2 Tinjauan Pustaka 2.1 Teknologi Membran Membran telah mendapat tempat yang penting di dalam teknologi kimia dan aplikasinya telah digunakan secara luas. Sifat utama membran yang menjadi kunci pemanfaatan membran secara luas adalah kemampuannya untuk mengontrol laju permeasi suatu spesi kimia yang berbeda-beda. Dalam aplikasi pemisahan, tujuan penggunaan membran adalah untuk meloloskan satu komponen dari suatu campuran, melewati bagian membran secara bebas ketika laju permeasi komponen lain terhalang (Baker, 2004). Teknologi membran mulai dipelajari dan diteliti pada abad ke-18 oleh para ilmuwan filsafat. Ilmuwan pertama yang memelopori adalah Abbe Nolet. Nolet menggunakan kata ‘osmosis’ untuk menggambarkan permeasi air melewati diafragma pada tahun 1748. Pada sekitar abad 19 dan awal abad 20, belum ditemukan adanya penggunaan membran untuk industri ataupun untuk aplikasi komersial lainnya. Saat itu, membran hanya digunakan sebagai alat di laboratorium untuk mengembangkan teori kimia dan fisika. Sebagai contohnya, pengukuran tekanan osmosis larutan oleh Traube dan Pfeffer dengan memakai membran, digunakan lebih lanjut oleh van’t Hoff untuk mengembangkan hukum larutan idealnya pada tahun 1887, yang sekarang dikenal dengan persamaan van’t Hoff. Pada waktu yang sama, konsep dari membran
selektif
semipermiabel,
digunakan
oleh
Maxwell
dan
lainnya
dalam
mengembangkan teori kinetik gas (Baker, 2004). Peneliti terus melakukan percobaan dengan menggunakan setiap jenis diafragma pada hewan untuk mengembangkan teknologi membran hingga dipilih membran nitroselulosa yang bersifat reprodusibel. Di tahun 1930, membran mikropori mulai dikomersialkan dan dua puluh tahun kemudian, teknologi membran mikrofiltrasi mulai meluas pada polimer yang lain, seperti selulosa asetat. Aplikasi pertama membran adalah dalam uji minuman pada akhir Perang Dunia II (Baker, 2004).
Pada tahun 1960, walaupun material membran modern telah dikembangkan, tetapi teknologi membran hanya digunakan dengan skala kecil pada beberapa laboratorium, khususnya di aplikasi industri. Hal ini disebabkan membran memiliki empat kelemahan utama, yaitu teknologi membran tidak akurat, memakan waktu terlalu lama, tidak selektif dalam pemisahan, dan terlalu mahal. Namun akhirnya membran dari skala laboratorium dapat dikembangkan menuju aplikasi dalam proses industri dan keempat permasalahan utama membran dapat dipecahkan dengan penelitian Loeb-Sourirajan. Loeb-Sourirajan membuat membran osmosa balik anisotropik yang bernilai fluks tinggi dan bebas dari cacat. Membran tersebut merupakan film yang sangat tipis, memiliki permukaan yang selektif permiabel dan berukuran mikropori serta memiliki kekuatan mekanik yang tinggi. Nilai fluks pertama dari membran osmosa balik Loeb-Sourirajan, 10 kali lebih tinggi daripada membran lain yang telah ada. Hal ini membuat membran osmosa balik sangat berpotensi untuk proses desalinasi air. Penelitian ini menghasilkan nilai komersial bagi membran osmosa balik dan membuka jalan bagi perkembangan ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi (Baker, 2004). Teknologi membran banyak mengalami perubahan selama periode 1960-1980. Dengan menggunakan teknik dasar Loeb-Sourirajan, perkembangan membran terus dilakukan untuk menghasilkan membran berkualitas tinggi. Kemasan membran pun berkembang dengan variasi bentuk, seperti spiral wound, hollow fiber, kapiler, plat, dan modul untuk memaksimalkan penggunaan membran. Prinsip teknologi membran semakin maju hingga dihasilkan membran untuk proses pemisahan gas. Teknologi membran pemisahan gas (pervaporasi) ini sangat cepat berkembang dan meluas. Sekarang, telah banyak industri yang memproduksi membran dengan lapisan selektif hingga berukuran kurang dari 0,1 µm. Jenis membran pemisah, seperti mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, osmosa balik, dan elektrodialisis telah meluas di seluruh industri dunia (Baker, 2004). Teknologi membran banyak digunakan karena proses pemisahannya memiliki banyak keuntungan, di antaranya adalah tidak memerlukan zat-zat kimia tambahan; prosesnya kontinu; temperatur operasional dan konsumsi energinya rendah; non-destructive atau tidak akan merusak sampel dan komponen yang akan dipisahkan; teknologinya steril sehingga tidak menimbulkan masalah polusi baru; bersifat lebih kompetitif; sangat spesifik, yaitu membran dapat disesuaikan sesuai kebutuhan yang diinginkan dan mudah dikombinasikan dengan proses pemisahan lain (proses hibrid); dan peningkatan kapasitas (up-scale) pada membran mudah dilakukan (Mulder, 1996).
5
Di samping keuntungan dan kelebihan yang dimiliki, membran juga memiliki beberapa kekurangan, di antaranya adalah adanya fenomena polarisasi konsentrasi atau membran fouling sehingga membran perlu dicuci secara berkala. Membran fouling merupakan masalah serius di dalam sistem pemisahan dengan membran, terutama pada membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi. Fouling adalah proses terbentuknya endapan di atas membran, akibat penyumbatan lubang pori pada permukaan membran oleh partikel padat atau larutan berpartikel besar dalam umpan ataupun akibat penyerangan bakteri dan koloni pada permukaan membran. Membran fouling ini menyebabkan penurunan pada nilai fluks atau kecepatan alir permeat sehingga proses pemisahan menjadi tidak sempurna. Kelemahan lain adalah masa pakai (lifetime) membran terbatas; permeabilitas dan selektivitas membran kecil sehingga perlu adanya optimasi; serta peningkatan kapasitas pada membran tidak terjadi secara linear (Mulder, 1996).
