BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Sistem Pendukung Keputusan 2.1.1 Pengertian Sistem McLeod dan Schell, dalam bukunya Sistem Informasi Manajemen, diterjemahkan oleh Teguh, H. (2004, p9) mengatakan, ”Sistem adalah sekelompok elemen terintegrasi dengan maksud yang sama untuk mencapai suatu tujuan.” Mathiassen dalam bukunya Object oriented analysis and Design (2000, p9) mengatakan, ”System: a collection of componets that implement modeling requirments, function, and interface.” Menurut O’Brien dalam bukunya Introduction to Information System: Essential for The e-business enterprise (2003, p8), sistem adalah kumpulan dari komponen-komponen saling berhubungan dan berkerja bersama untuk mencapai tujuan yang sama dengan memasukan input serta menghasilkan output dalam suatu proses transformasi teratur.
2.1.2 Struktur Sistem Dalam buku Turban, E.,Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005, p56) yang berjudul Decision Support Systems and Intelligent Systems, disebutkan bahwa sistem berdasarkan gambar di bawah, dibagi menjadi tiga bagian berbeda: input, proses, dan output. Bagian-bagian tersebut dikelilingi oleh sebuah lingkungan dan sering melibatkan sebuah
2 mekanisme umpan balik. Selain itu, pengambil keputusan juga dianggap sebagai bagian dari sistem. Lingkungan
Pelanggan
Input
Bahan Mentah Biaya Sumber Daya
Kondisi musim
Proses
Output
Prosedur Program Alat Aktivitas Keputusan
Kinerja Konsekuensi Produk finis Pngiriman layanan
Pengambil Keputusan
Vendor
Pemegang saham
Pemerintah
Umpan balik
Bank
Kompetisi
Batasan Sistem
Gambar 2.1 Sistem dan Lingkungannya Sumber: Turban, E., Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005, p56)
•
Input Input adalah elemen yang masuk ke dalam sistem.
•
Proses Proses adalah semua elemen yang diperlukan untuk mengkonversi atau mentransformasi input ke dalam output.
•
Output Output adalah produk finish atau konsukuensi yang ada pada sistem.
•
Umpan Balik Ada aliran informasi dari komponen output ke pengambilan keputusan berkenaan dengan performa sistem. Berdasarkan output, pengambil keputusan, yang bertindak sebagai kontrol, dapat memutuskan untuk memodifikasi input, proses, atau keduanya. Aliran informasi ini, muncul sebagai close loop (Gambar 2.1), disebut umpan balik. Inilah bagaimana monitoring sistem riil terjadi. Pengambil keputusan membandingkan input dengan output yang diharapkan dan menyesuaikan input dan mungkin proses untuk semakin mendekati output target.
•
Lingkungan Lingkungan sistem terdiri dari beberapa elemen yang ada diluar, dalam pengertian bukanlah input, output, atau proses. Akan tetapi
sesuatu
konsekuensi
yang
mempengaruhi
pencapaian
tujuan
performa
sistem.
Satu
sistem cara
dan untuk
mengidentifikasi elemen lingkungan adalah dengan mengajukan dua pertanyaan (Chucman; Gharajedaghi, 1999). o Apakah elemen berkaitan dengan tujuan sistem? o Apakah mungkin bagi pengambilan keputusan untuk secara signifikan memanipulasi elemen tersebut? Jika jawaban terhadap pertanyaan pertama adalah ya, dan jawaban untuk pertanyaan kedua adalah tidak, berarti elemen ada di dalam lingkungan. Elemen lingkungan dapat berupa sosial, politik, hukum, fisik, atau ekonomi. Sering elemen terdiri dari sistem lain.
Pada beberapa kasus, elemen mungkin saling berinteraksi yang menyebabkan lingkungan kemudian ditentukan ulang. SPK yang didesain untuk menetapkan aturan biasanya tidak berinteraksi langsung dengan bagian pelaksana keputusan. Untuk sistem komputer, lingkungan merupakan semua yang bukan bagian dari sistem. Bagian tersebut dapat meliputi sistem lain yang berinteraksi dengannya, pengguna memberikan input, dan pengguna yang memeriksa output. •
Batasan Sistem dipisahkan dari lingkungannya dengan sebuah batasan. Sistem berada di dalam batasan, sedangkan lingkungan berada di luar. Batasan dapat berupa fisik, atau dapat berupa faktor nonfisik. Batasan sebuah sistem informasi biasanya ditentukan dengan mempersempit lingkup sistem untuk mempermudah analisis. Dengan kata lain, batasan sebuah sistem informasi, terutama sebuah SPK, adalah berdasarkan desain. Batasan dikaitkan dengan konsep sistem tertutup dan terbuka (closed system dan open system).
2.1.3 Keputusan Dalam buku Mallach (2000, p37) yang berjudul Decision Support and Data Warehouse Systems disebutkan ”a decision is reasoned choice among alternatives” yang jika diterjemahkan akan bermakna sebuah keputusan adalah pilihan di antara banyak alternatif. Disebutkan puladalam buku yang sama ”Making decision is part of the boarder subject of problem solving. Problem solving is the overall
process of closing the gap between reality and a more desirabel situation. To solve problem, we must first realize that the problem, the gap, exists.” Jika diterjemahkan akan menjadi “Membuat keputusan adalah bagian dari subjek pemecahan masalah yang lebih luas. Memecahkan masalah adalah proses keseluruhan dari menutup celah antara realita dengan situasi yang lebih diinginkan. Untuk memecahakan masalah, terlebih dahulu harus menyadari bahwa masalah, celah memang ada.” Dalam buku Mallach (2000, p37)tersebut juga disebutkan bahwa setiap keputusan memiliki karakter yang dicirikan oleh decision statement, sekumpulan alternatif, dan sekumpulan kriteria pembuat keputusan. Semua ini selalu ada, walau tidak selalu disadari keberadaannya. Gambar 2.2 menunjukan bagaimana semua saling berhubungan satu sama lain dalam konteks keputusan.
Gambar 2.2 Relationship Among Decision Statement, Alternatives, and Criteria Sumber: Mallach (2000, p38)
Decision Statement menyatakan apa yang sedang diputuskan. Sebuah Decision Statement yang jelas sangatlah penting dalam pembuatan keputusan kepintaran. Ini memastikan pikiran tetap berfokus pada masalah utama dan jauh dari masalah sampingan yang tidak relevan. Jika keputusan harus dibuat oleh suatu grup/sekelompok orang, sebuah decision statement yang jelas memastikan semua anggota dari grup/sekelompok berpikir sama dalam memutuskan.
Alternatif adalah kemungkinan keputusan yang dapat dilakukan. Terkadang hanya ada beberapa alternatif. Kriteria pembuatan keputusan adalah apa yang diinginkan dari sebuah keputusan. Mungkin tidak bisa semua kriteria dapat diambil dalam suatu kali pengambilan keputusan. Pengambil keputusan sering tidak bisa mengartikan pendekatannya dalam kompromi ini dalam jalan matematis yang tepat. Memang pengambil keputusan sering tidak dapat menentukan kriteria pengambilan keputusan secara tepat. Namun kriteria dan pendekatan untuk kompromi tetap
ada,
walaupun
para
pembuat
keputusan
tidak
dapat
menspesifikasikannya. Meskipun proses pemilihan dari alternatif dapat dilakukan dengan banyak cara, komputer dapat membantu melaksanakan proses evaluasinya.
2.1.4 Jenis-jenis Keputusan Dalam buku Mallach (2000, p42)yang berjudul Decision Support and Data
Warehouse
Systems,
disebutkan
bahwa
keputusan
dapat
dikatagorikan dengan beberapa cara. Pengkatagorikan ini sangat berguna karena keputusan untuk suatu tipe hal yang sama umumnya memiliki karakteristik sama. Maka keputusan ini bisa dibantu oleh sistem pendukung yang komputerisasinya sama. Mengikuti referensi yang dicantumkan dalam buku yang sama (2000, p44) Gorry dan Scott Morton, keputusan dibagi menjadi dua dimensi: keadaan di mana keputusan dibuat dan jangkauan/cakupan keputusan itu sendiri. Dengan membagi setiap dimensi menjadi tiga katagori, maka
didapat sembilan tipe keputusan, yang diperlihatkan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2.1 3X3 Decision Type Grid Operational
Tactical
Strategic
Structured
1
2
3
Semistructured
4
5
6
Unstructured
7
8
9
Sumber: Mallach (2000, p42)
Ketiga kategori yang diperlihatkan dalam Tabel 2.1 kolom paling kiri memperlihatkan konsep awal Simon dari keputusan terprogram melawan keputusan tidak terprogram. Katagori ini adalah: •
Keputusan terstruktur Adalah
satu-satunya
memiliki
prosedur
pengambilan
keputusan yang jelas secara nyata. Sebuah struktur keputusan dapat diberikan ke dalam program komputer, walau secara ekonomi tidak mungkin mengembangkan sebuah program untuk setiap masalah. Secara lebih tepat, sebuah keputusan terstruktur adalah keputusan yang input, output dan internal prosedurnya dari tiga fase keputusan (inteligent, design, dan choice) bisa di spesifikasi. Setiap fase dari keputusan disebut fase keputusan terstruktur. •
Keputusan tidak terstruktur Adalah yang ketiga fase keputusannya secara keseluruhan tidak terstruktur. Dalam kasus ini pengguna tidak tahu bagaimana
harus menjelaskan setidaknya satu aspek dari tiap fase: input, output dan internal prosedurnya. Ini dikarenakan keputusan tersebut sangat baru atau sangat langka. Komputer masih mampu membantu membuat keputusan tidak terstruktur, namun dalam jalan/cara yang berbeda dan menyerahkan lebih banyak prosesnya pada pekerja itu sendiri. •
Keputusan semiterstruktur Adalah memiliki beberapa aspek terstruktur yang tidak bisa terstruktur secara keseluruhan. Ini biasanya berarti satu atau dua dari tiga fase adalah terstruktur sementara yang satunya atau lainnya tidak terstruktur. Komputer bisa sangat membantu secara spesifik pada keputusan semi terstruktur. Secara umum kebanyakan keputusan organisasi adalah tipe ini. Penggolongan keputusan kedalam tiga kategori ini tidak selalu tepat
sempurna. Terkadang pemutusan golongan terhadap suatu keputusan tergantung dari sudut pandang pembuat keputusan terhadap masalah yang dialami. Tiga kolom berikutnya yang ada pada baris pertama Tabel 2.1 sebagai berikut: •
Keputusan strategis (Strategic decision) Adalah keputusan yang akan mempengaruhi keseluruhan organisasi, atau setidaknya sebagian besar untuk jangka waktu lama. Keputusan strategis mempengaruhi tujuan dan kebijakan perusahaan. Keputusan strategis umumnya, tidak selalu, dibuat di level manajemen puncak organisasi.
