BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Keagenan Teori keagenan sudah mulai berkembang berawal dari adanya penelitian oleh Wibowo dan Rossieta, (2009:31), yang mengacu pada pemenuhan tujuan utama dari manajemen keuangan yaitu memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Pemegang saham sebagai pemilik perusahaan disebut prinsipal. Maksimalisasi kekayaan principal akan diserahkan kepada pihak-pihak yang dianggap profesional untuk mengelola perusahaan. Pihak profesional tersebut dalam perusahaan disebut sebagai manajemen, yang dalam teori keagenan disebut sebagai agent. Hendriksen et al. (2001:206) menyatakan hubungan manajer dan pemilik sebagai hubungan dua individu untuk lebih memahami informasi ekonomi. Dua individu tersebut principal (pemilik, yang disebut sebagai evaluator informasi) dan agent (manajer, yang disebut sebagai pengambilan keputusan). Prinsipal dipandang sebagai pemberi informasi yang selanjutnya informasi tersebut akan diolah oleh agent untuk pengambilan keputusan bagi kepentingan prinsipal. Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara prinsipal dengan agen.Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak - pihak yang bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda, pemilik modal menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik modal, sedangkan
7
manajer juga menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi para manajer. Dengan demikian muncullah konflik kepentingan antara pemilik (investor) dengan manajer (agen). Pemilik lebih tertarik untuk memaksimumkan kompensasinya. Kontrak yang dibuat antara pemilik dengan manajer diharapkan dapat meminimumkan konflik antar kedua kepentingan tersebut (Indahningrum dan Handayani, 2009). Untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan oleh principal, maka agent akan mempunyai kecenderungan untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya dengan biaya yang kecil, karena manajemen tidak menyukai adanya resiko (risk averse). Menurut Wibowo dan Rossieta, (2009:39), agency conflict akan terjadi jika proporsi kepemilikan manajemen atas saham perusahaan kurang dari 100%. Kondisi ini akan menimbulkan kecenderungan manajemen untuk bertindak mementingkan kepentingan sendiri dan tidak berdasarkan maksimalisasi kemakmuran principal lagi Menurut Wahidahwati (2001), konflik keagenan dapat dikurangi melalui beberapa alternatif, yaitu: (1). Meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (insider ownership). Dengan kepemilikan manajerial, manajemen akanmerasakan langsung dampak dari setiap keputusannya termasuk dalam menentukan kebijakan hutang perusahaan. (2). Peningkatan kepemilikan institusional (institusional investor) sebagai pihak yang memonitor agen. Dengan kepemilikan institusional maka distribusi saham akan lebih menyebar yang nantinya mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen sehingga dapat mengurangi biaya keagenan, (3). Meningkatnya
deviden payout ratio sehingga akan mengurangi free cash flow dan manajemen terpaksa mencari sumber pendanaan dari luar, (4). Meningkatkan penggunaan hutang dalam pendanaan karena dapat menurunkan excess cash flow maka free cash flow yang tersedia untuk manajer untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak semestinya menjadi terbatas. 2.1.2
Teori Pecking Order Pecking order theory adalah salah satu teori yang mendasarkan pada
asimetri informasi. Asimetri informasi akan mempengaruhi struktur modal perusahaan dengan cara membatasi akses pada sumber pendanaan dari luar. Myers dan Majluf (1984) dalam Husnan (2007) menunjukkan bahwa dengan adanya asimetri informasi, investor biasanya akan menginterprestasikan sebagai berita buruk apabila perusahaan mendanai investasinya dengan menerbitkan ekuitas. Perilaku pecking order selain dipengaruhi oleh adanya asimetri informasi juga cenderung didorong dengan adanya pajak dan biaya transaksi. Ada beberapa alasan yang menyebabkan biaya langsung dari retained earning akan lebih kecil dari penerbitan ekuitas baru. Alasan pertama adalah terdapatnya penghematan yang cukup besar dalam banker fees. Alasan yang kedua adalah perusahaan dapat menekan dividen yang dapat dikenakan pajak pada saat ini dengan membatasi penerbitan sekuritas. Dalam hal ini, dengan menetapkan jumlah utang dan investasi tetap konstan, kenaikan dalam penerbitan ekuitas akan selalu mengarahkan pada dividen yang lebih besar. Dividen yang lebih besar selanjutnya akan menambah beban pajak pribadi. Oleh karena itu akan cukup beralasan apabila perusahaan berusaha untuk