2.2 Definisi Membran Membran dapat didefinisikan sebagai suatu lapisan penghalang tipis semipermiabel yang bersifat selektif dan berada di antara dua fasa (fasa umpan dan permeat). Membran dapat meloloskan suatu spesi kimia tertentu (permeat), tetapi menahan spesi kimia yang lain (retentat). Proses terjadinya pemisahan suatu spesi kimia tersebut perlu adanya gaya dorong, seperti perubahan tekanan (∆P), perubahan konsentrasi (∆C), perubahan potensial kimia (∆µ), dan perubahan potensial listrik (∆E). Gambar 2.1 menunjukkan skema proses pemisahan melalui membran sistem 2 fasa.
Gambar 2. 1 Proses pemisahan pada membran (Mulder, 1996) Membran dapat berukuran tebal atau tipis; strukturnya dapat homogen ataupun heterogen; transpor membran dapat bersifat aktif atau pasif, transpor pasif bekerja dengan menggunakan perbedaan tekanan, konsentrasi atau temperatur. Selain itu, membran bisa berasal dari alam ataupun sintetik dengan bersifat netral atau bermuatan. Ketebalan, struktur, dan sifat membran yang bermacam-macam itu menyebabkan fungsi membran yang berbeda-beda dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan proses pemisahan (Mulder, 1996).
6
2.3 Klasifikasi Membran 2.3.1
Klasifikasi Membran Berdasarkan Morfologi dan Struktur
Berdasarkan morfologi dan strukturnya, pada membran padat terdapat dua tipe membran yang berbeda, yaitu membran simetris dan asimetris. a) Membran Simetris atau Membran Isotropik Membran simetris merupakan membran yang memiliki struktur pori homogen dengan ukuran pori yang relatif sama pada kedua sisi membran. Ketebalan membran simetris, baik yang berpori ataupun tidak adalah sekitar 10-200 µm (Mulder, 1996). Membran simetris dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu membran rapat, membran mikropori, dan membran bermuatan (Baker, 2004). Perbedaan di antara ketiga membran tersebut, diilustrasikan pada Gambar 2.2. Membran mikropori memiliki struktur dan fungsi yang sangat mirip dengan penyaring konvensional. Membran ini mempunyai struktur yang kaku dan pori yang terdistribusi secara acak dengan diameter lebih kecil dari penyaring konvensional, yaitu sekitar 0,01-10 µm. Semua partikel yang berukuran lebih besar dari ukuran pori terbesar membran, akan tertahan seluruhnya pada permukaan membran. Sebaliknya, semua partikel yang berukuran lebih kecil dari ukuran pori terbesar membran tetapi lebih besar dari pori membran terkecil, akan tertahan sebagian oleh membran, sesuai dengan distribusi ukuran pori membran. Apabila ukuran partikel lebih kecil dibandingkan pori membran terkecil, partikel ini dapat dengan bebas keluar dari membran. Jadi, proses pemisahan larutan dengan membran mikropori didasarkan pada ukuran molekul dan distribusi ukuran pori. Secara umum, hanya molekul yang sangat berbeda dalam hal ukuran, dapat dipisahkan secara efektif dengan membran mikropori. Contohnya adalah penggunaan dalam ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi (Baker, 2004). Membran rapat, tidak berpori merupakan suatu film rapat yang menjalani proses pemisahan dengan cara transpor difusi menggunakan tenaga pendorong berupa perbedaan konsentrasi, tekanan, ataupun perbedaan potensial listrik. Pemisahan variasi komponen dari campuran, dihubungkan secara langsung pada laju transpor membran sehingga membran rapat yang tak berpori ini dapat memisahkan partikel berukuran sama jika konsentrasi partikel dalam material membran tersebut berbeda dengan jelas. Membran rapat umumnya digunakan pada proses pemisahan gas, pervaporasi, dan osmosa balik. Biasanya, membran ini memiliki struktur anisotropik (asimetris) untuk meningkatkan nilai fluks (Baker, 2004).
7
Membran bermuatan listrik, bisa memiliki struktur yang mikropori maupun rapat. Akan tetapi, biasanya merupakan membran mikropori dengan dinding pori bermuatan ion positif atau negatif. Membran bermuatan positif dapat mengikat anion sehingga disebut dengan membran pertukaran anion, sebaliknya membran bermuatan negatif dapat mengikat kation sehingga disebut membran pertukaran kation. Pemisahan pada membran yang bermuatan dipengaruhi oleh muatan dan konsentrasi ion pada larutan. Contoh dari aplikasi membran bermuatan ini adalah elektrodialisa (Baker, 2004). Membran simetris mikropori
Membran rapat tak berpori
Membran bermuatan
Gambar 2. 2 Penggolongan membran simetris (Baker, 2004) b) Membran Asimetris atau Membran Anisotropik Kecepatan alir spesi melewati membran berbanding terbalik dengan ketebalan membran. Laju alir tinggi sangat diinginkan dalam proses pemisahan membran sehingga membran perlu dibuat setipis mungkin. Perkembangan teknik membran untuk menghasilkan struktur membran asimetris merupakan salah satu faktor utama terobosan teknologi membran selama 30 tahun belakangan ini (Baker, 2004). Penggolongan membran asimetris ditunjukkan pada Gambar 2.3. Membran asimetris merupakan membran yang mempunyai struktur dan ukuran pori yang heterogen. Membran ini mengkombinasikan selektivitas tinggi dari membran rapat dengan laju permeasi tinggi dari membran tipis sehingga membran asimetris terdiri dari dua lapisan. Lapisan pertama merupakan lapisan kulit yang tipis dan rapat dengan ketebalan 0,1-0,5 µm. Lapisan kedua adalah lapisan pendukung yang lebih tebal dan memiliki ukuran pori lebih besar dengan ketebalan 50-150 µm (Mulder, 1996). Kedua lapisan dapat dibentuk dalam satu kesatuan ataupun terpisah. Dalam membran komposit, kedua lapisan biasanya dibuat dari polimer yang berbeda. Dalam membran cair, pori membran bertindak sebagai lapisan pendukung dan membran disiapkan dengan mengisi pori membran yang bersifat hidrofobik dengan pelarut organik yang sesuai. Selektivitas pemisahan dan laju permeasi membran ditentukan oleh lapisan permukaan membran sedangkan lapisan pendukung bertindak sebagai pemberi kekuatan mekanik. Tingginya nilai fluks yang dihasilkan menyebabkan hampir semua proses komersial menggunakan membran jenis ini (Baker, 2004).
