19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pengangkatan Anak (Adopsi) Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari kata “adoptie” dalam bahasa Belanda atau “adoption” dalam bahasa Inggris. Adoption
artinya
pengangkatan,
pemungutan,
adopsi,
dan
untuk
sebutan
pengangkatan anak yaitu“adoption of child.”46 Dari segi terminologi, adopsi diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu, “anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”.47 Dalam ensiklopedia umum disebutkan, adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya adopsi diadakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak mempunyai anak. Menurut Soerjono Soekanto adopsi adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah.48 Untuk memberikan pengertian tentang pengangkatan anak, kita dapat membedakannya dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi. 1. Pengertian secara etimologi pengangkatan anak berasal dari kata “adoptie” dalam 46
Jhon M. Echols dan Hasan Shadily., Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta , 1981, hal 13 Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 48. 48 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, 1980, hal. 52 47
1919 19
Universitas Sumatera Utara
20
bahasa Belanda atau “adopt” dalam bahasa Inggris. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. 2. Pengertian secara terminologi, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.49 Senada dengan pendapat di atas oleh Soerojo Wignjodipuro menyatakan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang diangkat itu timbul hubungan hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada diantara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.50 Adapun Pengertian pengangkatan anak menurut beberapa ahli hukum adat sebagai berikut: a. Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya Hukum Perkawinan di Indonesia yang di katakana anak angkat tersebut adalah: Seorang bukan keturunan dua orang suami isteri yang di ambil, di pelihara, diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri.”51 b. Bertling yang menyatakan bahwa : Anak angkat adalah bukan waris terhadap barang-barang asal orang tua angkatnya, melainkan ia mendapatkan keuntungan sebagai anggota rumah tangga, jikalau barang-barang gono gini tidak mencukupi, pada pembagian harta peninggalan nanti anak angkat dapat minta bagian dari barang asal orang tua angkatnya yang tidak mempunyai anak kandung.52 c. Hilman Hadikusuma, dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Adat” bahwa anak angkat anak orang lain yang di anggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, di karenakan 49 50 51 52
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika,Jakarta, 1999, hlm. 4. Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Bandung, 1989, hal 123. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta , 1970, hal. 63 Bertling, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta , hal. 185
1919
Universitas Sumatera Utara
21
tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaaan rumah tangga.53 Menurut M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata, anak angkat adalah pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. ditambahkan bahwa adopsi ini dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri.54 Dapat disimpulkan dalam rangkuman di atas bahwa perbuatan mengangkat anak merupakan perbuatan memasukkan anak dalam kehidupan rumah tangga dan di anggap sebagai anggota rumah tangga orang tua yang mengangkatnya sehingga menimbulkan “kekuasaan orang tua” atas anak angkatnya. Menurut perdapat seorang Sarjana Hukum Belanda yang khusus mempelajari tencang pengangkatan anak, yaitu J.A. Nota yang dikutip oleh Purnadi Perbotjaroko dan Soerjono Soekanto memberi rumusan, bahwa adopsi adalah suatu lembaga hukum (eer. rechtsinstelling) melalui mana seorang berpindah kedalam ikatan keluarga yang baru sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebagian hubungan - hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya. Beberapa jenis pengangkatan anak, yaitu: 1. Pengangkatan anak sempurna, yaitu pengangkatan seorang anak dengan tujuan untuk memutuskan hubungan kekeluargaan seorang anak dengan keluarga semula dan dengan mengadakan hubungan kekeluargaan yang baru antara yang diangkat dengan yang mengangkat 2. Pengangkatan anak sederhana, yaitu pengangkatan anak yang tidak memutuskan hubungan dengan keluarga asli. 3. Pengangkatan anak secara langsung, yaitu pengangkatan anak yanglangsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat. 4. Pengangkatan anak oleh seorang wanita atau laki - laki, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah atau belum menikah. 5. Pengangkatan anak anumerta, merupakan permohonan pengangkatan anak yang 53
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 114 M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Semarang , 1990, hal.34. 54
1919
Universitas Sumatera Utara
22
diajukan oleh salah seorang suami atau istri yang hidup terlama, setelah meningnalnya suami atau istri yang lain, dengan syarat apabila ternyata pada waktunya mengambil alih pengangkatan anak masih dalam ikatan perkawinan, akan tetapi kematian menghalangi pengangkatan anaknya.55 Dalam ketentuan KUH Perdata tidak mengatur tentang lembaga pengangkatan anak yang berlaku bagi anak angkat keturunan Tionghoa yang berkebangsaan Warga Negara Indonesia, yang ada hanyalah pengakuan anak luar kawin yang disahkan.
1.
2.
Pengangkatan anak atau adopsi dapat di bagi menjadi 2 pengertian yaitu: Pengangkatan anak dalam arti luas yaitu pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikan rupa sehingga antara anak yang di angkat dengan orang tua angka akan timbul hubungan antara anak angkat sebagai anak sendiri dan orang tua sebagai orang tua sendiri. Pengangkatan anak dalam arti terbatas yaitu pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan dengan anak yang di angkat dengan orang tua angkat hanya sebatas pada hubungan sosial saja.56
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam masyarakat adat di Indonesia dikenal 3 (tiga ) macam sistem kekerabatan, yaitu: 1. Sistem Kekerabatan Patrilinial Sistem kekerabatan patrilinial berarti pertalian kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak. Sebagai konsekuensinya anak laki-laki lebih utama daripada anak wanita, sehingga apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki akan melakukan pengangkatan anak laki-laki. Pada sistem kekerabatan patrilinial ini, pada umumnya berlaku adat perkawinan dengan pembayaran jujur. Seorang perempuan setelah perkawinannya, di lepaskan dari hubungan kekeluargaan kerabat aslinya dan masuk menjadi anggota kerabat suaminya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan itu juga masuk dalam lingkungan kekeluargaan ayahnya. Sistem kekeluargaannya bersifat patrilinial hanya anak laki-laki mewarisi harta warisan. Dalam hal ini anak perempuan itu tetap menjadi ahli waris bersama-sama dengan ahli waris lain. 2. Sistem Kekerabatan Matrilineal Sistem kekerabatan matrilineal adalah merupakan kebalikan dari sistem kekerabatan patrilineal. Sistem kekerabatan matrilineal adalah sistem kekerabatan yang didasari oleh atas garis keturunan ibu. Sebagai konsekuensinya dari sistem kekerabatan ini adalah mengutamakan anak-anak dari wanita dari 55
Dewi Sartika,Kedudukan Anak Angkat Dalam Mewarisi Harta Orang tua Angkatnya, Semarang, 2002, hal. 45-46 56 R. Soebekti, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal 176
1919
Universitas Sumatera Utara
23
3.
