BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Komunikasi Kata komunikasi menjadi salah satu kata yang paling sering digunakan
dalam percakapan masyarakat dalam bahasa inggris maupun bahasa Indonesia. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Pengertian komunikasi tersebut sifatnya mendasar, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi bukan hanya informatif, yaitu agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan. 1 Stephen
Littlejohn
mengatakan
tentang
komunikasi
sebagai
berikut:
Communication is difficult to define. The word is abstract and like most terms, posses numerous meanings (komunikasi sulit untuk didefinisikan. Kata "komunikasi" bersifat abstrak, seperti kebanyakan istilah memiliki banyak arti).2 Frank Dance (1970) mengklasifikasikan ragam teori komunikasi berdasarkan sifat-sifatnya. Ada tiga elemen dasar yang ia gunakan untuk membedakan komunikasi berdasarkan "diferensiasi konseptual kritis" (critical
1 Onong Effendy Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Cetakan ketujuh belas, Bandung: PT. RemajaRosdakarya, hal. 9 2 Morissan. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana. 2013, hal. 8
8
9
conceptual differentiation) yang membentuk dimensi dasar teori komunikasi yang terdiri atas: 1) dimensi level observasi; 2) dimensi kesengajaan; dan 3) dimensi penilaian normatif.1 Griffin mendefinisikan komunikasi sebagai “Communication is the relational process of creating and interpreting messages that elicit a response. (Komunikasi adalah proses relasional penciptaan dan penafsiran pesan yang membentuk sebuah respon). 2 Menurut Carl I. Hoveland, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap.3 Serta agar lebih bisa memahami konten media massa saat ini, khususnya pesan dalam program-program di stasiun televisi yang dibingkai dengan perspektif kritis. Carl I. Hoveland juga mengungkapkan bahwa komunikasi itu sendiri adalah suatu proses ketika seseorang (komunikator) memindahkan perangsang (yang biasanya berupa lambang-lambang atau kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang lain.4 Komunikasi menurut Hoveland bukan hanya sekedar kegiatan tukar menukar pikiran atau pendapat saja, akan tetapi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk berusaha mengubah pendapat dan tingkah laku orang lain yang berarti menempatkan komunikasi sebagai kontrol sosial. Berdasarkan uraian definisi tentang komunikasi diatas, penulis menyimpulkan bahwa komunikasi ialah proses pertukaran informasi, penafsiran informasi
1
Ibid, hal. 9-10 Merv Griffin. 2012. First Look at Communication Theory Eighth Edition. McGraw-Hill, hal. 6 3 Effendy, op.cit, hal. 10 4 Ibid, hal. 10 2
10
yang akhirnya membentuk pengertian kedua pihak tersebut dan pada akhirnya mengubah pendapat dan perilaku orang lain. 2.2
Komunikasi Massa Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia (human
communication). Ia lahir seiring dengan penggunaan alat-alat mekanik yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi. Dalam catatan sejarah publistik, komunikasi massa dimulai satu setengah abad setelah mesin cetak ditemukan oleh Johan Gutanberg5. Pengertian komunikasi massa adalah komunikasi dengan media massa (audiens atau khalayak sasaran). Massa disini dimaksudkan sebagai para penerima pesan (komunikan) yang memiliki status sosial dan ekonomi yang heterogen satu sama lainnya. Pada umumnya proses komunikasi massa tidak menghasilkan feedback (umpan balik) yang langsung, tetapi tertunda dalam waktu yang relatif6. Definisi komunikasi massa lainnya dikemukakan oleh Gerbner yaitu komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri. Dari
definisi
tersebut
tergambar
bahwa
komunikasi
massa
itu
menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut
3 6
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, Grasindo, Jakarta, 2004, halalaman 67 Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, halaman 16
11
disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan, dwimingguan atau bulanan. Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan oleh perorangan, melainkan harus lembaga dan membutuhkan suatu teknologi tertentu, sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri7. Massa seringkali sangat besar. Para anggotanya tersebar luas dan biasanya tidak saling mengenal satu sama lain, termasuk orang yang melahirkan massa tersebut. Massa kurang memiliki kesadaran diri dan identitas diri serta tidak mampu bergerak secara serentak dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Komunikasi massa adalah sebuah proses yang terjadi atas serangkaian tahap sebagai berikut: 1.
Formulasi pesan oleh komunikator professional
2.
Penyebaran pesan dengan cara relatif cepat dan terus menerus melalui media (biasanya media cetak, film dan broadcasting, radio atau TV).
3.
Pesan mencapai khalayak yang jumlahnya relatif besar dan beragam individu anggota dari khalayak mencoba menafsirkan pesan sehingga memperoleh pemahaman yang sama sebagaimana yang dimaksud komunikator8.
7
Elvinaro Ardianto. Et.all, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media, 2007, hal 3 8 Tommy Suprapto, Pengantar Teori Komunikasi, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006, hlm.5
12
4.
Sebagai hasil memahami pesan, maka selanjutnya anggota kelompok ini sampai level tertentu akan terpengaruh oleh pesan tersebut9.
2.3
Ciri Komunikasi Massa
Ciri komunikasi massa adalah:10 a. Berlangsung searah Komunikasi berlangsung satu arah, berarti komunikasi melalui media massa tidak mendapatkan arus balik langsung dari komunikan kepada komunikator. b. Komunikator Melembaga Dalam menyampaikan sesuatu bertindak atas nama lembaga, berupa media massa yang diwakilinya dan tidak memiliki kebebasan secara individu untuk menyampaikan sesuatu kepada khalayak, kebebasan yang dimilikinya hanya kebebasan yang terbatas. c. Pesan Bersifat Umum Pesan yang disebarkan tidak tertuju pada perorangan atau kelompok orang tertentu, tetapi lebih bersifat umum karena ditujukan untuk khalayak umum dan kepentingan umum.