•
Keputusan Taktis (Tactical decision) Juga dikenal sebagai keputusan kontrol manajemen, akan mempengaruhi bagaimana suatu bagian organisasi melakukan bisnis untuk jangka waktu tertentu di masa depan. Keputusan ini umumnya terjadi dalam konteks keputusan strategi sebelumnya. Keputusan taktis umumnya dibuat oleh manajer level menengah: orang-orang di bawah level top eksekutif menyusun kebijakan strategis, namun cukup tinggi untuk menentukan bagaimana seluruh katagori tindakan yang akan diambil di masa depan.
•
Keputusan Operasional (Operational decision) Adalah keputusan yang akan mempengaruhi suatu aktivitas tertentu saat ini sedang terjadi di organisasi. Namun baik hanya memberikan efek kecil bagi masa depan organisasi maupun tidak sama sekali, dibuat dalam lingkup kebijakan pengendalian. Keputusan operasional berhubungan dengan aktivitas yang tugas, tujuan, dan sumber dayanya telah didefinisikan lewat keputusan strategis dan taktis sebelumnya. Keputusan operasional umumnya dibuat oleh manajer tingkat rendah atau oleh petugas non manajerial.
2.1.5 Pengambilan Keputusan Dalam buku Turban, E., Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005, p53), yang berjudul Decision Support Systems and Intelligent Systems pengambilan keputusan adalah sebuah proses memilih tindakan (di antara berbagai alternatif) untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan. Menurut
seorang pakar bernama Simon, pengambilan keputusan manajerial sinonim dengan proses keseluruhan dari manajemen. Perhatikan pentingnya fungsi manajerial dalam hal perencanaan. Perencanaan meliputi satu seri keputusan: •
Apa yang harus dilakukan?
•
Kapan?
•
Di mana?
•
Mengapa?
•
Bagaimana?
•
Oleh siapa?
Manajer menentukan tujuan, atau rencana; karena itu perencanaan mengimplikasikan pengambilan keputusan. Fungsi-fungsi
manajerial
lainnya, seperti pengaturan dan kontrol, juga melibatkan pengambilan keputusan.
2.1.6
Pengertian Sistem Pendukung Keputusan Dalam buku Turban, Rainer, Potter (2005, p321) yang berjudul
Introduction to Information technology, disebutkan bahwa “Decision Support System (DSS) a computer-based information system that combines models and data to provide support for decision makers in solving semi structured or interdependent problems with extensive user involvement.” Atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan Sistem Pendukung Keputusan (SPK) adalah suatu sistem informasi berbasis komputer mengkombinasikan model dan data untuk menyediakan dukungan kepada
pengambil keputusan dalam memecahakan masalah semi terstruktur atau masalah ketergantungan yang melibatkan user secara mendalam.
2.1.7 Kegunaan Sistem Pendukung Keputusan Dalam buku Sauter, Vicki (1997, p18), disebutkan bahwa sistem pendukung keputusan paling bermanfaat pada saat tidak diketahui secara pasti informasi yang perlu disediakan, menggunakan model apa, dan bahkan kemungkinan kriteria paling tepat. Atau dengan kata lain, sebelum sebuah keputusan dibuat adalah saat sistem pendukung keputusan paling berguna. Disebutkan pula kalau SPK akan sangat berguna dalam keadaan: a.
Di mana data yang disimpan oleh manajer dan staf-nya membutuhkan
banyak
waktu
untuk
mencari
dan
menganalisisnya (data telah disimpan di dalam komputer). b. Pertemuan manajemen terhenti karena adanya pihak yang mengganti validasi data. c. Manajemen sering dikejutkan oleh data saat pembuatan laporan akhir periode. d. Keputusan lebih sering dibuat berdasarkan bukti atau pendapat orang lain, dan bukan berdasarkan data yang pantas dikumpulkan secara berkala. Dalam buku Sauter, Vicki (1997, p18),
disebutkan pula oleh
Hogue dan Watson, SPK dapat dibangun dengan alasan lain karena dapat berguna:
a.
Untuk mendapatkan informasi akurat, disebutkan bahwa banyak pembuat membangun SPK dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tepat waktu/berkala. Atau karena pembuat dan pihak manajemen mengharapkan informasi baru yang diperlukan.
b. Pandangan bahwa memiliki sistem ini adalah bukti sebuah organisasi yang berhasil, atau karena pihak manajemen telah memberikan perintah penggunaannya. Dalam kasus ini pihak manajer percaya bahwa pandangan jika menggunakan SPK akan mempengaruhi pandangan klien perusahaan terhadap produk yang ditawarkan. c. Dalam beberapa kasus yang langka (hanya 6% dari keseluruhan kasus yang dipelajari oleh Hogue dan Watson) SPK digunakan karena mengurangi biaya. Secara umum dapat diterima bahwa teknologi SPK sukses jika dapat membantu pembuat keputusan dalam hal: •
Mencari aspek lebih dari sebuah keputusan.
•
Menciptakan alternatif yang lebih baik.
•
Merespon situasi lebih cepat.
•
Memecahkan problem yang kompleks.
•
Mempertimbangkan lebih banyak pilihan dalam memecahkan masalah.
•
Solusi yang cemerlang.
•
Memanfaatkan multiple analisis dalam memecahkan masalah.
•
Mempunyai pandangan baru dalam masalah dan menghilangkan pandangan sempit yang berhubungan dengan evaluasi pilihan terlalu cepat.
•
Mengimplementasikan bervariasi gaya keputusan dan strategi.
•
Menggunakan data yang lebih baik.
•
Pemanfaatkan model secara lebih baik.
•
Mempertimbangkan analisis bagaimana-jika.
2.1.8 Karakteristik Sistem Pendukung Keputusan Turban, E., Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005, p140), menyebutkan bahwa SPK yang ideal memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Mendukung untuk pengambilan keputusan, terutama pada situasi semi terstruktur dan terstruktur, dengan menyertakan penilaian manusia dan informasi terkomputerisasi. Masalahmasalah tersebut tidak dapat dipecahkan (atau tidak dapat dipecahkan dengan praktis/mudah) oleh sistem komputer lain atau oleh metode alat kuantitatif standard. 2. Mendukung untuk semua manajerial dari eksekutif puncak sampai manajer lini. 3. Mendukung
individu
dan
kelompok.
Masalah
kurang
terstruktur sering memerlukan keterlibatan individu dari departemen dan tingkat organisasional yang berbeda atau bahkan dari organisasi lain. SPK mendukung tim virtual melalui alat-alat web kolaboratif.
4. Mendukung untuk keputusan yang independen dan atau sequential. Keputusan dapat dibuat satu kali, beberapa kali, atau berulang (dalam interval sama). 5. Mendukung di semua fase proses pengambilan keputusan: intelligence, design, choice, dan implementation. 6. Mendukung
diberbagai
proses
dan
gaya
pengambilan
keputusan. 7. Adaptasi sepanjang waktu. Pengambilan keputusan seharusnya relatif, dapat menghadapi berbagai perubahan kondisi secara tepat, dan mengadaptasikan SPK untuk memenuhi perubahan tersebut. SPK bersifat flexibel dan karena itu pengguna dapat menambahkan, menghapus, menggabungkan, mengubah, atau menyusun kembali elemen-elemen dasar. SPK juga flexibel dalam hal dapat dimodifikasi untuk memecahkan masalah lain yang sejenis. 8. Pengguna merasa seperti di rumah. Ramah pengguna, kapabilitas grafis yang sangat kuat, dan antar muka mesinmesin interaktif dengan satu bahasa alami dapat sangat meningkatkan keefektivan SPK. Kebanyakan aplikasi SPK yang baru menggunakan antarmuka berbasis web. 9. Peningkatan terhadap keefektivan pengambilan keputusan (akurasi, timeliness, kualitas) ketimbang pada efisiensinya (biaya pengambilan keputusan). Ketika SPK disebarkan, pengambilan keputusan sering membutuhkan waktu lebih lama, namun keputusannya lebih baik.
10. Kontrol penuh oleh pengambil keputusan terhadap semua langkah proses pengambilan keputusan dalam memecahkan suatu masalah. SPK secara khusus menekankan untuk mendukung pengambil keputusan, bukan menggantikan. 11. Pengguna akhir dapat mengembangkan dan memodifikasi sendiri sistem sederhana. Sistem yang lebih besar dapat dibangun dengan bantuan ahli sistem informasi. Piranti lunak Online Analytical Processing (OLAP) dengan data warehouse
dalam kaitannya
membolehkan pengguna untuk
membangun SPK yang cukup besar dan kompleks. 12. Biasanya model-model digunakan untuk menganalisis situasi pengambilan
keputusan.
Kapabilitas
pemodelan
memungkinkan eksperimen dengan berbagai strategi berbeda di bawah konfigurasi yang berbeda. Sebenarnya, model-model membuat suatu SPK berbeda dari kebanyakan SPK. 13. Akses disediakan untuk berbagai sumber data, format, dan tipe, mulai dari Geographic Information System (GIS) sampai sistem berorientasi-objek. 14. Dapat dilakukan dilakukan sebagai alat stand alone yang digunakan oleh seorang pengambil keputusan pada satu lokasi atau didistribusikan di satu organisasi keseluruhan dan dibeberapa organisasi sepanjang rantai persediaan. Dapat diintegrasikan dengan SPK lain dan atau aplikasi lain, dan didistribusikan secara internal dan eksternal menggunakan networking dan teknologi web.
Karakteristik dan kapabilitas kunci dari SPK tersebut membolehkan para pengambil keputusan untuk membuat keputusan lebih baik dan lebih konsisten pada satu cara yang dibatasi waktu. Kemampuan tersebut disediakan oleh berbagai komponen utama SPK.
2.1.9 Komponen Sistem Pendukung Keputusan Dalam buku Turban, E., Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005, p143). Disebutkan bahwa SPK terdiri dari beberapa subsistem: •
Subsistem manajemen data. Subsistem manajemen data memasukan satu database yang relevan untuk situasi dan dikelola oleh piranti lunak disebut sistem manajemen database (DBMS). Subsistem manajemen data dapat diinterkoneksikan dengan data warehouse
perusahaan,
suatu
repositori
untuk
data
perusahaan yang relevan untuk pengambilan keputusan. Biasanya data disimpan atau diakses via server database. •
Subsistem manajemen model. Merupakan paket piranti lunak yang memasukan model keuangan, statistik, ilmu manajemen, atau model kuantitatif lainnya. Semua itu memberikan kapabilitas analitik dan manajemen piranti lunak yang tepat. Bahasa pemodelan
yang
membangun
model
kostum
juga
dimasukan. Piranti lunak ini sering disebut manajemen basis model (MBMS). Komponen ini dapat dikoneksikan ke penyimpanan korporat atau eksternal yang ada pada model.
Sistem
manajemen
dan
metode
solusi
model
diimplementasikan pada sistem pengembang web (seperti Java) untuk berjalan pada server aplikasi. •
Subsistem antar muka pengguna. Pengguna berkomunikasi dengan dan memerintahkan SPK melalui subsistem ini. Pengguna adalah bagian yang dipertimbangkan dari sistem. Para peneliti menegaskan bahwa beberapa kontribusi unik dari SPK berasal dari interaksi yang insentif antara komputer dan pembuat keputusan. Browser web memberikan struktur antar muka pengguna
grafis
yang
familiar
dan
konsisten
bagi
kebanyakan SPK. •
Subsistem manajemen berbasis-pengetahuan. Subsistem ini dapat mendukung semua subsistem lain atau bertindak sebagai suatu komponen independen. Ini memberikan intelegensi untuk memperbesar pengetahuan pengambil
keputusan.
diinterkoneksikan
Subsistem
dengan
repositori
ini
dapat
pengetahuan
perusahaan (bagian dari sistem manajemen pengetahuan), yang
kadang-kadang
disebut
basis
pengetahuan
organisasional. Pengetahuan dapat disediakan via server Web. Banyak metode kecerdasan tiruan diimplementasikan dalam sistem pengembangan web seperti Java, dan mudah untuk diintegrasikan dengan komponen SPK lainnya.
Berdasarkan definisi, SPK harus mencakup tiga komponen utama dari DBMS, MBMS, dan antar muka pengguna. Sub sistem manajemen berbasis pengetahuan adalah opsional, namun dapat memberikan banyak manfaat karena inteligensi bagi ketiga komponen utama tersebut. Seperti pada semua sistem informasi manajemen, pengguna dapat dianggap sebagai komponen SPK.
Data : eksternal dan internal
Internet Intranet ekstranet
Sistem lainnya yang berbasis komputer
Manajemen data
Manajemen model
Model eksternal
Subsistem Berbasis pengetahuan
Antarmuka pengguna
Basis pengetahuan organisasional
Manajer (pengguna)
Gambar 2.3 Skematik SPK Sumber: Turban, E., Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005, p143) Komponen-komponen tersebut membentuk aplikasi SPK yang dapat dikoneksikan ke intranet perusahaan, ekstranet, atau internet. Umumnya komponen berkomunikasi via teknologi internet. Broser web umumnya memberikan antar muka pengguna. Skematik dan komponen yang ditunjukan pada gambar di atas ini memberikan pemahaman mendasar mengenai struktur umum suatu SPK.
2.2 Modal Kerja 2.2.1 Pengertian Modal Kerja Weston dan Copeland yang diterjemahkan oleh Wasana, A. Jaka. Kibrandoko (2002, p327) menyatakan,”Modal kerja sebagai aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar. Jadi modal kerja merupakan investasi perusahaan dalam bentuk uang tunai, surat berharga, piutang dan persediaan dikurangi kewajiban lancar yang digunakan untuk membiayai aktiva lancar.” Barlian,
Inge
dan
Sandjaja,
Ridwan.
S.
(2002,
p155)
mendefinisikan, ”Modal kerja sebagai aktiva lancar yang mewakili bagian dari investasi yang berputar dari satu bentuk ke bentuk lainnya dalam melaksanakan suatu usaha, atau modal kerja adalah kasa atau bank, suratsurat berharga mudah diuangkan (misal giro, cek, deposito), piutang dagang dan persediaan yang tingkat perputarannya tidak melebihi satu tahun atau jangka waktu operasi normal perusahaan.” Munawir (2004, p114) mengatakan bahwa modal kerja adalah aset atau kemampuan yang dapat digunakan mendanai aktivitas operasional untuk menghasilkan laba dan memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan. Suatu analisis terhadap sumber dan penggunaan modal kerja sangat penting bagi penganalisa internal maupun eksternal, di samping masalah modal kerja ini erat hubungannya dengan operasi perusahaan sehari-hari juga menunjukan tingkat keamanan atau margin of safety para kreditur terutama kreditur jangka pendek. Adanya modal kerja yang cukup sangat penting bagi suatu perusahaan. Modal kerja memungkinkan bagi perusahaan untuk beroperasi seekonomis mungkin dan tidak mengalami
kesulitan atau menghadapi bahaya yang mungkin timbul karena adanya krisis atau kekacauan keuangan. Akan tetapi adanya modal kerja yang berlebihan menunjukan adanya dana tidak produktif, dan dalam hal ini akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan karena adanya kesempatan untuk memperoleh keuntungan telah
disia-siakan.
Sebaliknya
adanya
ketidak-cukupan
maupun
missmanagment dalam hal modal kerja merupakan sebab utama kegagalan suatu perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa modal kerja merupakan suatu bagian dari keuangan perusahaan yang sangat penting sebab selain digunakan untuk membiayai operasional perusahaan, modal kerja juga digunakan sebagai indikator kesehatan perusahaan. Oleh sebab itu jumlah modal kerja yang tersedia haruslah tepat agar tidak terlalu sedikit sehingga mengganggu operasional perusahaan juga tidak terlalu banyak hingga memungkinkan tindak kejahatan.
2.2.2 Konsep Modal Kerja Menurut Munawir (2004, p114) dalam buku yang berjudul Analisa Laporan Keuangan, ada tiga konsep atau definisi modal: •
Konsep Kuntitatif Konsep ini menitik beratkan pada kuantitas yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan perusahaan dalam membiayai operasi bersifat rutin, atau menunjukan jumlah dana (fund) tersedia untuk tujuan operasi jangka pendek. Dalam konsep ini menganggap bahwa modal kerja adalah jumlah aktiva lancar (gross working capital).
