BAB II LANDASAN TEORI 2.1
Pegertian Jasa Dalam pembahasan penilaian kualitas jasa, konsep dasar yang harus dijelaskan terlebih dahulu adalah mengenai definisi jasa. Kotler dan Amstrong dalam Nugraha (2009) menyatakan jasa adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan kepada pihak lain, lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Proses produksinya mungkin juga tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik. Sedangkan menurut Lovelock, Patterson, dan Walker (2001) menyatakan jasa atau pelayanan adalah sesuatu yang dijual oleh produsen dan dibeli konsumen, tetapi bukan merupakan suatu barang. Tjiptono (2008) mencoba memberikan definisi yang berbeda antara jasa dan pelayanan. Menurutnya jasa merupakan cerminan produk yang tidak memiliki wujud fisik (intangible). Produk tersebut dapat ditemui pada industry spesifik, seperti pendidikan, kesehatan, telekomunikasi, transportasi, asuransi, dll. Sedangkan layanan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh pihak tertentu (individu maupun kelompok) kepada pihak pihak lain (individu maupun kelompok). Kedua definisi tersebut tercakup dalam pengertian jasa yang dikemukakan Gronroos. Gronroos dalam Nugraha (2007) memadukan pengertian jasa sebagai aktivitas dari satu hakikat yang tidak berwujud yang berinteraksi antara konsumen
8
dan pemberi jasa, yang memberikan solusi bagi masalah-masalah konsumen. Berbagai definisi mengenai jasa diatas menegaskan bahwa jasa tidak memiliki wujud fisik. Dengan kata lain jasa merupakan suatu produk yang bersifat abstrak. Sifat jasa yang tak abstrak merupakan salah satu karakteristik yang membedakannya dengan barang berwujud. Menurut Tjiptono (2008), pelayanan memiliki empat karakteristik yang membedakannya dengan barang berwujud, terdiri dari : a) Intangibility, karena pelayanan merupakan output yang tidak berbentuk namun dapat dirasakan keberadaannya oleh konsumen melalui suatu proses pelayanan yang disediakan oleh penyedia. b) Heterogeneity/variability/inconsistency, yang artinya banyak variasi kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan dimana jasa tersebut dihasilkan, sehingga tidak ada output penyampaian jasa yang sama persis, dari produsen ke produsen, dari konsumen ke konsumen, dan dari waktu ke waktu. c) Inseparability, artinya unsur produksi dan konsumsi sering dilakukan pada waktu yang bersamaan, sehingga kualitas suatu jasa ditemtukan dalam proses interaksi antara penyedia dan penerimanya, sehingga dalam hubungan penyedia jasa dengan konsumennya, efektivitas individu yang menyampaikan jasa (contact personel) merupakan unsure yang penting.
9
d) Perishability, artinya pelayanan tidak tahan lama, tidak dapat disimpan, tidak dapat dijual kembali atau dikembalikan.