menekan penerbitan ekuitas baru. Disamping itu, menurut Brigham (2007), biaya pada umumnya lebih kecil jika perusahaan menerbitkan utang dibandingkan menerbitkan saham baru. Perusahaan dalam menerbitkan sekuritas eksternal akan lebih memilih utang dibandingkan saham untuk mengurangi berbagai biaya yang timbul dari pemilihan antara utang dan saham. Brigham (2007). Dalam kaitannya dengan nilai perusahaan, pecking order theory telah memberikan gambaran bahwa penggunaan utang akan memberikan manfaat sekaligus biaya dan risiko sebagaimana dinyatakan oleh Brigham (2007) yang mengemukakan bahwa penggunaan utang yang berbeban bunga memiliki keuntungan dan kerugian bagi perusahaan. Sehingga penggunaan utang yang optimal dan dipertimbangkan terhadap
karakteristik
spesifik
perusahaan
(asset,
pangsa
pasar
dan
kemampulabaan) akan menghindarkan perusahaan dari risiko gagal pemenuhan kewajiban sehingga perusahaan terhindar dari penurunan kepercayaan investor yang berimplikasi pada menurunnya nilai perusahaan. 2.1.3
Profitabilitas Rasio profitabilitas adalah hasil bersih dari serangkaian kebijakan dan
keputusan manajemen. Oleh karena itu, rasio ini menggambarkan hasil akhir dari kebijakan dan keputusan-keputusan operasional perusahaan. Secara umum rasio profitabilitas dihitung dengan membagi laba dengan modal. Rasio profitabilitas juga menunjukkan pengaruh gabungan dari likuiditas, aktiva, dan utang terhadap hasil operasi (Mulyadi, 2008:25). Rasio profitabilitas disebut juga rasio kinerja operasi. Rasio profitabilitas atau kinerja operasi digunakan untuk mengevaluasi margin laba dari aktivitas operasi yang dilakukan perusahaan. Menurut Atmajaya
(2010:415) bahwa : Rasio Profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Menurut Kasmir (2010:45) profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan dan juga memberikan ukuran tingkat efektifitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi, intinya adalah bahwa rasio ini menunjukkan efisiensi perusahaan. Menurut (Brigham dan Houston, 2009:40), mengatakan bahwa perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi menggunakan hutang yang relatif kecil. Tingkat pengembalian yang tinggi memungkinkan untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan dengan dana yang dihasilkan internal Dalam hubungannya dengan penjualan dan investasi, rasio profitabilitas dapat diklasifikasikan menjadi margin laba kotor (gross profit margin), margin laba operasi (operating profit margin), margin laba sebelum pajak (pretax profit margin), margin laba bersih (net profit margin), return on assets atau return on investment, dan return on equity. Rasio profitabilitas yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah return on equity (ROE). Return on equity menurut Syamsuddin (2009:63) merupakan pengukuran kemampuan suatu perusahaan dengan modal sendiri yang bekerja didalamnya untuk menghasilkan laba yang tersedia bagi pemegang saham. Investor yang potensial akan menganalisis dan dengan cermat kelancaran sebuah perusahaan dan kemampuannya untuk mendapatkan keuntungan (profit) karena investor mengharapkan dividend dan harga pasar dari sahamnya. Alasan peneliti
menggunakan ROE karena rasio ini digunakan untuk mengukur kinerja manajemen
perusahaan
dalam
mengelola
modal
yang
tersedia
untuk
menghasilkan laba setelah pajak. Semakin besar ROE semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai perusahaan, kenaikan rasio ini yang berarti terjadi kenaikan laba bersih yang didapat oleh perusahaan, kenaikan laba akan menyebabkan kenaikan harga saham perusahaan. 2.1.4 Ukuran Perusahaan Menurut Brigham dan Houston (2009:117), ukuran perusahaan adalah ratarata total penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun kemudian. Dalam hal ini penjualan lebih besar daripada biaya variabel dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan sebelum pajak. Sebaliknya, jika penjualan lebih kecil daripada biaya variabel dan tetap maka perusahaan akan menderita kerugian. Menurut Halim (2009:93), semakin besar ukuran suatu perusahaan, maka kecenderungan menggunakan modal asing juga akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena perusahaan besar membutuhkan dana yang besar pula untuk menunjang operasionalnya dan salah satu alternatif pemenuhannya adalah dengan modal asing apabila modal sendiri tidak mencukupi. Dari referensireferensi diatas, dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya ukuran perusahaan akan berpengaruh pada struktur modal dengan didasarkan pada kenyataan bahwa pada perusahaan besar dapat membiayai investasinya dengan mudah lewat pasar modal karena mempunyai tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi dan kecilnya informasi asimetris terjadi.