8
Membran cair dengan lapisan pendukung
Membran asimetris Loeb-Sourirajan
Membran komposit asimetris film tipis
matriks polimer
Gambar 2. 3 Penggolongan membran asimetris (Baker, 2004)
2.3.2
Klasifikasi Membran Berdasarkan Sumber untuk Pembuatan Membran
Berdasarkan sumber material untuk pembuatan membran, membran dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu membran alami (biologis) dan membran sintetik. Membran biologis dapat dibagi menjadi dua, yaitu living membran dan non-living membran. Living membran sangat penting dalam kehidupan makhluk hidup. Non-living membran, seperti liposom dan gelembung fosfolipid, semakin penting dalam proses pemisahan, terutama di bidang medis dan biomedis (Mulder, 1996). Membran sintetik dapat dibagi menjadi dua, yaitu membran organik (dalam bentuk polimer maupun membran cair) dan membran anorganik (dalam bentuk keramik dan logam) (Mulder, 1996).
2.3.3
Klasifikasi Membran Berdasarkan Kerapatan dan Ketebalan Membran
Berdasarkan kerapatan dan ketebalannya, membran dibagi menjadi dua, yaitu membran berpori dan membran tak berpori (Gambar 2.4). Berdasarkan diameter pori, membran berpori dibagi lagi menjadi tiga, yaitu makropori (diameter pori > 50 nm), mesopori (2 nm < diameter pori < 50 nm), dan mikropori (diameter pori < 2 nm). Pada membran tak berpori (rapat), ukuran pori tidak dapat ditentukan secara pasti (Mulder, 1996).
9
polimer
Membran tak berpori (pemisahan gas, pervaporasi)
Membran berpori (mikrofiltrasi, ultrafiltrasi)
Gambar 2. 4 Struktur membran rapat (tak berpori) dan berpori (Mulder, 1996)
2.3.4
Klasifikasi Membran Berdasarkan Sifat Fisik dan Kimia
Berdasarkan sifat fisik dan kimianya, membran dapat dibagi dua, yaitu membran bermuatan listrik (membran bermuatan dan tidak bermuatan) dan membran berdasarkan afinitasnya terhadap air (membran hidrofilik dan hidrofob).
2.3.5
Klasifikasi Membran Berdasarkan Proses Pemisahan Partikel
Proses pemisahan dengan membran adalah dengan memisahkan bagian tertentu dari umpan (feed) menjadi retentat dan permeat. Umpan adalah larutan yang berisi satu atau lebih campuran molekul atau partikel yang akan dipisahkan. Retentat adalah bagian yang tertahan pada membran, tidak dapat melewati pori-pori membran sedangkan permeat adalah bagian yang dapat melewati pori membran. Pada membran mikropori, seperti mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi, model pemisahan terjadi berdasarkan ukuran pori yang dimiliki membran. Pada membran rapat, seperti osmosa balik, proses pemisahan terjadi berdasarkan adanya perbedaan kelarutan dan mobilitas larutan partikel dalam membran (Baker, 2004). Proses pemisahan partikel memerlukan adanya suatu gaya dorong, seperti perubahan tekanan (∆P), perubahan konsentrasi (∆C), perubahan potensial kimia (∆µ), ataupun perubahan potensial listrik (∆E). Tabel 2.1 menunjukkan penggolongan proses pemisahan dengan membran berdasarkan gaya dorong yang digunakan, dengan melibatkan komponen umpan yang berupa fasa cair (L) atau gas (G) (Mulder, 1996).
10
Tabel 2. 1 Proses pemisahan membran berdasarkan gaya dorong (Mulder, 1996) Proses Membran
Fasa 1 Fasa 2 Gaya Dorong
Mikrofiltrasi
L
L
∆P
Ultrafiltrasi
L
L
∆P
Nanofiltrasi
L
L
∆P
Osmosa balik
L
L
∆P
Piezodialisa
L
L
∆P
Pemisahan gas
G
G
∆P
Pervaporasi uap
G
G
∆P
Pervaporasi
L
G
∆P
Elektrodialisa
L
L
∆E
Membran elektrolisa L
L
∆E
Dialisa
L
L
∆C
Difusi dialisa
L
L
∆C
Membran kontaktor
L
L
∆C
G
L
∆C/∆P
L
G
∆C/∆P
Termo-osmosa
L
L
∆T/∆P
Membran distilasi
L
L
∆T/∆P
Berdasarkan proses pemisahan partikel dengan gaya dorong berupa tekanan, membran dapat dikelompokkan menjadi mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, dan osmosa balik. Walaupun osmosa balik, ultrafiltrasi, dan mikrofiltrasi merupakan proses pemisahan dengan prinsip yang mirip, namun perbedaan dalam diameter pori, menghasilkan perbedaan yang menonjol dalam cara penggunaan membran tersebut (Baker, 2004). Gambar 2.5 merupakan model sederhana dari suatu aliran larutan partikel yang melewati membran dengan satu rangkaian pori kapiler berdiameter, d. Ukuran diameter pori membran mikrofiltrasi digambarkan sebesar 10.000 A˚. Diameter pori ini 100 kali lebih besar dibandingkan ukuran rata-rata pori ultrafiltrasi dan 1000 kali lebih besar dari ukuran diameter pori membran osmosa balik.
