BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Kata atau istilah “komunikasi” dalam bahasa Inggris “communication”dan berasal dari bahasa latin yaitu”communicatus” atau “communication”atau “communicare” yang berarti “berbagi”atau “menjadi milik bersama” . dengan demikian, kata komunikasi atau menurut kamus bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan.1 Komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui saluran tertentu. Secara umum, komunikasi dapat didefinisikan sebagai usaha penyampaian pesan antar manusia. Komunikasi adalah ilmu yang mempelajari usaha penyampaian pesan antar manusia. 2 Komunikasi adalah kegiatan manusia untuk saling memahami atau mengerti tentang suatu pesan yang dihadapi bersama antara pemberi pesan (komunikator) dan penerima pesan (komunikan), yang pada umumnya berakhir dengan suatu efek atau hasil.3 Kata atau istilah ”komunikasi” (bahasa Inggris communication) berasal dari bahasa Latin ”communicatius atau communicatio atau communicare yang berarti ”berbagi” atau ”menjadi milik bersama”. Dengan demikian, kata
1
Riswandi. Ilmu Komunikasi. Jakarta. Graha Ilmu. Yogyakarta. 2009. hal. 1 Soyomukti, Nurani. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jogjakarta. 2010. hal.55 3 Hikmat, Mahi.M. Komunikasi Politik (Teori dan Praktik). Bandung. 2010. hal.3 2
11
12
komunikasi menurut kamus bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan.4 Sementara Bernard Berelson dan Gary A.Steiner, komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka, dan lain-lain. Menurut Webster New Collection Dictionary, komunikasi adalah” Suatu proses pertukaran informasi diantara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku”. Kegiatan komunikasi pun berjalan seiring dengan kemajuan tehnologi yang ada dan muncul lah berbagai media pendukung komunikasi. Sehingga ada istilah tentang komunikasi massa, yang dapat diartikan sebagai proses penyampaian dari komunikator pada komunikan dengan mengharapkan umpan balik dengan menggunakan media seperti Koran, majalah, radio, kaset, video, televisi sebagai sarananya.
2.2
Pengertian Film Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari kehadiran media massa. Dalam
konteks komunikasi massa, film menjadi salah satu media atau saluran untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu dari untuk mannusia. Film merupakan perwujudan dari seluruh realitas kehidupan dunia yang begitu luas dalam masyarakat. Oleh karenanya film mampu menumbuhkan imajinasi, ketegangan, katakutan, benturan emosional khalayak penonton seolah-olah mereka ikut
4
Riswandi. Ilmu Komunikasi. Jakarta. 2009. hal. 1
13
merasakan mejadi bagian di dalam cerita film tersebut. Selain itu pesan isi film dapat menimbulkan aspek kritik sosial, politik, pendidikan, ilmu pengetahuan, norma kehidupan dan hiburan bagi khalayak penonton. Dalam perkembangan media, audio visual bisa dikatakan sangat ampuh menyampaikan suatu pesan terhadap khalayak banyak dari pada media-media yang lain. Komunikasi yang efektif sangat diperlukan dalam penyampaian pesan. Salah satu media audio visual yaitu film. Film adalah gambar hidup atau sering disebut movie. Gambar hidup adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan dan juga bisnis. Film dihasilkan dari benda dengan kamera dan atau oleh animasi. Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar. Film merupakan perkembangan dari berbagai teknologi, diantaranya teknologi fotografi dan rekaman suara. Film merupakan media komunikasi, bukan hanya untuk hiburan tetapi juga untuk pendidikan dan penerangan. Film memiliki kebebasan dalam menyampaikan sebuah pesan atau informasi. Sebagai objek seni, film dalam prosesnya berkembang menjadi salah satu bagian dari kehidupan sosial, yang tentunya memiliki pengaruh yang signifikan pada masyarakat sebagai penonton. Baik buruknya sebuah film adalah subjektif. 5 Bagi para sineas dan film maker diharapkan memahami konsumsi yang dibutuhkan masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk menentukan film itu baik atau buruk, senang atau tidak senang. Para pekerja media pada hakikatnya adalah mengkontruksi
realitas.
