BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
1.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1
Teori Atribusi
Menurut Freitz Heider teori Atribusi (Atribution) adalah proses yang dilakukan orang-orang dalam menafsirkan penyebab perilaku mereka sendiri dan perilaku orang lain (Davis dan Newstorm, 1985:96). Pentingnya konsep ini terletak dalam hal keyakinan bahwa apabila kita dapat memahami cara orangorang menetapkan penyebab suatu hal, maka kita akan dapat memperkirakan perilaku mereka di masa depan secara lebih akurat. Teori ini mengacu kepada bagaimana seseorang menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau diri sendiri yang ditentukan apakah dari internal (dispositional attributions) atau eksternal (situasional attributions) dan pengaruhnya akan terlihat dalam perilaku individu (Luthan, 1998; Ardiansah, 2003; Harini, 2010:11). Dispositional attributions mengacu pada sesuatu yang ada dalam diri seseorang, seperti ciri kepribadian, kesadaran, dan kemampuan. Sedangkan situasional attribution mengacu pada lingkungan sekitar yang mempengaruhi perilaku, seperti pengaruh sosial yang artinya individu terpaksa berperilaku karena situasi yang sedang dihadapinya. Penentuan internal dan eksternal tergantung pada tiga faktor diantaranya adalah sebagai berikut :
9
10
1.
Keunikan
Keunikan merupakan tingkatan dimana seseorang berperilaku dengan cara yang sama dalam situasi yang berbeda. Apabila perilaku seseorang dianggap suatu hal yang luar biasa, maka individu lain yang bertindak sebagai pengamat akan memberikan atribusi eksternal terhadap perilaku tersebut. Sebaliknya, jika perilaku seseorang dianggap hal yang biasa, maka akan dinilia sebagai atribusi internal 2.
Konsistensi
Konsistensi merupakan tingkatan dimana seseorang menunjukkan perilaku yang sama dari waktu ke waktu. Semakin konsisten perilaku seseorang, maka individu cenderung menghubungkan hal tersebut dengan sebab-sebab internal. 3. Konsensus Konsensus merupakan semua individu memiliki kesamaan pandangan dalam merespon perilaku seseorang dalam situasi yang sama. Apabila konsensunya tinggi, maka termasuk atribusi internal, sebaliknya jika konsensus rendah maka termasuk atribusi eksternal (Ivancevich et al., 2006:124). Menurut teori atribusi, keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat dianalisis dalam tiga karakteristik, yakni : 1.
Penyebab keberhasilan atau kegagalan karena faktor internal maupun eksternal, yang dapat diartikan bahwa keberhasilan atau kegagalan dikarenakan adanya faktor-faktor yang di miliki pada tiap individu.
2.
Penyebab keberhasilan atau kegagalan seseorang karena tingkat kestabilan pada diri seseorang. Misalnya, ketika seseorang meyakini bahwa melakukan
11
suatu usaha dengan stabil akan mendapatkan hasil yang diharapkan, maka hasilnya akan sama ketika seseorang melakukan usaha dengan stabil pada kesempatan yang lainnya. 3.
Penyebab keberhasilan atau kegagalan karena bisa atau tidaknya seseorang dalam melakukan pengendalian pada diri sendiri. Salah satu penemuan lebih menarik dari teori atribusi adalah bahwa terdapat
kekeliruan atau bias yang mendistorsi atribusi. Misalnya, banyak bukti yang mengungkapkan bahwa ketika membuat pertimbangan atau penilaian mengenai perilaku orang lain, maka kita mempunyai kecenderungan untuk meremehkan pengaruh faktor eksternal dan melebih-lebihkan pengaruh faktor internal atau faktor pribadi. Hal ini disebut dengan kekeliruan atribusi mendasar yang dimana memiliki kecenderungan untuk meremehkan pengaruh faktor-faktor eksternal dan melebih-lebihkan pengaruh faktor-faktor internal ketika membuat penilaian tentang perilaku orang lain (Robbins, 2007:173). 2.1.2
Auditing (Pemeriksaan) dan Standar Auditing
Definisi auditing menurut Arens et al. (2014:04) adalah sebagai berikut : “Auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi tersebut dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen.” Dalam melakukan audit, harus memiliki informasi dalam bentuk yang dapat diverifikasi dan beberapa standar (kriteria) yang dapat digunakan auditor untuk mengevaluasi informasi tersebut. Tugas auditor adalah untuk menentukan apakah representasi (asersi) tersebut betul-betul wajar. Untuk mengevaluasi kewajaran, auditor harus mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung asersi tersebut. Untuk
11
12
memenuhi tujuan audit, auditor harus kompeten dalam memperoleh dan menentukan jenis bukti dengan kualitas dan jumlah yang mencukupi guna mencapai kesimpulan yang tepat. Sikap mental independen harus ada dalam diri auditor, jika seorang auditor tidak memiliki sikap independen maka dalam melaksanakan audit tidak akan mendapatkan kepercayaan oleh publik atau para pemakai laporan keuangan. Laporan keuangan yang telah di audit oleh auditor harus di informasikan kepada pihak yang berkepentingan. Laporan hasil atas temuan audit di ekspersikan dalam bentuk pendapat (opinion) mengenai kewajaran laporan keuangan yang mencakup tentang kesesuaian antara informasi yang telah diaudit dan standar yang telah ditetapkan (Messier, et al. 2014:13). Menurut Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa pada Badan Pemeriksa Keuangan, dalam Pasal 1 Poin 4 menyatakan bahwa pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Agar Badan Pemeriksa Keuangan dapat melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara efektif, sesuai peraturan perundang-undangan maka dibentuk suatu Standar Pemeriksaaan Keuangan Negara (SPKN) yang secara resmi dikeluarkan oleh BPK tanggal 19 April 2007 dengan referensi sebagai berikut : 1. Standar Audit Pemerintahan 1995-BPK;
12
13
2. Generally Accepted Goverment Auditing Standards (GAGAS) 2003- US GAO; 3. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI); 4. Auditing Standards 1995 – INTOSAI; 5. Generally Accepted Auditing Standards (GAAS) 1992 – AICPA; 6. Internal Control Standards 2001 – INTOSAI; 7. Standards for the Professional Practice of Internal Auditing (SPPIA) 2003 – IIA (Rai, 2008:32). SPKN merupakan patokan untuk melakukan audit atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. SPKN berlaku bagi BPK dan akuntan publik atau pihak lainnya yang melakukan audit keuangan negara untuk dan atas nama BPK. Sementara itu, Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal (Itjen), dan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) dapat menggunakan SPKN sebagai acuan dalam menyusun standar pengawasan sesuai dengan kedudukan, tugas, dan fungsinya. SPKN memuat persyaratan profesional pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan di lapangan dan persyaratan laporan pemeriksaan yang profesional bagi para pemeriksa dan organisasi pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pernyataan Standar Pemeriksaan No. 02 pada SPKN menyatakan bahwa standar pelaksanaan pemeriksaan keuangan negara memberlakukan tiga pernyataan standar pekerjaan lapangan SPAP yang ditetapkan oleh IAI adalah berikut ini :
13
14
1.
Pekerjaan harus direncanakan dengan sebaik-baiknya dan jika digunakan tenaga asisten harus disupervisi dengan semestinya.
2.
Pemahaman yang memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
3.
Bukti audit yang kompeten harus di peroleh melalu inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. Selain itu, SPKN juga menetapkan standar pelaksanaan tambahan yaitu
sebagai berikut : 1.
Komunikasi pemeriksa.
2.
Pertimbangan terhadap hasil pemeriksaan sebelumnya.
3.
Merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
kecurangan
(fraud),
serta
ketidakpatutan (abuse). 4.
Pengembangan temuan pemeriksaan.
5.
Dokumentasi pemeriksaan. Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2004 dan SPKN, terdapat tiga jenis audit
keuaangan negara, yaitu audit keuangan, audit kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu, yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Audit keuangan adalah audit atas laporan keuangan yang bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance), apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material
14
15
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. 2.
Audit kinerja adalah audit yang diakukan secara objektif dan sistematis terhadap berbagai macam bukti untuk menilai kinerja entitas yang diaudit dalam hal ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja dan entitas yang diaudit dan meningkatkan akuntabilitas publik.
3. Audit dengan tujuan tertentu adalah audit khusus, diluar audit keuangan dan audit kinerja yang bertujuan untuk memberikan simpulan atas hal yang diaudit. Audit dengan tujuan tertentu bersifat eksaminasi (examination), reviu (review), atau prosedur yang disepakati (agreed-upon procedures). Audit dengan tujuan tertentu mencakup audit atas hal-hal lain dibidang keuangan, audit investigatif, dan audit atas sistem pengendalian internal (Rai, 2008:31). 2.1.3
Jenis-jenis Auditor
Auditor dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu auditor pemerintah, auditor internal, dan auditor independen yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Auditor pemerintah adalah auditor yang bertugas melakukan audit atas keuangan negara pada instansi-instansi pemerintah. Di Indonesia pelaksanaan audit dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK). Hasil audit yang dilakukan BPK disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai alat kontrol atas pelaksanaan keuangan negara. Selain BPK, di Indonesia mengenal adanya BPKP yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang merupakan internal
15
16
auditor pemerintah yang independen terhadap jajaran organisasi pemerintahan. Upaya yang diperankan internal auditor pemerintah merupakan dorongan bagi diterapkannya good governance pada setiap jenjang pemerintahan serta pengelolaan kekayaan Negara. Selain itu, internal auditor pemerintah merupakan kekuatan pendorong dalam upaya peningkatan efektivitas, efisiensi, dan kehematan penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan nasional. Para auditor BPKP memberikan layanan audit, antara lain : 1. Audit khusus (audit investigasi) untuk menetapkan adanya indikasi praktik tindak pidana korupsi dan penyimpangan lain. 2. Audit terhadap laporan keuangan dan kinerja BUMN atau badan usaha lainnya. 3. Audit terhadap pemanfaatan pinjaman dan hibah luar negeri. 4. Audit terhadap peningkatan penerimaan Negara, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 5. Audit terhadap kegiatan yang dananya bersumber dari APBN. 6. Audit dalam rangka memenuhi permintaan stakeholder tertentu. Auditor internal adalah auditor yang bekerja pada suatu entitas (perusahaan) dan berstatus sebagai pegawai pada entitas tersebut. Tanggungjawab auditor internal pada berbagai perusahaan sangat beranekaragam tergantung pada kebutuhan perusahaan yang bersangkutan. Auditor internal berkewajiban memberi informasi kepada manajemen yang berguna untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan efektivitas perusahaan. Pihak luar periusahaan pada umumnya tidak bisa mengandalkan hasil audit yang dilakukan oleh auditor internal karena
16
17
kedudukannya yang tidak independen inilah yang membedakan auditor internal dengan auditor eksteren yang independen dari kantor-kantor akuntan publik. Auditor independen atau lebih umum disebut dengan akuntan publik memiliki tanggungjawab utama yaitu melakukan fungsi pengauditan atas laporan keuangan yang diterbitkan entitas (perusahaan dan organisasi lainnya). Pengauditan ini dilakukan pada perusahaan terbuka, perusahaan besar, dan juga pada perusahaan kecil, serta organisasi nirlaba. (Jusup, 2014:16-19). 2.1.4
Locus of Control
Locus of control atau pusat pengendalian merupakan penentuan tingkatan dimana individu meyakini bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi pada mereka. Ada dua jenis golongan locus of control yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Dapat di golongkan sebagai locus of control internal karena individu tersebut yakin bahwa mereka sepenuhnya dapat mengatur dirinya, sehingga yang dapat menentukan nasib adalah dirinya sendiri serta memiliki tanggung jawab pribadi untuk apa yang terjadi terhadap diri mereka. Ketika seseorang melakukan kinerja dengan baik, mereka yakin bahwa hal tersebut disebabkan oleh usaha atau ketrampilan mereka. Locus of control eksternal merupakan keyakinan individu atas nasib yang diterima adalah faktor kekuatan dari luar dirinya sendiri. Ketika individu tersebut melakukan kinerja dengan baik, mereka yakin bahwa hal tersebut disebabkan oleh keberuntungan. Dalam organisasi, locus of control internal biasanya tidak memerlukan pengawasan sebanyak locus of control eksternal, karena mereka lebih meyakini bahwa perilaku kerja mereka akan mempengaruhi hasil yang akan mereka
17
18
dapatkan seperti kinerja, promosi, dan gaji. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pusat pengendalian berhubungan dengan perilaku moral, yang dimana locus of control internal melakukan apa yang menurut mereka merupakan hal yang benar dan bersedia untuk menerima konsekuensi apabila melakukan kesalahan (Ivancevich et al. 2006:97). 2.1.5
Kinerja (Performance)
Kinerja (Performance) adalah perilaku anggota organisasi yang membantu untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini tidak semata-mata berfokus pada perilaku seorang karyawan atau seorang auditor, namun berkonsentrasi pada proses yang dilakukan seseorang dalam melakukan kerja. Organisasi tidak akan berfokus pada atribut-atribut personal yang melekat pada diri seseorang, seperti asal, ras, keturunan, jenis kelamin, lulusan perguruan tinggi dimana, dan sebagainya. Namun organisasi akan lebih melihat pada faktor bagaimanakah sesorang bekerja (Mahmudi, 2013:27). Dalam menjalankan tugasnya, karyawan atau seorang auditor dituntut untuk memiliki mutu personal yang baik, pengetahuan umum yang memadai, dan keahlian khusus dalam bidangnya (Rai, 2008:63). Untuk menilai kinerja berdasarkan perilaku, organisasi biasanya menentukan faktor kinerja sebagai dasar untuk menilai. Penilaian kinerja pada seorang auditor sangat penting untuk dilakukan
bila
organisasi
ingin
melakukan
promosi
jabatan.
Kinerja
(Performance) dibedakan menjadi dua yaitu kinerja individu dan organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja
18
19
organisasi adalah gabungan antara kinerja individu dan kelompok sehingga kinerja organisasi sangat tergantung pada karyawannya (Husna et al, 2012). 2.1.6
Komitmen Organisasi (Organizational Commitment)
Komitmen organisasi merupakan suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan atau motivasi yang timbul dari dalam seorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku (Setyaningrum, 2014:365). Dalam komitmen organisasi, seorang pekerja mengidentifikasi sebuah organisasi, tujuan serta harapannya untuk tetap menjadi anggota. Sebuah hubungan positif tampak di antara komitmen organisasi dan produktivitas, tetapi bersifat sederhana. Model teoretis menyatakan bahwa pekerja yang berkomitmen akan semakin kurang terlibat dalam pengunduran diri, sekalipun mereka tidak puas, karena memiliki rasa kesetiaan dan keterikatan terhadap organisasi. Di sisi lain, pekerja yang tidak berkomitmen, yang merasa kurang setia pada organisasi, akan cenderung menunjukkan tingkat kehadiran di tempat kerja yang lebih rendah (Robbins dan Judge, 2014:47). Pujaningrum (2012:17) menyimpulkan bahwa komitmen dikarakteristikan pada kepercayaan dan penerimaan akan tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan untuk mengusahakan usaha individu kearah pencapaian tujuan serta keinginan yang kuat untuk mempertahankan anggota organisasi. Tiga dimensi komitmen organisasional menurut Robbins dan Judge (2008:101 ) dapat di kelompokkan sebagai berikut : 1. Komitmen afektif (affective commitment) adalah perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. Misalnya, seorang karyawan
19
20
memiliki komitmen aktif untuk perusahannya karena keterlibatannya dengan pekerjaannya. 2. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment)adalah nilai ekonomi yang dirasa apabila lebih memilih bertahan dalam suatu organisasi dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. Seorang pegawai akan berkomitmen kepada perusahaan atau organisasi karena di bayar tinggi dan pengunduran diri dari perusahaan akan menghancurkan keluarganya. 3. Komitmen normatif (normative commitment) adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis. 2.1.7
Turnover Intention
Turnover Intention merupakan sikap yang dimiliki oleh anggota organisasi untuk mengundurkan diri dari organisasi atau dalam hal ini, dari kantor BPK sebagai seorang auditor. Turnover Intention di pengaruhi oleh skill (ketrampilan) dan ability (kemampuan). Sebelum turnoverintention terjadi, selalu ada perilaku yang mendahuluinya, yaitu adanya niat atau intensitas turnover intention. Faktor utama intensitas adalah kepuasaan, ketertarikan yang diharapkan terhadap pekerjaan saat ini dan ketertarikan yang diharapkan dari atau pada alternatif pekerjaan atau peluang lain (Fitriany et al.2010). Menurut Anita et al. (2016:119) menyatakan bahwa turnover intention ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku auditor, yakni: mulai malas bekerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang kepada atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya. Indikasi indikasi
20
21
tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksi turnover intention karyawan dalam sebuah perusahaan atau organisasi. Dan juga perilaku yang dilakukan tersebut akan berdampak pada penerimaan atas perilaku menyimpang dalam audit. 2.1.8
Perilaku Menyimpang dalam Audit (DAB)
Perilaku menyimpang dalam audit (Dysfunctional audit behavior) adalah perilaku auditor dalam proses audit yang tidak sesuai dengan program audit yang telah ditetapkan atau menyimpang dari standar yang telah ditetapkan. Perilaku menyimpang dalam audit dianggap sebagai suatu bentuk reaksi terhadap lingkungan misalnya, sistem pengendalian yang apabila perilaku ini dilakukan dapat berpengaruh terhadap kualitas audit baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa perilaku disfungsional yang membahayakan kualitas audit yaitu: Premature sign off, altering or replacing audit procedures, dan underreporting of time (Harini, 2010 dan Basudewa, 2015). Premature sign off atau penghentian prematur atas prosedur audit sebagai suatu keadaan yang menunjukkan seorang auditor menghentikan satu atau beberapa langkah audit yang diperlukan dalam prosedur audit tanpa mengganti dengan langkah yang lainnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa kegagalan audit sering disebabkan karena penghapusan prosedur audit yang penting daripada prosedur audit yang tidak dilakukan secara memadai. Perilaku tersebut akan berpengaruh secara langsung terhadap kualitas audit dan dapat mengubah hasil audit yang tidak relevan.
21
22
Altering or replacing audit procedures terkait dengan penggantian prosedur audit yang ada pada standar auditing.
Kegagalan audit sering disebabkan karena
penghapusan prosedur audit yang penting atau melakukan prosedur audit secara tidak memadai. Hal ini juga dapat mempengaruhi secara langsung terhadap kualitas audit. Underreporting of timeterjadi ketika auditor menyelesaikan pekerjaan atau tugas yang dibebankan dengan waktu pribadi dan dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari atau meminimumkan anggaran yang berlebihan. Hal ini berarti bahwa underreporting of time meningkat ketika auditor menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan kepada auditor dengan tidak melaporkan waktu yang sesungguhnya
untuk
menyelesaikan
pekerjaannya.
Walaupun
tidak
mempengaruhi secara langsung terhadap kualitas audit tetapi akan menyebabkan time pressure untuk audit dimasa yang akan datang. Time pressure merupakan tekanan dari pihak luar mengenai waktu seorang auditor harus menyelesaikan tugas secepatnya. Hal ini juga menghasilkan tekanan jika pekerjaan yang dilakukan tidak bisa diselesaikan. Tekanan akan menyebabkan stress pada auditor karena ketidakseimbangan antara tugas dan waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya serta dapat mempengaruhi kualitas audit yaitu berupa kegagalan dalam meneliti prinsip-prinsip akuntansi, memeriksa dokumen secara dangkal, dan mengurangi pekerjaan pada salah satu langkah audit.
22
23
2.2 Rerangka Pemikiran Berdasarkan uraian sebelumnya dan telaah pustaka, maka variabel yang terkait dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi rerangka pemikiran sebagai berikut :
Teori Atribusi Dispositional Attributions (Internal)
Situasional Attributions (Eksternal)
Keunikan
Konsistensi
Konsensus
Perilaku Manusia Karakter Auditor Kualitas Hasil Audit Perilaku Menyimpang Audit (Dysfunctional Audit Behavior)
Locus of Control (LOC)
Komitmen Organisasi (KO)
Kinerja (K)
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
23
Turnover Intention (TI)
24
2.3
Perumusan Hipotesis Berdasarkan tinjauan teoretis dan rerangka pemikiran maka dapat dirumuskan
hipotesis penilaian sebagai berikut : 2.3.1 Hubungan Locus of Control dengan Perilaku Menyimpang dalam Audit Locus of control dapat dikatakan sebagai cara pandang seorang auditor dalam mengartikan suatu keberhasilan yang telah dialami. Individu yang memiliki locus of control internal cenderung menghubungkan hasil yang diraih didapatkan atas pengendalian individu dan memiliki komitmen yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang memiliki locus of control eksternal (Pertiwi et al, 2015:72). Individu dengan locus of control eksternal cenderung percaya bahwa hasil yang lebih merupakan akibat kekuatan dari luar. Locus of control yang berbeda dapat mencerminkan motivasi yang berbeda dan juga memiliki kinerja yang berbeda. Hal tersebut dikarenakan adanya kurang percaya akan kemampuan dirinya sendiri dalam melakukan suatu pekerjaan dan tidak bisa menentukan nasib baiknya sendiri. Pada saat individu merasa bahwa kemampuannya tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan, maka individu tersebut dapat melakukan perilaku disfungsional dalam mempertahankan kedudukannya. Perilaku ini dapat diartikan bahwa ketika seorang audior berniat untuk memanipulasi, maka tujuan kinerja dapat dicapai secara maksimal sehingga pengurangan kualitas hasil audit bisa dikatakan sebagai sebuah pengorbanan yang harus dilakukan auditor untuk bertahan pada lingkungan pekerjannya.
24
25
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bryan et al. (2005) menyatakan bahwa kepribadian dapat membangun locus of control dalam mengelola perilaku disfungsional. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suryandari (2007), Fatimah (2012), Pujaningrum (2012), Evanauli (2013), Hadi (2014) Pertiwi, et al. (2015) dan Anita, et al. (2016) menyatakan bahwa locus of control berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat penerimaan perilaku menyimpang dalam audit. Namun dalam penelitian Gustati (2012), Hartati (2012), Wahyudin (2012), dan Setyaningrum (2014) menyatakan bahwa locus of control tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan perilaku menyimpang dalam audit. Dengan tidak konsistennya hasil penelitian tersebut, maka peneliti ingin menguji kembali variabel locus of control agar kesimpulan yang didapatkan bisa lebih dipastikan lagi. Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H1: Locus of control berpengaruh terhadap perilaku menyimpang dalam audit.
2.3.2
Hubungan Kinerja dengan Perilaku Menyimpang dalam Audit
Kinerja dapat dilihat dari tingkat keberhasilan seseorang dalam melaksanakan atau menyelesaikan suatu pekerjaan dengan melakukan sebuah tindakan atau perilaku yang sesuai. Untuk menyelesaikan tugasnya, seseorang dituntut untuk memiliki kemampuan dan motivasi tertentu. Kinerja pegawai merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk mencapai suatu tujuannya.
25
26
Oleh karena itu, auditor yang memiliki persepsi yang rendah terhadap tingkat kinerja dianggap akan memperlihatkan penerimaan perilaku menyimpang dalam audit yang lebih tinggi (Pertiwi et al. 2015). Dengan adanya kinerja auditor yang rendah, hal tersebut timbul adanya pemikiran untuk meningkatkan kinerja dengan berbagai tindakan, salah satunya melakukan perilaku menyimpang, seperti mengurangi prosedur audit tanpa menggantikan dengan langkah yang lain untuk mencapai waktu tugas yang telah ditetapkan (Basudewa, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryandari (2007), Fatimah (2012), Pujaningrum (2012), Evanauli (2013), Setyaningrum (2014) dan Anita, et al. (2016) yang menyatakan bahwa kinerja memiliki pengaruh pada penerimaan perilaku menyimpang dalam audit sedangkan Hartati (2012) dan Pertiwi, et al (2015) menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan penyimpangan perilaku dalam audit. Hal ini mengindikasikan bahwa individu yang memiliki persepsi tidak baik atas kinerjanya diperkirakan lebih menerima atas perilaku menyimpang dalam audit. Sedangkan individu yang memiliki persepsi yang baik atas kinerjanya akan cenderung menolak perilaku menyimpang dalam audit. Dengan tidak konsistennya hasil penelitian tersebut, maka peneliti ingin menguji kembali variabel kinerja agar kesimpulan yang didapatkan bisa lebih dipastikan lagi. Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut H2 :Kinerja berpengaruh terhadap perilaku menyimpang dalam audit.
26
27
2.3.3 Hubungan Komitmen Organisasi dengan Perilaku Menyimpang dalam Audit Komitmen organisasi merupakan kekuatan identifikasi individual dan keterlibatan dalam organisasi tertentu. Komitmen organisasi menunjukkan kekuatan dalam diri seorang auditor untuk berpihak dan terlibat dalam organisasi dan keinginan untuk bertahan dalam organisasi merupakan sikap dalam hal loyalitas. Komitmen terhadap profesi dan organisasi adalah salah satu karakteristik profesional dan personal yang dimiliki seorang auditor. Dalam keadaan apapun seorang auditor harus memiliki komitmen organisasi yang tinggi, sehingga bekerja keras tanpa melakukan tindakan yang menyimpang adalah hal yang paling diutamakan. Komitmen organisasi dipengaruhi kuat oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Dengan penghargaan kinerja yang adil, dan seseorang yang merasa bahwa organisasi mereka perduli tentang kesejahteraan mereka akan memiliki komitmen organisasi yang tinggi. Berdasarkan penelitian Anita, et al. (2016) menyatakan bahwa komitmen organisasi berpengaruh negatif signifikan terhadap perilaku disfungsional audit. Sedangkan pada penelitian Pujaningrum (2012) dan Setyaningrum (2014) menunjukkan tidak adanya pengaruh antara komitmen organisasi terhadap perilaku menyimpang dalam audit. Dengan demikian, Individu yang memiliki komitmen yang tinggi pada organisasi akan mempunyai usaha yang keras dan mempunyai kinerja dan loyalitas yang lebih baik sehingga jauh dari perilaku menyimpang dalam audit. Sedangkan Individu yang rendah dalam mengartikan
27
28
komitmen organisasi cenderung untuk melakukan tindakan perilaku menyimpang, hal ini dilakukan agar tetap bertahan dalam organisasi tersebut. Dengan tidak konsistennya hasil penelitian tersebut, maka peneliti ingin menguji kembali variabel komitmen organisasi agar kesimpulan yang didapatkan bisa lebih dipastikan lagi. Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H3: Komitmen organisasi berpengaruh terhadap perilaku menyimpang dalam audit.
2.3.4 Hubungan Turnover Intention dengan Perilaku Menyimpang dalam Audit Turnover intention merupakan keinginan seseorang untuk mencari pekerjaan lain dan meninggalkan pekerjaan sekarang. Keinginan untuk berhenti masih tetap berhubungan dengan organisasi dan belum diwujudkan untuk meninggalkan organisasi. Turnover intention ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku individu, diantaranya adalah absensi yang meningkat, mulai malas kerja, timbul keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberenanian untuk menentang kepada atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab
karyawan yang sangat berbeda dari biasanya (Anita et al.,
2016:119). Indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksi turnover intention pegawai dalam sebuah perusahaan dan juga perilaku yang dilakukan tersebut akan berdampak pada penerimaan perilaku menyimpang dalam audit. Oleh karena itu, auditor yang berkeinginan untuk keluar dari organisasinya,
28
29
lebih cenderung tidak perduli atas dampak perilaku yang dilakukannya dan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan penyimpangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryandari (2007), Fatimah (2012), Pujaningrum (2012), Wahyudin (2012), Hadi (2014), dan Anita, et al. (2016) menyatakan bahwa adanya pengaruh turnover intention terhadap perilaku menyimpang dalam audit. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin tinggi keinginan seorang auditor untuk meninggalkan pekerjannya maka memiliki kecenderungan untuk menerima perilaku menyimpang dalam audit, dan sebaliknya, semakin kuat keinginan seorang auditor untuk bertahan dengan pekerjannya, maka memiliki kecenderungan untuk menolak perilaku menyimpang dalam audit. Sedangkan pada penelitian Hartati (2012) dan Evanauli (2013) menyatakan bahwa tidak adanya pengaruh antara turnover intention dengan perilaku menyimpang dalam audit. Dengan tidak konsistennya hasil penelitian tersebut, maka peneliti ingin menguji kembali variabel turnover intention agar kesimpulan yang didapatkan bisa lebih dipastikan lagi. Berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H4: Turnover intention berpengaruh terhadap perilaku menyimpang dalam audit.
29
30
2.4 Penelitian Terdahulu
No Peneliti 1 Bryan, David O., Jeffrey J, Quirin., David P. Donnelly. (2005) Journal of Business and Economics Research, Vol.3, No.10.
Tabel 1 Penelitian Terdahulu Judul Peneltian Hasil penelitian Locus of Control Hasil yang dilaporkan dalam and penelitian ini menunjukkan bahwa Dysfunctional kepribadian membangun locus of Audit Behavior control dalam mengelola dysfunctional audit behavior. Di dalam sampel, auditor tergolong eksternal dan dysfunctional audit behavior terjadi di tingkat yang lebih tinggi.
2
Suryandari, E. (2007) Jurnal Akuntansi dan Investasi
Pengaruh 1. Lokus kendali dan Keinginan Karakteristik untuk berhenti bekerja Personal berpengaruh positif signifikan Auditor terhadap penerimaan terhadap penyimpangan perilaku dalam Tingkat audit. Penerimaan 2. Kinerja pribadi auditor Penyimpangan berpengaruh negatif signifikan Perilaku dalam terhadap penerimaan Audit penyimpangan perilaku dalam audit. 3. Harga diri dalam kaitannya dengan ambisi berpengaruh positif signifikan terhadap penerimaan penyimpangan perilaku dalam audit
3
Fatimah, A. (2012) Jurnal Manajemen dan Akuntansi Vol.1 No.1
Karakteristik 1. Lokus kendali, keinginan untuk Personal berhenti bekerja, dan tingkat Auditor Sebagai kinerja pribadi karyawan dapat Antesden meningkatkan perilaku Perilaku disfungsional. Disfungsional 2. Perilaku disfungsional Auditor dan berpengaruh negatif terhadap Pengaruhnya kualitas hasil audit. terhadap Kualitas Hasil Audit.
30
31
4
Gustati (2012). Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol.7 No.2.
Persepsi Auditor 1. Secara partial tidak terdapat tentang pengaruh yang signifikan antara Pengaruh Locus variabel locus of control internal of Control dan eksternal terhadap perilaku terhadap disfungsional audit. Penerimaan 2. Secara simultan, locus of control Perilaku internal dan eksternal Disfungsional berpengaruh signifikan terhadap Audit. penerimaan perilaku disfungsional audit.
5
Hartati, N. L. (2012) Accounting Analysis Journal, Vol.1, No.2
Pengaruh 1. Tidak terdapat pengaruh locus of Karakteristik control internal terhadap perilaku Internal dan disfungsional auditor, dan Eksternal terdapat pengaruh locus of Auditor control eksternal terhadap terhadap perilaku disfungsional auditor. Penerimaan 2. Tidak terdapat pengaruh kinerja Perilaku auditor terhadap perilaku Disfungsional disfungsional auditor. Atas Prosedur 3. Terdapat pengaruh gaya Audit. kepemimpinan terhadap perilaku disfungsional auditor. 4. Terdapat pengaruh time perssure terhadap perilaku disfungsional. 5. Tidak terdapat pengaruh audit fee terhadap perilaku disfungsional auditor.
6
Pujaningrum, I. (2012) Journal of Accounting Vol.1 No.1
Analisis Faktor- 1. Locus of control berpengaruh Faktor yang signifikan terhadap penerimaan Mempengaruhi dysfunctional audit. Tingkat 2. Kinerja berpengaruh terhadap Penerimaan perilaku dysfunctional audit Auditor atas behavior. Penyimpangan 3. Komitmen organisasi tidak Perilaku dalam memiliki pengaruh signifikan Audit. terhadap penerimaan dysfunctional audit behavior. 4. Turnover intention berpengaruh signifikan terhadap penerimaan dysfunctional audit behavior
7
Sijabat, J. (2012) Antesenden dan 1. Kepuasan kerja dan komitmen Jurnal Akuntansi Konsekuensi organisasi berpengaruh negatif Vol.16 No.3 Keinginan untuk terhadap keinginan untuk pindah. 31
32
Pindah
2. Keinginan untuk pindah berhubungan positif terhadap perilaku audit disfungsional.
8
Wahyudin, A. (2012) Jurnal Dinamika Akuntansi Vol.3 No.2
Analisis 1. Locus of control berpengaruh Dysfunctional pada kinerja auditor. Audit Behavior: 2. Turnover intention berpengaruh Sebuah pada dysfunctional audit Pendekatan behavior. Karakteristik 3. Locus of control dan turnover Personal intention tidak berpengaruh pada Auditor. dysfunctional audit behavior.
9
Evanauli, R.P (2013). Jurnal Akuntansi dan Investasi Vol. 14 No. 2.
Penerimaan 1. Locus of Control eksternal Auditor Atas berpengaruh positif signifikan Dysfunctional terhadap dysfunctional audit Audit Behavior: behavior. Sebuah 2. Turnover Intention tidak Pendekatan berpengaruh signifikan terhadap Karakteristik dysfunctional audit behavior Personal 3. Kinerja berpengaruh negatif Auditor terhadap dysfunctional audit behavior. 4. Relijiusitas berpengaruh negatif terhadap dysfunctional audit behavior.
10
Hadi, S. (2014) Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol.9 No.1
Pengaruh 1. Locus of control, kinerja dan gaya Karakteristik kepemimpinan berpengaruh Personal dan positif terhadap perilaku Faktor disfungsional auditor. Situasional 2. Keinginan untuk berhenti bekerja dalam berpengaruh positif tidak Penerimaan signifikan terhadap perilaku Perilaku disfungsional auditor. Disfungsional
11
Setyaningrum, F,(2014) Accounting Analysis Journal Vol.3 No.3
Determinan Perilaku Disfungsional Audit
32
1. Locus of control eksternal dan komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap perilaku disfungsional audit. 2. Kinerja auditor dan emotional spiritual quotient berpengaruh terhadap perilaku disfungsional audit.
33
12
Pertiwi, D., Andreas dan Nur A. (2015) Jurnal Akuntansi Vol.4 No.1
13
Anita, R., Rita A., dan Zulbahridar. (2016) Jurnal Akuntansi Vol.4 No.2
Pengaruh 1. Locus of Control berpengaruh Karakteristik positif terhadap tingkat Personal penerimaan penyimpangan Auditor perilaku dalam audit. Terhadap 2. Emotional quotient berpengaruh Tingkat terhadap tingkat penerimaan Penerimaan penyimpangan perilaku dalam Penyimpangan audit. Perilaku dalam 3. Kinerja auditor tidak memiliki Audit pengaruh yang signifikan dan Kualitas terhadap tingkat penerimaan Hasil Audit. penyimpangan perilaku audit. 4. Locus of control, emotional quotient dan kinerja auditor berpengaruh langsung terhadap kualitas audit. 5. Locus of control berpengaruh terhadap kualitas audit dengan dimediasi oleh penerimaan penyimpangan perilaku dalam audit. 6. Emotional quotient dan kinerja auditortidak berpengaruh terhadap kualitas audit dengan dimediasi oleh penerimaan penyimpangan perilaku dalam audit. 7. Penerimaan penyimpangan perilaku dalam audit berpengaruh terhadap kualitas audit.
Analisis 1. Locus of control dan Turnover Penerimaan intention berpengaruh positif Auditor atas terhadap penerimaan atas Dysfunctional dysfunctional audit behavior. Audit Behavior: 2. Kinerja auditor dan Komitmen Sebuah organisasiberpengaruh negatif Pendekatan signifikan terhadap dysfunctional Karakteristik audit behavior. Personal Auditor. Sumber: Penelitian Terdahulu
33