26
BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Pada agency theory prinsipal adalah pemegang saham dan agen adalah manajemen yang mengelola perusahaan. Dalam manajemen keuangan, tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan kemakmuran pemiliknya atau pemegang saham. Maka manajer yang diangkat oleh pemegang saham harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham. Namun ternyata sering terjadi konflik antara manajemen dan pemegang saham. Konflik ini disebabkan karena adanya kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Teori keagenan menjelaskan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham seringkali bertentangan bahakan sering terjadi konflik diantaranya (Tarjo dan Hartono 2003). Hal tersebut sering terjadi karena manajer cenderung berusaha mengutamakan kepentingan pribadi. Sedangkan pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer karena hal tersebut akan menambah kos bagi perusahaan dan akan menurunkan keuntungan yang akan diterima oleh pemegang saham. Akibat dari perbedaan itulah maka terjadi konflik yang biasa disebut agency conflict. Manajemen perusahaan kecenderungan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya pihak lain. Perilaku ini biasa disebut sebagai
27
keterbatasan rasional dan manajer cenderung tidak menyukai risiko. Manajemen tidak menanggung risiko atas kesalahan dalam mengambil keputusan karena risiko tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pemegang saham. Oleh karena itu manajemen cenderung melakukan pengeluaran yang bersifat konsumtif dan tidak produktif untuk kepentingan dirinya seperti peningkatan gaji dan status. Pihak manajemen sebagai agen memiliki banyak informasi tentang kemampuan dan risiko perusahaan, serta tata cara mengelola perusahaan. Sedangkan pemegang saham memiliki sedikit informasi dan juga tidak begitu minat untuk mengetahui cara bagaimana perusahaan itu dijalankan. Perbedaan informasi ini juga mendorong agen untuk bertindak untuk pribadi dan merugikan prinsipal. Penyebab lain konflik antara manajemen dan pemegang saham adalah keputusan pendanaan. Para pemegang saham hanya peduli terhadap risiko sistematis sedangkan manajer peduli terhadap risiko secara keseluruhan. Dua hal yang mendasari menurut Fama (1980) bahwa manajer yang bertanggung jawab atas keputusan pendanaan tidak mampu melakukan diversifikasi investasi pada human capital dan manajer akan terancam reputasinya jika perusahaan mengalami kebangkrutan. Masalah keagenan ini akan menimbulkan yang namanya agency cost. Biaya itu meliputi biaya pengawasan (monitoring), biaya ikatan (bonding), biaya sisa (residual loss). Biaya pengawasan terhadap aktivitas manajer, biaya ikatan dalam meyakinkan
manajer
bekerja
untuk
kepentingan
prinsipal
tanpa
perlu
28
pengawasan, biaya sisa merupakan perbedaan return yang diperoleh karena perbedaan keputusan investasi antara prinsipal dan agen. Permasalahan keagenan tipe pertama umum terjadi di negara-negara maju, dimana banyak ditemukan perusahaan-perusahaan besar yang dikelola manajer profesional dan pemiliknya adalah berstatus investor dengan kepemilikan relative kecil. Prinsipal adalah pemilik perusahaan (pemegang saham) dan agennya adalah tim manajemen dalam konteks perusahaan. Tim manajemen diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang terkait dengan operasi dan strategi perusahaan dengan harapan keputusan-keputusan yang diambil akan memaksimumkan nilai perusahaan. Harapan agar tim manajemen selalu mengambil keputusan yang sejalan dengan peningkatan nilai perusahaan seringkali tidak terwujud. Banyak keputusan manajer justru lebih menguntungkan manajer dan mengesampingkan kepentingan pemegang saham. Permasalahan keagenan tipe kedua menyoroti konflik kepentingan antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Pemegang saham mayoritas yang biasanya juga menjadi manajer di perusahaan tersebut atau paling tidak menunjuk manajer pilihannya, dapat mengambil keputusan yang hanya menguntungkan pemegang saham mayoritas. Problem keagenan antara pemegang saham (pemilik perusahaan) dengan manajer potensial terjadi bila manajemen tidak memiliki saham mayoritas dalam perusahaan (Atmaja, 2008). Permasalahan keagenan tipe ketiga menyoroti konflik antara pemegang saham dengan pemberi pinjaman. Konflik tersebut disebabkan perbedaan risiko
29
antara dua pihak (Choi,1992) dalam Sugiarto (2009). Pemegang saham dapat memberlakukan kebijakan yang memungkinkan terjadinya transfer kesejahteraan dari pemberi pinjaman ke pemegang saham. Pemberi pinjaman selalu berharap agar bisnis perusahaan berjalan aman sehingga uang yang dipinjamkan dapat kembali, namun pemegang saham dapat saja memilih bisnis berisiko tinggi dengan harapan memperoleh return yang lebih tinggi. Proyek berisiko tinggi hanya akan menguntungkan pemegang saham tetapi merugikan pemberi pinjaman. Manajer perusahaan sebagai pengelola tentu akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Meyakinkan bahwa manajer bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan pemegang saham, pemegang saham harus mengeluarkan biaya yang disebut agency cost Ada beberapa alternatif untuk mengurangi agency cost yaitu pertama dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen. Kedua dengan menggunakan kebijakan hutang. Easterbrook (1984 dalam Firmantyas, 2006) menyatakan bahwa pemegang saham akan melakukan monitoring terhadap manajemen. Namun bila biaya monitoring tersebut tinggi maka mereka akan menggunakan pihak ketiga yaitu debtholders. Debtholders yang sudah menanamkan dananya diperusahaan dengan sendirinya akan melakukan pengawasan akan penggunaan dana tersebut.