Dalam konsep ini tidak mementingkan kualitas dari modal kerja, apakah dibiayai dari modal pemilik, utang jangka panjang maupun pendek. Sehingga dengan modal kerja berjumlah besar tidak mencerminkan margin of safety para kreditur jangka pendek yang besar juga. Bahkan modal kerja berjumlah besar menurut konsep ini tidak menjamin kelangsungan operasi di masa mendatang, serta tidak mencerminkan likuiditas perusahaan yang bersangkutan. •
Konsep Kualitatif Konsep ini menitik-beratkan pada kualitas modal kerja. Dalam konsep ini pengertian modal kerja adalah kelebihan aktiva lancar terhadap piutang jangka pendek (net working capital), yaitu jumlah aktiva lancar yang berasal dari pinjaman jangka panjang maupun dari pemilik perusahaan. Definisi ini bersifat kualitatif karena menunjukan tersedianya aktiva lancar yang lebih besar daripada utang lancarnya (utang jangka pendek) dan menunjukan pula margin of protection atau tingkat keamanan bagi para kreditur jangka pendek. Serta menjamin kelangsungan operasi
di
masa
mendatang
dan
kemampuan
perusahaan untuk memperoleh tambahan pinjaman jangka pendek dengan jaminan aktiva lancarnya. •
Konsep Fungsional Konsep ini menitik-beratkan fungsi dari dana yang dimiliki dalam rangka menghasilkan pendapatan (laba) dari usaha pokok perusahaan. Pada dasarnya dana yang dimiliki oleh suatu perusahaan seluruhnya akan digunakan untuk menghasilkan laba sesuai dengan
usaha pokok perusahaan, tetapi tidak semua dana digunakan untuk menghasilkan laba periode ini (current income). Ada sebagian dana yang akan digunakan untuk memperoleh mesin-mesin, pabrik, alatalat kantor dan aktiva lainnya. Dari aktiva tetap tersebut yang menjadi bagian dari modal kerja tahun ini adalah sebesar penyusutan (depresiasi) aktiva-aktiva tersebut. Aktiva lancar sebagian besar merupakan unsur modal kerja, walaupun tidak seluruhnya, ada sebagian aktiva lancar yang bukan merupakan modal kerja. Misalnya dalam piutang dagang yang timbul dari penjualan barang dagangan secara kredit. Dalam piutang tersebut terdiri dari dua unsur, yaitu harga pokok barang yang dijual dan laba penjualan barang tersebut. Harga pokok dari barang yang dijual
tersebut
merupakan
unsur
modal
keuntungannya bukan merupakan unsur
kerja,
sedangkan
modal kerja, tetapi
merupakan modal kerja potensial. Dari ketiga konsep di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa modal kerja merupakan bagian dari atau keseluruhan aset lancar. Di mana ketiga konsep ini berbeda pada hal perhitungan dana atau aset yang
tersedia
untuk
digunakan
dalam
jangka
pendek
dan
penggunaannya. Sehingga tergantung dari siapa yang memerlukan informasinya
atau
kebijakan
perusahaannya
maka
konsep
perusahaan untuk menghitung dan melaporkan modal kerja dapat berbeda.
Selanjutnya dalam istilah modal kerja berarti net working capital atau kelebihan aktiva lancar terhadap utang lancar, sedangkan untuk modal kerja sebagai jumlah untuk aktiva lancar digunakan istilah modal kerja bruto (gross working capital).
2.2.3 Perhitungan Modal Kerja Barlian, Inge dan Sundjaja, Ridwan (2002, p155) menyatakan "Modal Kerja bersih (net working capital) adalah selisih antara aktiva lancar dan pasiva lancar perusahaan”. Hendriksen yang diterjemahkan oleh Nugroho, W (2002, p266) mendefinisikan, ”modal kerja adalah kelebihan aktiva lancar atas kewajiban lancar.” Kedua pendapat ini juga didukung oleh Munawir yang dalam bukunya (2004, p114) menjelaskan beberapa cara menghitung modal kerja tergantung pendekatannya: •
Gross Working Capital Pendekatan yang menganggap modal kerja adalah semua aktiva lancar. Rumus: Working Capital = Current assets
•
Net Working Capital Pendekatan yang menganggap modal kerja adalah besar selisih antara aktiva lancar dengan utang lancar. Rumus: Working Capital = Current assets – Current liabilities
Jika dilihat rumus di atas dari kaca mata konsep sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa rumus Gross Working Capital adalah rumus yang digunakan pada konsep kuantitatif. Sementara rumus Net Working Capital adalah rumus yang digunakan pada konsep kualitatif. Konsep fungsional
tidak
memiliki
rumus
hitung
karena
memang
sudah
dianggarkan besarnya sehingga jumlahnya telah diketahui tanpa perlu dihitung.
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Modal Kerja Menurut Munawir (2004, p117) faktor-faktor yang mempengaruhi modal kerja adalah: •
Sifat dan tipe dari perusahaan Modal kerja dari suatu perusahaan jasa relatif akan lebih rendah bila dibandingkan dengan kebutuhan modal kerja perusahaan industri, karena untuk perusahaan jasa tidak memerlukan investasi yang besar dalam kas, piutang maupun persediaan. Kebutuhan uang tunai untuk membayar pegawai maupun untuk membiayai operasi dapat dipenuhi dari penghasilan atau penerimaan saat itu juga. Sedangkan piutang biasanya dapat ditagih dalam waktu yang relatif pendek, bahkan untuk perusahaan jasa tertentu penerimaan uang justru lebih dahulu dari pada pemberian jasanya. Sifat dari perusahaan jasa biasanya memiliki atau harus menginvestasikan modal-modalnya sebagian besar pada aktiva tetap
atau plant dan equipment yang digunakan untuk memberikan pelayanan atau jasanya pada masyarakat. Apabila dibandingkan dengan perusahaan industri, maka perbedaannya sangatlah besar karena perusahaan industri harus mengadakan investasi yang cukup besar dalam aktiva lancar agar perusahaannya tidak mengalami kesulitan di dalam operasinya sehari-hari. Oleh karena itu apabila dibandingkan dengan perusahaan jasa, perusahaan industri membutuhkan modal kerja yang relatif besar. Bahkan di antara perusahaan industri sendiri, kebutuhan akan modal kerja lebih besar dari pada perusahaan perdagangan atau eceran. Karena
perusahaan
memproduksi
barang
harus
mengadakan
investasi yang relatif besar dalam bahan baku, barang setengah jadi dan persediaan barang jadi. •
Waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi atau memperoleh barang akan dijual serta harga persatuan dari barang tersebut Kebutuhan modal kerja suatu perusahaan berhubungan langsung dengan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh barang untuk dijual maupun bahan dasar untuk diproduksi sampai barang tersebut dijual. Makin panjang waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi atau untuk memperoleh barang tersebut, makin besar pula modal kerja dibutuhkan. Di samping itu harga pokok per satuan barang juga akan mempengaruhi besar kecilnya modal kerja yang dibutuhkan.
Semakin besar harga pokok persatuaan barang yang dijual, semakin besar pula kebutuhan akan modal kerja. •
Syarat pembelian barang atau dagangan Syarat pembelian barang dagangan atau bahan dasar yang akan digunakan untuk memproduksi barang sangat mempengaruhi jumlah modal kerja dibutuhkan oleh perusahaan bersangkutan. Jika syarat pembayaran diterima pada waktu pembelian menguntungkan, makin sedikit uang kas yang harus diinvestasikan dalam persediaan bahan ataupun barang dagangan. Sebaliknya bila syarat pembayaran atas bahan atau barang dibeli tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu pendek maka uang kas yang diperlukan untuk membiayai persediaan semakin besar.
•
Syarat penjualan Semakin lunak kredit yang diberikan oleh perusahaan pada para pembeli akan mengakibatkan semakin besarnya jumlah modal kerja terinvestasikan dalam sektor piutang. Untuk memperendah dan memperkecil jumlah modal kerja yang harus diinvestasikan dalam piutang dan untuk memperkecil risiko adanya piutang tidak dapat ditagih, sebaiknya perusahaan memberikan potongan tunai pada para pembeli. Dengan demikian para pembeli akan tertarik untuk segera membayar utangnya dalam periode diskonto tersebut.
•
Tingkat perputaran persediaan Tingkat
perputaran
persediaan
(inventory
turnover),
menunjukan berapa kali persediaan tersebut diganti dalam arti dibeli dan dijual kembali. Semakin tinggi tingkat perputaran persediaan
tersebut maka jumlah modal kerja yang dibutuhkan (terutama yang harus diinvestasikan dalam persediaan) semakin rendah. Untuk dapat mencapai tingkat perputaran yang tinggi, maka harus diadakan perencanaan dan pengawasan persediaan secara teratur dan efisien. Semakin cepat atau semakin tinggi tingkat perputaran akan memperkecil risiko terhadap kerugian yang disebabkan karena penurunan harga atau karena perubahan selera konsumen. Di samping
itu
akan
menghemat
ongkos
penyimpanan
dan
pemeliharaan terhadap persediaan tersebut. •
Siklus usaha Dalam
masa
prosperity
(konjungtur
tinggi)
aktivitas
perusahaan diperluas dan ada kecenderungan perusahaan untuk membeli
barang
mendahului
kebutuhannya,
agar
dapat
memanfaatkan harga rendah dan untuk memastikan diri akan adanya persediaan yang cukup, sehingga diperlukan modal kerja besar. Tapi dalam masa depresi (konjuntur menurun) maka volume usaha turun, banyak perusahaan menukar persediaan dan piutang menjadi utang, sehingga terjadi kelebihan uang yang dapat dipergunakan untuk membeli surat berharga, membayar utang atau dalam bentuk uang. •
Resiko kemungkinan penurunan aktiva lancar Suatu penurunan harga dibandingkan dengan nilai buku dari aktiva
lancar
(surat
berharga,
piutang,
persediaan)
akan
mengakibatkan penurunan modal kerja. Sehubungan dengan itu semakin besar risiko kerugian semakin besar modal kerja diperlukan. Untuk dapat menampung kemungkinan yang belum pasti terjadi
(contigency) tersebut perusahaan mengusahakan adanya banyak uang atau surat berharga. •
Musim Apabila perusahaan tidak terpengaruh oleh musim maka penjualan setiap bulan rata-rata sama. Tapi jika terpengaruh oleh musim maka akan terdapat dua perbedaan yaitu jika di dalam musim perusahaan mengalami aktiva yang besar, sedangkan di luar musim aktiva perusahaan akan rendah. Perusahaan yang mengalami ini perlu modal kerja maksimum untuk jangka relatif pendek. Di Indonesia, secara umum mengenal dua macam musim yaitu: Musim dalam hal produktif, yaitu produksi dilakukan di bulan-bulan tertentu, misalnya pabrik gula atau perkebunan. Musim dalam hal penjualan, yaitu penjualan dilakukan di bulan-bulan
tertentu,
misalnya
barang-barang
untuk
keperluan Tahun Baru, Lebaran, Natal dan lainnya. Setelah menimbang semua faktor yang mempengaruhi modal kerja di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa setiap perusahaan memiliki kebijakan modal kerja berbeda tergantung dari faktor internal dan eksternal. Faktor
internal
seperti
bentuk
perusahaan,
kebijakan
operasional
perusahaan, lama untuk memproduksi dan nilai dari produk yang dihasilkan. Sementara faktor eksternalnya adalah persyaratan yang diberikan oleh penyedia bahan baku dan lama pengirimannya serta seberapa cepat bahan tersebut bisa dijual dalam arti tingkat penjualan dimiliki.