pada anak-anak laki. Dalam sistem kekerabatan matrilineal ini pada umumnya berlaku adat perkawinan semenda, yang setelah perkawinan si suami mengikuti isteri. Namun suami tetap menjadi anggota kerabat asalnya dan tidak masuk ke dalam lingkungan kerabat isterinya. Sedangkan anak – anak yang lahir dari perkawinan itu menjadi anggota kerabat ibunya. Sistem Kekerabatan Parental. Sistem kekerabatan parental adalah sistem kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak dan ibu. Dalam sistem kekerabatan ini, antara anak lakilaki dan anak perempuan tidak dibedakan dalam pewarisan.57
Ciri-ciri khas masyarakat Hukum Adat pada garis besarnya dapat kita jabarkan sebagai berikut : (1) Dalam kehidupan lahiriah mereka pada umumnya mempunyai petanda atau sifatsifat: a. Terikat kepada alam, yang artinya sanagt minim untuk menolak pengaruh alam, apalagi mengubah alam b. Isolemen atau menutup bagi dunia luar karena mereka hanya membentuk rumah tangga masyarakat yang tertutup c. Uniformitif yaitu bersifat seragam dalam banyak hal dan faktor dalam kehidupannya. d. Indeferensiasi artinya hampir tidak mengenal perbedaan atau pemisahan yang tegas terhadap berbagai jenis kegiatan warga. Siapa saja dapat mengerjakan tugas apa saja sepanjang ia mampu melakukan. e. Konservatif artinya mereka lebih cenderung mempertahankan segala kehidupan yang sudah ada dan dapat di katakana tidak mudah untuk menerima berbagai macam pembaharuan. (2) Dalam kehidupan batiniah mereka pada umumnya pertanda- pertanda sifat yang menurut Holleman adalah : a. Kosmis religio magis/sacral artinya percaya pada kekuatan gaib sebagai suatu kekuatan yang menguasai alam semesta dan seisinya dalam keadaan keseimbangan yang mantap b. Komunalistis artinya memiliki sifat kebersamaan yang amat besar antara warga yang satu dengan yang lain dalam masyarakat yang bersangkutan c. Kontan dan tunai, sebagi sifat yang mewarnai sikap tindak mereka terutama dalam hal sikap tindak hukum yang di lakukan dan selesai seketika itu juga . d. Konkrit artinya segala tindakan mereka itu selalu di lakukan terang-terangan dengan memakai tanda yang di mengerti oleh para warga masyarakat lainnya dalam lingkungan Hukum adapt itu sendiri. e. Asosiatif artinya mereka sering menghubung-hubungkan dan mengasosiakan berbagai kejadian dengan kejadian di luar pemikiran biasa. f. Simbolik artinya mereka melakukan tindakan tertentu yang mempunyai 57
Hilman Hadikusuma, Op.Cit.,, hal. 23
1919
Universitas Sumatera Utara
24
maksud tertentu.58 Dengan demikian ditinjau dari susunan tersebut, maka masyarakat Hukum Adat kemungkinan terjadi kombinasi yaitu masyarakat Hukum Adat Genealogis yang tunggal, yang bertingkat dan berangkai, kemungkinan terjadi kombinasi sesuai dengan perkembangan masyarakat Hukum adat yang bersangkutan. Pengangkatan anak secara sah menurut hukum yang berlaku diperlukan suatu lembaga pengangkatan anak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai 290 KUHPerdata. Maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, pemerintah Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblad nomor 129 yang mengatur masalah adopsi bagi golongan masyarakat Tionghoa (Pasal 5-Pasal15).59 Dalam kehidupan masyarakat adat Tionghoa khususnya di Sumatera ini masih bersifat patrilineal, Ini dikarenakan anak laki – laki mempunyai kewajiban yang harus di lakukan oleh anak laki – laki sesuai dengan adat yang sudah berlaku sejak dulu sampai sekarang seperti: 1.
Meneruskan nama marga atau garis keturunan dari keluarga besar
2.
Melakukan upacara/ sembahyang apabila ada keluarga inti yang meninggal.
3.
Menjaga/ merawat orangtua.
B. Hukum Adat Tionghoa di Indonesia. a) Pengertian Hukum Adat Istilah hukum adat adalah terjemahan dalam bahasa belanda “adatrecht” Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memaknai istilah “adatrecht” 58
A. Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hal
59
Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, h. 178
17-22
1919
Universitas Sumatera Utara
25
kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis.60 C. Van Vollenhoven memberi pengertian: “Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan – peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasan Belanda dahulu”.61 Di dalam memberikan pengertian tentang adat, Kusumadi Pudjosewojo, mengemukakan pendapatnya, yaitu : “Adat ialah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadakan. Dan adat itu ada yang tebal, ada yang tipis, dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku manusia dalam masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah aturan-aturan adat. Akan tetapi dari aturan-aturan tingkah laku itu ada pula aturan-aturan tingkah laku uang merupakan aturan hukum”.62 Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud.63 Menurut Soepomo, sebagaimana dikutip oleh Jaren Saragih : “Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwa sah nya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum”.64 60
Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 1 C.Van Vollenhoven, Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, jilid 1 E,J Brill, 1933, hal.7 62 Iman Sudiyat., Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1978, hal. 14 63 Soerjono Soekantao dan Soleman B Toneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982, hal.106 61
64
Jaren Saragih, Pengantar hukum adat, Edisi II, Taristo, Bandung, 1984, hal.13
1919
Universitas Sumatera Utara
26
b) Latar Belakang Sejarah Masyarakat Tionghoa di Indonesia Tionghoa Indonesia, adalah sebuah kelompok etnik yang penting dalam sejarah Indonesia, jauh sebelum Negara Indonesia terbentuk. Selepas pembentukan Negara Indonesia, maka suku bangsa Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan secara terperinci kedalam masyarakat Indonesia, secara setingkat dan setaraf dengan suku-suku bangsa yang lain yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.65 Catatan-catatan kesusastraan Tionghoa menyatakan, bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah mengadakan hubungan yang erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang-barang maupun manusia, dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.66 Hubungan China dan Indonesia berlangsung cukup lama sejak Sriwijaya mengutus orang Indonesia ke negara China pada saat 682 Sebelum Masehi. Seiring dengan perkembangan tersebut, maka masuklah kebudayaan masyarakat China ke Indonesia seperti bahasa, agama, kesenian, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, teknologi, dan sistem mata pencaharian hidup.67 Kedatangan China ke Indonesia dengan tujuannya adalah berdagang. Itu dikarenakan letaknya yang strategis dengan dilewati jalur pelayaran dan perdagangan. Arus lalu lintas perdagangan dan pelayaran berlangsung melalui jalan darat dan laut. Indonesia yang terletak di jalur posisi silang dua benua dan dua samudera, serta berada di dekat Selat Malaka memiliki keuntungan, yaitu terbuka lebarnya kesempatan menjalin hubungan perdagangan internasional.68
65
Anonim, http://id.wikipedia.org-orang/wiki/Tionghoa-Indonesia di akses tanggal 04 Maret
2013 66
Ibid Anonim, http://asalusulbudayationghoa. blogspot.com, Budaya Masyarakat Tionghoa, diakses tanggal 02 Maret 2013 68 Anonim, http://pecinaan6sejarahtinghoalogblog.com, Budaya Masyarakat Tionghoa, diakses tanggal 02 Maret 2013 67
1919
Universitas Sumatera Utara
27
