2 Tinjauan Pustaka 2.1 Membran 2.1.1 Pengertian membran Secara umum, membran didefinisikan sebagai suatu lapisan tipis selektif dan semipermeabel yang berada diantara dua fasa, yaitu fasa umpan dan fasa permeat (Gambar 2.1). Fasa umpan atau konsentrat mengandung komponen yang tertahan sedangkan fasa permeat mengandung komponen yang lolos melalui membran. Pemisahan dicapai karena membran mempunyai kemampuan untuk melewatkan suatu komponen, yang ukurannya lebih kecil dari pori membran pada fasa umpan lebih baik daripada komponen lain yang ukurannya lebih besar dari pori membran. Ini mungkin terjadi melalui mekanisme yang bervariasi. Kinerja atau efisiensi membran ditentukan oleh dua parameter yaitu selektifitas dan laju alir (fluks) melalui membran (Mulder, 1996).
Gambar 2.1. Proses pemisahan pada membran (Mulder, 1996)
2.1.2 Klasifikasi membran Membran dapat diklasifikasikan berdasarkan: 1. Material membran a.
Membran alam adalah membran yang terdapat pada jaringan tubuh makhluk hidup, yang berfungsi untuk melindungi sel dari pengaruh lingkungan dan membantu proses metabolisme dengan sifat permeabilitasnya.
4
b.
Membran sintetik adalah membran yang dibuat dengan reaksi kimia dan digunakan untuk tujuan tertentu. Membran ini terdiri atas dua jenis yaitu membran organik dan anorganik.
2. Morfologi membran a.
Membran simetris merupakan membran yang memiliki struktur dan ukuran pori yang seragam dengan ketebalan 10-200 μm. Membran ini terdiri atas membran berpori dan membran rapat. Gambar 2.2 menunjukkan penampang lintang membran simetri.
b.
Membran asimetris merupakan membran yang memiliki struktur dan ukuran pori tidak seragam. Bagian atas membran (lapisan aktif) memiliki pori berukuran kecil dan rapat, dengan ketebalan lapisan 0,1-1 μm. Sedangkan bagian bawah membran (lapisan penyangga/pendukung) memiliki pori yang berukuran besar, dengan ketebalan 1-150 μm. Membran ini mengkombinasikan selektifitas yang tinggi dari membran rapat dan laju permeasi yang tinggi dari membran yang sangat tipis. Ketahanan terhadap transfer massa sebagian besar ditentukan oleh lapisan atas yang tipis. Gambar 2.2 menunjukkan penampang lintang membran asimetri. Membran Simetris Membran mikropori isotropik
Membran rapat tak berpori
Membran Asimetris
Membran asimetris Loeb-Sourirajan
Membran asimetris komposit
Gambar 2.2. Penampang membran simetris dan asimetris (Mulder, 1996) 3. Struktur dan prinsip pemisahan a.
Membran berpori: Membran ini biasa digunakan untuk mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi. Untuk mikrofiltrasi, ukuran pori berkisar antara 0,1-10 μm sedangkan untuk ultrafiltrasi berkisar antara 2-100 nm. Prinsip pemisahan membran ini didasarkan atas perbedaan 5
ukuran partikel. Selektifitas yang tinggi dapat diperoleh ketika ukuran zat terlarut atau ukuran partikel relatif besar terhadap ukuran pori membran. b.
Membran tak berpori: Membran dari kelas ini berpotensi untuk memisahkan molekul dengan ukuran yang hampir sama satu sama lain. Pemisahan terjadi melalui perbedaan kelarutan dan perbedaan difusitas. Sifat intrinsik dari material membran menentukan selektifitas dan permeabilitas. Membran seperti ini digunakan untuk pervaporasi dan pemisahan gas.
c.
Membran cair berpendukung: Pada membran ini, adanya molekul pembawa sangat menentukan selektifitas pemisahan. Pemisahan tidak ditentukan oleh material membran tapi oleh molekul pembawa yang memfasilitasi transpor secara spesifik. Membran ini biasa digunakan untuk memisahkan gas, cairan, ion-ion, dan partikel non-ionik.
2.2 Membran Kopolimer Akrilonitril-Glisidil metakrilat Membran dapat dibuat dari sejumlah besar material yang berbeda. Membran sintetik dapat dibedakan kedalam membran organik (polimer) dan anorganik. Kelas yang paling penting dari material membran organik adalah polimer atau makromolekul. Polimer merupakan komponen dengan berat molekul tinggi yang dibangun dari sejumlah unit dasar, monomer. Sejumlah unit struktural digabungkan bersama-sama untuk membentuk molekul rantai panjang.
