BAB 2
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Learning Orientation Learning
Orientation
mengacu
pada
kegiatan
organization-wide
dalam
menciptakan dan menggunakan pengetahuan untuk meningkatkan keuntungan kompetitif. Ini termasuk mendapatkan dan berbagi informasi tentang kebutuhan pelanggan, perubahan pasar, dan tindakan pesaing, serta pengembangan teknologi baru untuk menciptakan produk baru yang unggul daripada pesaing ( Hurley RF dan Hult GTM,1998 ; Moorman dan Miner,1998) . Learning Orientation mempengaruhi jenis Informasi dikumpulkan ( Dixon NM,1992 ) dan bagaimana ditafsirkan (Argyris dan Schon, 1978 ), dievaluasi ( Sinkula et al, 1997 ) , dan berbagi ( Moorman dan Miner,1998 ). •
Commitment to Learning
Komitmen untuk belajar, atau sejauh mana suatu organisasi menghargai dan mempromosikan pembelajaran ( Sinkula et al, 1997 ) , seperti untuk menciptakan iklim belajar (Norman R,1985) . Komitmen organisasi menganggap pembelajaran sebagai investasi penting untuk kelangsungan hidup. Yang paling penting, komitmen untuk pembelajaran dikaitkan dengan orientasi strategis jangka panjang. Investasi jangka pendek akan menghasilkan keuntungan jangka panjang. Sebagai contoh, manajer
dalam
organisasi
berkomitmen 7
mengharapkan
karyawan
untuk
8
menggunakan waktu dalam perusahaan untuk mengejar pengetahuan di luar lingkup dari pekerjaan mereka ( Slater dan Narver, 1994 ). Jika sebuah organisasi tidak mendorong pengembangan pengetahuan, karyawan tidak akan termotivasi untuk mengejar kegiatan pembelajaran •
Shared vision
Shared vision mengacu pada organization-wide fokus pada pembelajaran (Sinkula et al, 1997). Verona,1999 menekankan bahwa tanpa shared vision, pembelajaran oleh anggota organisasi mungkin kurang bermakna. Dengan kata lain, jika mereka termotivasi untuk belajar, sulit untuk mengetahui apa yang harus dipelajari. Masalah besar dalam organisasi adalah banyaknya ide-ide kreatif yang tidak pernah diimplementasikan (Hult GTM,1998) karena tidak memiliki arah dan tujuan yang sama. Ide-ide besar gagal untuk diterjemahkan ke dalam tindakan karena beragam kepentingan dalam organisasi. Dengan demikian, sebuah iklim pembelajaran yang positif membutuhkan fokus organisasi ketika pengetahuan baru diimplementasikan. Sebuah arah yang jelas untuk belajar kemungkinan untuk membentuk kekuatan organisasi atau bahkan kompetensi inti. Brown
dan
Eisenhardt,
1995
mencatat
bahwa
berbagai
departemen
memiliki cara yang berbeda dalam mendapatkan dan menafsirkan pengetahuan. Oleh karena itu, individu dari area fungsional yang berbeda memandang inovasi dalam cara yang bervariasi. Sebagai contoh, seorang pemasar lebih peduli tentang informasi pasar, sedangkan orang di R & D dapat fokus pada aspek teknis inovasi. Hal ini dapat menyebabkan berbagai interpretasi, bahkan dari informasi yang sama. Sebuah koordinat shared vision fokus di berbagai departemen dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
9
•
Open Mindedness Keterbukaan pikiran adalah kemauan untuk mengevaluasi secara kritis
operasional rutin organisasi dan menerima ide baru (Sinkula et al, 1997). Perusahaan harus mengatasi dengan cepat perubahan teknologi dan gejolak pasar. Tingkat pengetahuan usang masih tinggi di sebagian besar sektor. Meski begitu, pelajaran pembelajaran di masa lalu mungkin masih instruktif jika organisasi memiliki keterbukaan pikiran untuk menanyai mereka (Verona,1999 ; Porac dan Thomas,1990 ; Senge,1992 ; Sinkula,1994). Itu mungkin hanya sebagai pembelajaran penting untuk melupakan cara lama seperti itu dan untuk memperbaharui atau memperbarui basis pengetahuan. •
Intraorganizational Knowledge Sharing Berbagi pengetahuan Intraorganizational mengacu keyakinan kolektif atau