30
2.1.2 Pengertian Struktur Modal Fungsi pembelanjaan merupakan hal yang dilakukan oleh perusahaan untuk meningkatkan kemakmuran bagi pemilik atau pemegang saham yaitu dengan meningkatkan nilai perusahaan. Peningkatan nilai perusahaan diikuti dengan adanya keputusan struktur modal yang tepat oleh manajemen keuangan. Dalam menjalankan fungsi pembelanjaan, perusahaan selalu dihadapkan pada tiga masalah utama atau tiga keputusan utama, yaitu: keputusan investasi (investment decision), keputusan pendanaan (financing decision), dan keputusan mengenai pembagian dividen (dividend decision). Menurut Sartono (2001), struktur modal adalah perimbangan hutang jangka pendek yang bersifat permanen. Keputusan pendanaan merupakan keputusan yang berhubungan dengan masalah penentuan sumber-sumber dana yang akan digunakan, dan masalah perimbangan terbaik antara sumber-sumber dana tersebut. Keputusan mengenai sumber dana yang akan digunakan disebut Keputusan pembelanjaan (financing decisions). Sumber dana dapat diperoleh dengan banyak cara, namun pada dasarnya ada dua sumber dana, yaitu dana yang berasal dari sumber asing, atau biasa disebut modal asing, dan dana yang berasal dari dalam perusahaan. Dana yang berasal dari sumber asing dapat diperoleh melalui utang dan melalui pembelanjaan sendiri yaitu dengan jalan penerbitan saham. Apabila suatu perusahaan dalam memenuhi kebutuhan dananya mengutamakan sumber dari dalam perusahaan, maka ketergantungan pihak perusahaan terhadap pihak luar sangat kecil. Tetapi ada
31
saat-saat tertentu dimana semua sumber dana dari dalam perusahaan telah digunakan, sementara kebutuhan dana perusahaan semakin meningkat sehingga dalam hal ini perusahaan perlu mencari alternatif pendanaan. Alternatif pendanaan ini bisa dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber pendanaan dari luar misalnya, melalui utang atau dengan menerbitkan saham baru. Masalah yang kemudian selalu dihadapi oleh perusahaan didalam melaksanakan keputusan pendanaan (financial
decision making)
adalah
menentukan sumber-sumber dana mana yang akan digunakan, apakah utang, modal sendiri atau kedua-duanya, dan berapa besar proporsi masing-masing sumber dana yang akan digunakan, sehingga diperoleh suatu perimbangan optimal antara hutang dengan modal sendiri, atau dengan kata lain diperoleh struktur modal yang optimal. Hal ini menuntut kemampuan untuk mengarahkan kekuatan tersebut pada tingkat struktur modal yang optimal (balancing theory) dan mengikuti hierarki (pecking order theory) saat mengambil pilihan pembiayaan. Dalam balancing theory, perusahaan mendasarkan pada struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal bila ada keseimbangan antara manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang (Husnan dan Pudjiastuti, 2004). Balancing theory menerangkan bahwa sebelum terjadinya struktur modal hutang yang optimal, hutang lebih murah dibanding dengan saham karena adanya tax shield. Namun ketika struktur modal optimal maka hutang tidak menjadi menarik karena perusahaan harus menanggung biaya keagenan, biaya kebangkrutan, serta biaya bunga yang menyebabkan nilai saham turun (Mutamimah, 2003). Dengan kata lain, selama pengorbanan akan hutang tidak
32
melebihi maka hutang boleh ditambah dan sebaliknya. Sedangkan pendanaan atas dasar pecking order theory disebutkan bahwa perusahaan lebih cenderung untuk lebih memilih pendanaan internal daripada eksternal. Pada dasarnya perusahaan akan menetapkan bagaimana struktur modal mereka. Perusahaan akan menetapkan urutan pendanaan berdasarkan preferensi perusahaan. Struktur modal merupakan perimbangan jumlah hutang jangka pendek yang bersifat permanen, hutang jangka panjang, saham preferen dan saham biasa (Sartono, 2001). Kebijakan struktur modal melibatkan adanya suatu pertukaran antara risiko dan pengembalian: (1) Penggunaan lebih banyak hutang akan meningkatkan risiko yang ditanggung oleh para pemegang saham, dan (2) Penggunaan hutang yang lebih besar biasanya akan menyebabkan terjadinya ekspektasi tingkat pengembalian atas ekuitas yang lebih tinggi. Risiko yang lebih tinggi cenderung akan menurunkan harga saham, tetapi ekspektasi tingkat pengembalian yang lebih tinggi akan menaikkannya. Struktur modal yang optimal harus mencapai suatu keseimbangan antara risiko dan pengembalian sehingga dapat memaksimalkan harga saham perusahaan (Brigham dan Houston, 2006). Keputusan pendanaan akan ditentukan perimbangan yang optimal dari berbagai sumber dana yang akan digunakan. Keputusan pendanaan ini akan menyangkut dua macam keputusan, yakni: (1) penentuan struktur modal yang optimal yang digambarkan melalui rasio antara hutang dengan modal sendiri (Debt-Equity Ratio), dan (2) penentuan kebijakan dividen yang digambarkan melalui Dividend Payout Ratio.
