BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Kelembagaan Negara
1.1.1 Teori Tentang Lembaga Negara
Istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintahan yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau Non-Governmental Organization (NGO’s). Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.1
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut dengan organ negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kata “lembaga” diartikan sebagai : (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri atas interaksi sosial yang berstruktur. 2
1
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 27. 2 Jimly Asshiddiqie, Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), (Editor Refly Harun, dkk), hlm. 60-61.
Dalam kamus Hukum Belanda-Indonesia3, kata staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam Kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk, kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Menurut Natabaya, 4 penyusunan UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara. Sedangkan UUD Tahun 1945 setelah perubahan keempat (tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara.
Bentuk-bentuk lembaga negara dan pemerintahan baik pada tingkat pusat maupun daerah, pada perkembangan dewasa ini berkembang sangat pesat, sehingga doktrin trias politica yang biasa dinisbatkan dengan tokoh Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara selalu harus tercermin di dalam tiga jenis lembaga negara, sering terlihat tidak relevan lagi untuk dijadikan rujukan.
Sebelum Montesquieu di Perancis pada abad XVI, yang pada umumnya diketahui sebagai fungsi-fungsi kekuasaan negara itu ada lima. Kelimanya adalah (i) fungsi diplomacie; (ii) fungsi defencie; (iii) fungsi nancie; (iv) fungsi justicie; dan (v) fungsi policie. Oleh John Locke dikemudian hari, konsepsi mengenai kekuasaan negara itu dibagi menjadi empat, yaitu (i) fungsi legislatif; (ii) eksekutif; (iii) fungsi federatif. Bagi John Locke, fungsi peradilan tercakup dalam fungsi eksekutif atau pemerintahan. Akan tetapi, oleh Montesquieu itu dipisahkan sendiri, sedangkan fungsi federatif dianggapnya sebagai bagian dari fungsi eksekutif. Karena itu, dalam
3 4
Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia cet-2, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 390. Jimly Asshidiqie, Perkembangan ..., hlm. 28.
trias politica Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas (i) fungsi legislatif; (ii) fungsi eksekutif; dan (iii) fungsi yudisial. 5
Menurut Montesquieu, disetiap negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan yaitu kekuasaan legislatif, dan kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang negara dan cabang kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan penerapan hukum sipil.6
Karena warisan lama, harus diakui bahwa di tengah masyarakat kita masih berkembang pemahaman yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan cabang-cabang kekuasaan tradisional legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga negara dikaitkan dengan pengertian lembaga yang berada di ranah kekuasaan legislatif, yang berada di ranah kekuasaan eksekutif disebut lembaga pemerintah, dan yang berada di ranah judikatif disebut sebagai lembaga pengadilan.7
Konsepsi trias politica yang diidealkan oleh Montesquieu ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secaara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances.8
5
Ibid,, hlm. 29. Ibid. 7 Ibid, hlm. 37 8 Ibid. 6
Lembaga negara yang terkadang juga disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, atau lembaga negara saja, ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari Undang-Undang, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.9 Menurut Jilmy Asshidiqie,10 selain lembaga-lembaga negara yang secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, ada pula lembaga-lembaga negara yang memliki constitutional importance yang sama dengan lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945, meskipun keberadaannya hanya diatur dengan atau dalam Undang-Undang. Baik yang diatur dalam UUD maupun yang hanya diatur dengan atau dalam Undang-Undang asalkan sama-sama memiliki constitusional importance dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang memiliki derajat konstitusional yang serupa, tetapi tidak dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. 11 Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.12
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang-Undang Dasar merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang merupakan organ UndangUndang, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga yang dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya. Kedudukan lembaga yang berbeda-beda tingkatannya inilah yang
9
Ibid. Ibid., hlm. 82. 11 Ibid., hlm. 55. 12 Ibid., hlm. 37. 10
ikut mempengaruhi kedudukan peraturan yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tersebut.13
Termasuk dalam hal ini lahirnya lembaga negara baru oleh Undang-Undang Dasar yaitu Mahkamah Konstitusi (Mahkamah Konstitusi). Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki peran tersendiri selain sebagai pengawal Undang-Undang Dasar, juga berperan sebagai The Sole Interpreter of the Constitution, dan dalam rangka kewenangannya untuk memutus perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga dapat disebut sebagai pengawal proses demokratisasi. Mahkamah Konstitusi juga merupakan pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).14
1.1.2 Lembaga-Lembaga Negara
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Dalam UUD Tahun 1945, lembaga-lembaga yang dimaksud, ada yang namanya disebut secara eksplisit dan ada pula hanya fungsinya yang disebutkan eksplisit. Menurut Jimly Asshiddiqie,15 lembaga-lembaga tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu segi fungsi dan segi hierarkinya. Untuk itu ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hierarki bentuk sumber normatif ysng menetukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara.
