9
BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1 Kinerja Karyawan Menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan tindakan, perilaku dan hasil yang dapat diukur di mana karyawan terikat atau yang dilakukan karyawan yang berhubungan dengan tujuan organisasi dan berkontribusi pada tujuan organisasi. Menurut Thompson dalam Jimoh (2008: 102), untuk mengukur kinerja karyawan diperlukan pengamat yang membuat keputusan penilaian terhadap kecenderungan perilaku orang yang dievaluasi yang berhubungan dengan kontribusi pada tujuan organisasi. Menurut Mangkunegara (2010: 116), kinerja karyawan dapat diukur dengan kuantitas, kualitas, efisiensi, standar professional, kemampuan, penilaian, ketepatan, pengetahuan, dan kreativitas. Menurut Lewa & Subowo (2008: 75), indikator dari kinerja karyawan adalah faktor kualitas kerja; kuantitas; pengetahuan; keandalan; dan kerjasama. Sedangkan Bernardin dan Russel dalam Ruky (2010: 115) memberikan pengertian sebagai berikut : “performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during time period. Prestasi atau kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama kurun waktu tertentu. Menurut Gibson, dkk (2008: 55), job performance adalah hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja keefektifan
9
10
kinerja lainnya. Sementara menurut Ilyas (2009: 99), kinerja adalah penampilan hasil kerja personil maupun dalam suatu organisasi. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personil yang memangku jabatan fungsional maupun struktural tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personil di dalam organisasi. Menurut Simanjuntak (2014: 61) yang mengemukakan kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja masing-masing individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut. Menurut Irawan (2012: 51), bahwa kinerja (performance) adalah hasil kerja yang bersifat konkret, dapat diamati, dan dapat diukur. Jika kita mengenal tiga macam tujuan, yaitu tujuan organisasi, tujuan 6unit, dan tujuan pegawai, maka kita juga mengenal tiga macam kinerja, yaitu kinerja organisasi, kinerja unit, dan kinerja pegawai. Dessler (2008: 87) berpendapat : Kinerja (prestasi kerja) karyawan adalah prestasi aktual karyawan dibandingkan dengan prestasi yang diharapkan dari karyawan. Prestasi kerja yang diharapkan adalah prestasi standar yang disusun sebagai acuan sehingga dapat melihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat. Selain itu dapat juga dilihat kinerja dari karyawan tersebut terhadap karyawan lainnya. Mangkunegara (2010: 98) berpendapat bahwa ”Kinerja karyawan merupakan istilah yang berasal dari job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang). Yang dapat
11
didefinisi bahwa ”Kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.” Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja dan prestasi kerja dapat disimpulkan bahwa pendapat Mangkunegara, mengenai pengertian kinerja maupun prestasi kerja mengandung substansi pencapaian hasil kerja oleh seseorang. Karena kinerja maupun prestasi kerja merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang. Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga (institutional performance) atau kinrja perusahaan (corporate performance) terdapat hubungan yang erat. Dengan perkataan lain bila kinerja karyawan (individual performance) baik maka kemungkinan besar kinerja perusahaan (corporate performance) juga baik. Adapun Tujuan dari peningkatan kinerja karyawan, yaitu : 1. Untuk memenuhi kebutuhan perusahaan yang menginginkan hasil kerja yang bermutu 2. Untuk meningkatkan kemampuan sistem perusahaan agar efektif, efisien dan bermutu 3. Untuk
membantu
karyawan
dalam
mengembangkan
pengetahuan,
keterampilan dan sikap kerja maupun kepribadiannya Karyawan 4. Tenaga kerja yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak oleh institusi untuk merencanakan dan melaksanakan pekerjaan sesuai bidangnya Karyawan sebagai investasi
12
5. Karyawan
dalam
melaksanakan
tugas
dan
fungsinya
mensyaratkan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang keahliannya. 6. Tugas utama karyawan meliputi pelaksanaan tugas secara konsisten dan selalu mengembangkan
pengetahuan
untuk
meningkatkan
mutu
kerjanya.
Keterkaitan kinerja dan profesionalitas 7. Kinerja erat hubungannya dengan profesionalitas, karena orang yang professional akan memiliki kinerja yang tinggi. Kegunaan
penilaian
kinerja
karyawan
yang
dirumuskan
oleh
Mangkunegara (2010: 101).antara lain : 1.
Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian dan besarnya balas jasa.
2.
Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya.
3.
Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan.
4.
Sebagai dasar untuk mengevaluasi program pelatihan dan keefektifan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.
5.
Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan pelatihan bagi karyawan yang berada di dalam organisasi.
6.
Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai performance yang baik.
7.
Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan kemampuan karyawan.
13
8.
Sebagai kriteria menentukan, seleksi dan penempatan karyawan.
9.
Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.
10.
Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job description). Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan
(ability) dan faktor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Davis dalam Mangkunegara (2010: 106) yang merumuskan bahwa : “Human performance
= ability x motivation
Motivation
= attitude x situation
Ability
= knowledge x skill
1.
Kemampuan (Ability. Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, pimpinan dan karyawan memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110 – 120) apalagi IQ superior, very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal.
2.
Motivasi (Motivation). Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja (situation) di lingkungan organisasinya. Mereka bersikap positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif (kontra) terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang rendah.
14
Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja” (Davis dalam Mangkunegara, 2010 : 112) Faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal (disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Misalnya, kinerja seseorang baik disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki kemampuannya. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti perilaku, sikap, dan tindakantindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi. Faktor internal dan eksternal ini merupakan jenis-jenis atribusi yang mempengaruhi kinerja seseorang. Jenis-jenis atribusi yang dibuat para karyawan memiliki sejumlah akibat psikologis dan berdasarkan kepada tindakan. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Sulistiyani dan Rusidah (2008: 98-101) mengemukakan juga beberapa faktor yang menentukan kinerja seseorang. Ada beberapa faktor yang menentukan besar kecilnya kinerja seseorang atau instansi antara lain knowledge, skills, abilities, attitude, behaviors (pengetahuan, keterampilan, kemampuan, sikap dan perilaku). Pengetahuan dan keterampilan sesungguhnya yang mendasari pencapaian kinerja. Pengetahuan adalah akumulasi
15
hasil proses pendidikan baik yang diperoleh secara formal maupun non formal yang memberikan kontribusi pada seseorang di dalam pemecahan masalah, daya cipta, termasuk dalam melakukan atau menyelesaikan pekerjaan. Keterampilan adalah kemampuan dan penguasaan teknis operasional mengenai bidang tertentu yang bersifat kekaryaan. Keterampilan diperoleh melalui proses belajar dan berlatih. Kemampuan terbentuk dari sejumlah kompetensi yang miliki seorang pegawai. Pengetahuan dan keterampilan termasuk faktor pembentuk kemampuan. Begitu juga dengan sikap dan perilaku, dimana sikap yang merupakan kebiasaan yang terpolakan jika memiliki implikasi yang positif dalam hubungannya dengan perilaku kerja seseorang maka akan menguntungkan. Menurut Tsui et al dalam Mas’ud (2010: 114) Kinerja karyawan pada dasarnya ialah hasil karya karyawan selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai faktor, misalnya standar, target/ sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Dalam penelitian ini dimensi penilaian terhadap kinerja sumber daya manusia berdasarkan perilaku yang spesifik (judgement performance evaluation) digunakan sebagai indikator dalam penelitian yang menggunakan sebagian dari sebelas kriteria yaitu (1) kuantitas kerja karyawan, (2) kualitas kerja karyawan, (3) efisiensi karyawan, (4) standar kualitas karyawan, (5) usaha karyawan, (6) standar profesional karyawan, (7) kemampuan karyawan terhadap pekerjaan inti, (8) kemampuan karyawan menggunakan akal sehat, (9) ketepatan karyawan, (10) pengetahuan karyawan, dan (11) kreativitas karyawan.
16
2.1.2 Kepuasan Kerja 1.
Pengertian Kepuasan Kerja Luthans (2009: 101) dalam bukunya Organizational Behaviour mengutip pendapat Locke bahwa kepuasan kerja merupakan keadaan emosional yang positif dari seseorang yang ditimbulkan dari penghargaan atas sesuatu pekerjaan yang telah dilakukannya. Dikatakan lebih lanjut bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari prestasi seseorang terhadap sampai seberapa baik pekerjaannya menyediakan sesuatu yang berguna baginya. Menurut Robbins (2008: 110) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Pegawai yang menikmati pekerjaan akan merasa puas jika hasil kerja keras dan balas jasa dirasa adil dan layak (Fathoni, 2010: 75). Locke (Luthans, 2009: 112) memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah ”keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.” Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi pegawai mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Terdapat tiga dimensi yang diterima secara umum dalam kepuasan kerja. 1) Kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi kerja. Dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga. 2) Kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan. 3) Kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan.