9
Dennis McQuail, Massa Communication Theory atau Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta,1987 halaman 33. 10 Mondry, Pemahanan Teori dan Praktik Jurnalistik, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008,halaman 14 15
13
d. Menimbulkan Keserempakan Media massa mampu menimbulkan keserempakan terhadap khalayak dalam menerima pesan yang disampaikan. e. Komunikan Heterogen Sasaran komunikan yang dituju atau menjadi sasaran media massa bersifat heterogen. Keberadaan mereka juga berpencar, tidak saling mengenal dan tidak dapat melakukan kontak secara pribadi. Para komunikan itu11 juga berbeda dalam banyak hal, seperti jenis kelamin, agama, usia, pendidikan, pekerjaan, budaya dan pandangan hidup. 2.4
Fungsi Komunikasi Massa
Fungsi komunikasi massa menurut Dominick (2001) terdiri dari:12 1. Surveillance (Pengawasan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: a.
Warning or beware surveillance (pengawasan peringatan). Fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan
tentang ancaman dari angin topan, meletusnya gunung merapi, kondisi yang memprihatinkan, tayangan inflasi atau adanya serangan militer.
11 12
M. McLuhan, Understanding Media: The Extensive of Man, New York, 1964, hal 11 Elvinaro Ardianto & Lukiati K. Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Op.Cit, halaman 6-12
14
b.
Instrumental surveillance (pengawasan instrumental) Fungsi pengawasan instrumental adalah penyampaian atau penyebaran
informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. 2.
Interpretation (Penafsiran) Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan
penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca atau pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut dalam komunikasi antar pesona atau komunikasi kelompok. 3.
Linkage (Pertalian) Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam,
sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu. 4.
Transmission of Values (Penyebaran Nilai-Nilai) Fungsi penyebaran nilai juga disebut socialization (sosialisasi). Sosialisasi
mengacu kepada cara, dimana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar dan dibaca.
15
5.
Entertainment (Hiburan) Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur tiada lain tujuannya
adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak, karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tayangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali13.
2.5
Televisi Sebagai Media Massa Televisi merupakan salah satu jenis media komunikasi massa yang paling
efektif diantara media-media yang lainnya. Hal itu dikarenakan sifatnya yang audio-visual
(pandang-dengar),
serta
karakteristiknya
yang
mampu
menyampaikan pesan atau informasi kepada audience (penonton). Televisi adalah sebuah media telekomunikasi terkenal sebagai penerima siaran gambar bergerak beserta suara, baik itu yang monokrom ("hitam putih") maupun warna, "Televisi" juga dapat diartikan sebagai kotak televisi, acara televisi atau transmisi televisi. Kata "televisi" merupakan gabungan dari kata tele ("jauh") dari bahasa Yunani dan visio ("penglihatan") dari bahasa Latin. Sehingga televisi dapat diartikan sebagai telekomunikasi yang dapat dilihat dari jarak jauh.
13
Elvinaro Ardianto & Lukiati Komala, Komunikasi massa suatu pengantar,Simbiosa Rekatama Media, Bandung,2009,hal 3
16
2.6
Karakteristik Media Televisi Sebagai media audio visual, televisi memiliki karakteristik sebagai berikut:
Informasi disampaikan kepada komunikan melalui proses pemancaran atau transmisi. 1. Isi pesan audio visual, artinya dapat didengar dan dilihat secara bersamaan pada waktu ada siaran. 2. Sifatnya periodik atau tidak dapat diulang. 3. Sifatnya transitori (hanya meneruskan). Pesan-pesan yang diterima hanya bisa dilihat dan didengar secara sekilas. 4. Dapat menyajikan peristiwa atau pendapat yang sudah terjadi. 5. Dapat menyajikan pendapat narasumber secara langsung dan orisinil. 6. Dapat menyajikan peristiwa atau pendapat yang sedang terjadi. 7. Bahasa yang digunakan formal dan non formal (bahasa tutur). 8. Kalimat singkat, padat, sederhana dan jelas. 9. Makna berkala dibatasi oleh detik, menit dan jam dan penulisan dibatasi oleh detik menit dan jam.
17
2.7
Fungsi Media Televisi Fungsi televisi ada empat, yaitu sebagai berikut :
1.
Memberi
informasi
televisi,
sebagai
penyebar
informasi
bagi
penonton/pemirsa. 2.
Mendidik, televisi merupakan sarana pendidikan bagi khalayak.
3.
Menghibur, televisi mendesain program-program yang menghibur.
4.
Membujuk, mempengaruhi khalayak 14.
2.8
Program Televisi Program atau acara yang disajikan adalah faktor yang membuat audien
(penonton) tertarik untuk mengikuti siaran yang dipancarkan stasiun penyiaran televisi15. 2.9
Jenis Program Televisi Jenis program televisi dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Program Informasi adalah segala jenis siaran yang bertujuan memberi tambahan pengetahuan (informasi). a. Hard News, informasi yang penting dan harus segera disiarkan. b. Soft News, informasi yang penting, disampaikan secara mendalam namun tidak bersifat harus segera disiarkan. 14 15
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi,Kencana Prenada Media Group,2006,hal 78 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi Edisi Revisi, Raja Grafindo, Jakarta ,2009, hal 126
18
c. Investigative Reportase atau disebut juga dengan laporan penyidikan (investigasi) adalah jenis berita yang eksklusif. Datanya tidak bisa diperoleh di permukaan, tetapi harus dilakukan berdasarkan penyidikan, sehingga penyajian berita seperti ini membutuhkan waktu yang lama dan tentunya akan menghabiskan energi reporternya. 2.
