Bab 2 Landasan Teori
2.1. Pengertian jasa Jasa merupakan pemberian suatu kinerja atau tindakan tak kasat mata dari satu pihak kepihak yang lain. Pada umumnya jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan,
dimana
interaksi
antara
pemberi
jasa
dan penerima
jasa
mempengaruhi hasil jasa tersebut.
Aspek suatu industri jasa tergantung pada sejauh mana perusahaan mampu mengelola ketiga aspek berikut: 1. Janji perusahaan mengenai jasa yang akan disampaikan kepada pelanggan. 2. kemampuan perusahaan untuk membuat karyawan mampu memenuhi janji tersebut. 3. Kemampuan karyawan menyampaikan janji tersebut kepada pelanggan.
2.2. Definisi Jasa Jasa merupakan suatu pendefinisian yang rumit (complicated), dan kata jasa tersebut banyak sekali yang mengartikannya mulai dari yang mengartikan pelayanan personal sampai kepada jasa diartikan sebagai suatu produk, beberapa ahli pemasaran mengartikan definisi jasa diantaranya sebagai berikut :
(Gronroos, 1990). Kata jasa mempunyai banyak arti dan ruang lingkup, dari pengertian yang paling sederhana, yaitu hanya berupa pelayanan dari seseorang kepada orang lain, baik yang dapat dilihat maupun yang tidak dapat dilihat, yang hanya dirasakan sampai kepada fasilitas-fasilitas pendukung yang harus tersedia dalam penjualan jasa dan benda-benda lainya. Jasa adalah aktivitas atau rentetan kegiatan yang mana dapat dipengaruhi oleh tempat atau dipengaruhi dari interaksi dengan orang, dalam menyediakan konsumen, pemakai jasa (Lehtinen, 1983,p,21). Jasa adalah suatu pekerjaan yang dilakukan untuk anda yang dapat berguna bagi diri anda (Joseph G. Bonnice, 1972). Jasa adalah setiap tindakan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain. Pada dasarnya jasa tidak
berwujud, dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksi jasa berkaitan dengan produk fisik atau tidak (Pihilip Kotler, 1994). Jasa adalah setiap aktivitas ekonomi yang outputnya bukan merupakan suatu produk fisik atau kontruksi, umumnya dikonsumsi pada saat yang sama pada jasa tersebut dihasilkan, dan memberikan nilai tambah (Zeithaml dan Britner, 1996)
Dan dapat di simpulkan, bahwa jasa adalah setiap tindakan atau aktivitas dan bukan benda, yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat tidak berwujud fisik, konsumen terlibat secara aktif dalam proses produksi dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
2.3. Pentingnya Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Dalam era globalisasi ini persaingan bisnis menjadi sangat tajam, baik dipasar domestic (nasional) maupun dipasar internasional. Untuk memenangkan poersaingan, perusahaan harus mampu memberikan kepuasan kepada para pelanggannya, misalnya dengan memberikan produk yang mutunya lebih baik, harganya lebih murah, penyerahan produk lebih cepat dan pelayanan lebih baik dari pada pesaingnya.
2.4. Karakteristik Jasa Meskipun perbedaan antara barang dan jasa sulit dibedakan, diketahui bahwa karakteristik dan sifat barang adalah yang tidak terlihat pada jasa. Karakteristik utama yang membedakan jasa dengan produk adalah sifat jasa yang tidak dapat dilihat (tidak nyata ) di samping keterlibatan konsumen secara aktif dalam proses penyampaian jasa. Peran tenaga manusia, dalam hal ini kontak personel, sangat penting artinya, karena mereka yang menentukan apakah penyampaian jasa itu berhasil atau tidak. Secara keseluruhan dapat dilihat perbedaan barang dan jasa, perbedaan karakteristik yang diberikan oleh beberapa penulis antara lain : Gronroos (1983), Lovelock (1983), Norman (1984), Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1985). Seperti yang di kemukakan pula oleh Peters (1999), dapat di lihat dalam tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1. Perbedaan barang dan jasa
Barang Dapat dilihat Konsumen tidak terlibat dalam proses produksi Produksi dan konsumsi terpisah Produk/ proses bersifat homogen Dimungkinkan hubungan yang tidak langsung antara produsen dan konsumen Persediaan dapat di ciptakan Dapat dibawa Dapat diekspor Nilai tambah diciptakan di dalam pabrik Konsentrasi pada suatu proses produksi tertentu dapat dilakukan Kepemilikan berpindah pada saat penjualan Dapat diujicobakan sebelum dijual Pengembalian barang dimungkinkan seperti halnya pemberian garansi Penjualan barang bekas dimungkinkan Dapat diberi hak paten
Jasa Proses atau aktivitas tidak dapat dilihat Konsumen terlibat dalam proses produksi Produksi dan konsumsi bersamaan waktu dan tempat Proses dan hasil berbeda-beda Hubungan langsung adalah hal yang sangat utama (personality intensity) Penciptaan persediaan tidak mungkin/ sulit Tidak di bawa (melekat pada penyedia jasa) Sulit untuk diekspor Nilai tambah terjadi ketika interaksi antara produsen dan konsumen Konsentrasi pada suatu proses produksi tertentu idak dapat dilakukan karena tersebarnya daerah produksi Tidak ada perpindahan kepemilikan Tidak ada sebelum penjualan dan sangat sulit untuk di ujicobakan Pengembalian tidak dimungkinkan, pemberian garansi juga sangat sulit Penjualan tidak mungkin dilakukan lebih dari satu kali Susah untuk diber hak paten
(Sumber : Peters (1999), Service Management : Managing The Image, Media Ekonomi Publising (MEP) Faculty Of Economics, Trisakti University, Jakarta, p.34 (diadaptasi)).
2.5. Klasifikasi Jasa Penggolongan jasa menurut kriteria tertentu dapat membantu pembahasan tentang manajemen jasa dan dapat membantu memecahkan masalah keterbatasan pengetahuan suatu industri jasa tertentu melalui pengetahuan. Misalnya, rumah sakit dapat belajar tentang pembukuannya seperti pembukuan suatu hotel, restoran dapat menggunakan beberapa konsep manajemen jasa pembersih. Agar dapat diperoleh suatu gambaran menyeluruh tentang masalah-masalah manajemen diantara industri-industri jasa, Roger Schmenner mengemukakan suatu konsep proses jasa dalam suatu bentuk metriks, seperti dalam tabel 2.2. Tabel 2.2. Tingkat interaksi dan kekhususan jasa
Tingkat interaksi dan kekhususan jasa
Tingkat Penggunaan Tenaga Kerja
Rendah
Service factory: • Perusahaan penerbangan • Jasa pengangkutan • Hotel • Resor dan pusat hiburan
Service shop: • Rumah sakit • Bengkel mobil • Reparasi alat elektronik
Tinggi
Mass service: • Perdagangan eceran • Perdagangan grosir • Sekolah • Retail banking profesional
Professional service: • Dokter • Ahli hukum • Akuntan • Arsitek
(Sumber : Frizsimmons dan Fitzsimmons (2001), Service Management: Operation, Strategi and Information Technology, Mc Graw-Hill, International Edition, New York, P.23 (diadaptasi)).
Di dalam matriks ini, jasa-jasa digolongkan atas dua dimensi yang sangat mempengaruhi
karakter
proses
penyampaian
jasa.
Sumbu
vertikal
menggambarkan tingkat intensitas penggunaan tenaga kerja (labor intensity) yang merupakan perbandingan antara biaya tenaga kerja, dengan modal. Makin tinggi penggunaan tenaga kerja berarti makin rendah penggunaan modal (Capital). Begitu juga sebaliknya, makin tinggi penggunaan barang modal atau mesinmesin, akan semakin rendah penggunaan tenaga kerja. Misalnya, untuk perusahaan-perusahaan penerbangan dan hotel, tingkat penggunaan tenaga kerja rendah, artinya investasi perusahaan penerbangan lebih banyak pada barangbarang modal dibandingkan dengan investasi di bidang tenaga kerja. Jasa yang banyak menggunkan tenaga kerja, seperti jasa pendidikan berada pada garis sebelah bawah karena biaya-biaya tenaga kerjanya lebih tinggi dari barang modal yang dibutuhkan. Dimensi ini digunakan karena jasa yang ditawarkan berbedabeda dalam tingkat intensitas penggunaan tenaga kerja dan perbedaan ini akan mempengaruhi strategi yang digunakan.
Sumbu horizontal menggambarkan kekhususan dari jasa yang diberikan (customization). Yang dimaksud dengan customization adalah kekhususan jasa karena kemampuan konsumen secara personal untuk mempengaruhi jasa yang akan diterimanya. Interaksi antara konsumen dengan penyedia jasa akan lebih rendah jika jasa-jasa itu lebih seragam (tidak bersifat khusus) dan tidak membutuhkan sutau penjelasan khusus mengenai atribut jasa tersebut. Sebagai contoh, makanan yang ditawarkan McDonalds yang sebelumnya sudah tersedia dalam kualitas dan jenis yang tidak berbeda (bentuk-bentuk yang standar/low in costumization) dapat dijual tanpa melalui interaksi yang sulit, sehingga tingkat penggunaan tenaga kerjanya rendah. Pada restoran-restoran cepat saji lainnya, terlihat tenaga kerja hanya dibutuhkan dalam menerima pesanan konsumen, sementara pelayanan-pelayanan lain tidak ada. Sebaliknya, seorang dokter dan
pasien harus berintegrasi secara penuh didalam mendiagnosis dan menangani pasien agar diperoleh hasil yang berbeda dengan kebutuhan pasien yang lain. pada jasa jenis ini, penggunaan tenaga manusia, dalam hal dokter atau pekerja medis lainnya sangat dibutuhkan dan diutamakan. Dengan demikian, perlu kita ketahui bahwa pada jasa-jasa yang sangat khusus (costumization), interaksi yang terjadi umumnya menciptakan problem yang membutuhkan penanganan yang serius bagi manajemen, terutama dalam proses penyampaian jasa-jasa tersebut.
Di dalam matriks proses jasa terdapat empat kuadran dengan dua dimensi, seperti yang dijelaskan sebelumnya, yaitu tingkat penggunaan tenaga kerja dan dimensi lain tentang tingkat interaksi dan kekhususan suatu jasa. Berdasarkan proses, jasa meliputi berikut ini : •
Service factories, jasa-jasa umum dengan investasi modal besar dan tingkat interaksi rendah/tidak spesifik, contoh : jasa penerbangan, jasa pengangkutan dan hotel.
•
Service shops, misalnya bentuk-bentuk pelayanan pada rumah sakit, pelayanan reparasi mobil dan reparasi alat-alat elektronik, dimana jasa yang diberikan lebih bersifat spesifik (tingkat Costumization yang tinggi) yang harus ditunjang oleh peralatan (modal) yang besar.
•
Mass service, yaitu pelayanan yang sama untuk semua golongan dan jenis konsumen. Golongan jasa ini mempunyai karakteristik penggunaan tenaga kerja yang tinggi (intensif), sementara interaksi diantara konsumen dan penyedia jasa tidak terlalu penting, karena jasanya bersifat umum dan sama. Contohnya, pelayanan pada perdagangan eceran.
