BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hemodialisis Hemodialisis merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme berupa larutan (ureum dan kreatinin) dan air yang ada pada darah melalui membran semipermeabel atau yang disebut dengan dialyzer (Thomas, 2002). Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (alat dialisa) kedalam dialisat.Alat dialisa juga dapat digunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) membran (Tisher & Wilcox, 1995). Hemodialisa merupakan suatu tindakan terapi dengan dialisa sebagai pengganti fungsi ginjal untuk menurunkan kadar racun di dalam darah. Pada proses ini zat-zat racun (toksik), air dan elektrolit yang tidak bisa dikeluarkan lagi oleh ginjal yang sakit “dibersihkan" melalui proses haemodialisis (Mursal, 2008). Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa hemodialisa bukanlah obat terhadap penyakit gagal ginjal kronik, tetapi merupakan sebuah terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) yang berfungsi meningkatkan kembali kualitas hidup pasien yang menjalani terapi ini sehingga dapat kembali menjalani aktifitas sehari-hari tanpa mengalami gangguan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1: Alur Hemodialisa
2.2. Adekuasi Hemodialisa Hemodialisis
regular
dikatakan
cukup
apabila
dilakukan
teratur,
berkesinambungan, selama 9-12 jam setiap minggu. Kondisi pasien stabil dan tidak merasakan keluhan sama sekali, nafsu makan baik, tidak merasa sesak, tidak lemas dan dapat melakukan aktifitas sehari-hari (Suwitra, 2010). Berdasarkan konsensus Pernefri (2003) menyatakan target ideal untuk pasien yang menjalani HD 2x/minggu dengan lama HD antara 4 – 5 jam diberikan target URR 65%.
National Cooperative Dialysis Study (NCDS), merupakan penelitian pertama yang menilai AHD. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ureum merupakan pertanda yang memadai untuk penilaian AHD dan tingkat bersihan ureum dapat dipakai untuk prediksi keluaran (outcome) dari penderita.Lowrie dkk(1981) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa blood urea-nitrogen (BUN) yang tinggi menyebabkan meningkatnya morbiditas. Model kinetik ureum (MKU) adalah cara yang paling baik untuk menilai AHD. MKU adalah tehnis matematika untuk mensimulasikan kinetik ureum pada
Universitas Sumatera Utara
penderita HD dengan menghitung semua faktor yang mempengaruhi pemasukan, pengeluaran dan metabolisme urea. Faktor ini meliputi volume distribusi urea, urea generation rate, klirens dializer (Kd), dialyzer ultrafiltration rate, jadwal dan lama HD, residual klirensi urea, resistensi terhadap metabolisme ureum. Dalam pengukurannya memerlukan: 1. Pemeriksaan BUN sebelum dan sesudah HD dari HD pertama, pemeriksaan BUN sebelum HD dari HD kedua dari jadwal HD 3 kali seminggu. 2. Berat badan sebelum HD dan sesudah HD dari HD pertama. 3. Lama HD sebenarnya dari HD pertama. 4. Klirens efektif dari dializer (bukan klirens in-vitro dari tabel). Meskipun cara ini direkomendasikan oleh National Kidney Foundation Dialysis
Outcome
Quality
initiative
(NKF-DOQI),
akan
tetapi
cara
perhitungannya kompleks sehingga diperlukan ketepatan pengukuran volume distribusi, klirens efektif dializer dan waktu HD. Akibatnya cara ini tidak dapat dipergunakan disetiap unit HD. Selain dari MKU ada cara lain yang lebih praktis dan dapat digunakan secara rutin, yaitu: 1. Rumus logaritma natural Kt/V Dalam menggunakan rumus ini diasumsikan bahwa konsep yang dipakai adalah model single-pool urea kinetic. Cara ini merupakan penyederhanaan dari perhitungan MKU, dimana Kt merupakan jumlah bersihan urea dari plasma dan V merupakan volume distribusi dari urea. K dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari KoA dializer serta kecepatan aliran darah dan
Universitas Sumatera Utara
kecepatan aliran dialisat, t adalah waktu tindakan HD dalam satuan menit, sedangkan V dalam satuan liter. Rumus yang dianjurkan oleh NKF-DOQI adalah generasi kedua yang dikemukakan oleh Daugirdas.
Kt/V=-Ln(R-0,008xt)+(4-3,5xR)xUF/W Dimana : a.
Ln adalah logaritma natural.
b.
R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialysis
c.
t adalah lama waktu dialisis dalam jam.
d.
UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
e.
W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.
2. Ureum Reduction Ratio (URR) Cara lain untuk mengukur AHD adalah dengan mengukur URR Rumus yang dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut: RRU (%) = 100 x (1-Ct/Co) Ct adalah BUN sesudah-HD dan Co adalah BUN sebelum-HD. Cara ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran AHD.Banyak dipakai untuk kepentingan epidemiologi, dan merupakan prediktor terbaik untuk mortalitas penderita NKF-DOQI memakai batasan bahwa HD harus dilakukan dengan URR≥65%. Owen dkk (1993) dalam penelitiannya
menggunakan
URR
untuk
mengukur
dosis
dialisis,
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa penderita yang menerima URR ≥60% memiliki mortalitas yang lebih rendah dari yang menerima URR ≥50%. Untuk melakukan perhitungan dosis adekuasi dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan BUN. Ketepatan waktu pengambilan merupakan hal yang sangat penting. BUN sebelum HD dan BUN sesudah HD untuk perhitungan URR diambil pada jadwal yang sama. a.
Pengambilan sampel BUN sebelum HD. Jika penderita dengan AV-fistula atau graft, sample diambil dari jalur arteri sebelum dihubungkan dengan blood-line. Harus dipastikan tidak terdapat cairan lain dalam jarum arteri tersebut. Jangan mengambil sampel jika HD sudah berjalan.
b. Pengambilan sampel BUN sesudah HD. Pengaruh resirkulasi akses-vaskuler dan resirkulasi kardiopulmonal serta pengaruh teori double-pool sangat menentukan saat yang paling tepat pengambilan sampel untuk pemeriksaan BUN sesudah HD. Jika menganut teori double-pool maka saat paling tepat pengambilan sample setelah 30-60 menit pasca-HD, dimana telah terjadi equilibrium. Tetapi secara praktis hal ini sukar karena penderita selesai HD harus menunggu cukup lama. Geddes CCdkk (2000) dalam penelitiannya setelah 4 menit berhentinya aliran dialisat tidak ada perbedaan konsentrasi ureum antara sampel dari arteri dan vena. Cara yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Setelah waktu HD berakhir hentikan pompa dialisat, turunkan UF sampai 50 ml/jam atau matikan. 2. Turunkan kecepatan pompa aliran darah sampai 50-100 ml/menit selama 15 detik 3. Ambil sampel darah dari jalur aliran arteri. 4. Hentikan pompa darah dan kembali pada prosedur penghentian HD. 5. Cara lain menghentikan pompa aliran darah setelah dilambatkan 50 ml/menit selama 15 detik. 6. Klem pada jalur arteri dan vena, sampel diambil dari jalur arteri.
2.3. Faktor-faktor Pendukung Adekuasi Sebelum HD dilaksanakan perlu dibuat suatu peresepan (prescription) dosis HD tersebutdan selanjutnya membandingkannya dengan hasil HD yang telah dilakukan untuk menilai adekuatnya suatu tindakan HD. Peresepan hemodialisis bersifat individual, karena setiap penderita HD berbeda dalam hal berat badan, volume distribusi ureum, jenis dializer yang dipakai, kecepatan aliran darah (QB), kecepatan aliran dialisat (QD), jenis dialisat, lama waktu HD(t) dan ultrafiltrasi yang dilakukan. 1.
Akses Vaskuler Vascular access adalah istilah yang berasal dari bahasa inggris yang berarti jalan untuk memudahkan mengeluarkan darah dari pembuluhnya untuk keperluan tertentu, dalam kasus gagal ginjal terminal adalah untuk proses hemodialisis. Alasan Pemasangan
Universitas Sumatera Utara
Vaskular Akses Pemasangan Vaskular diharapkan dapat memudahkan dokter dan perawat untuk melakukan akses atau penusukan sehingga lebih mudah dan mengurangi resiko dari penusukan yang dilakukan pada tempat lain seperti area femoral. Ada 2 tipe tusukan vaskuler yaitu tusukan vaskuler sementara dan permanen. a.
Akses vaskuler Permanen Belding H. Scribner dkk. Pertama kali menggunakan akses vaskular permanen berbentuk external arteriovenous (AV) shunt. Kelemahan tehnik ini sering menimbulkan masalah; infeksi, ruptur akibat trauma dan sering menggangu aktifitas sehari-hari.Cimino dan Brescia (1966) menganjurkan tehnik baru yaitu internal arteriovenous (AV) shunt. Konsep fistula yangpertama kali dikembangkan yaitu side to side anastomosis dengan diameter antara 6-8mm (Sukandar,2006).