33
2.1.3 Pengertian Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa variabel-variabel yang penting dalam struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah hutang dan equity tetapi juga oleh persentase kepemilikan oleh manajer dan institusional (Jensen dan Meckling, 1976). Struktur kepemilikan dapat mempengaruhi keputusan sumber dana apakah melalui hutang atau right issue. Pendanaan yang diperoleh melalui hutang berarti rasio hutang terhadap ekuitas akan meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan risiko. Struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang yaitu pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan ketidakseimbangan informasi (asymmetric information). Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan sebagai sebuah instrumen atau alat untuk mengurangi konflik kepentingan antara pemegang klaim. Pendekatan ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) memadang mekanisme struktur kepemilikan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insiders dan outsiders melalui pengungkapan informasi di pasar modal. Struktur kepemilikan adalah distribusi saham-saham perusahaan diantara kelas-kelas para investor (Amiruddin Umar, 2005). Istilah struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa variabel-variabel yang penting dalam struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah hutang dan ekuitas, tetapi ditentukan juga oleh presentase kepemilikan manajerial dan institusional. Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan sebagai suatu alat untuk mengurangi konflik kepentingan. Pendekatan ketidakseimbangan informasi adalah pendekatan yang terjadi antara insider dan outsiders melalui
34
pengungkapan informasi dari dalam pasar modal. Manajer dalam kegiatan operasional perusahaan akan mengambil keputusan untuk kegiatan operasional perusahaan dan nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada direksi dan para pemegang saham perusahaan sebagai pemilik modal. Pemegang saham sebagai pemilik modal dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: 1. Managerial ownership atau internal ownership Adalah pemegang saham yang merupakan pihak insiders perusahaan yang ikut aktif dalam kegiatan perusahaan seperti dewan direksi dan manajer. 2. External ownership Adalah pemegang saham perorangan yang pasif dalam kegiatan operasional perusahaan diluar pihak insiders perusahaan. 3. Institution ownership Adalah pemegang saham yang berbentuk institusi (perusahaan) yang pasif dalam kegiatan operasional perusahaan. 2.1.4 Pengertian Kepemilikan Manajerial Kepemilikan Manajerial (managerial ownership) adalah tingkat kepemilikan saham pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan, misalnya direktur dan komisaris (Wahidahwati, 2002). Kepemilikan manajerial ini diukur dengan proporsi saham yang dimiliki perusahaan pada akhir tahun dan dinyatakan dalam presentase. Saham direksi dan komisaris Kepemilikan Manajerial (MOWN) =
X 100% Total saham perusahaan yang beredar
35
Kepemilikan manajerial adalah presentase kepemilikan saham oleh pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (Direktur dan komisaris). Dengan kata lain, kepemilikan manajerial adalah situasi dimana manajer memiliki saham perusahaaan, atau manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan (Tarigan, 2007). Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka manajemen akan berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham yang notabene adalah mereka sendiri (Mahadwartha dan Hartono, 2002). Agency problem bisa dikurangi bila manajer mempunyai kepemilikan saham dalam perusahaan. Hal ini perlu sebab akan terjadi penyebaran pengambilan keputusan dan risiko. Para manajer umumnya cenderung untuk menggunakan kelebihan keuntungan untuk konsumsi dan perilaku opurtinistik. Dan ini akan menyebabkan beban hutang karena risiko kebangkrutan meningkat, sehingga agency cost of debt meningkat dan gilirannya akan pada penurunan akan nilai perusahaan. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah kepemilikan manajerial untuk menyamakan kepentingan principal dan agent. Grosman dan Hart (1982 dalam Zulhawati, 2004) menyatakan bahwa tingkat kepemilikan insider yang terlalu tinggi berdampak buruk terhadap perusahaan. Karena pemegang saham tidak bisa kesulitan kontrol. Karena manajer mempunyai hak voting yang tinggi atas kepemilikan yang tinggi. Jadi pengendalian perusahaan akan berpindah dari outsider ke insider. Jadi proporsi kepemilikan saham oleh manajer harus ditentukan dengan tepat sehingga memberikan dampak
36
positif bagi perusahaan dalam hal kaitannya dengan kebijakan hutang yang merupakan otoritas manajer sebagai pengelola. 2.1.5 Kebijakan Hutang Menurut Agus Sartono (2000;218) dalam Syailendra (2002) menyatakan hutang adalah semua kewajiban perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi, dimana hutang ini merupakan sumber dana atau modal perusahaan yang berasal dari kreditor. Pembiayaan dengan hutang memiliki tiga implikasi penting (1) memperoleh dana melalui hutang membuat pemegang saham dapat mempertahankan pengendalian atas perusahaan dengan investasi yang terbatas, (2) kreditur melihat ekuitas atau dana yang disetor pemilik untuk memberikan margin pengaman, sehingga jika pemegang saham hanya memberikan sebagian kecil dari total pembiayaan maka resiko perusahaan sebagian besar ada pada kreditur, (3) Jika perusahaan memperoleh pengembalian yang lebih besar atas investasi yang dibiayai dengan dana pinjaman dibanding dengan pembayaran bunga, maka pengembalian atas modal pemilik akan lebih besar. Menurut FASB, hutang adalah pengorbanan manfaat ekonomi masa mendatang yang mungkin timbul karena kewajiban sekarang suatu entitas untuk menyerahkan aktiva atau memberikan jasa kepada entitas lain dimasa mendatang sebagai akibat transaksi masa lalu. Menurut IAI, kewajiban merupakan hutang perusahaan masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya perusahaan yang
37
mengandung manfaat ekonomi (Ghozali dan Chairiri, 2007). Munawir (2004) mengatakan hutang adalah semua kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi, di mana hutang ini merupakan sumber dana atau modal perusahaan yang berasal dari kreditor. 1.
