balik antara perusahaan terhadap stakeholders.
11
Berdasarkan teori sinyal, kegiatan sosial dan lingkungan memberikan informasi kepada investor tentang prospek return masa depan perusahaan yang substansial. Pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility) yang tepat dan sesuai harapan stakeholder sebagai sinyal berupa goodnews yang diberikan oleh pihak manajemen kepada publik bahwa perusahaan memiliki prospek bagus di masa depan dan memastikan terciptannya sustainability development.
2.1.4 Teori Stakeholder (Stakeholder Theory) Stakeholder menurut Freeman (1984) merupakan individu atau kelompok yang bisa mempengaruhi atau dipengaruhi oleh organisasi sebagai dampak dari aktivitas-aktivitasnya. Menurut Ghozali dan Chariri (2007), teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder seperti (shareholders, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Pada dasarnya, kelangsungan hidup perusahaan bergantung pada dukungan stakeholders dan dukungan tersebut harus dicari oleh perusahaan. Kegiatan perusahaan dalam mencari dukungan tersebut disebut aktivitas perusahaan seharihari. Semakin powerful stakeholders, maka semakin besar usaha perusahaan untuk beradaptasi. Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari hubungan antara perusahaan dengan stakehoders-nya (Chariri dan Ghozali, 2007).
12
Stakeholder merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat, baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik seperti mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan. Hal ini berarti bahwa individu, kelompok maupun komunitas tersebut memiliki kekuatan (power) untuk mempengaruhi kebijakan dan dasar pertimbangan strategis dalam pengambilan keputusan suatu perusahaan.
2.1.5 Corporate Social Responsibility (CSR) Pada umumnya, CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu bentuk tanggungjawab sosial perusahaan terhadap lingkungan masyarakat yang dapat dilakukan dengan cara melaksanakan berbagai kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat yang berada di sekitar lingkungan perusahaan. CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan bentuk wujud pertanggungjawaban sosial oleh perusahaan terhadap masyarakat. Berikut adalah definisi-definisi CSR (Corporate Social Responsibility) menurut sejumlah lembaga internasional : 1) Menurut World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat
13
ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya. 2) Menurut Institute of Chartered Accountants, England and Wales, CSR (Corporate Social Responsibility) adalah jaminan bahwa organisasiorganisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (shareholders) mereka. 3) Menurut CSR Asia, CSR (Corporate Social Responsibility) adalah komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam kepentingan para stakeholders. 4) Menurut European Commission, CSR (Corporate Social Responsibility) adalah sebuah konsep perusahaan dalam mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya
dengan
para
pemangku
kepentingan
(stakeholders)
berdasarkan prinsip kesukarelaan. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa CSR (Corporate Social Responsibility) berkaitan dengan stakeholders, kesejahteraan masyarakat serta kelangsungan hidup perusahaan. Pada intinya perusahaan melakukan CSR (Corporate Social Responsibility) untuk masyarakat, lingkungan sekitar dan stakeholder supaya perusahaan tersebut dapat hidup berkelanjutan (sustainability). Serta dapat disimpulkan bahwa tujuan perusahaan melakukan CSR (Corporate
14
Social Responsibility) bukan hanya semata-mata mencari keuntungan saja, tetapi untuk kegiatan sosial ekonomi bagi masyarakat di lingkungan sekitarnya. Menurut ISO 26000, CSR (Corporate Social Responsibility) adalah: Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusankeputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan para pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh.