Investor dapat memperoleh lebih banyak informasi dari perusahaan besar jika dibandingkan dengan perusahaan kecil. Jadi, dengan diperolehnya dana lewat pasar modal menjadikan proporsi hutang menjadi semakin kecil dalam struktur modalnya. Untuk itu perusahaan kecil mungkin menyukai hutang jangka pendek karena biayanya yang lebih murah dan perusahaan besar lebih berani mengeluarkan saham baru dan kecenderungan menggunakan jumlah pinjaman juga semakin besar pula. 2.1.5 Leverage Salah satu faktor penting dalam unsur pendanaan adalah hutang (leverage). Solvabilitas (leverage) digambarkan untuk melihat sejauh mana aset perusahaan dibiayai oleh hutang dibandingkan dengan modal sendiri. (Kasmir, 2013:41). Leverage dapat dipahami sebagai penaksir dari risiko yang melekat pada suatu perusahaan. Artinya, leverage yang semakin besar menunjukkan risiko investasi yang semakin besar pula. Perusahan dengan rasio leverage yang rendah memiliki risiko leverage yang lebih kecil. Dengan tingginya rasio leverage menunjukkan bahwa perusahaan tidak solvable, artinya total hutangnya lebih besar dibandingakan dengan total asetnya (Kasmir, 2013:16). Karena leverage merupakan rasio yang menghitung seberapa jauh dana yang disediakan oleh kreditur, juga sebagai rasio yang membandingkan total hutang terhadap keseluruhan aset suatu perusahaan, maka apabila investor melihat sebuah perusahaan dengan asset yang tinggi namun risiko leverage juga tinggi, maka akan berpikir dua kali untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut. Karena dikhawatirkan asset tinggi tersebut didapat dari hutang yang akan
meningkatkan risiko investasi apabila perusahaan tidak dapat melunasi kewajibanya tepat waktu. Keputusan manajemen untuk berusaha menjaga agar rasio leverage tidak bertambah tinggi mengacu pada teori pecking order teory menyatakan bahwa perusahaan menyukai internal financing dan apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan. Maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu, yaitu obligasi kemudian diikuti sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi), baru akhirnya apabila belum mencukupi, perusahaan akan menerbitkan saham. Pada intinya apabila perusahaan masih bisa mengusahakan sumber pendanaan internal maka sumber pendanaan eksternal tidak akan diusahakan. Maka dapat disimpulkan rasio leverage yang tinggi menyebabkan turunnya nilai perusahaan 2.1.6 Nilai Perusahaan Nilai perusahaan adalah harga sebuah saham yang telah beredar di pasar saham yang harus dibayar oleh investor untuk dapat memiliki sebuah perusahaan. Go Publik memungkinkan masyarakat maupun manajemen mengetahui nilai perusahaan, nilai perusahaan tercermin pada kekuatan tawar-menawar saham, apabila perusahaan diperkirakan sebagai perusahaan yang mempunyai prospek yang bagus dimasa yang akan datang, nilai saham akan menjadi semakin tinggi. Sebaliknya, apabila perusahaan dinilai kurang mempunyai prospek maka harga saham menjadi lemah (Suharli, 2006) dalam Andinata (2010). Semakin tinggi harga saham semakin tinggi nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi
menunjukkan kemakmuran pemegang saham juga tinggi (Taswan dan Soliha, 2002). Dalam melakukan aktivitas dan pengambilan keputusan, perusahaan selalu berpatokan pada tujuan utamanya. Tujuan utama perusahaan menurut Andinata (2010) memaksimalkan kekayaan pemilik atau pemegang saham identik dengan memaksimalisasi nilai perusahaan, maka dapat disimpulkan bahwa nilai perusahaan tercermin dari harga saham, khususnya untuk perusahaan yang memperdagangkan sahamnya kepada publik. Apabila nilai perusahaan yang baik, yaitu mempunyai kinerja dan prospek yang bagus, maka investor pasti bersedia membayar lebih untuk membeli sahamnya. Jadi secara sederhana nilai perusahaan dapat diartikan sebagian harga yang bersedia dibayar oleh investor untuk memiliki suatu perusahaan. Menurut Christiawan dan Tarigan (2007) ada beberapa konsep yang menjelaskan nilai perusahaan yaitu nilai nominal, nilai intrinsik, nilai likuidasi, nilai buku dan nilai pasar. Nilai nominal adalah nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran dasar perseroan. Nilai pasar merupakan harga yang terjadi dari proses tawar-menawar di pasar saham. Nilai buku adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan dasar konsep akuntansi. Nilai likuidasi adalah nilai jual seluruh aset perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban yang harus dipenuhi. Konsep yang paling representatif untuk menentukan nilai suatu perusahaan adalah konsep intrinsik. Dalam penelitian ini, untuk mengukur nilai perusahaan menggunakan Price To Book Value (PBV), rasio ini berfungsi untuk mengidentifikasi saham mana