rutinitas perilaku yang berkaitan dengan penyebaran pembelajaran antara unitunit yang berbeda dalam sebuah organisasi ( Zaltman et al,1973 ; Moorman dan Miner,1998 ). Itu membuat hidup pengetahuan dan informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan berfungsi sebagai referensi untuk tindakan di masa depan ( Lukas et al,1996 ). Sebagai contoh, Pengalaman departemen pemasaran dengan pelanggan mungkin berharga untuk Unit R & D dalam mengembangkan produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan ( Moorman dan Miner,1998 ). Pembelajaran
dalam
sebuah
organisasi
merupakan
hasil
akumulasi
pembelajaran individu. Karena perputaran karyawan dan transfer, berbagi
10
pengetahuan intraorganizational diperlukan untuk mencegah hilangnya informasi ( Lukas et al,1996 ). Bahkan jika sebuah organisasi berkomitmen untuk belajar dan memiliki visi bersama, pembelajaran akan terbatas tanpa akumulasi pengetahuan ( Moorman dan Miner,1998 ). Beberapa ahli berpendapat bahwa pembelajaran tidak benar-benar terjadi kecuali organisasi memiliki sistem yang efektif dan efisien untuk berbagi dan memeriksa kembali informasi (Moorman dan Miner,1998 ).
Berbagi
pengetahuan intraorganizational tidak hanya mengacu memperoleh informasi dari berbagai sumber. Ini mencakup sistematis pemeriksaan ulang dan penataan informasi. Pengalaman dan pelajaran harus dibagi di seluruh departemen dan disimpan dalam memori organisasi. 2.1.2 Entreptreneurial Orientation Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewirausahaan disebut-sebut sebagai spearhead (pelopor) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Membangun kewirausahaan dinyatakan sebagai satu dari empat pilar dalam memperkuat lapangan pekerjaan. Sedangkan Wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai / menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata lain, wirausaha berarti manusia utama (unggul) dalam menghasilkan suatu pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha dinamakan wirausahawan.
11
Peneliti sebelumnya telah menyarankan bahwa ada serangkaian proses organisasi dari mana keputusan strategis berkembang (Hart, 1992; Rajagopalan, Rasheed, & Datta, 1993). Ini mengambil bentuk pola atau mode yang dapat dicirikan dan diidentifikasi di seluruh organisasi (Hart, 1992). Dalam mencoba untuk mengidentifikasi variabel yang relevan dengan mode organisasi dan model proses keputusan strategis, banyak peneliti telah berfokus pada menggambarkan dimensi pembuatan strategi. Misalnya, Miller dan Friesen (1978) mengidentifikasi 11 dimensi proses pembuatan strategi, termasuk beradaptasi, analisis, integrasi, pengambilan risiko, dan produk-pasar inovasi. Fredrickson (1986) dimensi yang diusulkan seperti proactiveness, rasionalitas, kelengkapan, pengambilan risiko, dan ketegasan. Studi tentang orientasi kewirausahaan perusahaan sejalan dengan konsep Stevenson dan Jarillo (1990) tentang manajemen kewirausahaan, dalam hal ini mencerminkan proses organisasi, metode, dan gaya yang digunakan perusahaan untuk bertindak kewirausahaan. Miller (1983) menyarankan sebuah entrepreneurial firm menggunakan dimensi "inovasi," "pengambilan risiko," dan "proactiveness" untuk mengkarakterisasi dan menguji kewirausahaan. Dua dimensi lainnya adalah aspek penting dari orientasi kewirausahaan. Yang pertama adalah agresivitas kompetitif. Agresivitas kompetitif sangat berhubungan dengan kewirausahaan di semua tingkat risiko dalam sebuah penelitian yang menggunakan peringkat risiko yang publikasikan untuk membandingkan perusahaan-perusahaan di lingkungan rendah dan berisiko tinggi di Eropa Timur, Commonwealth of Independent States, dan Amerika Serikat (Dean, Thibodeaux, Beyerlein, Ebrahimi, & Molina, 1993). Komponen kunci lain dari Entrepreneurial Orientation adalah sebuah kecenderungan tindakan independen dan otonom. Perusahaan Start-up harus melaksanakan intensionalitas untuk meneruskan tindakan khusus yang diperlukan