Gambar 2.2: cimino shunt
Universitas Sumatera Utara
b. Akses Vaskuler Sementara Metoda ini melalui dua pembuluh darah vena yaitu vena femoral dan vena interna jugular.Hampir semua pasien di Indonesia untuk inisiasi hemodialisa melalui akses vena femoralis dengan jarum khusus. Kerugian dari metoda ini, pasien kurang nyaman karena tidak boleh bergerak selama proses dialisis berjalan dan kemungkinan perdarahan bila salah sasaran tusukan (arteri femoral). Akses vaskular melalui vena jugular interna dengan menggunakan silastic twin catheter atau double lumen catheter (CDL) merupakan metoda yang cukup memuaskan dan nyaman untuk pasien. Tehnik ini dapat digunakan beberapa minggu hingga akses vaskular permanen siap untuk digunakan (Sukandar,2006).
Gambar 2.3:Catheter Double Lumen
2. Dializer Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Material
Universitas Sumatera Utara
membran dializer dapat terbuat dari Sellulose, Sellulose yang disubstitusi, Cellulosynthetic, Synthetic. Spesifikasi dializer yang dinyatakan dengan Koeffisient ultrafiltrasi (Kuf) disebut jugadengan permiabilitas air. Besarnya permiabilitas membran dializer terhadap air bervariasi tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah cairan (ml/jam) yang berpindah melewati membran per mmHg perbedaan tekanan (pressure gradient) atau perbedaan TMP yang melewati membran. Dializer ada yang terdiri dari high efficiency dan high flux.Dializer high efificiency adalah dializer yang mempunyai luas permukaan membran yang besar. Dializer high flux adalah dializer yang mempunyai pori-pori besar yang dapat melewatkan molekul yang besar, dan mempunyai permiabilitas terhadap air yang tinggi. Ada 3 tipe dializer yang siap pakai, steril dan bersifat disposible yaitu bentuk hollow-fiber (capillary) dializer, parallel flat dializer dan coil dializer. Setiap dializer mempunyai karakteristik tersendiri untuk menjamin efektifitas dan menjaga keselamatan penderita.
Gambar 2.4: Dializer (artificial kidney)
Universitas Sumatera Utara
3. Durasi Hemodialisa Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4– 5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15 jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Hemodialisa regeluer dikatakan cukup bila dilaksanakan secara teratur, berkesinambungan, selama 9-12 jam setiap minggu (Suwitra, 2010).
4. Anti Koagulasi Selama dilakukan tindakan hemodialisa, diperlukan pemberian antikoagulasi agar tidak terjadi pembekuan darah didalam sirkuit ekstrakorporeal sehingga akan mempengaruhi kecepatan aliran darah (blood flow) yang melewati dializer (PERNEFRI,2003). Dializer bersifat thrombogenic dan memerlukan anti koagulan, baik untuk pasien maupun untuk sirkuit darah (extracorporeal). Heparinisasi yang tidak adekuat dapat menyebabkan pembentukan thrombus yang dapat mengurangi luas permukaan dialyzer disertai penurunanclearance dan ultrafiltration (Sukandar,2006).
Universitas Sumatera Utara
5. Larutan Dialisat a. Dialisat Asetat Dialisat asetat telah dipakai sebagai dialisat standard untuk mengoreksi asidosis uremikum dan mengimbangi kehilangan bikarbonat secara difusi selama HD. Dialisat asetat tersedia dalam bentuk konsentrat yang cair dan relatif stabil. Dibandingkan dengan dialisat bikarbonat, maka dialisat asetat efek sampingnya lebih banyak. Efek samping yang sering seperti mual, muntah, kepala sakit, otot kejang, hipotensi, gangguan hemodinamik, hipoksemia, koreksi
asidosis
menjadi
terganggu,
intoleransi
glukosa,
meningkatkan pelepasan sitokin.
b. Dialisat Bikarbonat Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu larutan asam dan larutan bikarbonat. Kalsium dan magnesium tidak termasuk dalam konsentrat bikarbonat oleh karena konsentrasi yang tinggi dari kalsium, magnesium dan bikarbonat dapat membentuk kalsium dan magnesium karbonat. Konsentrasi bikarbonat yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan alkalosis metabolik yang akut. Namun dialisat bikarbonat bersifat lebih fisiologis walaupun relatif tidak stabil. Biaya untuk sekali HD bila menggunakan dialisat bikarbonat relatif lebih mahal dibanding dengan dialisat asetat.
