BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Signalling Theory (Teori Sinyal) Teori Sinyal menjelaskan tentang bagaimana para investor memiliki informasi yang sama tentang prospek perusahaan sebagai manajer perusahaan ini disebut informasi asimetris. Namum dalam kenyataannya manajer sering memiliki informasi lebih baik dari investor luar. Hal ini disebut informasi asimetris, dan ini memiliki dampak penting pada struktur modal yang optimal (Brigham, 2010). Signaling theory juga menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan infomasi laporan keuangan pada pihak internal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi tersebut adalah karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak investor karena perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang dibanding pihak luar (investor, kreditor) (Simanungkalit, 2009). Pada motivasi signaling manajemen melakukan kebijakan akrual yang mengarah pada presistensi laba. Motivasi signaling mendorong manajemen menyajikan laporan laba yang dapat mencerminkan laba sesungguhnya (Sunarto, 2008). Teori Sinyal juga mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal tersebut berupa informasi mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik ataupun 10
11
pihak yang berkepentingan. Sinyal yang diberikan dapat juga dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan, laporan apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik, atau bahkan dapat berupa promosi serta informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik dari pada perusahaan lain (Susilowati dan Turyanto, 2011). Menurut teori sinyal kegiatan perusahaan memberikan informasi kepada investor tentang prospek return masa depan yang substansial. Informasi sebagai sinyal yang diumumkan pihak manajemen kepada publik bahwa perusahaan memiliki prospek bagus dimasa depan. Susilowati dan Turyanto (2011) menyatakan bahwa return yang meningkat akan diprediksi dan memberikan sinyal tentang laba jangka pendek dan jangka panjang dan analisa yang mengungkap sinyal tersebut digunakan untuk memprediksi peningkatan earning jangka panjang. Teori sinyal ini membahas bagaimana seharusnya sinyal-sinyal keberhasilan atau kegagalan managemen (agent) disampaikan kepada pemilik modal (principle). Penyampaian laporan keuangan dapat dianggap sebagai sinyal, yang berarti bahwa apakah agen telah berbuat sesuai dengan kontrak atau belum. Teori sinyal juga memprediksikan bahwa pengumuman efek pada harga saham dan kenaikan deviden adalah positif (Susilowati dan Turyanto, 2011). 2.1.2 Likuiditas Masalah likuiditas berhubungan dengan masalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang segera harus dipenuhi. Perusahaan
12
yang mampu memenuhi segala kewajiban keuangan jangka pendeknya tepat waktu digolongkan sebagai perusahaan yang likuid. Sebaliknya perusahaan yang tidak mampu memenuhi kewajiban keuangan jangka pendeknya tepat waktu berarti perusahaan tersebut dalam keadaan illikuid. Menurut Syamsuddin (2008:41) likuiditas merupakan suatu indikator mengenai kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajiban finansial jangka pendek pada saat jatuh tempo dengan menggunakan aktiva lancar yang tersedia. Menurut Horne dan Wachowicz (2013:128) likuiditas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Likuiditas tidak hanya berkenaan dengan keadaan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan untuk mengubah aktiva lancar tertentu menjadi uang kas. Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa likuiditas menunjukkan
kemampuan
dari
perusahaan
untuk
memenuhi
kewajiban
keuangannya. Menurut Harahap (2013:34) ada beberapa rasio likuiditas yang dapat digunakan untuk menganalisis likuiditas suatu perusahaan diantaranya: 1. Rasio Lancar (Current Ratio) Rasio yang paling umum yang digunakan untuk menganalisa posisi modal kerja suatu perusahaan adalah current ratio, yaitu perbandingan antara jumlah aktiva lancar dengan hutang lancer. Current ratio digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan memenuhi utang jangka pendeknya dengan mengunakan aktiva lancar. Rasio lancar dapat dihitung dengan rumus:
13
Current Ratio
Aktiva Lancar x 100% Hutang Lancar