12
untuk memulai usaha baru (Katz & Gartner, 1988). Lapisan birokrasi dan tradisi organisasi jarang berkontribusi untuk kegiatan baru di perusahaan yang telah ada (Kanter, 1983). Sebaliknya, itu semua memerlukan pelaksanaan otonomi oleh pemimpin yang kuat, tim tak terkekang atau individu kreatif yang terlepas dari kendala organisasi untuk memimpin ke entri baru. Lumpkin dan Dess (1996, p. 136) dalam usahanya untuk mengklarifikasi kebingungan dalam istilah, memberikan perbedaan yang jelas antara orientasi wirausaha (entrepreneurial orientation) dengan kewirausahaan (entrepreneurship). Kewirausahaan didefinisikan sebagai new entry yang dapat dilakukan dengan memasuki pasar yang tetap ataupun pasar yang baru dengan produk atau jasa yang telah ada ataupun yang baru ataupun meluncurkan perusahaan baru. Sedangkan orientasi wirausaha didefinisikan sebagai penggambaran bagaimana new entry dilaksanakan oleh perusahaan. Orientasi wirausaha digambarkan oleh proses, praktek dan aktivitas pembuatan keputusan yang mendorong new entry. Jadi kewirausahaan dapat dianggap sebagai produk dari orientasi wirausaha. Proses, praktek dan aktivitas pembuatan keputusan (orientasi wirausaha) menghasilkan new entry
(kewirausahaan).
Orientasi
wirausaha
mencerminkan
kecenderungan
perusahaan untuk terlibat dalam perilaku inovatif, berani mengambil resiko dan proaktif untuk mengalahkan pesaing. Perusahaan yang terlibat dalam perilaku semacam ini dapat secara efektif berkembang atau meningkatkan kinerja dan daya saing perusahaan. Lumpkin
dan
Dess
(1996),
menyimpulkan
dan
memperjelas
dimensi
Entrepreneurial Orientation menjadi liba sub bagian, yaitu Otonomi, inovasi, risk taking, proactiveness, dan competitive aggressiveness.
13
•
Autonomy Konsep otonomi adalah dimensi utama dari orientasi kewirausahaan.
Otonomi mengacu pada tindakan independen dari individu atau tim dalam menciptakan ide atau visi dan membawanya sampai tujuan tercapai. Secara umum, itu berarti kemampuan dan akan menjadi self-directed dalam mengejar peluang. Dalam konteks organisasi, mengacu pada tindakan yang dilakukan bebas dari menyesakkan kendala organisasi. Jadi, meskipun faktor-faktor seperti ketersediaan sumber daya, tindakan oleh saingan kompetitif, atau pertimbangan organisasi internal dapat mengubah arah inisiatif perusahaan baru. hal ini tidak memadai untuk memadamkan proses kewirausahaan otonom yang mengarah ke entri baru: Selama proses tersebut, para Pemain organisasi tetap bebas untuk bertindak secara independen, untuk membuat keputusan penting, dan untuk melanjutkan prosesnya. •
Innovativeness Kemampuan inovasi berhubungan dengan persepsi dan aktivitas terhadap
aktivitas-aktivitas bisnis yang baru dan unik. Kemampuan berinovasi adalah titik penting dari kewirausahaan dan esensi dari karakteristik kewirausahaan. Beberapa hasil penelitian dan literature kewirausahaan menunjukkan bahwa orientasi kewirausahaan lebih signifikan mempunyai kemampuan inovasi daripada yang tidak memiliki kemampuan dalam kewirausahaan .
•
Risk Taking Seseorang yang berani mengambil risiko dapat didefinisikan sebagai
seseorang yang berorientasi pada peluang dalam ketidakpastian konteks
14
pengambilan keputusan. Hambatan risiko merupakan faktor kunci yang membedakan perusahaan dengan jiwa wirausaha dan tidak. Fungsi utama dari tingginya orientasi kewirausahaan adalah bagaimana melibatkan pengukuran risiko dan pengambilan risiko secara optimal (Looy et al. 2003).