Dengan kedatangan bangsa Belanda dengan membetuk VOC datang untuk melakukan perdagangan, demikian juga dengan orang-orang China. China menjadi mitra dagang Belanda, khususnya dibidang distribusi. Cina mendistribusikan barang-barang dari kota ke penduduk-penduduk pribumi di desa. Dengan kegiatan distribusi tersebut maka terjadinya imigran China yang masuk ke Indonesia, akhrinya laki-laki China menikah dengan wanita Indonesia setempat dan keturunannya yang sekarang dikenal sebagai Peranakan Tionghoa atau etnis Tionghoa.69 Orang-orang Tionghoa Indonesia, merupakan keturunan orang-orang Tionghoa yang hijrah dari Tiongkok secara berkala dan bergelombang sejak ribuan tahun dahulu. Tidak ada data yang resmi tentang jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia, yang dikeluarkan oleh pemerintah sejak kemerdekaan Indonesia. Namun di perkirakan jumlah masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia berkisar antara 3% - 5% daripada seluruh penduduk Indonesia.70 Pergaulan dan bahkan percampuran dalam bentuk pernikahan dengan penduduk setempat memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat lokal. Pengaruh itu bukanlah hanya dari kegiatan ekonomi, tetapi juga makanan, bentuk bangunan, seni ukir, ragam hias tekstil, sampai gaya pakaian.71 Peninggalan dari masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat berupa bahasa Tionghoa yang kita kenal paling tidak terbagi atas empat kelompok, yaitu bahasa Hokkien (Hokkian), Tiu-Chiu (Teo-Chiu), Hakka (Khek) dan Kanton (Kwong Fu), yang masing-masing merupakan bahasa etnis yang berbeda dan saling tidak dipahami.72 Sumber-sumber sejarah menyatakan bahwa pada abad ke-16 sejumlah besar orang Tionghoa datang ke Indonesia dan menetap di kota-kota pantai utara Jawa, 69
Ibid Ibid 71 Ibid 72 Anonim , http://web.budaya-tionghoa.net/the-history-of-china-keturunan -china-di-bag-1, Latar belakang sejarah Masyarakat Tionghoa, diakses tanggal 04 Maret 2013 70
1919
Universitas Sumatera Utara
28
terutama mereka yang berasal dari suku-suku bangsa berbahasa Hokkien dari wilayah Fukien bagian selatan. Para perantau ini memiliki keterampilan berdagang melintasi laut sejak berabad-abad yang lalu. Mereka terkenal dengan sifatnya yang rajin, hemat, kemandirian dan memiliki semangat bekerja yang tinggi.73 Peninggalan lainnya dapat berupa bangunan fisik seperti bangunan klenteng dalam menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing dalam menjalankan ibadahnya. Bangunan peribadahan merupakan kebutuhan agama untuk menjalankan ritual yang di lakukan masyarakat dan pemeluknya yang biasa di sebut dengan Klenteng atau Vihara.74 Pemberian nama untuk Klenteng atau vihara biasanya memakai nama atau gelar nama dewa atau dewi utama yang ada di dalamnya. Misalnya Vihara Kuam Im , Vihara Toa Pe Kong, Vihara Kuan Tek Kong, Vihara Maetreya. Di Indonesia Vihara atau klenteng biasanya di sebut dengan istilah Bio, Am, Hut Teng.75 Pembuatan bangunan untuk beribadah harus mencari Feng Sui yang tepat. Ini di karenakan untuk memadukan hubungan harmonis Ying dan Yang agar tercipta unsur positif dan negatif yang seimbang. Pada bangunan ini, juga terdapat ornamen yang berkaitan erat dengan unsur-unsur agama seperti bentuk fauna, bentuk flora seperti bunga teratai, bentuk patung atau gambar dewa immortal.76 Warna bangunan Vihara atau klenteng biasanya berwarna terang seperti 73
Anonim ,http://asalusulbudayationghoa. blogspot.com, Budaya Masyarakat Tionghoa, diakses tanggal 02 Maret 2013 74 Anonim , http://id.wikipedia.org/wiki/KotaSumatera, Vihara-vihara Tionghoa, diakses tanggal 02 Maret 2013 75 Ibid 76 Ibid
1919
Universitas Sumatera Utara
29
Warna merah yang memiliki makna kebahagiaan, warna kuning yang memiliki makna kejayaan atau kekaisaran, pondasi atau mahkota tiang bangunan berwarna merah, sedangkan atap bangunan berwarna abu-abu, hijau, hitam ataupun biru. Dengan demikian hukum adat itu tumbuh, lahir dan berkembang didalam alam Indonesia yang tradisional. Sesuai dengan sifatnya yang dinamis, hukum adat dapat menerima serta menyerap pengaruh dari luar, guna memenuhi kebutuhan serta keinginan dari masyarakatnya.77 c)
Pengangkatan Anak Dalam Tradisi Tionghoa di Indonesia Dalam tradisi Tionghoa ada 3 jenis pengangkatan anak yaitu : a. Anak tersebut anak yatim piatu, dimana tidak diketahui nama marganya atau nama orang tuanya. Biasanya jenis pengangkatan seperti ini, orang tua angkatnya berhak memberi nama anak tersebut juga marganya, dan menganggap dia sebagai anggota keluarga sendiri. b. Anak tersebut anak yatim piatu dan punya nama marga. Anak angkat jenis ini tidak perlu diberi nama marga, hanya memberi nama saja. Anak angkat ini juga masih bisa tinggal dalam lingkungan keluarganya. c. Anak yang dikwepang atau anak asuh. Kategori anak asuh adalah anak yang punya orang tua, punya nama marga dan nama sendiri. Biasanya anak yang di kwepang masih tinggal bersama orang tua aslinya, dan memanggil keluarga orang tua angkat sebagai anggota keluarga dalam. Contoh si A di kwepang oleh keluarga B. Si A memanggil papa dan mama kandungnya sendiri dengan sebutan II Atau Ithio ( Bibi atau Paman). Sementara didalam Keluarga si B ia memanggil Baba dan Mama. Dalam hal ini si A memiliki 2 orang tua. Dalam Tradisi Tionghoa yang dimaksud dengan anak yang dikwepang 77
Ibid
1919
Universitas Sumatera Utara
30
adalah anak yang kondisi badannya kurang sehat atau tidak cocok dengan orang tuanya menurut perhitungan Bajinya atau hong shuinya. Biasanya menitip anak asuh tujuannya adalah agar si anak bisa tumbuh dengan sehat dan masih menghormati kedua orang tuanya sendiri dan orang tua Asuhnya. Ada dua alasan utama urusan angkat anak di budaya Tionghoa yaitu : 1.
Demi pendidikan, masa depan, dan demi kesehatan si anak
2.
Karena alasan Baji atau hong shui yang bentrok unsur-unsur antara si anak dengan orang tuanya.
Kondisi pertama itu biasanya anak dari keluarga yang kurang mampu atau miskin, dimana mencari ayah angkat dari keluarga yang berkecukupan. Atau juga berpengharapan agar anaknya pintar, maka dicarikan ayah angkat yang berpendidikan tinggi. Atau pernah kehilangan anaknya atau anaknya pendek umur maka dicari orang lain yang dianggap berbadan sehat dan panjang umur, sehingga anaknya juga bisa sehat dan panjang umur, dan lain sebagainya. Biasanya dalam tradisi tionghoa ada jenis kwepang kepada para dewata terutama Dewi Laut Atau Ma Cho Po, tujuannya adalah agar si anak dilindungi oleh Ma Cho Pho dalam perjalanan hidupnya, tidak mengalami gangguan, dari segi kesehatan, mahluk halus dan sebagainya, sampai ia dewasa. Atau anaknya mempunyai jiwa pengecut, lalu dikweepang oleh Dewa Kwan Kong dengan tujuan agar memiliki keberanian dan sifat tanggung jawab. Kalau sering sakit-sakitan maka dicari orangtua angkat “dewa” panjang umur atau shou xing, kalau anaknya ingin pintar maka dicari Dewa Wenchang dijun.
1919
Universitas Sumatera Utara
31
Tetapi memang ada juga yang kalau menurut perhitungan anak tersebut ada masalah dimasa depannya , maka dicari orang tua angkat yang “dewa” dengan tujuan untuk melindungi si anak. Ada juga yang mengangkat Yuhuang Dadi menjadi orang tua angkat hanya gara-gara masalah bunyi jiujiu atau 99 yang artinya 99 adalah panjang umur. Secara umum, upacara pengangkatan itu dengan cara meletakkan 1 meja, disebutnya ganpanzi, diatasnya ada teko arak,cangkir, hiolo, dan lilin. Anak yang mau diangkat anak dibimbing untuk kowtow kepada orang tua angkatnya, memberi arak dan makanan sambil berkata “ayah dan ibu angkat silahkan minum dan makan”. Orang yang mengangkat anak lalu memberi nama kepada anak angkat tersebut. Orang tua anak itu memberi celana, ikat pinggang kepada orang tua angkat anaknya. Orang tua angkat memberi baju untuk anak angkatnya, dibajunya diletakkan 1 jarum yang artinya secara tulus hati mengangkat anak tersebut, dan juga terkadang dikasih bawang yang bunyinya chong yang senada dengan chongming yang artinya pintar, hal ini dilakukan dengan harapan agar anak angkatnya kelak menjadi anak yang pintar. Tujuan dilakukannya hal-hal tersebut diatas adalah agar anak tersebut kelak bisa menjadi orang yang baik dan sehat selalu. Tidak ada hubungannya dengan hoki berhoki, kecuali anak tersebut diangkat anak oleh seorang yang memang kaya. Setelah itu masih ada serangkaian kegiatan lagi yang harus dilakukan oleh si anak angkat dengan orang tua angkatnya, dimana semua kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk memenuhi harapan orang tua angkatnya, agar si anak angkat itu kelak
1919
Universitas Sumatera Utara
32
panjang umur, sehat dan kelak berhasil menjadi orang. Ada tiga hal alasan pengangkatan anak dalam tradisi Tionghoa di Indonesia yaitu: 1.