Program Hiburan adalah segala bentuk siaran yang bertujuan untuk menghibur khalayak.
a. Drama, program yang menyajikan cerita mengenai kehidupan. b. Musik, program yang disajikan dalam dua format, yaitu video klip atau konser. c. Game Show (permainan), suatu bentuk program yang melibatkan sejumlah individu atau kelompok (tim) yang bersaing dalam memperebutkan hadiah tertentu. d. Pertunjukan, siaran yang menampilkan satu atau banyak pemain yang berada diatas panggung. 2.10
Dokumenter Televisi Film dokumenter menurut Nichols (1991) dalam Representing Reality
adalah upaya menceritakan kembali sebuah kejadian atau realitas, menggunakan fakta dan data.16 Dalam film dokumenter, subjektivitas merupakan elemen yang tidak terhindarkan, sedangkan objektivitas adalah hal yang semu. Coba
16
Chandra Tanzil. Dkk.2010. Pemula Dalam Film Dokumenter: Gampang-gampang susah. hlm:1. Jakarta: In-Docs.
19
bayangkan, bagaimana Anda bisa menempatkan posisi kamera dengan objektif? Bagaimana Anda bisa dengan objektif menempatkan posisi subjek dalam bingkai kamera? Bagaimana urutan gambar bisa kita pilih secara objektif di tahap pengeditan? Ucapan-ucapan dari subjek mana yang secara objektif harus kita pilih? Dan seterusnya. Itu sebabnya objektifitas adalah dunia subjektif.17 Sederhananya, pembuat film dokumenter adalah kegiatan yang meliputi serangkaian pilihan signifikan mengenai apa yang akan kita rekam, bagaimana cara merekamnya, apa yang harus digunakan dan bagaimana menggunakannya secara efektif. Pada akhirnya, apa yang akan ditampilkan di depan penonton bukan kejadian itu semata. Anda akan menampilkan pendapat Anda, sebuah konstruksi dengan dinamika dan penekanan sesuai dengan logika Anda sendiri (Taylor. 1997. hlm: 8).18 John Grierson adalah seorang bapak film dokumenter. Ia menyatakan bahwa film dokumenter adalah penggunaan cara-cara kreatif dalam upaya menampilkan kejadian atau realitas. Itu sebabnya, seperti halnya film fiksi, alur cerita dan elemen dramatik menjadi hal yang penting; begitu pula dengan bahasa gambar (visual grammar), karena tujuan film dokumenter bukan sekedar menyampaikan informasi. Pembuat film dokumenter ingin penontonnya tidak hanya mengetahui topik yang diangkat, tapi juga mengerti dan dapat merasakan persoalan yang dihadapi subjek. Pembuat film ingin agar penonton tersentuh dan bersimpati kepada subjek film. Untuk itu diperlukan pengorganisasian cerita
17 18
Ibid, hlm. 4. Ibid, hlm. 5.
20
dengan subjek yang menarik, alur yang mampu membangun ketegangan, sudut pandang yang terintegrasi.19 Dalam perjalanan perkembangan film dokumenter, juga terdapat beberapa nama lain sebagai pelopor film dokumenter yang dicatat dalam sejarah, yang sampai saat ini teori atau metode masing-masing masih tetap menjadi referensi dalam setiap kajian atau pembahasan teori film, antara lain adalah Robert Flaherty, John Grierson, Dziga Vertov dan lain-lain.20 Robert Flaherty atau dikenal dengan Bapak film dokumenter, sampai saat ini, karyanya masih dijadikan materi untuk pembahasan perihal sejarah dan teori estetika film, disamping namanya juga diperhitungkan sebagai titik tolak perkembangan film dokumenter dan film etnografi.21 Saat ini, perkembangan teknologi serta program dokumenter dalam tayangan televisi, mempengaruhi gaya dan kemasan film dokumenter. Gaya dan bentuk film dokumenter memang lebih memiliki kebebasan dalam bereksperimen meskipun isi ceritanya tetap berdasarkan sebuah peristiwa nyata apa adanya. Ketika teknologi audio-visual berkembang, salah satu contohnya adalah televisi, maka bentuk dan gaya dokumenter pun ikut berkembang. Karena produksi program televisi bertujuan komersial seperti halnya barang dagangan, para sineas pun mencoba segala macam cara sehingga ada pula yang mengesampingkan metode dasar bertutur film dokumenter. Akhirnya, bentuk film 19
Rabiger. 1992. Hlm. 11. Gerzon Ron Ayawaila. 2008. Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi. hlm: 8. Jakarta: FFTVIKJ Press. 21 Ibid, hlm. 10. 20
21
dokumenter terpecah menjadi dua kategori, yaitu: film dokumenter dan televisi dokumenter.22 Berikut ini terdapat empat kriteria yang menerangkan bahwa dokumenter adalah film non fiksi, yaitu: 1.
Setiap adegan dalam film dokumenter merupakan rekaman kejadian sebenarnya.
2.
Yang dituturkan dalam film dokumenter berdasarkan peristiwa nyata (realita).
3.
Sebagai sebuah film nonfiksi, sutradara melakukan observasi pada suatu peristiwa nyata, lalu melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya.
4.