17
Menurut Handoko (2009: 87) menyatakan kepuasan kerja (job satisfaction) sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para pegawai memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan sikap seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif pegawai terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi dilingkungan kerjanya. Departemen personalia atau pihak manajemen harus senantiasa memonitor kepuasan kerja, karena hal ini dapat mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja, keluhan-keluhan dan masalah personalia vital lainnya. Menurut Malthis (2008: 107) kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul saat harapan-harapan ini tidak terpenuhi. Kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi, secara umum adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan, hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan untuk maju. Setiap dimensi menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan pekerjaan itu sendiri. Tolak ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada, karena setiap individu pegawai berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja ini dapat diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan labour turnover yang kecil, maka secara relatif kepuasan kerja pegawai baik tetapi sebaliknya jika kedisiplinan, moral kerja dan labour turnover besar, maka kepuasan kerja pegawai pada perusahaan dinilai kurang. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja pegawai merupakan sikap pegawai terhadap bagaimana
18
mereka memandang pekerjaannya. Kepuasan pegawai dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya adalah menciptakan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan pegawai. Kepuasan atau ketidakpuasan pegawai adalah respon pegawai terhadap evaluasi tingkat kesesuaian antara harapan sebelumnya dan kinerja desain pekerjaan aktual yang dirasakan oleh pegawai. Jadi, tingkat kepuasan pegawai terhadap pekerjaannya dan karirnya merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karir yang dirasakan dengan harapan pegawai. Apabila kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karirnya tidak sesuai dengan harapan atau harapan melebihi kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karirnya, maka pegawai akan kecewa. Sedangkan apabila kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karirnya sesuai dengan harapan atau bahkan melebihi harapannya, pegawai akan merasa sangat puas. Jadi kepuasan kerja adalah keadaan emosional seseorang terhadap pekerjaannya, ketika dia menemukan titik temu antara apa yang dia harapkan dari pekerjaan itu dan apa yang telah diberikan perusahaan terhadap dirinya. 2.
Teori Kepuasan Kerja As’sad (2010: 97) menjelaskan bahwa variabel yang dapat dijadikan indikasi menurunnya kepuasan kerja adalah tingginya tingkat absensi (absenteeism), tingginya keluar masuknya pegawai (turnover), menurunnya produktivitas kerja atau prestasi kerja pegawai (performance). Apabila indikasi menurunnya kepuasan kerja pegawai tersebut muncul ke permukaan, maka hendaknya segera ditangani supaya tidak merugikan perusahaan.
19
Menurut Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2010: 113), terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, sebagai berikut: a.
Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan) Kepuasan yang ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
b.
Discrepancies (perbedaan) Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan.
c.
Value attainment (pencapaian nilai) Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan yang memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
d.
Equity (keadilan) Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja.
e.
Dispositional / genetic components (komponen genetik) Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Untuk membahas kepuasan kerja, beberapa teori disajikan untuk
menjelaskan mengapa orang menyenangi pekerjaannya, walaupun antara satu teori dengan teori yang lain saling menunjukkan prinsip yang berbeda. Rivai (2010: 99) pada umumnya ada 3 (tiga) teori yang dibicarakan, berikut yang sering dibahas dan digunakan. Teori yang pertama dipelopori oleh Porter dalam Hasibuan (2008: 203), adalah Teori Perbandingan Intrapersonal
20
(Intrapersonal Comparison Proce) dikenal juga dengan Discrepancy Theory. Teori yang kedua dikemukakan oleh Zalesnik dan Adams dalam Hasibuan, (2008: 209), adalah Theory Interpersonal Comparison Process yang dikenal juga sebagai Teori Keadilan atau Equity Theory. Teori yang ketiga yaitu teori dua faktor (Two factor theory) teori ini dikemukakan oleh Herzberg. Berikut penjelasan dari masing-masing teori diatas : a.