Karena tidak mempunyai keturunan. Jika dalam sebuah keluarga tidak mempunyai keturunan, biasanya mengangkat anak dari keluarga sendiri dan biasanya laki-laki, yang marganya sama, lalu diasuh sama orang tua angkatnya, dan si anak ini nanti memenuhi kewajiban (mengurus orang tua) yaitu orang tua angkatnya, bukan kepada orangtua kandungnya. Kalau yang seperti ini biasanya tidak memakai upacara bermacam-macam, lebih bersifat hubungan kekeluargaan diantara orang tua kandung dan orang tua angkat saja, orang lain tidak perlu tahu, bahkan si anak sendiri seringkali juga tidak tahu. Sehubungan hak waris, si anak berhak mewarisi dari orang tua angkat, bukan dari orang tua kandung. Tetapi biasanya juga yang mengangkat anak ini keadaan perekonominya lebih baik dari orang tua kandungnya, atau si anak mempunyai banyak saudara, dimana biaya untuk makan banyak anak juga lebih sulit dibandingkan hanya memiliki sedikit anak, atau si anak bertempat tinggal di kampung, dimana untuk biaya makan saja sudah susah, apalagi ditambah biaya pendidikan dan lain sebagainya.
2.
Karena masalah ‘ciong’ Kalau masalah ‘ ciong ‘ dimana tanggal lahir tertentu yang dianggap tidak
1919
Universitas Sumatera Utara
33
cocok dengan orang tua kandungnya, katanya bisa menyebabkan sakit, mati atau bangkrut atau apalah yang bisa dibilang jelek-jelek, kemudian di “kias” dengan cara mengangkat anak orang lain. Kalau yang ini biasanya upacaranya lebih rumit, misalnya: memakai acara merangkak di kolong meja makan, menyuguhkan teh, sembahyang di depan altar leluhur, sembahyang kepada langit dan bumi, makan-makan, announcement sama keluarga dan kerabat dekat bahwa si A sekarang sudah menjadi anaknya si C dan bukan anaknya si B. Dalam hal ini, nanti si anak tetap tinggal bersama orang tua kandungnya, tetapi panggilannnya diganti, biasanya dipanggil Asuk atau Acek atau Apak terhadap ayah kandungnya sendiri. Jika nanti sewaktu orang tua angkatnya meninggal, dia harus ikut ‘tuaha’ atau memakai baju belacu menurut adat istiadat acara kematian di tionghoa. Tetapi dia tidak punya hak waris dari orang tua angkatnya (kecuali diberi wasiat) dan tetap punya hak waris dari orang tua kandungnya. 3.
Karena masalah ‘mancing’ anak Mancing anak adalah suatu proses yang dilakukan oleh sepasang suami isteri yang lama tidak mempunyai anak, dengan cara mengambil anak orang lain atau mengangkat anak, dan biasanya anak kerabatnya sendiri, dengan menganggap anak itu seperti anaknya sendiri, dirawat, dipelihara dengan baik, dengan harapan supaya dengan mengambil anak tersebut bisa juga memiliki anak sendiri. Kalau masalah ‘mancing’ anak biasanya tidak memakai segala macam
1919
Universitas Sumatera Utara
34
upacara sembayangan dan makan-makan. Anak tersebut akan tinggal di rumah orang tua angkatnya, juga memanggil mama-papa kepada orang tua angkatnya, disini hanya sementara saja, sampai si orang tua angkat mempunyai anak sendiri, sedangkan si anak angkat boleh tetap tinggal dirumah itu atau dikembalikan kepada orang tua kandungnya, itu terserah orang tua angkatnya, kalau pulang pun biasanya diberi kado atau hantaran seperti sangji, karena berhasil “mancing” anak. Anak yang bisa “mancing” ini bisa dua-tiga kali mancing yang berarti nanti dia akan mempunyai dua-tiga orang tua angkat pula. Kalau untuk masalah ini si anak tidak mempunyai hak waris dan tidak wajib “tuaha” kalau orang tua angkatnya meninggal. Jadi tidak semua urusan kweepang berkweepang atau angkat mengangkat anak itu berbau mistik semuanya tetapi adalah tradisi yang dilakukan atau diwariskan dari generasi ke generasi, untuk kebahagiaan dan kesejahteraan si anak angkat maupun kedua orang tuanya baik orang tua angkat maupun orang tua kandungnya sendiri. Dan biasanya tradisi ini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat tionghoa. C. Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-Undangan Pengangkatan anak dalam Staatsblaad Tahun 1917 No. 129 berlaku untuk golongan Timur Asing Tionghoa, yang berkaitan dengan bebrbagai syarat untuk melakukan suatu perbuatan pengangkatan anak.
1919
Universitas Sumatera Utara
35
Didalam peraturan ini diatur antara lain seorang laki-laki yang kawin dapat mengadopsi seorang anak laki-laki. Dalam peraturan ini ada ketentuan yang melarang pengadopsian anak perempuan sebagai anak angkat. Akan tetapi dengan adanya yurispudensi yang menentukan seorang anak perempuan pun dapat diangkat sebagai anak angkat oleh golongan Timur Tionghoa, maka sekarang anak perempuan boleh diangkat menjadi anak angkat oleh golongan Timur Tionghoa. Untuk dapat mengadopsi harus ada persetujuan terlebih dahulu antara suami istri yang hendak melakukannya. Bila yang hendak diadopsi adalah seorang anak sah, maka diperlukan persetujuan orang tua kandungnya. Apabila diadopsi bagi anak yang dilahirkan diluar nikah, yang member persetujuan ialah orang tua yang mengakui sebagai anak. Demikian pula bila kedua orang tua kandungnya telah meninggal dunia, maka wali dan balai harta peninggalan member persetujuan. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 mengenai tata cara pengangkatan anak ditegaskan bahwa pengangkatan anak warga negara Indonesia, supaya ada jaminan dan memperoleh kepastian hukum anak tersebut, maka pengangkatannya harus melalui suatu keputusan pengadilan. Mahkamah Agung lewat surat edarannya ingin menegaskan bahwa Penetapan dan keputusan merupakan syarat bagi sahnya pengangkatan anak. Jadi pengangkatan anak yang sah harus mendapat persetujuan yang diberikan oleh badan pengadilan (harus melalui suatu keputusan pengadilan).
1919
Universitas Sumatera Utara
36
Sebagai contoh, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tertanggal 29 Mei 1963, nomor 907/1963 P, tentang Adopsi Di Kalangan Orang-orang Tionghoa. Dalam sub bagian menimbang, antara lain menyebutkan : a. Bahwa keterangan saksi-saksi tersebut yang diberikan secara ahli dan ilmiah telah meyakinkan kami bahwa hukum adat Tionghoa mengenai adopsi anak perempuan, karena kalangan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa di Indonesia telah lama meninggalkan sifat patrilineal serta penghormatan nenek moyang, sehingga sekarang lebih bercorak parental; b. Bahwa pendapat tersebut juga sesuai dengan asas persamaan hak antara wanita dan pria yang pada waktu ini sedang menggelora dan yang antara lain telah dianut dalam Undang-undang Kewarganegaraan dalam Undang-undang mana terdapat aliran-aliran baru yang menerobos aliran klasik seperti terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Perkawinan Campuran; c. Bahwa asas persamaan hak ini telah dimuat pula dalam resolusi Seminar Hukum Nasional 1963, dalam resolusi mana dicantumkan agar mengindahkan keseimbangan pembagian antara pria-wanita dalam hukum waris dan masyarakat yang bersifat parental…78 Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Nomor 907/Pdt.P/1963 tertanggal 29 Mei 1963 tentang Pengangkatan Anak Perempuan Keturunan Tionghoa oleh Masyarakat Keturunan Tionghoa Sah. Dalam mengambil keputusan hakim tanpa ragu-ragu lagi untuk menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak lagi terikat oleh peraturan pengangkatan anak berdasarkan Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang berarti bahwa permohonan pengangkatan anak bagi golongan keturunan Tionghoa tidak terbatas pada anak laki-laki saja tetapi dibenarkan seorang anak perempuan bagi golongan Tionghoa untuk dijadikan sebagai anak angkat oleh golongan Tionghoa sepanjang tidak melukai hukum adat masyarakat Tionghoa. Masyarakat hukum adat tionghoa mengenal pengangkatan anak perempuan, karena masyarakat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa telah lama meninggalkan sifat patrilineal serta penghormatan nenek moyang sehingga sekarang lebih bercorak parental. Pandangan ini telah selaras dengan semangat perjuangan persamaan hak antara pria dan wanita.79 Sehingga dengan adanya pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, dapat dikatakan juga, mengenai pengangkatan anak, baik antara laki-laki dan perempuan
78
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Tentang Adopsi Anak Perempuan, Dimuat Dalam Buku Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, oleh Soedharyo Soimin, SH, Sinar Grafika, 2004. hal. 79. 79 Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Raja rafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 201.