•
Professional service, yaitu suatu bentuk pelayanan yang membutuhkan perhatian dan keahlian khusus, tidak membutuhkan tebaga kerja yang banyak, tetapi ahli dibidangnya. Hal ini sangat penting untuk mengadakan kontrak dan interaksi yang intensif di antara pemakai dan penyedia jasa. Contoh jenis jasa profesional ini adalah jasa dokter atau pengacara.
2.6. Mengidentifikasi Kebutuhan Pelanggan 2.6.1. Karakteristik Kebutuhan Pada dasarnya terdapat dua jenis kebutuhan, yaitu : 1.
Eksplisit, yaitu kebutuhan yang dapat dikatakan langsung oleh pelanggan.
2.
Laten, yaitu kebutuhan yang tidak disadari dan tidak terkatakan oleh pelanggan. Dengan demikian, kebutuhan yang bersifat laten juga merupakan input kedalam proses perancangan, sehingga diperlukan kejelian dalam pendefinisian kebutuhan pelanggan yang sesungguhnya.
2.6.2. Jenis-Jenis Kebutuhan Setiap kebutuhan tidak diciptakan secara sama, dan usaha untuk memenuhi kebutuhan itu tidak mempunyai dampak yang sama pada kepuasan pelanggan. Konsep ini diterangkan secara jelas dengan menggunakan model Kano pada Gambar 2.1.
Pada model Kano, terdapat dua sumbu, yakni horizontal dan vertikal. Sumbu horizontal menyatakan tingkat ekspektasi pelanggan yang berhasil dicapai, sedangkan sumbu vertikal menyatakan kepuasan pelanggan.
Gambar 2.1 Model Kano
Berdasarkan dari model kano tersebut, terdapat tiga jenis kebutuhan yang
ditunjukkan melalui ketiga kurva yang ada, yakni : •
Kurva no. 1 menunjukan ekspektasi dasar atau ekspektasi standar dari pelanggan. Tidak adanya atribut yang memenuhi kebutuhan ini akan menyebabkan penurunan non linear yang tajam terhadap tingkat kepuasan pelanggan.
•
Kurva no. 2 menunjukan kebutuhan rasional. Kenaikan pemenuhan kebutuhan jenis ini akan memberikan dampak kenaikan kepuasan secara linear. Umumnya kebutuhan yang dikatakan pelanggan jatuh pada kategori ini.
•
Kurva no. 3 menunjukan kebutuhan exciting. Pelanggan sendiri pada dasarnya tidak dapat menyadari kebutuhan ini. Contohnya adalah produkproduk inovatif yang mempunyai atribut-atribut baru yang unik sehingga dapat memberikan kepuasan yang lebih diharapan, dengan usaha dan biaya yang namun dapat memberikan penghasilan yang besar. Atribut baru bila tidak diperbaharui lama-lama dapat menjadi usang sehingga kemudian dapat menjadi basic needs.
2.7. Kepuasan Pelanggan Berkaitan dengan begitu banyaknya kebutuhan, satu hal yang pasti adalah pelanggan dapat merasa puas apabila menggunkan jasa yang ditawarkan oleh pihak penyedia jasa. Kepuasan tersebut dapat tercapai apabila pihak penyedia jasa mampu memberikan pelayanan yang bekualitas, yaitu memberikan kinerja pelayanan yang melebihi atau sama dengan yang diharapkan pelanggan.
Konsep kepuasan pelanggan pertama kali didengungkan oleh Philip Kotler pada tahun 1970-an dan merupakan kata-kata sakral yang menjadi tujuan utama para pemasar (Soehadi, 2002). Konsep ini mulai banyak diterapkan perusahaan AS pada tahun 1980-an dan di Indonesia pada pertengahan tahun 1990-an. Kepuasan pelanggan merupakan sumber pembelian ulang atau loyalitas pelanggan.
Ada empat hal yang perlu dicermati dalam menggunakan konsep kepuasan pelanggan, yaitu (Soehadi, 2002) :
1.
Seberapa jauh konsep kepuasan pelanggan dapat menarik konsumen yang belum pernah mendengar ataupun menggunkan pelaayanan tersebut.
2.
Seberapa jauh pelanggan dapat mengevaluasi kinerja pelayanan tersebut dengan baik. Pelanggan yang baru pertama kali menggunkan suatu pelayanan mungkin akan mempunyai penilaian yang berbeda dari pelanggan yang sering menggunakan pelayanan tersebut.
3.
Pengukuran kepuasan pelanggan akan sangat tergantung pada ekspetasi pelanggan. Pelayanan dengan kualitas rata-rata mempunyai kemungkinankemungkinan indeks kepuasan pelanggan yang tinggi, jika ekspetasi rendah. Hal ini dapat terjadi sebaliknya.
4.
Seberapa jauh kepuasan pelanggan berkontribusi terhadap loyalitas pelanggan.
Pada dekade 1990-an, konsep penciptaan nilai pelanggan yang superior (superior customer value) mulai diperkenalkan untuk mengatasi kelemahan konsep kepuasan pelanggan. Nilai pelanggan yang superior didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan menawarkan produk dengan kualitas jauh di atas persepsi harga/pengorbanan. Dalam penciptaan nilai tersebut, perusahaan tidak hanya mencari proposisi nilai yang memuaskan target pelanggannya, tetapi harus lebih efektif dibandingkan pesaing. Nilai tersebut dapat diciptakan sebelum transaksi terjadi.
Dengan berjalannya waktu, nilai tersebut perlu dipupuk dan dikembangkan sehingga pelanggan membutuhkan biaya atau resiko besar jika beralih ke penjual lain. konsep kepuasan pelanggan sangat berperan pada tahap ini. Dengan demikian, penggabungan kedua konsep tersebut merupakan sumber pertumbuhan bisnis suatu perusaan melalui penigkatan jumlah pelanggan baru dan jumlah pelanggan loyal.
Pendekatan yang ketiga adalah berkembangnya konsep pengembangan merek. Titik tolaknya bagaimana menigkatkan pengetahuaan konsumen terhadap suatu merek. Pengetahuan konsumen dapat berbentuk atribut, manfaat, ataupun
personifikasi yang dimiliki merek tersebut. Perkembangan terakhir, para konsultan pemasaran mencoba menggabungkan ketiga pendekatan di atas. Ketiga pendekatan tersebut dibutuhkan untuk menigkatkan profitabilitas perusahaan. Setiap pelanggan mempunyai daur hidup, mulai dari sebagai prospek, pembeli pertama kali, menjadi pembeli tetap dan akhirnya pindah ke kompetitor.
2.8. Latar Belakang Pentingnya Mengetahui Tingkat Kepuasan Pelanggan Terdapat tiga hal yang menjadi latar belakang betapa pentingnya mengetahui kepuasa pelanggan. Latar belakang tersebut adalah sebagai berikut : 1)
Adanya keyakinan yang kuat bahwa tingkat kepuasan pelanggan berpengaruh lansung pada besarnya pangsa pasar, laju arus pemasukan, dan tingkat pengembangan laba.
2)
Pada umumnya manajemen merasa bahwa tingkat keberhasilan mereka (pribadi) juga tercermin melalui tingkat kepuasan pelanggan.
3)
Manajemen ingin mendapatkan gambaran tentang keberhasilan ataupun kegagalan mereka dalam persaingan mendapatkan dan mempertahankan pelanggan.
Walaupun begitu, kepuasan pelanggan belum tentu serta menghasilkan penigkatan pangsa pasar, laju arus pemasukan dan pengembangan laba. Hal ini dikarenakan seorang pembeli, dapat saja puas dengan produk tertentu dan ternyata dia juga sama puasnya dengan produk lain dengan merek yang berbeda. Pada prinsifnya, kepuasan pelanggan yang dapat mendorong peningkatan pangsa pasar dan penigkatan laba adalah, kepuasan yang mampu memuat pelanggan menjadi setia atau loyal kepada produk perusahaan. Dengan demikian, tingkat kepuasan pelanggan dapat dikelola efektif jika perusahaan memahami dengan tepat kebutuhan pelanggan dan harapan pelanggan terhadap nilai beli pelanggan.
2.9. Manfaat Kepuasan Pelanggan Bahwa manfaat yang diperoleh apabila suatu perusahaan dapat menciptakan kepuasan pelanggan yang loyal terwujud dalam 4R yakni : 1)
Membangun customer relationship Customer relationship akan muncul pada saat pelanggan berhubungan
dengan perusahaan dalam periode waktu tertentu. customer relationship ini akan menciptakan kedekatan dengan pelanggan. Untuk itu sangat diperlukan kejujuran, komitmen, komunikasi, dan saling pengertian. 2)
Menciptakan customer retention Customer retention adalah mempertahankan pelanggan. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa mempertahankan pelanggan jauh lebih murah daripada mencari pelanggan baru. Costumer retention dapat tercipta melalui pelayanan yang lebih besar daripada kabutuhan pelanggan.
3)
Menghasilkan customer referrals Customer referrals merupakan kesediaan pelangan untuk memberitahukan kepuasan yang mereka rasakan kepada orang lain. kegiatan ini berarti promosi gratis dari mulut ke mulut karena pelanggan tersebut dengan senang hati merekomendasikan apa yang telah dirasakan kepada orang terdekat, seperti keluarga dan teman – temannya.
4)
Memperoleh customer recovery Customer recovery merupakan suatu usaha untuk mengembalikan pelanggan kembali setia kepada perusahaan yang bersangkutan. Pelanggan dapat lari dari suatu perusahaan bila pihak perusahaan melakukan kesalahan. Perbaikan kesalahaan dengan segera dan cepat dapat menigkatkan loyalitas pelanggan.
2.10. Pemahaman Mengenai Kualitas Pelayanan Adanya perbedaan antara barang dan jasa/pelayanan menyebabkan timbulnya perbedaan pada ukuran maupun kriteria kualitas antara barang dan jasa/pelayanan. Ishikawa (1999) menyatakan bahwa tingkat kualitas ditentukan oleh seberapa baik karakteristik-karakteristik kualitas yang sebenarnya (kebutuhan konsumen, yang diekspresikan dalam bahasa konsumen) sesuai dengan karakteristik-karakteristik kualitas pengganti (produk, spesifikasi. yang diekspresikan oleh produsen dalam bahasa teknis).
Shewheart (1999) menyatakan bahwa kualitas mempunyai dua aspek umum. Aspek yang pertama adalah yang berkaitan dengan kualitas dari suatu barang
sebagai sebuah objek yang benar-benar independen terhadap keberadaan manusia. Aspek yang kedua adalah yang berkaitan dengan apa yang dipikirkan atau dirasakan sebagai sebuah hasil dari suatu kenyataan objektif sisi subjektif dari kualitas sangat erat kaitannya dengan nilai.
Menurut Kolarik (1999), definisi yang diungkapkan Ishikawa dan Shewheart menuntun kita untuk melihat kualitas dari sudut pandang konsumen. Sama halnya dengan Drucker (2000) yang menyatakan bahwa kualitas yang terdapat di dalam sebuah produk ataupun sebuah pelayanan bukanlah apa yang diletakkan di dalamnya, melainkan apa yang didapatkan oleh konsumen dari produk atau pelayanan tersebut.