2.1.6 Pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility) Pengungkapan berarti tidak menyembunyikan atau menutupi sesuatu. Penyampaian informasi dalam laporan keuangan disebut dengan pengungkapan akuntansi. Menurut Chariri dan Ghozali (2007), pengungkapan mengandung arti bahwa laporan keuangan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil aktivitas suatu unit usaha. Suwardjono (2006) menyatakan bahwa pengungkapan laporan keuangan memiliki tiga tujuan, yaitu: 1. Tujuan melindungi (proactive) Tujuan melindungi ditujukan terutama bagi pemakai laporan keuangan yang kurang memahami substansi ekonomi yang melandasi suatu pos statemen keuangan. Pemakai laporan keuangan perlu dilindungi dari
15
perlakuan manajemen yang mungkin kurang adil dan terbuka dalam penyajian laporan keuangan. Tujuan melindungi biasanya dilakukan oleh badan atau pihak yang mempunyai wewenang untuk mengatur perusahaan seperti Securities Exchange Comission (SEC) dan BAPEPAM. 2. Tujuan informatif (informative) Tujuan informatif didasarkan pada asumsi bahwa pemakai laporan keuangan mempunyai pengetahuan yang cukup untuk membaca laporan keuangan. Tujuan informatif lebih bersifat membantu pemakai laporan keuangan dalam hal keefektifan dalam pengambilan keputusan. Tujuan informatif biasanya dilakukan oleh BAPEPAM bersama dengan penyusun standar untuk menentukan luas pengungkapan. 3. Tujuan kebutuhan khusus (differential) Tujuan
kebutuhan
khusus
merupakan
gabungan
antara
tujuan
perlindungan dan tujuan informatif. Jadi, apa yang harus diungkapkan kepada publik dibatasi dengan apa yang dipandang berguna bagi pemakai yang dituju. Sebaliknya, untuk tujuan pengawasan informasi tertentu harus disampaikan kepada badan pengawas berdasarkan peraturan yang menuntut pengungkapan secara rinci. Secara umum, tujuan pengungkapan adalah menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan keuangan dan melayani berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda (Suwardjono, 2005). Pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility) dapat dilihat melalui laporan keberlanjutan suatu perusahaan (sustainability report) yang diterbitkan
16
melalui laporan keuangan tahunan atau secara terpisah diterbitkan tersendiri dalam laporan keberlanjutan suatu perusahaan. Laporan keberlanjutan adalah suatu laporan praktek hasil pengukuran, pengungkapan dan upaya akuntabilitas dari kinerja organisasi yang ditujukan kepada para pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sebuah laporan keberlanjutan harus menyediakan gambaran kinerja keberlanjutan sebuah organisasi yang berimbang dan masuk akal, termasuk kontribusi yang telah dilakukan oleh perusahaan (Purnasiwi, 2011). Hendriksen (dalam Anggraini, 2006) menyatakan bahwa pengungkapan sebagai penyajian sejumlah informasi yang dibutukan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal efisien. Bentuk pengungkapan pada dasrnya bersifat wajib (mandatory) dan sukarela (voluntary). Perusahaan seharusnya mengungkapkan baik informasi keuangan maupun non keuangan agar dapat meningkatkan nilai perusahaan. Pengungkapan yang bersifat wajib (mandatory) adalah pengungkapan informasi yang wajib dilakukan oleh perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau standar tertentu, sedangkan pengungkapan yang bersifat sukarela (voluntary) adalah pengungkapan informasi melebihi persyaratan minimum dari peraturan yang berlaku. Menurut Anggraini (dalam Zhegal dan Ahmed, 1990:2006) mengidentifikasi beberapa hal yang berkaitan dengan pelaporan CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan, yaitu sebagai berikut:
17
1. Lingkungan, yang meliputi pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau perbaikan terhadap kerusakan lingkungan, konservasi alam, dan pengungkapan lain yang berkaitan dengan lingkungan. 2. Energi, yang meliputi konservasi energi, efisiensi energi. 3. Praktik bisnis yang wajar, yang meliputi pemberdayaan terhadap minoritas dan perempuan, dukungan terhadap usaha minoritas, tanggungjawab sosial. 4. Sumber daya manusia (SDM), yang meliputi aktivitas di dalam suatu komunitas, dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan, pendidikan dan seni. 5. Produk, yang meliputi keamanan, pengurangan polusi. Pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan umumnya masih bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu (Sumedi, 2010). Oleh karena itu, entitas bisnis memiliki kebebasan untuk mengungkapkan informasi yang tidak diwajibkan oleh badan penyelenggara pasar modal. Keragaman dalam pengungkapan disebabkan oleh entitas bisnis yang dikelola oleh manajer yang memiliki pandangan filosofi manajerial yang berbeda dan keluasan yang berkaitan dengan pengungkapan informasi kepada masyarakat. Darwin dan Anggraini (2004;2006), mengatakan bahwa Corporate Sustainability Reporting terbagi menjadi tiga kategori yang biasa disebut sebagai aspek Triple Bottom Line, yaitu kinerja ekonomi, kinerja lingkungan, dan kinerja sosial. Tujuannya adalah agar stakeholder bisa mendapat yang lebih komprehensif
18
untuk menilai kinerja, risiko, dan proyek bisnis, serta kelangsungan hidup suatu korporasi.