2.2
Kualitas Jasa atau Pelayanan Modernitas dengan kemajuan teknologi akan mengakibatkan persaingan yang sangat ketat untuk memperoleh dan mempertahankan pelanggan. Kualitas pelayanan menjadi suatu keharusan yang harus dilakukan perusahaan supaya mampu bertahan dan tetap mendapat kepercayaan pelanggan. Pola konsumsi dan gaya hidup pelanggan menuntut perusahaan mampu meberikan pelayanan yang berkualitas. Keberhasilan perusahaan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas dapat ditentukan dengan pendekatan service quality yang telah dikembangkan oleh Parasuraman, Berry dan Zenthaml (dalam Lupiyoadi, 2006:181). Service Quality adalah seberapa jauh perbedaan antara harapan dan kenyataan para pelanggan atas layanan yang mereka terima. Service Quailty dapat diketahui dengan cara membandingkan persepsi pelanggan atas layanan yang benar-benar mereka terima dengan layanan sesungguhnya yang mereka harapkan. Kualitas pelayanan menjadi hal utama yang diperhatikan serius oleh perusahaan, yang melibatkan seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan. Definisi mutu jasa berpusat pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan. Menurut Wyckof (dalam Wisnalmawati, 2005:155) 10
kualitas jasa adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Apabila jasa yang diterima sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan ideal. Sebliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka kualitas jasa dianggap buruk (Tjiptono, 2005:121). Mengacu pada pengertian kualitas layanan tersebut maka konsep kualitas layanan adalah suatu daya tanggap dan realitas dari jasa yang dibeikan perusahaan. Kualitas pelayanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan (Kotler, 1997) dalam Wisnalmawati (2005:156). Hal ini berarti bahwa kualitas yang baik bukanlah berdasarkan persepsi penyediaan jasa, melainkan berdasarkan persepsi pelanggan. Kualitas layanan mengacu pada penilaian-penilaian pelanggan tentang inti pelayanan, yaitu si pemberi pelayanan itu sendiri atau keseluruhan organisasi pelayanan, sebagian besar masyarakat sekarang mulai menampakkan tuntutan terhadap pelayanan prima, mereka bukan lagi sekedar membutuhkan produk yang bermutu tetapi mereka lebih senang menikmati kenyamanan pelayanan (Roesanto, 2000) dalam Nanang Tasunar (2006:44). Oleh karena itu dalam merumuskan strategi dan program pelayanan, organisasi harus berorientasi pada kepentingan pelanggan
11
dan sangat memperhatikan dimensi kualitasnya (Suratno dan Purnama, 2004:74). Sunarto (2003 : 244) mengidentifikasi tujuh dimensi dasar dari kualitas yaitu : a. Kinerja Yaitu tingkat absolut kiberja barang dan jasa pada atribut kunci yang diidentifikasi para pelanggan. b. Interaksi Pegawai Yaitu seperti keramahan, sikap hormat, dan empati ditunjukkan oleh masyarakat yang memberikan jasa atau barang. c. Keandalan Yaitu konsistensi kinerja barang, jasa dan toko. d. Daya Tahan Yaitu rentan kehidupan produk dan kekuatan umum e. Ketepatan Waktu dan Kenyamanan Yaitu seberapa cepat produk diserahkan atau diperbaiki, seberapa cepat produk informasi atau jasa diberikan. f. Estetika Yaitu lebih pada penampilan fisik barang atau toko dan daya tarik penyajian jasa. g. Kesadaran akan Merek Yaitu dampak positif atau negatif tambahan atas kualitas yang tampak, yang mengenal mereka atau nama perusahaan atas evaluasi pelanggan. 12
Terdapat lima dimensi kualitas pelayanan menurut Parasuraman dalam Lupiyoadi (2006:182), yaitu : a. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Yang dimaksud bahwa penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dan pelayanan yang diberikan. b. Reability, atau kehandalan yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. c. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. d. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi, kredibilitas, keamanan, kompetisi dan sopan santun. e. Emphaty, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan pelanggan. Sebagai contoh perusahaan harus mengetahui keinginan pelanggan secara spesifik dari bentuk fisik produk atau jasa sampai pendistribusian yang tepat.
13
Garvin dalam Tjiptono dan Chandra (2005:113) mengembangkan delapan dimensi kualitas, yaitu : a. Kinerja (performance) yaitu mengenai karakteristik operasi pokok dari produk inti. Misalnya bentuk dan kemasan yang bagus akan lebih menarik pelanggan. b. Cirri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap. c. Kehandalan (reability), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal dipakai. d. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), yaitu sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standarstandar yang telah ditetapkan sebelumnya. Seperti halnya produk atau jasa yang diterima pelanggan harus sesuai bentuk sampai jenisnya dengan kesepakatan bersama. e. Daya tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama produk tersebut dapat terus digunakan. Biasanya pelanggan akan merasa puas bila produk yang dibeli tidak pernah rusak. f. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah direparasi, penanganan keluhan yang memuaskan. g. Estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca indera. Misalnya kemasan produk dengan warna-warna cerah, kondisi gedung dan lain sebagainya.