Discrepancy theory Menurut Porter (As'ad, 2010: 107) bahwa mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan (difference between how much of something there should be and how much there is now). Apabila yang didapat ternyata lebih besar dari pada yang diinginkan, maka akan menjadi lebih puas lagi, walaupun terhadap discrepancy yang positif. Sebaliknya makin jauh kenyataan yang dirasakan itu dibuat standar minimum sehingga menjadi negative discrepancy, maka makin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaan. Kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan oleh individu merupakan hasil dari suatu perbandingan yang dilakukan oleh dirinya sendiri terhadap berbagai macam hal yang mudah diperolehnya dari pekerjaan dan menjadi harapannya. Kepuasan akan dirasakan oleh individu tersebut bila perbedaan atau kesenjangan antara standar pribadi individu dengan apa
21
yang diperoleh dari pekerjaan kecil, sebaliknya ketidakpuasan akan dirasakan oleh individu bila perbedaan atau kesenjangan antara standar individu dengan apa yang diperoleh dari pekerjaan besar. b.
Interpersonal comparison processes theory Interpersonal comparison processes theory dikenal juga dengan teori keadilan/Equity Theory. Teori ini dikemukakan oleh Zalesnik dan Adam dalam Hasibuan (2008:211). Teori keadilan/Equity Theory menyatakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasa adanya keadilan (equity). Perasaan equity atau inequity atas suatu situasi diperoleh seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain.
c.
Two factor theory Two factor theory dikenal juga dengan nama teori dua faktor. Teori ini dikemukakan oleh Herzberg dalam Hasibuan (2008:217). Prinsip teori dua faktor ini adalah kepuasan kerja dan ketidakpuasan itu merupakan dua hal yang berbeda. Menurut teori dua faktor, karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yang pertama dinamakan dissatisfier atau ketidakpuasan dan yang lain dinamakan satisfier atau kepuasan. Satisfier (motivator) ialah faktor-faktor atau situasi yang dibentuknya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari prestasi, pengakuan, wewenang, tanggung jawab dan promosi. Dikatakan bahwa
22
hadirnya faktor ini akan menimbulkan ketidakpuasan, tapi ketiadaaan faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissastifier (hygine factors) ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, terdiri antara lain : penghasilan, pengawasan, hubungan pribadi, kondisi kerja dan status, jika hal tersebut tidak terpenuhi seseorang akan tidak puas. Namun perbaikan terhadap kondisi atau situasi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, hanya saja tidak akan menimbulkan kepuasan karena faktor-faktor ini bukan sumber kepuasan kerja. Theory Disperacy dan Theory Equity (As'ad, 2010: 115) menekankan bahwa kepuasan orang dalam bekerja, ditengarai oleh dekatnya jarak antara harapan dan kenyataan yang didapat, sesuai dengan harapannya dan demikian juga yang diterima rekan sekerja lain adalah sama atau adil seperti yang diterima sesuai dengan pengorbannya. Teori dua faktor, faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik, dimana faktor intrinsik merupakan sumber kepuasan kerja dan faktor ekstrinsik merupakan pengurang ketidakpuasan dalam kerja. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kepuasan orang dalam bekerja, ditengarai oleh dekatnya jarak antara harapan dan kenyataan yang didapat sesuai dengan harapannya, dan demikian juga yang diterima rekan sekerja lain adalah sama atau adil seperti yang diterima sesuai dengan pengorbanannya.
23
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja Menurut Luthans (2009: 117), faktor-faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja seperti diuraikan berikut ini : a.
Pekerjaan itu sendiri Yang termasuk pekerjaan yang memberikan kepuasan adalah pekerjaan yang menarik dan menantang, pekerjaan yang tidak membosankan, serta pekerjaan yang dapat memberikan status.
b.
Upah/gaji Upah dan gaji merupakan hal yang signifikan, namun merupakan faktor yang kompleks dan multidimensi dalam kepuasan kerja.
c.
Promosi Kesempatan dipromosikan nampaknya memiliki pengaruh yang beragam terhadap kepuasan kerja, karena promosi bisa dalam bentuk yang berbeda-beda dan bervariasi pula imbalannya.
d.
Supervisi Supervisi merupakan sumber kepuasan kerja lainnya yang cukup penting pula.
e.
Kelompok kerja Pada dasarnya, kelompok kerja akan berpengaruh pada kepuasan kerja. Rekan kerja yang ramah dan kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja bagi pegawai individu.
24
f.