•
Proactiveness Proaktifitas seseorang untuk berusaha berprestasi merupakan petunjuk lain
dari aplikasi atas orientasi kewirausahaan secara pribadi. Demikian pula bila suatu perusahaan menekankan proaktifitas dalam kegiatan bisnisnya, maka perusahaan tersebut telah melakukan aktifitas kewirausahaan yang akan secara otomatis mendorong tinginya kinerja (Weerawardena, 2003,424). Perusahaan dengan aktifitas kewirausahaan yang tinggi berarti tampak dari tingginya semangat yang tidak pernah padam karena hambatan, rintangan, dan tantangan. Sikap aktif dan dinamis adalah kata kuncinya.
•
Competitive Aggressiveness Agresivitas kompetitif mengacu pada kecenderungan perusahaan untuk
secara langsung dan intens menantang pesaingnya untuk mencapai entri atau meningkatkan posisi, yaitu, untuk mengungguli saingan industri di pasar. Agresivitas kompetitif ditandai dengan tanggap, yang dapat mengambil bentuk konfrontasi head-to-head. Misalnya, ketika perusahaan memasuki pasar yang pesaing lain telah diidentifikasi, atau reaktif. Misalnya, ketika suatu perusahaan menurunkan harga dalam menanggapi tantangan kompetitif. Agresivitas
kompetitif
juga
mencerminkan
kesediaan
untuk
tidak
konvensional daripada mengandalkan metode bersaing tradisional. Contoh ini
15
dan bentuk-bentuk lain dari agresivitas kompetitif tersedia bagi pendatang baru termasuk mengadopsi taktik yang tidak konvensional untuk menantang pemimpin industri (Cooper et al., 1986), menganalisis dan menargetkan kelemahan pesaing dan berfokus pada nilai tambah tinggi produk sedangkan hatihati memantau pengeluaran diskresioner (Woo & Cooper, 1981). Pentingnya variabel ini sebagai dimensi Entrepreneurial Orientation disorot dalam sebuah studi dari proses kewirausahaan dari perusahaan-perusahaan AS di pasar global, di mana Dean (1993) menemukan bahwa agresivitas kompetitif menjelaskan varians jauh lebih (37%) dalam kewirausahaan korporasi daripada setiap Strategi lain atau variabel struktural dianalisis. 2.1.3 Innovativeness Menurut Rothwell dalam Allen (2000), salah satu definisi inovasi adalah pengenalan sesuatu yang baru, seperti gagasan, metode, ataupun alat. Suatu perusahaan atau produk inovatif merupakan sesuatu yang dapat dibedakan dengan sebelumnya melalui keunikannya dalam bentuk, fungsi, ataupun perilaku. Inovasi produk menjadi suatu elemen vital dalam strategi perusahaan dan rencana dalam menjawab berbagai alasan agar dapat memegang kendali. Alasan ini terdiri dari perubahan perilaku konsumen dan kompetitor, perubahan teknologi, dan kebijakan pemerintah (Rothberg, 1981). Tujuan perusahaan untuk melakukan inovasi produk untuk mempertahanan kelangsungan hidup perusahaan karena produk yang telah ada rentan terhadap perubahan kebutuhan dan selera konsumen, teknologi, siklus hidup produk yang lebih singkat, serta meningkatnyapersaingan domestic dan luar negeri. Pada tingkat sederhana, setidaknya ada tiga tipe dasar inovasi, yaitu incremental, architectural dan radical (Gupta,2007) . Dengan demikian dapat dijelaskan
16
berdasarkan pendapat Gupta menunjukkan ada tiga tipe inovasi yang terdiri dari pengembangan, rancang bangun dan kebaruan. Adapun penjelasannya sebagai berikut : •
Inovasi Incremental Inovasi ini dapat diartikan sebagai perubahan atau penyesuaian sederhana dalam produk, jasa, atau proses yang ada. Terdapat semakin banyak bukti bahwa perusahaan-perusahaan yang berusaha meningkatkan hasil investasi dapat berfokus pada inovasi incremental. Dorongan utama dari inovasi incremental dalam banyak perusahaan selama beberapa tahun terakhir bersal dari program-program yang ditujukan pada peningkatan hasil terus menerus, pengurangan biaya, dan pengelolaan kualitas.