14
h. Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), yaitu citra dan reputasi produk serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya. Sebagai contoh merek yang lebih dikenal masyarakat (brand image) akan lebih dipercaya dari pada merek yang masih baru dan belum dikenal. Bila menurut Hutt dan Speh dalam Nasution (2004:47) Kualitas pelayanan terdiri dari tiga dimensi atau komponen utama yang terdiri dari : a. Technical Quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas output yang diterima oleh pelanggan. Bisa diperinci lagi menjadi : 1. Search quality, yaitu kualitas yang dapat dievaluasi pelanggan sebelum membeli, misalnya : harga dan barang. 2. Experience quality, yaitu kualitas yang hanya bisa dievaluasi pelanggan setelah membeli atau mengkonsumsi jasa atau produk. Contohnya : ketepatan waktu, kecepatan pelayanan, dan kerapihan hasil. 3. Credence quality, yaitu sesuatu yang sukar dievaluasi pelanggan meskipun telah mengkonsumsi suatu jasa. b.
Functional quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas cara penyampaian suatu jasa.
c.
Corporate image, yaitu profit, reputasi, citra umum, dan daya tarik khusus suatu perusahaan. Dari beberapa pendapat para ahli tentang dimensi kualitas
pelayanan, dapat disimpulkan beberapa dimensi yang kredibel yaitu dengan memenuhi syarat agar sebuah pelayanan memungkinkan untuk 15
menimbulkan kepuasan pelanggan. Adapun dimensi-dimensi tersebut yaitu : Tangibles atau bukti fisik, Reliability atau keandalan, Responsiveness atau ketanggapan, Assurance atau jaminan/kepastian, Emphaty atau kepedulian. 2.3
Alat Ukur Kualitas Pelayanan Pengukuran kualitas pelayanan (jasa) berbeda dengan pengukuran kualitas barang berwujud. Menurut Fitzsimmons (2006:131) mengukur kualitas pelayanan merupakan sebuah tantangan karena kepuasan dipengaruhi oleh banyak hal tidak berwujud (intangible). Kesulitan yang muncul dalam pengukuran kualitas pelayanan tidak terlepas dari karakteristik pelayanan yang berbeda dengan produk berupa barang. Perbedaan signifikan antara pelayanan dan barang adalah jika barang memiliki wujud fisik, sedangkan pelayanan bersifat abstrak. Masalah lain yang muncul ketika mengevaluasi kualitas pelayanan adalah karena kualitas pelayanan menjadi berbeda, ketika pemberi layanan adalah orang yang berbeda. Hal ini terkait dengan variabilitas yang merupakan salah satu karakterisitik pelayanan. Faktor penerima pelayanan juga mengakibatkan munculnya perbedaan penilaian kualitas, karena setiap orang memiliki harapan yang berbeda akan pelayanan yang diterimanya. Karenanya penilaian kualitas pelayanan tidak dapat dilakukan dengan menggeneralisasikan suatu pelayanan dengan pelayanan lain yang sejenis. Tidak ada suatu standar pengukuran kualitas pelayanan yang bersifat universal sebagai ukuran umum tentang kualitas pelayanan. Ketiadaan 16
standar tersebut membuat para pakar mengembangkan berbagai metode untuk mengukur kualitas pelayanan. Dalam penelitian ini akan dipaparkan mengenai tiga metode pengukuran kualitas, yang menggunakan berorientasi konsumen. Menurut Atmoko, dkk (2007) ada empat langkah dalam melakukan pengukuran kualitas pelayanan, yaitu : a. Langkah pertama adalah mendefinisikan konsep kualitas untuk mengukur kualitas itu sendiri. Kualitas dirasakan oleh konsumen artinya konsumen diberi konsep mengenai kualitas. Maka pemberi jasa pelayanan mendefinisikan konsep kualitas bagi konsumen berdasarkan pada factor reliabilitas, kepercayaan dan recovery. b. Langkah kedua adalah membuat para pengguna jasa pelayanan agar mau merinci