Isi
media
adalah
hasil
para
pekerja
media
mengkontruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Sejauh ini pendekatan
5
Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. 2009. Jakarta. hal.138
14
analisis kepada studi film dianggap sebagai pendekatan yang memadai. Upaya itu akan memberi pengertian yang akan memperdalam apresiasi kita. Jika kita semakin bisa menyerap dan melihat lebih mendalam kepada sebuah film, tingkattingkat baru pengalaman emosional akan muncul.6 Film adalah media audiovisual yang mampu merepresentasikan berbagai latar belakang budaya di mana suatu masyarakat itu tinggal. Kaitan antara film dan masyarakat sesungguhnya terdapat kompetisi dan konflik dari berbagai faktor yang menentukan baik bersifat kultural, subkultural, industrial serta institusional. Dan film terdiri dari simbol-simbol komunikasi, dimana setiap simbol memiliki makna. Film merupakan salah satu media komunikasi karena film memiliki pesan tertentu yang disampaikan baik tersirat atau pun tersurat di dalamnya. Dalam dunia seni, film merupakan media yang paling efektif dalam proses pembelajaran masyarakat. Oey Hong Lee mengemukakan bahwa film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai massapertumbuhannya pada akhir abad ke-19 dengan perkataan lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibuat lenyap. Film tidak menangkap kenyataan realitas apa adanya, tetapi manusia sebagai aktor sosial yang membangun makna. Cerita di dalam film adalah konstruksi pembuatnya (yang memilih realitas-realitas
6
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Analisis Wacana, Analisis Semiotika Dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2004. hal.88
15
tertentu untuk dimasukkan ke dalam karyanya), dan penonton pun memproduksi makna.7 Menurut Seno Gumira Adijarma dalam Buku Membaca Film Garin, dia menjelaskan bahwa film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya. Ketika film ditemukan orang berbondong-bondong memasuki ruang gelap hanya untuk melihat bagaimana kenyataan ditampilkan kembali sama persisnya seperti jika terlihat dengan matanya sendiri. Dengan kata lain, sinematografi memang menjadi ekstensi fotografi. Film dapat dikatakan sebagai salah satu media hiburan yang paling popular, selain televisi tentunya. Menonton film, baik itu di bioskop melalui DVD ataupun VCD bajakan maupun yang orisinil atau mungkin hanya sekedar menonton film di televisi, telah menjadi sesuatu hal yang menyenangkan. Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Gambar hidup adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan dan juga bisnis. Film dihasilkan dari benda dengan kamera dan atau oleh animasi. Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa dikenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan 7
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya. 2003. hal.126.
16
alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera. Film merupakan perkembangan dari berbagai teknologi, diantaranya teknologi fotografi dan rekaman suara. Baik buruknya sebuah film adalah subjektif. Sebuah film dibangun di atas sebuah urutan adegan yang saling berhubungan. Melalui flashbacks, pemotongan adegan, dialog, voiceovers dan berbagai teknik film lainnya . William menuturkan bahwa film dianggap lebih sebagai media hiburan ketimbang media pembujuk. Namun yang jelas, film sebenarnya punya kekuatan bujukan atau persuasi yang besar. kritik publik dan adanya lembaga sensor juga menunjukan bahwa sebenarnya film sangat berpengaruh.8 Film merupakan media komunikasi massa pandang dengar dimana film mengirimkan pesan atau isyarat yang disebut simbol, komunikasi simbol dapat berupa gambar yang ada di dalam film, gambar dalam film menunjukan kekuatan dalam menyampaikan maksud dan pengertian kepada orang lain. Gambar dapat menyampaikan lebih banyak pengertian dalam situasi-situasi tertentu di banding apa yang dapat disampaikan oleh banyak kata indutri film merupakan industri bisnis, predikat ini menggeser anggapan orang yang masih menyakini bahwa film adalah karya seni yang di prosuksi secara kreatif. Film atau gambar bergerak adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual yang ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Film merupakan industri bisnis yang di produksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang–orang yang bertujuan memperoleh estetika.
8
Rivers, William Theodore Peterson, dan Joy. Media Massa dan Masyarakat Modern. Edisi Kedua. Kencana. 2003. hal. 252
17
Film menjadi berbeda dengan bentuk media audio visual yang lainnya macam televisi karena mampu membentuk identitasnya sendiri. Menonton film pada akhirnya akan mendefinisikan perbedaan dengan menonton televisi. Melalui film sebenarnya dapat banyak belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat sekitar maupun masyarakat luar. Dengan demikian dapat mengetahui perbedaan budaya masyarakat sendiri dan budaya masyarakat luar. Komunikasi yang cukup menonjol pada film sebagai media komunikasi massa adalah komunikasi yang terjadi hanya satu arah saja, sehingga khalayak pemirsa pasif karenanya. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau sekian banyak orang dalam waktu singkat, dapat disimpulkan bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayak.9 Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar. Film meniru alur kesadaran yang kita alami secara mental dan visual. Jadi dalam pembuatan sebuah film dituntut menggunakan kemampuan imajinasi untuk menginterpretasikan suatu pesan di dalam film dengan penyajian secara langsung atau tidak langsung seperti pesan-pesan moral, politik, kemanusiaan, dan lain-lain kepada khalayak. Tetapi tidak semua isi pesan dapat di tangkap baik oleh khalayak yang menonton, tergantung kemampuan individu penonton dalam memaknainya. Bila tidak didasari dengan pemahaman yang baik tentang film tersebut maka pemaknaan pesan akan melenceng.