Rasio ini merupakan ratio yang paling umum digunakan untuk menganalisa posisi modal kerja suatu perusahaan. Current ratio merupakan perbandingan antara jumlah aktiva dengan hutang lancer. Semakin tinggi current ratio suatu perusahaan, berarti semakin tinggi tingkat keamanan para kreditur jangka pendek atau dengan kata lain kemampuan perusahaan untuk membayar hutang hutangnya tinggi. Akan tetapi current ratio yang terlalu tinggi menunjukkan kelebihan kas. Rasio atau pedoman yang baik adalah 2:1 atau 200% (Harahap, 2013:34). 2. Rasio Cepat (Quick Ratio) Rasio ini merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban–kewajibannya
dengan
menggunakan
aktiva
lancar
tanpa
memperhitungkan persediaan, Persediaan tidak diperhitungkan karena persediaan memerlukan waktu yang relatif lama untuk direalisir menjadi uang kas. Hal ini berarti aktiva lancar yang dimaksud berupa kas dan piutang. Rasio Cepat (Quick Ratio) lebih tajam daripada current ratio, karena hanya membandingkan aktiva yang sangat likuid (mudah dicairkan atau mudah diuangkan) dengan hutang lancar. Jika current ratio tinggi tetapi quick ratio rendah, menunjukkan adanya investasi yang sangat besar dalam persediaan. Quick ratio dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Quick Ratio
Aktiva Lancar Persediaan x100% Hutang Lancar
14
Rasio ini dihitung dengan mengurangi persediaan dari aktiva lancar dan sisanya dibagi dengan kewajiban lancar. Persediaan merupakan unsur aktiva lancar yang paling tidak likuid dan unsur aktiva tersebut seringkali merupakan kerugian jika terjadi likuiditas. Oleh karena itu rasio cepat merupakan ukuran untuk mengetahui kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya tanpa memperhitungkan persediaan. Rasio atau pedoman yang baik adalah 1:1 atau 100%. (Harahap, 2013:35). 3. Rasio Kas (Cash Ratio) Cash ratio mengukur ketersediaan kas untuk membayar kewajiban lancar. Pentingnya kas sebagai bentuk akhir likuiditas seharusnya tidak dipandang rendah. Catatan kegagalan usaha memberikan banyak contoh perusahaan yang tidak sanggup membayar utangnya meskipun memiliki aktiva non kas yang cukup besar (lancar maupun tak lancar) dan tidak mampu membayar utang atau menjalankan operasi. Di dalam rasio ini yang dibandingkan adalah kas. Kas dianggap sebagai aktiva yang paling likuid yaitu mudah untuk dicairkan dalam jangka pendek. Semakin tinggi rasio kas berarti jumlah uang tunai tersedia semakin besar, sehingga pelunasan hutang akan terjamin. Rasio atau pedoman yang baik adalah > 30% (minimal 0,3 atau 30%). Rumus untuk mencari rasio kas atau cash ratio dapat digunakan sebagai berikut:
Cash Ratio
Kas Bank x 100% Hutang Lancar
Jika rata rata industri untuk cash ratio adalah 50% maka keadaan perusahaan lebih baik dari perusahaan lain. Namun, kondisi rasio kas terlalu tinggi juga
15
kurang baik karena ada dana yang menganggur atau yang tidak atau belum digunkan secara optimal (Harahap, 2013:36). 2.1.3 Solvabilitas Rasio solvabilitas (leverage) merupakan rasio yang digunkan untuk mengukur sejauh mana aktiva perusahaan dibiayai dari hutang. Artinya berapa besar beban utang yang ditanggung perusahaan dibandingkan dengan aktivanya. Dalam arti luas dikatakan bahwa rasio ini digunkan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dibubarkan (dilikuidasi). Menurut Hanafi (2011:29). Solvabilitas (Leverage) adalah pengorbanan ekonomis yang mungkin timbul di masa mendatang dari kewajiban organisasi sekarang untuk mentransfer aset atau memberikan jasa ke pihak lain di masa mendatang, sebagai akibat transaksi atau kejadian di masa lalu. Leverage mencul terutama karena penundaan pembayaran untuk barang atau jasa yang telah diterima oleh organisasi dan dari dana yang dipinjam. Riyanto (2013:375) leverage dapat didifinisikan sebagai penggunaan aktiva atau dana dimana untuk penggunaan tersebut perusahaan harus menutup biaya tetap atau membayar beban tetap. Ridwan dan Barlian (2009:151) leverage merupakan hasil dari pada penggunaan dana dengan biaya tetap untuk meningkatkan pengembalian kepada pemegang saham semakin kecil leverage keuangan dalam struktur modal perusahaan maka semakin kecil juga risikonya dan begitu pula sebaliknya. Jadi dapat dikatakan bahwa semakin semakin kecil risiko perusahaan, maka
16