13
Ibid. Ibid., hlm. 132. 15 Ibid., hlm. 90. 14
Sedangkan dari hierarki kelembagaannya Jimly Asshiddiqie mengaitkannya dengan teorinya sendiri yaitu teori tentang norma sumber legitimasi.16 Berdasarkan teori tersebut, lembagalembaga negara dapat dibedakan ke dalam 3 lapis lembaga negara, yaitu lembaga lapis pertama yang disebut dengan “lembaga tinggi negara” yaitu lembaga-lembaga negara yang bersifat utama (primer) yang pembentukannya mendapatkan kewenangan dari Undang-Undang Dasar; lembaga lapis kedua yang disebut dengan “lembaga negara” ada yang mendapat kewenangannya secara eksplisit dari Undang-Undang Dasar namun ada pula yang mendapat kewenangan dari UndangUndang; dan lembaga lapis ketiga yang disebut “lembaga daerah”. 17
Selain lembaga-lembaga negara tersebut, ada pula beberapa lembaga negara lain yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang atau peraturan yang lebih rendah, seperti peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Keputusan Presiden,18 seperti komisi-komisi independen. Keberadaan badan atau komisi-komisi ini sudah ditentukan dalam undang-undang, akan tetapi pembentukannya biasanya diserahkan sepenuhnya kepasa presiden atau kepada menteri atau pejabat yang bertanggung jawab mengenai hal itu.19
Bahkan banyak pula badan-badan, dewan, atau komisi yang sama sekali belum diatur di dalam undang-undang, tetapi dibentuk berdasarkan peraturan yang lebih rendah tingkatannya. Kadang, lembaga-lembaga negara yang dimaksud dibentuk berdasarkan atas peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atau bahkan hanya didasarkan atas beleid presiden
16
Ibid., hlm. 43. Ibid., hlm. 43-45. 18 Ibid., hlm. 216. 19 Ibid., hlm. 217. 17
(Presidential Policy) saja. Lembaga-lembaga tersebut, misalnya Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk melalui Keppres No. 15 Tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional.20
1.2
Mahkamah Konstitusi
Pada mulanya, sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.21
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat, yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus
20 21
Ibid. Profil Mahkamah Konstitusi dalam website resmi Mahkamah Konstitusi: www.mahkamahkonstitusi.go.id., diakses pada 10 Juli 2012 pukul 20.12WIB.
2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 melantik hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.22
Lembaran perjalanan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.23
Berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945. Kemudian di dalam Pasal 2 Undang-Undang yang sama dijelaskan pula bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.24
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
22
Ibid. Ibid. 24 Ibid. 23
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Lebih jelas, Jimly Asshiddiqie, menguraikan mengenai Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: 25 “Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Ditengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”
Dilihat dari sistem ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga didaulat menjadi penafsir akhir konstitusi. 26
Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban dalam hal memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 27
Kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi ini adalah sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA) dan jajaran peradilan
25
Maruarar Siahaan, op.cit. hlm. 8. Ibid, hlm 7. 27 www.mahkamahkonstitusi.go.id, loc.cit. 26
yang berada di bawahnya. Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan memutus perkara konstitusi oleh karenanya tunduk juga kepada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.28
Sama dengan badan peradilan lainnya, Mahkamah Konstitusi juga harus tunduk pada asas-asas peradilan yang baik dalam Undang-Undang Hukum Acara, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan asas-asas yang juga telah diakui secara universal,29 antara lain yaitu : 1. Persidangan terbuka untuk umum; 2. Independen dan imparsial; 3. Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan murah; 4. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et Alteram Partem); 5. Hakim aktif dan juga pasif dalam proses persidangan; dan 6. Ius Curia Novit.
Pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi diatur didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Undang-undang ini terdiri dari 88 Pasal, yang terbagi menjadi 7 bab, yang diantaranya mengatur tentang Ketentuan Umum; Kedudukan dan Susunan; Kekuasaan Mahkamah Konstitusi; Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi; Hukum Acara; Ketentuan Lain; dan Ketentuan Peralihan.
Berselang 8 Tahun Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengalami perubahan. Tepatnya pada tahun 2011 diberlakukan undang-undang untuk menggantikan undang-undang Mahkamah Konstitusi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 28 29
Ibid. Ibid.
Dalam hal Hukum Acara, sumber utama untuk mencari hukum acara adalah Undang-Undang Hukum Acara yang secara khusus dibuat untuk itu. Namun, peraturan yang mengatur mengenai hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang karena keterbatasan waktu yang tersedia untuk menyusun Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah menyebabkan aturan mengenai hukum acara tidak lengkap. Hal ini diakui pembuat undangundang dan karenanya memberi kewenangan pada Mahkamah Konstitusi untuk mengatur lebih lanjut hal yang dipandang perlu bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya dengan menyusun sendiri peraturannya melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).30
Sejak awal berdiri sampai saat ini, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan sebanyak 17 PMK. Ke-17 PMK ini, tidak hanya yang bersifat mengatur ke dalam lembaga Mahkamah Konstitusi tetapi juga mengatur mengenai Pedoman Beracara yang berlaku juga untuk masyarakat umum yang akan beracara di Mahkamah Konstitusi. Menurut Maria Farida,31 Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau peraturan yang mengikat umum; namun demikian Mahkamah Konstitusi tetap berwenang membentuk peraturan yang mengikat ke dalam (interne regeling). 2.3
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
2.3.1 Teori-Teori Mengenai Hierarki Hukum
30
Maruarar Siahaan, loc.cit., hlm. vii. Maria Farida, Imu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, (Jakarta: Kanisius, 1997), hlm. 105. 31
Indonesia merupakan negara yang
menerapkan
Hirearki
Norma Hukum (Stufenbau
Theory) yang dicetuskan oleh Hans Kelsen dan dikembangkan oleh Hans Nawiasky. 32 Hans Kelsen mengembangkan sebuah Teori Hukum Murni (General Theory of Law and State). Aliran Teori Hukum Murni merupakan suatu pengembangan dari teori mazhab positivisme, yang menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang. Menurut W. Friedman, 33 inti ajaran Teori Hukum Murni adalah: 1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan; 2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengai hukum yang seharusnya; 3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam; 4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum; 5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus; 6. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang kas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Selain ajaran Hukum Murni, Hans Kelsen mengemukakan teori Hirearki Norma Hukum (Stufenbau Theory-Stufenbau des Recht). Hans Kelsen dalam teori hirarki norma (stufenbau theory) berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dalam suatu tata susunan hirarki. Suatu norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi itu berlaku dan bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi. 32 33
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 57-58. Ibid.
Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat hipotetis dan fiktif yaitu yang dikenal dengan istilah grundnorm (norma dasar).34
Hans Nawiansky menyempurnakan Stufenbau Theory yang dikembangkan oleh gurunya, Hans Kelsen. Hans Nawinsky mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma Hukum Negara (die Stufenordnung der Rechtsnormen) dalam empat tingkatan. Keempat tingkat tersebut, yaitu:35 1. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) atau Grundnorm (menurut teori Kelsen); 2. Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara); 3. Formell Gezets (Undang-Undang Formal); dan 4. Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonomi).