9
McQuail, Dennis. Teori Kominukasi Massa. Jakarta: Erlangga. 2006.hal.14
18
Sementara itu dalam perkembangan teori film untuk mencari perspektif yang lebih mampu menangkap subtansi film, film tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni tetapi lebih sebagai praktek sosial serta komunikasi massa. Dalam praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang komplek dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi. Lebih luas lagi, perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan ideologi kebudayaan dimana film diproduksi dan dikonsumsi. Sedangkan dalam perspektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi film, yang memahami hakikat, fungsi dan efeknya. Perspektif ini memerlukan pendekatan yang terfokus pada film sebagai proses komunikasi. Disamping itu, dengan meletakkan film dalam konteks sosial, politik dan budaya dimana proses komunikasi itu berlangsung, sama artinya dengan memahami pilihan penonton yang gilirannya menciptakan citra penonton film. Lebih singkatnya akan lebih bisa ditangkap hakikat dari proses menonton dan bagaimana film berperan sebagai sistem komunikasi simbolis.10 Film merupakan alat bagi sutradara untuk menyampaikan sebuah pesan bagi penontonnya. Film pada umumnya juga mengangkat sebuh tema atau fenomena yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Karateristik film sebagai show businness merupakan bentuk baru dari perkembangan pasar (McQuail, 1987).
10
Ibid.,
19
2.2.1 Karateristik film Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat menunjukan karateristik film adalah.11 a. Layar yang luas / Lebar Layar Film yang luas dan memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. Dengan adanya kemajuan teknologi, layar film di bioskop-bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian yang nyata dan tidak berjarak. b. Pengambilan Gambar Pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan Panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot-shot tersebut di pakai untuk member kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, film menjadi lebih menarik. c. Konsentrasi Penuh Saat menonton film di bioskop kita terbebas dari gangguan hiruk pikuk. Semua mata tertuju pada layar, sementara fikiran , perasaan tertuju pada alur cerita. Emosi pun terbawa suasana,kita akan tertawa terbahak-bahak manakala adegan film lucu atau sedikit senyum dikulum apabila ada adegan film yang menggelitik . Namun dapat pula kita menjerit ketakuatan bila adegan menyeramkan dan bahkan menangis melihat adegan yang menyedihkan. 11
Karlinah, Siti, Betty Soemirat dan Lukiati Komala. Komunikasi Massa, Op.Cit.,724.
20
d. Identifikasi Psikologis Pengaruh film terhadap jiwa manusia (penonton) tidak hanya sewaktu atau selama duduk di gedung bioskop, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama, misalnya peniruan terhadap cara berpakaian atau model rambut.
2.2.2 Fungsi film Berikut ini adalah beberapa fungsi Film, yang terdiri dari tiga, yaitu sebagai berikut:12 a. Fungsi Hiburan Dalam mensejahterakan Rohani manusia karena membutuhkan kepuasan batin untuk melihat secara visual serta pembinaan. b. Fungsi Penerangan Dalam Film segala informasi dapat di sampaikan secara audio visual sehingga dapat mudah dimengerti. c. Fungsi Pendidikan Dapat memberikan contoh suatu peragaan yang bersifat mendidik, tauladan di dalam masyarakat dan mempertontonkan perbuaranperbuatan yang baik.
12
Buku Sejarah PPH UI, Jakarta, 2008, hal 48.
21
2.2.3 Jenis Film Beberapa jenis film yang biasa di produksi dapat dijelaskan sebagai berikut .13 a. Film Documenter (Documentary Films) Dokumenter adalah sebutan yang di berikan untuk film pertama karya Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1980-an. Film documenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan di buat untuk berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film dokumenter tetap berpijak pada hal-hal senyata mungkin. Seiring dengan berjalannya waktu, muncul berbagai aliran dari film dokumenter misalnya dokudrama (docudrama). dalam docudrama, terjadi reduksi realita demi tujuan-tujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Sekalipun demikian, jarak antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam dokudrama, realita tetap menjadi pegangan. b.Film Cerita Pendek (Short Films) Durasi Film cerita pendek biasanya di bawah 60 menit. Di banyak Negara seperti jerman, Australia, Kanada, Amerika Serikat dan juga Indonesia, Film cerita pendek dijadikan laboraturium eksperimen dan 13
Effendy, Heru. Mari Membuat Film: Panduan Menjadi Produser. Yogyakarta. 2005. hal 11-14.