Universitas Sumatera Utara
6. Mesin Hemodialisa Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa. Mesin HD terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler kepada dializer. Kecepatan (QB) dapat diatur biasanya antara 200-300 ml/menit. Untuk pengendalian ultrafiltrasi diperlukan tekanan negatif.Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan dialisat. Sistem monitoring setiap mesin HD sangat penting untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan keselamatan penderita.
Gambar 2.5: Mesin HD
2.4. Pemantauan Selama Dialisis a.
Koagulasi Secara visual, darah dalam sirkuit ekstrakorporeal berwarna sangat tua, dalam dializer terlihat garis-garis merah, dalam drip chamber terlihat busa dan pembentukan bekuan darah (PERNEFRI,2003).
Universitas Sumatera Utara
b.
Tekanan Darah Hipertensi biasanya dipengaruhi oleh renin ataupun beberapa faktor lain yang belum diketahui, pada penderita ini tekanan darah dapat meningkat selama dialisis, walaupun cairan dihilangkan. Pada beberapa penderita pada waktu HD dapat terjadi hipotensi intradialisis, penderita ini perlu penghentian medikasi tekanan darah pada hari dialisis. Tekanan darah dan denyut nadi diukur tiap 30 sampai 60 menit. Keluhan pusing ataupun perasaan lemah menunjukkan hipotensi. Gejala-gejala hipotensi dapat tidak kentara, dan kadang asimtomatis sampai tekanan darah jatuh ketingkat yang membahayakan.
c.
Suhu Demam yang timbul sebelum dialisis merupakan temuan yang serius perlu dicari penyebabnya. Manifestasi infeksi pada penderita dialisis sering tidak kentara. Kenaikan suhu sekitar 0,5 derajat selama dialisis adalah normal
d.
Daerah Akses Vaskuler Daerah akses vaskuler harus dipastikan dari tanda-tanda infeksi sebelum dialisis.
2.5. Pemeriksaan Laboratorium Menurut konsensus PERNEFRI (2003), pemeriksaan laboratoriumuntuk evaluasi jangka panjang pada penderita dialisis, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a.
Setiap pasien baru dilakukan penilaian yang meliputi pemeriksaan fisik lengkap dan penunjang sebagai berikut: Darah perifer lengkap, Elektrolit darah (Na, K, Cl, Ca, P), HBs Ag, Anti HCV, Viral marker (HIV), Foto dada dan EKG.
b.
Bila tidak ada indikasi khusus, maka dilakukan pemeriksaan sesuai jadwal berikut: 1. Na, K, Ca,P, Ureum, Kreatinin (setiap 3 bulan) 2. Serum Iron (SI), (TIBC), ferritin. 3. HBs Ag, anti HCV, AGD, EKG (setiap 6 bulan) 4. Echocardiografi (setiap 3 tahun)
c.
Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan adalah: 1. Mg (khusus untuk aritmia) dan PTH setiap tahun. 2. Radiologi, densitometer tulang dan HIV pada keadaan khusus.
2.6. Komplikasi Hemodialisa Menurut sukandar (2006) komplikasi selama prosedur HD dapat berhubungan dengan tehnik dan non tehnik, tindakan monitoring selama proses HD sangatlah diperlukan. Adapun berbagai komplikasi tersebut. Komplikasi Tehnik Mesin HD yang canggih dilengkapi dengan sistem monitoring
dan
alarm untuk mencegah resiko tehnik. RESIKO TEHNIK Udara masuk ke dalam sirkuit
PRESENTASI KLINIK Emboli udara
Universitas Sumatera Utara
Dialisat hipotonik
Hemolisis masif
Dialisat hipertonik
Hipernatremia,
haus,
sakit
kepala,kejang Dialisat overheated
Hemolisis dan pembekuan darah
Hard water syndrome
Hiperkalsemia
akut,
sakit
kepala,
hipertensi, kejang. Diskoneksi tabung darah
Perdarahan, kolapse
a. Komplikasi Non Tehnik Beberapa komplikasi tehnik selama prosedur HD tidak jarang ditemukan dan sangat mengganggu kenyamanan pasien. Komplikasi sering dialami pasien HD diantaranya: hipotensi(20-30%), kram otot (5-20%), mualmuntah (5-15%), sakit kepala (5%) menggigil kurang dari 1%.
Universitas Sumatera Utara