Menurut teori Kelsen-Nawiansky, grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan (presupposed), tidak tertulis, ia tidak ditetapkan (gesetz), tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif, dan bersifat meta-juristic.36
2.3.2
Hierarki Peraturan Menurut Undang-Undang
Bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam UUD 1945 adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Dalam Penjelasan juga disebutkan bahwa UUD adalah bentuk konstitusi yang tertulis. Disebut sebagai
34
Taufiqurohman Syahuri, Konstitusionalitas Regulasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta, 1213-2010, diunduh dalam : http://www.djpp.depkumham.go.id pada 10 Oktober 2012). 35 Maria Farida, Imu Perundang..., Loc.Cit. hlm. 39. 36 Ibid.
konstitusi tertulis, karena selain itu masih ada pengertian konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.37
Dalam Konstitusi RIS yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949, pengertian konstitusi diidentikan dengan pengertian UUD. Bentuk-bentuk peraturan yang tegas disebut di dalamnya, yaitu38 : 1. Undang-Undang Federal; 2. Undang-Undang Darurat; dan 3. Peraturan Pemerintah. Adapun dalam UUDS39 (Undang-Undang Dasar Sementara) yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950, penyebutannya berubah lagi menjadi: 1. Undang-Undang; 2. Undang-Undang Darurat; dan 3. Peraturan pemerintah.
Dengan kata lain dalam ketiga konstitusi ini, kita mengenal adanya Undang-Undang Dasar, Undang-Undang atau Undang-Undang Federal, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) atau Undang-Undang Darurat40, dan Peraturan Pemerintah.41
Setelah periode kembali ke UUD 1945, berdasarkan
Surat Presiden No. 2262/HK/1959
tertanggal 20 Agustus 1959 yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, 37
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 249. Ibid. 39 Ibid. 40 Menurut Pendapat Jimly, meskipun berbeda sebutan tetapi pengertian Undang-Undang Darurat dalam Konstitusi RIS 1949 dan Undang-UndangDS 1950 dapat diidentikan dengan pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undnag menurut Undang-Undang Dasar 1945. 41 Ibid. 38
dinyatakan bahwa di samping bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan di atas, dipandang perlu dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain, yaitu sebagai berikut:42 1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali Kepada UUD 1945, 2. Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, 3. Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan Presiden, sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, 4. Keputusan
Presiden
yang
dimaksudkan
untuk
melakukan
atau
meresmikan
pengangkatan-pengangkatan, 5. Peraturan Menteri dan Keputusan menteri yang dibuat oleh kementerian-kementerian negara atau Departemen-Departemen pemerintahan, masing-masing mengatur sesuatu hal dan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
Dalam susunan diatas jelas terdapat kekacauan antara satu bentuk dengan bentuk peraturan yang lain. Sering banyak materi yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang justru diatur dengan Penetapan Presiden ataupun Peraturan Presiden. Untuk itulah perlu dilakukan penataan kembali bentuk peraturan perundang-undangan juga dengan maksud mengadakan pemurnian terhadap pelaksanaan UUD 1945, sehingga dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945.43
42 43
Ibid. Ibid, hlm. 250.
Sebagai kelanjutan dari Ketetapan MPRS tersebut, ditetapkanlah sumber tertib hukum dan tata urut Peraturan Perundangan Republik Indonesia dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966,44 dengan ketentuan bentuk peraturan dengan tata urut sebagai berikut:45 1. Undang-Undang Dasar; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang/Perpu; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
Kemudian pada tahun 2000, setelah terjadi gejolak reformasi yang begitu kuat dan diamandemennya UUD 1945, maka untuk menata kembali struktur dan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 disusun suatu struktur baru peraturan perundang-undangan dengan urutan sebagai berikut:46 1. Undang-Undang Dasar dan Perubahan UUD; 2. Ketetapan MPR/S; 3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); 4. Peraturan Pemerintah (PP); 5. Keputusan presiden (Keppres); dan 6. Peraturan Daerah.
44
Judul lengkap Ketetapan MPRS ini adalah Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai Sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urut Perundangan Republik Indonesia. 45 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 251. 46 Ibid.