22
batu loncatan bagi seorang/sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis Film ini Banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik. Sekalipun demikian, ada juga yang memang mengkhususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televisi. c. Film Cerita Panjang (Feature-Length Film) Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film yang di putar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini.
2.3
Kajian Semiotika Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu
yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti „tanda‟ atau „sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata-kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
23
Semiotika adalah ilmu tanda dan istilah ini berasal dari kata Yunani semion yang berarti tanda. 14 Tanda bisa terdapat dimana-mana, misalnya : lampu lalu lintas, bendera, karya sastra, bangunan dan lain-lain. Hal ini disebabkan manusia adalah Homo Semioticus, yaitu manusia mencari arti pada barang-barang dan gejala-gejala yang mengelilinginya (Aart van Zoest, 1978 dan Lavers, t.th.) Menurut John A. Walker semiotika adalah “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Definisi tersebut menjelaskan relasi yang tidak dapat dipisahkan antara sistem tanda dan penerapannya di dalam masyarakat. Oleh karena tanda itu selalu ditempa di dalam kehidupan sosial dan budaya, maka jelas keberadaan semiotika sangat sentral di dalam cultural studies. Tanda tidak berada di ruang kosong, tetapi hanya bisa eksis bila ada komunitas bahasa yang menggunakannya. Budaya, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai bangunan yang dibangun oleh kombinasi tanda-tanda, berdasarkan aturan tertentu (code), untuk menghasilkan makna. Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna.15 Berdasarkan
semiotika
yang
dikembangkan
Saussure,
Barthes
mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, 14
15
Sudjiman, Panuti Aart van Zoest. 2002 Scholes, 1982 dalam Kris Budiman. 2011. hal. 3
24
yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi-atau sistem penandaan tingkat kedua-rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi. Secara terperinci, Barthes dalam bukunya Mythology menjelaskan bahwa sistem signifikasi tanda terdiri atas relasi (R = relation) antara tanda (E = expression) dan maknanya (C = content). Sistem signifikasi tanda tersebut dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang disebut sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua yaitu sistem konotatif dan sistem metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat antara tanda dan maknanya, sedangkan dalam sistem konotatif terdapat perluasan atas signifikasi tanda (E) pada sistem denotatif. Sementara itu di dalam sistem metabahasa terhadap perluasan atas signifikasi makna (C) pada sistem denotatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa merupakan perluasan dari sistem denotatif.16 Piliang menjelaskan bahwa denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti17. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. Sedangkan konotasi adalah tingkat 16 17
Barthes, Roland. Mitologi. Kreasi Wacana. Jogjakarta. 2009 hal. 158 Christomy, Tommy. op. cit., hal. 94.
25
pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti
perasaan,
emosi
atau
keyakinan.
Misalnya,
tanda
“bunga”
mengkonotasikan “kasih sayang”. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (conotative meaning). Menurut Barthes, pada tingkat denotasi, bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi, bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan maknamakna tersembunyi. Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi.
2.4.
Analisis Semiotik Pada dasarnya, analisis semiotik merupakan sebuah ikhtiar untuk
merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi / wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah teks. Maka orang sering mengatakan semiotik adalah
26
upaya menemukan makna ‟berita di balik berita‟.18 Menurut Umberto Eco ahli semiotik, kajian semiotik sampai sekarang membedakan dua jenis semiotik yakni semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi.19 Semiotik komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan. Sementara, semiotik signifikasi tidak mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Pada jenis yang kedua, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan ketimbang prosesnya.20
2.5
Analisis Semiotika Pada Film Secara singkat, dapat kita simpulkan bahwa analisis semiotika (semiotical
analysis) merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap paket-paket lambang pesan atau teks dengan segala bentuknya (sign) baik pada media massa maupun dokumen/teks lainnya. Dengan kata lain, analisis semiotika bekerja untuk melacak makna-makna yang diangkut dengan teks berupa lambang-lambang (signs), dimana tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis dalam penelitian semiotika.21
18
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi. Mitra Wacana Media. Jakarta. 2011. hal.5 19 Ibid., 6 20 Loc.cit 21 Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Jogjakarta: LKiS Pelangi Nusantara. 2007. hal.155.
27
Penelitian terhadap film atau bentuk-bentuk narative story lain yang bersifat audio-visual dapat dilakukan dengan memilih salah satu model analisis semiotika tertentu. 22 Menurut van Zoest film dibangun dengan tanda semata-mata. Pada film digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya. umumnya dibangun dengan banyak tanda, dimana tanda-tanda tersebut (termasuk berbagai sistem tandanya) bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan, terutama dalam bentuk gambar dan suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar.23 Sedangkan menurut Sardar dan Loon, film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentukbentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan.Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (significant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena.