fakor-faktor tadi menjadi variabel. Variabel sebaiknya dirumuskan semaksimal mungkin berdasarkan pernyataan konsumen itu sendiri. c. Langkah ketiga, adalah membuat skala ukuran penilaian untuk setiap variabel, misalnya pengukuran didasarkan atas skala ukuran 1 sampai 5, Hal ini akan membantu pemahaman pandangan pengguna jasa terhadap pelayanan yang ideal. d. Langkah keempat adalah mengarahkan konsumen untuk menilai pelayanan pada saat ini. Hasil penilaian atau pengukuran tersebut akan memberikan informasi untuk menyusun sasaran-sasaran kualitas yang didasarkan pada variabel dan faktor kualitas mendasar bagi konsumen. 17
2.4
Total Quality Management (TQM) Menurut Garrison (2000 : 23), kendala atau constraint adalah segala sesuatu yang menghambat anda untuk mendapatkan apa yang anda inginkan. Oleh karena itu, pengelolaan berdasarkan Theory of Constraints menjadi faktor kunci sukses. Perusahaan dituntut untuk dapat mengatasi kendala agar kinerja manajerialnya dapat menjadi lebih baik sehingga tidak mengganggu kelangsungan hidup perusahaan. Salah satu alat yang dianggap dapat membantu memperbaiki kinerja manajerial dalam mencapai tujuan peningkatan laba adalah TQM. 2.4.1 Pengertian Total Quality Management TQM merupakan satu sistem yang saat ini mulai diterapkan oleh perusahaan-perusahaan karena dianggap mampu mendukung kinerja manajerialnya. TQM juga dikenal dengan Manajemen Mutu Terpadu. Menurut Ishikawa dalam Nasution (2005 : 22), TQM diartikan sebagai perpaduan semua fungsi manajemen, semua bagian dari suatu perusahaan dan semua orang ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, teamwork, produktivitas, dan kepuasan pelanggan. Menurut Purwanto dalam Suharyanto (2005 : 7), TQM pada dasarnya merupakan upaya untuk menciptakan “a culture of continous improvement” di antara para karyawan dengan menerapkan berbagai teknik pemecahan permasalahan secara kelompok dengan memusatkan perhatian pada kepuasan customer. 18
Menurut Tjiptono (2003 : 4), TQM merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terusmenerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungannya. Menurut Suharyanto (2005 : 62), TQM adalah sebuah kultur, dengan sifat yang melekat di dalam kultur ini adalah sebuah komitmen
sepenuhnya
terhadap
kualitas
dan
sikap
yang
diperlihatkan melalui keterlibatan setiap individu dalam proses perbaikan
produk
maupun
jasa
secara
kontinyu,
melalui
penggunaan metode ilmiah yang inovatif. TQM menghendaki komitmen total dari manajemen dimana ini harus disebarluaskan pada seluruh karyawan dan pada semua level atau departemen dalam organisasi.
Sukses tidaknya
implementasi TQM sangat ditentukan oleh kompetensi SDM perusahaan untuk merealisasikannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa TQM adalah suatu alat yang digunakan oleh manajemen suatu perusahaan yang melibatkan seluruh personel dalam perusahaan dalam melakukan perbaikan secara terusmenerus atas produk, pelayanan, lingkungan yang berhubungan dengan produk perusahaan, dan manajemen perusahaan melalui metode ilmiah yang inovatif.
19
2.4.2 Karakteristik Total Quality Management Ada sepuluh karakteristik TQM yang dikembangkan oleh Goetsch dan Davis dalam Nasution ( 2005 : 22), yaitu : 1.
Fokus Pada Pelanggan Dalam TQM, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal merupakan driver. Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa yang disampaikan kepada mereka, sedangkan
pelanggan
internal
berperan
besar
dalam
menentukan kualitas tenaga kerja, proses, dan lingkungan yang berhubungan dengan produk atau jasa. 2.