yang harganya wajar, terlalu rendah (Undervalued) dan terlalu tinggi (Overvalued). Cara ini mungkin mengaitkan rasio PBV dengan nilai intrinsik saham yang diperkirakan berdasarkan model penilaian saham. 2.2 Penelitian Terdahulu 1. Martikarani (2012), dengan judul penelitian Pengaruh Profitabilitas, Kebijakan Hutang, dan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2009-2011, nilai perusahaan yang diproksi dengan Price To Book Value (PBV). Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas dan dividen berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, sedangkan kebijakan hutang berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa keuntungan yang tinggi juga akan memberikan suatu prospek perusahaan yang baik sehingga dapat merespon investor untuk meningkatkan permintaan saham. Permintaan saham yang meningkat akan menyebabkan nilai perusahaan meningkat dan kebijakan dividen merupakan sinyal yang baik untuk perusahaan dimasa mendatang. Karena menarik investor untuk membeli saham perusahaan. Sedangkan kebijakan hutang tidak berpengaruh signifikan menunjukkan bahwa dimana tinggi rendahnya hutang tidak mempengaruhi keputusan pemegang saham dalam meningkatkan nilai perusahaan. Maka sebaiknya perusahaan tidak sepenuhnya dibiayai dengan hutang, agar perusahaan tidak menimbulkan risiko kebangkrutan semakin tinggi.
2. Triyono (2014), dengan judul penelitian Pengaruh Kebijakan Dividen, Struktur Kepemilikan, Kebijakan Hutang, Profitabilitas
dan Ukuran
Perusahaan Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia, nilai perusahaan yang diproksi dengan Price To Book Value (PBV). Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas dan ukuran perusahaan
yang
berpengaruh
positif
dan
signifikan.
Hasil
ini
mengindikasikan bahwa adanya pengaruh yang signifikan dan positif ini mengindikasikan bahwa semakin besar keuntungan yang diukur dari profitabilitas
perusahaan
mempengaruhi
semakin
meningkatnya
nilai
perusahaan. Sebaliknya, semakin rendah keuntungan yang diukur dari profitabilitas
perusahaan
mempengaruhi
semakin
menurunnya
nilai
perusahaan. Adanya pengaruh yang signifikan dan positif ini mengindikasikan bahwa
semakin
besar
ukuran
perusahaan
mempengaruhi
semakin
meningkatnya nilai perusahaan. Sebaliknya, semakin rendah ukuran perusahaan mempengaruhi semakin menurunnya nilai perusahaan. 3. Sholicah (2014), dengan judul penelitian Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan Dan Leverage Terhadap Nilai Perusahaan. Dengan hasil penelitia menunjukkan struktur kepemilikan, ukuran perusahaan dan leverage mempunyai pengaruh yang signifikan dan positif terhadap nilai perusahaan. Hasil ini mengindikasikan bahwa (1) kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka dapat menimbulkan nilai perusahaan dapat meningkat jika kepemilikan manajemen meningkat. (2) kepemilikan institusi domestik berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan dengan arah koefisien
positif. Hal ini menunjukan kepemilikan institusional domestik yang tinggi dapat berdampak pada harga saham perusahaan dipasar modal sehingga kepemilikan institusional belum mampu menjadi mekanisme yang dapat meningkatkan nilai perusahaan. (3) kepemilikan institusi asing berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan dengan arah koefisien positif. Hal ini menunjukan pertumbuhan yang pesat dari kepemilikan asing akan membuat perusahaan asing mengalami tekanan dari masyarakat sekitar. (4) kepemilikan publik berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan dengan arah koefisien positif. Hal ini menunjukan suatu struktur kepemilikan yang memiliki proporsi besar untuk kepemilikan publik dapat menekan manajemen agar menyajikan informasi secara tepat waktu karena ketepatan waktu pelaporan keuangan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan ekonomi. (5) ukuran perushaan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan dengan arah koefisien positif. Hal ini menunjukan perusahaan yang berada pada pertumbuhan penjualan yang tinggi membutuhkan dukungan sumber daya perusahaan yang semakin besar. Demikian juga sebaliknya, pada perusahaan yang tingkat pertumbuhan penjualannya rendah kebutuhan terhadap sumber daya perusahaan juga semakin kecil. (6) leverage berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan dengan arah koefisien positif. Hal ini menunjukan perusahaan masih bisa mengusahakan sumber pendanaan internal maka sumber pendanaan eksternal tidak akan diusahakan.