Pengukuran Kebijakan Hutang
Ada beberapa rumus dalam pengukuran hutang antara lain, yaitu: a. Rasio Hutang dihitung dengan rumus: 1) Debt to Asset Ratio = Total Debt Total Asset Total utang mencakup, baik utang lancar maupun utang jangka panjang. Kreditur lebih menyukai rasio utang yang rendah karena semakin rendah rasio ini, maka semakin besar perlindungan terhadap kerugian kreditur dalam peristiwa likuidasi Total Long-term Liabilities 2) Debt to Equity Ratio (DER) =
X 100% Total Sharehoder‟s Equity
Tingkat penggunaaan hutang dari suatu perusahaan dapat ditunjukkan oleh salah satunya menggunakan rasio hutang terhadap ekuitas (DER), yaitu rasio jumlah hutang terhadap jumlah modal sendiri. Debt Equity Ratio adalah rasio yang digunakan untuk menilai hutang dengan ekuitas (Brigham dan Enhardt, 2005). Semakin rendah DER berarti semakin kecil tingkat hutang yang dimiliki dan kemampuan untuk membayar hutang akan semakin tinggi pula. b. Kemampuan untuk membayar bunga (times interest earned).
38
Kemampuan untuk membayar bunga (times interest earned) adalah rasio laba sebelum bunga pajak terhadap beban bunga; mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi pembayaran bunga tahunan dengan rumus: Time Interest earned =
EBIT Interest tax
Rasio ini mengukur seberapa besar laba operasi dapat menurun sampai perusahaan tidak dapat memenuhi beban bunga tahunan. Kegagalan dalam memenuhi kewajiban ini dapat mengakibatkan adanya tindakan hukum dari kreditur perusahaan, dan mungkin menimbulkan kebangkrutan. c. Kemampuan melunasi kewajiban. Kemampuan melunasi kewajiban adalah serupa dengan rasio kemampuan membayar bunga, tetapi rasio ini lebih inklusif karena mengakui bahwa banyak aktiva perusahaan dilease dan harus melakukan pembayaran pelunasan. Leasing telah digunakan secara luas dalam industri tertentu dalam tahun-tahun terakhir, yang membuat rasio ini lebih disukai dari pada rasio kemampuan untuk membayar bunga untuk tujuan tertentu. Beban tetap mencakup bunga, kewajiban lease jangka panjang, serta pembayaran dana pelunasan dan rasio cakupan beban tetap. Kemampuan melunasi kewajiban dapat dihitung dengan beberapa rumus yaitu: EBIT + PL 1 + PL + PM 1-T Keterangan: EBIT = earning before interest tax, PL = pay leasing, I = Interest, T = tax dan PM = pay capital
39
Kebijakan hutang dalam penelitian ini diukur dengan Debt to Equity Ratio (DER) yaitu perbandingan antara total hutang jangka panjang dengan modal sendiri. Semakin rendah DER berarti semakin kecil tingkat hutang yang dimiliki dan kemampuan untuk membayar hutang akan semakin tinggi pula. Ketika perusahaan menggunakan hutang yang terus meningkat maka akan semakin besar kewajibannya. Hal ini akan berpengaruh pada terhadap pendapatan bersih bagi pemegang saham termasuk juga dividen yang dbagikan. Karena kewajiban membayar hutang akan lebih diutamakan daripada kewajiban membagikan dividen. Perusahaan yang mempunyai kesempatan untuk lebih besar mempunyai rasio Debt to Equity Ratio (DER) yang lebih rendah dalam kebijakan struktur modalnya.
Perusahaan
dengan
tingkat
pertumbuhan
yang
besar
akan
menghasilkan profit yang tinggi, dengan demikian akan dapat meminimalkan level hutang perusahaan tersebut dan perusahaan tersebut akan mengutamakan sumber pendanaan yang berasal dari internal perusahaan sebagai biaya investasi mereka. Sedangkan perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang rendah akan menghasilkan profit yang rendah juga, sehingga perusahaan tersebut akan menggunakan sumber pendanaan tambahan yang berasal dari eksternal perusahan dengan penggunaan hutang sebagai biaya investasinya. Kebijakan hutang termasuk kebijakan pendanaan perusahaan yang bersumber dari eksternal. Kebijakan hutang akan memberikan dampak pada pendisiplinan bagi manajer untuk mengoptimalkan penggunaan dana yang ada. Karena hutang
40
yang cukup besar akan menimbulkan kesulitan keuangan dan atau risiko kebangkrutan. Perusahaan dinilai berisiko apabila memiliki porsi hutang yang besar dalam struktur modal, namun sebaliknya apabila perusahaan mengunakan hutang yang kecil atau tidak sama sekali maka perusahaan dinilai tidak dapat memanfaatkan tambahan modal eksternal yang dapat meningkatkan operasional perusahaan (Ozkan, 2001). 2.1.6 Economic Value Added (EVA) Dalam Utomo (1999), “Economic Value Added (EVA) is a residual income measure that subtract the cost of capital from the operating profits generated in the business.” (Stewart, 1993). Residual income adalah “the difference between operating income and theminimum dollar return required on a company‟s operating assets.” (Hansen dan Mowen, 1994). EVA adalah nilai tambah ekonomis yang diciptakan perusahaan dari kegiatan atau strateginya selama periode tertentu. Prinsip EVA memberikan sistem pengukuran yang baik untuk menilai suatu kinerja dan prestasi keuangan manajemen perusahaan karena EVA berhubungan langsung dengan nilai pasar sebuah perusahaan. EVA adalah suatu estimasi laba ekonomis yang sesungguhnya dari perusahaan dalam tahun berjalan. EVA menunjukkan sisa laba setelah semua biaya modal,
termasuk modal ekuitas,
dikurangkan. (Brigham,
2001).