2.2.1 Poliakrilonitril Poliakrilonitril (PAN) merupakan polimer hasil sintesis secara kimia dari monomer akrilonitril (AN). Reaksi polimerisasi PAN ditunjukkan pada Gambar 2.3. Polimerisasi AN secara karakteristik berbeda dengan reaksi polimerisasi vinil yang lain. AN larut dalam banyak pelarut organik dan air. Sebaliknya, PAN tidak larut dalam kebanyakan pelarut organik, air dan monomernya. Oleh sebab itu, reaksi polimerisasi AN merupakan polimerisasi yang heterogen. Selama ini jenis polimerisasi AN yang sering digunakan adalah polimerisasi larutan, polimerisasi dispersi dan polimerisasi suspensi. Berdasarkan pada kelarutan AN dan ketidaklarutan PAN dalam air, perbedaan antara ketiga jenis polimerisasi itu menjadi sangat tipis. Polimerisasi dalam fasa cair tidak begitu disukai karena endapan polimerisasi radikalnya memberikan massa molekul yang rendah. 6
Gambar 2.3. Polimerisasi akrilonitril Struktur PAN sangat unik. Hal ini didasarkan pada kuatnya interaksi dipol-dipol antara intramolekul gugus nitril dengan tetangganya pada posisi paralel (Gambar 2.4). Konformasi tulang punggung polimernya menyerupai heliks yang tak teratur. Interaksi tarikan yang kuat dipol-dipol antara gugus nitril dari rantai yang berbeda menyebabkan terbentuknya orientasi paralel.
Gambar 2.4. Interaksi dipol PAN Dalam industri karbon fiber, PAN diakui sebagai prekursor karbon fiber yang paling penting. Dia mendominasi lebih dari 90% penjualan diseluruh dunia. Beberapa keuntungan fiber PAN meliputi derajat orientasi molekular tinggi, titik leleh tinggi (fiber PAN cenderung terdekomposisi sebelum titik lelehnya, Tm = 317-330 0C) dan menghasilkan fiber karbon yang lebih bagus. Fiber PAN memiliki stabilitas termal dan sifat mekanik yang baik (Saufi et.al, 2002). Keunggulan-keunggulan yang dimiliki PAN menjadikannya sebagai salah satu polimer serbaguna untuk dibuat membran berdasarkan pada sifat resistan pelarut yang baik (Kim et al, 2002). Sebagai membran, PAN umumnya dimanfaatkan untuk proses ultrafiltrasi. Meskipun gugus nitril menjadi gugus polar yang sangat kuat, membran dari polimer ini tidak terlalu hidrofilik. Komonomer seperti vinil asetat atau metil metakrilat sering ditambahkan untuk meningkatkan fleksibilitas rantai, hidrofilisitas dan kinerja proses.
7
2.2.2 Poliglisidil metakrilat Poliglisidil metakrilat (PGMA) merupakan polimer sintetik yang tersusun dari monomer glisidil metakrilat. Monomer glisidil metakrilat (GMA) mempunyai dua gugus fungsi, yaitu gugus epoksi dan akrilat. Dalam desain polimer, GMA memberikan fleksibilitas yang baik. Kinerja seperti ketahanan terhadap cuaca dan kimia dapat didesain dari monomer yang sama. Sifat versatilitas GMA memungkinkan GMA digunakan sebagai resin dan bahan pelapis. Gambar 2.5 menunjukkan struktur monomer GMA.
Gambar 2.5. Struktur GMA PGMA dapat dibuat melalui metode yang bervariasi. Umumnya, inisiator radikal bebas dibutuhkan
untuk
menginduksi
reaksi
polimerisasi.
Polimerisasi
larutan
dengan
menggunakan pelarut yang dapat melarutkan PGMA lebih sering dilakukan. Polimerisasi GMA secara radikal hanya terjadi pada ikatan rangkap metakriliknya saja sedangkan gugus fungsi oksirannya tidak dipengaruhi (Wanga et.al, 2002). Keistimewaan dari polimer ini terletak pada gugus anting-anting epoksida yang dapat direaksikan kedalam sejumlah reaksi kimia secara luas sehingga memberikan kesempatan untuk modifikasi kimia dari polimer induk untuk berbagai macam aplikasi. Sebagai contoh, kopolimer dengan bahan dasar GMA telah digunakan untuk pengikatan enzim dan spesi aktif secara biologi yang lainnya. Reaktifitas yang tinggi dari gugus epoksida disebabkan oleh tegangan cincin tiganya. Selain itu, gugus fungsi epoksi pada GMA memungkinkan untuk terjadinya reaksi ikatan silang dengan polimer yang mengandung amina, asam karboksilat, dan hidroksi (Kazem, 2006). Modifikasi struktur pada polimer GMA dapat memberikan kinerja dan sifat polimer yang lebih baik. Gambar 2.6 menunjukkan contoh tipe reaksi kimia dari GMA.