22 23
Ibid., Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Analisis Wacana, Analisis Semiotika Dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2004. hal.128.
28
2.6
Model Semiotika Barthes Kancah penelitian Semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama Roland
Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang menggabungkan kajian yang sebelumnya punya warna yang kental strukturalisme kepada semiotika teks.24 Barthes mengggunakan versi yang jauh lebih sederhana saat membahas model ’glossematic sign’ (tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan subtansi, Barthes mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan content (atau signified) (C): ERC. Sebuah sistem tanda primer (primary sign system) dapat menjadi sebuah elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang berbeda ketimbang semula. Primary sign adalah denotative sedangkan secondary sign adalah satu dari connotative semiotics. Konsep connotative inilah yang menjadi kunci penting dari model semiotika Roland Barthes. Fiske menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign). Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan sgnifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak inter subjektif.
24
Indiwan, op.cit.,16-17
29
Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya.25 Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan medote analisis dan kerangka berfikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda.26 Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan
25
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi – Mitra Wacana Media. Jakarta. 2011, hal.17 26 Ibid, hal 17
30
diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
31
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier (penanda)
2. Signified (petanda)
3. Denotative Sign (tanda denotatif) 4. Connotative Sign (Penanda Konotatif)
5. Connotative Signified (Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif) Sumber : Paul Cobley & Litza Jansz, 1999. Introducing Semiotics. NY : Totem Books, hal. 51.
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative adalah juga penanda konotatif. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : misaalkan hanya jika mengenai tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin. 27 Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif, tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.28
27 28
Cobley, Paul & Litza Jansz. Introducing Semiotics. NY : Totem Books. 2009. hal. 51 Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung . 2009. hal.70.
32
2.7
Nasionalisme Nasionalisme berasal dari kata “nation” (bangsa) adalah sekelompok
manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu dan memiliki rasa persatuan yang timbul karena memiliki kesamaan pengalaman sejarah, serta memiliki citacita bersama yang ingin dilaksanakan di dalam Negara yang berbentuk Negara nasional. Nasionalisme adalah suatu gejala psikologis berupa rasa persamaan dari sekelompok manusia yang menimbulkan kesadaran sebagai suatu bangsa. Nasionalisme merupakan hasil dari pengaruh faktor politik, ekonomi, sosial dan intelektual yang terjadi dalam lingkungan kebudayaan melalui proses sejarah /history. Semangat nasionalisme yang ada pada diri seseorang tidak datang dengan sendiri, tetapi dipengaruhi oleh unsur-unsur sebagai berikut: 1.
Perasaan Nasional
2.
Watak Nasional
3.
Batas Nasional
4.
Bahasa Nasional
5.
Agama
6.
Peralatan Nasional
33
Adapun nilai-nilai yang terdapat di dalam rasa nasionalisme itu sendiri antara lain sebagai berikut : 1.
Nilai Persatuan
2.
Nilai Pengorbanan
3.
Nilai Kecintaan
4.
Nilai Kebanggaan
Nasionalisme tidak semata-mata ditunjukkan melalui kegiatan seremonial dan simbolis semata, akan tetapi diaplikasikan dalam perilaku dan perbuatannya, nasionalisme adalah pilar utama dalam tidak ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh, pengertian nasionalisme disini, tentunya bukan dalam arti sempit, simbolis dan seremonial belaka. Nasionalisme, yaitu hasrat untuk mencapai kesatuan, mencapai kemerdekaan, mencapai keaslian, dan kehormatan bangsa. Jadi seorang nasionalis sejatinya akan mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongannya, dan sebagai warga Negara Indonesia kita bangga memakai produksi dalam negeri untuk mewujudkan hal tersebut, tentulah dibutuhkan instrument atau perangkat kerja.29 Menurut Profesor W. F. Wertheim, nasionalisme dapat dipertimbangkan sebagai suatu bagian integral dari sejarah politik, terutama apabila ditekankan pada konteks gerakan-gerakan nasionalisme pada masa pergerakan nasional. Lagi pula Wertheim juga menegaskan bahwa faktor-faktor seperti perubahan ekonomi, perubahan sistem status, urbanisasi, reformasi agama Islam, dinamika 29
Rochmadi, Nur Wahyu. Kewarganegaraan 1. Yudhistira. 2006. hal.72
34
kebudayaan, yang semuanya terjadi dalam masa kolonial telah memberikan kontribusi perubahan reaksi pasif dari pengaruh Barat kepada reaksi aktif nasionalisme Indonesia. Faktor-faktor tersebut telah diuraikan secara panjang lebar dalam bab-bab buku karangannya yang berjudul : Indonesian Society in Transision: A Study of Social Change (1956). Taniredja dkk (2011: 74) juga menyatakan bahwa nasionalisme adalah paham yang meletakkan kesetiaan tertinggi individu yang harus diberikan kepada negara dan bangsanya, dengan maksud bahwa individu sebagai warga negara memiliki suatu sikap atau perbuatan untuk mencurahkan segala tenaga dan pikirannya demi kemajuan, kehormatan dan tegaknya kedaulatan negara dan bangsa. Dari pengertian-pengertian nasionalisme di atas, dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah cara yang tepat digunakan untuk menyatukan beberapa perbedaan, karena nasionalisme lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan individu.