•
Inovasi Architectural Inovasi architectural, dapat diartikan sebagai inovasi yang merupakan penerapan dari teknologi yang sudah ada atau baru muncul (emerging) untuk memecahkan suatu persoalan yang sebenarnya diawalnya tidak dimaksudkan untuk hal tersebut.
•
Inovasi Radical Inovasi radical, dapat diartikan sebagai inovasi yang mengubah secara drastic kemampuan, mengahsilkan produk atau proses baru yang berbeda dari sebelumnya atau tidak pernah ada sebelumnya.
Hurt et al. (1977) adalah salah satu peneliti awal untuk mencoba mendefinisikan inovasi, mengungkapkan hal itu sebagai "kemauan untuk berubah". Midgley dan Dowling (1978) menganggap inovasi sebagai bentuk ciri kepribadian bawaan. Goldsmith dan Hofacker (1991) mendefinisikannya sebagai sikap dan perilaku baik. Subramanian dan Nilakanta (1996) dan Subramanian (1996) mendefinisikan inovasi
17
dalam hal tampilan perilaku inovatif secara konsisten dari waktu ke waktu oleh sebuah organisasi. Untuk Stamboulis dan Skyannis (2003) dan Hjalager (1997), inovasi menyampaikan beberapa perubahan perilaku dalam menanggapi stimulus. Zaltman et al. (1973) dan Hurley dan Hult (1998) mendefinisikan inovasi sebagai "keterbukaan
terhadap
ide-ide
baru".
Leavitt
dan
Walton
(1975,
1988)
mengkonseptualisasikan inovasi dalam hal "keterbukaan terhadap pengolahan informasi". Demikian pula, Berthon et al. (1999) menggambarkan inovasi sebagai "keterbukaan pikiran", "giat", "kemauan untuk berubah", "kemampuan untuk berinovasi" atau menjadi kreatif. Avlonitis et al. (1994) inovasi terdiri dari dimensi teknologi dan perilaku yang menunjukkan baik "kapasitas teknologi" dan "kemauan perilaku dan komitmen" dari perusahaan untuk berinovasi. Kundu dan Katz (2003) inovasi berhubungan dengan niat organisasi untuk menjadi inovatif ". Untuk Hult et al. (2004), inovasi berarti kapasitas perusahaan untuk memperkenalkan proses baru, produk, atau ide-ide dalam organisasi. Demikian pula, Wang dan Ahmed (2004: 304) mencirikan "inovasi organisasi sebagai kemampuan inovatif peerusahaan secara keseluruhan untuk memperkenalkan produk baru ke pasar, atau membuka pasar baru, melalui menggabungkan orientasi strategis dengan perilaku inovatif dan proses ". Slater dan Narver (1994) melihat inovasi sebagai salah satu nilai inti-menciptakan kemampuan yang mendorong kinerja. Demikian pula, baik Markides (1998) dan Besanko et al. (1996) menganggap inovasi sebagai inovasi sebagai pengembangan strategi kompetitif baru yang menciptakan nilai bagi perusahaan. Amabile (1997) sejalan dengan inovasi konsep "kreativitas organisasi". Menguc dan Auch, (2006: 66) menghubungkan inovasi sebagai kecenderungan perusahaan, penerimaan dan kecenderungan untuk mengadopsi ide-ide yang berangkat dari cara yang biasa mendekati bisnis ". Demikian pula, Lumpkin dan
18
Dess (1996) mengkonseptualisasikan inovasi sebagai kecenderungan perusahaan untuk terlibat dalam dan mendukung ide-ide baru, bereksperimen, dan menjadi kreatif. Marcati et al. (2008) dan Blake et al. (2003) inovasi sebagai "kesiapan umum" untuk mengikuti cara-cara baru dan kreatif. Hurley dan Hult (1998) mengkonseptualisasikan inovasi sebagai kesiapan budaya organisasi untuk berinovasi atau untuk mengadopsi cara-cara baru dalam melakukan sesuatu. Cowart et al. (2007) inovasi berhubungan dengan gagasan risiko. Demikian pula, dalam konseptualisasi inovasi mereka , Gounaris et al. (2003) merujuk pada "ketidakpastian", "ambiguitas", dan "kesulitan". Sementara pada pandangan pertama, tampaknya ada konsensus dalam literatur