Dikembangkan oleh lembaga konsultan Stern Stewart & Co, EVA membantu manajer memastikan bahwa suatu unit bisnis menambah nilai pemegang saham,
41
sementara investor dapat menggunakan EVA untuk mengetahui saham spot yang akan meningkatkan nilainya. Menurut Hansen dan Mowen (2005:130), yang diterjemahkan oleh Fitriasari dan Arnos. Definisi Economic Value Added (EVA) adalah sebagai berikut : “Laba Residu (economic value added – Eva) adalah laba operasional setelah pajak dikurangi dengan total biaya modal tahunan. Jika EVA positif, perusahaan telah menciptakan kekayaan. Jika negatif maka perusahaan telah menyia-nyiakan modal. Dalam jangka panjang, hanya perusahaan-perusahaan yang menghasilkan modal atau kekayaan, yang dapat bertahan”. “EVA adalah sebuah fugure dolar, bukan suatu tingkat persentase pengembalian. Akan tetapi, EVA juga menghasilkan tingkat pengembalian seperti ROI”. Economic Value Added (EVA) merupakan sebuah metode pengukuran nilai tambah ekonomis yang diciptakan perusahaan dari kegiatannya selama periode tertentu. Prinsip EVA adalah memberikan penilaian yang baik terhadap kinerja dan prestasi keuangan manajemen perusahaan karena EVA berhubungan langsung dengan nilai pasar suatu perusahaan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh G. Bennett Stewart, III, Managing Partner dari Stern Stewart & Co., sebuah perusahaan konsultan manajemen dalam bukunya “The Quest For Value”. Sawir (2005:48) mendefinisikan Economic Value Added sebagai berikut : “EVA (Economic Value Added) adalah salah satu cara untuk menilai kinerja keuangan EVA merupakan indikator tentang adanya penambahan nilai dari suatu investasi. EVA yang positif menunjukan bahwa manajemen perusahaan berhasil
42
meningkatkan nilai perusahaan bagi pemilik perusahaan sesuai dengan tujuan manajemen keuangan memaksimalkan nilai perusahaan”. Untuk melihat apakah perusahaan berhasil dalam menciptakan EVA atau tidak dapat ditentukan dengan melihat nilai akhir EVA yang dihasilkan perusahaan. Apabila hasil perhitungan nilai EVA positif, maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan memperoleh nilai tambah selama periode tersebut. Jika nilai EVA sama dengan nol, dapat disimpulkan bahwa perusahaan berada pada kondisi impas selama periode tersebut. Dan apabila nilai EVA kurang dari nol, dapat disimpulkan bahwa perusahaan gagal menghasilkan nilai tambah dalam periode tersebut, atau dengan kata lain penurunan nilai kekayaan pemegang saham. Sifat-sifat dasar dari EVA adalah tiga hal: sebuah sistem pengukuran untuk menampilkan angka, sebuah sistem insentif untuk menciptakan persekutuan antara karyawan dengan shareholders, dan sebuah sistem manajemen finansial yang mengalokasikan modal dalam kerangka ekonomi yang logik. Pada prinsipnya, EVA akan tumbuh jika NOPAT meningkat, baik melalui pemotongan biaya operasional atau meningkatkan pendapatan kotor yang lebih besar dari peningkatan biaya. EVA juga akan meningkat jika terdapat penurunan dalam penggunaan modal. Namun dalam jangka panjang, peningkatan nilai EVA dapat dilakukan dengan melakukan lebih banyak bisnis, baik memperluas operasional yang sudah ada ataupun melakukan yang baru, yang kesemuanya diimbangi dengan disiplin modal yang tepat. EVA juga dapat menurun jika manajemen menggunakan dana pada proyek yang menghasilkan return lebih kecil dari biaya modal atau mengabaikan proyek
43
yang dapat menghasilkan return yang melebihi biaya modal. Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan keuntungan usaha dari suatu perusahaan. Dalam konteks ini, formula dasar EVA menyarankan pihak manajemen untuk melakukan hal berikut (Grant, 2003): 1. Meningkatkan pendapatan bisnis 2. Mengurangi biaya operasional dengan bijaksana 3. Menggunakan modal yang lebih kecil untuk memproduksi barang atau jasa dengan jumlah yang sama 4. Menggunakan lebih banyak modal pada kesempatan yang menghasilkan pertumbuhan positif 5. Mengurangi biaya modal 1. Pengukuran Economic Value Added (EVA) Langkah-langkah perhitungan EVA secara sistematis sebagai berikut (Taqwa, 2011). a. NOPAT b.