2.7.1 Ciri-ciri Nasionalisme: Beberapa ciri nasionalisme yang dapat dijelaskan adalah sebagai berikut : 1. Nasionalisme ialah cinta pada tanah air, ras, bahasa atau sejarah budaya bersama. 2. Nasionalisme ialah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa.
35
3. Nasionalisme ialah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagianbagiannya. 4. Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri.
2.7.2 Kekuatan-kekuatan Nasionalisme Beberapa kekuatan-kekuatan nasionalisme dapat dijelaskan sebagai berikut ini:30 1. Keinginan untuk bersatu dan berhasil dalam me-nyatukan wilayah dan rakyat; 2. Perluasan kekuasan negara kebangsaan; 3. Pertumbuhan dan peningkatan kesa-daran kebudayaan nasional dan 4. Konflik-konflik kekuasaan antara bangsa-bangsa yang terangsang oleh perasaan nasional.
Nasionalisme sekarang harus dapat mengisi dan menjawab tantangan masa transisi. Tentunya nilai-nilai baru tidak akan menggoncangkan nasionalisme itu sendiri selama pendukungnya yaitu bangsa Indonesia tetap mempunyai sense of belonging, artinya memiliki nilai-nilai baru yang disepakati bersama. Nasionalisme pada hakekatnya 30
Ibid., 35
36
adalah
untuk
kepentingan
dan
kesejahteraan
bersama,
karena
nasonalisme menentang segala bentuk penindasan terhadap pihak lain, baik itu orang per orang, kelompok-kelompok dalam masyarakat, maupun suatu bangsa. Nasionalisme tidak membeda-bedakan baik suku, agama, maupun ras.
Nasionalisme dibedakan menjadi dua macam yaitu :31 a. Nasionalisme dalam arti luas yaitu perasaan cinta / bangga terhadap tanah air dan bangsanya dengan tidak memandang bangsa lain lebih rendah derajatnya. b. Nasionalisme dalam arti sempit yaitu perasaan cinta/bangga terhadap tanah air dan bangsanya secara berlebihan dengan memandang bangsa lain lebih rendah derajatnya.
Ada beberapa bentuk nasionalisme : a. Nasionalisme kewarganegaraan (nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan (partisipasi) aktif rakyatnya. b. Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat.
31
Ibid., 37
37
c. Nasionalisme
romantik
(juga
nasionalisme
identitas)
adalah
disebut
nasionalisme
nasionalisme
organik,
dimana
negara
memperoleh kebenaran politik sebagai suatu yang alamiah yang merupakan ekspresi dari sebuah bangsa atau ras. d. Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan tidak bersifat turun temurun seperti warna kulit, ras ataupun bahasa. e. Nasionalisme
kenegaraan
ialah
variasi
nasionalisme
kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, Facisme, serta nasionalisme Turki kontemporer, dan sebagainya. f. Nasionalisme agama atau religius ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu.
38
2.8
Prinsip-Prinsip Nasionalisme dalam Film Soegija Terdapat begitu banyak jenis cinta karena ada demikian banyak cara yang
kita tempuh untuk mencerminkan dan menginterpretasikan berbagai dorongan, motivasi dan relasi interpersonal (Beall dan Stenberg dalam Friedman, 2008:144).32 Menurut Michael Aflag dari Syria, “Nasionalisme adalah cinta”. Kedourie mengatakan bahwa nasionalisme merupakan cinta abstrak yang telah menyulut tindakan-tindakan teror terhebat.33 Menurut Douglas Weeks nasionalisme merupakan formalisasi dari kesadaran nasional yang membentuk bangsa dalam arti politik yaitu negara nasional.34 Rollo may mendeskripsikan berbagai tipe cinta. Tipe-tipe cinta ini terdiri dari : seks (peredaan ketegangan, nafsu); eros (cinta prokreatif-pengalaman yang enak); filia (cinta persaudaraan); agape(pengabdian pada kesejahteraan orang lain, cinta yang tidak hanya memikirkan diri sendiri); cinta otentik, yang menggabungkan tipe-tipe cinta lainnya.35 Berdasarkan pendapat tersebut maka nasionalisme yang ditunjukkan oleh Soegija termasuk jenis filia (cinta persudaraan) dan agape (pengabdian pada kesejahteraan orang lain, cinta yang tidak hanya memikirkan diri sendiri). Hal ini
32
Friedman, Howard. S dan Miriam W. Schustack.Kepribadian, Teori Klasik dan Riset. 2008. hal.144 33 Smith, D Anthony. NasionalismeTeori Ideologi Sejarah. Jakarta: Erlangga. 2003. hal.38 34 Pigay, Decki Natalis. Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua. 2000. hal.55 35 Friedman, Howard. S dan Miriam W. Schustack. Kepribadian, Teori Klasik dan Riset. 2008. hal.145
39
dikarenakan nasionalisme tidak lepas dari rasa persaudaraan, rasa senasib sepenanggungan (filia) dan mengutamakan kepentingan bangsa (agape).