2.1.7 Kepemilikan Manajerial Adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan manajerial juga dapat diartikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh manajer dan direktur perusahaan pada akhir tahun untuk masing-masing periode pengamatan. Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan presentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen. Struktur kepemilikan manajerial dapat dijelaskan melalui dua sudut pandang, yaitu pendekatan keagenan dan pendekatan ketidakseimbangan. Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai suatu instrument atau alat yang digunakan untuk mengurangi konflik keagenan di antara beberapa klaim terhadap sebuah perusahaan. Pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan manajerial sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dengan outsider melalui pengungkapan informasi didalam perusahaan. Meningkatkan kepemilikan manajerial digunakan sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah yang ada di perusahaan. Dengan meningkatnya kepemilikan manajerial maka manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya sehingga dalam hal ini akan berdampak baik kepada perusahaan serta
19
memenuhi keinginan dari para pemegang saham. Semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka manajemen akan lebih giat untuk meningkatkan kinerjanya karena manajemen mempunyai tanggungjawab untuk memenuhi keinginan dari pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Manajemen akan lebih berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan, karena manajemen akan ikut merasakan manfaat secara langsung dari keputusan yang diambil. Selain itu manajemen juga ikut menanggung kerugian apabila keputusan yang diambil oleh mereka salah.
2.1.8 Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional adalah suatu kondisi yang menunjukkan bahwa pihak - pihak yang berbentuk institusi, seperti yayasan, bank, perusahaan asuransi, perusahaan investasi, perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT), dan institusi lainnya sebagai pihak yang memiliki saham dan menjadi pemegang saham. Institusi biasanya dapat menguasai mayoritas saham karena institusi memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan pemegang saham lainnya. Oleh karena itu, pihak institusional dapat melakukan pengawasan terhadap kebijakan manajemen secara lebih kuat dibandingkan dengan pemegang saham lainnya. Peningkatan kepemilikan institusional menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap kinerja manajemen. Semakin besar insitusional ownership maka semakin kuat kendali yang dilakukan pihak eksternal terhadap perusahaan (Tamba, 2011).
20
2.1.9 Profitabilitas
Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba sehingga mampu meningkatkan nilai pemegang saham perusahaan. Jika profitabilitas tinggi, maka akan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada manajemen dalam mengungkapkan dan melakukan program tanggung jawab sosialnya. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pula pengungkapan informasi sosialnya (Zaleha, 2005).
2.1.10 Ukuran Perusahaan
Ukuran suatu perusahaan dapat mempengaruhi luas pengungkapan informasi pada suatu laporan keuangan perusahaan. Perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil, karena perusahaan besar akan menghadapi risiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil. Secara teoretis perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan politis, yaitu tekanan untuk melakukan pertanggungjawaban sosial. Perusahaan besar memiliki sumber daya yang besar, sehingga perusahaan perlu dan harus mampu membiayai penyediaan informasi untuk keperluan internal. Informasi tersebut sekaligus menjadi bahan untuk keperluan pengungkapan informasi kepada pihak eksternal, sehingga tidak perlu ada tambahan biaya yang besar untuk dapat melakukan pengungkapan dengan lebih lengkap (Fahrizqi, 2010). Salah satu tolok ukur yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan adalah total aset dari perusahaan tersebut.
21
2.1.11 Leverage
Leverage merupakan alat untuk mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiayai asetnya. Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan tersebut sangat bergantung pada pinjaman luar dalam membiayai asetnya. Sedangkan perusahaan yang mempunyai tingkat leverage yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan tersebut lebih membiayai asetnya dengan modal sendiri. Risiko keuangan perusahaan dapat dilihat melalui tingkat leverage perusahaan (Purnasiwi, 2011). Rasio leverage merupakan proporsi total hutang terhadap rata-rata ekuitas pemegang saham. Rasio tersebut digunakan untuk memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki perusahaan, sehingga dapat dilihat tingkat resiko tak tertagihnya suatu utang. Semakin tinggi leverage, maka keputusan untuk mengungkapkan CSR (Corporate Social Responsibility) menjadi semakin berkurang. Hal ini dikarenakan keputusan untuk mengungkapkan CSR (Corporate Social Responsibility) dapat membuat suatu pengeluaran yang akan menurunkan suatu pendapatan. Teori legitimasi memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi. Perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan rasio leverage yang rendah. Pendapat lain mengatakan bahwa semakin tinggi leverage, kemungkinan besar perusahaan akan mengalami pelanggaran terhadap kontrak utang, maka manajer
22
akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi akan mengurangi kemungkinan perusahaan melanggar perjanjian utang. Manajer akan memilih metode akuntansi yang akan memaksimalkan laba sekarang. Oleh karena itu semakin tinggi tingkat leverage maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi.