8
Gambar 2.6. Tipe reaksi GMA
2.2.3 Kopolimer akrilonitril-glisidil metakrilat (PAN-GMA) Membran kopolimer akrilonitril-glisidil metakrilat (PAN-GMA) merupakan membran yang dibuat dari kopolimer akrilonitril dengan glisidil metakrilat melalui polimerisasi radikal. Teknik polimerisasi yang paling umum digunakan untuk sintesis kopolimer ini adalah polimerisasi larutan. Gambar 2.7 menunjukkan struktur dari PAN-GMA. Membran dari kopolimer ini disiapkan sebagai membran ultrafiltrasi. Membran dari kopolimer ini memiliki katahanan yang baik terhadap panas, asam, dan tumbukan. Membran PAN-GMA ini stabil pada rentang pH 2-11 dan temperatur sampai 900C. Rentang pH yang cukup lebar dan temperatur yang rendah memungkinkan membran ini digunakan pada kondisi operasi yang mudah. Membran ini juga sangat mudah pembuatannya karena membran tidak perlu pengeringan pada suhu tinggi, hanya pada suhu ruang saja. Selain itu, polimer yang terbentuk memiliki sifat termoplastik (Hans-George et.al, 2002). Sifat-sifat unggul tersebut menjadikan membran kopolimer ini sangat cocok untuk berbagai aplikasi industri.
Gambar 2.7. Struktur PAN-GMA Akrilonitril telah dipilih sebagai komonomer utama berdasarkan pada kemudahannya dipolimerisasi dengan variasi komonomer yang luas dan sifat pembentukan film yang lebih 9
baik. Glisidil metakrilat mengandung gugus epoksi telah dikopolimerisasi dengan akrilonitril untuk memberikan variasi kopling kimia/aktivasi untuk imobilisasi enzim. (Godjevargovaa, 1999)
2.3 Teknik Pembuatan Membran Semua jenis material sintetik yang berbeda dapat digunakan untuk pembuatan membran. Materialnya bisa berupa anorganik seperti logam, keramik, gelas atau organik mencakup semua polimer. Tujuannya adalah untuk memodifikasi material melalui teknik yang cocok untuk memperoleh struktur membran dengan morfologi yang cocok untuk pemisahan yang spesifik. Tidak setiap masalah pemisahan bisa diselesaikan dengan semua jenis material. Sejumlah teknik tersedia untuk pembuatan membran sintetik. Beberapa teknik ada yang bisa digunakan untuk membuat membran baik anorganik maupun organik. Teknik pembuatan yang paling penting diantaranya (Mulder, 1996): 1. Sintering Bahan membran yang dipakai adalah bubuk yang memiliki ukuran partikel tertentu. Bubuk tersebut ditekan dan dipanaskan pada suhu yang tinggi, sehingga antarmuka partikel yang berdekatan akan menghilang dan timbul pori-pori. Metode ini digunakan untuk menghasilkan membran mikrofiltrasi organik dan anorganik yang berpori, dengan ukuran pori antara 0,1-10 μm. 2. Stretching Pada metode ini film yang terbuat dari polimer semikristalin ditarik searah dengan arah ekstrusi, sehingga bagian kristalin dari polimer terletak sejajar dengan arah ekstrusi. Porositas membran yang dihasilkan dengan metode ini lebih banyak dibandingkan dengan metode sintering. Pori yang terbentuk berukuran antara 0,1-3 μm. 3. Track-etching Metode ini juga dikenal sebagai metode litografi. Film dari polimer ditembak dengan partikel radiasi berenergi tinggi pada arah tegak lurus terhadap film. Partikel radiasi akan membentuk lintasan pada matriks film. Pada saat film dimasukkan ke dalam bak asam atau basa, maka film polimer akan terbentuk sepanjang lintasan. Pori yang dihasilkan berukuran seragam (simetri) dan distribusi pori sempit (porositas menurun). Ukuran pori yang diperoleh berkisar antara 0,02-10 μm.