11
Gambar 2. 5 Ukuran pori dari membran osmosa balik, ultrafiltrasi, mikrofiltrasi, dan filtrasi konvensional (Baker, 2004) Oleh karena nilai fluks sebanding dengan ukuran diameter pori, maka nilai fluks per unit tekanan, berbeda untuk tiap jenis membran. Membran mikrofiltrasi memiliki nilai fluks jauh lebih tinggi dibandingkan membran ultrafiltrasi. Begitu juga ultrafiltrasi memiliki nilai fluks yang lebih tinggi dari membran osmosa balik. Perbedaan ini memberikan pengaruh pada pengoperasian tekanan, kemampuan membran menahan suatu molekul, dan cara penggunaan membran tersebut di industri (Baker, 2004). Tabel 2.2 menunjukkan nilai rentang fluks dari aplikasi tekanan pada tiap jenis membran pemisah dan besar kemampuan membran (% rejeksi) untuk menahan larutan garam serta nilai MWCO (Molecular Weight Cut Off), yang merupakan suatu batasan nilai berat molekul yang dapat ditahan oleh membran. Nilai MWCO 50 memiliki arti bahwa membran dapat menahan suatu molekul dengan berat 50.000 hingga 90 % atau lebih (Mulder, 1996). Tabel 2. 2 Nilai fluks dan tekanan dalam variasi proses membran pemisah (Baker, 2004; Mulder, 1996)
Proses Membran
Tekanan (bar)
Fluks (L/m h bar)
Rejeksi MWCO larutan garam (Molecular (NaCl) Weight Cut Off)
Mikrofiltrasi
0,1-2 (<2)
>50
sangat kecil
sangat besar
Ultrafiltrasi
1-5
10-50
< 5%
> 1000
Nanofiltrasi
5-20
1,4-12
20-80%
200-1000
Osmosa Balik
10-100
0,05-1,4
90 %
50
2
12
Mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi adalah membran dengan struktur asimetris yang dibuat dengan proses Loeb–Sourirajan dan mempunyai pori sempurna pada permukaan membran dengan lapisan pendukung berupa mikropori yang lebih terbuka. Pori sempurna di permukaan menunjukkan proses pemisahan, sedangkan pendukung mikropori memberikan kekuatan mekanik. Prinsip mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi adalah sama-sama menggunakan mekanisme penyaringan berdasarkan ukuran pori (Baker, 2004). Secara umum, mikrofiltrasi memiliki ketebalan 10-150 µm dan ukuran pori sekitar 0,05-10 µm. Mikrofiltrasi dapat memisahkan partikel koloid dan bakteri berukuran 0,1-10 µm. Selain itu, membran mikrofiltrasi banyak digunakan di industri untuk sterilisasi pangan, obatobatan; klarifikasi minuman, jus buah, bir, wine; memurnikan H2O; pengolahan air limbah; pemisahan emulsi antara air dan minyak; membran bioreaktor; dan sebagainya. Membran ultrafiltrasi memiliki ketebalan sekitar 150 µm dan ukuran pori 1-100 nm. Membran ultrafiltrasi dapat memisahkan suatu makromolekul, seperti protein. Aplikasi ultrafiltrasi lainnya adalah dalam industri dairy (susu, keju); industri makanan (protein, tepung kentang); industri metalurgi; industri tekstil (pewarnaan); industri farmasi (enzim, antibiotik); otomotif (pengecatan); pengolahan limbah; dan sebagainya (Mulder, 1996). Membran osmosa balik dan membran nanoflitrasi merupakan membran yang digunakan untuk memisahkan larutan dengan berat molekul kecil, seperti garam anorganik atau molekul organik kecil, seperti glukosa dan sukrosa. Kedua membran tersebut memiliki prinsip dasar pemisahan yang sama, yaitu berdasarkan difusi larutan, namun terdapat perbedaan dalam ukuran larutan yang akan dipisahkan dan gaya dorong tekanan yang digunakan (Baker, 2004). Membran osmosa balik merupakan membran asimetris atau membran komposit yang memiliki lapisan atas dengan ketebalan sekitar 150 µm dan lapisan pendukung 1 µm. Membran osmosa balik banyak digunakan dalam proses desalinasi air payau dan air laut; produksi air ultramurni; dalam industri makanan dan dairy, untuk proses pemekatan konsentrasi jus buah, gula, susu; dan sebagainya. Membran nanofiltrasi merupakan suatu perkembangan membran osmosa balik yang memiliki nilai rejeksi dan permeabilitas air yang tinggi. Oleh karena itu, nanofiltrasi merupakan membran komposit yang memiliki dua lapisan dengan ketebalan yang sama dengan membran osmosa balik. Membran nanoflitrasi banyak digunakan dalam proses desalinasi air payau dan air laut; pemisahan mikropolutan; pemurnian air; pemurnian limbah; pemekatan warna (industri tekstil) (Mulder, 1996).
13
2.4 Material Membran dan Sifatnya Membran dapat dibuat dari berbagai material yang berbeda. Membran sintetik dapat dibuat dari material organik dan anorganik. Material organik yang umum digunakan adalah polimer atau makromolekul sedangkan material anorganik yang sering digunakan adalah keramik, logam, gelas. Pada pembuatan membran organik, pemilihan polimer untuk pembuatan membran harus disesuaikan dengan sifat spesifik membran yang akan diperoleh (Mulder, 1996). Membran polimer sintetik dapat dibagi menjadi dua, yaitu membran hidrofobik dan hidrofilik. Contoh material membran polimer hidrofobik adalah politetrafluoroetilen (PTFE, teflon); poliviniliden fluorida (PVDF); polipropilen (PP); polietilen (PE). Contoh material membran
polimer
hidrofilik
adalah
ester
selulosa
(CA);
polikarbonat
(PC);
polisulfon/polietersulfon (PSf/PES); poliimida/polieterimida (PI/PEI); poliamida alifatik (PA); polietereterketon (PEEK). Material membran anorganik yang umum digunakan adalah material membran keramik, seperti alumina (Al2O3); zirkonia (ZrO2); titania (TiO2); silisium karbida (SiC) (Mulder, 1996). Pada pembuatan membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi, material polimer (organik) dan keramik (anorganik) sama pentingnya. Beberapa contoh polimer yang digunakan dalam pembuatan mikrofiltrasi adalah PTFE, PVDF, PP, CA, PC, PES, PI, PEI, PA, Al2O3, ZrO2 sedangkan pada ultrafiltrasi biasa digunakan PSf, PES, PVDF, CA, PEI, PI, PA, Al2O3, ZrO2. Pada pembuatan membran osmosa balik dan nanofiltrasi, material polimer hidrofilik merupakan pilihan utama karena dibutuhkan permeabilitas tinggi terhadap air untuk proses desalinasi air laut. Beberapa contoh material hidrofilik yang sering digunakan adalah poliamida aromatik, selulosa triasetat, PA, polieter urea (Mulder, 1996). Pada umumnya, membran hidrofilik merupakan membran yang memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap fouling dan dapat mempertahankan permeabilitas tetap tinggi jika dibandingkan dengan membran hidrofobik (Baker, 2004). Oleh karena itu, seringkali material polimer yang larut dalam air ditambahkan pada larutan casting membran hidrofobik sehingga dapat memberikan sifat hidrofilik pada permukaan membran hidrofobik tersebut. Sifat membran hidrofilik ini sangat baik digunakan dalam proses pemisahan yang mengandung air karena membran hidrofilik ‘suka’ dengan air sehingga kandungan lain di dalam air dapat dengan mudah terpisahkan. Contohnya adalah dalam proses pemurnian air; pengolahan air limbah seperti pemisahan air-minyak, desalinasi; dan sebagainya (Gomez et al., 2003). Pada penelitian ini dilakukan pembuatan membran nata-de-coco yang merupakan membran dengan material polimer hidrofilik. Membran nata-de-coco ini diharapkan dapat menghasilkan permeabilitas dan selektivitas yang baik.