Kondisi kerja/lingkungan kerja Jika kondisi kerja bagus (lingkungan sekitar bersih dan menarik) misalnya, maka pegawai akan lebih bersemangat mengerjakan pekerjaan mereka, namun bila kondisi kerja rapuh (lingkungan sekitar panas dan berisik) misalnya, pegawai akan lebih sulit menyelesaikan pekerjaan mereka. Walaupun uraian tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor kepuasan kerja cukup variatif, namun pendapat berikutnya yang diberikan oleh Gilmer (As’ad, 2010: 119) dengan sepuluh faktor kepuasan kerja nampaknya jauh lebih beragam. Kesepuluh faktor diuraikan sebagai berikut : 1) Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja. 2) Keamanan kerja, sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi pegawai pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan pegawai selama kerja. 3) Gaji, lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya. 4) Perusahaan dan manajemen, dimana perusahaan dan manajemen yang baik adalah faktor yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja pegawai.
25
5) Pengawasan (supervisi), bagi pegawai, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasan. Supervisi yang buruk berakibat absensi dan turn over. 6) Faktor intrinsik dari pekerjaan, dimana atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas dapat meningkatkan atau mengurangi kepuasan. 7) Kondisi kerja, termasuk disini adalah kondisi kerja, ventilasi, penyinaran, kantin, dan tempat parkir. 8) Aspek sosial, merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang kepuasan atau ketidakpuasan dalam pekerjaan. 9) Komunikasi, di mana komunikasi yang lancar antara pegawai dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami, dan mengakui pendapat ataupun prestasi pegawai. Keadaan ini akan sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap pekerjaan. 10) Fasilitas, termasuk didalamnya fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.
26
Penelitian yang terkait dengan variabel kepuasan kerja yakni penelitian yang dilakukan oleh Timmreck (2008: 99), yang berjudul “Managing, Motivation and Developing Job Satisfaction in The Health Care Work Environment.” Penelitian ini menyimpulkan terdapat dua aspek dalam pekerjaan yang masingmasing memberikan kontribusi bagi kepuasan dan ketidakpuasan kerja. Aspek yang pertama adalah pekerjaan itu sendiri, terkadang pekerjaan yang dilakukan sangat membosankan, membuat jenuh dan dapat membuat pekerja menjadi stress, ada juga pekerjaan yang sangat sulit dan menuntut kekuatan fisik yang kemungkinan akan memicu ketidakpuasan dalam bekerja. Sementara aspek yang kedua adalah hubungan antara individu yang terjadi di dalam lingkungan pekerjaan tersebut. Persamaan penelitian ini dengan penelitian di atas adalah sama-sama meneliti tentang hubungan kerja dan kepuasan kerja. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel bebas dan teknik analisis yang digunakan.
2.1.3 Komitmen Organisasional Komitmen orgnaisaional (organizational commitment), didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi berarti memilhak organisasi yang merekrut individu tersebut. (Robbins, 2008: 118).
27
Menurut Gibson (2008: 115) komitmen terhadap organisasi melibatkan tiga sikap: (1) identifikasi dengan tujuan organisasi, (2) perasaaan keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi, dan (3) Perasaaan loyalitas terhadap organisasi. Sehingga dimaknai bahwa komitmen organisasi merupakan suatu bentuk identifikasi, loyalitas dan keterlibatan yang diekspresikan oleh karyawan terhadap organisasi. (Gibson, 2008:115). Pegawai yang memiliki komtimen yang baik berarti bahwa pegawai tersebut memiliki loyalitas terhadap organisasi dimana ia berada saat ini dan akan berupaya untuk berusaha dengan optimal mencapai tujuan organisasi tempat ia bekerja. Komtimen organisasional menurut Ivancevich (2008: 134) adalah perasaan idenifikasi, keterlibatan, dan kesetiaan yang diekspresikan oleh pegawai terhadap organisasi. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diidentifikasi bahwa komitmen terhadap organisasi melibatkan tiga sikap yaitu, perasaan identifikasi dengan tujuan organisasi, perasaan terlibat dalam tugas-tugas organisasi, dan perasaan setia terhadap organisasi. Bukti penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya komitmen organisasional dapat mengurangi efektivitas organisasi. Komitmen organisasional dikarakteristikkan sebagai kepercayaan yang kuat dalam organisasi dan penerimaan dari tujuan dan nilai organisasi, kemauan untuk melakukan usaha yang berarti untuk keuntungan organisasi dan kemauan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi (Mowday et al., 1982 dalam Al-Ahmadi, 2009: 121). mengidentifikasi tiga bentuk dari komitmen organisasional:
28
1. Komitmen efektif (Affectif Commitment) merupakan perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. Sebagai contoh, seorang karyawan Pecto mungkin memiliki komitmen aktif untuk perusahaannya karena keterlibatannya dengan hewan-hewan. 2. Komitmen berkelanjut (continuance comimitment) adalah nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. Seorang karyawan mungkin akan berkomitmen kepada seorang pemberi kerja karena ia di bayar tinggi dan merasa bahwa pengunduran diri dari perusahaan akan menghancurkan keluarganya. 3. Komitmen normatif (normative commitment) adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis.Sebagai contoh,seorang karyawan yang memelopori sebuah inisatif baru mungkin bertahan dengan seorang pemberi kerja karena ia merasa “meninggalkan seseorang dalam keadaan yang sulit” bila ia pergi. Gibson (2008: 215) mengutarakan komitmen organisasional sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu dan keterlibatan dalam organisasi khusus, meliputi kepercayaan, dukungan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan keinginan yang kuat untuk menggunakan upaya yang sungguh sungguh untuk kepentingan organisasi, dan kemauan yang kuat untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi. Komitmen organisasional menunjuk pada pengidentifikasian tujuan karyawan dengan tujuan organisasi, kemauan untuk
29
mengerahkan segala upaya kepentingan organisasi dan keterikatan untuk tetap menjadi bagian organisasi. Sebagai definisi yang umum, Luthans (2008: 123) manyatakan komitmen organisasional merupakan sikap yang menunjukkan loyalitas karyawan dan merupakan proses berkelanjutan bagaimana seorang anggota organisasi mengekspresikan perhatian mereka kepada kesuksesan dan kebaikan organisasinya. Meyer dan Allen (2008: 107) mendefinisikan tiga model komitmen organisasional dan direfleksikan dalam tiga pokok utama yaitu: 1. Affective commitment adalah keinginan untuk bekerja pada perusahaan karena sepakat terhadap tujuan organisasi dan ada keinginan untuk menjalankannya. 2. Continuance commitment adalah keinginan untuk tetap bekerja pada perusahaan karena tidak ingin kehilangan sesuatu yang terkait dengan pekerjaannya. 3. Normative commitment adalah keinginan untuk bekerja pada perusahaan karena adanya tekanan dari pihak lain. Dalam penelitian ini dimensi komitmen organisasi mengacu pada faktorfaktor komitmen yang dkembangkan oleh Mas’ud (2010:127), sebagai indikator dalam mengidentifikasikan komitmen organisasional sebagai berikut : 1.
Perasaan menjadi bagian dari organisasi.
2.
Kepedulian terhadap organisasi.
30
3.
Hasrat yang kuat untuk bekerja pada organisasi.
4.
Kepercayaan yang kuat terhadap nilai-nilai organisasi.
5.
Kemauan yang besar untuk berusaha bagi organisasi
2.1.4 Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasional Hubungan yang positif antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional dilaporkan oleh studi yang melibatkan profesional yang berkualifikasi. Studi yang dilakukan oleh Wu & Norman dalam Al-Hussami (2009: 121) mendapatkan hasil hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasional. Hal ini mengindikasikan bahwa perawat yang lebih puas dengan pekerjaannya juga lebih berkomitmen dengan pelayanan kesehatan. Tella et al. (2007: 123) menemukan hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Jika karyawan puas dengan pekerjaannya, rekan kerja, pembayaran, dan atasannya, dan kepuasan kerja keseluruhan, mereka lebih berkomitmen pada organisasi (Okpara, 2009: 123). Pandangan lain menyatakan tidak ada hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Curry et al. 1986 dalam Salami (2008: 113), Wong et al. 1995, dalam Brown & Gaylor, (2002: 112), dan Pettijohn et al. (2000: 123) menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis berikut: H1 : Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap Komitmen organisasi.