1919
Universitas Sumatera Utara
37
sama. Demikian juga dengan hak waris anak angkat, baik antara laki-laki dengan perempuan sama, yaitu dengan menganut sistem kekerabatan keluarga yang bersifat parental. Beberapa putusan pengadilan tentang pengangkatan anak laki-laki ataupun perempuan yang pernah terjadi adalah: 1. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya nomor 456/1960 pdt.R. yang memutuskan: Permohonan bagi seorang suami Istri Tionghoa terhadap seorang anak perempuan dikabulkan. 2. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 335/1964. Dimana semua pengesahan adopsi untuk orang-orang keturunan Tionghoa terhadap seorang anak perempuan dikabulkan.80
1. 2.
Dalam Ketentuan UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ditentukan dengan tegas dalam pengaturan hukum tentang pengangkatan anak, yaitu untuk mrngutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Hal ini dapat diketahui dari perumusan ketentuan Pasal 12 yang selengkapnya berbunyi : Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Kepentingan kesejahteraan anak yang dimaksud dalam ayat (1) yaitu Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan kesejahteraan anak dalam UU ini adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.81
D. Tujuan dan Syarat- syarat dalam Pengangkatan Anak Menurut Hasballah Thaib ada beberapa alasan seseorang untuk melakukan pengangkatan anak diantaranya: a. Untuk menghilangkan rasa kesunyian diri atau kehidupan keluarga dalam suatu rumah tangga yang telah dibina bertahun-tahun tanpa kehadiran seorang anak. b. Untuk menghilangkan rasa kesunyian diri atau kehidupan keluarga dalam suatu. Untuk melanjutkan garis keturunan terutama sekali bangsa yang enganut sistem pengabdian kepada leluhur (voorouder verering). 80
Yuni, Kedudukan Anak Angkat Dalam Pewarisan,Semarang, 2008, hal 72 Dewi Sartika,Kedudukan Anak Angkat Dalam Mewarisi Harta Orang tua Angkatnya, Semarang, 2002, hal. 45 81
1919
Universitas Sumatera Utara
38
c. Karena niat baik untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang terlantar, menderita, miskin dan sebagainya. Dalam hal ini dengan tidak memutuskan hubungan biologi dengan orang tua kandungnya. d. Untuk mencari tenaga kerja atau membantu dalam melaksanakan pekerjaan rutin yang bersifat ekstern maupun intern. e. Untuk mencapai dan mencari tempat bergantung hidup dihari tua kelak. f. Untuk memberikan kepuasan bathiniah bagi keluarga yang sangat membutuhkan kehadiran seorang anak dari kehidupan rumah tangga dan seluruh keluarganya.82 Di Indonesia Pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap anakanak, maka itu pemerintah mengeluarkan perlindungan terhadap anak-anak yaitu dengan disah kan nya Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan perlindungan, hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak yaitu dengan suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Pada Pasal 12 Peraturan Pemeritahan RI No.54 tahun 2007, mengenai syaratsyarat pengangkatan anak meliputi: 1. Syarat yang diangkat meliputi ; a) Belum berusia 18 (delapan belas) tahun b) Merupakan anak terlantar atau anak ditelantarkan c) Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak d) Memerlukan perlindungan khusus 2. Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
82
M. Hasballah Thaib, Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqh Islam, Fakultas arbiyah Universitas Darmawangsa, 1995, Hal. 109.
1919
Universitas Sumatera Utara
39
a) Anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama b) Anak berusia 6 (enam) sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak c) Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengangkatan anak adalah sebagai berikut: 1. Mendapat persetujuan dari orang tua kandung calon anak angkat. 2. Keadaan kemampuan ekonomi orang tua yang akan mengangkat anak sangat memungkinkan dalam arti bahwa mereka nantinya dapat menjaminkehidupan masa depan anak angkatnya sehingga anak tersebut tidak terlantar hidupnya. 3. Apabila anak yang akan diangkat itu dapat berbicara dan mengerti maka harus ada persetujuan dari anak itu sendiri. 4. Mampu merawat, mendidik, magasuh, maupun memenuhi keutuhan hidup anak angka tersebut. 5. Bersedia untuk memperlakukan anak angkat seperti anak kandung sendiri. 83 Syarat-syarat pengangkatan anak menurut Hukum Barat seperti yang di tentukan dalam Pasal 5 sampai dengan pasal 7 Staatblad tahun 1917 nomor 129 adalah sebagai berikut: 1. Syarat bagi calon orang tua angkat a. seorang laki-laki yang sudah beristri b. tidak mempunyai anak laki-laki yang sah menurut garis laki-laki c. seorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki sepanjang bekas suaminya meninggalkan wasiat yang berisi pernyataan tidak menghendaki pengangkatan anak atau adopsi 2. syarat untuk calon anak angkat: a. anak laki-laki Tionghoa yang belum menikah b. anak angkat tersebut belum di adopsi oleh orang lain c. anak tersebut mempunyai selisih umur tahun 18 tahun atau lebih muda dari orang tua angkatnya.
83
Bushar. Muhammad, Pokok–Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal 34
1919
Universitas Sumatera Utara
40
Syarat-syarat bagi perbuatan pengangkatan anak warga negara Indonesia yang harus dipenuhi dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak adalah sebagai berikut: Syarat-syarat bagi orang tua angkat: 1. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat diperbolehkan. 2. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah atau belum menikah diperbolehkan. Syarat-syarat bagi calon anak yang diangkat: 1. Dalam hal calon anak tersebut berada dalam asuhan suatu yayasan sosial harus dilampirkan. Surat ijin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diijinkan bergerak dibidang kegiatan pengangkatan anak. 2. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang dimaksud diatas harus pula mempunyai ijin tertulis dari Menteri sosial atau pejabat yangditunjuk bahwa anak tersebut diijinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.84 Pengaturan mengenai Prosedur tentang permohonan pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yaitu dijelaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak terbitan Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak sebagai berikut : 1. Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Instansi Sosial Kabupaten/Kota dengan melampirkan: a) Surat penyerahan anak dari orang tua/walinya kepada instansi sosial; b) Surat penyerahan anak dari Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota kepada Organisasi Sosial (orsos); c) Surat penyerahan anak dari orsos kepada calon orang tua angkat; d) Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri calon orang tua angkat; e) Fotokopi surat tanda lahir calon orang tua angkat; f) Fotokopi surat nikah calon orang tua angkat; g) Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari Dokter Pemerintah; h) Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan Dokter Psikiater; i) Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja. 2. Permohonan izin pengangkatan anak diajukan pemohon kepada Kepala Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota dengan ketentuan sebagai berikut: a) Ditulis tangan sendiri oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup; 84
Anonim, http://.blogspot.com/2011/05/pengangkatan-anak-menurut-berbagai.html, di akses tanggal 05 Maret 2013
1919
Universitas Sumatera Utara
41
3.
4. 5. 6.