kemungkinan untuk tumbuh dan berkembang semakin besar. Leverage dapat digunakan untuk melihat seberapa besar risiko keuangan perusahaan. Semakin tinggi rasio solvabilitas maka semakin tinggi pula resiko kerugian yang dihadapi, tetapi juga ada kesempatan mendapatkan laba yang besar. Sebaliknya apabila perusahaan memiliki rasio solvabilitas yang rendah tentu mempunyai resiko kerugian yang lebih kecil. Dampak ini juga mengakibatkan rendahnya tingkat hasil pengembalian (return) pada saat perekonomian tinggi. Setiap penggunaan leverage oleh perusahaan akan berpengaruh terhadap risiko dan pengembalian (Warsono, 2008:36). Menurut Warsono (2008:213) leverage dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Operating leverage, pada dasarnya adalah besarnya perusahaan menggunakan biaya operasi tetap. Operating leverage timbul karena adanya fixed operating cost yang digunakan di dalam perusahaan untuk menghasilkan pendapatan. Fixed operating cost tidak berubah dengan adanya perubahan penjualan. Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa leverage operasi ialah sebagian penggunaan potensial biaya-biaya operasi untuk memperbesar pengaruh perubahan dalam penjualan terhadap laba sebelum bunga dan pajak perusahaan (Warsono, 2008:213). 2. Financial leverage, terjadi apabila perusahaan menggunakan hutang selain modal sendiri dalam struktur financialnya. Menggunakan leverage keuangan akan mempengaruhi besar kecilnya rentabilitas modal sendiri secara proporsional. Dengan masuknya pinjaman ke dalam struktur modal, keuntungan atas modal sendiri akan lebih meningkat. Dalam leverage
17
keuangan akan diperoleh manfaat jika dana yang di pinjam dengan suku bunga tetap tertentu dapat digunakan untuk memperoleh tingkat keuntungan yang lebih tinggi dari bunga pinjamannya. Leverage keuangan adalah perubahan prosentase tertentu dalam EBIT. Leverage keuangan dapat menggunakan dua ukuran yaitu: a. Rasio total utang terhadap total aktiva (debt ratio/DR). Mengukur persentase dana yang disediakan oleh kreditor terhadap total aktiva yang dimiliki perusahaan. Dan secara matematis, dapat dihitung dengan cara membagi antara total utang dengan total aktiva. Besarnya hasil perhitungan menunjukkan besarnya total utang yang dapat dijamin dengan total aktiva. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan risiko keuangan yang dihadapi perusahaan semakin tinggi, karena utang membawa konsekuensi beban bunga tetap (Warsono, 2008:36). Rasio debt to total asset dapat dihitung dengan rumus:
Debt ratio
Total Kewajiban x100% Total Asset
b. Rasio total utang terhadap modal/ekuitas (debt to equity ratio/DER) Menggambarkan sampai sejauh mana modal pemilik dapat menutupi utang kepada pihak luar. Dan secara matematis dapat dihitung dengan cara total utang dibagi dengan total modal/equity. Semakin kecil rasio ini maka semakin baik (Harahap, 2013:303). Debt to equity rato dapat dihitung dengan rumus:
DER
Total Kewajiban x100% Total equity
18
2.1.4 Profitabilitas Kelangsungan suatu perusahaan ditekankan pada profitabilitas, karena tanpa adanya keuntungan akan sulit untuk menarik modal dari luar. Para kreditur, pemilik perusahaan dan terutama pihak manajemen perusahaan berusaha meningkatkan keuntungan ini, karena pada umumnya tujuan pokok suatu perusahaan dalam melaksanakan kegiatannya yaitu mengoptimalkan laba perusahaan dan menjaga kontinuitas perusahaan. Untuk memberikan pengertian yang lebih jelas mengenai apa yang dimaksud dengan profitabilitas, maka dapat dilihat beberapa pendapat. Riyanto (2013:35) profitabilitas suatu perusahaan menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Profitabilitas sering dikaitkan dengan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Sedangkan menurut Harahap (2013:304) profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang dan sebagainya. Beberapa indikator dari rasio Profitabilitas ini dapat dikemukakan sebagai berikut (Sutrisno, 2009:222): 1.
Return On Assets (ROA) Menurut Hanafi dan Halim (2007:84) rasio ini mengukur kemampuan
perusahaan menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat aset yang tertentu. ROA sering juga disebut ROI atau Return on Investment. ROA dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
19
Return On Assets (ROA)
Laba Bersih Setelah Pajak x 100% Total Aktiva
Rasio yang tinggi menunjukkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan aset yang berarti semakin baik. Return on asset atau return on investment menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari aktiva yang dipergunakan. Analisa ROA bersifat menyeluruh dan digunakan untuk mengukur efektifitas dari keseluruhan operasi perusahaan. Atau untuk dapat mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktiva yang digunakan untuk operasi perusahaan, sehingga dapat menghasilkan keuntungan. Rasio atau pedoman yang baik adalah > 5%. 2.
Return On Equity (ROE) Menurut Hanafi dan Halim (2007:84) rasio ini mengukur kemampuan
perusahaan menghasilkan laba berdasarkan modal saham tertentu. ROE dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut ini:
Return On Equity (ROE)
Laba Bersih Setelah Pajak x100% Modal Sendiri
Menurut Hanafi dan Halim (2007:84) angka yang tinggi untuk ROE menunjukkan
tingkat
profitabilitas
yang
tinggi.
Rasio
ROE
tidak
memperhitungkan deviden maupun capital gain untuk pemegang saham. Karena rasio ini bukan pengukur return yang diterima pemegang saham yang sebenarnya. ROE dipengaruhi oleh ROA dan tingkat penggunaan utang. Rasio ini juga dipengaruhi oleh besar kecilnya utang perusahaan, apabila proporsi utang semakin besar maka rasio ini juga akan semakin besar. Rasio atau pedoman yang baik adalah antara 20% - 40%.
20
3.
Net Profit Margin (NPM) Menurut Hanafi dan Halim (2007:83) rasio ini diinterpretasikan juga sebagai
kemampuan perusahaan menekan biaya-biaya (ukuran efisiensi) di perusahaan pada periode tertentu. Profit margin dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Net Profit Margin
Laba Bersih Setelah Pajak x100% Penjualan
Profit Margin yang tinggi menandakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu (Hanafi dan Halim, 2007:83). Secara umum rasio yang rendah menunjukkan ketidakefisienan manajemen (Hanafi dan Halim, 2007:83). Rasio ini untuk membandingkan antara keuntungan sesudah pajak dengan penjualan, sehingga dari perhitungan ini dapat diketahui berapa keuntungan per rupiah penjualan. Apabila gross profit margin selama suatu periode tidak berubah sedangkan net profit margin mengalami penurunan maka berarti bahwa biaya meningkat relatif lebih besar daripada peningkatan penjualan. “Rasio atau pedoman yang baik adalah > 5%”. 2.1.5 Rasio Pasar Rasio pasar atau market value merupakan perhitungan keuangan yang digunakan oleh para investor untuk mengevaluasi kinerja perusahaan go public. Para pemegang saham sebagai investor sangat berkepentingan pada analisis rasio keuangan perusahaan. Dalam proses memulai suatu bisnis, seluruh uang yang berasal dari penjualan saham akan terlihat pada modal pemegang saham sebagai modal disetor atau saham biasa, pada aktiva lancar sebagai kas. Selama
21
perusahaan berjalan, mungkin sebagian jumlah uang tersebut dimasukkan dalam laba ditahan (Husnan, 2010). Menurut Prihadi (2012:265) market value atau market measure merupakan rasio yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara harga saham terhadap laba dan nilai buku saham. Rasio ini juga digunakan untuk indikasi investor dalam melihat masa lalu dan prospek di masa yang akan datang. Rasio pasar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Earning per Share (EPS). Larson (dalam Prasetyo, 2011:16) menyatakan bahwa earning per share (EPS) merupakan jumlah pendapatan yang didapat dari tiap-tiap lembar saham biasa yang disetorkan perusahaan. EPS merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Laba per lembar saham dapat dijadikan sebagai indikator tingkat nilai perusahaan. Dalam pengertian yang tidak jauh beda, EPS adalah keuntungan bersih perusahaan dibagi dengan seluruh saham perusahaan. Nilai EPS ini dilihat dari laju pertumbuhan EPS. Murhadi (2013:64) merumuskan EPS secara sistematis adalah sebagai berikut: EPS
Earning perusahaan Jumlah saham beredar
Informasi earning per share (EPS) menunjukkan laba bersih perusahaan yang siap dibagikan ke semua pemegang saham perusahaan yang dapat diketahui dari laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan berdasarkan atas prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (Husnan, 2010:300). Semakin tinggi nilai earning per share nya tentu saja menggembirakan pemegang saham karena semakin besar laba yang disediakan untuk pemegang saham.
22
2.1.6 Kebijakan Dividen Dividen merupakan hak pemegang saham biasa (common stock) untuk mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan. Jika perusahaan memutuskan untuk membagi keuntungan dalam dividen, semua pemegang saham biasa mendapatkan haknya yang sama. Dividen dibagikan kepada para pemegang saham sebagai keuntungan dari laba perusahaan. Apabila peusahaan penerbit saham mampu menghasilkan laba yang besar maka ada kemungkinan pemegang sahamnya akan menikmati keuntungan dalam bentuk dividen yang besar pula. Pembagian laba perusahaan kepada para pemegang saham disebut pembagian dividen. Dividen yang diterima oleh pemegang saham jumlahnya tergantung pada jumlah lembar saham yang dimiliki. Indikator yang digunakan untuk menguji kebijakan dividen adalah rasio pembayaran dividen yaitu dividend payout ratio, hal tersebut berdasarkan kebijakan dividen dengan rasio konstan (Sutrisno, 2009:306). Menurut Munawir (2013:236) “dividend payout ratio mengukur bagian laba yang diperoleh untuk per lembar saham umum yang akan dibayarkan dalam bentuk dividen”. Warsono (2008:275) mengatakatan bahwa “dividend payout ratio merupakan hasil perbandingan antara dividen dengan laba yang tersedia bagi para pemegang saham biasa”. Horne dan Wachowicz (2013) mendefinisikan dividend payout ratio sebagai persentase laba perusahaan yang diberikan ke para pemegang saham secara tunai. Rosdini (2009) juga mengartikan dividend payout ratio sebagai indikasi atas persentase jumlah laba atau earnings yang diperoleh dan didistribusikan kepada pemilik atau pemegang saham dalam bentuk kas.
23
Dividend payout ratio ini ditentukan perusahaan untuk membayar dividen kepada para pemegang saham setiap tahun, penentuan Dividend Payout Ratio berdasarkan besar kecilnya laba setelah pajak. Rasio untuk menghitung dividend payout ratio menurut Sutrisno (2009:306) adalah:
DPR
Deviden per share Earning per Share
2.1.7 Return Saham Return saham adalah pendapatan yang dinyatakan dalam persentase dari modal awal investasi. Pendapatan investasi dalam hal ini meliputi keuntungan jual beli saham. Return dapat berupa return realisasi yang sudah terjadi atau return ekspektasi yang belum terjadi tetapi yang diharapkan akan terjadi dimasa mendatang. Return realisasi dihitung berdasarkan data historis. Return realisasi penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja dari perusahaan. Return ekspektasi (expected return) adalah return yang diharapkan akan diperoleh oleh investor di masa mendatang. Berbeda dengan return realisasi yang sifatnya sudah terjadi, return ekspektasi sifatnya belum terjadi (Jogiyanto, 2011:131). Menurut Jogiyanto (2011:109) return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Return juga dapat berupa return realisasi dan return ekspektasi. Return realisasi (realized return) merupakan return yang telah terjadi. Return ekspektasi (expected return) adalah return yang diharapkan akan diperoleh investor di masa yang akan datang. Downes dan Goodman (2009:142), return (pendapatan /laba/ perolehan) adalah laba atas sekuritas atau investasi modal, biasanya dinyatakan sebagai suatu tarif persentase tahunan.
24
Dalam konteks manajemen investasi return merupakan imbalan dari investasi. Return ini dibedakan menjadi (Husnan, 2010:21): a. Return yang telah terjadi (actual return) yang dihitung berdasarkan data historis. b. Return yang diharapkan (expected return) yang akan diperoleh investor di masa yang akan datang. Menurut Jogiyanto (2011:110) sumber return investasi terdiri dari dua komponen utama, yaitu: a. Capital gain (loss) merupakan selisih dari harga saham saat dibeli dengan harga saham saat dijual. b. Yield merupakan pendapatan atau aliran kas yang diterima investor secara periodik, misalnya berupa deviden atau bunga. Yield dinyatakan dalam presentase dari modal yang ditanamkan. Return realisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah capital gain/loss yang juga sering disebut actual return, besarnya actual return dapat dihitung dengan rumus (Husnan, 2010:24):
Return Saham Pt
Pt - Pt -1 Pt -1
= Harga saham periode sekarang
Pt-1 = Harga saham periode yang lalu
2.1.8 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang sesuai dengan penelitian ini sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian adalah penelitian yang
25
dilakukan oleh Fitriana, et al (2016) meneliti pengaruh likuiditas, solvabilitas, profitabilitas, aktivitas dan kebijakan dividen terhadap return saham perusahaan pertambangan. Berdasarkan hasil pengujian, terbukti bahwa secara parsial, rasio solvabilitas berpengaruh negatif terhadap return saham, rasio profitabilitas dan kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap return saham, sedangkan rasio likuiditas dan rasio aktivitas tidak berpengaruh terhadap return saham. Astiti, et al (2014) meneliti Pengaruh Kinerja Keuangan Perusahaan Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Otomotif dan Komponen Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa rasio likuiditas secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham, sedangkan rasio profitabilitas dan solvabilitas berpengaruh signifikan terhadap return saham. Carlo (2014) meneliti pengaruh Return On Equity, Dividend Payout Ratio dan Price To Earning Ratio Pada Return Saham. Hasil analisi menunjukkan variabel ROE dan DPR berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham, sedangkan variabel PER tidak berpengaruh terhadap retun saham. Syarifudin dan Fitria (2013) meneliti Analisis Pengaruh Rasio Profitabilitas dan Rasio Pasar Terhadap Return Saham. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Return on Asset (ROA) berpengaruh negatif dan tidak signifikan, sedangkan Return On Equity (ROE), Earning Per Share (EPS) dan Price Earning Ratio (PER) berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap return saham. Raningsih dan Putra (2015) meneliti Pengaruh Rasio-Rasio Keuangan Dan Ukuran Perusahaan Pada Return Saham. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
26
rasio profitabilitas dan leverage berpengaruh positif terhadap return saham, rasio likuiditas berpengaruh negatif terhadap return saham, sedangkan rasio aktivitas, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap return saham. Rahman (2014) meneliti Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Yang Terdaftar Dalam Jakarta Islamic Index (JII) di Bursa Efek Indonesia. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa rasio likuiditas dan rasio solvabilitas secara parsial berpengaruh signifikan terhadap return saham. Sedangkan
rasio
profitabilitas
dan
rasio
aktivitas
tidak
berpengaruh
signifikan terhadap return saham. Nurlitasari (2015) meneliti Pengaruh EPS, PER, ROE, DAN DER Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Farmasi Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2014. Hasil penelitian menyimpulkan Earning Per Share (EPS) dan Price Earning Ratio (PER) berpengaruh signifikan terhadap return saham, sedangkan Return On Equity (ROE) dan Debt To Equity Ratio (DER) tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham. 2.2 Rerangka Pemikiran Rerangka pemikiran merupakan pola konsepsional yang menjadi pijakan peneliti untuk menetapkan solusi terbaik dalam mengetahui permasalahan pada penelitian ini. Berdasarkan tinjauan penelitian terdahulu dan landasan teori serta permasalahan yang telah dikemukan, sebagai dasar untuk merumuskan hipotesis, berikut ini digambarkan kerangka pemikiran yang tersaji pada gambar 1 berikut ini:
27
Perusahaan Property dan Real Estate Tahun 2011-2014
Signalling Theory
Analisa Laporan Keuangan
Likuiditas
Solvabilitas
Profitabilitas
Rasio Pasar
Kebijakan dividen
Harga Saham
Return Saham
Investor Gambar 1 Rerangka Pemikiran
2.3 Perumusan Hipotesis 2.3.1 Pengaruh Current Ratio Terhadap Return Saham Likuiditas perusahaan yang tercermin dalam current ratio merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Variabel ini memprediksi bahwa semakin tinggi rasio likuiditas maka semakin kecil resiko, secara rasional diketahui bahwa semakin likuid perusahaan maka semakin kecil resikonya (Munawir, 2013:62).
28
Current Ratio memberi indikasi penting mengenai kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek, karena apabila kewajiban lancar melebihi aset lancar berarti perusahaan tidak akan membayar tagihan kewajiban. Current Ratio yang rendah menunjukkan risiko likuiditas yang tinggi, sedangkan rasio lancar (current ratio) yang tinggi menunjukkan adanya kelebihan aset lancar, yang akan mempunyai pengaruh yang tidak baik terhadap profitabilitas perusahaan. Jadi semakin tinggi current ratio yang tidak diikuti dengan tingginya profitabilitas perusahaan maka dapat pula menurunkan return saham saham di bursa. Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2014) menyimpulkan bahwa current ratio berpengaruh signifikan terhadap return saham. Semakin tinggi likuiditas yang diwakili oleh Current Ratio (CR) suatu perusahaan berarti semakin kecil resiko kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Akibatnya resiko yang dipegang pemegang saham juga semakin kecil (Brigham dan Houston, 2011). Biasanya jika CR suatu perusahaan tinggi maka rata– rata nilai perusahaannya juga akan terdongkrak, hal ini merupakan sinyal positif bagi investor dimana semakin banyak investor yang menilai kinerja dan kesehatan perusahaan tersebut baik dan membeli sahamnya sehingga secara tidak langsung menaikkan nilai perusahaan di pasar. Berdasarkan konsep teori tersebut diatas, maka dapat diajukan hipotesis ke satu (H1) sebagai berikut: H1 :Rasio Current berpengaruh positif terhadap Return Saham.
29
2.3.2 Pengaruh Debt to Equity Ratio Terhadap Return Saham Solvabilitas yang diukur dengan Debt to Equity Ratio (DER) adalah perbandingan antara hutang yang dimiliki perusahaan dan total ekuitasnya. DER mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian dari modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Rasio ini menunjukkan perbandingan antara dana pinjaman atau utang dan modal dalam upaya pengembangan perusahaan. Jika Debt to Equity Ratio (DER) perusahaan tinggi, ada kemungkinan harga saham perusahaan akan rendah karena jika perusahaan memperoleh laba, perusahaan cenderung untuk menggunakan laba tersebut untuk membayar utangnya dibandingkan dengan membagi dividend. DER yang tinggi mencerminkan resiko perusahaan yang tinggi, akibatnya para investor cenderung menghindari saham-saham yang memiliki nilai DER yang tinggi. Hal ini merupakan sinyal yang buruk bagi investor, sehingga dapat berakibat menurunnya harga saham yang membuat return menjadi menurun. Dengan demikian secara parsial variabel DER memiliki pengaruh negatif secara signifikan terhadap return saham. Fitriana, et al (2016) menemukan bukti empiris bahwa DER mempunyai hubungan negatif dan signifikan terhadap return saham. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2014) serta penelitian Raningsih dan Putra (2015) menyimpulkan DER secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham. Berdasarkan konsep teori tersebut diatas, maka dapat diajukan hipotesis ke dua (H2) sebagai berikut: H2 : Debt to Equity Ratio berpengaruh negatif terhadap return saham.
30
2.3.3 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Return Saham 1. Pengaruh Return on Asset Terhadap Return Saham Return on Asset (ROA) merupakan ukuran seberapa besar laba bersih yang dapat diperoleh dari seluruh kekayaan (aktiva) yang dimiliki perusahaan. Dengan meningkatnya ROA berarti kinerja perusahaan semakin baik dan sebagai dampaknya harga saham perusahaan semakin meningkat. Dengan meningkatnya harga saham, maka return saham perusahaan yang bersangkutan juga meningkat. Menurut Harahap (2013:305), semakin besar rasionya semakin bagus karena perusahaan dianggap mampu dalam menggunakan aset yang dimilikinya secara efektif untuk menghasilkan laba. Semakin tinggi ROA semakin tinggi kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan. Semakin tinggi keuntungan yang dihasilkan perusahaan akan menjadikan investor tertarik akan nilai saham. Dari hasil perhitungan ROA dapat dilihat dari segi mana perusahaan mampu memperoleh penilaian yang baik, penilaian yang masih kurang baik, dan dapat diketahui bagaimana pengaruhnya terhadap return saham. Penelitian yang dilakukan oleh Raningsih dan Putra (2015) dan Fitriana, et al (2016) menyimpulkan ROA berpengaruh signifikan terhadap return saham. Hasil positif
ROA mengindikasikan bahwa tinggi earning power
semakin efisien perputaran aset dan atau semakin tinggi profit margin yang diperoleh oleh perusahaan, dan implikasinya akan meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan konsep teori tersebut diatas, maka dapat diajukan hipotesis ke tiga (H3a) sebagai berikut:
31
H3a : Return On Asset berpengaruh positif terhadap return saham 2. Pengaruh Return on Equity Terhadap Return Saham Dari sudut pandang calon investor, untuk menilai prospek perusahaan di masa datang adalah dari pertumbuhan profitabilitas perusahaan. Indikator yang paling banyak dipakai adalah Return On Equity (ROE) yang menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang bisa diperoleh pemegang saham. ROE dapat digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan modal sendiri yang dioperasikan dalam perusahaan. Semakin tinggi ROE berarti semakin besar pula kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih yang tersedia bagi pemilik modal dan sebaliknya. Dari keterangan tersebut para investor melihat seberapa jauh kemampuan perusahaan dalam mengelola modal sendiri untuk menghasilkan laba bersih. Apabila perusahaan dapat menghasilkan ROE tinggi, maka investor menganggap bahwa perusahaan telah menggunakan modalnya dengan efisien dan efektif, maka harga saham akan mengalami kenaikan dan akan meningkatkan return. ROE adalah rasio yang memberikan informasi pada para investor tentang seberapa besar tingkat pengembalian modal dari perusahaan yang berasal dari kinerja perusahaan menghasilkan laba. Semakin besar nilai ROE maka tingkat pengembalian yang diharapkan investor juga besar. Semakin besar nilai ROE maka perusahaan dianggap semakin menguntungkan oleh sebab itu investor kemungkinan akan mencari saham ini sehingga menyebabkan permintaan bertambah dan harga penawaran di pasar sekunder terdorong naik.
32
Penelitian yang dilakukan oleh Fitriana, et al (2016) menunjukkan ROA mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap return saham. Hasil positif rasio profitabilitas mengindikasikan bahwa tinggi earning power semakin efisien perputaran modal dan atau semakin tinggi profit margin yang diperoleh oleh perusahaan, dan implikasinya akan meningkatkan nilai perusahaan. Rasio ini dapat memberikan indikasi tentang baik buruknya manajemen dalam melaksanakan kontrol biaya ataupun pengelolaan aset. Berdasarkan konsep teori tersebut diatas, maka dapat diajukan hipotesis ke tiga (H3b) sebagai berikut: H3b : Return On Equity berpengaruh positif terhadap return saham 2.3.4 Pengaruh Earning Per Share Terhadap Return Saham Menurut Syamsuddin (2011:66), pada umumnya manajemen perusahaan, pemegang saham biasa, dan calon pemegang saham sangat tertarik akan EPS karena hal ini menggambarkan jumlah rupiah yang diperoleh untuk setiap lembar saham biasa. Para calon pemegang saham tertarik akan EPS yang besar, karena hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu perusahaan. Semakin besar EPS berarti semakin besar pula keuntungan yang diperoleh perusahaan dan juga berarti bahwa perusahaan telah mampu memberi tingkat kesejahteraan yang lebih baik kepada pemegang saham. Sebaliknya, semakin kecil EPS berarti semakin kecil pula keuntungan yang diperoleh perusahaan dan hal ini juga menunjukkan bahwa perusahaan telah gagal dalam memberi manfaat sebagaimana yang diharapkan oleh para pemegang saham. Jika permintaan saham meningkat sedangkan penawaran relatif tetap akan menyebabkan naiknya harga
33
pasar saham. Sebaliknya, jika EPS perusahaan menurun akan menyebabkan investor enggan untuk membeli saham. Jika permintaan saham menurun sedangkan penawaran saham relatif tetap akan menyebabkan turunnya harga pasar saham. Penelitian yang dilakukan oleh Nurlitasari (2015) menunjukkan EPS berpengaruh signifikan terhadap return saham. Dengan demikian besarnya rasio EPS dapat dijadikan sebagai tolok ukur atau perbandingan untuk melakukan investasi bagi investor ataupun calon investor. Rasio EPS yang semakin meningkat memberikan indikasi bahwa semakin besar keuntungan yang diperoleh per lembar saham, dengan asumsi outsanding shares tetap. Atau perusahaan semakin besar dalam memperoleh laba sehingga kemungkinan membayarkan dividen juga semakin besar ataupun jika diinvestasikan lagi (retained earning), maka diharapkan akan memperoleh hasil yang semakin besar dimasa mendatang. Berdasarkan konsep teori tersebut diatas, maka dapat diajukan hipotesis ke empat (H4) sebagai berikut: H4: Earning per Share berpengaruh positif terhadap Return Saham. 2.3.5 Pengaruh Devidend payout Ratio Terhadap Return Saham Kebijakan dividen merupakan keputusan mengenai laba yang diperoleh, apakah perusahaan akan membagikan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan. Apabila perusahaan meningkatkan pembayaran dividen, dapat diartikan oleh pemodal sebagai sinyal harapan tentang akan membaiknya kinerja perusahaan dimasa yang akan datang.
34
Hal ini menunjukkan prospek perusahaan semakin bagus sehingga investor akan tertarik untuk membeli saham dan return saham akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Carlo (2004) menunjukkan DPR berpengaruh signifikan teradap return saham. Perusahaan yang memiliki DPR yang tinggi akan menyebabkan nilai sahamnya meningkat karena investor memiliki kepastian pembagian dividen yang lebih baik atas investasinya (Kurniati, 2003). Peningkatan ini ikut mendongkrak jumlah permintaan atas saham tersebut, sehingga dapat meningkatkan harga saham dan berimbas pada meningkatnya return saham. Berdasarkan konsep teori tersebut diatas, maka dapat diajukan hipotesis ke lima (H5) sebagai berikut : H5 :Kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap Return Saham.