2.2.5 Komponen Modal Kerja Dalam buku karangan Munawir (2004, p114) yang berjudul Analisa Laporan Keuangan disebutkan bahwa modal kerja terdiri dari dua bagian pokok yaitu: 1. Bagian tetap atau bagian yang permanen yaitu jumlah minimum wajib tersedia agar perusahaan dapat berjalan dengan lancar tanpa kesulitan keuangan. 2.
Jumlah modal kerja variabel yang jumlahnya tergantung pada aktivitas musiman dan kebutuhan-kebutuhan di luar aktivitas biasa.
Pendapat ini dijelaskan lebih lanjut oleh Riyanto, B. dalam bukunya (2001, p54) yang didasar pendapat W. B. Taylor: 1.
Modal kerja tetap dibagi menjadi dua, yaitu: a. Modal kerja primer (primary working capital), yaitu jumlah modal kerja minimum yang harus ada pada perusahaan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. b. Modal kerja normal (normal working capital), yaitu jumlah modal kerja yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan luas produksi normal (yaitu yang dinamis, di mana hasil produksi yang dikumpulkan dari beberapa waktu dapat menentukan jumlah produksi normal perusahaan).
2.
Modal kerja variabel dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Modal kerja musiman (seasonal working capital), yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan karena perubahan musim.
b. Modal kerja siklus (cyclical working capital), yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan karena fluktuasi konjungtur (perubahan siklus usaha). c. Modal kerja darurat (emergency working capital), yaitu modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah karena adanya keadaan darurat (tidak diketahui sebelumnya), misalnya pemogokan buruh, banjir, perubahan mendadak keadaan ekonomi dan lain sebagainya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap perusahaan memerlukan adanya penganggaran dalam modal kerjanya untuk mencukupi keperluaan pembiayaan operasi perusahaan, baik yang sehari-hari maupun yang khusus.
2.2.6 Kebijakan Modal Kerja Disebutkan oleh Weston dan Brigham (1998, p 418), terdapat tiga alternatif kebijakan modal kerja: 1.
Kebijakan modal kerja longgar (relaxed working capital asset policy) Merupakan kebijakan
yang
menyarankan agar
kas,
sekuritas dan persediaan dimiliki relatif besar dan perusahaan berupaya menggalakan penjualan dengan menawarkan penjualan kredit
untuk
mempermudah
pembiayaan
pelanggan
dan
menimbulkan besar piutang. 2.
Kebijakan modal kerja ketat (restricted working capital asset policy)
Merupakan kebijakan yang berupaya meminimumkan jumlah kas, sekuritas, persediaan dan piutang perusahaan. Dengan demikian modal kerja yang ketat, jumlah kas dan persediaan dimiliki sangat kecil, dan kebijakan penjualan kredit juga akan dibatasi meskipun hal itu bisa menurunkan penjualan. Pada umumnya, kebijakan yang ketat, atau dibatasi, diharapkan memberikan tingkat pengembalian investasi tertinggi, tetapi hal ini juga mengundang resiko. 3.
Kebijakan modal kerja moderat (moderated working capital asset policy) Di antara kedua exstrim tersebut terdapat kebijakan yang moderat. Untuk risiko dan tingkat pengembalian investasi yang diharapkan, kebijakan moderat berada di antara kebijakan longgar dan kebijakan ketat. Sehingga menawarkan tingkat pengembalian investasi cukup tinggi. Walau tidak paling tinggi, namun risikonya masih dapat diterima.
Ketiga kebijakan modal di atas dapat dilihat pada gambar berikut:
Aktiva
Longgar 40
30 Moderat 20 Ketat 10
0
50
100
Penjualan
Gambar 2.4 Jenis Kebijakan Modal Kerja Sumber: Weston dan Brigham (1998, p 418)
Sehingga dapat ditarik simpulan bahwa kebijakan longgar dapat memberikan laba tertinggi dibandingkan dengan kebijakan lain. Namun risiko yang ditanggung sangatlah besar jika kondisi ekonomi berubah dan piutang tidak dapat ditagih. Sementara itu kebijakan ketat umumnya menghasilkan laba lebih rendah dibandingkan kebijakan lain, namun memberikan keamanan yang paling baik terhadap kemungkinan perubahan keadaaan ekonomi dan kemungkinan utang tidak dapat ditagih. Kebijakan moderat berada diantara kedua kebijakan sebelumnya, dengan demikian kebijakan ini memberikan perlindungan walau tidak seluruhnya namun menghasilkan laba lebih banyak dibanding kebijakan ketat walau tidak setinggi kebijakan longgar.
2.2.7 Sumber Modal Kerja Munawir (2004, p119) menyatakan bahwa kebutuhan modal kerja yang permanen seharusnya atau sebaiknya dibiayai oleh pemilik perusahaan atau para pemegang saham. Semakin besar jumlah modal kerja yang dibiayai atau berasal dari investasi pemilik perusahaan akan semakin baik bagi perusahaan tersebut, karena akan semakin besar
kemampuan
perusahaan untuk memperoleh kredit, dan semakin besar jaminan bagi kreditor jangka pendek. Di samping dari investasi para pemilik perusahaan, kebutuhan modal kerja yang permanen dapat pula dibiayai dari penjualan obligasi atau jenis utang jangka panjang lainnya. Tetapi dalam hal ini perusahaan harus mempertimbangkan jatuh tempo dari utang jangka panjang, di samping juga harus mempertimbangkan beban bunga yang harus dibayar oleh perusahaan. Pada umumnya sumber modal kerja suatu perusahaan dapat berasal dari: a. Hasil operasi perusahaan Adalah jumlah net income yang nampak dalam laporan perhitungan laba rugi ditambah dengan depresiasi dan amortisasi. Jumlah ini menunjukan jumlah modal kerja yang berasal dari hasil operasi perusahaan. Jadi jumlah modal kerja berasal dari hasil operasi perusahaan dapat dihitung dengan menganalisis laporan perhitungan rugi laba dari usaha perusahaan. Apabila laba tersebut tidak diambil oleh pemilik perusahaan maka laba tersebut akan menambah modal perusahaan bersangkutan.
b. Keuntungan dari penjualan surat-surat berharga (investasi jangka pendek) Surat berharga miliki perusahaan untuk jangka pendek (marketable securities atau efek) adalah salah satu elemen aktiva lancar yang segera dapat dijual dan akan menimbulkan keuntungan bagi perusahaan.
Dengan
adanya
penjualan
surat
berharga
ini
menyebabkan terjadinya perubahan unsur modal kerja yaitu dalam bentuk surat berharga berubah menjadi uang kas. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan surat berharga ini merupakan suatu sumber untuk bertambahnya modal kerja. Sebaliknya apabila dalam penjualan tersebut terjadi kerugian maka akan menyebabkan berkurangnya modal kerja. Apabila effek atau investasi jangka pendek ini dijual dengan harga jual yang sama dengan harga perolehannya (tanpa laba maupun rugi), maka penjualan tersebut tidak akan mempengaruhi besarnya modal kerja (modal kerja tidak bertambah maupun berkurang). Dalam menganalisis sumber-sumber modal kerja, sumber yang berasal dari keuntungan penjualan surat-surat berharga harus dipisahkan dengan pokok perusahaan. c. Penjualan aktiva tidak lancar Sumber lain yang dapat menambah modal kerja adalah hasil penjualan aktiva tetap, investasi jangka panjang dan aktiva lancar lainnya tidak diperlukan lagi oleh perusahaan. Perubahan dari aktiva ini menjadi kas atau piutang akan menyebabkan bertambahnya modal kerja sebesar hasil penjualan tersebut.
