BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Maternal Antibodi pada Anak Babi (Piglet) Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau
kekebalan turunan dari induk pada anak babi yang induknya sudah divaksin secara baik akan bertahan hingga anak babi berumur 7 minggu (Lipowski dkk., 2000). Hewan yang baru lahir sudah otomatis secara pasif dilindungi oleh antibodi asal induk, sehingga vaksinasi yang dilakukan pada waktu dini tidak akan berhasil dengan baik (Baratawidjaja, 2006). Terdapat perbedaan nyata antara umur babi yang muda dan tua. Kematian yang terjadi pada anak babi jumlahnya lebih banyak di banding babi dewasa. Hal ini diduga kemungkinan karena rendahnya titer antibodi Hog cholera pada babi akibat tidak adanya program vaksinasi di lapangan. Gejala klinis dan lesi patologi Hog cholera bervariasi antara satu hewan dengan hewan lain. Faktor umur, virulensi virus dan kekebalan tubuh hewan sangat berpengaruh terhadap timbulnya gejala penyakit. Babi muda lebih peka atau mudah terserang virus Hog cholera hal ini berkaitan dengan menurunnya maternal antibodi dalam tubuh, apalagi jika tidak dilakukan vaksinasi (Greiser dkk., 2007).
5
2.2
Hog Cholera Hog cholera (HC) pertama kali dilaporkan terjadi di Ohio, Amerika Serikat
pada tahun 1833 dan menyebar dengan cepat ke Inggris pada 1864-1878. Selama hampir satu abad, Hog cholera menjadi penyakit babi endemik di Inggris dan Amerika Serikat. Inggris baru bisa dibebaskan dari Hog cholera pada 1966. Belanda pada tahun 1997-1998 diserang wabah Hog cholera yang menyebar ke lebih 400 peternakan. Sebanyak 12 juta babi dibunuh dengan kerugian mencapai $ 2,3 milyar (Stegeman dkk., 2000). Menurut data office internationale des epizooties (OIE), sampai tahun 2011 Australia, Belanda, Inggris, Jerman, Perancis dan sebagian besar negara Eropa telah dinyatakan bebas Hog cholera. Sebagian besar negara Asia, Karibia, Afrika, Amerika Selatan dan Tengah berstatus tertular, sedangkan di Asia Tenggara, semua negara anggota association of southeast asian nation (ASEAN) belum bebas dari Hog cholera, hanya Malaysia dan Singapura yang tidak dilaporkan adanya Hog cholera. Daerah-daerah di Indonesia yang telah tertular Hog cholera adalah Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa barat, Jawa tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur (Santhia, 2009). Hog cholera (HC) atau classical swine fever merupakan penyakit viral pada babi yang sangat ganas dan sangat menular. Disebabkan oleh virus, yang ditandai dengan perdarahan umum. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang paling merugikan pada babi sehingga sangat ditakuti terutama oleh peternak babi karena angka morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi yaitu 95-100 %. Berdasarkan 6
klasifikasi OIE classical swine fever (CSF) atau Hog cholera termasuk daftar list A (Artois dkk., 2002). Hog cholera (HC) memiliki berbagai sinonim yaitu classical swine fever (CSF), peste du pork, cholera porcine dan virus schweine pest, merupakan penyakit viral menular yang disebabkan oleh virus Hog cholera, yang termasuk dalam genus Pestivirus dan famili Flaviviridae. Hanya terdapat satu serotipe virus Hog cholera namun gejala yang ditimbulkannya sangat bervariasi tergantung dari strain yang menginfeksi (Geering dkk., 1995). Virus ini secara genetik berkerabat dengan bovine viral diarrhea virus (BVDV), yang menyebabkan timbulnya penyakit BVD pada sapi serta border disease virus (BDV) pada domba (Edwards dkk., 1991). Hog cholera disebabkan oleh virus yang berbentuk bundar, berdiameter 40-50 nm, dengan nukleokapsid kira-kira berukuran 29 nm. Virus Hog cholera merupakan virus RNA beramplop dengan inti isometrik yang dikelilingi oleh membran. Nilai koefisien sedimentasinya adalah berkisar 140-180 S (Horzinek, 1981). Virion terdiri dari RNA untai tunggal berpolaritas positif dengan ukuran panjang 12.3 kb. Berdasarkan virulensinya, virus Hog cholera dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni virus dengan virulensi tinggi, virulensi sedang dan virulensi rendah. Akan tetapi pengolompokan virus berdasarkan virulensi ini kadang-kadang sangat sulit dilakukan karena virus yang biasanya mempunyai virulensi rendah kadangkadang dapat juga menimbulkan penyakit yang parah (Dahle dan Liess, 1995). Disamping itu, virulensi Hog cholera kemungkinan juga bukan sifat yang permanen karena kenaikan virulensi dapat terjadi setelah pasage virus pada babi (Dunne, 1975). 7