2.1.12 Dewan Komisaris
Dewan komisaris adalah wakil pemegang saham dalam perusahaan yang berbadan hukum atau perseroan terbatas yang memiliki fungsi untuk mengawasi pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan oleh manajemen (direksi), dan bertanggung jawab untuk menentukan apakah manajemen sudah memenuhi tanggung jawab mereka dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pengendalian intern perusahaan. Dewan komisaris dapat mempengaruhi luasnya pengungkapan tanggung jawab sosial karena dewan komisaris merupakan wakil dari prinsipal yang menjadi pelaksana tertinggi di perusahaan (Fahrizqi, 2010). Jika semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka tekanan terhadap manajemen juga akan semakin besar untuk mengungkapkan tanggungjawab sosial perusahaan. Dengan
wewenang yang dimiliki, dewan komisaris dapat
memberikan pengaruh yang cukup kuat untuk menekan manajemen agar mengungkapkan informasi CSR (Corporate Social Responsibility) lebih banyak.
23
2.2 Rerangka Pemikiran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan CSR RRR Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Institusional
Profitabilitas
Ukuran Perusahaan
Leverege
Teori Keagenan
Teori Stakeholder
Teori Keagenan
Teori Keagenan
Teori Sinyal
Semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka manajemen akan lebih giat untuk meningkatkan pengungkapan CSRnya
Semakin besar kepemilikan insitusional maka semakin kuat kendali yang dilakukan pihak eksternal terhadap perusahaan
Semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pula pengungkapan informasi sosialnya
Semakin besar perusahaan maka perusahaan akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil
Pengungkapan CSR Gambar 1 Rerangka Pemikiran
Semakin tinggi leverage, maka keputu san untuk mengung kapkan CSR menjadi semakin berkurang
Ukuran Dewan Komisaris Teori Keagenan Semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka tekanan terhadap manajemen juga akan semakin besar untuk mengun gkapkan CSR .
24
2.3
Perumusan Hipotesis
2.3.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Pengungkapan CSR Berdasarkan teori keagenan, hubungan antara manajemen dengan pemegang saham, rawan terjadinya masalah keagenan. Teori keagenan menyatakan bahwa salah satu cara untuk memperkecil adanya konflik agensi dalam perusahaan adalah dengan memaksimalkan jumlah kepemilikan manajerial. Dengan menambah jumlah kepemilikan manajerial, maka manajemen akan merasakan dampak langsung atas setiap keputusan yang mereka ambil karena mereka menjadi pemilik perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Teori keagenan menyatakan bahwa jika jumlah kepemilikan manajerial bertambah, maka pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility) yang dilakukan akan semakin besar. Hal ini dikarenakan manajemen sendiri yang menetapkan keputusan, mengambil keputusan serta merasakan dampak langsung dari hasil keputusan yang mereka ambil. Penelitian Nasir dan Abdullah (2004) dan Rosmasita (2007) menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif dalam hubungan antara kepemilikan saham manajerial terhadap luas pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility). Akan tetapi, tidak semua penelitian mendukung
hubungan antara kedua variabel ini, penelitian yang
dilakukan oleh Rustiarini (2010) tidak berhasil menemukan hubungan antara kepemilikan manajerial terhadap pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility). Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1a : Struktur kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility)
25
2.3.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Pengungkapan CSR Penelitian Grief dan Zychowicz (1994) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kepemilikan institusional dari persentase saham yang dimiliki oleh investor institusional akan menyebabkan tingkat monitor menjadi lebih efektif. Dengan
demikian
semakin
tinggi
tingkat
kepemilikan
institusi,
maka
pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility) akan semakin luas. Anggraini (2006) menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan institusional, maka semakin luas pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility) yang dilakukan. Hal ini dikarenakan kepemilikan institusional yang besar akan menyebabkan tekanan terhadap manajemen untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan secara lebih luas. Teori stakeholder menyatakan bahwa stakeholder merupakan pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan yang dapat mempengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan. Kepemilikan institusional yang besar akan sangat berpengaruh dan berdampak pada keputusan manajemen yang akan diambil. Salah satu keputusannya adalah pengungkapan informasi CSR (Corporate Social Responsibility). Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1b
:
Struktur
kepemilikan
institusional
berpengaruh
pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility)
positif
terhadap
26