Apabila dari hasil penjualan tersebut aktiva tetap atau aktiva tidak lancar lainnya ini tidak segera digunakan untuk mengganti aktiva yang bersangkutan, akan menyebabkan keadaan aktiva lancar sedemikian besarnya sehingga melebihi jumlah modal kerja dibutuhkan (berlebih). d. Penjualan saham atau obligasi Untuk
menambah dana atau modal yang dibutuhkan,
perusahaan dapat pula mengadakan emisi saham baru atau meminta pada para pemilik perusahaan untuk menambah modalnya. Di samping itu, perusahaan dapat juga mengeluarkan obligasi atau bentuk utang jangka panjang lainnya guna memenuhi kebutuhan modal kerjanya. Penjualan
obligasi
ini
mempunyai
konsekuensi
bahwa
perusahaan harus membayar bunga tetap. Oleh karena itu dalam mengeluarkan utang bentuk obligasi harus disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Penjualan obligasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan (terlalu besar), di samping menimbulkan beban bunga besar, juga mengakibatkan keadaan aktiva lancar besar sehingga melebihi kebutuhan jumlah modal kerja perusahaan. Selain keempat sumber tersebut di atas, masih ada lagi sumber yang dapat diperoleh bagi perusahaan untuk menambah aktiva lancarnya (walau dengan bertambahnya aktiva lancar itu tidak mengakibatkan bertambahnya modal kerja) misalnya dari pinjaman/kredit dari bank dan pinjamanpinjaman jangka pendek lainnya serta utang dagang yang diperoleh dari para penjual (supplier) – di sini bertambahnya aktiva lancar diimbangi atau
dibarengi dengan bertambahnya utang lancar, sehingga modal kerja (dalam arti net working capital) tidak berubah. Dari uraian tentang sumber-sumber modal kerja tersebut dapat disimpulkan bahwa modal kerja akan bertambah apabila: 1. Adanya kenaikan sektor modal baik yang berasal dari laba maupun adanya pengeluaran modal saham atau tambahan investasi dari pemilik perusahaan. 2. Adanya pengurangan atau penurunan aktiva tetap yang diimbangi dengan bertambahnya aktiva lancar karena adanya penjualan aktiva tetap maupun melalui proses depresiasi. 3. Ada penambahan utang jangka panjang baik dalam bentuk obligasi, hipotek atau utang jangka panjang lainnya yang diimbangi dengan bertambahnya aktiva lancar.
Gambar 2.5 Penambahan Modal Kerja Sumber: Munawir (2004, p124)
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa modal kerja akan bertambah apabila aktiva lancar bertambah yang diimbangi atau diiringi dengan perubahan dalam sektor atau pos tidak lancar (non current account), dan dapat digambarkan seperti terlihat di atas. Dapat disimpulkan bahwa modal kerja umumnya sangat bergantung pada aset lancar terutama uang kas seperti penjelasan di atas baik yang berasal dari operasional seperti laba atau dari utang jangka panjang dan modal saham. Hal ini dikarenakan utang jangka panjang dan modal saham tidak digunakan dalam proses perhitungan modal kerja.
Sumber lain dari penambahan modal kerja adalah konversi aktiva tetap ke aktiva lancar yang umumnya dilakukan dalam bentuk penjualan aset lancar namun, hal ini tidaklah terlalu disarankan sebab umumnya penjualan aktiva tetap tidaklah menguntungkan dan dapat mengganggu kinerja operasional perusahaan.
2.2.8 Penggunaan Modal Kerja Dalam buku “Analisa Laporan Keuangan” (2004, p124) karangan Munawir, disebutkan bahwa pemakaian atau penggunaan modal kerja akan menyebabkan perubahan bentuk maupun penurunan jumlah aktiva lancar dimiliki oleh perusahaan, tetapi penggunaan aktiva lancar tidak selalu diikuti dengan berubahnya atau turunnya jumlah modal kerja yang dimiliki oleh perusahaan. Dalam buku “Analisa Laporan Keuangan” (2004, p124) karangan Munawir, disebutkan juga penurunan aktiva lancar yang mengakibatkan turunnnya modal kerja adalah: a. Pembayaran biaya atau ongkos-ongkos operasi perusahaan, meliputi pembayaran upah, gaji, pembeliaan bahan atau barang dagangan, supplies kantor dan pembayaran biaya operasi lainnya. Pembayaran biaya operasi ini akan mengakibatkan terjadinya penjualan atau penghasilan perusahaan yang bersangkutan. Penggunaan aktiva lancar untuk pembayaran biaya operasi ini baru merupakan penggunaan modal kerja kalau jumlah biaya suatu periode lebih besar dari pada jumlah penghasilannya (timbul kerugian).
Besarnya penggunaan modal kerja untuk biaya operasi ini akan dapat ditentukan dengan menganalisis laporan perhitungan rugi laba perusahaan tersebut, yaitu jumlah kerugian neto yang nampak dalam laporan perhitungan rugi laba dikurangi dengan jumlah depresiasi dan amortisasi periode tersebut. b. Kerugian-kerugian yang diderita oleh perusahaan karena adanya penjualan surat berharga atau effek, maupun kerugian isidentil lainnya. Penggunaan modal kerja karena kerugian yang di luar usaha pokok perusahaan harus dilaporkan tersendiri dalam Laporan Perubahan Modal Kerja. Hal ini dimaksudkan agar laporan itu lebih informatif bagi para pembacanya. Adapun kerugian baik yang rutin, maupun insidentil pada akhirnya akan mengakibatkan berkurangnya modal perusahaan. c. Adanya pembentukan dana atau pemisahan aktiva lancar untuk tujuan-tujuan tertentu dalam jangka panjang, misalnya dana pelunasan obligasi, dana pensiun pegawai, dana expansi ataupun dana lainnya. Adanya pembentukan dana ini, berarti adanya perubahan bentuk aktiva lancar menjadi tetap. d. Adanya penambahan atau pembelian aktiva tetap, investasi jangka panjang
atau
aktiva
tidak
lancar
lainnya,
mengakibatkan
berkurangnya aktiva lancar atau timbulnya utang lancar yang berakibat berkurangnya modal kerja. e. Pembayaran utang jangka panjang yang meliputi utang hipotek, utang obligasi maupun bentuk utang jangka panjang lainnya, serta penarikan atau pembelian kembali (untuk sementara maupun untuk
seterusnya) saham perusahaan yang beredar; atau adanya penurunan utang jangka panjang diimbangi berkurangnya aktiva lancar. f. Pengambilan uang atau barang dagangan oleh pemilik perusahaan kepentingan pribadi (prive) atau adanya pengambilan bagian keuntungan oleh pemilik dalam perusahaan perseorangan dan persekutuan atau adanya pembayaran dividen dalam perseroan terbatas. Dengan kata lain, adanya penurunan sektor modal yang diimbangi berkurangnya aktiva lancar atau bertambahnya utang lancar dalam jumlah sama. Penggunaaan aktiva lancar yang mengakibatkan berkurangnya modal kerja dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.6 Pengeluaran Modal Kerja Sumber: Munawir (2004, p126) Di samping penggunaan aktiva lancar mengakibatkan berkurangnya modal kerja tersebut, ada pula pemakaian aktiva lancar yang tidak merubah jumlahnya baik jumlah modal kerjanya, maupun jumlah aktiva lancarnya itu sendiri. Yaitu pemakaian atau penggunaan modal kerja/aktiva lancar yang hanya menyebabkan atau mengakibatkan berubahnya bentuk (modal kerja tidak berkurang).
aktiva lancar
Contoh: a. Pembelian effek (marketable securities) secara tunai. b. Pembelian barang dagangan atau bahan-bahan lainnya secara luas.
c. Perubahan suatu bentuk piutang ke bentuk piutang yang lain, misalnya dari piutang dagang (account receivable) menjadi piutang wesel (notes receivable). Setelah mengetahui semua ini maka dapat ditarik simpulan bahwa berkurangnya modal kerja umumnya terjadi saat aktiva lancar terutama kas digunakan baik untuk operasional sehari-hari maupun keadaan khusus. Perubahan aktiva
lancar
menjadi
aktiva
tetap
juga
menyebabkan
berkurangnya modal kerja (sebab aktiva tetap tidak digunakan dalam perhitungan modal kerja). Selain itu kerugian dalan operasional maupun modal kerja dapat menyebabkan berkurangnya modal kerja. Suatu penyebab modal kerja yang sedikit jarang terjadi adalah pengurangan disebabkan oleh pengambilan dana pribadi (prive) oleh pemilik perusahaan, berbeda dengan dividen umumnya diberikan secara tahunan jika ada.
2.3 Analytic Hierarchy Process (AHP) 2.3.1 Definisi Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah suatu model yang fleksibel dan dapat memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan. AHP membantu dalam mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan (Saaty, 2001, p23). Sedangkan menurut Taylor (2002, p373), AHP merupakan suatu metode yang digunakan untuk menghasilkan suatu peringkat alternatif keputusan sekaligus. Melalui metode AHP jiga akan dihasilkan keputusan terbaik dari berbagai alternatif yang ada. AHP digunakan terutama dalam
kondisi di mana banyak tujuan atau kriteria yang harus dipertimbangkan oleh pengambil keputusan. Jadi AHP
merupakan suatu model untuk membantu proses
pengambilan keputusan terutama dalam kondisi di mana banyak tujuan atau kriteria yang harus dipertimbangkan. AHP dapat membantu pengambilan keputusan baik bagi perorangan maupun kelompok dengan berdasarkan pada asumsi-asumsi dasar manusia. Di mana proses ini dijalankan dengan pembuatan struktur hirarki dari masalah yang dihadapi. Kemudian membandingkan kriteria-kriteria yang terdapat dalam hirarki tersebut dengan melakukan perbandingan berpasangan.