Obsesi terhadap Kualitas Dalam organisasi yang menerapkan TQM, pelanggan internal dan eksternal menentukan kualitas. Dengan kualitas yang ditetapkan tersebut, organisasi harus terobsesi untuk memenuhi atau melebihi apa yang ditentukan mereka. Hal ini berarti bahwa semua karyawan pada setiap level berusaha melaksanakan
setiap
aspek
pekerjaannya
berdasarkan
perspektif. Bagaimana kita dapat melakukannya dengan lebih baik? Bila suatu organisasi terobsesi dengan kualitas, maka berlaku prinsip „good enough is never good enough’. 3.
Pendekatan Ilmiah Pendekatan ilmiah sangat diperlukan dalam penerapan TQM, terutama untuk mendesain pekerjaan dan dalam proses 20
pengambilan keputusan
dan pemecahan masalah
yang
berkaitan dengan pekerjaan yang di desain tersebut. Dengan demikian, data diperlukan dan dipergunakan dalam menyusun patok
duga
(benchmark),
memantau
prestasi,
dan
melaksanakan perbaikan. 4.
Komitmen Jangka Panjang TQM
merupakan
melaksanakan
bisnis.
suatu
paradigma
baru
dalam
Untuk
itu,
dibutuhkan
budaya
perusahaan yang baru pula. Oleh karena itu, komitmen jangka panjang sangat penting guna mengadakan perubahan budaya agar penerapan TQM dapat berjalan dengan sukses. 5.
Kerjasama Tim (Teamwork) Dalam organisasi yang dikelola secara tradisional seringkali diciptakan persaingan antar departemen yang ada dalam organisasi tersebut agar daya saingnya terdongkrak. Sementara itu, dalam organisasi yang menerapkan TQM, kerjasama tim, kemitraan, dan hubungan dijalin dan dibina, baik antar karyawan perusahaan maupun dengan pemasok, lembagalembaga pemerintah, dan masyarakat sekitarnya.
6.
Perbaikan Sistem Secara Berkesinambungan Setiap produk dan jasa dihasilkan dengan memanfaatkan proses-proses tertentu didalam suatu sistem/lingkungan. Oleh karena itu, sistem yang ada perlu diperbaiki secara terus21
menerus agar kualitas yang dihasilkannya dapat makin meningkat. 7.
Pendidikan dan Pelatihan Dewasa ini masih terdapat perusahaan yang menutup mata terhadap pentingnya pendidikan dan pelatihan karyawan. Kondisi
seperti
itu
menyebabkan
perusahaan
yang
bersangkutan tidak berkembang dan sulit bersaing dengan perusahaan lainnya, apalagi dalam era persaingan global. Sedangkan
dalam
organisasi
yang
menerapkan
TQM,
pendidikan dan pelatihan merupakan faktor yang fundamental. Setiap orang diharapkan dan didorong untuk terus belajar. Dengan belajar, setiap orang dalam perusahaan dapat meningkatkan
keterampilan
teknis
dan
keahlian
profesionalnya. 8.
Kebebasan yang Terkendali Dalam TQM, keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur yang sangat penting. Hal ini dikarenakan unsur tersebut dapat meningkatkan „rasa memiliki‟ dan tanggung jawab karyawan terhadap keputusan yang telah dibuat. Meskipun demikian, kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pemberdayaan tersebut merupakan hasil dari pengendalian yang terencana dan terlaksana dengan baik. 22
9.