Menurut Kotler (1994), kualitas pelayanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini menunjukkan bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap terhadap kualitas pelayanan merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa yang didasarkan atas performansi perusahaan terhadap jasa yang diinginkan pelanggan.
Mitra (1993) menyatakan bahwa kualitas pelayanan dalam industri jasa dapat dibagi ke dalam dua kategori, yakni efisiensi dan efektivitas. Efektivitas berkaitan dengan pemenuhan atribut-atribut jasa yang diinginkan konsumen. Sebagai contoh, kualitas dan kuantitas dari makanan yang disediakan di restoran. Efisiensi berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan dari penyampaian suatu jasa.
Parasuraman et. al (1990) mendefinisikan kualitas pelayanan dipandang dari persepsi konsumen sebagai besarnya ketidaksesuaian antara harapan atau keinginan konsumen dengan persepsi yang mereka miliki. Gasperz (1997) menyatakan bahwa terdapat beberapa dimensi yang harus diperhatikan adalah kualitas pelayanan, yaitu :
1.
Ketepatan waktu pelayanan. Hal-hal yang perlu diperhatikan disini berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu proses.
2.
Akurasi pelayanan. Yaitu semua yang berkaitan dengan reliabilitas dan bebas dari kesalahankesalahan.
3.
Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan. Terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung dengan pelanggan. Citra pelayanan dari industri jasa sangat ditentukan oleh orang-orang yang berada di garis depan dalam melayani pelanggan secara langsung.
4.
Tanggung jawab. Berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan dari pelanggan.
5.
Kelengkapan. Menyangkut lingkup pelayanan dan ketersediaan sarana pendukung serta pelayanan komplementer lainnya.
6.
Kemudahan untuk mendapatkan pelayanan. Berkaitan dengan banyaknya petugas maupun mesin yang dapat melayani pelanggan dengan cepat dan mudah.
7.
Variasi model pelayanan. Berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola-pola baru dalam pelayanan, fitur-fitur pelayanan, dan lain-lain.
8.
Pelayanan pribadi. Berkaitan dengan fleksibilitas, penanganan permintaan khusus, dan lainlain.
9.
Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan. Berkaitan
dengan
lokasi,
ruang
tempat
pelayanan,
kemudahan
menjangkau, ketersediaan inforinasi, dan lain-lain. 10. Atribut pendukung lainnya, seperti : lingkungan, kebersihan, fasilitas hiburan, dan lain-lain.
Wyckoff (1988) menyatakan bahwa kualitas pelayaan adalah tingkat keunggulan yang diinginkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan konsumen.
2.11. Aspek-Aspek Kunci Dari Sistem Kualitas Pelayanan Dalam usaha mengorganisir sumber daya perusahaan jasa menuju perwujudan tujuan untuk memberikan pelayanan yang terpadu, maka pengusaha jasa perlu memperhatikan dimensi manajerial operasi jasa. Chase & Aquino (1995) menggambarkan dimensi manajerial operasi jasa ke dalam bentuk segitiga jasa. Model segitiga jasa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2 sebagai berikut :
Gambar 2.2 Segitiga jasa
Gambar 2.2 di atas menunjukkan bahwa fokus sentral perusahaan jasa adalah bagaimana memberikan pelayanan kepada pelanggan yang memenuhi dimensi kualitas pelayanan agar pelanggan yang menggunakan jasa tersebut merasa puas. Sehubungan dengan itu, maka semua kebijakan, keputusan dan tindakan yang diambil oleh manajemen harus menuju kepada perwujudan kepuasan pelanggan.
Dalam usaha memenuhi sasaran tersebut, maka manajemen perusahaan jasa harus memperhatikan tiga pilar pendukung yang paling berhubungan, yakni: 1)
Strategi Usaha Jasa Strategi usaha adalah semua yang berkaitan dengan kebijakan jangka panjang perusahaan, sebagai langkah penerjemahan visi dan misi perusahaan kedalam rencana operasi. Formulasi faktor-faktor yang dimaksud, seluruhnya harus menuju pada fokus sentral, yaitu memberikan
pelayanan yang memuaskan pelanggan. Isi strategi perlu dikomunikasikan atau diinformasikan kepada pelanggan agar mereka memahami arah, sasaran, dan posisi perusahaan dalam industri jasa yang bersangkutan. 2)
Sistem Usaha Jasa Sistem usaha jasa berkaitan dengan aspek aturan dan prosedur perlengkapan dan fasilitas pelayanan, di mana semuanya itu harus diorganisir dan dikelola untuk mewujudkan tujuan utama sebelumnya, yakni kepuasan pelanggan.
3)
Sumber Daya Manusia Usaha Jasa Sumber daya manusia usaha jasa adalah semua unsur perusahaan yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan.
2.12. Pengukuran Kualitas Bahwa terdapat beberapa pendekatan pengukuran kualitas, yaitu : 1)
Transendental view (Pandangan transedental) Kualitas dipandang sebagai innate excellence, maka
kualitas tersebut
dapat diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalisasikan. 2)
Product-based approach (Pendekatan berbasis produk) Pendekatan ini melihat kualitas sebagai variabel yang tepat dan dapat diukur. Product-based approach merefleksikan sejumlah perbedaan dalam beberapa atribut yang dimiliki suatu produk. Pandangan ini benar-benar objektif, sehingga gagal dalam menentukan perbedaan dalam hal rasa, kebutuhan, dan preferensi dari individu konsumen (atau bahkan keseluruhan segmen pasar).
3)
User-based approach (Pendekatan berbasis pengguna) Pendekatan ini dimulai dengan premis bahwa kualitas terletak pada rata beholder. Definisi ini menyamakan kualitas dengan kepuasan maksimum. Tujuannya adalah pandangan yang berorientasi pada permintaan, di mana pelanggan yang berbeda memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda pula.
4)
Manufacturing-based approach (Pendekatan berbasis
manufaktur)
Pendekatan ini didasarkan pada penawaran (supply) dan sangat berkaitan
dengan praktek enginering dan manufaktur. Fokus dari pendekatan ini adalah pada kesesuaian (conformance) terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan oleh perusahaan, yang sering ditentukan oleh produktivitas dan biaya untuk mencapai tujuan. 5)
Value-based approach (Pendekatan berbasis nilai). Pendekatan ini mendefinisikan kualitas dalam hal nilai dan harga. Dengan pertimbangan trade-off antara performansi (atau kesesuaian) dan harga, kualitas didefinisikan affordable excellence.
2.13. Metode Parasuraman’s SERVQUAL Model Salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas perusahaan adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Keberhasilan perusahaan dalam memberikan pelayanan bermutu kepada para pelanggannya, pencapaian pangsa pasar yang tinggi, serta peningkatan profit perusahaan sangat ditentukan oleh pendekatan (Parasuraman et.al., 1990). Salah satu pendekatan pengukuran kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan dalam riset pemasaran adalah metode Parasuraman’s SERVQUAL model yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam serangkaian penelitian yang mereka lakukan terhadap enam sektor jasa, yakni : peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi, sambungan telephone jarak jauh, perbankan, ritel, dan pialang sekuritas. Pengukuran menggunakan metode Parasuraman’s SERVQUAL model, dengan pendekatan user-based approach (pendekatan berbasis pengguna), dan kini sering digunakan di industri-industri jasa.
Metode Parasuraman’s SERVQUAL model dibangun atas adanya perbandingan dua faktor utama yaitu persepsi pelanggan atas layanan yang nyata mereka terima (perceived service) dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan pelanggan (expected service). Jika kenyataan lebih dari yang pelanggan harapkan, maka layanan dapat dikatakan bermutu sedangkan jika kenyataan kurang dari yang pelanggan harapkan, maka dikatakan tidak bermutu, Dan apabila kenyataan sama dengan harapan, maka layanan dikatakan memuaskan. Dengan demikian, metode Parasuraman’s SERVQUAL model ini mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai
seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dengan harapan atas layanan yang pelanggan terima (Parasuraman et. at., 1990).
Metode Parasuraman’s SERVQUAL model membagi kualitas pelayanan ke dalam lima dimensi, yakni (Parasuraman et.al., 1990) : 1.
Dimensi Tangibles (Nyata) Definisi : Penampilan dan perfonnansi dari fasilitas-fasilitas fisik, peralatan, dan material-material komunikasi.
2.
Dimensi Reliability (Keandalan) Definisi : Kemampuan pihak penyedia jasa dalam memberikan jasa atau pelayanan secara tepat dan akurat sehingga pelanggan dapat mempercayai dan mengandalkannya.
3.
Dimensi Responsiveness (Daya Tanggap) Definisi : Kemauan atau keinginan pihak penyedia jasa untuk segera memberikan bantuan pelayanan yang dibutuhkan pelanggan dengan tepat.
4.
Dimensi Assurance (Jaminan) Definisi : Pemahaman dan sikap kesopanan dari karyawan (contatl personnel) dikaitkan dengan kemampuan mereka dalam memberikan keyakinan kepada pelanggan bahwa pihak penyedia jasa mampu memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya. Dimensi assurance terdiri dari empat subdimensi yaitu: a. Competence (Kompetensi) Definisi : Keahlian dan keterampilan yang harus dimiliki penyedia jasa dalam memberikan jasanya kepada pelanggan. b. Credibility (Kredibilitas) Definisi Kejujuran dan tanggung jawab pihak penyedia jasa sehingga pelanggan dapat mempercayai pihak penyedia jasa. c. Courtesy (Kesopanan) Definisi : Etika kesopanan. rasa hormat. dan keramahan pihak penyedia jasa kepada pelanggannya pada saat memberikan jasa pelayanan. d. Securitiy (Keamanan/Keselamatan) Definisi : Rasa aman, perasaan bebas dari rasa takut serta bebas dari
keragu-raguan akan jasa pelayanan yang diberikan oleh pihak penyedia jasa kepada pelanggannya. 5.
Dimensi Empathy (Empati) Definisi : Tingkat perhatian atau tingkat kepedulian individual yang dapat diberikan pihak penyedia jasa kepada pelanggannya. Dimensi empathy terdiri dari tiga sub dimensi, yaitu : a. Access (Akses) Definisi : Tingkat kemudahan untuk dihubungi dan ditemuinya pihak penyedia jasa kepada pelanggannya. b. Communication (Komunikasi) Definisi : Kemampuan pihak penyedia jasa untuk selalu mengiformasikan sesuatu dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh pelanggan dan pihak penyedia jasa selalu mau mendengarkan apa yang disampaikan oleh pelanggan. c. Understanding Customer (Mengerti Pelanggan) Definisi : Tingkat usaha pihak penyedia jasa untuk mengetahui dan mengenal pelanggan beserta kebutuhan-kebutuhannya.
Kelima dimensi kualitas pelayanan tersebut di atas harus diramu dengan baik. Apabila tidak, hal tersebut dapat menimbulkan kesenjangan antara perusahaan dengan pelanggan, karena perbedaan persepsi mereka tentang wujud pelayanan. Parasuraman et. at. (1990) telah menyusun suatu model konseptual dari kualitas pelayanan yang menggambarkan kesenjangan yang menjadi penyebab timbulnya perbedaan persepsi mengenai kualitas pelayanan. Menurut Parasuraman et. at. (1990), kesenjangan atau gap dalam suatu pelayanan dapat terjadi pada bagian konsumen (yaitu antara pelayanan yang diharapkan konsumen dengan pelayanan yang diterimanya) dan pada bagian penyedia jasa. Gap atau kesenjangan tersebut terdiri dari lima macam, yaitu : 1.