2.3.2 Keuntungan AHP Saaty (2001, p25) menyebutkan keuntungan-keuntungan AHP sebagai berikut: 1. Kesatuan. AHP memberi suatu model tunggal yang mudah dimengerti dan luwes untuk beraneka ragam persoalan tidak terstruktur. 2. Kompleksitas. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan yang kompleks. 3. Saling ketergantungan. AHP dapat menangani ketergantungan antar elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
4. Penyusunan hirarki. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilahmilah
elemen
suatu
sistem
berbagai
tingkat
berlainan
dan
mengelompokkan struktur yang serupa dalam setiap tingkat. 5. Pengukuran. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal tidak berwujud dan metode untuk menetapkan prioritas. 6. Konsistensi. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. 7. Sintesis. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. 8. Tawar-menawar. AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik sesuai tujuan yang hendak dicapai. 9. Penilaian dan konsensus. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil representatif dari berbagai penilaian yang berbeda-beda. 10. Pengulangan proses. AHP dapat memperjelas definisi atas suatu masalah dan memperbaiki pertimbangan serta pengulangan.
pemahaman
pengambil
keputusan
melalui
2.3.3 Prinsip Dasar AHP Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP terdapat beberapa prinsip yang perlu dipahami menurut Mulyono (2004, 321-322) yaitu: 1. Decomposition. Yaitu memecahkan masalah yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dipecah lagi, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tadi. Karena alasan tersebut, maka proses analisis dinamakan hirarki (hierarchy). Ada dua jenis hirarki, yaitu lengkap dan tidak lengkap. Di mana dalam hirarki lengkap, semua elemen pada suatu tingkat memiliki semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya. Jika tidak demikian, maka dinamakan hirarki tidak lengkap. 2. Comparative Judgement. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini akan tampak lebih baik bila disajikan dalam bentuk matriks yang dinamakan matriks pairwise comparison. Skala dasar untuk penilaian elemen dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Skala Dasar Tingkat Kepentingan 1 3
Definisi Sama pentingnya dibanding yag lain. Moderat atau sedikit lebih penting dibanding yang lain.
5 7 9 2, 4, 6, 8
Kuat pentingnya dibanding yang lain. Sangat kuat pentingnya dibanding yang lain. Ekstrim pentingnya dibanding yang lain. Nilai di antara dua penilaian yang berdekatan. Reciprocal Jika elemen i memiliki salah satu angka d atas ketika dibandingkan dengan elemen maka elemen j memiliki nilai kebalikanny ketika dibandingkan dengan elemen i. Sumber: Riset Operasi (Mulyono, 2007, p321)
3. Synthesis of Priority. Dari setiap matriks pairwaise comparison kemudian dicari local priority. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis di antara local priority. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut
bentuk
hirarki.
Pengurutan
elemen-elemen
menurut
kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting. 4. Logical Consistency. Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-objek dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara objek–objek yang ada didasarkan pada kriteria tertentu.
2.3.4 Kelebihan AHP Menurut Suryadi dan Ramdhani (2000, p131), kelebihan AHP dibanding model yang lainnya adalah: 1. Struktur memiliki hirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada sub kriteria paling dalam.
2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. 3. Memperhitungkan
daya
tahan
atau
ketahanan
output
analisis
sensitivitas pengambilan keputusan.
2.3.5 Struktur AHP Pembuatan struktur diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkat kriteria yang paling bawah (Suryadi dan Ramdhani, 2000, p130). Contoh struktur AHP disajikan pada Gambar 2.7:
Tujuan
Kriteria
Kriteria
Alternatif 1
Kriteria
Sub
Sub
Kriteria
Kriteria
Alternatif 2
Gambar 2.7 Struktur AHP Sumber : Suryadi dan Ramdhani (2000, p130)
Alternatif 3
2.3.6 Langkah-Langkah Perhitungan AHP Langkah ini diawali dengan melihat hirarki yang telah dibuat kemudian membentuk matriks pairwise comparison. Nilai pada matriks ini didapat dari memberi pertanyaan berapa kali lipat tingkat kepentingan suatu kriteria dibandingkan dengan kriteria lainnya. Kemudian di cari weight dan priority vector-nya. Langkah-langkah perhitungan weight dan λmaks sebagai berikut: 1. Hitung vi untuk setiap baris dengan rumus: vi =
n
√
n
( ∏ aij) =
n
√ (ai1, i2, .., ain)
j=1
2. Normalisasikan nilai vi untuk mendapatkan weight (wi): wi =
vi
v1 + v2 + v3 + .. + vn 3. Selesaikan persamaan berikut untuk λi untuk setiap baris i = 1, 2, .. , n: Ai w = λi w (Ai adalah baris ke-i dari matriks A) 4. Setelah didapatkan λi untuk setiap baris, maka rata-ratakan nilai λi pada setiap baris untuk mendapatkan λmaks, dengan rumus: λmaks = (λ1 + λ2 + .. + λn) / n 5. Langkah terakhir yaitu mencari nilai Consistency index (CI) dan Consistency Ratio (CR) dengan menggunakan rumus: CI = (λmaks – n) / (n – 1) CI CR = Random Consistency Index
Nilai Random Consistency Index untuk setiap ukuran matriks dapat dilihat pada Tabel 2.3. Ketika CR ≤ 0,10, maka matriks perbandingan dapat dilihat telah memiliki keseragaman yang memuaskan. Hal ini berarti vector weight dapat diterima atau diandalkan. Jika tidak, maka matriks perbandingan harus dibuat ulang.
Tabel 2.3 Random Consistency Index N RI
1 2 3 4 5 6 7 8 0 0 0.52 0.89 1.11 1.25 1.35 1.40 Sumber: Decision Making for Leaders (Saaty, 2001, p83)
9 1.45
10 1.49
2.3.7 Analisis Sensitivitas Menurut Turban (2005, p224), analisis sensitivitas merupakan suatu cara untuk menilai dampak dari suatu perubahan pada suatu kriteria keputusan terhadap solusi yang dihasilkan. Analisis sensitivitas sangat penting karena memungkinkan fleksibilitas dan adaptasi terhadap perubahan kondisi serta persyaratan situasi keputusan yang berbeda-beda. Selain itu, analisis sensitivitas akan memberikan pemahaman lebih baik mengenai model dan situasi pengambilan keputusan yang sedang dijelaskan. Analisis ini juga mengizinkan manajer untuk input data sehingga (kerahasiaan) dalam model meningkat.
2.4
Konsep Analisa dan Perancangan Berorientasi Objek Menurut Mathiassen (2000, p14), dikatakan bahwa object oriented analysis
and design terbagi dalam empat aktivitas, antara lain analisis problem domain, analisis application domain, architectur design, dan component design. Seperti terlihat gambar di bawah ini:
Gambar 2.8 Kegiatan Utama dan Hasil dari Analisis dan Perancangan Berorientasi Objek. Sumber: Mathiassen (2000, p15) Keempat aktivitas dimulai saat Requirement for User diterima oleh pihak yang bertanggung jawab dalam pengembangan sistem.
2.3.1. Orientasi Objek Menurut Mathiassen (2000, p4), ”Object: an entity with identity, state, and behavior.” Jika diterjemahkan, objek adalah suatu entitas dengan identitas, keadaan dan perilaku tertentu. Menurut Whitten, Bentley, Dittman (2004, p109), “Object is the encapsulation of data (called properties) that describes a discrete person, place, event, or thing, with all of the processes (called methods) that are allowed to use or update the data and properties.” Jika di terjemahkan, objek
adalah kesatuan dari data (disebut properti) yang menggambarkan orang, tempat, kejadian atau barang, dengan seluruh prosesnya (disebut method) boleh menggunakan atau meng-update data propertinya.
2.3.2. Rich Picture Menurut Mathiassen (2000, p6), “Rich picture is an informal drawing that
presents
the
illustrator’s understanding
of
a
situatio.”
Jika
diterjemahkan, rich picture adalah sebuah gambaran informal yang mewakili pemahaman suatu kondisi oleh sang ilustrator. Rich picture juga dapat digunakan sebagai alat yang berguna untuk memfasilitasi komunikasi antar pengguna dalam sistem.
2.3.3. Problem Domain Amalysis Menurut Mathiassen (2000, p6), mengatakan bahwa “Problem domain: That part of a context that is administrated, monitored or controlled by a system.” Berdasarkan definisi di atas mengandung pengertian bahwa problem domain merupakan bagian dari suatu konteks yang dijalankan, dimonitor, atau dikontrol oleh sebuah sistem, dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan memodel sebuah problem domain.
Gambar 2.9 Aktivitas pada Problem Domain Analysis. Sumber: Mathiassen (2000, p46) Sedangkan model yang terdapat di dalam problem domain dapat didefinisikan sebagai deskripsi dari class-class, object-object, structurestructure, dan behavior di dalam sebuah problem domain, seperti terlihat pada gambar di atas.
2.3.3.1. Classes Classes di sini akan menggambarkan tentang object-object dan event-event mana saja yang akan menjadi bagian dari problem domain. Menurut Mathiassen (2000, p53), “Class: a description of a collection of object sharing structure, behavioral pattern, and artributes”. Artinya kelas adalah sekumpulan objek-objek yang saling berbagi struktur, atribut dan pola tingkah laku sama.
Tabel 2.4 Contoh Event Table Class Event Reserved
Customer
Assistant
v
v
Apprentice
Appointment
Plan
v
v
Cancelled
v
Treated
v
v
v v
Employed
v
v
Resign
v
v
Graduated
v
Agreed
v
v
v
Sumber: Mathiassen (2000, p50)
Mengacu pada Mathiassen (2000, p49), kegiatan kelas akan menghasilkan event table. Dalam tabel ini dimensi horizontal berisi kelas-kelas terpilih, dimensi vertikal berisi event-event terpilih, dan tanda cek digunakan untuk mengidentifikasikan objek-objek dari kelas yang berhubungan dalam event tertentu. Seperti yang terlihat dalam tabel di atas ini.
2.3.3.2. Structure Structure di sini harus mencerminkan bagaimana class-class dan object-object secara konseptual saling terkait secara bersamaan. Konsep structure Menurut Mathiassen (2000, p69): 1. Class structure meliputi: a. Generalization “Generalization: A general class
(the super
class)
describes properties common to a group of specialized classes (the subclasses).” Jika diterjemahkan, generalisasi adalah
suatu
kelas
umum
(kelas
super)
yang
menggambarkan properti umum untuk suatu grup pemiliki kelas khusus (kelas sub). b. Cluster “Cluster: a collection of related classes.” Artinya cluster adalah
suatu
koleksi
dari
kelas-kelas
yang
saling
berhubungan. 2. Object structure meliputi: a. Aggregation “Aggregation: A superior object (the whole) consists of a number of objects (the parts)”. Artinya agregasi adalah suatu objek superior (secara keseluruhan) yang terdiri dari sejumlah objek (bagian-bagiannya). b. Association ”Association: A meaningful relation between a number of object”.
Artinya
asosiasi
adalah
hubungan
yang
mempunyai arti antar sejumlah objek. Hasil dari kegiatan struktur ini adalah class diagram. Class diagram menghasilkan ringkasan model problem domain dengan menggambarkan semua struktur hubungan statik antar kelas dan objek dalam model dari sistem yang berubah-ubah.
2.3.3.3. Behavior Menurut Mathiassen (2000, p89), diterjemahkan, behavior di sini menggambarkan mengenai suatu tujuan, yaitu untuk memberi model dinamis yang harus dimiliki oleh object-object pada problem
domain. Tugas utama dalam kegiatan ini adalah menggambarkan pola perilaku (behaviour pattern) dan atribut dari setiap kelas. Hasil dari kegiatan ini adalah statechart diagram yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.10 Contoh Statechart Sumber: Mathiassen (2000, p90) Menurut Mathiassen (2000, p93), ada tiga notasi untuk behavioural pattern yaitu: •
Sequence, di mana event muncul satu persatu secara berurutan.
•
Selection, di mana terjadi pemilihan satu event dari sekumpulan event yang muncul.
•
Iteration, di mana sebuah event muncul sebanyak nol atau berulang kali.
2.3.4. Application Domain Analysis Mathiassen (2000, p115) berpendapat bahwa ”Application domain: an organization that administrates, monitors, or controls a problem domain”. Artinya
application
domain
adalah
suatu
organisasi
yang
mengadministrasikan, mengawasi, atau mengendalikan suatu problem domain. Tujuan dari application domain adalah untuk menganalisis kebutuhan dari pengguna sistem.
Gambar 2.11 Aktivitas Application Domain Sumber: Mathiassen (2000, p117)
Pada application domain terdapat tiga aktivitas utama seperti yang ditunjukan pada gambar di atas.
2.3.4.1. Usage Di dalam usage harus mencerminkan bagaimana sistem bereaksi dengan actor di dalam sebuah contex. Definisi actor itu sendiri menurut Mathiassen (2000, p119) adalah “An abstraction of users or other system that interact with the target system”. Jika diterjemahan, aktor adalah suatu abstraksi pengguna atau sistem lain yang
berhubungan
dengan
sasaran
suatu
sistem.
Sedangkan
pengertian use case menurut Mathiassen (2000, p120) adalah ”A pattern for interaction between the system and actors in application
domain”. Artinya use case adalah suatu pola interaksi antara sistem dan aktor-aktor dalam application domain. Hasil dari analisis kegiatan usage ini adalah deskripsi lengkap dari semua use case dan aktor yang ada digambarkan dalam tabel aktor atau use case diagram. Menurut Bennet, McRobb dan Farmer (2006, p148), use case diagam mempunyai dua jenis hubungan (relationship) yaitu: extend dan include. Hubungan extend digunakan ketika ingin menunjukan bahwa sebuah use case menyediakan fungsi tambahan yang mungkin digunakan oleh use case lain. Sedangkan hubungan include digunakan ketika terdapat urutan behavior yang sering kali digunakan oleh sejumlah use case dan ingin dihindari pengkopian deskripsi sama ke setiap use case pengguna perilaku tersebut. Menurut Whitten, Bentley, Dittman (2004, p687), ”Sequence diagram shows us in great detail how the objects interact with each other over time.” Sequence menggambarkan bagaimana pesan atau message dikirim dan diterima antar objek dalam sequence tertentu. Menurut Bennet, McRobb dan Farmer (2006, p329), dikatakan bahwa
sequence
diagram
membantu
seorang
analis
mengidentifikasikan rincian dari kegiatan yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi dari sebuah use case. Tidak ada suatu sequence diagram yang benar untuk use case tertentu. Melainkan ada sejumlah kemungkinan sequence diagram
yang masing-masing diagram
tersebut dapat lebih atau kurang memenuhi dari use case.
2.3.4.2. Function Menurut Mathiassen (2000, p119), “Function: A facility for making a model useful for actors.” Function adalah suatu fasilitas untuk membuat suatu model yang berguna bagi actors. Function memfokuskan pada bagaimana cara sebuah sistem dapat membantu aktor dalam melaksanakan pekerjaan. Function memiliki empat tipe berbeda yaitu: a. Update Fungsi ini disebabkan oleh event problem domain dan menghasilkan perubahan dalam state atau keadaan dari model tersebut. b. Signal Fungsi ini disebabkan oleh perubahan keadaan atau state dari model yang dapat menghasilkan reaksi pada konteks. c. Read Fungsi ini disebabkan oleh kebutuhan informasi pekerjaan aktor dan mengakibatkan sistem menampilkan bagian yang berhubungan dengan informasi dalam model. d. Compute Fungsi ini disebabkan oleh kebutuhan informasi dalam pekerjaan aktor dan berisi perhitungan yang melibatkan informasi disebabkan oleh aktor atau model, hasil dari fungsi ini adalah tampilan dari hasil komputasi. Tujuan dari kegiatan function adalah untuk menentukan kemampuan sistem memproses informasi. Hasil dari kegiatan ini
adalah sebuah daftar function-function yang kompleks. Daftar function
harus
lengkap, menyatakan kebutuhan
kolektif
dari
pelanggan, dan aktor serta harus konsisten dengan use case.
2.3.4.3. User Interface Menurut Mathiassen (2000, p151), “Interface: Facilities that make a system’s model dan function available to actors.” Interface adalah fasilitas pembuat suatu model dan fungsi yang dapat dipakai oleh pengguna. Interface menghubungkan sistem dengan semua aktor yang berhubungan dalam konteks. Kualitas user interface ditentukan oleh kegunaan atau usability interface tersebut bagi user. Hasil dari kegiatan ini adalah sebuah deskripsi elemen-elemen user
interface dan
sistem interface yang lengkap, di
mana
kelengkapan menunjukan pemenuhan kebutuhan user. Hasil ini dilengkapi dengan sebuah diagram navigasi yang menyediakan sebuah ringkasan dari elemen-elemen user interface dan perubahan antara elemen-elemen tersebut.
2.3.5. Architecture Design Menurut Mathiassen (2000, p173), yang diterjemahkan langsung, tujuan dari desain arsitektur adalah untuk menstrukturkan sebuah sistem terkomputerisasi.
Gambar 2.12 Aktivitas pada Architectural Design Sumber: Mathiassen (2000, p176) Aktivitas yang
dilakukan dalam
architecture design
seperti
diilustrasikan pada gambar di atas.
2.3.5.1. Criteria Menurut Mathiassen (2000, p178), diterjemahkan langsung, tujuan dari sebuah criteria adalah untuk mempersiapkan prioritas dari sebuah perancangan dari sebuah perancangan. Sebuah perancangan yang baik harus memperhatikan criteria-criteria seperti terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.5 Kriteria Umum Criterion
Ukuran Dari Kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri dengan
Usable
konteks, organisasi yang berhubungan terhadap pekerjaan dan teknis. Ukuran keamanan sistem dalam menghadapi akses yang
Secure tidak terotorisasi terhadap data dan fasilitas.
Efficient
Eksploitasi ekonomis terhadap fasilitas platform teknis.
Correct
Pemenuhan dari kebutuhan. Pemenuhan ketepatan yang dibutuhkan untuk
Reliable melaksanakan fungsi. Maintainable
Biaya untuk menentukan dan memperbaiki kerusakan. Biaya untuk memastikan bahwa sistem dapat
Testable melaksanakan fungsi yang dibentuk. Flexible
Usaha untuk mengubah sistem yang dibentuk. Usaha yang diperlukan untuk mendapatkan pemahaman
Comprehensible terhadap sistem. Kemungkinan untuk menggunakan bagian sistem pada Reusable sistem lain yang berhubungan. Biaya untuk memindahkan sistem ke platform teknis yang Portable berbeda. Interoperable
Biaya untuk menggabungkan sistem ke sistem yang lain.
Sumber: Mathiassen (2000, p178)
Menurut Mathiassen (2000, p186), diterjemahkan langsung, tidak ada ukuran dan cara-cara pasti untuk menghasilkan desain yang baik. Namun desain yang baik memiliki tiga ciri-ciri yaitu: 1. Tidak memiliki kelemahan. Syarat ini menyebabkan adanya pendekatan pada evaluasi dari kualitas berdasarkan review atau eksperimen dan membantu menentukan prioritas dari kriteria yang akan mengatur dalam kegiatan desain.
2. Menyeimbangkan beberapa kriteria. Konflik sering terjadi antar kriteria, oleh sebab itu untuk menentukan
kriteria
mana
yang
akan
digunakan
dan
bagaimana cara menyeimbangkannya dengan kriteria-kriteria lain bergantung pada situasi sistem tertentu. 3. Usable, flexible, dan comprehensible. Kriteria-kriteria ini bersifat universal dan digunakan pada hampir setiap proyek pengembangan sistem.