Tidak berselang lama, dikeluarkan lagi tata urut peraturan perundangan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang didalamnya berisi hierarki peraturan perundang-undangan, dengan urutannya sebagai berikut:47 1. Undang-Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945); 2. Undang-undang/Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; dan 5. Peraturan Daerah: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubenur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 sebenarnya telah menjadi upaya penyempuranaan dalam rangka penataan kembali sumber tertib hukum dan bentuk-bentuk serta tata urut peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.48 Namun berselang 7 tahun, pada tahun 2011 dikeluarkan lagi tata urut peraturan perundang-undangan yang baru dengan dimasukkannya lagi Ketetapan MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
47 48
Ibid. hlm. 252. Ibid. hlm. 254
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selain itu Undang-Undang ini juga mengakui jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan diatas, mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
2.4
Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
2.4.1 Teori-Teori Tentang Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
Materi muatan sendiri adalah isi dari setiap jenis peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Materi muatan ini penting untuk diperhatikan agar tidak menjadi tumpang tindih pengaturan maupun penyalahgunaan wewenang. Materi muatan undang-undang misalnya, jelas tidak boleh diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden karena undang-
undang mempunyai karakteristik tersendiri sebagai suatu peraturan perundang-undangan tertinggi dibawah konstitusi yang dibuat bersama oleh eksekutif dan legislatif.49
Pada Mulanya istilah “materi muatan” pertama kali dipergunakan oleh A. Hamid S. Attamimi, yang diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1979 sebagaimana dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun 1979. Menurut A. Hamid S. Attamimi istilah “materi muatan” sebagai pengganti atau alih bahasa dari istilah (kata) Belanda “het onderwerp” dalam ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der wet,” yang diterjemahkan dengan “materi muatan yang khas dari undang-undang”. Adapun yang dimaksud dengan “materi muatan” menurut A Hamid S Attamimi adalah:50 “isi kandungan atau subtansi yang dimuat dalam undang-undang khususnya dan peraturan perundang-undangan pada umumnya”. Sementara itu, “materi muatan” menurut Bagir Manan51 adalah “muatan yang sesuai dengan bentuk peraturan perundang-undangan tertentu”. Menurut Bagir Manan materi muatan undangundang ditentukan berdasarkan tolok ukur sebagai berikut: 52 1. Ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar; 2. Ditetapkan dalam undang-undang terdahulu; 3. Ditetapkan dalam rangka mencabut, menambah, atau mengganti undang-undang yang lama; 4. Materi muatan menyangkut hak dasar atau hak asasi; dan 5. Materi muatan menyangkut kepentingan atau kewajiban rakyat banyak.
49
Ismail Hasani & A. Gani Abdullah, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hlm.35. 50 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,(Bandung: Mandar Maju,1998), hlm. 53 51 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 1997), hlm. 145. 52 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind Hill Co, Jakarta, 1992, hlm. 37.
Menurut pendapat A. Hamid S. Attamimi, terdapat 9 (sembilan) butir materi muatan undangundang, 53 yaitu hal-hal: 1. yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Ketetapan MPR; 2. yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD; 3. yang mengatur hak-hak (asasi) manusia; 4. yang mengatur hak dan kewajiban warga negara; 5. yang mengatur pembagian kekuasaan negara; 6. yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara; 7. yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara; 8. yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan; 9. yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang. Rincian butir-butir materi muatan tersebut di atas merupakan suatu pedoman untuk menguji apakah suatu materi muatan peraturan perundang-undangan termasuk ke dalam materi muatan undang-undang atau tidak.54
Sedangkan mengenai peraturan perundang-undangan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),55 kata perundang-undangan diartikan sebagai “yang bertalian dengan undang-undang atau seluk beluk undang-undang.” Adapun kata “undang-undang” diartikan “ketentuanketentuan dan peraturan-peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb) disahkan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat, badan legislatif, dsb)
53
Maria Farida, Ilmu Perundang..,.Loc. Cit hlm. 129-130. Ibid. 55 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring), (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2008) diakses melalui: http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php pada 11 Juli 2012 pukul 20.20. 54
ditandatangani oleh Kepala Negara (Presiden, Kepala Pemerintahan, Raja) dan mempunyai kekuatan yang mengikat.”