Invested Capital
c. Tingkat modal dari hutang (D) d. Cost of Debt / Biaya Hutang (rd) e. Persentase pajak penghasilan (T) f. Cost of Equity / Biaya Ekuitas (re) g. Tingkat modal dari ekuitas (E) h. Cost of Capital / Persentase Weighted Average Cost of Capital (WACC) i. Capital Charges j. EVA
44
1) Net Operating Profit After Tax (NOPAT) NOPAT adalah laba yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan setelah dikurangi pajak yang telah terbebas dari pengaruh hutang dan biaya non kas dan sebelum beban bunga, atau dengan kata lain pengukuran dari laba operasi perusahaan. NOPAT berasal dari laporan keuangan perusahaan dan memiliki Analisis kinerja kesamaan dengan keuntungan setelah pajak yang dilaporkan. Namun keduanya memiliki perbedaan secara signifikan, yaitu NOPAT tidak termasuk biaya keuangan dan mengklasifikasi pengeluaran dan pendapatan tertentu yang disebut penyesuaian. NOPAT = Laba Bersih Setelah Pajak + Biaya Bunga 2) Invested Capital Invested Capital adalah jumlah seluruh keuangan perusahaan terlepas dari kewajiban jangka pendek, pasiva yang tidak menanggung bunga seperti hutang, upah yang akan jatuh tempo, dan pajak yang akan jatuh tempo. Total hutang dan ekuitas menunjukkan beberapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan utang. Pinjaman jangka pandek tanpa bunga merupakan pinjaman yang digunakan perusahaan yang pelunasan maupun pembayarannya akan dilakukan dalam jangka pendek (satu tahun sejak tanggal neraca) dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki perusahaan, dan atas pinjaman itu tidak dikenai bunga, seperti hutang usaha, hutang pajak, biaya yang masih harus dibayar, dan lain-lain. IC = utang jangka pendek + hutang jangka panjang + ekuitas 3) Tingkat modal dari hutang (D)
45
Tingkat modal dari hutang merupakan perbandingan dari total hutang dibagi dengan total hutang dan ekuitas Tingkat hutang (D) =
Total hutang Total hutang dan ekuitas
4) Cost of Debt / Biaya Hutang (rd) Cost of debt atau biaya hutang merupakan tingkat pengembalian sebelum pajak yang harus dibayar perusahaan kepada pemberi pinjaman. Cost of debt mengukur arus biaya perusahaan terhadap dana pinjaman suatu proyek. Pada umumnya cost of debt dipengaruhi oleh variabel-variabel berikut (Damodaran, 2002): a) The Riskless rate, dimana meningkatnya riskless rate akan meningkatkan cost of debt perusahaan. b) The default risk of the company, dimana meningkatnya default risk perusahaan akan meningkatkan biaya peminjaman uang. c) The tax advantage associated with debt. Karena biaya bunga merupakan pengurang pajak, cost of debt setelah pajak adalah suatu fungsi dari tingkat pajak. Manfaat pajak yang diakui dari pembayaran bunga mengakibatkan cost of debt setelah pajak lebih rendah dari biaya sebelum pajak. Kemudian manfaat pajak meningkat seiring meningkatnya tingkat pajak. Cost of debt (rd) = Biaya bunga Total hutang 5) Persentase pajak penghasilan (T)
46
Persentase pajak penghasilan merupakan perbandingan antara beban pajak dengan laba setelah pajak. Tingkat pajak (T) =
Beban pajak Laba setelah pajak
6) Cost of Equity / Biaya Ekuitas (re) Cost of equity atau biaya ekuitas merupakan tingkat pengembalian yang diharapkan
investor
atas
suatu
investasi. Investor
menerapkan
tingkat
pengembalian yang diharapkan berdasarkan risiko dalam investasi seperti peminjam dana menerapkan bunga. PER adalah „perbandingan antara harga saham dengan laba bersih perusahaan’, dimana harga saham sebuah emiten dibandingkan
dengan laba bersih yang dihasilkan oleh emiten tersebut dalam setahun. Cost of equity (re) = 1 PER 7) Tingkat modal dari ekuitas (E) Tingkat modal dari ekuitas merupakan perbandingan dari total ekuitas dibagi dengan total hutang dan ekuitas Tingkat modal (E) =
Total ekuitas Total hutang dan ekuitas
8) Cost of Capital / Persentase Weighted Average Cost of Capital (WACC) Cost of capital atau biaya modal merupakan tingkat pengembalian minimum yang diharapkan dari suatu investasi untuk memenuhi pengembalian hasil investasi yang diinginkan investor. Hal ini juga dapat diartikan sebagai nilai minimum NOPAT yang diperlukan untuk menghasilkan nilai EVA yang positif.