31
2.1.5 Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Salah satu tugas utama manager adalah memotivasi para personel perusahaan agar memiliki kinerja yang tinggi. Manager yang dapat memberikan motivasi yang tepat untuk para personelnya akan membuahkan produktivitas yang maksimal, kinerja yang tinggi serta pertanggung jawaban perusahaan yang lebih baik. Memahami dimensi-dimensi yang relevan dengan motivasi personel akan menjadi sumber informasi yang berharga bagi siapa saja yang berkutat dengan kinerja perusahaan, begitu juga halnya dengan kemampuan untuk membuat penilaian obyektif tentang apa yang diinginkan personel dari pekerjaan mereka. Hal ini berguna untuk merumuskan kebijakan personal, perencanaan startegis maupun untuk merekayasa ulang proses guna mencapai tujuan produktivitas dan efisiensi. McNeese-Smith (2005: 110) menunjukkan bahwa komitmen organisasi berhubungan signifikan positif yang ditunjukkan dengan nilai Pearson (r) sebesar 0,31 (significance pada level 0,001) terhadap kinerja karyawan produksi. Variabel komitmen diukur melalui enam dimensi yaitu: perasaan menjadi bagian dari organisasi, kebanggaan terhadap organisasi, kepedulian terhadap organisasi, hasrat yang kuat untuk bekerja pada organisasi, kepercayaan yang kuat terhadap nilai-nilai organisasi, dan kemauan yang besar untuk berusaha bagi organisasi. Sedangkan variabel kinerja karyawan diukur melalui kuantitas kerja karyawan, kualitas kerja karyawan, efisiensi karyawan, standar kualitas karyawan, usaha karyawan, standar professional karyawan, kemampuan
karyawan
terhadap
pekerjaan
inti,
kemampuan
karyawan
menggunakan akal sehat, ketepatan karyawan, pengetahuan karyawan dan kreatifitas karyawan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis berikut: H2 : Komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
32
2.1.6 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Kepuasan kerja staf dapat mempengaruhi hasil pasien. Semua penyedia pelayanan menunjukkan pelayanan yang lebih baik ketika mereka puas dengan pekerjaannya dan ketika mereka merasa berkomitmen dengan organisasinya (McNeese-Smith, 1996). Al-Ahmadi (2009: 126) melakukan studi terhadap 923 perawat pada rumah sakit di Riyadh, kinerja karyawan ditemukan berhubungan positif dengan kepuasan kerja secara keseluruhan (segi kepuasan meliputi kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri, supervisi, hubungan dalam kerja, pembayaran, kesempatan promosi, dan kondisi kerja). Beberapa peneliti tidak menemukan hubungan antara kinerja karyawan dan kepuasan kerja. Crossman & Zaki (2008: 77) mengadakan penelitian dan menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Packard & Motowidlo, 1987 dalam Al-Ahmadi, 2009: 127) mempelajari hubungan stres subjektif, kepuasan kerja, dan kinerja karyawan di antara perawat rumah sakit, dan mendapatkan hasil bahwa kepuasan kerja tidak berhubungan dengan kinerja karyawan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis berikut: H3 : Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. 2.1.7
Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka
penyusunan penelitian ini. Kegunaannya adalah untuk mengetahui hasil yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu sekaligus sebagai perbandingan sehingga penelitian terdahulu dapat dijabarkan sebagai berikutnya :
33 Tabel 1 Penelitian Terdahulu Nama Albertus, Ika S. (2010)
Hasan. L. (2012)
Judul Pengaruh Komitmen Organisasi, Gaya Kepemimpinan Dan Job Relevant Information (JRI) Terhadap Hubungan Antara Partisipasi Anggaran Dan Kinerja Manajerial pada BPR di Kota Semarang Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Disiplin Terhadap Komitmen Organisasi Pegawai Dinas Perindustrian Perdagangan Pertambangan dan Energi Kota Padang.
Darmawati, Hidayati & Herlina (2013)
Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Komitmen Organisasi Terhadap Organizational Citizenship Behavior.
Penelitian Titik Rosita (2015)
Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Intervening
Dependent - Kinerja Manajerial
- Komitmen Organisasi
-
Organizational Citizenship Behavior
- Kinerja Karyawan
Variabel Independent - Partisipasi Anggaran - Komitmen Organisasi - Gaya Kepemimpinan
-
Kepuasan Kerja
Populasi Intervening Job Relevant Information (JRI)
- Disiplin Kerja
Alat Analisis
Hasil
- Para manajer di BPR yang ada di Semarang
- Regresi linier berganda - Uji Hipotesis
Hasil penelitian komitmen organisasi dapat memoderasi pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial, Gaya kepemimpinan yang beroriantasi pada konsiderasi akan mampu meningkatkan pengaruh partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial.