2.3.3 Pengaruh Profitabilitas terhadap Pengungkapan CSR Berdasarkan teori keagenan yang dinyatakan oleh Bowman dan Haire (dalam Heckston dan Milne, 1996), hubungan antara pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan profitabilitas perusahaan tercermin dalam pandangan bahwa reaksi sosial memerlukan gaya manajerial yang diperlukan untuk membuat suatu perusahaan memperoleh keuntungan. Ketika tanggung jawab agen kepada prinsipal terpenuhi, yaitu memperoleh keuntungan, maka akan memberikan keleluasaan manajemen perusahaan untuk mengungkapkan CSR (Corporate Social Responsibility). Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggung-jawaban sosial kepada pemegang saham, sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi tanggung jawab sosial perusahaan. Sedangkan, profitabilitas menurut Saidi (2004) adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba sehingga dapat menggambarkan keberadaan perusahaan terhadap pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility). Hasil menunjukan profitabilitas berpengaruh positif terhadap tanggung jawab sosial perusahaan Menurut penelitian Jurica Lucyanda dan Lady GraciaPrilia Siagian (2012),
menyatakan
bahwa
profitabilitas
berpengaruh
positif
terhadap
pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility). Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2a : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility)
27
2.3.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Pengungkapan CSR Berdasarkan teori keagenan, yang menyatakan bahwa perusahaan yang lebih besar memiliki biaya keagenan yang lebih besar pula dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. Biaya keagenan yang besar dapat dikurangi dengan cara mengungkapkan informasi yang lebih luas. Dengan kata lain, teori keagenan memprediksi bahwa perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility). Berdasarkan dengan teori stakeholder, perusahaan yang besar cenderung memiliki kepemilikan saham yang lebih banyak sehingga jumlah pemilik saham yang lebih banyak akan memerlukan informasi keuangan yang lebih besar pula. Perusahaan besar merupakan emiten yang banyak disoroti oleh masyarakat luas, sehingga dengan adanya pengungkapan yang lebih banyak oleh entitas bisnis maka merupakan bagian dari pengurangan biaya tekanan politis sebagai wujud tanggung jawab sosial entitas. Hal ini menyebabkan perusahaan harus mengungkapkan informasi keuangan yang lebih luas dan lengkap supaya mendapat dukungan dari stakeholder. Ukuran suatu perusahaan dapat mempengaruhi luas pengungkapan informasi dalam laporan keuangan mereka. Secara umum, perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil, karena perusahaan besar akan menghadapi risiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil. Secara teoritis perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan politis, yaitu tekanan untuk melakukan pertanggungjawaban sosial (Fahrizqi, 2010). Penelitian
28
Heckston dan Milne (1996) menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility). Akan tetapi, tidak semua penelitian mendukung hubungan antara kedua variabel ini. Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H2b : Ukuran Perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility)
2.3.5 Pengaruh Leverage terhadap Pengungkapan CSR Leverage merupakan proporsi total kewajiban terhadap total ekuitas pemegang saham. Rasio tersebut digunakan untuk memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki perusahaan, sehingga dapat dilihat tingkat resiko tak tertagihnya suatu utang. Selain itu, leverage juga merupakan alat untuk mengukur seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiayai aset perusahaan. Perusahaan akan lebih terdorong dalam mengungkapkan CSR (Corporate Social Responsibility) yang lebih luas apabila memiliki rasio leverage yang tinggi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi kreditur. Kreditur memerlukan pengungkapan tangungjawab sosial perusahaan sebagai informasi untuk mengevaluasi risiko secara benar Teori sinyal memprediksi bahwa terdapat hubungan negatif antara leverage terhadap pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility), yaitu manajemen dengan tingkat leverage yang tinggi akan membuat perusahaan mengurangi pengungkapan CSRnya agar tidak menjadi sorotan debtholders. Menurut Belkaoui dan Karprik (1989) keputusan untuk mengungkapkan informasi sosial
29
akan meningkatkan pengeluaran untuk pengungkapan yang menurunkan pendapatan. Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H2c : Leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility)
2.3.6 Pengaruh Dewan Komisaris terhadap Pengungkapan CSR Berdasarkan teori agensi, dewan komisaris dianggap sebagai mekanisme pengendalian intern tertinggi, yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen puncak. Semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka akan semakin mudah untuk mengendalikan dan monitoring yang dilakukan akan semakin efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggungjawab sosial, maka tekanan terhadap manajemen juga akan semakin besar untuk mengungkapkannya. Hasil menunjukan dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tanggung jawab sosial perusahaan. Hasil ini juga berhasil mendukung penelitian Arifin (2002) yang menemukan bahwa dewan komisaris berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan sukarela yang dibuat perusahaan di Indonesia. Namun berbeda dengan penelitian Jurica Lucyanda dan Lady GraciaPrilia Siagian (2012), menyatakan bahwa dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility). Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3 : Dewan komisaris berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility)