BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Laporan Keuangan Laporan keuangan merupakan sarana menginformasikan keuangan kepada pihak-pihak yang diluar perusahaan. Pemakai laporan keuangan ini meliputi investor, kreditor manajer, serikat pekerja, dan badan-badan pemerintah. Laporan ini menampilkan sejarah perusahaan yang dikuantifikasi dalam nilai moneter. Menurut Kieso et al. (2007:2) laporan keuangan (financial statements) berisikan tentang (1) Neraca (balance sheet) yang kadang-kadang disebut juga sebagai laporan posisi keuangan yang melaporkan aktiva, kewajiban dan ekuitas pemegang saham perusahaan pada suatu tanggal tertentu. Laporan keuangan ini menyediakan informasi mengenai sifat dan jumlah investasi dalam sumberdaya perusahaan, kewajiban kepada kreditor dan ekuitas pemilik dalam sumberdaya bersih. Dengan demikian neraca dapat membantu meramalkan jumlah, waktu dan ketidak pastian arus kas di masa depan, (2) Laporan laba rugi (income statement) yang juga sering disebut statement of income atau statement of earnings adalah laporan yang mengukur keberhasilan operasi perusahaan selama periode waktu tertentu. Komunitas bisnis dan investasi menggunakan laporan ini untuk menentukan profitabilitas, nilai investasi dan kelayakan kredit atau kemampuan perusahaan melunasi pinjaman. Laporan laba rugi menyediakan informasi yang diperlukan oleh para investor dan kreditor untuk membantu mereka memprediksi
jumlah, penetapan waktu dan ketidak pastian dari arus kas masa depan, (3) Laporan arus kas (statement of cash flows) tujuan utama laporan arus kas adalah menyediakan informasi yang relevan mengenai penerimaan dan pembayaran kas sebuah perusahaan selama satu periode. Untuk meraih tujuan ini laporan arus kas melaporkan (a) kas yang mempengaruhi operasi selama suatu periode, (b) transaksi investasi, (c) transaksi pembiayaan dan (d) kenaikan atau penurunan bersih kas selama satu periode, (4) Laporan perubahan ekuitas pemilik atau pemegang saham (statement of stockholders equity) yang sering juga disebut laporan perubahan ekuitas pemegang saham. Laporan ini melaporkan perubahan dalam setiap akun ekuitas pemegang saham dan total ekuitas pemegang saham selama tahun berjalan. Laporan ekuitas pemegang saham biasanya disajikan dalam format berkolom (columnar form) untuk setiap akun dan total ekuitas pemegang saham. Selain itu catatan atas laporan keuangan atau pengungkapan merupakan bagian integral dari setiap laporan keuangan. Menurut peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 2009, catatan atas laporan keuangan harus disajikan secara sistematis. Setiap pos dalam neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas harus berkaitan dengan informasi yang terdapat dalam catatan atas laporan keuangan. Catatan atas laporan keuangan mengungkapan: (a) informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan akuntansi yang dipilih dan diterapkan terhadap peristiwa dan transaksi yang penting, (b) informasi yang diwajibkan dalam PSAK tetapi tidak disajikan di neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, (c) informasi tambahan yang tidak disajikan dalam laporan keuangan tetapi diperlukan dalam rangka penyajian
secara wajar. Catatan atas laporan keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian jumlah yang tertera dalam neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas dan laporan perubahan ekuitas serta informasi tambahan seperti kewajiban kontinjensi dan komitmen. Catatan atas laporan keuangan juga mencakup informasi yang diharuskan dan dianjurkan untuk diungkapkan dalam PSAK serta pengungkapanpengungkapan lain yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar. Laporan keuangan dibuat untuk mempertanggung jawabkan atas aktivitas perusahaan terhadap pemilik dan juga memberikan informasi mengenai aktivitas perusahaan dan hasil yang dicapai oleh perusahaan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 2009, tujuan dari laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi (Ikatan Akuntan Indonesia, 2009). Laporan keuangan yang disusun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar besar pengguna. Namun demikian laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi karena secara umum menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian di masa lalu, dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi non-keuangan. Laba pada umumnya dipandang sebagai suatu investasi dan pedoman dalam pengambilan suatu keputusan. Laba menjadi perhatian utama untuk menaksir kinerja atau pertanggung jawaban manajemen sehingga laba dapat juga membantu principal
atau pihak lain dalam menaksir earnings power perusahaan dimasa yang akan datang.
2.1.2 Teori Keagenan Hubungan keagenan adalah adanya pemisahan fungsi antara kepemilikan diinvestor dan pengendalian dari pihak manajemen. Jensen dan Meckling, (1976) menjelaskan bahwa hubungan agensi terjadi ketika satu orang atau lebih (prinsipal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan. Prinsipal yang dimaksud disini merupakan pemegang saham atau investor sedangkan agen disini manajemen yang mengelola perusahaan atau manajer. Agen memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan pihak prinsipal sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi. Pihak manajer akan melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran. Sedangkan pihak pemegang saham atau investor yang memiliki sedikit informasi sehingga kesulitan untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajer. Sehingga terkadang kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh pihak manajer perusahaan tanpa sepengetahuan dari pemegang saham atau investor.
Tujuan
utama
perusahaan
didirikan
untuk
memaksimumkan
kemakmuran pemegang saham, manajer diangkat oleh pemegang saham harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham. Menurut Ali, (2008) terdapat dua kepentingan yang berbeda didalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang
dikehendaki. Menurut agency theory adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan suatu perusahaan dapat menimbulkan masalah keagenan (agency problems) yakni ketidaksejajaran kepentingan antara principal dan agent (Midiastuty dan Machfoedz, 2003) (dalam Guna dan Herawaty, 2010:53-68). Tiga sifat dasar manusia untuk menjelaskan teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan dirinya sendiri, (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang, (3) manusia selalu menghindari resiko. Berdasarkan dari asumsi sifat dasar manusia, manajer sebagai manusia kemungkinan
besar
akan
bertindak
berdasarkan
opportunistic
yaitu
mengutamakan kepentingan pribadinya (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Menurut Jensen dan Meckling, (1976) menyatakan bahwa masalah agensi akan terjadi bila proporsi kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari 100% sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan dirinya dan sudah tidak berdasar maksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan pendanaan dalam perusahaan. Dalam hubungan agensi pihak prinsipal memberikan wewenang atas beberapa pengambilan keputusan terhadap pihak agen. Pihak prinsipal dan pihak agen membuat suatu perjanjian atau kontrak tentang hubungan tersebut. Permasalahan agensi timbul karena pihak agen tidak dapat mengupayakan kepentingan untuk prinsipal karena ingin mementingkan kesejahteraan pribadinya. Sehingga pihak prinsipal maupun pihak agen diasumsikan termotivasi untuk kepentingan dirinya sendiri yakni memaksimalkan kegunaan subyektif mereka dan juga untuk menyadari kepentingan mereka bersama (Belkaoth, 2007:186).
Jensen dan Meckling, (1976) menyatakan bahwa kondisi seperti itu merupakan konsekuensi dari pemisahan fungsi pengelolaan dengan fungsi kepemilikan disebut dengan the separation of the decision making and risk functions of the firms. Manajemen tidak menanggung risko atas kesalahan dalam pengambilan keputusan, risiko sepenuhnya ditanggung oleh pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen cenderung melakukan pengeluaran yang bersifat konsumtif dan tidak produktif untuk kepentingan pribadinya seperti peningkatan gaji dan status sehingga mengakibatkan merugikan para pemegang saham yang menanamkan modalnya pada perusahaan. Menurut teori keagenan, salah satu mekanisme yang secara luas digunakan dan diharapkan dapat menyelaraskan tujuan prinsipal dan agen adalah melalui mekanisme pelaporan keuangan. Namun, karena dalam akuntansi dikenal dengan adanya dasar akrual yang mewajibkan perusahaan untuk mengakui pendapatan yang sudah menjadi hak atau kewajiban dalam periode sekarang, sehingga angka-angka dalam laporan keuangan mengandung komponen akrual baik yang berada dibawah kebijakan manajemen ataupun tidak (Midiastuty dan Machfoedz, 2003) (dalam Guna dan Herawty, 2010:53-68). Heinrich (2002) mengidentifikasi permasalahan agensi dapat muncul diantara pihak-pihak berikut ini: (1) Antara pemegang saham (shareholders) dan manajemen puncak (top management), (2) Antara pemilik saham mayoritas dan pemilik saham minoritas, dan (3) Antara pemegang saham (shareholders) dan pemberi pinjaman (creditor). Hal tersebut yang dapat menyebabkan konflik antara lain adanya asimetri informasi, perbedaan dalam menghadapi atau menanggapi risiko dan perbedaan dalam hal hak pengambilan suatu keputusan.
Menurut Jensen dan Meckling, (1976) cara untuk mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini akan menimbulkan biaya keagenan, yakni yang terdiri dari: 1. Monitoring Cost, yaitu biaya yang timbul dan ditanggung oleh pihak prinsipal untuk memantau perilaku agen dalam perusahaan. Biaya ini dikeluarkan untuk mengurangi tidakan agen yang akan merugikan kepentingan prinsipal. Contoh: biaya audit dan biaya untuk menetapkan rencana kompensasi manajer, pembatasan anggaran, dan aturan-aturan operasi. 2. Bonding Cost, yaitu biaya yang ditanggung oleh agen dengan beban prinsipal (laba menurun) untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agen akan bertindak untuk kepentingan prinsipal. Contoh: biaya yang dikeluarkan oleh manajer untuk menyediakan laporan keuangan pada pemegang saham. 3. Residual loss, yaitu timbul dari kenyataan bahwa tindakan agen tidak selalu berbeda dengan tindakan yang memaksimumkan kepentingan prinsipal. Contoh: agen tidak memberhentikan rekan kerjanya yang melakukan pekerjaan buruk.
2.1.3 Asimetri Informasi Pemisahan kekuasaan antara pemegang saham (principal) dengan pihak manajemen (agent) akan menimbulkan suatu konflik. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi-informasi yang ada dalam perusahaan serta prospeknya di masa depan dibandingkan dengan pemegang saham. Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemegang saham tentang laporan keuangan. Laporan keuangan bertujuan untuk memberikan informasi ke berbagai pihak termasuk pihak manajemen sebagai pihak internal pada perusahaan namun yang lebih banyak menggunakan adalah pihak eksternal untuk mengetahui keadaan ekonomi perusahaan. Hal tersebut yang dapat mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent disebut dengan asimetri informasi. Dengan adanya asimetri informasi antara agent (manajer) dengan principal (pemilik) memberikan kesempatan bagi manajer untuk melakukan tindakan earnings management yang bertujuan untuk menyesatkan pemegang saham (pemilik) mengenai
kondisi
ekonomi
perusahaan.
Adanya
asimetri
informasi
memungkinkan adanya konflik yang terjadi antara pihak pemilik (principal) dan manajer (agent) untuk saling mencoba memanfaatkan pihak lain untuk kepentingan sendiri. Informasi akuntansi yang berkualitas merupakan hal yang penting untuk menurunkan tingkat dari asimetri informasi, hal ini terjadi karena ada asimetri informasi yang menyebabkan stakeholders sebagai pihak eksternal tidak dapat mengamati dan mengawasi seluruh kinerja dan prospek perusahaan sepenuhnya. Sehingga keberadaan asimetri informasi dipercaya sebagai penyebab
dari timbulnya praktik earnings management. Fleksibilitas manajemen untuk mengatur laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi akuntansi yang lebih berkualitas bagi pengguna eksternal. Menurut Scott, (2003) ada dua tipe asimetri informasi yakni: (1) Adverse selection, hal ini terjadi karena adanya asumsi-asumsi bahwa individu bertindak memaksimalkan dirinya sendiri yakni karena para agent mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan principal. Hal ini jelas dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pihak principal karena informasi yang diberikan oleh pihak agent tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Laporan dan pelaporan keuangan yang sesuai dengan standar dan ketentuan akuntansi yang berlaku merupakan salah satu mekanisme untuk mencegah adanya penyimpangan terhadap informasi ini. (2) Moral hazard, hal ini terjadi karena kegiatan pihak agent tidak seluruhnya diketahui oleh principal maupun pemberi pinjaman sehingga pihak agent dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan principal yang melanggar kontrak. Penyebabnya juga terjadi karena pemisahan kepemilikan dan pengendalian dalam perusahaan sehingga terdapat cara yang tepat bagi principal untuk mengukur kinerja dari agent dengan cara menggunakan laporan laba rugi. Pengukuran menggunakan laporan laba rugi dapat mengontrol moral hazard diantara manajer, ada dua cara yakni: laporan laba rugi dapat dijadikan motivasi bagi pihak agent sehubungan dengan kompensasi yang akan diberikan setelahnya, selain itu laporan laba rugi dapat menginformasikan kinerja dari pihak agent sehingga pihak agent yang melalaikan tugasnya akan terdeteksi dari penurunan laba, reputasi, dan nilai pasar.
2.1.4 Leverage Leverage merupakan perbandingan antara total hutang dengan total aktiva pada suatu perusahaan. Leverage merupakan sumber dana eksternal karena leverage mewakili hutang yang ada dalam suatu perusahaan. Perusahaan yang memiliki kriteria baik memiliki komposisi modal yang lebih besar dari hutang, hal ini ada keterkaitan dengan keberadaan dan tidaknya suatu persetujuan hutang. Leverage indikator penting untuk melakukan earnings management pada perusahaan jika mengalami default yang terancam tidak dapat melunasi kewajibannya pada jatuh tempo yang telah ditetapkan. Dengan demikian tingkat dari suatu leverage perusahaan berpengaruh besar dalam earnings manangement. Semakin besar rasio leverage pada perusahaan maka semakin tinggi pula nilai hutang suatu perusahaan sehingga semakin besar pula investasi yang didanai dari pinjaman. Konsekuensi yang dapat terjadi adalah membesarnya beban bunga yang harus dibayar kepada kreditur. Sebaliknya jika suatu perusahaan tidak memiliki leverage berarti perusahaan tersebut hanya menggunakan modal sendiri untuk membiayai investasinya seperti pembelian aktiva. Perusahaan yang mempunyai rasio leverage yang tinggi, proporsi hutangnya lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi aktivanya sehingga cenderung melakukan manipulasi dalam bentuk manajemen laba dengan tujuan untuk menghindari pelanggaran perjanjian hutang. Perusahaan yang memiliki rasio leverage tinggi mengakibatkan besarnya jumlah hutang dibandingkan dengan aktiva yang dimiliki perusahaan sehingga melakukan earnings management karena perusahaan terancam default atau
bangkrut yaitu tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar hutang pada waktunya. Perusahaan akan menghindari permasalahan tersebut dengan membuat kebijaksanaan yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh leverage terhadap manajemen laba telah dilakukan oleh Guna dan Herawati, (2010) menyimpulkan bahwa leverage berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi investor sehingga investor akan meminta laba yang semakin besar.
2.1.5 Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan dapat menjadi mekanisme internal pendisiplinan dari pihak manajemen, mekanisme yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas monitoring karena dengan kepemilikan yang besar menjadikan pemegang saham memiliki akses informasi yang cukup signifikan untuk mengimbangi keuntungan informasi yang dimiliki manajemen. Mekanisme ini dapat juga digunakan untuk mengurangi insentif pihak manajemen melakukan earnings management. Struktur kepemilikian memiliki peranan yang penting dalam usaha melakukan earnings management. Struktur kepemilikan saham mencerminkan distribusi kekuasaan dan pengaruh diantara pemegang saham atas kegiatan operasional perusahaan.
2.1.5.1 Struktur Kepemilikan Institusional Struktur kepemilikan institusional merupakan saham dari suatu perusahaan yang dimiliki oleh lembaga institusi keuangan seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun Siregar dan Utama, (2005) (dalam Guna dan Herawaty, 2010:5368). Adanya kepemilikan institusional dapat meningkatkan pengawasan terhadap kinerja pihak manajemen sehingga pihak institusional akan mendorong pihak manajemen untuk melakukan tugasnya dengan baik. Menurut Tarjo, (2008) kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki institusi atau lembaga seperti perusahaaan asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan institusi lain. Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektifitas pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba (Boediono, 2005). Karena itu kepemilikan institusional dapat menekan kecenderungan manajemen sehingga memberikan kualitas laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham (Jasen dan Meckling, 1976). Investor institusional sering disebut sebagai investor yang canggih (sophisticated) dan seharusnya dapat menggunakan informasi periode sekarang untuk memprediksi laba masa depan jika dibandingkan dengan investor non-institusional. Kepemilikan institusional dianggap memiliki arti penting dalam monitoring yang efektif bagi manajemen karena dengan adanya kepemilikan institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal sehingga dapat mengambil setiap keputusan yang
diambil oleh manajer. Dapat juga membatasi fleksibilitas manajer dalam memilih metode akuntansi untuk merakyasa laba perusahaan demi kepentingan pribadi mereka, hal tersebut menurunkan motif manajemen untuk melakukan earnings management. Menurut penelitian Lee et al. (1992) (dalam Rachmawati dan Triatmoko, 2007) ada dua pandangan yang menyebutkan dua perbedaan tentang institusional merupakan pemilik sementara sehingga hanya terfokus pada laba sekarang. Hal ini mengakibatkan investor institusional lebih responsive terhadap laba jika dipandang tidak menguntungkan investor institusional biasanya akan melikuidasi sahamnya. Hasil dari penelitian menyatakan bahwa investor ini biasanya memiliki saham dengan jumlah yang besar dalam pandangan tersebut manajemen dituntut untuk menghasilkan laporan yang menguntungkan investor agar mereka tidak menarik saham sehingga motif untuk melakukan earnings management akan juga sangat besar. Machfoedz dan Midiastuty, (2003) (dalam Guna dan Herawty, 2010:53-68) melakukan penelitian yang menyangkut kepemilikan institusional menyatakan bahwa kepemilikan dapat mengontrol dan meminimalkan terjadinya earnings management. Sedangkan peneliti Siregar dan Utama, (2005) (dalam Guna dan Herawaty, 2010:53-68) menghasilkan penelitian kepemilikan institusional memiliki pengaruh yang negatif yang tidak signifikan terhadap manajemen
laba.
Sedangkan
penelitian
Herawaty,
(2008)
kepemilikan
institusional justru secara signifikan memperkuat manajemen laba sehingga semakin besar kepemilikan institusional semakin mendorong manajemen untuk melakukan earnings management.
2.1.5.2 Struktur Kepemilikan Manajerial Struktur kepemilikan manajerial merupakan suatu bentuk kepemilikan dimana manajer sebagai pihak yang menjalankan perusahaan diberikan hak untuk memiliki saham perusahaan yang beredar dipasar modal. Dengan kata lain pihak manajemen dapat aktif dalam mengambil keputusan tentang perusahaan. Menurut Sujoko dan Soebiantoro, (2007) kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan presentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manajer yang memiliki kepemilikan saham di perusahaan akan cenderung bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham karena terdapat kesamaan kepentingan antar keduanya. Siallagan dan Machfoedzs, (2006) menyatakan semakin besar kepemilikan manajemen akan cenderung untuk berusaha meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham dan untuk kepentingan dirinya sendiri. Kepemilikan manajerial digunakan untuk memberikan kenyamanan pandangan antar pihak manajemen dengan para pemegang saham. Pihak manajemen akan berusaha untuk memaksimalkan kemakmuran para pemegang saham. Menurut Jensen dan Meckling, (1976) karena adanya hak untuk ikut mengambil
keputusan
tentang
perusahaan,
pihak
manajemen
dapat
mempergunakan kekuatan votingnya untuk melakukan ekspropriasi terhadap perusahaan. Kepemilikan manajerial dapat
mengurangi dorongan untuk
melakukan tindakan manipulasi sehingga laba yang dilaporkan merefleksikan keadaan ekonomi dari perusahaan yang bersangkutan yang sebenarnya (Jensen, 1993). Menurut penelitian Warfield et al. (1995) yang menguji pengaruh
pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan terhadap keakuratan laba melalui pemilihan metode akuntansi oleh manajer menemukan bahwa semakin tinggi presentase kepemilikan manajerial yang ada dalam perusahaan maka semakin kecil pula kemungkinan untuk melakukan manipulasi terhadap laporan keuangan. Dalam penelitian Boediono, (2005) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh secara positif terhadap manajemen laba. Hal tersebut bertentangan dengan penelitian Midiastuty dan Machfoedz, (2003) (dalam Guna dan
Herawaty,
2010:53-68)
yang
mengatakan
kepemilikan
manajerial
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Sejalan dengan pernyataan tersebut penelitian Warfield et al. (1995) menemukan bahwa struktur kepemilikan juga memiliki nilai negatif terhadap manajemen laba.
2.1.6 Kualitas Audit Audit berfungsi sebagai salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengurangi ketidakpastian didalam penyajian informasi keuangan. Menurut Simamora (2002:4) audit sebagai proses sistematik pencarian dan pengevaluasian secara obyektif bukti mengenai asersi tentang peristiwa dan tindakan ekonomik untuk meyakinkan kadar kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang ditetapkan,
dan
mengkomunikasikan
hasilnya
kepada
pemakai
yang
berkepentingan. Menurut Mayangsari, (2003) (dalam Guna dan Herawaty, 2010:53-68) audit juga merupakan satu proses yang digunakan untuk mengurangi terjadinya ketidakselarasan antara prisipal dan agen dengan cara menggunakan
pihak luar untuk memberikan pengesahan terhadap laporan keuangan. Sehingga hasil audit yang berkualitas akan dapat membantu pihak eksternal dalam mendeteksi terjadinya praktik earnings management. Peran dari pihak eksternal yakni memberikan penilaian secara independen dan profesional atas keandalan dan kewajaran penyajian laporan keuangan perusahaan. Auditor eksternal dapat menjadi mekanisme pengendalian terhadap manajemen agar manajemen menyajikan infornasi keuangan secara andal dan terbebas dari praktik kecurangan akuntansi. Peran ini dapat dapat dicapai jika auditor eksternal memberikan jasa audit yang berkualitas. Pendapat yang dikeluarkan oleh auditor eksternal mengenai laporan keuangan membuat laporan tersebut menjadi lebih kredibel bagi pemakai-pemakai seperti pemodal, bankir, kreditor, badan pemerintah, dan masyarakat umum lainnya (Simamora, 2002:15). Salah satu cara untuk memonitoring praktik manajemen laba adalah dengan melakukan audit atas laporan keuangan. Audit laporan keuangan menentukan apakah laporan keuangan sebagai keseluruhan yakni informasi kuantitatif yang akan diperiksa dan dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu yang telah ditetapkan, kriteria yang digunakan adalah prinsip akuntansi berlaku umum. Laporan keuangan yang diperiksa biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, dan laporan arus kas serta termasuk catatan atas laporan keuangan (Sunarto, 2003:17). Audit yang berkualitas dipengaruhi oleh auditor yang berkualitas pula. Auditor yang berkualitas seharusnya mampu bersikap independen dalam penyampaian hasil audit yang berupa opini. Karena opini yang diberikan oleh auditor atas hasil audit yang dilakukan tersebut sangat berguna bagi para pemakai laporan keuangan
didalam pengambilan keputusan. Independen berarti bahwa auditor harus tidak memihak dan tidak bias terhadap informasi keuangan yang diauditnya maupun terhadap penyusun dan pemakai laporan keuangan. Pendapat yang dinyatakan oleh auditor independen mengenai kewajaran laporan keuangan perusahaan akan dipertanyakan jika auditor tidak sungguh-sungguh bersikap independen (Simamora, 2002:29). Tujuan dari audit laporan keuangan adalah untuk memberikan kepastian mengenai integritas dari laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen. Menurut Simamora, (2002:33) produk akhir dari audit sebuah entitas bisnis adalah laporan yang menyatakan pendapat auditor terhadap laporan keuangan klien. Dalam menerbitkan laporan auditor wajib memenuhi empat standar pelaporan dari standar auditing yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yakni: 1.
Laporan auditor wajar tanpa pengecualian Laporan auditor yang paling lazim diterbitkan oleh auditor yang biasanya disebut pula laporan auditor standar, laporan tersebut berisi pendapat wajar tanpa pengecualian yang menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material mengenai posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas entitas menurut prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Apabila setelah dilakukan pengumpulan bukti, auditor merasa puas dengan laporan keuangan yang disajikan secara wajar menurut prinsip akuntansi yang berlaku umum maka auditor lantas menerbitkan pendapat wajar tanpa pengecualian yakni laporan yang tidak mengandung frasa “dengan pengecualian”.
2.
Laporan auditor wajar dengan pengecualian Pendapat wajar dengan pengecualian muncul akibat (1) auditor tidak mampu mengumpukan bukti yang cukup sebagai dasar bagi pendapatnya, (2) kegagalan entitas untuk mengikuti prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia dalam penyusunan laporan keuangan. Seorang auditor mungkin tidak mampu menghimpun bukti yang yang mencakupi dua hal tersebut yakni tidak tersedia bukti dan klien membatasi lingkup audit. Laporan auditor wajar dengan pengecualian melaporkan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, kecuali untuk beberapa unsur material yang berhubungan dengan pengecualian sehingga pendapat wajar dengan pengecualian dikategorikan demikian karena kalimat pendapatnya memuat frasa persyaratan “kecuali untuk”.
3.
Laporan auditor tidak wajar Laporan auditor dengan pendapat tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Pendapat tidak wajar dipakai jikalau auditor meyakini bahwa entitas menerapkan prinsip akuntansi yang tidak tepat atau pengungkapan dalam penjelasan laporan keuangan tidak memadai atau menyesatkan dan pengaruhnya terhadap laporan keuangan sangatlah luas sehingga secara keseluruhan menyesatkan. Disclaimer opinion didasarkan atas ketiadaan pengetahuan auditor sedangkan adverse opinion
dilandasi pengetahuan auditor, pendapat tidak wajar jarang dikeluarkan karena entitas biasanya berusaha keras untuk menyajikan laporan keuangannya secara wajar. 4.
Pernyataan tidak memberikan pendapat Pernyataan tidak memberikan pendapat bermakna bahwa auditor tidak dapat memberikan pendapat terhadap laporan keuangan entitas dengan kata lain auditor tidak memiliki landasan yang memadai bagi suatu pendapat dan tidak mengetahui apakah laporan keuangan entitas disajikan secara wajar atau tidak. Pernyataan seperti ini dikeluarkan bila terdapat satu atau beberapa situasi seperti: (1) auditor tidak independen, (2) ada ketidakpastian yang pemecahannya dapat memiliki imbas material dan meluas
terhadap
laporan
keuangan,
(3)
auditor
tidak
mampu
mengumpulkan bukti yang memadai untuk merumuskan suatu pendapat terhadap laporan keuangan baik dikarenakan batasan yang dikarenakan oleh klien maupun karena keadaan yang berada diluar kendali klien atau auditor. Kepastian mengenai relevansi dan keandalan dari laporan keuangan perusahaan sangat diperlukan untuk membantu pihak eksternal dalam mengambil suatu keputusan bisnis (Mayangsari, 2003) (dalam Guna dan Herawaty, 2010:5368). Auditor yang bekerja pada KAP Big Four dianggap lebih berkualitas karena auditor tersebut dibekali oleh serangkaian pelatihan dan prosedur serta memiliki program audit yang dianggap lebih akurat dan efektif dibandingkan dengan auditor dari KAP non Big Four. Menurut Simamora, (2002:23) lima kantor
akuntan publik terbesar karena jasa profesional yakni auditing yang jasanya paling signifikan yakni: (1) Arthur Andersen & Co LLP di Indonesia berafiliasi dengan KAP Prasetio Utomo dan rekan, (2) Price Waterhouse Coopers LLP yang merupakan penggabungan dari Coopers & Lybrand LLP dan Price Waterhouse LLP di Indonesia berafiliasi dengan KAP Hadi Sutanto dan rekan, (3) Deloitte & Touche LLP yang merupakan penggabungan Deloitte, Haskins & Sells LLP dengan Touche Ross LLP di Indonesia berafiliasi dengan KAP Hans, Tuankota, Mustofa, (4) Ernest & Young LLP yang merupakan penggabungan Ernst & Whinney LLP dengan Arthur Young & Co LLP di Indonesia berafiliasi dengan KAP Hanadi, Sarwoko, dan Sanjaya, (5) KPMG Peat Marwick LLP di Indonesia berafiliasi dengan KAP Sidharta, Sidharta & Harsono. Namun setelah terdapat skandal yang melibatkan perusahaan yang terkenal yaitu Enron dan Arthur Andersen kualitas audit diragukan kinerjanya karena kredibilitas laporan keuangan yang menyesatkan karena sikap auditor yang tidak memiliki independen. Sekarang menjadi Big Four yang dahulu Big Fiveyakni: (1) Deloitte & Touche Tohmatsu yang di Indonesia berafiliasi KAP Osman Bing Satrio & Eny, (2) PwC yang di Indonesia berafiliasi KAP Tanudiredja, Wibisana dan rekan, (3) Ernst & Young yang di Indonesia berafiliasi KAP Purwantono, Suherman, & Surja, (4) KPMG yang di Indonesia berafiliasi KAP Sidharta dan Widjaja.
2.1.7 Earnings Management Earnings management merupakan suatu tindakan campur tangan dari pihak manajemen dalam penyusunan dan pelaporan keuangan untuk mencapai tingkat laba tertentu. Pada umumnya tujuan pihak manajemen melakukan earnings management
untuk
memaksimalkan
kesejahteraan
pihak
manajemen,
memanipulasi besaran laba yang dilaporkan kepada para pemegang saham dan mempengaruhi hasil perjanjian yang bergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan, pihak-pihak yang berkepentingan serta nilai pasar. Pemahaman dari earnings management sangat penting bagi akuntan karena dapat memungkinkan pemahaman yang baik untuk pelaporan kepada investor. Earnings management terjadi sebagai bagian dari dampak persoalan keagenan yaitu adanya ketidakseimbangan kepentingan antara pemilik dan manajemen. Penyebabnya karena pihak pemilik dan manajemen ingin memiliki tingkat keuntungan tertentu sehingga pihak manajemen selaku yang mengelola perusahaan melakukan praktik earnings management tujuan pihak manajemen melakukan untuk mencapai kemakmuran dirinya sendiri. Para pemilik sebagian tidak mengetahui sepenuhnya yang ada pada perusahaan karena hanya menanam modal dan tujuannya hanya ingin memperoleh keuntungan atau laba. Pihak manajemen melakukan praktik earnings management dengan cara memanipulasi laporan keuangan dengan mempermainkan nilai keuntungan atau laba dalam perusahaan sehingga ini menyebabkan para pemilik mengalami kerugian atau dapat terancam default atau bangkrut karena tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam membayar hutang. Menurut Scott (2000:351) manajemen laba adalah tindakan manajer untuk
melaporkan laba yang dapat memaksimalkan kepentingan pribadi atau perusahaan dengan menggunakan kebijakan metode akuntansi. Earnings management dapat juga diartikan sebagai suatu tindakan manajemen yang mempengaruhi laba yang dilaporkan dan memberikan manfaat ekonomi yang keliru kepada perusahaan sehingga dalam jangka panjang hal tersebut akan sangat mengganggu bahkan membahayakan perusahaan. Earnings management sebagai pilihan kebijakan akuntansi yang dilakukan manajer untuk tujuan spesifik (Scott, 2003). Seorang manajer mempunyai perilaku opportunistic dalam mengelola suatu perusahaan yakni seorang manajer memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan suatu alternatif yang tersedia untuk menyusun laporan keuangan agar laba yang dihasilkan dapat sesuai dengan yang diinginkan walaupun laba yang dihasilkan tersebut tidak mencerminkan keadaan perusahaan yang sebenarnya dan dapat berakibat kurang baik bagi investor atau pemegang saham akibatnya kemungkinan untuk membuat suatu keputusan yang salah dengan laporan keuangan yang telah dimanipulasi. Menurut Fischer dan Rosenzweig, (1995) (dalam Herawati, 2008) memandang earnings management sebagai serangkaian langkah yang dilakukan manajer untuk meningkatkan atau menurunkan jumlah laba yang dilaporkan dalam tahun berjalan yang merupakan tanggung jawabnya tanpa menyebabkan penurunan atau peningkatan keuntungan yang dicapai suatu badan usaha dalam waktu jangka panjang. Pandangan seperti ini tidak terbatas pada perilaku manajer saja tetapi lebih luas yaitu mencakup seluruh tindakan yang dilakukan manajemen dalam mengelola laba yang meliputi pemilihan kebijakan akuntansi serta keputusan operasi perusahaan. Hal ini dapat
memotivasi seorang manajer untuk melakukan praktik earnings management dengan cara merekayasa hasil laba selama beberapa periode yang sama sekali tidak mencerminkan kondisi ekonomi perusahaan. Alasan manajer melakukan tersebut karena ingin memperlihatkan kinerjanya yang baik sehingga kesempatan untuk mendapatkan bonus pada perusahaan sangat besar. Menurut Scott (2000: 352) earnings management dapat dipandang dua prospektif, antara lain: 1. Menurut contracting perspective, earnings management dapat digunakan sebagai jalan untuk melindungi perusahaan dari kejadian yang tidak terduga sebagai konsekuensi atas kontrak yang tidak lengkap. 2. Menurut financial reporting perspective, dengan earnings management manajer memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi nilai pasar dari saham perusahaan.
2.1.7.1 Motivasi Earnings Management Motivasi seorang manajer untuk melakukan earnings management menurut Scott (2003:334) dalam “Financial Accounting Theory” adalah : 1. Rencana Bonus Laba sering dijadikan indikator penilaian kinerja perusahaan dengan cara menetapkan tingkat laba yang harus dicapai agar dapat mendapatkan bonus yang akan diterima seorang manajer yang bekerja di perusahaan dengan memiliki rencana bonus. Sehingga manajer termotivasi untuk berbuat kecurangan dengan memaksimalkan laba pada perusahaan agar dapat memperoleh bonus dalam kinerjanya.
2. Motivasi Politik Perusahaan-perusahaan yang rentan terhadap isu politik merupakan perusahaan-perusahaaan
yang
besar
karena
seluruh
aktivitasnya
menyangkut banyak orang cenderung untuk melakukan penurunan laba guna memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah. 3. Pergantian CEO CEO yang habis dari masa penugasannya cenderung akan melakukan strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya yang akan diterima. Demikian juga CEO yang masih pada masa penugasannya dan kinerjanya kurang baik cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah pemecatan dari penugasannya. 4. Penawaran saham perdana Perusahaan yang go public informasi keuangan yang ada pada pasar bursa merupakan sumber informasi yang penting. Karena itu pihak manajemen berusaha melakukan earnings management untuk meningkatkan harga saham pada pasar bursa guna mendapatkan keuntungan yang maksimal.
2.1.7.2 Pola Earnings Management Menurut Scott (2003:345) ada empat pola yang dilakukan pihak manajemen untuk melakukan earnings management sebagai berikut: 1. Taking a bath, pola ini dilakukan bila terjadi keadaan buruk yang tidak menguntungkan
dan
tidak
dapat
dihindari
seperti
pergantian
manajemen dengan mengakui terdapat kegagalan sebagai kesalahan
manajemen lama sehingga manajemen baru memperoleh peluang untuk
memperoleh
laba
dengan
cara
manajemen
melakukan
pembersihan diri dengan cara membebankan perkiraan biaya di masa yang akan datang dan kerugian periode berjalan. 2. Income minimization, pola ini dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan bertujuan agar tidak mendapat perhatian pihak-pihak lain yang berkepentingan (aspek political cost) yakni pemerintah. Kebijakan yang dapat diambil berupa pembebanan beban secara cepat atau menunda pengakuan pendapatan. 3. Income maximization, pola ini dilakukan dengan memaksimalkan laba agar memperoleh bonus yang lebih besar. Menurut teori akuntansi positif (Positive Accounting Theory) para manajer terlibat dalam maksimalisasi laba bersih yang dilaporkan untuk bertujuan mendapat bonus. Hal ini dilakukan pada saat perusahaan mengalami penurunan laba sehingga menyebabkan manajer melakukan tindakan praktik earnings management. 4. Income smoothing, pola ini dilakukan dengan cara menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak berisiko tinggi. Perusahaan mungkin akan melakukan earnings management bersihnya untuk pelaporan eksternal dengan tujuan menginformasikan ke pasar dalam meramalkan pertumbuhan laba jangka panjang perusahaan. Pola
ini sering dilakukan oleh manajer dan paling popular dalam bentuk earnings management.
2.1.7.3 Sasaran Earnings Management Menurut penelitian Ayres (1994) terdapat unsur-unsur laporan keuangan yang dapat dijadikan sebagai sasaran untuk dilakukan tindakan earnings management yakni: (1) Kebijakan Akuntansi: keputusan seorang manajer untuk dapat menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib diterapkan oleh suatu perusahaan yaitu antara menerapkan akuntansi lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat berlakunya kebijakan tersebut, (2) Pendapatan: dengan mempercepat atau menunda pengakuan akan pendapatan, (3) Biaya: menganggap sebagai ongkos atau beban biaya atau menganggap sebagai suatu tambahan investasi atas suatu biaya (amortizeor capitalizeof investment).
2.1.8 Penelitian Terdahulu Dalam penelitian yang dilakukan Warfield et al. (1995) menemukan adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dan discretionary accrual sebagai ukuran dari manajemen laba, hal yang sama juga diperoleh dari Jensen dan Meckling, (1976). Sejalan dengan itu Nuryaman, (2010) menemukan kepemilikan manajemen dan kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Berbeda dengan peneliti Midiastuty dan Machfoedz, (2003) (dalam Guna dan Herawty, 2010:53-68) yang menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kepemilikan institusional, kepemilikan
manajerial terhadap manajemen laba yang diukur dengan discretionary accrual. Peneliti Machfoedzs, (1998) (dalam Siallagan, 2006:1-23) menemukan leverage berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba. Sejalan dengan Guna dan Herawaty, (2010) menemukan adanya pengaruh yang signifikan antara leverage, kualitas auditor terhadap manajemen laba sedangkan kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Penelitian Azlina (2010) menunjukkan bahwa leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
2.2 Rerangka Pemikiran LEVERAGE (X1)
KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL
EARNINGS MANAGEMENT
(X2)
(Y) KEPEMILIKAN MANAJERIAL (X3)
KUALITAS AUDIT (X4)
Gambar 2.2 Rerangka Hubungan Antara Leverage, Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial, dan Kualitas Audit Terhadap Earnings Management
2.3 Perumusan Hipotesis 2.3.1 Pengaruh Leverage terhadap Earnings Management Leverage merupakan perbandingan antara total hutang dengan total aktiva yang dimiliki perusahaan. Semakin besar tingkat leverage maka perusahaan mungkin tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran hutang pada waktu jatuh tempo yang dapat mengakibatkan perusahaan terancam default atau bangkrut. Leverage indikator penting untuk melakukan earnings management pada perusahaan jika mengalami default yang terancam tidak dapat melunasi kewajibannya pada jatuh tempo yang telah ditetapkan. Dengan demikian tingkat dari suatu leverage perusahaan berpengaruh besar dalam earnings manangement. Leverage merupakan sumber dana eksternal karena leverage mewakili hutang yang ada dalam suatu perusahaan. Perusahaan yang memiliki kriteria baik memiliki komposisi modal yang lebih besar dari hutang, hal ini ada keterkaitan dengan keberadaan dan tidaknya suatu persetujuan hutang. Rasio leverage menunjukkan besarnya aktiva yang dimiliki perusahaan yang dibiayai dengan hutang. Semakin tinggi nilai dari leverage maka risiko yang dihadapi investor akan semakin tinggi pula dan para investor akan meminta keuntungan yang semakin besar pula. Semakin besar rasio leverage pada perusahaan maka semakin tinggi pula nilai hutang suatu perusahaan sehingga semakin besar pula investasi yang didanai dari pinjaman. Konsekuensi yang dapat terjadi adalah membesarnya beban bunga yang harus dibayar kepada kreditur. Sebaliknya jika suatu perusahaan tidak memiliki leverage berarti perusahaan tersebut hanya menggunakan modal sendiri untuk membiayai investasinya seperti pembelian
aktiva. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi mempunyai insentive yang lebih besar dalam mengelola pendapatan untuk menghindari perjanjian pelanggaran atau untuk mencegah efek buruk pada peringkat utang mereka. Sehingga semakin besar leverage maka kemungkinan manajer untuk melakukan earnings manangement akan semakin besar. Berdasarkan dari uraian tersebut diatas maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H1: Leverage berpengaruh signifikan terhadap earnings management
2.3.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Earnings Management Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan oleh institusi keuangan seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan investment banking Siregar dan Utama, (2005) (dalam Guna dan Herawaty, 2010:53-68). Adanya kepemilikan institusional dapat meningkatkan pengawasan terhadap kinerja pihak manajemen sehingga pihak institusional akan mendorong pihak manajemen untuk melakukan tugasnya dengan baik. Kepemilikan institusional dianggap memiliki arti penting dalam monitoring yang efektif bagi manajemen karena dengan adanya kepemilikan institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal sehingga dapat mengambil setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Dapat juga membatasi fleksibilitas manajer dalam memilih metode akuntansi untuk merakyasa laba perusahaan demi kepentingan pribadi mereka, hal tersebut menurunkan motif manajemen untuk melakukan earnings management. Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektifitas pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui
dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba (Boediono, 2005). Karena itu kepemilikan institusional dapat menekan kecenderungan manajemen sehingga memberikan kualitas laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Struktur kepemilikan institusional dipercaya dapat mengurangi tingkat manajemen laba karena investor institusional merupakan investor sophisticated atau pintar yang dapat memprediksi laba dimasa yang akan datang. Berdasarkan dari uraian tersebut diatas maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H2: Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap earnings management
2.3.3 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Earnings Management Kepemilikan manajerial merupakan saham yang dimiliki oleh manajemen secara pribadi maupun saham yang dimiliki oleh anak cabang perusahaan bersangkutan beserta afiliasinya Susiana dan Herawaty, (2005) (dalam Guna dan Herawaty, 2010:53-68). Struktur kepemilikan manajerial merupakan suatu bentuk kepemilikan dimana manajer sebagai pihak yang menjalankan perusahaan diberikan hak untuk memiliki saham perusahaan yang beredar dipasar modal sehingga pihak manajemen dapat aktif dalam mengambil keputusan tentang perusahaan. Kepemilikan manajerial digunakan untuk memberikan kenyamanan pandangan antar pihak manajemen dengan para pemegang saham. Pihak manajemen akan berusaha untuk memaksimalkan kemakmuran para pemegang saham. Menurut Jensen dan Meckling, (1976) karena adanya hak untuk ikut
mengambil
keputusan
tentang
perusahaan,
pihak
manajemen
dapat
mempergunakan kekuatan votingnya untuk melakukan ekspropriasi terhadap perusahaan. Kepemilikan manajerial dapat
mengurangi dorongan untuk
melakukan tindakan manipulasi sehingga laba yang dilaporkan merefleksikan keadaan ekonomi dari perusahaan yang bersangkutan yang sebenarnya (Jensen, 1993). Menurut Sujoko dan Soebiantoro, (2007) kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan presentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen. Dapat disimpulkan bahwa seorang manajer yang memiliki kepemilikan saham di perusahaan akan cenderung bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham karena terdapat kesamaan kepentingan antar keduanya. Berdasarkan dari uraian tersebut diatas maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H3:
Kepemilikan
manajerial
berpengaruh
signifikan
terhadap
earnings
management
2.3.4 Pengaruh Kualitas Audit terhadap Earnings Management Salah satu cara untuk memonitoring praktik manajemen laba adalah dengan melakukan audit atas laporan keuangan. Audit yang berkualitas dipengaruhi oleh auditor yang berkualitas pula. Auditor yang berkualitas seharusnya mampu bersikap independen dalam penyampaian hasil audit yang berupa opini. Karena opini yang diberikan oleh auditor atas hasil audit yang dilakukan tersebut sangat berguna bagi para pemakai laporan keuangan didalam pengambilan keputusan. Tujuan dari audit laporan keuangan adalah untuk memberikan kepastian mengenai
integritas dari laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen. Kepastian mengenai relevansi dan keandalan dari laporan keuangan perusahaan sangat diperlukan untuk membantu pihak eksternal dalam mengambil suatu keputusan bisnis Mayangsari, (2003) (dalam Guna dan Herawaty, 2010:53-68). Peran dari pihak eksternal yakni memberikan penilaian secara independen dan profesional atas keandalan dan kewajaran penyajian laporan keuangan perusahaan. Auditor eksternal dapat menjadi mekanisme pengendalian terhadap manajemen agar manajemen menyajikan infornasi keuangan secara andal dan terbebas dari praktik kecurangan akuntansi. Peran ini dapat dapat dicapai jika auditor eksternal memberikan jasa audit yang berkualitas. Berdasarkan dari uraian tersebut diatas maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H4: Kualitas audit berpengaruh signifikan terhadap earnings management