2.9
Nasionalisme Religius Nasionalisme religius sendiri adalah paham mengenai kebangsaan yang
meletakkan nilai-nilai keagamaan sebagai sendi dasar dalam kehidupan bernegara. Pada film Soegija, pengamalan dari Nasionalisme religius ditunjukkan oleh tokoh Soegija bukan berarti bahwa dia mengunggulkan kebaikan-kebaikan dari agama yang dipimpinnya ataupun memiliki misi khusus penyebaran agamanya yang diselipkan dalam misi kemanusiaan selama masa perjuangan kemerdekaan. Nasionalisme dan agama tidak bertentangan. Mereka mempunyai semangat dan urusan yang sama tentang kemanusiaan, hanya saja agama mentransendensikan
nilai-nilai
universal
sedangkan
nasionalisme
adalah
pembumian nilai-nilai ideologis dalam konteks pluralitas historis-sosiologis dengan segenap karakter lokalnya. Nasionalisme religius merupakan perpaduan antara semangat kebangsaan dan keberagamaan. Nasionalisme Indonesia bersumber kepada Pancasila, sedangkan semangat religius bersumber kepada ajaran Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat. Antara nilai-nilai Pancasila dan Islam dapat saling dikompromikan dan tidak berbenturan. Kedua unsur tersebut saling mengisi yang melahirkan semangat nasionalisme yang beragama dan semangat beragama yang nasionalis.
40
Nasionalisme religius dari tokoh Soegija tercermin melalui salah satu bentuk perjuangannya melalui jalur agama untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dapat kita lihat pada gerakan diplomasi yang Soegija lakukan dengan pihak Roma, Vatikan. Roma Vatikan merupakan pusat dari agama Katholik dunia.
2.10
Humanisme Pengertian humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian
manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme
biasanya
memfokuskan
pengajarannya
pada
pembangunan
kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme. Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap individu dipengaruhi dan dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Teori humanisme ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
41
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist” Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini. Berbeda dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manuisa atau dengan freudian yang melihat motivasi sebagai berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah satu ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia, bukan spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi manusia dan motivasi yang dimiliki binatang. Hirarki kebutuhan motivasi maslow menggambarkan motivasi manusia yang berkeinginan untuk bersama manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga menggambarkan motovasi dalam level yang lebih rendah seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan.
42
Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap individu dipengaruhi dan dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Teori humanisme ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Humanisme berasal dari latin, humanis; manusia, dan isme berarti paham atau aliran. Mangun Harjana mengatakan, pengertian humanisme adalah pandangan yang menekankan martabat manusia dan kemampuannya. Menurut pandangan ini manusia bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri dan memenuhi kepatuhan sendiri mampu mengembangkan diri dan memenuhi kepenuhan eksistensinya menjadi paripurna.36 Semula humanisme adalah gerakan dengan tujuan untuk mempromosikan harkat dan martabat manusia. Sebagai pemikiran etis yang menjunjung tinggi manusia. Humanisme menekankan harkat, peran, tanggugjawab menurut manusia. Menurut humanisme manusia mempuyai kedudukan yang istimewa dan berkemampuan lebih dari mahluk lainya karena mempunyai rohani. Pandangan humanisme membuat manusia sadar kembali tentang harkat dan martabat manusia sebagai mahluk rohani. Etika rohani mendasari manusia untuk bertanggungjawab dalam kehidupan di dunia.
36
Harjana, Mangun. Isme-Isme Dari A Sampai Z. (Kanisius, Yogyakarta, 2004).