Sebagai istilah hukum, peraturan perundang-undangan sering disebutkan sebagai terjemahan wettelijke regelingen. Adapula yang menyebutkan bahwa istilah ini merupakan terjemahan dari algemene verordeningen. Menurut A. Hamid S Atamimi, apabila peraturan perundang-undangan diambil dari terjemahan wettelijke regelingen maka peraturan perundang-undangan mempunyai cakupan yang sempit karena di dalamnya tidak termasuk wetten (undang- undang), AMvB [tindakan umum pemerintah yang ditetapkan dengan Koninjljk Besluit (KB)], dan AMvB diterjemahkan dengan “peraturan pemerintah” yang dibuat di Belanda dan Ordonansi yang dibuat di Hindia Belanda. Apabila “peraturan perundang-undangan” merupakan terjemahan dari algemene verordeningen, ia mempunyai cakupan lebih luas karena termasuk didalamnya undang-undang (wet), peraturan pemerintah (AMvB), dan Ordonansi. 56
Peraturan perundang-undangan mulai dikenal dan tumbuh sejak saat berkembangnya organisasi yang memiliki kekuasaan dan wewenang tertinggi untuk menguasai dan mengatur kehidupan masyarakat, yaitu negara. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa peraturan perundang-undangan tidak lain dari perwujudan kekuasaan dan kehendak yang berkuasa dalam bentuk hukum. Bagir Manan dan Kuntana Magnar,57 menyatakan bahwa: “Peraturan perundang-undangan di sini diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan mengikat umum (mencakup undang-undang dalam arti formal maupun material).”
56 57
Maria Farida, Imu Perundang.., loc.cit. Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Loc. Cit, hlm. 248.
Peraturan perundang-undangan adalah perwujudan kehendak dari pemegang kekuasaan tertinggi yang berdaulat, maka peraturan perundang-undangan merupakan hukum tertinggi dan adalah satu-satunya sumber hukum.58 Di lain pihak Maria Farida,59 mendefinisikan peraturan perundang-undangan ke dalam 2 (dua) pengertian, yaitu “Pertama, sebagai proses pembentukan (proses membentuk) peraturanperaturan negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah, dan Kedua, sebagai segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah.” Sementara itu, Bagir Manan60 mempersamakan definisi peraturan perundang-undangan dengan pengertian Undang-Undang dalam arti meteriil, yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Menurut Jimly Asshiddiqie,61 di dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disebut dengan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Sedangkan yang dimaksud dengan jenis adalah macam (peraturan perundang- undangan).
58
Ibid. Maria Farida, op.cit. 60 Bagir Manan, Dasar-Dasar ..., hlm. 3. Bagir Manan menyamakan istilah peraturan perundang-undangan dengan istilah undang-undang dalam arti materiil. 61 Ibid. 59
Pengertian Hierarki itu sendiri adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi62.
Pengertian peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan definisi atau ruang lingkup yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, yang menyatakan bahwa, “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.” Adapun ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo, 63 adalah: 1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifatsifat khusus dan terbatas; 2. Bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja. 3. Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Dalam setiap peraturan, lazimnya mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.
2.4.2
Materi Muatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
62 63
Ibid. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1996), hlm. 83-84.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Materi Muatan Peraturan Perundangundangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Selanjutnya Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undarg diatur di dalam Pasal 8. Materi muatan yang diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang: a. mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: 1. hak-hak asasi manusia; 2. hak dan kewajiban warga negara; 3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; dan 6. keuangan negara, b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untak diatur dengan Undang-Undang.
Sedangkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan diatur didalam Pasal 7 yang menyebutkan, bahwa : (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a.
Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b.
Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c.
Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Mengenai jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang dimaksud di dalam pasal 7 ayat (4) diatas, dijelaskan secara lebih rinci di dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut. Penjelasan Pasal 7 ayat (4) berbunyi: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Pengakuan keberadaan peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu PMK memang diakui. Namun, penjelasannya selanjutnya dalam Penjelasan ayat (5) sendiri, hanya menyebutkan bahwa dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
2.4.3
Materi Muatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Pasal 1 angka 13, Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Kemudian di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut terdapat pada Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan : “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”
Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) mengatur mengenai Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang harus berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Penjelasan lebih rinci mengenai materi peraturan perundang-undangan disampaikan melalui Pasal 11 sampai Pasal 14 Undang-Undang yang sama. Dijelaskan di dalam Pasal 11 bahwa Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Selanjutnya berturut-turut dikatakan bahwa, Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Mengenai materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah,
atau
materi
untuk
melaksanakan
penyelenggaraan
kekuasaan
pemerintahan. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
Di luar peraturan yang diatur dalam Pasal 7 yang telah dijelaskan di atas, pada Pasal 8 ayat (1) di tentukan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Dengan kata lain
peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tersebut diakui
keberadaannya, termasuk dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi berupa PMK.