Apabila struktur cerita pada film fiksi mengacu pada alur cerita atau plot, dalam dokumenter konsentrasinya lebih pada isi dan pemaparan.23 Dalam dokumenter juga dikenal semi dokumenter yaitu merupakan
gabungan peristiwa fakta dengan fiksi. Dalam dokudrama, peristiwa yang pernah terjadi direkonstruksi kembali dengan kemasan baru.24 Pada prinsipnya program dokumenter dalam tayangan televisi yang merupakan perkembangan dari format program jurnalistik yang terdiri dalam lima kategori yaitu: 1.
Esai berita aktual, bentuk ini dipakai untuk laporan berita (report/news) reportase, menayangkan suatu peristiwa secara selintas.
22
Ibid, hlm. 21. Ibid, hlm. 22-23. 24 Ibid. 23
22
2.
Feature, termasuk reportase yang dikemas secara lebih mendalam dan luas disertai sedikit sentuhan aspek human interest agar memiliki unsur dramatika.
3.
Magazine merupakan gabungan dari uraian fakta dan opini yang dirangkai dalam satu mata acara. Isi magazine dapat berupa gabungan uraian berita sejenis. Teknik penyajian magazine ada yang menampilkan satu atau dua pembawa acara, bahkan ada pula yang tanpa penyiar. Magazine termasuk dalam jajaran berita berkala, karena sebagian besar materinya bersifat tidak terikat waktu alias timeless, hanya saja penyajiannya lebih diperdalam (eksploratif).
4.
Dokumenter televisi, tema atau topik yang disuguhkan dengan gaya bercerita, menggunakan narasi (kadang dengan voice over - hanya terdengar suara
tanpa
wajah
yang
menyuarakan
tampak
dilayar
monitor),
menggunakan wawancara, juga ilustrasi musik sebagai penunjang gambar visual (picture story). 5.
Dokumenter seri televisi, dokumenter dalam format siaran televisi tidak selalu berupa karya jurnalistik televisi atau diniatkan semata untuk paket siaran berita. Televisi memiliki potensi luas untuk mengembangkan penyuguhan dokumenter sebagai karya artistik, juga hiburan dalam paket acara khusus. 25 Berdasarkan lima kategori dokumenter di atas, penelitian ini hanya fokus
membahas salah satu dari kategori tersebut, yaitu tentang dokumenter televisi. 25
Ibid, hlm. 24-28.
23
Dokumenter televisi, yaitu tema atau topik yang disuguhkan dengan gaya bercerita dan program dokumenter televisi yang menjadi objek penelitian ini adalah pada Program Dokumenter TV Melawan Lupa di Metro TV episode 29 Oktober 2013. Graeme Burton dalam bukunya Talking Television: An Introduction to The Study Talk Television (2000), menerangkan bahwa banyak program televisi yang berkembang biak dari dokumenter (selain kategori jurnalistik). Televisi telah merombak kemurnian dokumenter menjadi produk hibrida, yang menggabungkan fiksi dengan realita. Semua dipayungi dengan istilah infotainment. Dokumenter menjadi tayangan yang lebih menjanjikan dibandingkan sinetron. Tetapi dokumenter perlu dimanipulasi atau direkayasa agar laku dijual. Aktualitas, realitas dan otensititas bukan sesuatu yang perlu dipertahankan yang penting produk jualan tersebut harus laku dan menguntungkan hegemoni televisi.26 Saat ini dokumenter menjadi pijakan untuk program televisi masa kini, terutama di Indonesia, karena ada kecenderungan bahwa program drama seperti sinetron sudah mulai menjenuhkan. Kecuali bila ada peningkatan kualitas, tetapi kualitas menuntut penambahan biaya produksi. Padahal baik stasiun televisi maupun rumah produksi dalam kondisi kurang gizi. 27 Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, saat ini program dokumenter televisi yang seharusnya menampilkan tayangan atau realitas yang sesungguhnya, saat ini juga dirasakan ikut melakukan kegiatan komodifikasi yaitu 26 27
Ibid, hlm : 28-29. Ibid.
24
mengubah nilai guna menjadi nilai yang dapat ditukar di pasar atau laku di pasar. Dengan tujuan utamanya agar dapat memperoleh keuntungan (kapitalis). 2.11
Teori Kritis Teori kritis merupakan teori yang berasal dari teori kritik masyarakat, yang
bermaksud untuk membebaskan masyarakat dari manipulasi ilmu modern.28 Kecenderungan
teori
kritis
mengarah
pada
determinisme
ekonomi.29
Determinisme ekonomi atau ekonomisme merupakan suatu penafsiran positivistik atas ajaran Marx dalam Das Kapital.30 Fur Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) merupakan suatu organisasi yang diasosiasikan dengan teori kritis di Universitas Frankfurt yang dibentuk secara resmi di Frankfurt, Jerman pada 23 Februari 1923 (Wiggershaus, 1994)31 oleh Theodor Wiesengrund Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Erick Fromm, Walter Benjamin dan Jurgen Habermas.32 Mereka mengembangkan teori dan penelitian kritis dengan tujuan untuk mengungkapkan kontradiksikontradiksi sosial yang melatar-belakangi lahirnya masyarakat kapitalis pada masa itu maupun kerangka - kerangka ideologi umum untuk membangun sebuah kritik teoretis kapitalisme modern.33
28
Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon. Op.cit. George Ritzer dan Douglas J Goodman. 2011. Teori Marxisme dan Berbagai Ragam Teori NeoMarxian, hlm. 103. Bantul: Kreasi Wacana. 30 F.Budi Hardiman. 2009. Kritik Ideoligi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, hlm 11. Jakarta: Penerbit Kanisius. 31 George Ritzer dan Douglas J Goodman. Op.cit. 32 Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon. Op.cit, hlm. 35. 33 Dominic Strinati. 2009. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, hlm. 95. Sleman: Ar-Ruzz Media. 29
25
Teori kritis merupakan ideologiekritik (kritik ideologi), yaitu suatu yang refleksi diri untuk membebaskan pengetahuan manusia. Teori kritis juga mengemban tugas untuk membuka kedok ideologis positivisme. 34 Kritik atas kapitalisme dan determinisme ekonomi menjadi kata kunci penting yang melatar belakangi kemunculan teori kritis. 35 Menurut Marx, kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana sejumlah besar pekerja, yang hanya memiliki sedikit hak milik, memproduksi komoditas-komoditas demi keuntungan dari sejumlah kecil kapitalis. Para pekerja itu mereka (kapitalis) beli melalui gaji.36 Kapitalisme lebih dari sekedar sistem ekonomi, kapitalisme adalah sistem kekuasaan. Kapitalisme juga merupakan sistem politik, yaitu suatu cara untuk menjalankan kekuasaan dan suatu proses eksploitasi atas para pekerja.37 Menurut peneliti, teori kritis merupakan sebuah ideologi yang melahirkan suatu masyarakat kapitalis, yang kemudian mengarah pada determinisme ekonomi dengan tujuan utamanya untuk memperoleh keuntungan secara maksimal melalui kegiatan produksi dan distribusi komoditas tersebut. Dan pada penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan tujuan teori kritis ini pada poin ke 4 (empat) yaitu kritik atas masyarakat modern, yang dianggap sebagai realitas masyarakat kapitalis modern. Fokus dominasi di dunia modern bergeser dari ekonomi menuju ke ranah kebudayaan. Termasuk di dalamnya yaitu teknologi modern. Karena pada perkembangannya, kapitalisme melahirkan 34
F. Hardiman, Op.cit, hlm. 33-34. Syaiful Halim. Op.cit, hlm. 14. 36 George Ritzer dan Douglas J Goodman. Op.cit, hlm. 44. 37 Ibid, hlm. 45. 35
26
determinisme ekonomi (Marx) dan determinisme ekonomi bermetamorfosis menjadi hegemoni atau kepemimpinan budaya (Gramsci).38 Hegemoni dapat didefinisikan sebagai kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa. Dimana satu kelompok dalam masyarakat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. 39 Teori hegemoni Gramsci memperlihatkan perubahan rupa determinisme, dari ekonomi ke kepemimpinan budaya.40 Hegemoni adalah proses dominasi, dimana sebuah ide membawahi ide lainnya. Sebuah proses dimana satu kelompok dalam masyarakat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. 41 Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang menjalankan untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui pengaruh kepatuhan para korbannya, sehingga upaya tersebut berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Proses tersebut terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan.42 Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sedangkan wacana lain dianggap salah. Media saat ini menjadi alat untuk menyebarkan nilai-
38
Ibid, hlm. 100-101. Ibid. 40 Syaiful Halim. Op.cit,hlm. 18. 41 Stephen W Littlejohn dan Karen A Foss. 2009. Teori Komunikasi: Theories of Human Communication, hlm. 469-470. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. 42 Eriyanto. 2008. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, hlm. 103-104. 39
27
nilai atau wacana tersebut hingga meresap dalam benak khalayak. 43 Salah satu bentuk dari kegiatan tersebut adalah komodifikasi.44 Dengan demikian, teori kritis dapat diartikan sebagai sebuah teori yang melatarbelakangi lahirnya masyarakat kapitalis. Dimana kapitalis adalah kekuasaan dan eksploitasi terhadap para pekerja untuk membentuk suatu ideologi masyarakat. Masyarakat kapitalis melahirkan determinisme ekonomi (Marx) dan determinisme ekonomi bermetamorfosis menjadi hegemoni atau kepemimpinan budaya (Gramsci).45 Kepemimpinan budaya atau hegemoni adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa. Sehingga masyarakat kapitalis dapat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. Dan melalui kegiatan produksi dan distribusi, masyarakat kapitalis dapat mudah melancarkan tujuannya yaitu untuk memperoleh keuntungan secara maksimal melalui kegiatan tersebut. 2.12
Representasi Representasi berasal dari kata “Represent” yang bermakna stand for
artinya “berarti” atau juga “act as delegate for” yang bertindak sebagai perlambang atas sesuatu.46 “Representasi juga dapat berarti sebagai suatu tindakan
43
Ibid, hlm. 105. Ibid. 45 Ibid, hlm. 100-101. 46 CJ Krebs. 2001. The Experimental Analysis of Distribution anda Abundance. Harper & Row Publisher. New York. Hogerstow. San Fransisco. London. Hlm 456 44
28
yang menghadirkan atau merepresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang diluar pemikiran dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol”.47
Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia seperti dialog, tulisan, video, film, fotografi dan sebagainya. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita yang “mewakili” ide, emosi, fakta dan sebagainya. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam - macam atau sistem tekstual secara timbal balik. Hal ini melalui fungsi tanda “mewakili” yang kita tahu dan mempelajari realitas.48
Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, “bahasa”, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam “bahasa” yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem “peta konseptual” kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat
47
Yasraf Amir Piliang. 2003. Hipersemiotik: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Hlm 21 48 Nuraini Juliastuti. 2000, Opcit: Hlm.1
29
rantai korespondensi antara “peta konseptual” dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep - konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara “sesuatu”, “peta konseptual” dan “bahasa atau simbol” adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang disebut representasi. Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah: makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.49 Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang konkret. Jadi, pandanganpandangan hidup kita tentang perempuan, anak-anak atau laki-laki misalnya akan dengan mudah terlihat dari cara kita memberi hadiah ulang tahun kepada temanteman kita yang laki-laki, perempuan dan anak-anak. Begitu juga dengan pandangan-pandangan hidup kita terhadap cinta, perang dan lain-lain akan tampak dari hal-hal yang praktis juga. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan,
49
Nuraini Juliastuti, Bagaimana Representasi Menghubungkan Makna dan Bahasa Dalam Kebudayaan, (20 September 2006), http://www.kunci.or.id/teks/04rep2.htm
30
video, film, fotografi dan sebagainya. Secara ringkas representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Menurut Stuart Hall, representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut “pengalaman berbagi”. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disana membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam “bahasa” yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.50 Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol, tanda tertulis, lisan atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari media “merepresentasikannya”. Dengan mengamati kata-kata dan gambar-gambar yang digunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang diberikan pada sesuatu tersebut.51 Representasi pada dasarnya merupakan sesuatu yang hadir, namun menunjukkan sesuatu diluar pemikiran dirinya. Representasi tidak menunjuk kepada dirinya sendiri, namun kepada yang lain. Karena sifat dasar itulah, maka
50
Ibid, Nuraini Juliastuti
51
Ibid, Nuraini Juliastuti
31
representasi sering dipermasalahkan perihal kemampuannya dalam menghadirkan sesuatu diluar dirinya karena seringkali representasi justru beralih menjadi sesuatu sendiri. Jurang yang terbentuk antara representasi dan yang direpresentasikan, seringkali terlupakan oleh manusia.52 Representasi melibatkan “symbolic systems” dari bahasa citra visual, yang akhirnya menghasilkan makna yang terbentuk dengan mengasosiasikan identitas tertentu dengan bahasa dan citra visual tersebut.53 Representasi
sebagai
tindakan
membangun
realitas
menimbulkan
kebutuhan untuk menyelidiki representasi dengan cara melihat bagaimana makna tersebut terbentuk dari representasi tersebut.54 Ideologi seperti yang dipahami Roland Barthes bekerja sebagaimana mitos bekerja, yaitu dengan cara menjadikan pandangan tertentu tampil sebagai sesuatu yang alamiah atau wajar.55 Barker menjelaskan bahwa ideologi beroperasi, salah satunya, melalui budaya popular.56 Common sense atau akal sehat, lanjut Barker adalah dasar bagi masyarakat untuk mengatur kehidupan dan semua pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Dengan demikian, akal sehat menjadi ajang yang penting untuk memperjuangkan ideologi, terutama karena akal sehat adalah wilayah yang 52
53
54 55 56
Yasraf Amir Piliang. 2003. Hipersemiotik: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Hlm 28 Dwi Elisa Wardani. 2006. “Konstruksi Identitas Kota Yogya dalam Kaos Oblong Dagadu Djokdja”. Tesis. Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Chris Barker. 2000. Cultural Studies. Theory and Practice. London: SagePubSlication. Roland Barthes. 1972. Mythologies. Diterjemahkan oleh Anete Laver. New York:Hill and Wang. Hlm.127 Ibid, Chris Barker. Hlm.60
32
dianggap wajar, yang dijadikan pedoman untuk mengatur segala tingkah laku masyarakat sehari-hari. Ideologi sering muncul sebagai sesuatu yang dianggap masuk akal di dalam berbagai bentuk representasi sehingga tidak mengherankan bila ideologi terselip dalam budaya popular yang memiliki aturan tersendiri mengenai apa yang masuk akal dan tidak karena dengan akal sehat tersebut, masyarakat mengatur pengalaman dan hidup mereka.57 Perbincangan mengenai budaya selalu melibatkan masalah ideologi, begitu juga sebaliknya. Storey mengungkapkan bahwa mesyarakat lebih tepat dikatakan sebagai ajang konflik kepentingan daripada ajang konsesus atau persetujuan sehingga teks (misalnya drama televisi, lagu populer, novel, film dan sebagainya) selalu mengetengahkan citra tertentu mengenai dunia kehidupan sehingga teks dapat dikatakan selalu berpihak, baik sadar maupun tidak, dalam konflik tersebut. Dengan kata lain, berbagai teks menawarkan berbagai pandangan ideologi yang berbeda, bahkan saling bertentangan mengenai bagaimana hendaknya seseorang memandang dunia ini atau bagaimana seharusnya segala sesuatu berjalan.58 Oleh karena itu, budaya popular sebagai teks, adalah sebuahsitus tempat terbentuknya collective social understanding, tempat dimainkannya berbagai tanda yang berusaha mempengaruhi masyarakat agar memilih cara pandang tertentu terhadap dunia.59
57 58 59
Ibid, Chris Barker. Hlm.60 Opcit, John Storey. Hlm.4 Loc Cit
33
2.13
Representasi Media Audiovisual Istilah representasi merupakan penggambaran (perwakilan) kelompok-
kelompok dan institusi sosial. Penggambaran itu tidak hanya berkenaan dengan tampilan fisik (appearance) dan deskripsi, melainkan juga terkait dengan makna (nilai) dibalik tampilan fisik. Tampilan fisik representasi adalah suatu jubah yang menyembunyikan betuk makna sesungguhnya yang ada dibaliknya. 60 Persepsi tentang representasi (penggambaran) realitas oleh mediak hususnya audiovisual dapat diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman tersebut membentuk penilaian. Ada 3 pengalaman dimana penilaian tersebut bisa dibentuk:61 1.