Gap 1 : Kesenjangan antara persepsi dari pihak penyedia jasa dengan, harapan konsumen Gap ini menunjukkan perbedaan antara penilaian pelayanan menurut pengguna jasa dengan persepsi manajemen mengenai harapan pengguna
jasa. Penyebab timbulnya gap ini antara lain karena kurangnya orientasi penelitian pemasaran pemanfaatan yang tidak memadai atas temuan penelitian, kurangnya interaksi antara pihak manajemen dan pelanggan, komunikasi dari bawah ke atas yang kurang memadai, serta terlalu banyaknya tingkatan manajemen. 2.
Gap 2 : Kesenjangan antara persepsi dari pihak penyedia jasa denngan spesifikasi kualitas pelayanan Gap ini menunjukkan perbedaan antara persepsi manajemen mengenai harapan pengguna jasa dengan spesifikasi pelayanan. Penyebab timbulnya gap ini antara lain karena pihak penyedia jasa belum menetapkan standar kualitas pelayanan yang jelas, standar kualitas pelayanan yang telah ditetapkan tidak realistis, atau bisa juga meskipun standar sudah ditetapkan tetapi pihak penyedia jasa tidak memiliki komitmen untuk mewujudkannya.
3)
Gap 3 : Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan dengan proses pemberian/penyampaian pelayanan Gap ini menunjukkan perbedaan antara spesifikasi kualitas pelayanan dengan penyampaian pelayanan yang diberikan oleh karyawan (contact personnel) Faktor-faktor yang dapat menyebabkan gap ini antara lain : 1. Ambiguitas peran, yakni sejauh mana pegawai dapat melakukan tugas sesuai dengan harapan manajer tetapi memuaskan pelanggan. 2. Konflik peran, yakni sejauh mana pegawai meyakini bahwa mereka tidak memuaskan semua pihak. 3. Kesesuaian pegawai dengan yang harus dikerjakannya. 4. Kesesuaian teknologi yang digunakan pegawai. 5. Sistem pengendalian dari atasan, yakni tidak memadainya sistem penilaian dan sistem imbalan. 6. Perceived control, yakni sejauh mana pegawai merasakan kebebasan fleksibilitas untuk menentukan cara pelayanan. 7. Teamwork, yakni sejauh mana pegawai dan manajemen merumuskan tujuan bersama di dalam memuaskan pelanggan secara bersama-sama dan terpadu.
4)
Gap 4 : Kesenjangan antara penyampaian pelayanan dengan komunikasi, eksternal kepada konsumen Ekspektasi pelanggan mengenai kualitas pelayanan dipengaruhi oleh pernyataan - pernyataan yang dibuat oleh perusahaan melalui komunikasi pemasaran. Gap dapat terjadi karena : (1) Tidak memadainya komunikasi horizontal. (2) Adanya kecenderungan untuk memberikan janji yang berlebihan.
5)
Gap 5 : Kesenjangan antara persepsi konsumen dengan ekspektasi yang dimilikinya Jika persepsi dan ekspektasi pelanggan mengenai kualitas pelayanan terbukti sama dan bahkan persepsi lebih baik dari ekspetasi, maka perusahaan akan mendapat citra baik dan dampak positif. Namun bila yang kualitas pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kesenjangan ini akan menimbul permasalahan bagi perusahaan.
Beberapa kelebihan dalam Parasuraman’s SERVQUAL model dapat di lihat dalam poin – poin berikut ini: 1)
Dapat diketahui nilai kualitas pelayanan, setiap variabel, dan setiap dimensi kualitas pelayanan, sehingga dengan mudah mentelusuri apa yang sebenarnya mempengaruhi tinggi atau rendahnya pelayanan keseluruhan.
2)
Dapat diketahui bagaimana harapan konsumen terhadap pelayanan yang ditawarkan dan bagaimana penilaiannya tetang pelayanan yang diberikan perusahaan.
3)
Dapat diketahui variabel mana yang harus menjadi fokus untuk perbaikan selanjutnya dalam rangka peningkatan kualitas jasa pelayanan.
4)
Mengetahui gambaran tentang perkembangan harapan dan presepsi konsumen dari waktu ke waktu.
Sedangkan model konseptual kualitas pelayanan Parasuraman et.al dapat dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Model konseptual kualitas pelayanan (Parasuraman et.al, 1990)
2.14. Perbaikan Kualitas Pelayanan dengan Diagram Kartesius Dalam rangka perbaikan terhadap kualitas pelayanan, salah satu cara untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang perlu diprioritaskan untuk dibenahi adalah dengan menggunakan analisis tingkat kepentingan-perfomansi/kesenjangan (Kotler, 2002). Pada analisis tingkat kepentingan-perfomansi/kesenjangan, dilakukan pemetaan menjadi empat kuadran untuk seluruh variabel yang mempengaruhi kualitas pelayanan. Pemetaan variabel-variabel pada penelitian ini terbagi kedalam dua macam, yakni untuk gap 5 dan untuk gap 1.
Pembagian kuadran dalam peta tingkat kepentingan kesenjangan dapat dilihat pada Gambar 2.4 sebagai berikut :
Gambar 2.4. Peta Tingkat kepentingan-Performansi (Kotler,2002)
Variabel-variabel yang termasuk ke dalam kuadran A mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap kualitas pelayanan, sehingga perlu adanya perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan untuk setiap variabel dalam kuadran A tersebut. Hal ini karena variabel tersebut mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi, namun performansinya masih belum memuaskan.
Variabel-variabel dalam kuadran B mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi dengan perfomansi yang juga memuaskan. Oleh sebab itu, yang perlu dilakukan oleh pihak penyedia jasa adalah mempertahankan kualitas pelayanan yang menyangkut variabel-variabel dalam kuadran B tersebut. Variabel-variabel dalam kuadran C mempunyai tingkat kepentingan yang rendah dengan performansi yang belum memuaskan. Oleh sebab itu, variabel-variabel di dalam kuadran ini mempunyai prioritas yang rendah untuk usaha-usaha perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan. Variabel-variabel dalam kuadran D mempunyai tingkat kepentingan yang rendah namun dengan performansi yang memuaskan. Oleh sebab itu, usaha yang dapat dilakukan oleh pihak penyedia jasa adalah pengurangan penekanan usaha perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan.
Cara lain yang dapat digunakan adalah pembuatan fishbone diagram atau yang disebut juga dengan cause-effect diagram. Diagram ini menunjukkan kumpulan dari kelompok sebab-sebab yang disebut dengan faktor dan akibat yang timbul karenanya. Dengan demikian. fishbone diagram ini berguna untuk menemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab suatu masalah, dalam hal ini adalah performansi kualitas pelayanan.
Untuk mempermudah menemukan faktor penyebab, pada umumnya faktor-faktor tersebut dikelompokkan dalam 5 faktor utama yakni man, machine, material, methode, dan environliment. Bentuk fishbone diagram dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Fishbone Diagram
2.15. Perancangan Penelitian Untuk menghasilkan penelitian yang baik, peneliti harus mengetahui aturanaturan penelitian dan mempunyai ketrampilan dalam melaksanakan penelitian. Oleh sebab itu, diperlukan desain penelitian yang sesuai dengan kondisi dan kedalaman penelitian yang ingin dilakukan. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan dan menganalisis data agar sesuai dengan tujuan penelitian.
Macam-macam desain penelitian ditinjau dan bentuknya adalah : 1.
Desain Survei Suatu penelitian survei ditujukan untuk mengumpulkan informasi tentang orang atau sesuatu yang jumlahnya besar dengan mengamati secara langsung sejumlah kecil dari populasi. Di dalam survei biasanya informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner, tetapi dapat juga digunakan teknik wawancara, observasi langsung, ataupun gabungan ketiganya. Survei dapat digunakan dalam tipe penelitian eksploratif dan deskiptif. Mutu dari survei tergantung pada : • Ukuran sampel yang digunakan. • Taraf sampai mana sampel tersebut dapat mewakili populasi. • Tingkat kepercayaan dari sampel.
2.
Desain Studi Kasus Studi kasus adalah penelitian tentang suatu obyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik dari suatu personalitas. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat, serta karakter-karakter yang khas dari suatu kasus.
3.
Desain Eksperimen Dalam suatu eksperimen, akan diteliti mengenai pengaruh suatu variabel terhadap suatu kelompok dalam kondisi yang terkendali secara ketat. Dalan desain eksperimen terdapat kelompok yang disebut kelompok eksperimen (kelompok yang sengaja dipengaruhi oleh variabel-variabel tertentu). Disamping itu juga ada kelompok kendali. (kelompok yang tidak dipengaruhi oleh variabel-variabel tertentu tersebut). Adanya kelompok kendali dimaksudkan sebagai pembanding sampai sejauh mana varaiabel-variabel eksperimen tersebut menyebabkan suatu perubahan.
2.16. Skala Pengukuran Pengukuran tidaklain adalah penunjukan angka-angka pada suatu variabel. Prosedur pengukuran dan pemberian angka tersebut diinginkan bersifat isomorfik terhadap realita, artinnya ada persamaan dengan realita. Tingkat ukuran yang
diberikan kepada konsep yang diamati tergantung pada aturan yang digunakan. Aturan ini perlu diketahui oleh seorang peneliti agar dapat memberikan nilai yang sesuai untuk konsep yang diamati. Skala pengukuran yang dikenal dalam dunia penelitian pertama kali dikembangkan oleh S.S. Stevans pada tahun 1946, yakni nominal, ordinal, interval, dan rasio. 1.
Skala Nominal Skala nominal merupakan skala yang paling sederhana. Di dalam skala ini, tidak ada asumsi tentang jarak maupun urutan antara kategori-kategori dalam skala. Dasar penggolongan hanyalah kategori mutually exclusive dan mutually exhaustive. Angka-angka yang digunakan dalam suatu kategori tidak merefleksikan bagaimana kedudukan kategori tersebut terhadap kategori yang lainnya, tetapi hanya sekedar label. Dengan skala nominal ini, peneliti dapat mengelompokkan respondennya ke dalam dua kategori atau lebih berdasarkan variabel tertentu.
2.
Skala Ordinal Skala ordinal mengurutkan responden dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan yang paling tinggi. Menurut suatu atribut tertentu tanpa ada petunjuk yang jelas mengenai berapa jumlah absolut atribut yang dimiliki oleh masing-masing responden satu dengan yang lainnya. Skala ini banyak digunakan dalam penelitian sosial terutama untuk mengukur kepentingan, sikap atau persepsi. Melalui skala ordinal, peneliti dapat membagi respondennya ke dalam urutan ranking atas dasar sikapnya pada obyek atau tindakan tertentu.
3.
Skala Interval Skala interval mengurutkan suatu obyek berdasarkan suatu atribut. Selain itu, skala interval juga memberikan informasi tentang interval antara suatu obyek dengan obyek lain. Interval atau jarak yang sama pada skala ini dipandang sebagai mewakili interval atau jarak yang sama pula dengan obyek yang diukur. Skala dan indeks sikap biasanya menghasilkan ukuran yang interval. Oleh sebab ukuran ini merupakan salah satu skala yang paling sering digunakan
dalam penelitian sosial. 4.
Skala Rasio Skala rasio diperoleh jika selain informasi tentang urutan dan interval antara obyek penelitian, juga dapat diketahui jumlah absolut yang dimiliki oleh salah satu obyek tersebut. Jadi, skala rasio adalah suatu bentuk interval yang jaraknya tidak dinyatakan dalam perbedaan dengan angka rata-rata suatu kelompok tetapi dengan titik nol. Karena adanya titik nol, maka perbandingan rasio dapat dilakukan. Skala rasio juga cukup banyak digunakan dalam penelitian ekonomi maupun penelitian sosial
2.17. Pengembangangan Skala Pengukuran Saat ini, skala yang sering digunakan dalam riset bisnis adalah skala rating (rating scales) dan skala sikap (attitude scales). 1.
Skala rating (rating scale) Skala rating yang sering digunakan adalah graphic rating scale dan itemized rating scale. Contoh graphic rating scale
Contoh Itemized rating scale :
2.
Skala Sikap (Attitudinal Scales) Skala rating yang sering digunakan adalah skala Likert dan semantic differential scalesContoh skala Likert :
2.18.
Konsep Sampling
Pada penelitian dengan metode survei, peneliti tidak harus meneliti semua individu yang terdapat dalam suatu populasi. Hal ini dikarenakan alasan ketidak praktisan, yaitu akan memakan waktu yang lama, biaya yang besar, dan keterbatasan sumber daya. Oleh sebab itu, peneliti dapat hanya meneliti sebagian dari populasi, yakni berupa sampel yang dapat mewakili dan menggambarkan sifat populasi yang diinginkan secara keseluruhan. Tindakan ini disebut dengan sampling. Agar tujuan dan sampling dapat mencapai sasarannya, maka terdapat beberapa sifat-sifat yang harus dipenuhi dalam melakukan sampling, yaitu : 1.
Dapat menghasilkan gambaran yang dapat dipercaya dari seluruh populasi yang diteliti.
2.
Dapat menentukan presisi dari hasil penelitian dengan menentukan simpangan baku atau standar deviasi dari taksiran yang diperoleh.
3.
Mudah dilaksanakan.
4.
Dapat memberikan keterangan sebanyak mungkin dengan biaya yang serendah-rendahnya.
2.18.1. Definisi-Definisi Dalam Sampling Untuk memahami konsep sampling, terlebih dahulu harus dipahami pengertian dari istilah-istilah pokok yang banyak digunakan dalam melakukan sampling yakni populasi, elemen, kerangka populasi, sampel, subjek, parameter, estimate, sampling error, non-sampling error, akurasi dan tingkat kepercayaan.
1)
Populasi Populasi mengacu pada keseluruhan kelompok orang, peristiwa, atau halhal yang ingin diteliti. Pendefinisan populasi ditentukan oleh tujuan penelitian yang diinginkan. Populasi yang akan diteliti harus didefinisikan dengan jelas sebelum melakukan penelitian.
2)
Elemen Elemen adalah sebuah anggota tunggal atau unsur individu dari populasi.
3)
Kerangka Populasi Kerangka populasi adalah sebuah daftar yang berisikan semua elemen dari sebuah populasi. Kerangka populasi berkaitan erat dengan definisi populasi yang digunakan dalam suatu penelitian.
4)
Sampel Sampel adalah himpunan bagian dari populasi. Sampel terdiri dari beberapa anggota yang dipilih dari populasi yang bersangkutan. Dengan kata lain, beberapa tetapi tidak semua elemen akan membentuk sampel dari populasi yang bersangkutan. Dengan mempelajari sampel, peneliti diharapkan
dapat
mengambil
suatu
kesimpulan
yang
dapat
digeneralisasikan mengenai keseluruhan elemen populasi. 5)
Subjek Subjek adalah sebuah anggota sampel, sebagaimana elemen dalam sebuah anggota populasi.
6)
Parameter Parameter adalah karakteristik populasi yang ingin diteliti dalam suatu penelitian. Nilai parameter yang sebenarnya tidak dapat diketahui karena besaran ini hanya dapat diketahui jika semua unsur populasi diteliti.
7)
Estimate Estimate adalah pengukuran atau statistik yang dihasilkan dari penelitian terhadap sampel yang diambil dari populasi.
8)
Sampling error Sampling eror adalah kesalahan yang ditimbulkan karena sampel yang dipilih bukan merupakan representasi yang baik dari populasi. Hal ini
dikarenakan peneliti hanya meneliti sebagian dari populasi dan berusaha mengeneralisasikan hasil penelitian dari sampel ke populasi, sehingga sampling error muncul dalam suatu penelitian yang menggunakan teknik sampling dalam mengumpulkan data-datanya. 9)
Non-sampling error Non-sampling error adalah kesalahan yang disebabkan oleh sumber infomasi. Non-sampling error ini terdiri dari : •
Response error Response error adalah kesalahan yang disebabkan karena responden memberikan jawaban yang tidak akurat, jawaban responden yang dicatat keliru, atau jawaban yang dianalisis keliru.
•
Non-response error Non-response error adalah kesalahan yang disebabkan karena adanya beberapa responden yang masuk ke dalam sampel tetapi tidak dapat merespon penelitian karena mereka menolak atau sedang tidak ada di tempat.
10) Akurasi Akurasi mencerminkan seberapa dekat estimasi yang diperoleh penetiti dari sampel terhadap nilai parameter yang sebenarnya. 11) Tingkat kepercayaan Tingkat kepercayaan berkaitan dengan seberapa besar tingkat keyakinan peneliti bahwa estimasi yang diperoleh dari analisis sampel dekat dengan nilai parameter yang sebenarnya.
2.18.2. Kerangka Sampling Agar penelitian dapat dilakukan dengan efektif dan efsien, populasi yang akan diambil sampelnya harus ditentukan terlebih dahulu baik definisi populasi maupun batasannya dengan teliti. Hubungan antara populasi, sampel, dan proses sampling dapat dilihat pada gambar 2.6 sebagai berikut :
X, S
µ, σ
Gambar 2.6 Hubungan antara populasi, sampel dan proses sampling
Menurut Tjin (2002), terdapat lima kriteria yang dapat digunakan untuk menilai kerangka sampling, yaitu 1.
Kecukupan.
2.
Kelengkapan.
3.
Tidak ada reptikasi.
4.
Ketelitian.
5.
Kenyamanan.
2.18.3 Teknik-Teknik Sampling Teknik-teknik sampling dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yakni probability sampling dan non-probability sampling. Perbedaan kedua kelompok tersbut terletak pada peluang elemen populasi untuk dipilih menjadi subjek dalam sampel. 2.18.4. Probability, Sampling Pada probability sampling, tiap elemen populasi mempunyai kesempatan atau probabilitas yang diketahui untuk dipilih sebagai subjek dalam sampel. Teknik probability sampling ini meliputi simple random sampling, systematic sampling, stratified random sampling, cluster sampling, area sampling, dan double sampling (Tjin. 2002).
1.
Simple Random Sampling Simple random sampling digunakan jika tiap elemen populasi mempunyai peluang yang sama untuk terpilih menjadi subjek dalam sampel Sebagai contoh, misalnya suatu populasi terdiri dari 10.000 elemen dan peneliti
ingin mengambil 100 subjek untuk menjadi sampel, maka tiap elemen akan mempuyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi subjek sampel sebesar 0,01. Teknik ini mempunyai bias terkecil dan menawarkan generalisasi yang paling baik, namun, desain untuk teknik sampling ini paling sulit dilakukan, sehingga dalam prakteknya banyak peneliti yang menggunakan teknik lain. 2.
Systematic Sampling Systemalic sampling dilakukan dengan cara mengambil elemen populasi ke-n, yang dimulai pada elemen yang dipilih secara acak dari 1 sampai n. Teknik ini mempunyai resiko akan terjadinya systematic bias. yaitu bias pada kesimpulan generalisasi populasi karena bias terletak pada posisi elemen kelipatan ke-n.
3.
Stratified Random Sampling Stratified random sampling dipilih jika terdapat subgrup-subgrup elemen yang mempunyai parameter subgrup yang berbeda-beda. Teknik ini diawali dengan menyusun stratifikasi kelompok elemen lalu memilih elemen dari tiap stratum secara acak. Teknik stratified random sampling dapat dibedakan menjadi dua jenis : a.
Proportionate Yaitu persentase jumlah sampel dalam tiap stratum adalah sama dengan proporsi ukuran stratum bersangkutan terhadap populasi.
b.
Disproportionate Yaitu persentase jumlah sampel dalam tiap stratum adalah tidak sama dengan proporsi ukuran stratum yang bersangkutan terhadap populasi. Teknik ini dilakukan jika pada stratum tertentu sangat sulit dikumpulkan data yang lebih banyak, atau pada stratum tertentu, tingkat heterogenitasnya berbeda dengan stratum yang lain.
4.
Cluster Sampling Cluster sampling merupakan kebalikan dari stratified random sampling. Teknik ini dipilih jika terdapat asumsi bahwa sifat elemen dalam satu cluster tertentu cenderung homogen sedangkan pada cluster yang lain cenderung heterogen. Cluster sampling mula-mula dilakukan dengan
membagi populasi ke dalam beberapa cluster kemudian memilih cluster secara acak, dan selanjutnya menganalisis semua subjek dalam cluster tersebut. 5.
Area Sampling Area sampling dilakukan jika penelitian yang dilakukan berkaitan dengan populasi
berada
dalam
wilayah-wilayah
geografis
yang
dapat
diidentifikasikan dengan jelas. 6.
Double Sampling Double sampling dilakukan dengan mengambil sejumlah elemen populasi sebagai subjek pendahuluan, selanjutnya dikemudian waktu, sebagian dari sampel pendahuluan ini diteliti kembali secara rinci.
2.18.5. Non-Probability Sampling Pada non-probability sampling, peluang atau probabilitas elemen populasi untuk dipilih menjadi subjek sampel tidak diketahui. Teknik non probability. sampling ini meliputi convenience sampling, judgement sampling, quota sampling. 1.
Convenience Sampling Convenience sampling dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari populasi yang dapat dengan mudah menyediakan informasi tersebut. Yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.
2.
Judgement Sampling Judgement sampling dilakukan dengan memilih subjek yang berada paling tepat untuk memberikan informasi yang diinginkan.
3.
Quota Sampling Quota sampling mirip dengan proportionate stratified sampling. Namun, dalam teknik ini pengambilan sampel tidak dilakukan dengan random, melainkan didasarkan atas kemudahan saja. Jumlah sampel ditentukan dalam batas-batas (kuota) tertentu.
2.18.6. Penentuan Jumlah Sampel Pada dasarnya tidak terdapat satu pedoman yang pasti dalam menentukan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian. Pedoman penentuan jumlah sampel ini tergantung pada metode analisis yang ingin digunakan oleh peneliti. Berikut ini beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman untuk menentukan besarnya ukuran sampel (Sekaran, 1992) : 1.
Sebagian besar penelitian memerlukan sampel yang berukuran antara 30 sampai dengan 500.
2.
Pada saat sampel dibagi ke dalam beberapa subsampel (perempuan/lakilaki, anakanak/remaja/dewasa, dan lain-lain), diperlukan ukuran sampel minimum 30 untuk masing-masing subsampel.
3.
Untuk penelitian yang metibatkan analisis multivriat, ukuran sampel biasanya tidak kurang dari lima kali jumlah variabel penelitian.
4.
Untuk penelitian eksperimen sederhana dengan kontrol eksperimen yang ketat, jumlah sampel sebanyak 10 sampai dengan 20 dapat mencukupi.
Penelitian ini berkaitan dengan estimasi rataan populasi sehingga parameter yang dianalisis adalah rata-rata populasi. bahwa dalam estimasi rataan populasi, diketahui bahwa rataan sampel merupakan estimator yang paling baik untuk mengestimasi rataan populasi dan rataan sampel berdistribusi normal sesuai dengan Teorema Limit Sentral (Central Limit Theorem).
Berikut ini diberikan tabel penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu yang dikembangkan dari Isaac dan Michael, untuk tingkat kesalahan 1%, 5%, dan 10%. Tabel yang digunakan dapat dilihat pada lampiran E.
2.18.6.1. Penentuan Jumlah Sampel Untuk Estimasi Rata-Rata Populasi Dengan Teknik Probability Sampling Untuk menentukan ukuran sampel yang dibutuhkan dalam mengestimasi rataan populasi (n) dengan menggunakan teknik probabiltty sampling, dapat dijelaskan sebagai berikut :
Jika peneliti menentukan bahwa error yang masih diterima untuk mengestimasi rata-rata populasi dalam selang (1-α) dalah E, rataan sampel adalah X , standar deviasi populasi diketahui atau diestimasi sebesar σ, dan besar unit standar error yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan yang diinginkan adalah Z, maka :
n=
Z1−(
2 2
)
* π * (1 - π ) e2
Jika standar deviasi populasi tidak diketahui tetapi standar deviasi sampel (S) diketahui, maka dapat digunakan persamaan :
n=
2
t
* S2
2
E2
Dengan α
= Tingkat ketelitian
t
= Nilai yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan yang diinginkan
E
= Besarnya error yang masih diterima peneliti untuk mengestimasi rataan populasi dalam selang (1-α)
2.18.6.2. Penetuan Jumlah Sampel Untuk Estimasi Rata-Rata Populasi Dengan Teknik Non-Probability Sampling Tjin (2002) menyatakan bahwa pendekatan penentuan ukuran sampel dengan menggunakan teknik non-probability sampling berbeda dibandingkan dengan teknik probability sampling. Salah satu caranya adalah dengan menentukan seberapa besar ukuran sampel yang masih dapat dikumpulkan oleh peneliti. Cara yang lain adalah dengan menghitung ukuran sampel yang dibutuhkan bila diasumsikan penelitian menggunakan teknik simple random sampling. Besar ukuran yang didapat hanya dapat dijadikan sebagai panduan untuk menentukan jumlah sampel.
2.19. Desain Kuesioner Kuesioner adalah satu set pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada responden, dan responden me-record jawaban yang diberikan pada kuesioner tersebut. Kuesioner merupakan mekanisme pengumpulan data yang efisien ketika peneliti
mengetahui secara pasti kebutuhan apa yang diharapkan dan bagaimana mengukur variabel yang diteliti.
2.19.1. Pertimbangan Awal Penyusunan Kuesioner Dalam menyusun kuesioner, seorang peneliti harus merancang kuesioner yang konsisten dengan pengetahuan, minat dan tingkat intelektualitas responden potensial. Berikut tiga faktor yang harus diperhatikan oleh peneliti dalam menyusun kuesioner agar peneliti yang bersangkutan tidak mengalami kegagalan (Tjin, 2002): 1.
Karakteristik informasi yang ingin diketahui.
2.
Metode penyebaran kuesioner.
3.
Karakteristik responden yang diharapkan dapat memberikan informasi yang dimaksud.
Hubungan ketiga faktor tersebut dapat dilihat pada gambar 2.7. berikut ini :
Gambar 2.7. Hubungan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan awal dalam pembuatan kuesioner
2.19.2. Jenis-Jenis Kuesioner Secara umum, kuesioner dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dan kelangsungan. Struktur mengacu pada tingkat standarisasi atau tingkat formalisasi pertanyaan dan jawaban yang diberikan. Sedangkan kelangsungan mengacu pada tingkat kesadaran atau kewaspadaan responden akan maksud dan pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Berdasarkan kedua hal tersebut, maka terdapat empat jenis kuesioner, yaitu:
1.
Kuesioner terstruktur dan langsung Umumnya kuesioner yang disusun dalam riset pemasaran mempunyai bentuk terstruktur dan tujuan yang jelas bagi respondennya. Alternatif jawaban responden telah disusun sedemikian rupa sehingga responden hanya perlu memberi tanda pada tempat yang sesuai dengan jawabannya. Data yang terkumpul dengan kuesioner jenis ini lebih mudah untuk disimpan, ditabulasikan, dan dianalisis karena bentuknya yang standar, terstruktur dan jawaban yang diberikan sifatnya jelas. Kuesioner terstruktur dan langsung ini cocok jika peneliti bermaksud untuk mendapat informasi yang faktual dan langsung.
2.
Kuesioner tidak terstruktur dan langsung Pada umumnya, kuesioner yang tidak terstruktur dan langsung terdiri atas pertanyaan-pertanyaan terbuka yang terarah pada topik penelitian, namun memberikan kebebasan kepada responden untuk menjawab sesuai dengan maksudnya. Peneliti tidak memberikan alternatif jawaban kepada responden sehingga kemungkinan alternatif jawaban sangat banyak dan responden diberikan kebebasan untuk memberikan jawabannya.
3.
Kuesioner terstruktur dan tidak langsung Kusioner jenis ini merupakan kuesioner yang cocok diberikan kepada responden yang umumnya cenderung untuk tidak bersedia memberikan jawaban yang benar karena mereka curiga terhadap maksud pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Oleh sebab itu, peneliti harus berusaha mendapat informasi yang sama dengan menggunakan pertanyaan terselubung (tidak langsung).
4.
Kuesioner tidak terstruktur dan tidak langsung Kuesioner jenis ini tidak dapat diterapkan dalam situasi riset pemasaran dan karenanya tidak akan dibahas lebih lanjut.
2.19.3. Pengembangan kuesioner Dalam penyusunan kuesioner, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : isi pertanyaan, tipe pertanyaan, kalimat pertanyaan, sensitivitas pertanyaan, urutan pertanyaan, dan tampilan dari kuesioner.
1.
Isi pertanyaan Untuk mengevaluasi berbagai alternatif pertanyaan yang akan disusun dalam kuesioner, seorang peneliti harus memperhatikan hal-hal berikut: •
Apakah pertanyaan tersebut perlu untuk ditanyakan ?
•
Apakah responden bersedia dan dapat memberikan data yang ditanyakan.
•
Apakah pertanyaan tersebut cukup jelas dan mencakup aspek yang ingin diketahui?
2.
Tipe pertanyaan Tjin (2002) menyatakan bahwa ada tiga tipe pertanyaan yang dapat digunakan dalain membuat kuesioner, yaitu : open-ended, multiple choices, dan dichotomous. •
Open-ended Pada tipe pertanyaan open-ended, tidak terdapat alternatif jawaban. Tipe ini memberikan keleluasaan kepada responden untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri dan menggunakan pendapat dengan cara yang dipandangnya sesuai dengan pertanyaan yang diajukan kepadanya. Kelebihan dan kekurangan kuesioner tipe ini dapat dilihat pada tabel 2.3. sebagai berikut: Tabel 2.3. Kelebihan dan kekurangan kuesioner tipe open-ended
Kelebihan Kuesioner Open-Ended (1) Responden bebas, tidak terikat jawaban.
Kekurangan Kuesioner Open-Ended (1) Pengolahan data sulit.
(2) Jawaban dapat membuka obyek penelitian (2) Pengisian kuesioner akan memakan banyak seluas-luasnya waktu. (3) Harapan dikembalikan kecil. (4) Perbedaan kemampuan responden dalam menuangkan pikiran secara tertulis akan mempengaruhi hasil penelitian.
•
Multiple choices Tipe pertanyaan multiple choices menyajikan pertanyaan kepada responden dan memberikan sekumpulan alternatif yang sifatnya mutually exclusive (hanya satu alternatif yang dapat dipilih) dan mutually exhaustive (kumpulan alternatif yang diberikan sudah
mencakup semua kemungkinan alternatif yang ada). Selanjutnya responden memilih satu dari kumpulan alternatif tersebut yang menurutnya sesuai dengan responnya pada pertanyaan yang diajukan. Kelebihan dan kekurangan kuesioner ini dapat dilihat pada tabel 2.4. Tabel 2.4. Kelebihan dan kekurangan kuesioner tipe multiple choice (tertutup)
Kelebihan Kuesioner Tertutup
Kekurangan Kuesiouer Tertutup
(1) Responden tidak perlu menulis. Pengisian tidak (1) Responden tidak diberi kebebasan perlu memerlukan banyak waktu jawab di luar pilihan jawaban. (2) Harapan dikembalikan Icbih bcsar.
(2) Piihan jawaban belum tentu lengkap.
(3) Pengolahan data lebih mudah.
(3) Tidak membuka obyek penelilian seluas-luasnya.
•
Dichotomous Tipe pertanyaan dichotomous sama dengan multiple choices, tapi hanya mempunyai dua altematif yang di antaranya harus dipilih salali satu saja. Umumnya yang paling banyak digunakan adalah alternatif berupa "ya" atau "tidak" dan "benar" atau salah". Selain itu, juga terdapat tipe kuesioner kombinasi antara open-ended dengan multiple choices. Pada kuesioner kombinasi, untuk setiap pertanyaan selain disediakan alternatif jawaban, responden juga diberikan kesempatan menjawab secara bebas.
3.
Kalimat pertanyaan Tjin (2002) menyatakan bahwa dalam memformulasikan pertanyaan dalam kuesioner, peneliti harus memastikan bahwa kalimat penyusun pertanyaan tersebut memenuhi kriteria berikut : •
Dapat dipahami dengan jelas oleh responden.
•
Dinyatakan dalam kosakata dan pola pikir yang sama di antara peneliti dan responden.
• 4.
Tidak mempengaruhi jawaban yang diberikan oleh responden.
Sensitivitas pertanyaan Beberapa topik penelitian yang berkakitan dengan pendapatan, umur, catatan kejahatan, kecelakaan dan topik sensitif lainnya cenderung mempunyai bias respon pada responden yang diteliti. Oleh sebab itu,
bentuk dan penyusunan kalimat pertanyaan harus dirancang dengan benar agar dapat mengungkapkan jawaban yang sebenamya. 5.
Urutan pertanyaan Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner harus disusun dalam urutan yang logis dan jelas agar responden dapat dengan mudah mengikuti alur pertanyaan dan peneliti dapat merekapitulasi hasil dengan cepat.
6.
Tampilan kuesioner Untuk kuesioner yang dikirim melalui surat/pos, ataupun kuesioner yang diisi oleh responden di rumahnya masing-masing, tampilan kuesioner memegang peranan yang cukup penting. Kuesioner yang kelihatannya panjang dan mempunyai kalimat yang banyak akan cenderung untuk diabaikan oleh responden. Oleh sebab itu, bila dimungkinkan. pertanyaan harus disusun seminimal mungkin dengan kalimat-kalimat yang mudah dan sederhana.
2.19.4. Uji Coba Kuesioner Apabila kuesioner telah selesai dibuat, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji coba terhadap kuesioner tersebut. Hal ini bertujuan untuk melihat apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam kuesioner tersebut. Kehadiran peneliti pada saat responden bertanya tentang isi kuesioner dan mengisinya akan memberikan masukan yang berharga untuk peneliti. Dengan demikian, peneliti mempunyai kesempatan
untuk
memperbaiki
kuesioner
agar
pada
saat
disebarluaskan kuesioner tersebut dapat dipahami dengan baik dan jelas oleh responden.
2.20. Uji Validitas Kuesioner Tjin (2002) menyatakan bahwa validitas menentukan sampai seberapa baik suatu alat ukur yang dikembangkan mampu mengukur suatu konsep tertentu yang akan diukur. Validitas dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu : 1.
Content Validity (Validitas Isi) Content validity berkaitan dengan pengujian apakah alat ukur terdiri dari set item yang mencukupi dan representatif untuk mengukur semua aspek
kerangka konsep yang dimaksud dalam teori-teori yang ada. Jenis validitas ini adalah satu-satunya validitas yang menggunakan pembuktian logika dan bukan secara statistik. Content validity yang paling dasar adalah face validity (validitas rupa). Face validity hanya menunjukkan bahwa dari segi rupa, alat ukur yang digunakan tampaknya mengukur yang ingin diukur. 2.
Criterion-Related Validity Criterion-related validity berkaitan dengan hubungan hasil suatu alat ukur dengan kriteria yang telah ditentukan. Validitas ini terdiri dari dua jenis, yakni: •
Concurrent Validity (Validitas Simultan) Concurrent validity berkaitan dengan pengujian apakah terdapat kesesuaian antara hasil alat ukur tentang perilaku objek penelitian dengan perilakunya yang terjadi di masa sekarang.
•
Predictive Validity (Validitas Prediktif) Validitas prediktif berkaitan dengan pengujian apakah terdapat kesesuaian antara hasil prediksi tentang perilaku objek penelitian dengan perilakunya yang nyata terjadi di masa depan.
•
Construct Validity (Validitas Konstruk) Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep. Validitas konstruk berkaitan dengan pengujian apakah alat ukur tersebut benar-benar mengukur objek sesuai dengan kerangka konsep objek yang bersangkutan. Analisis validitas konstruk kuesioner dilakukan dengan mengevaluasi korelasi yang terjadi antara jawaban-jawaban tiap aspek yang menyusun konstruk suatu kuesioner sesuai dengan tujuan kuesioner. Kemudian nilai korelasi dibandingkan dengan angka kritis yang terdapat dalam tabel korelasi nilai r. Jika nilai korelasi lebih besar atau sama dengan nilai r, maka kuesioner yang disusun memiliki validitas konstruk. Construct validity terdiri dari dua jenis, yaitu : o Convergent Validity (Validitas Konvergen) Validitas ini berkaitan dengan apakah hasil yang diperoleh dari dua alat ukur yang berbeda yang mengukur konsep yang sama
berkorelasi tinggi. Jika korelasinya tinggi dan signifikan, maka alat ukur tersebut valid. o Discriminant Validity (Validitas Diskriminan) Validitas ini berkaitan dengan apakah berdasarkan dengan teori yang ada, dua variabel yang diprediksikan tidak berkorelasi, dan hasil yang diperoleh secara empiris membuktikannya.
Peningkatan construct validity dapat dipandang sebagai konsep yang menyatukan semua bukti adanya validitas untuk semua tipe validitas. Selanjutnya menambahkan jenis validitas untuk sebuah alat ukur dengan culture validity (validitas budaya). Alat ukur yang berhasil valid di suatu tempat belum tentu valid untuk digunakan di tempat lain yang budayanya berbeda. Oleh sebab itu, dalam penyusunan alat ukur atau kuesioner perlu dipertimbangkan aspek budaya penduduk setempat yang akan dijadikan responden.
2.21. Uji Reliabilitas Kuesioner Reliabilitas adalah tingkat kepercayaan hasil suatu pengukuran, yang mengindikasikan stabilitas dan kekonsistennan alat ukur. Pengukuran yang mempunyai reliabilitas tinggi mempunyai arti bahwa pengukuran mampu memberikan hasil ukur yang konsisten (reliable) dan dapat memberikan hasil yang relatif sama jika pengukuran dilakukan lebih dari satu kali pada waktu yang berbeda.
Reliabilitas merupakan salah satu ciri atau karakter utama instrumen pengukuran yang baik. Reliabilitas memberikan gambaran sejauh mana suatu pengukuran dapat dipercaya, dalam arti sejauh mana skor hasil pengukuran terbebas dari kesalahan pengukuran (measurement error). Tinggi rendahnya reliabilitas secara empiris ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Secara teoritis, besarnya koefisien reliabilitas berkisar antara 0 - 1,00. Besarnya keofisen reliabilitas minimal yang harus dipenuhi oleh suatu alat ukur adalah 0,70 (Kaplan dan Saccuzzo, 1993). Di
samping itu, walaupun koefisien korelasi dapat bertanda positif maupun negatif, namun dalam hal reliabilitas, koefisien yang besarnya kurang dari nol tidak mempunyai arti apa-apa karena interpretasi reliabilitas selalu mengacu pada koefisien yang positif.
Koefisien reliabilitas adalah suatu indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya. Bila terdapat suatu alat ukur yang digunakan dua kali untuk mengukur sesuatu yang sama dan hasil kedua pengukuran adalah sama, maka alat pengukur tersebut reliabel. Berikut ini adalah beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur reliabilitas alat ukur.
2.21.1. Test-Retest Reability Mengukur reliabilitas alat ukur, sampel yang sama diukur dua kali, yaitu pada saat yang pertama (test) dan pada saat yang kedua (relesi) dengan menggunakan alat ukur yang sama dengan waktu antara pengukuran yang tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu jauh. Tjin (2002) menyatakan bahwa selang waktu antar pengukuran sebaiknya antara 15-30 hari.
Kelemahan metode ini adalah bahwa responden bisa saja sudah mempunyai keterampilan yang lebih baik pada saat tes kedua, karena mereka sudah bisa, responden mungkin masih ingat jawaban yang di berikan pada tes yang pertama.
2.21.2. Pararel Form Reliability / Equivalent Form Relibillity Metode ini merupakan perhitungan reliabilitas yang digunakan untuk mengevaluasi error yang berkaitan dengan penggunaan item-item tertentu. Jadi, metode parareI form reliability digunakan untuk membandingkan dua buah alat ukur yang ekivalen. yakni dua bentuk alat ukur yang dikonstruksi berdasarkan aturanaturan yang sama tetapi mempunyai item-item yang berbeda. Metode pararel form reliability dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : 1.
Menggunakan satu obyek Dalam pengujian digunakan dua alat ukur untuk mengukur dua obyek yang dianggap tidak berubah. Jika kedua alat ukur menunjukkan hasil
yang tidak berbeda, maka alat ukur yang diuji tersebut reliabel. 2.
Menggunakan dua obyek Dalam pengujian ini, satu alat ukur digunakan untuk mengukur (secara berurutan) dua obyek yang dianggap sama dan jika hasilnya konsisten, maka alat tersebut reliabel.
Metode pararel form reliability mempunyai kelemahan, yakni adanya kesulitan dalam mengembangkan dua bentuk alat ukur yang ekivalen.
2.21.3. Internal Consistency Metode internal consistency diterapkan untuk suatu alat ukur tunggal. Teknikteknik yang dapat dipakai adalah KR 20 dan KR 21, Alpha Cronbach, dan metode split-half :
2.21.3.1 KR 20 dan KR 21 Metode KR 20 dan KR 21 dikembangkan oleh. KR 20 digunakan untuk menghitung reliabilitas suatu alat ukur yang mempunyai item-item dikotomus yang bernilai 0 dan 1 (misalnya benar/salah atau ya/tidak). Persamaan yang digunakan pada metode KR 20 ini adalah : 2 N S ∑ pq KR 20 = R = N − 1 S 2
Dengan : KR 20 = R - koefisien reliabilitas KR 20 N
= Jumlah item dalam alat ukur
S2
= Variansi nilai keseluruhan
p
= Proporsi mendapatkan nilai benar untuk setiap item
q
= Proporsi mendapatkan nilai salah untuk setiap item pq
= Jumlah hasil kali p dan q untuk setiap item
Pada metode KR 21, persamaan yang digunakan merupakan persamaan yang dirancang untuk tidak membutuhkan perhitungan p dan q untuk setiap item. Namun, prosedur penggunaannya didasarkan atas beberapa asumsi, antara lain adalah bahwa semua item harus mempunyai tingkat kesulitan yang sama, atau
mempunyai rata-rata tingkat kesulitan sebesar 50%. Persamaan KR 21 adalah sebagai berikut : KR 21 = R =
(
N X 1− X / N 1 − N − 1 S2
)
Dengan : KR 2 1 = R = Koefisien reliabilitas KR 2 1 N
= Jumlah item dalam alat ukur
S2
= Variansi nilai keseluruhan
X
= Rata-rata nilai keseluruhan
2.21.3.2. Alpha Cronbach Metode ini dikembangkan oleh Cronbach. Koefisien Alpha Cronbach merupakan koefisien yang paling umum digunakan untuk mengevaluasi internal consistency. Metode ini dikembangkan karena persamaan untuk KR 20 tidak dapat digunakan untuk menghitung reliabilitas suatu alat ukur yang tidak mempunyai item-item dikotomus. Alpha Cronbach dapat diinterpretasikan sebagai korelasi antara pengujian atau skala tersebut dengan pengujian atau skala yang mempunyai jumlah item yang sama. Oleh karena diiterpretasikan sebagai koefisien korelasi, maka nilainya berkisar antara 0 - 1 (nilai
yang negatif dapat terjadi bila item-
item tidak berkorelasi positif dan model reliabilitas dilanggar). Rumus untuk menghitung besarnya koefisien Alpha Cronbach adalah sebagai berikut :
k α =α (k − 1) Si 2 =
∑ Si 2 1− 2 ∑ St
Jki Jks − 2 n n
Xt (∑ Xt ) =∑ −
2
2
St
2
n
n2
Keterangan : k
= Mean kuadrat subjek
∑ Si
2
∑ St
2
= Mean kuadrat kesalahan = Variansi total
Jki
= Jumlah kuadran keseluruhan skor item
Jks
= Jumlah kuadran subjek
Jika seluruh item distandardisasi sehingga memiliki variansi yang sama, maka rumus yang digunakan dapat disederhanakan menjadi : α=
kr 1 + (k − 1)r
Dengan :
r
= Korelasi rata-rata antar item.
2.21.3.3. Split-half Method (Spearman-Brown Correction) Metode split-half membagi hasil alat ukur menjadi dua bagian yang sama besar dan kemudian hasil dari bagian pertama dibandingkan dengan hasil bagian kedua. Teknik pembagian ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan secara acak atau dengan berdasarkan nomor item (ganjil dan genap). Perhitungan reliabilitas dilakukan dengan menghitung korelasi antara kedua bagian alat ukur tersebut dan kemudian hasilnya dikoreksi dengan menggunakan koreksi Spearman-Brown.
Untuk dapat menggunakan metode split-half, kuseioner harus mempunyai banyak item pertanyaan yang mengukur aspek yang sama. Singarimbun dan Tjin (2002) menyatakan bahwa jumlah item sebanyak 50 - 60 merupakan jumlah yang memadai. Urutan langkah-langkahnya sebagai berikut:
1.
Menentukan validitas item dan membuang item yang tidak valid.
2.
Membagi item yang valid menjadi dua bagian secara acak.
3.
Menjumlahkan nilai tiap kelompok item sehingga didapat nilai total untuk kedua kelompok item.
4.
Menghitung koefisien korelasi nilai total kelompok pertama dan kedua.
Mengingat bahwa item telah dibagi dua, maka reliabillitas total adalah : Rtot =
2.r 1+ r
Dengan : Rtot
= Koefisien reliabilitas split half (koefisien korelasi total)
r
= Koefisien korelasi bagian pertama dan bagian kedua
Selanjutnya nilai korelasi ini dibandingkan dengan angka kritis yang terdapat dalam tebel korelasi nilai r. Jika nilai korelasi lebih besar atau sama dengan nilai r, maka kuesioner yang disusun mempunyai reliabilitas (Tjin, 2002).
Apabila salah satu dari kedua bagian alat ukur tidak mempunyai variansi yang sama, maka penggunaan koreksi Spearman-Brown tidak disarankan. Dalam kasus ini dapat digunakan koefisien Alpha Cronbach ( ) yang terdapat pada persamaan : =
{
(
2 σ x2 − σ x21σ x22 σ x2
)}
Dengan : = Koefisien reliabilitas split-half 2 x x1 x2
= Variansi nilai keseluruhan 2
= Variansi nilai bagian pertama
2
= Variansi nilai bagian kedua
Koefisien ini merupakan koefisien nilai reliabilitas umum yang memberikan nilai reliabilitas terendah yang diinginkan. Jadi apabila nilai ini cukup tinggi, maka dapat dikatakan bahwa alat ukur yang digunakan telah reliabel.
2.22. Analisis Item Analisis item dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kualitas dari item-item yang terdapat di dalam kuesioner, yaitu untuk melihat apakah item-item tersebut
telah dapat dimengerti dan ditafsirkan sama oleh responden. Salah satu cara untuk menganalisis item adalah dengan melihat daya pembeda (Item discriminality), yaitu konsistensi aiitara skor item dengan skor keseluruhan yang dapat dilihat dari besamya koefisien korelasi antara setiap item dengan skor keseluruhan. Rumus untuk menghitung besarnya korelasi tersebut adalah dengan menggunakan rumus korelasi Pearson di bawah ini : r=
{n∑ x
n(∑ xy ) − ∑ x ∑ y 2
}{
− (∑ x ) n∑ Y 2 − (∑ Y ) 2
2
}
Dengan : r
= Korelasi
X
= Skor setiap item
Y
= Skor total dikurangi skor setiap item tersebut
n
= Ukuran sample
Jika koefisien korelasi telah dihitung, perlu ditentukan angka terkecil yang dapat dianggap cukup tinggi sebagai indikator adanya konsistensi skor item dengan skor keseluruhan. Dalam hal ini tidak ada batasan yang tegas. Prinsip pemilihan item dengan melihat koefisien korelasi adalah mencari harga koefisien yang setinggi mungkin dan menghilangkan setiap item yang mempunyai korelasi negatif atau yang mendekati nol. Menurut Kaplan & Saccuzzo (1993), salah satu kriteria, item yang baik adalah item yang mempunyai nilai koefisien korelasi antara 0,3 - 0,7. Hal ini berarti semua item yang mempunyai korelasi kurang dari 0,3 dapat dihilangkan, dan item-item yang akan dimasukkan ke dalam alat ukur adalah itemitem yang mempunyai korelasi > 0,3 dengan ini bahwa semakin mendekati 1.00 maka semakin baik konsistensinya. Selain itu, Guilford (1956) menyatakan bahwa besarnya tingkat korelasi dapat ditentukan berdasarkan kriteria berikut: Tabel 2.5. Kriteria Guilford Untuk Tingkat Korelasi
Besarnya Koefisien Korelasi
Tingkat Korelasi
<0,20 0,20 < 0,40
Tidak realibel Reabilitas rendah
0,40 < 0,70
Reabilitas sedang
0,70 < 0,90
Reabilitas tinggi
0,90 < 1,00
Reabilitas tinggi sekali
1,00
Sangat realibel
Berdasarkan kriteria Guilford tersebut di atas, terlihat bahwa item yang cukup baik adalah item yang mempunyai koefisien korelasi > 0,20
2.23. Pengertian SPSS (Statistical Product and Service Solution) SPSS atau Statistical Product and Service Solution merupakan progaram aplikasi yang digunakan untuk melakukan perhitungan statistik menggunakan komputer. Kelebihan program ini adalah kita dapat melakukan secara lebih cepat semua perhitungan statistik dari yang sederhana sampai yang rumit sekalipun, yang jika dilakukan secara manual akan memakan waktu lebih lama.
Tugas pengguna hanyalah mendesain variabel yang akan dianalisis, memasukan data, dan melakukan perhitungan dengan menggunakan tahapan yang ada pada menu yang tersedia. Setelah perhitungan selesai, tugas pengguna ialah menafsir angka-angka yang dihasilkan oleh SPSS. Proses penafsiran inilah yang jauh lebih penting daripada sekedar memasukan angka dan menghitungnya. Dalam melakukan penafsiran kita harus dibekali dengan pengertian mengenai statistik dan metodelogi penelitian.
SPSS sangat bermanfaat untuk disiplin ilmu yang banyak melakukan perhitungan statistik dan menganjurkan membuat skripsi dengan pendekatan kuantitatif, misalnya seperti ilmu ekonomi, sosial dan politik, psikologi, dan eksakta.
2.24. Variabel Variabel didefinisikan sebagai “something that may vary or differ” (Brown, 1998:7). Definisi lain yang lebih detail mengatakan bahwa variabel “is simply symbol or a concept that can assume any one of a set of values” (Davis, 1998:23).
Definisi pertama menyatakan bahwa variabel ialah sesuatu yang berbeda atau bervariasi. Penekanan kata sesuatu diperjelas dalam definisi kedua yaitu simbol atau konsep yang diasumsikan sebagai sperangkat nilai. Definisi abstrak tersebut akan lebih jelas jika diberi contoh sebagai berikut :
1.Hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar. 2.Hubungan warna terhadap minat beli sepeda motor. 3.Hubungan antara promosi dengan volume penjualan.
2.24.1. Variabel Penelitian Biasanya peneliti melakukan pengukuran terhadap keberadaan suatu variabel dengan menggunakan instrumen penelitian. Setelah itu mungkin peneliti melanjutkan analisis untuk mencari hubungan satu variabel dengan variabel yang lain.
Variabel merupakan gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati. Variabel itu sebagai atribut dari sekelompok orang atau obyek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lainnya dalam kelompok itu. Tinggi, berat badan, sikap, motovasi, kepemimpinan, disiplin kerja, warna rambut merupakan atribut dari obyek. Atribut akan bervariasi bila terjadi pada sekelompok orang atau obyek yang diambil secara random.
Menurut hubungan antara satu variabel dengan variabel lain, maka macam-macam variabel dalam penelitian dapat dibedakan menjadi : §
Variabel Bebas Variabel bebas (independemt variable) merupakan variabel stimulus atau variabel yang mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas merupakan variabel yang variabelnya diukur, dimanipulasi, atau dipilih oleh peneliti untuk menentukan hubungannya dengan suatu gejala yang diobservasi.
§
Variabel Tergantung Variabel tergantung (dependent variable) adalah variabel yang memberikan reaksi/respons jika dihubungankan dengan variabel bebas. Variabel tergantung adalah variabel yang diamati atau dikur untuk menentukan pengarh yang disebabkan oleh variabel bebas.
§
Variabel Moderat Variabel moderat (moderate variable) adalah variabel bebas kedua yang sengaja dipilih oleh peneliti untuk menentukan apakah kehadirannya
berpengaruh terhadap hubungan antara variabel bebas pertama dan variabel tergantung. Variabel moderat merupakan variabel yang diukur, manipulasi, atau dipilih oleh peneliti untuk mengetahui apakah variabel tersebut mengubah hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung. §
Variabel Kontrol Dalam penelitian peneliti selalu berusaha menghilangkan atau menetralkan pengaruh yang dapat menggangu hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung. Suatu variabel yang pengaruhnya akan dihilangkan disebut variabel kontrol (control variable). Variabel kontrol didefinisikan sebagai variabel yang dikontrol oleh peneliti untuk menetralisasi pengaruhnya.
Jika
tidak
dikontrol
maka
variabel
tersebut
akan
mempengaruhi gejala yang sedang dikaji. §
Variabel Perantara Variabel bebas, tergantung, kontrol, dan moderat merupakan variabelvariabel konkret. Ketiga variabel, yaitu variabel bebas, kontrol, dan moderat tersebut dapat dimanipulasi oleh peneliti dan pengaruh ketiga variabel tersebut dapat dilihat atau diobservasi. Lain halnya dengan variabel perantara (intervening variable), variabel tersebut bersifat hipotetikal. Artinya, secara konkret pengaruhnya tidak kelihatan, tetapi secara teoritis dapat mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan tergantung yang sedang diteliti. Oleh karena itu, variabel perantara didefinisikan sebagai variabel yang secara toritis mempengaruhi hubungan variabel yang sedang diteliti, tetapi tidak dapat dilihat, diukur, dan dimanipulasi, pengaruhnya harus disimpulkan dari pengaruh-pengaruh variabel bebas dan variabel meoderat terhadap gejala yang sedang diteliti.
2.24.2. Skema Hubungan Variabel Skem hubungan antar variabel menunjukan adanya pengaruh variabel bebas, moderat, kontrol, dan perantara terhadap variabel tergantung. Skema dibawah ini merupakan model pertama oleh Tuckman (Tuckman 1978:70) dikutip oleh Jonathan Sarwono dalam Metodelogi Penelitian Kuantitatif (Sarwono :2003).
Gambar 2.1 Skema hubungan antar variabel Tuckman
Skema tuckman dapat dibaca sebagai berikut : fokus utama adalah variabel bebas dan variabel tergantung. Peneliti dapat juga mempertimbangkan variabel-variabel lainnya,yaitu variabel moderat dan variabel kontrol. Hubungan variabel bebas dengan variabel tergantung melalui suatu label yang disebut variabel perantara. Variabel ini bersifat hipotetikal, artinya secara fakta tidak tampak tetapi secara teoritis ada dan mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan tergantung.
Skema model kedua dibuat oleh Brown (Brown 1988:13) dikutip oleh Jonathan Sarwono dalam Metodelogi Penelitian Kuantitatif (Sarwono :2003) sebagai berikut :
Gambar 2.1 Skema hubungan antar variabel Brown