Kesatuan Tujuan Supaya TQM dapat diterapkan dengan baik, maka perusahaan harus memiliki kesatuan tujuan. Dengan demikian, setiap usaha dapat diarahkan pada tujuan yang sama. Akan tetapi, kesatuan tujuan ini tidak berarti bahwa harus selalu ada persetujuan/kesepakatan
antara
pihak
manajemen
dan
karyawan, misalnya mengenai upah dan kondisi kerja. 10. Adanya Keterlibatan dan Pemberdayaan Karyawan Keterlibatan
dan
pemberdayaan
karyawan
dapat
meningkatkan kemungkinan dihasilkannya keputusan yang baik, rencana yang baik, atau perbaikan yang lebih efektif, karena juga mencakup pandangan dan pemikiran dari pihakpihak yang langsung berhubungan dengan situasi kerja serta meningkatkan „rasa memiliki‟ dan tanggung jawab atas keputusan dengan
melibatkan orang-orang yang harus
melaksanakannya. 2.4.3 Manfaat Total Quality Management Manfaat TQM adalah memperbaiki kinerja manajerial dalam mengelola perusahaan agar dapat meningkatkan penghasilan perusahaan. Ada beberapa keuntungan pengendalian mutu yang digambarkan Ishikawa (1992) dalam bukunya, antara lain :
23
a.
Pengendalian mutu memungkinkan untuk membangun mutu di setiap langkah proses produksi demi menghasilkan produk yang 100% bebas cacat.
b.
Pengendalian mutu memungkinkan perusahaan menemukan kesalahan atau kegagalan sebelum akhirnya berubah menjadi musibah bagi perusahaan.
c.
Pengendalian mutu memungkinkan desain produk mengikuti keinginan pelanggan secara efisien sehingga produknya selalu dibuat sesuai pilihan pelanggan.
d.
Pengendalian mutu dapat membantu perusahaan menemukan data-data produksi yang salah. TQM juga digunakan untuk memperbaiki posisi persaingan
perusahaan di pasar dan sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan output dengan mutu berkualitas. Produk yang berkualitas yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen secara berkelanjutan (sustainable satisfaction) akan menimbulkan pembelian yang berkelanjutan yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas perusahaan mencapai skala ekonomi dengan akibat penurunan biaya produksi (Ibrahim, 2000 : 22). Perbaikan kualitas yang dilakukan oleh perusahaan tidak lain bertujuan untuk meningkatkan penghasilan perusahaan dan tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan laba perusahaan agar 24
perusahaan dapat terus berjalan dan tetap hidup dalam persaingan perdagangan yang semakin ketat saat sekarang ini. Perbaikan kualitas juga dapat meningkatkan citra perusahaan di mata pelanggan. Berikut ini adalah diagram yang menunjukkan peran perbaikan kualitas dalam perusahaan untuk memperbaiki posisi persaingan dalam pasar perdagangan dan meningkatkan ketelitian dalam menghasilkan produk yang bebas dari kerusakan.
25
Gambar 2.1 Peran Perbaikan Kualitas Dalam Perusahaan
Harga yang lebih tinggi P E
Memperbaiki posisi persaingan Meningkatkan pangsa pasar
R B A I K A
Meningkatkan penghasilan
N
K Meningkatkan laba
U A L I T A S
Meningkatkan output yang bebas dari kerusakan
Mengurangi biaya operasi
Sumber : Pall dalam Tjiptono (2003 : 11) 26
2.5
Quality Function Deployment (QFD) 2.5.1
Pengertian Quality Function Deployment (QFD) Secara umum, QFD meruapakan suatu alat/metode yang digunakan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen dalam penyusunan standar layanan. Menurut Gasperz (2008) mendefinisikan QFD sebagai suatu proses atau mekanisme terstruktur untuk menentukan kebutuhan konsumen dan menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan itu ke dalam kebutuhan teknis yang relevan, dimana masingmasing area fungsional dan level organisasi dapat mengerti dan bertindak. Subagyo
dalam
Marimin
(2004)
Quality
Function
Depoyment adalah suatu cara untuk meningkatkan kualitas barang atau
jasa
dengan
memahami
kebutuhan
konsumen,
lalu
menghubungkannya dengan ketentuan teknis untuk menghasilkan barang atau jasa di tiap tahap pembuatan barang atau jasa yang dihasilkan. Gasperz (2008) mendefinisikan QFD sebagai suatu proses atau mekanisme terstruktur untuk menentukan kebutuhan pelanggan dan menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan itu ke dalam teknis yang relevan, dimana masing-masing area fungsional dan level organisasi dapat mengerti dan bertindak.