43
Dalam pengunaan F.C.S Schiller dan William James, humanisme diangkat sebagai pandangan yang bertolak belakang dengan absolutisme filosofis. Ini tidak kembali kepandangan protagoras. Alasannya pandangan Schiller dan James dipandang melawan hal-hal absolut metafisis dan bukan yang epestimologis, yaitu melawan dunia tertutup idealisme absolut. Oleh karena itu, penekanannya pada alam atau dunia yang terbuka, pluralisme dan kebebasan manusia.37 Pembagian sejarah humanisme dibagi menjadi tiga periode : g. Zaman Antik Orang Romawi 2000 tahun yang lalu menggunakan kata humanis untuk menunjukan cita-cita yang mengusahakan pengembangan tertinggi etis kultural kekuatan-kekuatan manusia dalam bentuk secara estetik sempurna, bersama dengan sikap baik hati dan kemanusiaan. Tokoh Cicero (106-43 SM) cita-cita humanisme berkembang dalam stoa dengan tokoh Seneca dan Marcus Aurelius.
h. Pra-Renaisance Tahap inilah barangkali kunci kelahiran abad modern, abad ke- 14 Italia dunia kristiani mulai menemukan cita-kemanusiaan Yunani dan Romawi. Seni klasik mulai berkembang terutama patung-patung tubuh manusia memberi sumbangan besar seni di zaman itu. Manusia mulai ditempatkan sebagai pusat perhatian. Pendidikan dipandang sebagai 37
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia (Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung. Rosdakarya. 2000. hal. 65.
44
pengembangan manusia, manusia dianggap tolak ukur kewajaran kehidupan; pada waktu itu tek kuno dalam filsafat mulai diteliti sastra dan diterjemah. Peran Paus di Roma ikut dalam gerakan diusahakan mendamaikan agama kristiani dengan kebudayaan kuno (Socrates dan Plato). Ciri periode ini adalah wawasan yang luas, optimis penolakan terhadap kepicikan dan keadilan usaha. Dua tahap humanisme itu merupakan tahap pertama kearah sekularisasi dunia eropa tengah dan barat tokoh puncak humanisme adalah Trasmus dan Rotterdam (1466-1536).
c. Tahap Humanisme Modern Humanisme untuk sebagian bangsa Eropa berpengaruh terutama dalam kehidupan rohani. Mendorong gereja mentranformasikan diri dari dalam dan mencoba kedalam hidup batin disisi lain. Di abad 15 dan renaisance di abad 16 kita menyaksikan gerakan pembaharuan religius Eropa. Di eropa utara devotia moderne mengusahakan pendalaman mistis, kita menyaksikan kelompok yang melakukan tapa. Kehidupan katolik di abad 16 ditandai oleh kelompok mistik dan hidup rohani, Santa Theresia dan Avila, Santo Johanes dan Cruz dan Santo Ignasius dari Yolala. Abad pertengahan berakhir sesudah abad pencerahan abad 15 dan 16. Pada saat orang mencari alternatif untuk kebudayaan tradisional (yang sama sekali diresapi suasana Kristiani perhatian diarahkan kepada satu-satunya kebudayaan yang lain yang mereka kenal, yaitu kebudayaan Yunani dan
45
Romawi. Kebudayaan itu sangat mereka dewa-dewakan dan diambil sebagai contoh untuk segala bidang kultural. Humanisme barat berkembang dalam dua bentuk, yaitu sebagai berikut : a. Humanisme moderat. Humanisme moderat menjunjung tinggi keutamaan manusia yang luhur seperti kebaikan hati, kebebasan hati, wawasan yang luas, keterkaitan dengan seni, universalisme (nilai budi dijunjung tinggi). Merasa dekat dengan alam, penolakan fatalisme, toleransi positif, Tokoh peyair Jerman Goeth, Schiller serta Wilhelm Von Humbold. b. Humanisme anti agama dipahami sebagai takhayul atau keterikatan manusia pada irasionalitas sehingga manusia dapat menemukan dirinya jika ia melepaskan diri dari agama.Tokoh humanisme atheis Ludwig Feurbach (1804-1872) yang memakai agama sebagai keterangan manusia. Karx Marx memandang agama sebagai candu masyarakat. Disebut juga Friederic Nietzsche, Sigmund Freud (agama sebagai ilusi) dan Jean Paul Sartre. Rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki oleh manusia untuk mengenali realitas, untuk menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas,
estetika,
menentukan
arah
hidup,
perkembangan
sejarah,
memecahkan masalah ekonomi. Antroposentrisme humanisme muncul dengan datangnya rasionalisme yang tidak lagi percaya bahwa hukum alam besifat mutlak. Rasionalisme inilah yang melahirkan renaissance suatu gerakan membangun kembali
46
manusia dari kungkungan mitologi dan dogma. Cita-cita renaisance adalah mengembalikan kedaulatan manusia yang selama berabad-abad dirampas oleh dewa dan mitologi untuk mengusai nasibnya sehingga kehidupan berpusat pada manusia bukan pada Tuhan.