Membaca ungkapan (kata-kata/gagasan) dan perilaku nonverbal (visual) orang-orang didalam sebuah produk audiovisual (video, televisi) tak ubahnya membacanya dalam kehidupan nyata atau pengalaman sosial.
2.
Penilaian yang cenderung dibuat melalui pengalaman dengan media saat membaca „karakter - karakter‟ atau cerita didalam sebuah produk audiovisual (video, televisi).
3.
Proses encoding materi didalam sebuah produk audiovisual (video, televisi) oleh para pembuatnya (misalnya melalui kamera) atau sebuah pengalaman tidak langsung.
60
Graeme Burton, Membincangkan Televisi, (Yogyakarta&Bandung: JalaSutra), 2007, Hal.41-42
61
Loc Cit
34
Sedikit mengaplikasikan representasi menurut Ratna Noviani dalam bukunya yang berjudul Jalan Tengah Memahami Iklan, mengatakan bahwa secara sematik, representasi bisa diartikan sebagai representasi yang mendasar diri pada realitas yang menjadi referensinya. 62 Istilah representasi menurut Ratna Noviani memiliki dua pengertian dan harus dibedakan. Pengertian akan representasi itu seperti berikut:63 1. Representasi sebagai sebuah proses sosial dari representing. Istilah ini lebih merujuk pada proses. 2. Representasi sebagai produk dari pembuatan tanda yang mengacu pada sebuah makna. Istilah yang kedua ini lebih merujuk pada representasi adalah produk dari pembuatan tanda yang mengacu pada sebuah makna. Dalam proses representasi menurut Ratna Noviani ada 3 elemen yang terlibat, yaitu:64 (1) Sesuatu yang direpresentasikan yang disebut sebagai objek; (2) Representasi itu sendiri, yang disebut sebagai tanda; (3) Seperangkat aturan yang menentukan hubungan tanda dengan pokok persoalan atau disebut coding. Coding inilah yang membatasi makna - makna yang mungkin muncul dalam proses representasi tanda. Sesuatu yang sangat esensial dari sebuah tanda adalah ia bisa menghubungkan objek untuk diidentifikasi. Sehingga didalam representasi ada kedalaman makna.
62
63 64
Ratna Noviani. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi dan Stimulasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 61-63 Loc Cit. Ratna Noviani. Loc Cit. Ratna Noviani.
35
Dalam konsep representasi, citra dan tanda dikonsepkan sebagai representasi realitas yang dinilai kejujuran, reliabilitas dan juga ketepatannya.65 Sehingga bisa dikatakan bahwa representasi mengharuskan kita berhadapan dengan persoalan bentuk. Cara penggunaan didalam sebuah produk audiovisual (video, televisi) yang menyebabkan khalayak membangun makna yang merupakan esensi dari representasi. Sampai pada tingkat ini, representasi juga berkaitan dengan produksi simbolik yaitu pembuatan tanda - tanda dalam kodekode dimana kita menciptakan makna-makna. Dengan mempelajari representasi, kita mempelajari pembuatan, kontruksi makna. Karenanya, representasi juga berkaitan dengan menghadirkan kembali (re-presenting), bukan gagasan asli atau objek fisikal asli, melainkan sebuah re-presentasi atau sebuah versi yang dibangun darinya. Representasi dalam teks media boleh dikatakan berfungsi secara ideologis sepanjang representasi itu membantu memproduksi hubungan sosial yang berkenaan dengan dominasi dan eksploitasi.66 Representasi adalah proses memaknai sebuah kalimat atau kata dari sebuah pemaknaan. Dari kesemuanya dapat disimpulkan bahwa representasi adalah proses sedangkan pemaknaan adalah hasil.
Pemaknaan terhadap sesuatu dapat sangat berbeda dalam budaya atau kelompok masyarakat yang berlainan karena pada masing-masing budaya atau kelompok masyarakat tersebut ada cara-cara tersendiri dalam memaknai sesuatu. 65
66
Loc Cit. Ratna Noviani. Op Cit, Graeme Burton. Hal.285
36
Kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang pemahaman yang tidak sama terhadap kode-kode budaya tertentu tidak akan dapat memahami makna yang diproduksi oleh kelompok masyarakat lain.
Makna tidak lain adalah suatu konstruksi. Manusia mengkonstruksi makna dengan sangat tegas sehingga suatu makna terlihat seolah-olah alamiah dan tidak dapat diubah. Makna dikonstruksi melalui sistem represntasi dan difiksasi melalui kode. Kode inilah yang membuat masyarakat yang berada dalam suatu kelompok budaya yang sama mengerti dan menggunakan nama yang sama, yang telah melewati proses konvensi secara sosial. Misalnya, ketika kita memikirkan „rumah‟, maka kita menggunakan kata RUMAH untuk mengkomunikasikan apa yang ingin kita ungkapkan kepada orang lain. Hal ini karena kata RUMAH merupakan kode yang telah disepakati dalam masyarakat kita untuk memaknai suatu konsep mengenai „rumah‟ yang ada di pikiran kita. (tempat berlindung atau berkumpul dengan keluarga). Dengan demikian, membangun korelasi antara sistem konseptual yang ada dalam pikiran kita dengan sistem bahasa yang kita gunakan. Namun, proses pemaknaan tersebut tergantung pada latar belakang pengetahuan dan pemahaman suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda. Suatu kelompok harus memiliki pengalaman yang sama untuk dapat memaknai sesuatu dengan cara yang nyaris sama.
2.14
Analisis Semiotika Roland Barthes Semiotika adalah sebuah cabang keilmuan yang memperlihatkan pengaruh
semakin penting sejak empat decade yang lalu, tidak saja sebagai metode kajian
37
(decoding), akan tetapi juga sebagai metode penciptaan (encoding). Semiotika telah berkembang menjadi model atau paradigma bagi berbagai bidang keilmuan yang sangat luas, yang menciptakan cabang-cabang semiotika khusus, diantaranya adalah semiotika seni, semiotika fashion, semiotika film dan lain-lain.67 Semiotika berkaitan dengan tanda dan penggunaannya dalam masyarakat, semiotika melingkupi segala bentuk tanda dan penggunaannya secara sosial. 68 Selain itu, semiotika juga diartikan sebuah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.69 Lebih jauh, Benny H. Hoed memaparkan bahwa para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (1916) dalam Course in General Linguistics, sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan social”,70 ia melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). 71 Implisit dalam definisi Saussure adalah prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang berlaku didalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.72 Dibalik sebuah tanda atau teks kebudayaan, ada kode tertentu yang mengatur penggabungan elemen-elemen tanda dan maknanya. Agar mampu 67
Amir Yasraf Piliang. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna, hlm.299. Bandung: Matahari. 68 Ibid, hlm. 350. 69 Benny H Hoed, 2011 Semiotika & Dinamika Sosial Budaya, hlm. 3. Depok: Komunitas Bambu. 70 Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, Duckworth, London, 1990, hlm. 15. 71 Benny H Hoed. Op.cit. 72 Amir Yasraf Piliang. Op.cit. hlm. 300.
38
mengkombinasi makna struktur bahasa dikendalikan oleh aturan main tertentu, yang disepakati secara sosial. Adalah konvensi ini yang membatasi kemungkinan pengkombinasian tanda sehingga bahasa tidak sepenuhnya sewenang-wenang.73 Dalam kaitannya dengan produksi teks di dalam sebuah kebudayaan, Stuart
Hall
di
dalam
Culture,
Media,
Language,
melukiskan
relasi
encoding/decoding ini lewat metafora produksi atau konsumsi. Produksi adalah produksi konstruksi sebuah pesan, lewat penerapan kode-kode tertentu (encoding). Proses produksi melibatkan gagasan, makna, ideologi dan kode-kode sosial, pengetahuan yang digunakan di dalam produksi, keterampilan teknis, ideologi professional, pengetahuan institusional, definisi dan asumsi-asumsi (moral, kultural, ekonomis, politis atau spiritual), asumsi-asumsi tentang konsumen (pendengar, pemirsa, pembaca, pemakna).74 Analisis semiotika Roland Barthes, mengarah pada tanda model dikotomis yaitu penanda-petanda. Barthes mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Prancis (C)). Jadi, sesuai teori de Saussure, tanda adalah “relasi” (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C.75 Dalam kehidupan sosial budaya, pemakai tanda tidak hanya memaknainya sebagai denotasi, yaitu makna yang dikenal secara umum. Oleh Barthes, denotasi disebut sebagai sistem “pertama” atau “primer”. Biasanya pemakaian tanda 73
Ibid, hlm. 350. Stuart Hall, Culture, Media, Language, Hutchinson, 1987, hlm. 129. 75 Amir Yasraf Piliang. Op.cit. 74
39
pengembangan pemakaian tanda ke dua arah, kedalam apa yang disebut oleh Barthes sebagai sistem “kedua” atau “sekunder”. Bila pengembangannya kearah E menjadi metabahasa. Artinya pemakai tanda memberikan bentuk berbeda untuk makna yang sama.76 Ketika pengembangan itu berproses ke arah C, yang terjadi adalah pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya atau konvensi baru yang ada dalam masyarakat.77 Menurut Hoed, bila konotasi menjadi tetap, ia akan menjadi mitos. Sedangkan jika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi. Jadi, banyak sekali fenomena budaya yang dimaknai dengan konotasi dan jika menjadi mantap makna fenomena itu menjadi mitos, dan kemudian menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi. Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos.78 Roland Barthes memaparkan tahap-tahap pembaca konotasi pada gambar dan musik. Berikut ini tahapan pembacaan konotasi pada gambar, yaitu sebagai berikut: 1.
Efek tiruan: pembacaan atas rekayasa yang menggabungkan dua foto terpisah sebagai upaya menginvestensi denotasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
2.
Pose atau sikap: pembacaan atas sikap badan atau pose subjek sebagai pertanda.
76
Benny H Hoed. Op.cit, hlm. 13 dan 45. Ibid. 78 .Ibid,hlm 18 dan 19. 77
40
3.
Objek: pembacaan atas objek-objek dalam gambar yang menuju pada jejaring ide tertentu dan simbol-simbol berkesan dalam masyarakat.
4.
Fotogenie: pembacaan atas aspek-aspek teknis dalam produksi foto, seperti pencahayaan dan hasil.
5.
Estetisisme: pembacaan atas perubahan pengemasan gambar untuk tujuan estetis tertentu hingga nilai spiritualnya bersifat ekstasi.
6.
Sintaksis: pembacaan atas rangkaian foto - foto sebagai sebuah kesatuan.79 Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, yang akan menjadi
fokus pembahasan penelitian ini adalah memaknai objek-objek dalam gambar dan musik yang menuju pada ide dan simbol-simbol yang berkesan dalam suatu masyarakat pada Program Dokumenter TV Melawan Lupa di Metro TV episode 29 Oktober 2013.
79
Roland Barthes. 2010. Imaji/Musik/Teks, Hlm. 7-11. Yogyakarta: Jalasutra.