7. 8.
b) Ditandatangani sendiri oleh pemohon (suami-istri); c) Mencantumkan nama anak dan asal usul anak yang akan diangkat Dalam hal calon anak angkat tersebut sudah berada dalam asuhan keluarga calon orang tua angkat dan tidak berada dalam asuhan organisasi sosial, maka calon orang tua angkat harus dapat membuktikan kelengkapan surat-surat mengenai penyerahan anak dan orang tua/wali keluarganya yang sah kepada calon orang tua angkat yang disahkan oleh instansi sosial tingkat Kabupaten/Kota setempat, termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar belakang dan data anak yang diragukan (domisili anak berasal) Proses Penelitian Kelayakan Sidang Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (PIPA) Daerah Surat Keputusan Kepala Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota bahwa calon orang tua angkat dapat diajukan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan ketetapan sebagai orang tua angkat. Penetapan Pengadilan Penyerahan Surat Penetapan Pengadilan85
Beberapa beberapa contoh tentang pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat yang terdapat di beberapa daerah diIndonesia, antara lain : 1. Di Jawa dan Sulawesi adopsi jarang dilakukan dengan sepengetahuan kepala desa. Mereka mengangkat anak dari kalangan keponakan- keponakan. Lazimnya mengangkat anak keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran uang atau penyerahan barang kepada orang tua si anak. 2. Di Bali, sebutan pengangkatan anak disebut “nyentanayang”. Anak lazimnya diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa. Tetapi akhir-akhir ini dapat pula diambil dari keluarga istri (pradana). Pelaksanaan pengangkatan anak atau pengambilan anak di Bali adalah sebagai berikut : a. Orang (laki-laki) yang ingin mengangkat anak tersebut terlebih dahulu wajib membicarakan kehendaknya dengan keluarganya secara matang. b. Anak yang akan diangkat, hubungan kekeluargaan dengan ibunya dan keluarganya secara adapt harus diputuskan, yaitu dengan membayar benang (hubungan anak dengan keluarganya putus) dan membayar sejumlah uang menurut adat seribu kepeng disertai pakaian wanita lengkap (hubungan anak dengan ibu putus). c. Anak kemudian dimasukkan ke dalam hubungan kekeluargaan dari keluarga yang memungutnya, istilahnya diperas. d. Pengumuman kepada warga desa (siar), untuk siar ini pada zaman dahulu dibutuhkan izin raja, sebab pegawai kerajaan untuk keperluan adopsi ini 85
Anonim, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl107/anak-angkat,-prosedur-dan-hakwarisnya di akses tanggal 05 Maret 2013
1919
Universitas Sumatera Utara
42
membuat “surat peras” (akta). Alasan adopsi karena tidak mempunyai keturunan 3. Dalam masyarakat Nias, Lampung dan Kalimantan. Pertama-tama anak harus dilepaskan dari lingkungan lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantiannya, yaitu berupa benda magis, setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung anak yang dipungut itu masuk ke dalam kerabat yang memungutnya, itulah perbuatan ambil anak sebagai suatu perbuatan tunai. Pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan suatu upacara-upacara dengan bantuan penghulu atau pemuka-pemuka rakyat, dengan perkataan lain perbuatan itu harus terang. 4. Dalam masyarakat Pontianak, syarat-syarat untuk dapat mengangkat anak adalah: a. Disaksikan oleh pemuka-pemuka adat b. Disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu orang tua kandung dan orang tua angkat. c. Si anak telah meminum setetes darah dari orang tua angkatnya d. Membayar uang adat sebesar dua ulun (dinar) oleh si anak dan orang tuanya sebagai tanda pelepas atau pemisah anak tersebut, yakni bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki oleh orangtua kandung anak tersebut. Sebaliknya bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki oleh orang tua angkatnya maka ditiadakan dari pembayaran adat. Tetapi apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak maka harus membayar adat sebesar dua ulun 5. Dalam masyarakat Rejang pada Propinsi Bengkulu dikenal adanya lembaga pengangkatan anak, yang diangkat disebut “Anak Aket” dengan cara calon orang tua angkat mengadakan selamatan/kenduri yang dihadiri oleh ketua Kutai dan pemuda-pemuda masyarakat lainnya. Di dalam upacara itu ketua Kutai mengumumkan terjadinya pengangkatan anak yang kemudian disusul dengan upacara penyerahan anak yang akan diangkat oleh orang tua kandung dan penerimaan oleh orang tua angkat (semacam ijab kabul), maka secara adat resmilah pengangkatan anak tersebut 86 Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat dan Hukum Islam adalah sebagai berikut : 1.
Dalam Hukum Keluarga Dalam masyarakat hukum adat berbeda dari masyarakat yang modern, di
86
Surodjo Wignyodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Ada, Alumni, Bandung, 1989,
hal. 118.
1919
Universitas Sumatera Utara
43
mana keluarga / rumah tangga dari suatu ikatan perkawinan tidak saja terdapat anak kandung, tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat, anak asuh. Semua anak-anak itu ada sangkut pautnya dengan hak dan kewajiban orang tua yang mengurus atau memeliharanya, begitu pula sebaliknya.87 Kedudukan anak-anak tersebut pengaturannya juga berlatar belakang pada susunan masyarakat adat bersangkutan dan bentuk perkawinan orang tua yang berlaku. Bukan tidak menjadi masalah tentang sah atau tidaknya anak, hal tersebut dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat bersangkutan, tetapi yang juga penting adalah menyangkut masalah keturunan dan pewarisan.88 Dalam masyarakat dengan susunan kekerabatan patrilineal yang cenderung melakukan perkawinan dimana istri pada umumnya masuk dalam kelompok suami, maka kedudukan anak dikaitkan dengan tujuan penerusan keturunan menurut garis laki-laki. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki atau tidak mempunyai anak sama sekali mengangkat anak wanita berkedudukan seperti anak laki-laki atau mengangkat anak laki-laki orang lain menjadi penerus keturunan yang kedudukannya sejajar dengan anak sendiri.89 Dalam masyarakat yang matrilineal yang cenderung melakukan perkawinan dalam bentuk semenda, dimana suami masuk dalam kerabat istri (matrilokal) atau dibawah kekuasaan kerabat istri, maka kedudukan anak dikaitkan dengan penerusan keturunan menurut garis wanita. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak mempunyai anak sama sekali mengangkat anak lelaki berkedudukan seperti wanita berkedudukan sejajar dengan anak sendiri.90 Pengadilan di dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan anak dengan orang tua sebagai berikut : a) Hubungan darah Mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orang tua kandung. b) Hubungan waris 87
Yuni, Op.Cit., hal 80 Ibid, hal 80 89 Ibid, hal 81 90 Ibid, hal 82 88
1919
Universitas Sumatera Utara
44
Dalam hal ini secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapat waris dari orang tua angkat. c) Hubungan perwalian Dalam hubungan perwalian, ini terputus hubungan anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua beralih kepada oang tua angkat. d) Hubungan marga, gelar, kedudukan , adat Dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar, dari orang tua kandung,melainkan dari orang tua angkat.91 2. Dalam Hukum Waris Adat Harta warisan menurut hukum adat tidak merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya pada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, harta tersebut tidak boleh dimiliki secara perorangan, tetapi harta tersebut dapat dipakai dan dinikmati saja. 92 Adapun kenyataan yang terjadi dalam masyarakat Tionghoa cenderungan mengangkat anak tidak melalui permohonan dipengadilan negeri, dengan alasan tidak praktis karena permohonan pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri sangat membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang relatif tinggi serta banyak sekali persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi bagi masyarakat Tionghoa yang berwarga Negara Indonesia.93 Maka
itulah
Masyarakat
Tionghoa
ada
lebih
memilih
melakukan
pengangkatan anak melalui adat etnis Tionghoa yang dihadiri oleh kedua belah pihak keluarga (orang tua kandung dan orang tua angkat), dengan membicarakan maksud dan tujuan dari pengangkatan anak tersebut sebagai syarat sahnya pengangkatan anak tersebut.94 Tetapi ada juga sebagian masyarakat Tionghoa memilih melakukan pengangkatan anak sesuai dengan prosedur yang berlaku agar anak yang di angkat
91
M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984, hal 28-29. 92 Yuni, Op.Cit., hal 90 93 Immanuel Sinaga, Op.Cit., hal 112 94 Ibid, hal 115
1919
Universitas Sumatera Utara
45
tidak mengalami kesulitan status anaknya di kemudian hari. Kedudukan anak angkat bagi orang- orang Tionghoa atau yang tunduk pada Hukum Barat adalah sama dengan kedudukan anak kandung. Dengan adanya proses pengangkatan anak tersebut maka terputus pula segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran yaitu antara orang tua kandung dengan anak yang diangkat.95 Perbuatan pengangkatan anak tersebut akan mempunyai akibat hukum, diantaranya adalah timbulnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Dan akibat lain kedudukan anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Permasalahan saling gugat di pengadilan yang sering kali terjadi disebabkan adanya anak angkat dalam suatu keluarga, biasanya mengenai kedudukan anak angkat, yaitu mengenai sah tidaknya pengangkatan anak angkat tersebut, karena sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut akan mempengaruhi dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya maupun dalam hal mendapatkan bagian warisannya. E. Prosedur Pengangkatan Anak yang Sah Dalam Penetapan Pengadilan Negeri 1.