2.3
Rerangka Pemikiran Rerangka pemikiran merupakan bagian dari tinjauan pustaka yang berisikan
rangkuman atas semua dasar-dasar teori yang dijadikan landasan dalam penelitian ini. Dimana dalam rerangka pemikiran ini diberikan skema singkat mengenai alur penelitian yang menggambarkan proses penelitian yang dilakukan. Rerangka dibawah ini dapat dilihat pada gambar 1.
Profitabilitas (P)
Ukuran Perusahaan (UP)
Leverage (L) 2.4
Nilai Perusahaan (NP) Gambar 1 Rerangka Pemikiran
Perumusan Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2011:64). Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan teoritis yang telah dijabarkan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hubungan Profitabilitas dengan Nilai Perusahaan Penelitian yang dilakukan oleh Matrikarani (2012), menunjukkan hasil penelitian didapat bahwa variabel profitabilitas, kebijakan hutang, dan dividen berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Profitabilitas adalah kemampuan
perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Pengukuran terhadap profitabilitas perusahaan dimana masing-masing pengukuran dihubungkan dengan penjualan, total aktiva dan modal sendiri (Syamsuddin, 2007:59). Profitabilitas mempunyai hubungan positif dengan nilai perusahaan, dimana keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan sebagian dapat ditanamkan kembali ke dalam perusahaan untuk menambah modal sendiri. Dalam hubungannya dengan penjualan dan investasi, rasio profitabilitas dapat diklasifikasikan menjadi margin laba kotor (gross profit margin), margin laba operasi (operating profit margin), margin laba sebelum pajak (pretax profit margin), margin laba bersih (net profit margin), return on assets atau return on investment, dan return on equity. Rasio profitabilitas yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah return on equity (ROE). Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan 2. Hubungan Ukuran Perusahaan dengan Nilai Perusahaan Penelitian yang dilakukan oleh Triyono (2014), menunjukkan hasil penelitian didapat bahwa variabel kebijakan dividen, struktur kepemilikan, kebijakan hutang, profitabilitas dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Ukuran perusahaan merupakan besar kecilnya suatu perusahaan yang dapat dilihat dari tingkat penjualan, jumlah ekuitas, atau jumlah aktiva yang dimiliki oleh perusahaan tersebut beserta kapitalisasi pasar sahamnya.
Faktor ini menjelaskan bahwa suatu perusahaan yang besar akan memiliki akses yang lebih mudah ke pasar modal. Dalam hal ini penjualan lebih besar daripada biaya variabel dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan sebelum pajak. Sebaliknya jika penjualan lebih kecil daripada biaya variabel dan biaya tetap maka perusahaan akan menderita kerugian. Perusahaan
yang berada
pada
pertumbuhan
penjualan
yang tinggi
membutuhkan dukungan sumber daya organisasi (modal) yang semakin besar, demikian juga sebaliknya, pada perusahaan yang tingkat pertumbuhan penjualannya rendah kebutuhan terhadap sumber daya organisasi (modal) juga semakin kecil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin kecil ukuran perusahaan, maka semakin kecil pula nilai perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 : Ukuran Perusahaan berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. 3. Hubungan Leverage dengan Nilai Perusahaan Penelitian yang dilakukan oleh Sholicah (2014), menunjukkan hasil penelitian didapat bahwa variabel struktur kepemilikan, ukuran perusahaan dan leverage berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Leverage dapat dipahami sebagai penaksir dari risiko yang melekat pada suatu perusahaan. Artinya, leverage yang semakin besar menunjukkan risiko investasi yang semakin besar pula. Perusahan dengan rasio leverage yang rendah memiliki risiko leverage yang lebih kecil. Dengan tingginya rasio leverage menunjukkan bahwa perusahaan tidak solvable, artinya total hutangnya lebih besar dibandingakan dengan total asetnya. Karena leverage merupakan rasio yang menghitung seberapa jauh dana yang disediakan oleh kreditur, juga sebagai rasio yang membandingkan
total hutang terhadap keseluruhan aset suatu perusahaan, maka apabila investor melihat sebuah perusahaan dengan asset yang tinggi namun risiko leverage juga tinggi, maka akan berpikir dua kali untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Leverage berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan