BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Moral Istilah moral berasal dari bahasa latin. Cicero (106-93sM) yang pertama kali menerjemahkan istilah ta etha ke dalam bahasa latin moral sekaligus memasukkannya ke dalam kosa kata filsafat. Bentuk tunggal kata moral atau moralitas yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama dengan kata Yunani ta etha yaitu adat, kebiasaan yang baik. Bila kita membandingkan dengan arti kata etika, maka secara etimologis, kata etika berasal dari kata Yunani ethos (tunggal) yang berarti adat, kebiasaan, watak, akhlak, sikap, perasaan, dan cara berpikir. Bentuk jamaknya ta etha. Sebagai bentuk jamak dari ethos, ta etha berarti adat, kebiasaan atau pola pikir yang dianut oleh suatu kelompok orang yang disebut masyarakat atau pola tindakan yang dijunjung tinggi dan dipertahankan oleh masyarakat tersebut. Sehingga, kata „moral‟ sama dengan kata „etika‟ jika ditinjau dari kata Yunani ta etha (jamak), maka kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu adat, kebiasaan. Dengan kata lain, kalau arti kata ‟moral‟ sama dengan kata „etika‟, maka rumusan arti kata „moral‟ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
9
2.1.2 Etika Etika adalah ilmu tentang apa yang secara moral benar. Etika merupakan pernyataan benar atau salah yang menentukan perilaku seseorang tergolong bermoral atau tidak bermoral, baik atau buruk. Pernyataan etika dapat dituangkan dalam bentuk prinsip-prinsip etika yang secara normatif dipergunakan untuk membimbing tindakan seseorang menjadi perilaku yang bermoral. Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang perlu kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya (http://duniabaca.com. html). 2.1.3 Etika Bisnis Etika bisnis adalah perwujudan dari serangkaian prinsip-prinsip etika normatif ke dalam perilaku bisnis. Maka, etika bisnis berperan sebagai pedoman dalam menentukan benar tidaknya suatu tindakan yang dilakukan korporasi dalam menjalankan bisnisnya. Ada beberapa alasan mendasar tentang perlunya bisnis dijalankan secara etis menurut Lawrence dan Weber (2008, dalam Hendro Sigit, 2012), adalah:
10
1.
Bisnis harus dijalankan secara etis untuk memenuhi kebutuhan para pemangku kepentingan (bahasan tentang pemangku kepentingan ada di bab pertama buku Etika Bisnis Modern).
2.
Pengaruh positif etika bisnis terhadap kemampulabaan (profitability) korporasi di masa mendatang.
3.
Bisnis dijalankan secara etis sesuai perundang-undangan yang berlaku.
4.
Untuk mencegah kerugian (no-harm) besar bagi masyarakat dan pemangku kepentingan akibat dari tindakan sebuah korporasi.
5.
Dalam persaingan bisnis yang ketat, para pelaku bisnis modern sangat sadar bahwa konsumen adalah benar-benar raja.
6.
Untuk memerhatikan karyawan serta menjaga agar mereka betah bekerja pada korporasi tersebut.
7.
Dalam sistem pasar terbuka, pemerintah bersifat netral agar efektif menjaga kepentingan dan hak semua pihak dijamin.
2.1.4 Profesi Profesi adalah kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, yang hanya dapat dicapai melalui penguasaan pengetahuan yang berhubungan dengan sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya, serta diikat dengan suatu disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh para pelaku profesi tersebut. Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan hal-hal yang benar dan baik serta hal-hal yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional.
11
Secara umum, kode etik mengarahkan para pelaku profesi untuk memiliki karakter dasar profesional, yaitu bertanggungjawab, bersikap adil, bersikap obyektif dan independen, berintegrasi moral, juga memiliki kompeten. Menurut Cloud (2003), seorang profesional disebut berintegritas apabila memiliki ciri-ciri, yaitu: 1.
Utuh dan tidak terbagi, bermakna seorang profesional memerlukan kesatuan dan keseimbangan antara pengetahuan, keterampilan, dan perilaku etis. Utuh juga bermakna adanya keseimbangan antara kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
2.
Menyatu dan menyiratkan bahwa seorang profesional secara serius dan penuh waktu menekuni profesinya, sekaligus juga menyenangi pekerjaannya.
3.
Kokoh dan konsisten, menyiratkan pribadi yang berprinsip, percaya diri, tidak mudah goyah, dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Profesional disebut obyektif jika tindakan yang dilakukan sesuai tujuan,
sasaran, tidak berat sebelah, dan selalu didasarkan kepada fakta atau bukti yang mendukung. Sedangkan independensi mengacu kepada sikap tidak memihak serta tidak dibawah pengaruh atau tekanan pihak tertentu dalam mengambil keputusan atau tindakan. Independensi seorang professional dapat dinilai dari dua sisi, yaitu independence in fact, seseorang yang secara mental dinilai independen, dan independence in appearance, seseorang yang diragukan independensinya brdasarkan penilaian orang lain (dilihat dari sudut pandang hubungan secara fisik), meskipun ada kemungkinan secara mental orang tersebut tetap independen.
12
Pasal 1 ayat (2) Kode Etik Akuntan Indonesia bahwa setiap anggota harus mempertahankan integritas dan objektivitas dalam melaksanakan tugasnya. 2.1.5 Penyimpangan Etika Dalam Bisnis Penyimpangan etika dalam bisnis awal mulanya dipicu oleh menguatnya kepentingan pribadi yang jauh lebih besar dibandingkan kepentingan korporasi. Dengan tujuan utama untuk memperoleh keuntungan pribadi (personal gain) yang besar dalam tempo singkat telah mendorong banyak orang untuk melakukan cara apapun, termasuk yang melanggar atau tidak etis dalam memperoleh keuntungan. Potensi penyimpangan etika dalam bisnis juga berasal dari konflik kepentingan (conflicts of interest) seseorang terhadap pihak lain yang berhubungan dengan korporasi. Contoh: suap, gratifikasi, dan sumbangan dana kampanye. Adanya tekanan untuk terus mencetak laba dan nilai-nilai yang dianut oleh manajer atau CEO perusahaan. 2.1.6 Teori-Teori Etika Sumber utama penyusunan prinsip-prinsip etika adalah Aturan Emas (Golden Rule) hubungan antarmanusia sebagai berikut: “Perlakukanlah orang lain seperti halnya orang lain memperlakukan Anda”. Proses pembahasan suatu masalah harus mematuhi tuntutan berpikir logis-rasional guna menghasilkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam hal ini terdapat 6 (enam) teori etika, yaitu: 1. Egoisme Dalam konsep egoisme etis, setiap orang sesungguhnya hanya peduli pada dirinya sendiri. Misalnya, tindakan menolong orang lain dapat dianggap
13
sebagai tindakan untuk menolong diri sendiri karena mungkin saja kepentingan orang lain tersebut berhubungan erat dengan kepentingan diri, sehingga tindakan menolong orang lain dipandang sebagai tindakan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri. 2. Utilitarianisme Teori utilitarianisme dipelopori David Hume (1711-1776), dan dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) serta John Stuart Mill (1806-1873). Teori ini berpandangan suatu tindakan disebut baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest numbers). 3. Deontologi Teori deontologi berisi keharusan bagi setiap orang untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik. 4. Hak Asasi Manusia (HAM) Teori hak berasumsi bahwa setiap manusia mempunyai martabat yang sama, artinya jika suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang maka tindakan yang sama tersebut merupakan kewajiban bagi orang lain. 5. Keutamaan Teori keutamaan (virtue theory) berhubungan dengan sifat atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar disebut sebagai manusia utama atau manusia hina. Seseorang yang selalu melakukan tingkah laku buruk secara moral disebut manusia hina.
14
6. Teonom Teori teonom menyatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak Tuhan, dan perilaku manusia dianggap tidak baik apabila tidak mengikuti aturan-aturan atau perintah Tuhan seperti tertulis dalam kitab suci. 2.1.7 Persepsi 2.1.7.1 Pengertian Persepsi Persepsi adalah suatu proses dimana seseorang melakukan pemilihan, penerimaan, pengorganisasian, dan penginterpretasian atas informasinya yang diterima dari lingkungannya. Merupakan suatu proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya. Menurut Robbins (1996:124), persepsi didefinisi sebagai suatu proses dengan mana individu-individu mengorganisasi dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna pada lingkungan mereka. Persepsi memiliki 2 (dua) aspek, yaitu pengakuan pola (pattern recognition) dan perhatian (attention). Pengakuan pola (pattern recognition) meliputi identifikasi serangkaian stimulus yang kompleks, yang dipengaruhi oleh konteks yang dihadapi dan pengalaman masa lalu. Sementara, perhatian (attention) merupakan konsentrasi dari aktivitas mental, yang melibatkan pemerosesan lebih lanjut atas suatu stimuli dan dalam waktu bersamaan tidak memindahkan stimuli yang lain.
15
2.1.7.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhadapan dengan berbagai rangsangan atau stimulus baik yang menyangkut dirinya sendiri sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, rangsangan ini dapat berupa rangsangan fisik maupun non fisik. Maka, persepsi seseorang dapat dipengaruhi juga oleh berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu karakteristik yang mempersepsikan
(characteristics
of
the
perceiver),
karakteristik
yang
dipersepsikan (characteristics of the perceived), kontek situasi (situation context). Menurut Robbins (2002:46) persepsi dipengaruhi oleh: a.
Sikap
b.
Kepribadian
c.
Motif
d.
Kepentingan
e.
Pengalaman masa lalu
f.
Harapan Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap hal yang
mempengaruhi persepsi sangat tergantung pada setiap seseorang dalam menafsirkan sesuatu yang terjadi pada saat itu. Sehingga penafsiran masingmasing individu sangat berbeda dan beragam tergantung persepsinya masingmasing.
16
2.1.8 Isu Moral Proses pembuatan keputusan manusia sering digerakkan oleh munculnya suatu masalah yang membutuhkan solusi ataupun respon, dan seringkali membentuk tindakan (Jones, 1991). Tidak terkecuali pembuatan keputusan moral; proses dimulai dengan suatu masalah, yang mencakup komponen moral. Komponen moral dari masalah, atau isu moral, dapat dikarakteristikkan dalam istilah intensitas moral (moral intensity). Untuk memulai proses pembuatan keputusan moral, seseorang harus mampu untuk mengenali isu moral. Meskipun banyak keputusan tersebut bermoral, pembuat keputusan tidak selalu mengenali elemen moral pada setiap keputusannya. Isu moral muncul ketika tindakan seseorang, ketika dengan bebas ditunjukkannya, dapat merugikan ataupun menguntungkan orang lain. Seseorang tersebut harus menyadari bahwa dia adalah pembawa moral (moral agent). Seseorang yang gagal mengenali isu moral akan gagal pula dalam melakukan proses pembuatan keputusan moral (http://pustakaakuntansiku.wordpress.com). 2.1.9 Pengambilan Keputusan James (dalam Iqbal, 2002:9), menyatakan bahwa keputusan adalah pemilihan diantara alternatif-alternatif. Definisi ini mengandung tiga perkara, yaitu: a. Ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan. b. Ada beberapa alternatif yang harus dan dipilih salah satu yang terbaik. c. Ada tujuan yang ingin dicapai, dan keputusan itu semakin mendekatkan pada tujuan tersebut.
17
Siagian (dalam Iqbal, 2002:10), menyatakan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat. 2.1.9.1 Proses Pembuatan Keputusan Proses membuat keputusan merupakan proses yang paling penting untuk kesempurnaan dalam bidang pengurusan untuk semua organisasi. Keputusan merujuk kepada pilihan yang dibuat melalui berbagai alternatif yang tersedia. Pilihan merupakan suatu fungsi kepada objektif si pembuat keputusan tadi, maka dalam penilaian alternatif untuk dipilih, si pembuat juga berminat untuk mengetahui akibat dari pada tindakan, sekoran daripada pilihan yang dibuatnya. Tujuan membuat keputusan adalah untuk memberi perbedaan kepada teknikteknik penyelesaian masalah dan mengutarakan cara pembuatan keputusan secara individu
dan
perkumpulan.
Dalam
proses
membuat
keputusan,
harus
mengutamakan 3 (tiga) perkara, yaitu: 1. Proses membuat keputusan, 2. Orang yang membuat keputusan, dan 3. Keputusan yang dijalankan. 2.1.9.2 Proses Pengambilan Keputusan Yang Efektif 2.1.9.2.1 Elemen-Elemen Dasar Pengambilan Keputusan Terdapat 6 (enam) elemen-elemen dasar pengambilan keputusan yang efektif, yaitu:
18
1. Menetapkan Tujuan Pengambil keputusan, harus memiliki tujuan yang jelas untuk mengevaluasi keputusan yang dimaksud. 2. Identifikasi Permasalahan Pengambil keputusan yang efektif memerlukan identifikasi permasalahan yang tepat. Identifikasi yang kurang tepat, permasalahan atau isu yang ada tidak terselesaikan. Ada tiga kesalahan dalam identifikasi, yaitu: a. Mengabaikan permasalahan. b. Pemusatan pada gejala. c. Melindungi diri. 3. Mengembangkan Sejumlah Alternatif Alternatif-alternatif pemecahan masalah atau isu, harus dikembangkan, kemudian dipilih salah satu yang dianggap tepat. 4. Penilaian dan Pemilihan Alternatif Masing-masing alternatif, dievaluasi dan dipilih yang terbaik. Terdapat 3 (tiga) kondisi proses pengambilan keputusan, yaitu kepastian, ketidakpastian, dan resiko. 5. Pelaksanaan Keputusan Keputusan yang benar, belum terjamin pelaksanaannya. Keputusan tidak berarti apabila tidak diikuti pelaksanaan yang benar. Diperlukan adanya evaluasi secara terus-menerus dan berkelanjutan. 6. Evaluasi dan Pengendalian (koreksi)
19
Mekanisme sistem pengendalian dan evaluasi perlu dilakukan secara terusmenerus agar keputusan yang diambil tersebut dapat terealisir. Penetapan Tujuan
Identifikasi Masalah
Solusi Alternatif
Pemilihan Alternatif
Pelaksanaan Keputusan
Evaluasi dan Koreksi
Gambar 1 Proses Pengambilan Keputusan Yang Efektif 2.1.9.2.2 Pembuatan Keputusan Etis (Ethical Decision Making) Keputusan etis (ethical decision) adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino 1987; Jones 1991). Beberapa model penelitian etis seringkali hanya mendeskripsikan bagaimana proses seseorang mengambil keputusan yang terkait dengan etika dalam situasi dilema etika (Jones 1991; Trevino 1986). Sebuah model pengambilan etis tidak berada kepada pemahaman bagaimana seharusnya seseorang membuat keputusan etis (ought to do), namun lebih kepada pengertian bagaimana proses pengambilan keputusan etis itu sendiri. Alasannya adalah sebuah pengambilan keputusan akan memungkinkan menghasilkan
20
keputusan yang etis dan keputusan yang tidak etis, dan memberikan label atau mendefinisikan apakah suatu keputusan tersebut etis atau tidak etis akan mungkin sangat menyesatkan. Dalam pengambilan keputusan individu, efektivitas keputusan tersebut ditentukan keyakinan diri, informasi, dan kemampuan untuk mengendalikan diri individu tersebut. Keyakinan diri (self confidence), juga dikenal dengan istilah kekuatan ego (ego strength) menggambarkan keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya dalam penyelesaian masalah. Orang dengan keyakinan diri yang lebih tinggi lebih bergantung kepada nilai-nilai dan keyakinan dirinya sendiri sehingga tidak begitu terpengaruh secara etis oleh keputusan organisasi maupun orang lain. Informasi yang lengkap diperlukan dalam memperjelas suatu keadaan yang ambigu. Orang dengan ketergantungan informasi yang tinggi (high field dependency) cenderung sangat mengedepankan peran penting informasi, terutama yang diperoleh dari sumber atau orang lain untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Pengendalian diri (locus of control) ada dua yaitu pengendalian diri secara eksternal dan pengendalian diri secara internal. Seseorang disebut memiliki pengendalian diri secara eksternal (external locus of control) apabila dirinya percaya kehidupan manusia tergantung atas nasib, keberuntungan, dan situasi luar. Artinya, jika orang tersebut merasa tidak sukses dalam hidupnya, maka keyakinannya menyatakan hal tersebut disebabkan oleh nasib baik yang tidak
21
berpihak kepada dirinya, atau perbuatan orang lain yang membuat dirinya tidak sukses. Berbeda dengan pengendalian diri secara internal (internal locus of control). Orang yang memiliki pengendalian diri secara internal sangat percaya bahwa peristiwa atau hasil yang diperoleh bersumber dari tindakan-tindakannya. Seandainya orang tersebut mengalami kegagalan, maka kegagalan tersebut dipandang sebagai akibat dari kurangnya persiapan, kegigihan atau kematangan emosi, dan faktor- faktor lain yang seluruhnya berasal dari dirinya sendiri. Kesimpulannya, bahwa seseorang akan lebih mampu bertindak etis apabila memiliki keyakinan diri yang tinggi, dibekali dengan informasi yang cukup, dan memiliki pengendalian diri secara internal. Dengan demikian, organisasi perlu menekankan pada ketiga faktor penentu keetisan seseorang untuk menghasilkan keputusan secara efektif. 2.1.10 Latar Belakang Pembuatan Keputusan Moral Jones (1991) menyatakan bahwa ada 3 (tiga) unsur utama dalam pembuatan keputusan etis, yaitu pertama, moral issue, menyatakan seberapa jauh ketika seseorang melakukan tindakan, jika dia secara bebas melakukan tindakan itu, maka akan mengakibatkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Dalam bahasa yang lain adalah bahwa suatu tindakan atau keputusan yang diambil akan mempunyai konsekuensi kepada orang lain. Kedua adalah moral agent, yaitu seseorang yang membuat keputusan moral (moral decision). Ketiga adalah keputusan etis (ethical decision) itu sendiri, yaitu sebuah keputusan yang secara legal dan moral dapat diterima oleh masyarakat luas.
22
Jones (1991) mengembangkan suatu model isu-kontinjen untuk lebih memahami pengaruh dari isu-isu moral yang terdiri atas konstruk intensitas moral yang digagas oleh Rest melalui model empat komponennya untuk meneliti pengaruh persepsi intensitas moral dalam proses pembuatan keputusan moral. Jones menyatakan bahwa isu intensitas moral berpengaruh secara signifikan terhadap proses pembuatan keputusan. Studi sebelumnya menemukan bahwa pengaruh komponen intensitas moral terhadap sensitivitas moral (Singhapakdi et al., 1996; May dan Pauli, 2000), pertimbangan moral (Webber, 1990, 1999; Morris dan Mc-Donald, 1995; Ketchand et al., 1999; Shafer et al., 1999), dan intensi moral (Singhapakdi et al., 1996, 1999; Shafer et al., 1999; May dan Pauli, 2000). Dalam penelitian ini, komponen intensitas moral diketahui memiliki pengaruh secara signifikan terhadap proses pembuatan keputusan moral. Cohen dan Bennie (2006), menyatakan bahwa penelitian mengenai pengaruh komponen intensitas moral terhadap proses pengambilan keputusan masih sedikit dilakukan. 2.1.10.1 Model Empat Komponen Rest Model ini pertama kali diperkenalkan sebagai hasil penelitian dari psikologi moral. Rest (1986, dalam Cohen dan Bennie, 2006), menyatakan bahwa untuk bertingkah laku secara moral, seorang individu melakukan 4 (empat) proses psikologi dasar, yaitu: 1.
Pengenalan isu moral (Recognize Moral Issue),
2.
Melakukan pertimbangan moral (Make Moral Judgment),
3.
Membentuk maksud atau niat moral (Establish Moral Intent), dan
4.
Menggunakan perilaku moral (Engage Moral Behavior).
23
Leitsch (2004) menyatakan bahwa model Rest memiliki 4 (empat) komponen yaitu sensitivitas moral (moral sensitivity), pertimbangan moral (moral judgment), intensi moral (moral intentions) dan perilaku moral (moral behavior) yang seluruhnya mewakili rangkaian proses kognitif yang harus muncul untuk menjadi perilaku moral. Sensitivitas moral adalah kemampuan untuk mengetahui masalah-masalah etika yang terjadi (Shaub, 1989; Hebert et al., 1990). Sensitivitas moral didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengetahui bahwa suatu situasi memiliki makna etika ketika situasi itu dialami individu-individu (Shaub, 1989), yaitu kemampuan untuk mengetahui masalah-masalah etika (Hebert et al., 1990). Sensitivitas moral meliputi persepsi dan interpretasi dari sebuah kejadian dan hubungan dalam suatu situasi. Kebanyakan aspek dasar dari sensitivitas memperlihatkan indikasi elemen sebuah keberadaan situasi etika. Pertimbangan moral adalah mengarah pada pembuatan sebuah keputusan mengenai apakah kebenaran yang pasti dari tindakan secara moral, seperti apa yang seharusnya dilakukan. Proses dari tahapan ini meliputi pemikiran perspektif dari pertimbangan profesionalnya dalam sebuah pemecahan yang ideal untuk sebuah dilema etika (Thorne, 2000). Yang terakhir dari empat komponen Rest adalah keterlibatan individu dalam perilaku yang etis atau tidak etis, yang mana keterlibatan tersebut berasal dari intensi moral individu yang bersangkutan. Rest (dalam Jones, 1991) menyatakan bahwa tingkah laku moral adalah hasil dari suatu proses yang sangat rumit, semua empat komponen adalah faktor-faktor dari tindakan moral.
24
2.1.10.2 Intensitas Moral Intensitas Moral (moral intensity) adalah sebuah konstruk yang meliputi karakteristik-karakteristik yang merupakan perluasan dari isu-isu yang terkait dengan imperatif moral dalam sebuah situasi atau dengan kata lain, intensitas moral merupakan penggambaran tingkat isu moral dalam situasi (Jones 2001, dalam Shafer, Morris dan Ketchand (2001)). Jones (1991:372) menyatakan bahwa intensitas moral tersebut tidak termasuk sifat atau ciri-ciri dari si-pembuat keputusan, seperti perkembangan moral (moral development) (Kohlberg, 1976), kekuatan ego (ego strength), ketergantungan lapangan atau locus of control (Trevino, 1986), pengetahuan atau nilai-nilai (knowlwdge and value) (Ferrel dan Gresham, 1985). Juga tidak memasukkan faktor-faktor organisasional, seperti budaya organisasi (Trevino, 1986), atau kebijakan perusahaan (Ferrel dan Gresham, 1985). Maka, dapat disimpulkan bahwa intensitas moral hanya berfokus pada isu moral, bukan pada pembawa moral (moral agent) atau konteks organisasi. Intensitas moral bersifat multi dimensi, dan komponen-komponen bagiannya merupakan karakteristik-karakteristik dari isu-isu (masalah) moral. Jones (1991:373) menyatakan bahwa intensitas moral cenderung bervariasi dari setiap isu, dengan sedikit isu mencapai tingkat yang tinggi dan banyak isu mencapai tingkat yang rendah. Reabilitas (keandalan) dan stabilitas intensitas moral tidak diketahui pasti, tetapi parameter ini dapat ditetapkan secara empiris.
25
2.1.10.3 Komponen Intensitas Moral Jones (1991) menyatakan bahwa semua isu (masalah) etika dapat diwakili dalam hal intensitas moral (moral intensity), yang mencakup 6 (enam) elemen, yaitu: 1.
Besaran Konsekuensi (the magnitude of consequences).
2.
Konsensus Sosial (social consensus).
3.
Probabilitas Efek (probability of effect).
4.
Kesegeraan Temporal (temporal immediacy).
5.
Kedekatan (Proximity).
6.
Konsentrasi Efek (concentration of effect). Flory, et al. (1992, dalam Leisch, 2004) merangkum keenam komponen yang
berkaitan dengan isu-isu (masalah) yang berhubungan dengan akuntansi ini dalam skenario yang berkaitan dengan situasi akuntansi dan dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Besaran Konsekuensi (the Magnitude of Consequences), didefinisikan sebagai jumlah kerugian (atau manfaat) yang dihasilkan oleh pengorbanan (atau penerima manfaat) dari sebuah tindakan moral. Dimasukkannya besaran konsekuensi ini dalam konstruk intensitas moral yang didasarkan pada pemahaman akal sehat dan observasi (pengamatan) perilaku manusia serta bukti yang diperoleh secara empiris, seperti keputusan yang menyertakan keinginan si pembawa moral (moral agent). Sebagai contoh: skenario mengenai seorang akuntan manajemen (Edi) di suatu perusahaan yang
26
terpaksa mengikuti permintaan rekan sekerjanya mengenai persetujuan laporan biaya yang seharusnya dilaporkan ke komisi audit. 2. Konsensus Sosial (Social Consensus) didefinisikan sebagai tingkat kesepakatan sosial bahwa sebuah tindakan dianggap jahat atau baik. Sebagai contoh: pikiran yang jahat dalam mendiskriminasi calon pegawai yang jumlahnya minoritas memilki Social Consensus yang lebih besar daripada pikiran untuk menolak melakukan diskriminasi tersebut. 3. Probabilitas Efek (Probability Of Effect) merupakan sebuah fungsi bersama dari kemungkinan bahwa tindakan tertentu benar-benar akan terjadi dan tindakan tersebut justru akan menyebabkan kerugian (manfaat) yang terprediksi. Sebagai contoh: menjual senjata pada perampok bersenjata memiliki probabilitas kerugian yang lebih besar daripada menjual senjata kepada sipil (warga negara) yang patuh atau taat pada hukum. 4. Kedekatan Temporal (Temporal Immediacy) adalah jarak atau waktu antara pada saat terjadi dan awal mula konsekuensi dari sebuah tindakan moral tertentu (waktu yang makin pendek menunjukkan kesiapan yang lebih besar). Kesegeraan Temporal ini adalah sebuah konstruk komponen intensitas moral yang membangu karena dua alasan terkait. Pertama, jika nilai mata uang sekarang lebih besar dari pada pada masa yang akan datang, seorang pedagang cenderung mendiskon barang dagangan untuk memperoleh uang secepatnya. Kedua, periode waktu antara tindakan yang ditanyakan dan yang diharapkan memperluas bidang usaha akan menyebabkan kerugian yang sedikit. Sebagai contoh: melakukan pemecatan pada pekerja yang masih produktif memiliki
27
Temporal Immediacy yang lebih besar daripada mempensiunkan pekerja yang berumur 50 tahun. 5. Kedekatan (Proximity) adalah perasaan kedekatan (sosial, budaya, psikologis, atau fisik) yang dimiliki oleh pembawa moral (moral agent) untuk si pelaku dari kejahatan (kemanfaatan) dari suatu tindakan tertentu. Konstruk kedekatan ini secara intuitif dan alasan moral menyebabkan seseorang lebih peduli pada orang-orang yang berada didekatnya (secara sosial, budaya, psikologis, atau secara fisik) daripada kepada orang-orang yang jaraknya jauh. Sebagai contoh: memberhentikan sementara seorang pekerja pada unit kerja seseorang memiliki Proximity Moral
(fisik dan psikologis)
yang lebih
besar daripada
memberhentikan pada unit yang terpencil. 6. Konsentrasi Efek (Concentration Of Effect) adalah sebuah fungsi infers atau kebalikan dari jumlah orang yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sebuah tindakan yang dilakukan. Orang-orang yang memiliki perasaan kepentingan yang tertinggi akan bertindak secara amoral yang akan menghasilkan konsentrasi efek tinggi. Sebagai contoh: menyangkal jumlah jaminan asuransi terhadap 20 orang yang memiliki jumlah klaim Rp.200.000.000 memiliki Concentration Of Effect yang lebih besar daripada menyangkal jumlah jaminan asuransi terhadap 20.000 orang yang memiliki jumlah klaim Rp.20.000.000. 2.2 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan perbedaan persepsi intensitas moral dalam proses pembuatan keputusan moral yang diantaranya dikutip dari beberapa sumber penelitian tersebut antara lain:
28
1. Novius dan Sabeni (2010) Hasil penelitian yang dilakukan Novius dan Sabeni (2010) yang berjudul ‛‛Perbedaan Persepsi Intensitas Moral Mahasiswa Akuntansi Dalam Proses Pembuatan Keputusan Moral” menyatakan bahwa penelitian ini telah berhasil membuktikan bahwa situasi etika khususnya yang terkait dengan masalah pengambilan keputusan di bidang akuntansi, bersifat sangat spesifik sehingga untuk kondisi di Indonesia hasil penelitian ini beragam untuk berbagai situasi etis. Dari hasil penelitiannya diungkapkan bahwa isu akuntansi memiliki dampak terhadap komponen-komponen Intensitas Moral sebagaimana Sensitivitas Moral, Pertimbangan Moral dan Intensi Moral. Secara umum, untuk variabel Sensitivitas Moral menunjukkan secara umum mahasiswa sensitivitas mahasiswa mengarah pada sifat etis dari isu sebagaimana persepsi dari Intensitas Moral, bervariasi di antara isu-isu yang sedikit tidak beretika dan lebih tidak beretika. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa skenario-2 (memanipulasi pembukuan perusahaan) sebagai hal yang dirasa lebih tidak beretika daripada skenario-1 (menyetujui laporan biaya yang diragukan), skenario 3 (melanggar kebijakan perusahaan), dan skenario-4 (menambah kredit yang diragukan). Untuk variabel Pertimbangan Moral menunjukkan bahwa tipe dari situasi mempengaruhi persepsi mahasiswa mengenai komponen-komponen intensitas moral dengan pertimbangan moral mereka. Secara umum, pertimbangan mahasiswa S1 mengarah pada sifat etis dari isu sebagaimana persepsi dari Intensitas Moral bervariasi diantara isu-isu yang sedikit tidak beretika dan lebih tidak
beretika.
Hasil
yang
diperoleh
menunjukkan
bahwa
skenario-2
29
(memanipulasi pembukuan perusahaan) sebagai hal yang dirasa lebih tidak beretika daripada skenario-1 (menyetujui laporan biaya yang diragukan). Hasil ini mirip dengan Sensitivitas Moral mahasiswa S1, memberikan penekanan lebih bahwa memanipulasi pembukuan perusahaan dan menyetujui laporan biaya yang diragukan sebagai problem yang dirasakan mahasiswa S1 sebagai yang lebih tidak beretika dibandingkan dengan isu-isu pada skenario-3 dan skenario-4. Selanjutnya, hasil untuk variabel Intensi Moral, juga menunjukkan bahwa isu-isu pada skenario-1 dan skenario-3 sebagai hal yang dirasa lebih tidak beretika. Hasil ini memperkuat anggapan bahwa skandal akuntansi yang terjadi dirasakan oleh mahasiswa disebabkan oleh isu-isu pada keputusan Si Aktor dalam skenario yang memutuskan untuk melanggar kebijakan perusahaan (skenario-3) dan keputusan si Aktor untuk menyetujui laporan biaya yang diragukan (skenario1). Dalam penelitian ini Novius dan Sabeni (2010) menggunakan besarnya sampel yang diperlukan adalah minimal sebanyak 97 orang. Dalam hal ini peneliti akan menyebarkan kuesioner sebanyak 150 eksemplar. Kuesioner yang disebarkan berjumlah 150 kuesioner, masing-masing kelompok sampel (S1, Maksi, PPA) berjumlah 50 kuesioner. Dari jumlah tersebut, kuesioner yang dapat digunakan adalah sebanyak 50 untuk mahasiswa S1, 48 untuk mahasiswa Maksi, dan 49 untuk mahasiswa PPA dengan jumlah total 147 kuesioner.0 2. Nikmatuniayah (2011) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nikmatuniayah (2011) yang diberi judul ‛‛Intensitas Moral Mahasiswa Akuntansi Dalam Proses Pembuatan Keputusan
30
Moral” menyatakan bahwa dalam penelitian ini menunjukkan mahasiswa D3 dan D4 memiliki sensitivitas, intensitas moral, pertimbangan moral mempengaruhi isu-isu yang terdapat dalam skenario dan mengenali perbedaan pada skenarioskenario yang berbeda. Mahasiswa akuntansi (D3 dan D4) mengenal isu moral akuntansi dan mengetahui bahwa isu moral tersebut benar melibatkan masalah etika, memiliki pertimbangan moral dalam membuat keputusan moral. Dalam isu-isu intensitas moral rendah (lebih sedikit tidak beretika) mempengaruhi intensi atau niat moral mahasiswa akuntansi D3 dan D4 kompak. Kuesioner yang disebarkan berjumlah 150 kuesioner, masing-masing kelompok sampel (D3, Aksel, D4 Akuntansi) berjumlah 50 kuesioner. 3. Alleyne et al. (2006) Alleyne, et al. (2006) juga melakukan penelitian terhadap mahasiswa Barbados. Penelitian terhadap mahasiswa Barbados bertujuan untuk mengukur pengaruh berbagai faktor seperti gender, umur, afiliasi keagamaan dan komitmen terhadap perbedaan persepsi intensitas moral yang didasarkan pada empat skenario yang berhubungan dengan isu-isu audit dan non-audit. Dari hasil penelitiannya diungkapkan bahwa gender, umur, afiliasi keagamaan dan komitmen tidak berpengaruh pada persepsi intensitas moral pada skenario-skenario yang berhubungan dengan audit. Sedangkan untuk skenarioskenario mengenai non-auditing hasilnya bervariasi terhadap intensitas moral mereka.
31
4. May dan Pauli (2002) May dan Pauli (2002) juga melakukan riset pada sembilan kelas bisnis di Universitas Midwestern. Dalam melakukan risetnya, setiap partisipan diberikan skenario dan menjawab setiap pertanyaan untuk melihat intensi moral, proses evaluasi moral, dimensi intensitas moral, dan pengakuan moral. Hasil penelitian, diungkapkan bahwa dimensi dari intensitas moral berhubungan dengan pengakuan isu moral, evaluasi moral (utilitarian, deontological, keadilan prosedural dan keadilan distributif) dan intensi moral. Konsisten dengan kerangka pembuatan keputusan moral ditemukan bahwa: 1.
Hubungan intensitas moral-evaluasi moral secara parsial di mediasi oleh pengakuan moral untuk keadilan distribusi dan evaluasi utilitarian.
2.
Hubungan pengakuan moral-intensi moral sepenuhnya di mediasi oleh keadilan distribusi dan evaluasi utilitarian.
3.
Hubungan intensitas moral-intensi moral secara parsial di mediasi oleh kombinasi dari pengakuan moral dan setiap proses evaluasi moral.
5. Sasongko Budi (2007) Sasongko Budi (2007) juga melakukan penelitian mengenai proses pembuatan keputusan moral dengan responden internal auditor. Dia menggunakan Person-Situation Interactionist Model yang dikembangkan oleh Trevino (1986), dengan mengembangkan hipotesis yang dipengaruhi oleh orientasi etis, komitmen professional, pengalaman kerja, dan nilai etis perusahaan (corporate ethical values). Hasilnya diungkapkan bahwa:
32
1. Pembuatan keputusan moral internal auditor dipengaruhi oleh nilai personal dan variabel-variabel lingkungan (pengaruh langsung dan tidak langsung). 2. Tiga konstruk (nilai etis perusahaan, orientasi etis dan komitmen professional adalah faktor penyebab yang secara signifikan mempengaruhi pertimbangan internal auditor, baik secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembuatan keputusan. 3. Pengalaman kerja tidak memiliki hubungan positif dalam proses pembuatan keputusan moral. 6. Deborah Leitsch (2004) Leitsch (2004) melakukan penelitian terhadap 110 orang mahasiswa akuntansi pada sebuah perguruan tinggi di Northeast (USA). Dia melakukan penelitian dengan tujuan untuk melihat perbedaan intensitas moral mahasiswa tersebut terhadap berbagai karakteristik isu dengan menggunakan empat skenario akuntansi yaitu: menyetujui pelaporan biaya yang diragukan, memanipulasi pembukuan perusahaan, melanggar kebijakan perusahaan dan memperpanjang kredit yang diragukan. Secara umum, sensitivitas mahasiswa akuntansi mengarah pada sifat dasar etis dari isu dalam persepsi intensitas moral, dan bervariasi antara ‛lebih sedikit tidak beretika‟ dan ‛lebih tidak beretika‟. Misalnya, mahasiswa kemungkinan mengakui perbedaan dalam sifat tidak beretika dari isu diantara skenario 2 (memanipulasi pembukuan) dan skenario 1 (menyetujui biaya yang diragukan daripada skenario 3 (melanggar kebijakan perusahaan) dan skenario 4 (memperpanjang kredit yang diragukan). Situasi yang digambarkan dalam
33
skenario 2 (memanipulasi pembukuan) dilihat lebih tidak beretika mungkin disebabkan pernyataan dalam skenario bahwa tindakan tersebut „dengan jelas salah‟ dari sudut akuntansi. Hasil analisis mirip dengan hasil pada penelitian sebelumnya, seperti penelitian Wright et al. (1998), menyatakan bahwa isu sensitivitas individu dari intensitas moral mempengaruhi pengakuan dari karakteristik isu moral. Hasil yang diperoleh juga mirip dengan Silver dan Valentine (2001) yang menggunakan skenario marketing dalam melihat persepsi intensitas moral mahasiswa. Hasil analisis juga memperkuat beberapa penelitian terdahulu, seperti penelitian Morris dan McDonald (1995) yang menguji persepsi dan komponen aktual dari intensitas moral. 2.3 Rerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk menguji persepsi intensitas moral dalam proses pembuatan keputusan moral mahasiswa S1-Akuntansi STIESIA Surabaya. Persepsi intensitas moral dalam proses pembuatan keputusan moral mahasiswa S1-Akuntansi di STIESIA Surabaya sangat mempunyai peranan yang baik agar mahasiswa mempunyai sikap moral yang baik dalam dunia bisnis serta dapat memberikan solusi dan mengambil keputusan-keputusan dengan memperhatikan etika-etika yang berlaku, baik di dalam dunia bisnis maupun masyarakat. Mahasiswa diharapkan mampu memahami isu-isu yang ada dalam profesi akuntansi dan tidak melakukan perbuatan tidak etis atau yang melanggar peraturan yang berlaku di dalam dunia bisnis.
34
Intensitas Moral
Sensitivitas Moral
Pertimbangan Moral
Intensi Moral
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Teoritis Jones (1991) menyatakan bahwa isu-isu intensitas moral secara signifikan mempengaruhi proses pembuatan keputusan moral. Selain itu, dalam studi sebelumnya telah menguji dan menemukan bahwa pengaruh komponen dari intensitas moral terhadap sensitivitas moral (Singhapakdi et al., 1996; May dan Pauli, 2000), pertimbangan moral (Webber, 1990, 1999; Morris dan McDonald, 1995; Ketchand et al., Shafer et al., 1999), dan intensi moral (Singhapakdi et al., 1996; 1999; Shafer et al., 1999; May dan Pauli, 2000). Dalam penelitianpenelitian tersebut, beberapa komponen intensitas moral ditemukan berpengaruh secara signifikan dalam proses pembuatan keputusan moral dari berbagai responden. 2.4 Perumusan Hipotesis Etika sangat erat kaitannya dengan hubungan yang mendasar antara manusia dan berfungsi untuk mengarahkan kepada perilaku moral. James Rest (1986, dalam Cohen dan Bennie, 2006) menyatakan bahwa untuk bertingkah laku secara moral, seorang individu melakukan 4 (empat) proses psikologi dasar, yaitu: Recognize Moral Issue (pengenalan isu moral), Make Moral Judgement
35
(melakukan pertimbangan moral), Establish Moral Intent (membentuk maksud atau niat moral), dan Engage Moral Behavior (menggunakan perilaku moral). Jones (1991) membuat model pembuatan keputusan etis seseorang yang didasarkan pada empat komponen dari Rest (1986), yaitu pengakuan atas isu-isu moral (recognizing a moral issues); membuat judgement moral atau etis (making a moral judgement or ethical judgement); penetapan maksud moral (establishing moral inten or behavior intention); melakukan perilaku moral (Engaging in moral behavior). Model Jones menjelaskan intensitas moral yang dirasakan (perceived moral intensity) atas suatu isu etika seharusnya mempengaruhi semua komponen proses pembuatan keputusan etis, termasuk judgement etis, dan intensi perilaku (behavioral intentions). Intensitas moral merupakan suatu kontraks yang multi dimensional yang terdiri atas 6 (enam) komponen, yaitu besaran konsekuensi (the magnitude of consequences), konsensus sosial (social consensus), probabilitas efek (probability of effect), kesegeraan temporal (temporal immediacy), kedekatan (proximity), dan konsentrasi efek (concentration of effect). Intensitas moral pada hakekatnya bervariasi dari setiap isu, dengan sedikit isu mencapai tingkat yang tinggi dan banyak isu pada tingkat yang rendah. Reabilitas dan stabilitas intensitas moral tidak diketahui pasti, tapi parameter-parameter ini ditetapkan secara empiris. Jones (1991:373) menyatakan bahwa intensitas moral (moral intensity) terdiri atas enam elemen, yang terdiri atas besaran konsekuensi (the magnitude of consequences), konsensus sosial (social consensus), probabilitas efek (probability
36
of effect), kesegeraan temporal (temporal immediacy), kedekatan (proximity), dan konsentrasi efek (concentration of effect). Flory, et al. (1992, dalam Leitsch, 2004) merangkum keenam komponen yang berkaitan dengan isu-isu (masalah) yang berhubungan dengan akuntansi ini dalam skenario yang berkaitan dengan situasi akuntansi. Jones (1991) mengembangkan suatu model isu-kontijen untuk lebih memahami pengaruh dari isu-isu moral yang terdiri atas konstruk intensitas moral yang digagas oleh Rest‟s (1986) melalui model empat komponennya untuk meneliti pengaruh perbedaan persepsi intensitas moral dalam proses pembuatan keputusan moral. Jones menyatakan bahwa isu intensitas moral berpengaruh secara signifikan terhadap proses pembuatan keputusan. Jones (1991) menyatakan bahwa isu intensitas moral akan mempengaruhi sensitivitas seseorang dalam kehidupannya. Isu-isu moral yang memiliki intensitas tinggi (lebih tidak beretika) akan lebih sering dikenali daripada isu-isu intensitas rendah (lebih sedikit tidak beretika). Oleh karena itu, hipotesis yang dapat dikembangkan dari uraian diatas adalah: H: Isu akuntansi berdampak terhadap pentingnya komponen Intensitas Moral dan Sensitivitas Moral yang dirasakan mahasiswa.