- Keseluruhan pegawai yang bertugas di Dinas Perindustrian Perdagangan Pertambangan dan Energi Kota Padang yang berjumlah 73 orang
- Metode analisa jalur (Path Analysis)
-
-
- Kepuasan Kerja - Komitmen Organisasi
-
- Karyawan bagian Tata Usaha FISE UNY
- Regresi linier berganda - Uji Hipotesis
-
- Kepuasan Kerja
- Komitmen Organisasi
- Karyawan Pharos Indonesia
- Metode analisa jalur (Path Analysis)
-
Berdasarkan pengujian kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap disiplin pegawai. Kepuasan kerja dan disiplin kerja berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh langsung disiplin lebih besar nilainya dari pada pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi. Dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi lebih efektif ditingkatkan secara langsung melalui disiplin pegawai. Hasil penelitian ini menemukan bahwa variabel kepuasan kerja memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel organizational citizenship behavior sementara itu komitmen organisasi pengaruhnya tidak signifikan.
34 2.1.8
Rerangka Pemikiran Untuk lebih memperjelas arah dari penelitian, maka dalam penelitian ini dapat
diambil suatu jalur pemikiran yang diterjemahkan dalam kerangka pemikiran seperti pada gambar 1 sebagai berikut : Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja diantaranya adalah kepuasan kerja, serta komitmen organisasi sebagai faktor-faktor ini yang menjadi permasalah penting untuk dicarikan solusi demi meningkatkan kinerja secara berkelanjutan. Peningkatan kinerja karyawan akan membawa kemajuan bagi perusahaan untuk dapat bertahan dalam suatu persaingan lingkungan bisnis yang tidak stabil.
Kepuasan Kerja (Mas’ud, 2010; 125); Kepuasan kerja dihasilkan dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka menyediakan hal yang dipandang penting. Adapun indikator kepuasan kerja adalah sebagai berikut : 1) Kepuasan dengan gaji ( satisfaction with pay ) 2) Kepuasan dengan promosi (satisfaction withpromotion ) 3) Kepuasan dengan rekan sekerja (satisfaction with co-workers ) 4) Kepuasan dengan penyelia (satisfaction with supervisor ) 5) Kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri (satisfaction with work itself ) 6) Kepuasan dengan adanya kesempatan mengembangkan karier 7) Kepuasan dengan adanya tantangan dalam pekerjaan 8) Kepuasan dengan adanya dukungan motivasi dari atasan
Komitmen Organisasi (Al-Ahmadi, 2009; 117); dikarakteristikkan sebagai kepercayaan yang kuat dalam organisasi dan penerimaan dari tujuan dan nilai organisasi, kemauan untuk melakukan usaha yang berarti untuk keuntungan organisasi dan kemauan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Adapun indikator adalah sebagai berikut : 1) Affective Commitment : menjadi anggota suatu organisasi karena memang keinginan. 2) Continuance Commitment : menjadi anggota suatu organisasi karena kebutuhan. 3) Normative Commitment : menjadi anggota suatu organisasi karena merasa berkewajiban. Kinerja karyawan adalah hasil kerja yang dicapai karyawan, baik secara kualitas maupun kuantitas dari penyelesaian tugas yang dibebankan dalam kurun waktu tertentu oleh instansi (Simamora, 2009: 76). Beberapa indikator untuk mengukur sejauh mana karyawan mencapai suatu kinerja secara adalah sebagai berikut: 1) Kuantitas kerja dalam suatu periode yang ditentukan (quantity of work) 2) Kualitas kerja berdasarkan syarat kesesuaian dan kesiapannya (quality of work) 3) Pengetahuan tentang pekerjaan (job knowledge) 4) Keaslian gagasan yang muncul dan tindakan untuk menyelesaikan permasalahan (creativeness) 5) Kesetiaan bekerja sama dengan orang lain (cooperation) 6) Kesadaran dan kepercayaan dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja (dependability) 7) Semangat dalam melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memeperbesar tanggung jawab (initiative) 8) Kepribadian, kepemimpinan, keramah-tamahan dan integritas pribadi (personal qualities) 9) Ketepatan waktu (Efektivitas)
Sumber : Mas’ud, 2010; Al-Ahmadi, 2009; Simamora, 2009
Gambar 1 Rerangka Berpikir
35 2.1.9
Rangka Konseptual Berdasarkan tinjauan dari telaah pustaka, dapat dibuat kerangka pemikiran pteoritis
tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Rangka konseptual penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut : Komitmen Organisasi (KO) H2 Kepuasan Kerja (KepK)
H3 H1
Kinerja Karyawan (KK)
Gambar 2 Rerangka Konseptual
2.2
Hipotesis Berdasarkan telaah pustaka yang ada, dapat disusun hipotesis untuk penelitian ini
sebagai berikut: H1 : Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan H2 : Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitemen organisasi H3: Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karywan melalui komitemen organisasi