14
2.5 Teknik Pembuatan Membran Pada umumnya, teknik yang digunakan dalam proses pembuatan membran ada lima, yaitu sintering, stretching, track-etching, template-leaching, dan inversi fasa (Baker, 2004; Mulder, 1996). a) Sintering Prosesnya adalah dengan memberi tekanan pada bubuk atau serbuk yang memiliki ukuran partikel tertentu, lalu dilakukan sintering pada suhu tertentu sehingga antar muka partikel yang berdekatan akan menghilang dan muncul pori-pori yang baru. Teknik ini dapat menghasilkan membran organik maupun anorganik yang berpori, dengan ukuran pori 0,1-10 µm. b) Stretching Prosesnya adalah film yang terbuat dari polimer semikristalin ditarik terhadap arah ekstruksi sehingga bagian kristalin dari polimer pada polimer terletak sejajar dengan arah ekstruksi. Teknik ini menghasilkan membran berpori dengan ukuran sekitar 0,1-0,3 µm. c) Track-etching Prosesnya adalah film polimer ditembak oleh partikel radiasi berenergi tinggi yang tegak lurus terhadap arah film hingga membentuk lintasan pada matriks polimer (Gambar 2.9), lalu film dimasukkan ke dalam bak asam atau basa dan matriks polimer akan membentuk pori silinder yang sama dengan distribusi pori yang sempit. Teknik ini menghasilkan membran berpori dengan ukuran sekitar 0,02-10 µm. Pori membran ini berbentuk silinder dengan ukuran sama dan distribusi yang sempit. d) Template-leaching Prosesnya adalah dengan melepaskan salah satu komponen (leaching) dari material dasar penyusun membran yang umumnya terdiri dari tiga komponen berbeda. Teknik ini menghasilkan membran berpori dengan diameter pori minimal 0,005 µm. e) Inversi Fasa Metode inversi fasa dikembangkan oleh Sidney Loeb dan Srinivasa Sourirajan sehingga dikenal dengan metode Loeb-Sourirajan. Prosesnya adalah dengan mengubah larutan polimer dari fasa cair menjadi fasa padat. Proses inversi fasa ini meliputi empat tahap. Tahap pertama adalah pembuatan larutan cetak yang homogen. Tahap kedua adalah pencetakan. Tahap ketiga adalah penguapan sebagian pelarut atau koagulasi parsial hanya pada bagian lapisan kulit. Tahap terakhir adalah pengendapan polimer dalam bak koagulan yang berisi non pelarut hingga dihasilkan suatu lapisan pendukung.
15
2.6 Sistem Desain Membran Flitrasi Sistem desain membran flitrasi dapat dibedakan dengan jelas karena aplikasinya yang sangat banyak dan konfigurasi modulnya. Modul adalah bagian pusat dari instalasi membran dan merupakan suatu unit pemisahan. Sejumlah modul dihubungkan menjadi suatu rangkaian seri atau paralel. Modul tersebut dicoba disusun sedemikian rupa untuk mengoptimalkan desain dengan biaya murah. Dua jenis sistem desain membran filtrasi yang sering digunakan adalah sistem flitrasi dead-end atau in-line dan sistem filtrasi cross-flow (Baker, 2004; Mulder 1996). a) Sistem dead-end atau in-line (Gambar 2.6) Sistem dead-end adalah sistem desain yang paling sederhana dengan biaya operasional murah. Larutan umpan diberi gaya dorong tekanan untuk melewati membran dengan arah aliran tegak lurus terhadap membran. Namun, kelemahan proses ini adalah dapat meningkatkan konsentrasi rejeksi komponen dalam larutan umpan tetapi menyebabkan kualitas permeat semakin menurun. Hal ini disebabkan terjadinya fouling yang sangat tinggi karena terbentuk ‘cake’ atau lapisan partikel di permukaan membran. Ketebalan ‘cake’ akan terus meningkat sehingga nilai fluks menurun. Sistem ini masih sering digunakan dalam proses pemisahan mikrofiltrasi, seperti di farmasi dan medis.
Gambar 2. 6 Sistem desain membran filtrasi dead-end (Baker, 2004)
16
b) Sistem cross-flow (Gambar 2.7) Sistem cross-flow merupakan sistem desain yang kompleks dan memerlukan biaya operaional lebih tinggi dari sistem dead-line. Namun pilihan sistem desain membran filtrasi ini banyak diaplikasikan di industri karena memiliki kecenderungan fouling yang relatif rendah. Pada sistem cross-flow, larutan umpan dialirkan paralel terhadap permukaan membran. Komposisi larutan umpan dalam modul merupakan fungsi jarak modul, ketika aliran umpan terbagi menjadi 2, yaitu aliran permeat dan aliran retentat sehingga pembentukan ‘cake’ akan terjadi sangat lambat karena tersapu oleh gaya geser aliran crossflow umpan. Penurunan fluks dapat dikontrol dan disesuaikan dengan menggunakan pilihan modul yang tepat dan pengaturan kecepatan aliran cross-flow.
Gambar 2. 7 Sistem desain membran filtrasi cross-flow (Baker, 2004)
2.7 Karakterisasi Membran Karakterisasi membran dipengaruhi oleh jenis bahan pembuat membran dan proses pembuatan membran tersebut. Parameter utama yang digunakan untuk menentukan efisiensi dari suatu membran adalah permeabilitas dan permselektivitas. Kedua parameter ini merupakan karakterisasi membran secara fungsional. Selain itu diperlukan juga karakterisasi lain, seperti kekuatan mekanik dan morfologi membran untuk mengetahui ketahanan dan sifat fisik dari membran tersebut.