47
Cost of capital termasuk biaya peminjaman, bunga, dan biaya untuk dana pemegang saham. Supaya menambah nilai dalam perusahaan, sebuah investasi atau project harus memperoleh tingkat pengembalian yang lebih besar dari pada WACC. Strategi manajemen dalam berinvestasi seyogyanya mempertimbangkan ada tidaknya penciptaan nilai tambah ekonomis dari investasi baru tersebut. Biaya modal perusahaan dapat berasal dari utang ataupun ekuitas (saham). Pemilik ekuitas akan menerima pengembalian dalam bentuk dividen, sedangkan pemberi hutang (kreditur) akan menerima pengembalian dalam bentuk bunga. Metode perhitungan yang digunakan adalah menggunakan pendekatan Weighted Average Cost of debt and equity Capital (WACC), yaitu penjumlahan biaya dari setiap komponen modal yang diproporsikan terhadap nilai pasar dalam suatu struktur modal perusahaan. Tingkat pajak yang digunakan, diperoleh dari pembagian beban pajak penghasilan dengan laba sebelum pajak penghasilan. WACC = {D x rd (1-T)} + (E x re) Dimana : D = Jumlah Tingkat Hutang rd = Jumlah Biaya Hutang Jangka Pendek T = Jumlah Tingkat Pajak E = Jumlah Tingkat modal re = Jumlah Biaya Modal 9) Capital Charges
48
Capital Charges adalah aliran kas yang dibutuhkan untuk mengganti para investor atas resiko usaha dari modal yang ditanamkan. Capital Charges = WACC x Invested Capital 10) Economic Value Added (EVA) Economic Value Added (EVA) adalah laba yang tersisa setelah dikurangi biaya modal yang diinvestasikan untuk menghasilkan laba tersebut. Rumusan
EVA
menurut
Steward
dalam
website
www.eva.com
:
EVA = NOPAT – Capital Charges Dimana:
:
NOPAT : Laba operasi setelah pajak (Net Operating Profit After Tax) Capital Charges : Invested Capital x WACC. 2. Kelebihan EVA Fungsi EVA dapat membantu manajemen puncak suatu perusahaan untuk memfokuskan kegiatan usaha mereka ke dalam investasi yang tingkat pengembaliannya maksimal bagi pemegang saham. Dengan perhitungan EVA setiap tahun dapat menunjukkan berapa nilai yang akan ditambahkan ke dalam modal setiap tahun. Jika hanya terdapat satu pengukuran performance yang dapat diandalkan, maka EVA adalah yang terbaik karena berisi banyak informasi yang menggabungkan data yang terdapat pada balance sheet kedalam adjusted income statement metric. EVA merupakan satu-satunya metode pengukuran kinerja yang konsisten secara menyeluruh dengan peraturan standar capital budgeting, yaitu menerima semua yang positif dan menolak semua yang negatif dari investasi net present value. (Stewart, 1991).
49
Selain itu, EVA merupakan suatu ukuran kinerja perusahaan yang dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan ukuran lain baik berupa perbandingan dengan perusahaan sejenis sebagai konsep penilaian dengan menggunakan analisis rasio. 3. Kekurangan EVA Selain kelebihan, EVA juga memiliki beberapa kekurangan. Jika perusahaan melakukan kegiatan investasi dengan biaya modal yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan tingkat pengembalian yang diperoleh maka nilai EVA yang dihasilkan akan negatif. Nilai ini belum tentu mencerminkan kinerja perusahaan yang buruk, sehingga dapat menimbulkan persepsi yang bias. Selain itu, Long term capital growth akan dikorbankan apabila kinerja pada jangka pendek diperlukan. Para manajer akan cenderung untuk melakukan investasi yang memiliki nilai EVA positif dengan risiko tidak fokus pada perusahaan atau competitive value added. Kelemahan lainnya adalah EVA hanya menukur hasil akhir tanpa mengukur aktivitas-aktivitas penentu dan hanya menggambarkan penciptaan nilai pada suatu tahun tertentu 2.2 Penelitian Terdahulu 1. Penelitian yang dilakukan Arry Irawan (2009) menemukan bahwa hasil pengujian secara parsial menunjukkan baik variabel kepemilikan manajerial maupun kebijakan hutang terdapat pengaruh yang tidak signifikan terhadap EVA yaitu kepemilikan manajerial memiliki pengaruh dengan arah positif dan kebijakan hutang memiliki pengaruh dengan arah negative terhadap EVA .
50
2. Penelitian yang dilakukan Yuni Puspita Sari (2013) menyimpulkan bahwa DER berpengaruh negatif signifikan terhadap EVA. 3. Penelitian yang dilakukan Gunadi (2008) menyimpulkan bahwa secara statistik kepemilikan manajerial berpengaruh positif tidak signifikan terhadap kebijakan hutang. 4. Penelitian yang dilakukan Ayu Ananda Seminar (2008) menyimpulkan bahwa hanya variabel DR yang secara signifikan berpengaruh terhadap EVA. 5. Penelitian yang dilakukan Lenra Juni Remember Purba (2011) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial
berpengaruh secara
signifikan terhadap kebijakan hutang. 6. Penelitian yang dilakukan Abdullah (2009) menyimpulkan bahwa kepemilikan insider positif tidak signifikan terhadap kebijakan hutang. Kepemilikan institusional negatif signifikan terhadap kebijakan hutang. 7. Begitu pula menurut Siallagan dan Machfoedz (2006) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q 8. Hasil penelitian Prasetyo (2006) yang menemukan bahwa besar atau kecil proporsi
hutang
jangka
panjang
suatu
perusahaan
tidak
dapat
mempengaruhi kemampuan manajemen dalam menghasilkan EVA. 9. Pada penelitian yang dilakukan wahidahwati (2002), yang menguji pengaruh kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional terhadap kebijakan hutang, ditemukan bahwa kepemilikan manajerial mempunyai
51
pengaruh yang signifikan terhadap debt ratio, namun berhubungan negatif dengan penggunaan hutang oleh perusahaan. 10. Dalam penelitian Faisal (2004) dan Siswandi (2011) menemukan bahwa kepemilikan manajerial memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan 11. Hermayanti (2005) menemukan bahwa kebijakan hutang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap EVA perusahaan. 2.3 Rerangka Pemikiran Berdasarkan penjelasan di atas dan penelitian terdahulu, maka peneliti membuat kerangka konseptual atas penelitian ini seperti yang disajikan pada gambar 1 berikut ini:
Kepemilikan Manajerial (X) pZX Economic Value Added pYX
(Z) pZY
Kebijakan Hutang (Y)
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
0
52
2.4 Perumusan Hipotesis Berdasarkan penelitian terdahulu dan landasan teori yang diajukan, maka pengembangan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 2.4.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Economic Value Added Perusahaan Menurut agency teory, pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan konflik keagenan. Konflik keagenan disebabkan prinsipal dan agen mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang saling bertentangan karena agen dan prinsipal berusaha memaksimalkan utilitasnya masing-masing. Menurut Tendi Haruman (2008), perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham mengakibatkan manajemen berperilaku curang dan tidak etis sehingga merugikan pemegang saham. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara manajemen dengan saham. Manajer yang sekaligus pemegang saham akan meningkatkan nilai perusahaan karena dengan meningkatkan nilai perusahaan, maka nilai kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat juga. Menurut Siallagan dan Machfoedz (2006) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q, sedangkan penelitian yang dilakukan Arry Irawan (2009) dan Yuni Puspita Sari (2013) menemukan bahwa hasil pengujian secara parsial menunjukkan variabel kepemilikan manajerial memiliki pengaruh dengan arah positif terhadap EVA . H1 : Kepemilikan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap EVA
53
2.4.2 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Hutang Menurut teori keagenan, prusahaan yang memisahkan fungsi kepemilikan dengan fungsi pengelolaan akan rentan terhadap konflik keagenan diantaranya adalah pembuatan keputusan yang berkaitan dengan keptusan pendanaan perusahaan. Kebijakan hutang akan memberikan dampak pada pendisiplinan bagi manajer untuk mengoptimalkan penggunaan dana yang ada. Karena hutang yang cukup besar akan menimbulkan kesulitan keuangan dan atau risiko kebangkrutan. Penelitian mengenai kepimilikan manajerial terhadap kebijakan hutang telah dilakukan oleh banyak peneliti dan menghasilkan kesimpulan yang berbeda beda. Penelitian
yang
dilakukan
Gunadi
(2008)
dan
Abdullah
(2009)
menyimpulkan bahwa secara statistik kepemilikan manajerial berpengaruh positif tidak signifikan terhadap kebijakan hutang. Sedangkan dalam penelitian Faisal (2004) dan Siswandi (2011) menemukan bahwa kepemilikan manajerial memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan. Kemudian hal ini juga didukung pada penelitian yang dilakukan wahidahwati (2002) dan
Lenra Juni Remember Purba (2011) yang menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap debt ratio, namun berhubungan negatif dengan penggunaan hutang oleh perusahaan H2 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan hutang.
54
2.4.3 Pengaruh Kebijakan Hutang Terhadap Economic Value Added Perusahaan Pihak manajemen dituntut untuk lebih berhati-hati dalam pengelolaan hutangnya karena besar kecilnya proporsi hutang dalam struktur modal perusahaan akanmempengaruhi risiko yaitu adanya perubahan biaya modal perusahaan. Perubahan biaya modal ini tentunya akan berpengaruh terhadap penciptaan nilai EVA. Perusahaan yang memperoleh keuntungan lebih banyak dari biaya modal akan menciptakan EVA yang positif. Tetapi jika perusahaan memperoleh keuntungan lebih kecil dari biaya modal maka EVA yang dihasilkan adalah negatif (O‟Byrne, 1997:5). Penelitian mengenai pengaruh kebijakan hutang terhadap Economic Value Added (EVA) ini sudah pernah dilakukan sebelumnya. Hasil penelitian tersebut tidak semua mendukung teori yang telah ada, terdapat beberapa penelitian yang tidak mendukung teori. Beberapa penelitian yang mendukung teori adalah Ayu Ananda Seminar (2008) dan Hermayanti (2005) menemukan bahwa kebijakan hutang merupakan variabel yang berpengaruh terhadap penciptaan nilai EVA. Kemudian Penelitian yang dilakukan Yuni Puspita Sari (2013) menyimpulkan bahwa DER berpengaruh negatif signifikan terhadap EVA. Sedangkan penelitian yang tidak mendukung teori adalah penelitian dari Prasetyo (2006) yang menemukan bahwa besar atau kecil proporsi hutang jangka panjang suatu perusahaan
tidak
dapat
mempengaruhi
kemampuan
manajemen
dalam
menghasilkan EVA. Kemudian Penelitian yang dilakukan Arry Irawan (2009) menemukan bahwa hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa terdapat
55
pengaruh yang tidak signifikan tetapi mempunyai arah negatif dari kebijakan hutang terhadap EVA. H3 : Kebijakan hutang berpengaruh negatif signifikan terhadap EVA