10
4. Template leaching Teknik ini dilakukan dengan melepas salah satu komponen film, sehingga dihasilkan membran berpori. Sebagai contoh, leburan homogen dari tiga komponen sistem (Na2O-B2O3SiO2) didinginkan dan sistem akan memisah menjadi dua fasa. Fasa pertama adalah fasa yang tidak larut dan mengandung SiO2, sedangkan fasa kedua adalah fasa yang larut. Fasa kedua ini dilepas dengan penambahan asam atau basa. Ukuran pori yang dihasilkan bervariasi dengan ukuran minimium sekitar 5 nm. 5. Coating Polimer membran yang rapat akan menghasilkan nilai fluks yang rendah. Untuk meningkatkan laju fluks, maka ketebalan membran harus diperkecil dengan membentuk membran komposit. Membran komposit terdiri atas dua material. Material yang sangat selektif diletakkan di bagian atas membran. Selektivitas membran akan ditentukan oleh lapisan atas ini. Sedangkan pada lapisan bawahnya dilapisi dengan material berpori besar. Coating dapat dilakukan dengan cara dip coating, polimerisasi plasma, polimerisasi antar muka, dan polimerisasi in-situ. 6. Inversi fasa Inversi fasa adalah proses transformasi polimer dari fasa cair ke fasa padat dengan kondisi terkendali. Proses pengendapan diinisiasi oleh keadaan transisi dari satu cairan menjadi dua cairan yang saling campur (liquid-liquid demixing). Selama pencampuran, salah satu fasa cair yang mangandung polimer berkonsentrasi tinggi akan memadat dan membentuk matriks sehingga morfologi membran dapat diatur. Teknik inversi fasa pertama kali diperkenalkan oleh Sidney Loeb dan Srinivasa Sourirajan. Teknik ini kemudian disebut teknik Loeb-Sourirajan. Teknik ini menghasilkan membran asimetrik dengan ukuran pori yang bervariasi. Pembentukan membran pada teknik ini melalui beberapa tahap. Pertama, pembuatan larutan cetak yang homogen, pencetakan larutan cetak, penguapan pelarut secara parsial pada lapisan atas, dan terakhir pengendapan polimer dalam bak koagulan yang berisi non pelarut.
Polimer yang digunakan harus
memiliki kelarutan yang rendah dalam non pelarut. Kelarutan polimer dalam non pelarut berpengaruh terhadap pori yang terbentuk. Semakin tinggi kelarutan polimer dalam non pelarut, semakin besar pori yang terbentuk. Pori yang terbentuk juga dipengaruhi oleh konsentrasi polimer dalam larutan cetak. Semakin tinggi konsentrasi polimer, pori yang terbentuk semakin rapat (Mulder, 1996). Konsep inversi fasa mencakup rentang beberapa teknik yang berbeda, seperti penguapan pelarut, pengendapan dengan pengendalian penguapan, pengendapan termal, pengendapan 11
fasa uap, dan pengendapan dengan pencelupan. Teknik inversi fasa yang paling umum dilakukan adalah pengendapan dengan pencelupan (immersion precipitation).
2.4 Transpor pada Membran Membran merupakan suatu penghalang selektif diantara 2 fasa homogen. Molekul atau partikel dapat ditransporkan melalui membran dari fasa satu ke fasa lain karena adanya gaya yang bekerja pada molekul atau partikel.
Frata − rata =
ΔX l
(2.1)
Dengan Frata-rata adalah gaya dorong yang bekerja pada membran. Ketika gaya dorong ini dijaga tetap, akan terjadi suatu aliran melalui membran setelah keadaan mantap tercapai. Disini hubungan proporsional antara fluks (J) dan gaya dorong (F) mengikuti persamaan: Fluks (J) = Faktor proporsional (A) x Gaya Dororng (F)
(2.2)
Faktor proporsional A menunjukkan seberapa cepat komponen ditransporkan melalui membran. Jika komponen i ditransferkan dari fasa umpan ke fasa permeat, ada tiga tahap yang terjadi secara umum; transpor dari fasa umpan ke membran, kemudian difusi melalui membran diikuti oleh transfer dari membran ke fasa permeat. Fluks komponen i dengan baik sekali diungkapkan dalam bentuk koefisien transfer massa total (Mulder, 1996): Ji = kov,i Δci dengan
1 k ov ,i
=
1 k i ,umpan
+
1 k i ,membran
+
(2.3)
1 k i , fasaPenerima
Tabel 1 menunjukkan beberapa tipe pemisahan berdasarkan gaya yang bekerja pada membran. Tabel 1. Klasifikasi proses membran (Baker, 2004) Tekanan
Konsentrasi
Temperatur
Potensial Elektrik
Mikrofiltrasi
Pervaporasi
Termo-osmosis
Elektrodialisis
Ultrafiltrasi
Pemisahan gas
Membran distilasi
Elektro-osmosis
Nanofiltrasi
Permeasi uap
Reverse osmosis
Dialisis
Elektrolisis membran
12
Dua beda potensial yang penting pada proses membran adalah perbedaan potensial kimia (Δμ) dan perbedaan potensial listrik (ΔF). Adapun transpor pada membran bisa terjadi melalui dua mekanisme yaitu transpor pasif dan aktif. Pada transpor pasif, molekul-molekul berpindah dari potensial tinggi ke potensial rendah (Gambar 2.8). Gaya dorong yang bekerja pada transpor pasif adalah beda potensial .