27
Subagyo dalam Marimin (2004) Quality Function Deployment adalah suatu cara untuk meningkatkan kualitas barang atau jasa dengan memahami kebutuhan konsumen, lalu menghubungkannya dengan ketentuan teknis untuk menghasilkan barang atau jasa di tiap tahap pembuatan barang atau jasa yang dihasilkan. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan QFD merupakan suatu pendekatan disiplin namun fleksibel terhadap pengembangan produk. Titik awal (Starting Point) dari QFD adalah pelanggan serta keinginan dan kebutuhan dari pelanggan itu. Hali ini dalam QFD disebut sebagai suara dari pelanggan. 2.5.2
Manfaat Quality Function Deployment (QFD) Menurut (Nasution, 2001), QFD memberikan sejumlah manfaat bagi organisasi yang mencoba untuk meningkatkan daya saingnya dengan memperbaiki secara kontinu kualitas dan produktivitasnya. Manfaat dari QFD antara lain : Fokus pada pelanggan QFD memerlukan pengumpulan masukan umpan balik dari pelanggan. Informasi kemudian diterjemahkan ke dalam sekumpulan persyaratan pelanggan yang spesifik. Efisiensi waktu QFD dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam pengembangan produk karena memfokuskan pada persyaratan pelanggan yang spesifik dan telah didefinisikan dengan jelas. 28
Orientasi kerjasama tim QFD merupakan pendekatan orientasi kerjasama tim. Semua keputusan dalam proses didasarkan atas konsensus dan dicapai melalui diskusi mendalam dan brainstroming. Orientasi pada dokumentasi Salah satu produk yang dihasilkan dari proses QFD adalah dokumen
komprehensif
berhubungan
dengan
mengenai segala
semua
proses
data
yang
ada
yang dan
perbandingannya dengan persyaratan pelanggan. 2.5.3
House of Quality (HOQ) House of Quality adalah proses pemahaman dari apa yang menjadi kebutuhan, keinginan dan ekspektasi konsumen yang dirangkum kedalam matrik perencanaan produk. Matrik ini terdapat dalam beberapa bagian yang masing-masing bagian mengandung informasi yang saling berhubungan satu sama lainnya. Tiap bagian adalah hasil pemahaman perusahaan terhadap suatu aspek proses perencanaan produk, jasa, atau suatu proses. Gambar The House of Quality dapat dilihat dibawah ini :
29
Gambar 2.2 The House of Quality
5. Technical Correlations
3. Technical Response 1.
4.
2.
Customer Needs and Benefits
Relationship
Planning Matrix (riset pasar & perencanaan strategik)
(tanggapan atas kebutuhan pelanggan)
6. Technical Matrix (prioritas tanggapan teknis, target teknis, benchmarketing)
Sumber : Nasution, 2001
30
Bagian-bagian dari HOQ adalah sebagai berikut : 1. Customer Needs and Benefits Pada bagian ini diisi daftar kebutuhan dan ekspetasi konsumen terhadap nilai produk, jasa, atau proses yang biasanya diperoleh dari Voice of the Customer dan telah diubah ke dalam table Metrik Kebutuhan Pelanggan. 2. Planning Matrik Pada bagian ini mempunyai tujuan menyusun dan mengembangkan beberapa pilihan strategis dalam mencapai nilai-nilai kepuasan konsumen yang tertinggi. Planning Matrik mempunyai delapan jenis data, antara lain adalah sebagai berikut : Importance to Customer (kepentingan konsumen), yang berisi tentang tingkat kepentingan tiap kebutuhan dan manfaat bagi konsumen. Customer Satisfaction Performance (kinerja kepuasan konsumen) adalah bagaimana kinerja produk yang dikembangkan dapat memenuhi kepuasan konsumen. Competitive Satifaction Performance (kinerja kepuasan pelanggan) adalah bagaimana kinerja produk pesaing dalam memuaskan kepentingan pelanggan. Goal (Quality Plan) adalah tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan produk. Improvement Ratio (pengembangan rasio), diperoleh dari rumus. 31