Menurut Staatsblad No. 129 tahun 1917 Pengangkatan anak menurut Stbl. 1917 No. 129 dapat dianggap batal apabila
tidak mempunyai akta notaris. Sesuai dengan yang telah dikeluarkan oleh SEMA
95
Bastian Taufal, Pengangkatan Anak menurut Adat dan akibat hukumnya, Rajawali Press, Jakarta, 1989, hal. 60
1919
Universitas Sumatera Utara
46
No. 2 tahun 1979 yang kemudian mengalami perubahan atau disempurnakan dengan SEMA No. 6 tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak, bahwa pengangkatan anak harus dengan putusan atau penetapan Pengadilan Negeri setempat. Syarat-syarat pengangkatan anak adalah sebagai berikut : 1. Setiap permohonan pengangkatan anak (adopsi) sebelum diajukan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan Keputusan, terlebih dahulu harus dilengkapi dengan surat keterangan dari Kepala Kantor Catatan Sipil Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2. Penerbitan Kutipan Akta Pengangkatan Anak diproses dan diterbitkan oleh Kepala Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta. Persyaratan : a. Keputusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau akta pengangkatan anak dari Notaris yang telah dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. b. Fotokopi Kutipan Akta Kelahiran Anak yang akan diangkat dengan membawa yang aslinya. c. Fotokopi KTP dan KK orang tua angkatnya yang masih berlaku. d. Bagi WNI Keturunan di samping persyaratan di atas dilampirkan : i. Surat Bukti Kewarganegaraan RI. ii. Surat Bukti Ganti Nama (bila ada). e. Bagi WNA, di samping persyaratan di atas dilampirkan : i. Pasport. ii. Dokumen Imigrasi. iii. Surat Tanda Melapor Diri (STMD) dari Kepolisian.96 2.
Menurut Penetapan Pengadilan.
Kita sadari bahwa masih terjadi pluralisme hukum dalam pengaturan anak angkat. Secara khusus belum ada Undang-undang yang mengatur tentang pengangkatan anak ini. Para hakim di Pengadilan Negeri dalam hal pengangkatan anak masih mempedomani Stbl. 1917 No. 129, yang semula hanya berlaku dilingkungan golongan Tionghoa yang belum memperoleh anak laki-laki, serta SEMA No. 2 tahun 1979, jo. No. 6 tahun 1983 jo. No. 4 tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak, Kep. Men. Sos. RI No. 41/Huk/Kep/VII/1984 tentang Petunjuk
96
Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Layanan Masyarakat Tentang pengangkatan Anak, www.jakarta.go.id/layanan/masyarakat/akta_ pengangkatan_anak.htm, Jakarta, 2002.
1919
Universitas Sumatera Utara
47
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak yang juga memberi peluang kepada seseorang yang belum berkeluarga untuk mengajukan diri sebagai orang tua angkat.97 Dalam SEMA No. 6 tahun 1983 (Penyempurnaan SEMA No. 2 tahun 1979) Tentang Pengangkatan Anak, dalam angka I bagian Umum menyebutkan: 98 a. Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa permohonan pengesahan/pengangkatan anak diajukan kepada Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak kian bertambah. Baik yang merupakan permohonan khusus pengesahan/ pengangkatan anak. Yang terakhir ini menunjukkan adanya perubahan/pergeseran/variasi-variasi pada motif dasarnya. b. Keadaan tersebut merupakan gambaran, bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum itu hanya didapat setelah memperoleh suatu putusan Pengadilan. Prosedur pengangkatan anak, masih tetap mengacu pada SEMA RI No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak, yaitu antara lain sebagai berikut : a. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak antar Warganegara Indonesia. Dalam hal menerima, kemudian memeriksa dan mengadili permohonanpermohonan pengesahan/pengangkatan anak antar Warganegara Indonesia diperhatikan hal-hal sebagai berikut : Syarat dan bentuk surat permohonan (sifatnya voluntair) : 1. Permohonan seperti ini hanya dapat diterima apabila telah ternyata ada urgensi yang memadai yaitu ada ketentuan-ketentuan UU yang mengharuskan. 2. Seperti permohonan-permohonan yang lain, permohonan seperti ini dapat dilakukan secara lisan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri atau permohonan secara tertulis. 3. Dapat diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya. Di samping itu pemohon dapat juga didampingi/ dibantu seseorang (seperti pengertian dalam Pasal 123 RID). Dalam hal didampingi/dibantu maka hal ini berarti pemohon/calon orang tua angkat tetap harus hadir dalam pemeriksaan di persidangan. Begitu juga meskipun pemohon memakai seseorang kuasa namun ia wajib hadir dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri. 4. Dibubuhi meterai secukupnya. 5. Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat. 97
Edison, Mengangkat Anak, Dimuat Dalam Majalah Bulanan Jurnal Renvoi, No. 23 Tahun II, April 2005. 98 Immanuel Sinaga, Op.cit., hal. 45
1919
Universitas Sumatera Utara
48
Isi surat permohonan memuat : i. Dalam bagian dasar hukum dari permohonan tersebut secara jelas diuraikan dasar yang mendorong (motif) diajukan permohonan pengesahan/pengangkatan anak tersebut. ii. Juga harus tampak bahwa permohonan pengesahan pengangkatan anak itu dilakukan terutama untuk kepentingan calon anak yang bersangkutan dan digambarkan kemungkinan kehidupan hari depan si anak setelah pengangkatan anak terjadi. iii.Isi petitum bersifat tunggal : Yaitu : tidak disertai (in samenloop met) petitum yang lain. b. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak warga Negara asing oleh orang tua angkat Warganegara Indonesia (inter country adoption). Syarat yang harus di penuhi oleh : 1. Calon orang tua angkat (pemohon): i. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan. ii. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan. 2. Syarat bagi calon anak yang diangkat : i. Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu yayasan sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa Yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak. ii. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau Pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat. c. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak Warganegara Indonesia oleh orang tua angkat warganegara asing (inter country adoption). 1. Calon orang tua angkat (suami isteri, orang yang belum pernah menikah) sedapat mungkin juga anggota keluarga yang terdekat lainnya (anak-anak orang tua angkat yang telah besar). Bila di anggap perlu, juga mereka yang menurut hubungan kekeluargaan dengan calon orang tua angkat Warganegara Indonesia atau karena status sosialnya dikemudian hari dipandang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan anak untuk selanjutnya. 2. Orang tua yang sah/walinya yang sah/keluarganya yang berkewajiban merawat, mendidik dan membesarkan anak tersebut. 3. Badan/yayasan sosial yang telah mendapat izin dari Departemen Sosial/Pejabat Instansi Sosial setempat untuk bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak, kalau anak angkat Warganegara Indonesia tersebut berasal dari badan/yayasan sosial (bukan private adoption).
1919
Universitas Sumatera Utara
49
4.