Gambar 2.8. Proses transpor pasif dalam membran Selama proses transpor malalui membran, gejala fouling mungkin saja terjadi. Fouling akan menyebabkan fluks menurun. Gejala ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu pembentukan gel dan polarisasi konsentrasi. Gel terbentuk dari spesi-spesi yang tertahan oleh membran mengendap pada permukaan membran, sedangkan polarisasi konsentrasi terjadi akibat membesarnya konsentrasi larutan umpan di sekitar permukaan membran (Gambar 2.9). Untuk mengatasi gejala fouling maka larutan umpan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnet. Koloid atau partikel
Larutan ruah
Fouling di permukaan Fouling di dalam membran
Gambar 2.9. Gejala fouling
13
2.5 Karakterisasi Membran Proses membran dapat mencakup berbagai masalah pemisahan dengan membran spesifik (struktur membran) yang dibutuhkan untuk tiap masalah. Jadi, membran mungkin saja berbeda secara signifikan pada struktur dan akibatnya pada fungsionalitasnya. Membran harus dikarakterisasi untuk memastikan penggunaannya pada proses pemisahan dengan tepat. Metode karakterisasi untuk membran berpori dapat dibedakan berdasarkan: a.
Parameter yang berhubungan dengan struktur yang meliputi: penentuan ukuran pori, distribusi ukuran pori, tebal lapisan aktif, dan porositas permukaan.
b.
Parameter yang berhubungan dengan permeasi yang meliputi: penentuan parameter pemisahan menggunakan zat terlarut yang kurang atau lebih tertahan oleh membran (pengukuran ‘cut-off’)
2.5.1 Scanning Electron Microscopy (SEM) SEM merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk karakterisasi membran. SEM memberikan metode yang sederhana dan sangat cocok untuk karakterisasi dan investigasi struktur pori dari membran.
Prinsip dari SEM diilustrasikan Gambar 2.10. SEM
memberikan keseluruhan struktur membran meliptui: permukaan atas, penampang lintang, dan permukaan bawah. Filamen Celah Elektron primer Celah kondensor Celah kondensor Elektron sekunder Detektor
Celah kondensor
Sampel Tempat sampel
Gambar 2.10. Skema proses SEM Berkas elektron dengan energi kinetik 1-25 KV ditembakkan ke sampel membran. Elektron dengan energi tinggi ini disebut elektron primer. Kemudian sampel memantulkan berkas 14
elektron dengan energi yang lebih rendah, disebut elektron sekunder. Elektron yang dipantulkan, kemudian dilepaskan dari atom pada permukaan dan menentukan gambaran dari struktur permukaan yang diteliti. Ketika membran atau polimer ditempatkan dalam berkas elektron, sampel dapat terbakar atau hancur tergantung pada tipe polimer dan tegangan yang digunakan. Ini dapat dihindari dengan melapisi sampel dengan lapisan penghantar, seringkali berupa lapisan emas tipis. Teknik preparasi sangat penting karena menentukan hasil akhir yang diperoleh. Sampel yang basah harus dikeringkan terlebih dahulu, dengan menggunakan unit cryo dan cairan yang memiliki tegangan permukaan lebih rendah daripada air di dalam sampel. Syarat cairan yang digunakan adalah tidak melarutkan sampel polimer (non pelarut). Teknik SEM biasanya dilakukan pada temperatur yang rendah, dengan menghubungkan unit cryo dan mikroskop. Sampel basah dibekukan dengan menggunakan nitrogen cair kemudian dimasukkan ke dalam unit cryo (Mulder, 1996).
15