Penyakit Hog cholera sangat menular dengan tingkat kematian hampir 100% (Moennig, 2000). Vaksinasi yang diberikan akan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi terhadap virus Hog cholera sehingga antibodi akan terdeteksi pada babi yang divaksin. Pada babi yang tidak divaksin pun ada kemungkinan ditemukan antibodi. Hal ini bisa terjadi karena babi sudah mengalami infeksi alam ataupun sudah memiliki maternal antibodi (Ivanyi, 1977; Oirschot, 2003). Antibodi yang terbentuk merupakan ukuran dari status kekebalan. Pemberian vaksinasi merupakan salah satu hal yang dapat meningkatkan kekebalan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata titer antibodi yang tinggi diperoleh karena babi tersebut telah divaksin.
2.3
Hewan yang Rentan Semua jenis atau ras babi rentan terhadap penyakit virus Hog cholera. Pada
babi peliharaan hampir 50% kasus terjadi pada babi penggemukan, 15% babi pembibitan dan > 20% kelompok babi campuran. Telah dilaporkan pula bahwa faktor keturunan tampaknya berpengaruh terhadap tingkat infeksi virus Hog cholera. Pada saat wabah Hog cholera terjadi di provinsi Bali pada bulan Oktober-Desember 1995, babi Landrace terlihat lebih banyak terserang dibandingkan babi Saddle Back dan babi lokal (Santhia, 2009).
8
2.4
Umur Babi yang Terserang Babi dari semua umur rentan terhadap penyakit Hog cholera. Anak babi
yang berumur 4-5 minggu dan berasal dari induk yang sebelumnya pernah divaksin dengan vaksin aktif ternyata relatif lebih kebal dibandingkan dengan anak-anak babi yang lahir dari induk yang telah divaksin dengan virus vaksin yang telah dilemahkan. Hal ini kemungkinan karena maternal antibodi dari anak babi setelah umur tersebut sangat rendah dan tidak cukup untuk melindungi dari infeksi virus Hog cholera ganas berikutnya. Babi Landrace kelompok umur < 2 bulan yang terserang virus Hog cholera menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi (88,2%) dibandingkan kelompok umur 2-5 bulan dan > 8 bulan (Santhia, 2009).
2.5
Penularan Penyakit Hog Cholera Penularan penyakit Hog cholera (HC) atau classical swine fever disebabkan
oleh adanya infeksi virus in-utero atau kongenital pada induk yang bunting dan tertular, menyebabkan embrio atau janin yang dilahirkan mati, lemah, atau cacat. Anak babi yang dilahirkan dalam keadaan sehat akan bertindak sebagai sumber penularan selama berbulan-bulan (carrier), sampai babi itu sendiri menjadi sakit (Subronto, 2003). Stadium inkubasi virus Hog cholera (HC) adalah saat induk babi sedang bunting yang terinfeksi virus Hog cholera (HC) (Dharma dan Putra, 1997). Penularan alami terjadi melalui kontak langsung sesama babi. Virus disebarkan melalui cairan mulut, hidung, mata, urin dan tinja. Babi yang sembuh akan tetapi belum membentuk antibodi protektif yang cukup, masih dapat menjadi 9
sumber penyakit bagi hewan lain (Edwards dkk., 1991). Pada penyakit yang berjalan akut, virus virulen disebarkan oleh penderita selama 10-20 hari. Penularan secara mekanis atau tidak langsung juga dapat terjadi karena kunjungan seseorang yang sebelumnya membawa virus Hog cholera dari kandang lain, sepatu, truck, atau alat-alat lain yang tercemar. Babi liar dihutan dekat peternakan, daerah lalu lintas ternak, hewan piaraan atau liar dan burung atau serangga juga dapat menularkan virus ke kandang yang semula bebas virus Hog cholera (Subronto, 2003). Pengaruh pH dan suhu terhadap stabilitas strain virus Hog cholera sangat bervariasi. Virus Hog cholera tahan berada dalam daging segar, dan produk daging lainnya dalam bentuk infektif untuk jangka waktu 8 bulan hingga 4 tahun, dengan demikian daging atau produk daging lainnya dapat digunakan virus sebagai salah satu media dalam penyebarannya (Liess dkk., 1992).
2.6
Gejala Klinis Penyakit Hog Cholera Babi yang terinfeksi virus Hog cholera memperlihatkan gejala klinis antara
lain: lesu, tidak aktif, malas bergerak dan gemetar. Nafsu makan menurun hingga hilang, suhu tubuh meningkat sampai 41-42°C selama 6 hari. Pada saat viremia, jumlah leukosit turun dari 9000 menjadi 3000/ml dalam darah hewan (leukopenia). Babi yang teinfeksi mengalami konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Eksudat bersifat mukous atau muko purulen, nampak di kelopak mata dan menyebabkan kelopak mata lengket (Vilcek dkk., 1996). 10
Konstipasi disertai dengan radang saluran gastrointestinal menyebabkan diare encer, berwarna kekuningan. Rasa dingin mendorong babi-babi berkumpul (piled-up) di sudut kandang. Sebelum babi mati pada kulit daerah perut, muka, telinga, dan bagian dalam dari kaki terlihat eritema (Van Oirschot dkk., 1999). Pada penyakit yang berjalan akut kematian babi biasanya memakan waktu 10-20 hari. Sedangkan penyakit yang berjalan sub akut proses kematian berlangsung selama 1 bulan. Kasus penyakit Hog cholera yang berjalan secara perakut kronik dapat bertahan sampai kurang lebih 3 bulan. Infeksi virus Hog cholera yang terjadi pada masa kebuntingan, dikenal sebagai late-onset hog cholera, kematian dapat terjadi diantara bulan ke-2 sampai dengan bulan ke-11. Gejala klinis pada late-onset hog cholera ini meliputi depresi dan anoreksia yang terjadi secara lambat, suhu tubuh normal, konjungtivitis, dermatitis dan gangguan saat berjalan (Liess dkk., 1992).
2.7
Pencegahan dan Penanggulangan Pencegahan dan penanggulangan penyakit Hog cholera dilakukan mengacu
pada pedoman teknis pemberantasan dan pengendalian penyakit classical swine fever (Hog cholera) tahun 1988 yang dikeluarkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan Jakarta. Tindakan tersebut meliputi: menutup wilayah tertular dengan surat keputusan Bupati, mengisolasi ternak yang sakit, memusnahkan ternak mati, melakukan vaksinasi dengan vaksin Hog cholera, public awareness (penyuluhan kepada masyarakat). Pencegahan terhadap wabah penyakit yang bersifat sporadis dapat 11
ditangani dengan pemberian vitamin dan menangkal keterlibatan mikroorganisme sekunder dengan pemberian antibiotika (Berata dkk., 2009). Beberapa usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk mencegah penularan penyakit Hog cholera yakni dengan cara: meningkatkan bio security kandang dan pengawasan lalu lintas, pencegahan penyebaran penyakit dapat dilakukan dengan vaksinasi, meningkatkan kebersihan kandang dan kualitas pakan, penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol dapat menyebabkan beberapa jenis bakteri menjadi resisten, sehingga perlu dikonsultasikan dengan dokter hewan setempat (Cicilia dkk., 2006). Penanggulangan penyakit Hog cholera pada babi bisa dilakukan dengan cara melakukan vaksinasi aktif. Anak babi dari induk yang belum pernah divaksin bisa dilakukan vaksinasi pada saat umur 2 minggu, sedangkan anak babi dari induk yang telah divaksin dan mendapatkan kolostrum dari induk dapat terlindungi sampai berumur 6 minggu, kemudian dilakukan vaksinasi pada saat umur 6-8 minggu. Vaksinasi Hog cholera yang aman yaitu induk divaksin 2 minggu sebelum kawin (Berata dkk., 2009).
12