Seseorang petugas/Pejabat Instansi Sosial setempat yang akan memberikan penjelasan tentang latar belakang kehidupan social ekonomi anak yang dimohonkan, untuk diangkat kalau anak angkat Warganegara Indonesia tersebut berasal dari badan/yayasan sosial (bukan private adoption). 5. Calon anak angkat kalau menurut umurnya sudah dapat diajak bicara. 6. Pihak kepolisian setempat d. Pengadilan negri memeriksa alat-alat bukti lain yang dapat menjadi dasar permohonan ataupun pertimbangan putusan Pengadilan, antara lain sebagai berikut : 1. Surat-surat resmi tentang kelahiran dan lain-lain : i. Akta kelahiran, akta kenal lahir yang ditandatangani oleh Bupati atau Walikota setempat. ii. Akta-akta, surat resmi pejabat lainnya yang diperlukan (surat izin Departemen Sosial). 2. Akta notaris surat-surat di bawah tangan (korespondensi-korespondensi). 3. Surat-surat keterangan, laporan sosial, pernyataan-pernyataan. 4. Surat keterangan dari Kepolisian tentang calon orang tua angkat dan calon anak angkat. e. Pengadilan Negeri mengarahkan pemeriksaan dipersidangan 1. Untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang latar belakang/motif dari pihak-pihak yang akan melepaskan anak (termasuk badan/yayasan sosial di mana anak tersebut berasal) ataupun pihak yang akan menerima anak yang bersangkutan sebagai anak angkat. 2. Untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa dalam kesungguhan, ketulusan dan kesadaran kedua belah pihak tersebut akan akibat-akibat dari perbuatan hukum melepas dan mengangkat anak tersebut. Hakim menjelaskan hal-hal tersebut kepada kedua belah pihak. 3. Untuk mengetahui keadaan ekonomi, keadaan rumah tangga (kerukunan, keserasian, kehidupan keluarga) serta cara mendidik dan mengasuh dari kedua belah pihak calon orang tua angkat tersebut. 4. Untuk menilai bagaimana tanggapan anggota keluarga yang terdekat (anak-anak yang telah besar) dari kedua belah pihak orang tua tersebut. 5. Untuk mengadakan pemeriksaan setempat dimana calon anak angkat itu berada. f. Putusan Terhadap Permohonan Pengesahan/Pengangkatan Anak Putusan dalam hal ini bersifat constitutif, yaitu menciptakan suatu status atau keadaan hukum baru. 99
99
Immanuel Sinaga, Op.cit., hal. 60-64,67-68
1919
Universitas Sumatera Utara
50
F. Prosedur Pengangkatan Anak dan Penerapan Staatsblad 1917 No. 129 di Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan. Walaupun peranan Pengadilan pada lembaga Pengangkatan Anak belum secara tegas dicantumkan dalam suatu perundang-undangan di Indonesia hingga saat ini, namun sesuai dengan pasal 1 angka 9 UU nomor 23 tahun 2002 pada defenisi anak angkat, telah tersirat pentingnya lembaga peradilan untuk sahnya pengangkatan anak. Disisi lain, pada realitasnya sebelum diterbitkannya UU nomor 23 tahun 2002 pun, telah ada masyarakat Indonesia yang mengajukan permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan. Sebagaimana dikemukakan pada latar belakang lahirnya SEMA-RI nomor 2 tahun
1979,
bahwa
telah
banyak
permohonan
pengangkatan
anak
yang
dilatarbelakangi berbagai hal (antara lain kebutuhan memperoleh tunjangan anak angkat bagi Pegawai Negeri Sipil, kebutuhan pengangkatan anak perempuan bagi Warga Negara Indonesia Tionghoa, dan lain-lain) diajukan ke Pengadilan. Berdasarkan hal tersebut, ternyata pentingnya lembaga Peradilan pada pengangkatan anak juga melalui tahapan-tahapan dengan terjadi perubahan sosial. Dengan perubahan tersebut, sedangkan disisi lain proses pra pengangkatan anak belum disadari baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Pada Pengadilan Negeri Kelas IA Medan, prosedur pengangkatan anak pada prinsipnya berpedoman pada SEMA-RI nomor 2 tahun 1979 yang disempurnakan dengan SEMA-RI nomor 6 tahun 1983 dengan tetap memperhatikan PP nomor 7 tahun 1977 tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil dan UU Kesejahteraan Anak. Prosedur
1919
Universitas Sumatera Utara
51
pengangkatan anak dapat dibagi menjadi dua yaitu : i.
Prosedur Teknis Merupakan prosedur rutin hingga diperolehnya salinan penetapan atau putusan pengangkatan anak oleh para pihak yang mengajukan permohonan pengangkatan anak.
ii. Prosedur Non Teknis Sehubungan secara substansi pengangkatan anak belum diatur dalam suatu perundang-undangan, maka Hakim hanya berdasarkan SEMA-RI tersebut dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan mengikuti perkembangan praktek di pengadilan dengan suatu batasan prinsip kehati-hatian dan sebagai landasannya adalah dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi masa depan si anak barulah permohonan tersebut dapat dikabulkan. Prinsip kehati-hatian ini penting karena pengangkatan anak ini rentan dengan kasus-kasus tersembunyi yang muncul dikemudian hari. Seperti kasus gugatan yang ditangani
oleh
hakim
tersebut,
terhadap
anak
angkat
(perempuan)
yang
penyerahannya dihadapan Kepala Desa yang diikuti dengan akte notaries. Namun setelah anak tersebut duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), ibu angkatnya menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan anak tersebut tinggal dengan Bapak Angkatnya sehingga keluarga kandungnya yang masih saudara sepupu dengan orang tua angkat merasa keberatan. Anak tersebut diambil kembali oleh orang tua kandungnya sehingga Bapak angkatnya mengajukan gugatan atas biaya-biaya yang telah dikeluarkannya, sedangkan orang tua kandung anak tersebut mengajukan
1919
Universitas Sumatera Utara
52
rekopensi (gugatan balik) untuk pembatalan pengangkatan anak tersebut. Kalau Hakim tidak yakin atas prinsip tersebut, permohonan dapat ditolak. Hakim tersebut pernah menolak permohonan pengangkatan anak karena baik orang tua kandung maupun orang tua angkat tidak dapat hadir dipersidangan, yang hadir hanya kuasa-kuasanya saja. Padahal pengangkatan anak tersebut telah dilakukan dihadapan lurah dan pemuka adat setempat. Dalam pemeriksaan pengangkatan anak, hakim tersebut juga memperhatikan usia dari calon anak angkat. Apabila pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia (WNI) dianjurkan kurang dari 5 (lima) tahun, boleh lebih namun tidak melewati batasan usia anak berdasarkan UU nomor 23 tahun 2002 yaitu 18 (delapan belas) tahun. Namun untuk pengangkatan anak intercountry adoption, anak wajib berumur kurang dari 5 tahun. Selisih usia calon anak angkat dengan orang tua angkat minimal 10-15 tahun. Ternyata pada prakteknya hakim tersebut juga ada menanyakan kehendak dari calon anak angkat apabila si anak telah dapat diajak untuk berbicara. Usia anak tersebut berkisar 4 (empat) tahun keatas. Dikemukakannya juga, sesuai dengan permintaan badan-badan peradilan sejak lama, bahwa sudah waktunya dan secepatnya Pemerintah bersama-sama dengan DPR membuat UU Pengangkatan Anak untuk membela kepentingan yang terbaik dari anak yang diangkat. Pada pengangkatan anak di Pengadilan Negeri Medan, tidak ada diharuskan penyerahan calon anak angkat dengan akta notaris (akta otentik) termasuk bagi Warga Negara Indonesia (WNI) Tionghoa yang dahulu diberlakukan Staatsblad 1917 nomor 129. Prosedur pengangkatan anak untuk seluruh Warga Negara Indonesia
1919
Universitas Sumatera Utara
53
(WNI) sama yaitu berdasarkan SEMA-RI tersebut sedangkan untuk substansinya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Hakim dengan prinsip kehati-hatian dengan asas mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Namun, apabila pada permohonan pengangkatan anak didahului dengan akta notaris
yang
merupakan
bukti
sempurna,
pemeriksaan
surat-surat
dapat
diminimalisasi. Akta Pengangkatan anak merupakan salah satu dari bukti permulaan tertulis. Sedangkan Hakim dalam memeriksa perkara pada prinsipnya minimal dengan 2 (dua) alat bukti. Menurut pandangan hakim tersebut, kebaikan pengangkatan anak yang penyerahannya dengan akta notaris adalah : i. Mengaransi keseriusan pihak yang mengangkat karena akta notaris merupakan bukti permulaan yang secara sah dapat menunjukkan pada masyarakat tentang adanya keseriusan dari pihak yang mengangkatnya. ii. Dalam tahapan proses mempertebal ikatan batin antara calon anak angkat dengan pihak yang mengangkatnya sebelum diajukan ke Pengadilan Negeri. Menurut hakim tersebut apabila perundang-undangan mewajibkan para pihak sebelum mengajukan permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan, harus didahului dengan penyerahan anak secara Notaris akan memberatkan beban ekonomi calon orang tua angkat. Tidak seluruhnya calon orang tua angkat mampu secara ekonomis. Adakalanya, anak diahlikan pemeliharaannya kepada keluarga lain bukan karena alasan ekonomis semata namun juga karena alasan psikologis, pihak yang mengangkat lebih mampu mendidik anak tersebut misalnya anak tersebut berasal dari keluarga berantakan atau anak dilahirkan tanpa atau tidak diakui bapaknya.
1919
Universitas Sumatera Utara