2.7.1
Permeabilitas
Permeabilitas membran merupakan ukuran yang menyatakan banyaknya spesi tertentu yang dapat melewati membran. Permeabilitas merupakan fungsi dari ukuran dan jumlah pori. Besarnya permeabilitas dapat diperoleh dari mengukur besarnya nilai fluks atau kecepatan laju permeasi. Fluks (J) merupakan banyaknya volume (V) yang melalui membran, per luas (A) dalam waktu tertentu (t). Besarnya permeabilitas merupakan gradien atau selisih dari nilai fluks pada berbagai nilai tekanan (Mulder, 1996).
17
1 dV A dt
J
=
J
= fluks (L/m2 hour(s) atau L/ m2 jam)
V
= volume permeat (L)
A
= luas permukaan membran (m2)
t
= waktu (jam)
2.7.2
............................................................................(2.1)
Permselektivitas
Permselektivitas membran adalah ukuran kemampuan membran untuk menahan suatu spesi dan melewatkan spesi yang lain. Rejeksi (R) merupakan parameter untuk menyatakan permselektivitas membran, dengan Cf sebagai konsentrasi umpan dan Cp sebagai konsentrasi permeat. Besarnya nilai rejeksi suatu membran menggambarkan kemampuan membran untuk menahan spesi kimia tertentu (Mulder, 1996).
⎛
Cp ⎞
⎝
⎠
⎟ × 100 % R = ⎜⎜1 − Cf ⎟ Cp
= konsentrasi permeat (ppm)
Cf
= konsentrasi umpan (ppm)
............................................................................(2.2)
Apabila dilakukan pengukuran rejeksi dengan massa molekul (Mw) dekstran yang berbeda, maka dapat diperoleh nilai Molecular Weight Cut Off (MWCO). MWCO menyatakan suatu batasan nilai berat molekul yang dapat ditahan oleh membran, yaitu dengan nilai %R diatas 90. Besarnya MWCO diperoleh dari aluran grafik %R terhadap logaritma dari berat molekul. Faktor yang berpengaruh pada karakterisasi MWCO adalah berat molekul zat terlarut sebagai standar (biasanya berupa dekstran atau polietilenglikol), bentuk geometri zat terlarut, fleksibilitas rantai, interaksi zat terlarut dengan membran, fenomena polarisasi konsentrasi, fenomena fouling, dan kondisi saat karakterisasi. Dengan nilai MWCO ini, dapat diketahui batasan berat molekul yang dapat dipisahkan atau dilewatkan oleh suatu membran. Membran yang baik adalah membran yang memiliki nilai fluks dan persen rejeksi yang tinggi (Mulder, 1996).
18
2.7.3
Karakterisasi Ketebalan Membran
Karakterisasi dengan pengukuran ketebalan membran berguna untuk mengontrol keseragaman dan kualitas membran. Pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan mikrometer sekrup dan didapat ketebalan membran (d) dalam mm.
2.7.4
Karakterisasi Sifat Mekanik
Karakterisasi sifat mekanik membran melibatkan deformasi (perubahan bentuk) material dalam pengaruh aplikasi kekuatan tarik atau tegangan (stress). Tegangan membran merupakan hasil bagi besar gaya luar (beban) maksimal terhadap luas penampang membran mula-mula. Tegangan ini merupakan kemampuan membran menahan besarnya tegangan tarik berdasarkan pada gaya yang diberikan dalam tes uji tarik menggunakan bentuk sampel dumb-bell (Ram, 1997).
F max Ao
............................................................................(2.3)
σ
=
σ
= tegangan (MPa)
F
= gaya maksimal (kgf)
Ao
= luas penampang mula-mula (mm2)
Dengan memplot kurva kekuatan tarik (stress) terhadap regangan (strain), akan didapat kemiringan yang disebut modulus elastis Young. Modulus elastis Young adalah ketahanan deformasi, yang juga bisa didapat dari hasil pengukuran tegangan (σ), dibagi regangan (strain) atau elongasi (Mulder, 1996).
σ x100 ε
E
=
E
= modulus Young (MPa)
ε
= elongasi
............................................................................(2.4)
Elongasi merupakan perpanjangan panjang yang dialami membran saat diberikan suatu tegangan tarik, dibagi dengan panjang membran mula-mula (Mulder, 1996; Ram, 1997).
∆l x100% l
ε
=
ε
= elongasi (%)
∆l
= pertambahan panjang (mm)
............................................................................(2.5)
19
l
= panjang mula-mula (mm)
Kurva tegangan-regangan, ditunjukkan pada Gambar 2.8. Pada awalnya, alur A-B berada pada regangan linear hingga tercapainya kekuatan tarik yield stress yang menyebabkan elongasi hingga mencapai titik E. Titik E ini merupakan batas kekuatan tarik maksimal hingga akhirnya terjadi patahan (deformasi membran) (Mulder, 1996; Ram, 1997).
Gambar 2. 8 Kurva tegangan-regangan (Ram, 1997)
2.7.5
Karakterisasi Morfologi Membran
Karakterisasi morfologi membran berguna untuk mengetahui struktur permukaan, penampang lintang, dan struktur pori membran. Analisisnya dilakukan dengan menggunakan peralatan Scanning Electrón Microscopy (SEM). Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan bagian dari mikroskop elektron yang dapat menghasilkan gambar sampel dengan resolusi yang tinggi. Batas resolusi dari mikroskop elektron adalah 0,01-10 µm sedangkan mikroskop elektron yang lebih kompleks memiliki batas resolusi hingga 0,005 µm (Mulder, 1996). Prinsip kerja SEM diilustrasikan pada Gambar 2.9. Suatu berkas sinar elektron dengan energi kinetik 1-25 kV menabrak sampel membran dan elektronnya disebut elektron primer yang berenergi tinggi. Elektron yang dipantulkan dinamakan elektron sekunder yang memiliki energi rendah. Elektron sekunder ini bukan merupakan hasil pantulan elektron primer tetapi merupakan hasil pembebasan dari atom di permukaan dan menentukan gambaran yang terekam dalam mikrograf atau layar monitor. Sampel membran yang ditempatkan dalam berkas elektron memerlukan teknik persiapan yang baik supaya sampel tidak terbakar atau rusak. Rusaknya sampel bergantung pada jenis polimer dan besarnya voltase yang digunakan. Pencegahan dilakukan dengan melapisi sampel dengan lapisan konduktor, seperti lapisan tipis emas (Mulder, 1996).
20
Gambar 2. 9 Prinsip kerja SEM (Mulder, 1996)
2.8 Selulosa Selulosa merupakan suatu polisakarida yang paling melimpah di alam dan penyusun utama dinding sel dari semua tumbuhan tinggi, kebanyakan alga, serta beberapa fungi. Pada hewan, hanya ditemukan satu kelompok hewan yaitu tunicates, yang mempunyai kemampuan menghasilkan dan menggunakan selulosa. Selain itu, beberapa bakteri asam asetat (cuka) juga ditemukan dapat mensintesis selulosa, seperti Acetobacter, Rhizobium, Agrobacterium dan Sarcina (Wanichapichart et al., 2002). Beberapa binatang, terutama kelompok ruminansia, seperti sapi dapat mencerna selulosa dengan bantuan enzim spesifik yang dapat memecah ikatan glikosidik pada selulosa, yaitu enzim glikosida hidrolase, endo selulase dan ekso glukosidase. Namun kemampuan untuk memecah selulosa tidak dimiliki oleh mamalia dan manusia sehingga digantikan dengan serat makanan dalam sayuran dan buah-buahan untuk memperlancar pencernaan makanan (Poedjiadi, 1994). Selulosa (C6H10O5)n adalah suatu polisakarida yang terdiri dari rantai panjang β-D-glukosa dan tidak bercabang. Monomer selulosa (β-D-glukosa), terhubung melalui ikatan β(1→4) glikosidik dengan cara kondensasi, yaitu dua unit glukosa berdekatan, bersatu dengan mengeliminasi satu molekul air di antara gugus hidroksil pada karbon 1 dan 4. Pembentukan selulosa dengan cara polimerisasi kondensasi ini, dapat ditunjukkan dengan hidrolisis selulosa, yaitu reaksi unit ulang selulosa dengan air yang menghasilkan glukosa (Gambar 2. 10) (Odian, 2004).
21
CH2OH O CH2OH O CH2OH O
OH O
O
+
H OH
OH O
CH2OH
+ H2O
OH OH
OH
OH
OH
OH
O OH
Selulosa
Glukosa
Gambar 2. 10 Reaksi selulosa dengan air (Odian, 2004) Ikatan β 1, 4 glikosidik pada selulosa berkonfigurasi trans diekuatorial, membentuk suatu rantai polimer lurus dan menyebabkan antaraksi molekul polimer yang besar sehingga selulosa bersifat kristalin (Odian, 2004). Rantai selulosa membentuk pita selulosa atau mikrofibril melalui ikatan hidrogen gugus-gugus hidroksil pada gugus residu glukosa, yang mengatur dan mengikat pembentukan rantai dengan kuat (Gambar 2.11). Ikatan hidrogen ini memberikan sifat fisik yang kuat dengan struktur kristal yang stabil dan titik leleh yang lebih besar dari temperatur dekomposisinya. Oleh karena itu, selulosa tidak dapat dilelehkan dan tidak larut dalam air. Akan tetapi, selulosa dapat mengalami penggembungan dalam pelarut yang mampu membentuk ikatan hidrogen. Derajat penggembungan akan meningkat seiring dengan bertambahnya kekuatan ikatan hidrogen antara selulosa dan pelarut. Sifat fisik dan mekanik selulosa ini sangat penting dalam tumbuhan untuk membantu memberikan kekuatan dan kekakuan pada dinding sel. Panjang rantai molekul selulosa bervariasi, derajat polimerisasinya sekitar 2000-25000 unit (Wanichapichart et al., 2002). H
HO HOH2C H O
H O
H O
H
H
OH H
H
O O
O O O
O
HOH2C H
H HOH2C
H
H
O
H
OH H
H
H
Gambar 2. 11 Selulosa sebagai polimer β-D glukosa dengan ikatan H antargugus OH (Odian, 2004) Dengan asam encer, selulosa tidak dapat terhidrolisis, tapi oleh asam dengan konsentrasi tinggi, selulosa dapat terhidrolisis menjadi selobiosa dan D-glukosa. Selobiosa adalah suatu disakarida yang terdiri atas dua molekul glukosa yang berikatan glikosidik antara atom karbon 1 dengan atom karbon 4. Oleh karena itu, selulosa yang berikatan β(1→4) glikosidik secara linear, sebenarnya merupakan unit ulang dari selobiosa dengan satu ujung gugus non reduksi dan satu ujung aldehid, yang mudah dioksidasi menjadi gugus karboksil (Gambar 2.12) (Poedjiadi, 1994).
22
CH2OH O CH2OH O CH2OH O CH2OH O
OH O
OH
OH O
O
OH
gugus reduksi
OH OH
OH
unit pengulangan selobiosa
OH OH
gugus non reduksi Gambar 2. 12 Selulosa merupakan unit ulang selobiosa
Ada empat struktur dari jenis selulosa yang berbeda, yaitu (Holmes, 2004) : 1) Selulosa I, yaitu selulosa yang terbentuk dari ikatan paralel β(1→4) glikosidik. Selulosa jenis ini ditemukan di alam dan dapat disintesis oleh mikrooganisme, seperti Acetobacter xylinum. Dalam keadaan tidak kering, selulosa I dapat menjadi native selulosa.
2) Selulosa II, yaitu selulosa yang terbentuk dari ikatan anti paralel β(1→4) glikosidik. Selulosa jenis ini ditemukan dalam media biakan Acetobacter xylinum setelah direkristalisasi dari selulosa I. 3) Selulosa III merupakan selulosa I hasil perlakuan secara kimia. 4) Selulosa IV merupakan selulosa yang terdapat dalam dinding sel tumbuhan tingkat tinggi dan dapat juga berasal dari hasil perlakuan kimia terhadap selulosa II. Walaupun banyak ditemukan melimpah di alam, selulosa komersial hampir seluruhnya berasal dari kapas dan kayu. Kapas tersusun dari 89 % selulosa dan 7 % air dengan sisanya adalah lilin, senyawa pektat, asam organik, dan protein. Kapas terdiri dari serat panjang (kapas atau lint) dan serat pendek (linters). Serat panjang dapat digunakan langsung dalam produksi kapas di tekstil sedangkan serat pendek harus dilakukan perlakuan khusus terlebih dulu dengan 2-5 % NaOH untuk didapatkan selulosa hingga kemurnian 99 %. Kayu, mengandung 40-50 % selulosa dengan sisanya lignin dan hemiselulosa sehingga untuk mendapatkan selulosa dengan kemurnian sekitar 92-98 %, serpihan kayu perlu diperlakukan dalam asam dan diuapkan dengan natrium sulfida (Odian, 2004).
23
Selulosa memiliki aplikasi sangat luas dalam jumlah besar. Selain di industri tekstil, aplikasinya banyak digunakan di industri yang lain, seperti dalam produksi kertas, dalam etanol, metanol dan dalam laboratorium, selulosa digunakan sebagai senyawa padat untuk kromatografi lapis tipis dan linters kapas. Gugus hidroksil selulosa dapat bereaksi sebagian atau seluruhnya dengan variasi bahan kimia untuk menghasilkan senyawa turunan selulosa yang memiliki banyak kegunaan. Turunan senyawa selulosa banyak digunakan dalam pembuatan plastik, film fotografi, serat rayon, selofan, pelindung, (ester selulosa, eter selulosa, selulosa nitrat), bahan ledak (nitroselulosa), membran filtrasi (selulosa asetat), dalam industri makanan sebagai stabilizer dan thickener (karboksimetilselulosa) (Odian, 2004).
2.9 Selulosa Bakteri Selulosa bakteri merupakan selulosa yang disintesis dari suatu mikroorganisme penghasil selulosa. Mikrooganisme yang terkenal subur dalam menghasilkan selulosa adalah bakteri Acetobacter xylinum. Acetobacter xylinum merupakan bakteri aerob gram negatif yang
mudah bertumbuh dalam media biakan, seperti air kelapa, cuka, minuman fermentasi dan media lain yang mengandung glukosa (Wanichapichart et al., 2002). Dengan menginkubasi bakteri tersebut dalam suatu media biakan, maka akan dihasilkan serat-serat selulosa. Seratserat ini dapat membentuk suatu jaringan (gel) pada permukaan cairan yang disebut pellicle. Ketebalan gel (pellicle) bergantung pada masa pertumbuhan mikroba. Semakin lama pendiaman proses fermentasi, maka gel yang dihasilkan akan semakin tebal (Brown, 1995). Gel yang terbentuk merupakan selulosa bakteri yang merupakan selulosa murni yang bebas lignin, tidak beracun, elastis, mempunyai sifat fisik dan mekanik yang kuat, kristalinitas dan derajat polimerisasi tinggi, ketahanan bentuk, kelarutan yang rendah namun mempunyai afinitas tinggi dalam air. Selulosa bakteri ini juga tahan terhadap pemanasan hingga 100 oC selama paling sedikit 3 jam (Wanichapichart et al., 2002). Selulosa bakteri telah diaplikasikan secara luas, beberapa di antaranya adalah dalam pembuatan film tipis, untuk diafragma akustik, kulit buatan, membran; di industri makanan, minuman nata-de-coco, teh kombucha; di industri tekstil untuk serat tekstil, pembuatan katun, sutra tiruan; untuk produk perawatan luka; pembuatan kertas; produk komestik; pelapis badan otomotif, pesawat terbang; dan sebagainya (Brown, 1995). Sifat afinitas tinggi selulosa bakteri dalam air, mendorong pemanfaatan selulosa bakteri sebagai membran filtrasi, misalnya untuk penyaringan koloid atau partikel dengan ukuran tertentu dari suatu larutan, pemurnian air, dan lainnya (Wanichapichart et al., 2002). Keunggulan selulosa bakteri dari selulosa, di antaranya adalah (Brown, 1995) :
24
1) selulosa bakteri tidak mengandung lignin dan hemiselulosa 2) mudah dibiodegradasi dan dapat didaya guna kembali 3) memiliki kristalinitas yang lebih tinggi (selulosa I) 4) memiliki kestabilan dimensi dan berat yang ringan 5) memiliki ketahanan dan kekuatan regangan yang tinggi 6) memiliki afinitas yang luar biasa terhadap air 7) mempunyai pori yang selektif 8) memiliki permukaan area yang lebih luas Nata-de-coco merupakan produk selulosa bakteri yang dihasilkan dari proses fermentasi air kelapa dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum. Acetobacter xylinum akan menyusun glukosa alami yang terkandung di dalam air kelapa menjadi suatu lapisan gel. Saat ini, natade-coco terkenal sebagai produk komersial dalam industri makanan yang sangat digemari karena bermanfaat untuk memperlancar pencernaan, kandungan kalorinya relatif rendah, dan berserat tinggi sehingga cocok untuk menu diet. Produk-produk nata-de-coco banyak disajikan dalam campuran es coctail, agar, sirup, dan dalam campuran minuman segar lainnya sebagai makanan pembuka. Selain dapat digunakan dalam industri makanan, nata-de-coco juga merupakan salah satu sumber alternatif bagi penyediaan selulosa, dimana bahan ini lebih mudah dibuat, mudah diolah, dan mudah diperoleh dengan biaya produksi yang lebih murah. Oleh karena itu, studi mendalam terhadap nata-de-coco untuk berbagai bidang aplikasi harus terus dikembangkan untuk meningkatkan nilai tambah bagi produk nata-de-coco (Holmes, 2004). Pemanfaatan nata-de-coco dalam teknologi membran, dapat dilakukan dengan memproses nata-de-coco hingga dihasilkan suatu membran pemisah yang efektif, contohnya adalah membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi, yang sering digunakan untuk pengolahan limbah dalam industri dairy, industri tekstil, klarifikasi dalam industri makanan dan minuman, sterilisasi pangan dan obat-obatan (Mulder, 1996).
25