mengenai konstruk inovasi, ada kesamaan tetap yang mendasari. Keinovatifan (Innovativeness) adalah sejauh mana individu atau unit adopsi lain relatif lebih awal dalam mengadopsi ide-ide baru dari anggota lain dari suatu sistem. Keinovatifan lebih menunjukkan perubahan perilaku yang nyata, yang menjadi tujuan utama dari sebagian besar program difusi, daripada hanya perubahan kognitif maupun sikap. Keinovatifan merupakan perilaku utama dala proses difusi. (Everett,1995). Lima dimensi kunci telah muncul dalam pembahasan sebelumnya, yaitu, creativity, openness to new ideas, intention to innovate, risk, and capacity to innovate. Setiap dimensi dieksplorasi dalam bagian berikut. 1. Creativity Sebagian besar Konseptualisasi inovasi memahami kreativitas sebagai komponen kunci (Amabile, 1997; Lumpkin dan Dess, 1996), dianggap oleh Dertouzos (1999:31) sebagai "bahan yang paling penting dari inovasi yang sukses". Meskipun demikian, kreativitas tetap menjadi konsep yang rumit dan
19
sukar dipahami, dan telah didefinisikan dalam berbagai cara (Shalley et al., 2000). Namun, Gumusluoglu dan Ilsev (2007) menyatakan bahwa definisi yang
diterima
secara
luas,
mendefinisikan
kreativitas
sebagai
",
konseptualisasi pengembangan produksi, atau ide-ide baru dan berguna, proses, atau prosedur oleh individu atau oleh tim dari individu-individu yang bekerja bersama-sama" (Amabile, 1988: 126). "Berpikir di luar kotak" adalah slogan pakar kreativitas banyak yang benar menghubungkan pemikiran kreatif untuk inovasi perusahaan (Reckhenrich et al., 2009). Memang, tingkat inovasi perusahaan menuntut proactiveness dalam mengeksplorasi metode baru dalam berbisnis (Menguc dan Auh, 2006). Tang (1998: 298) berpendapat "kreativitas merupakan prasyarat untuk inovasi". Sama, Yusuf (2009: 3) menganggap betapa pentingnya kreativitas dalam inovasi, menyatakan bahwa ia berfungsi sebagai "batu loncatan untuk loop kreatif untuk inovasi berbuah", positioning kreativitas sebagai sarana memfasilitasi realisasi keberhasilan inovasi (yaitu, inovasi) . Feinstein (2006) menganggap kreativitas dalam hal mengadopsi cara-cara baru dalam melakukan sesuatu, sejauh menggabungkan berbagai elemen bersama-sama, kombinasi yang mungkin sebelumnya diabaikan. Salavou (2004) dan Sundbo (1997) mendiskusikan kreativitas dalam hal kemampuan "perusahaan berpikir untuk menghasilkan ide-ide yang baru dan berbeda, yang untuk Markides (1998) dapat mengarah pada wawasan baru Selain itu, kreativitas sebagai dimensi inovasi telah banyak dipelajari pada tingkat individu karyawan, dianggap sebagai sumber penting dari inovasi organisasi dan keunggulan kompetitif (Amabile, 1988, 1996; Oldham &
20
Cummings, 1996; Shalley, 1991; Zhou, 2003). Marcati et al. (2008) menganggap kreativitas sebagai gaya kognitif individu. 2. Openness to new ideas The reseptif atau keterbukaan organisasi untuk ide-ide baru dan inovasi sebagai suatu proses yang disebut sebagai "inovasi". Dalam literatur (Emas, 1981). Zaltman et al. (1973) menggunakan istilah "keterbukaan terhadap inovasi", menunjukkan komponen sikap terhadap inovasi (Goldsmith dan Hofacker, 1991). Ini adalah pendekatan perusahaan keseluruhan (misalnya, sikap dan pola pikir) terhadap inovasi (Amabile, 1997, 1996). Hurley dan Hult (1998: 44) mematuhi gagasan keterbukaan terhadap ide-ide baru sebagai satu aspek dari sebuah inovasi perusahaan, dan menganggap budaya sebagai aspek penting dalam perusahaan. Konseptualisasi ini menggarisbawahi penulis saat ini “menekankan pada apa yang Menguc dan Auh sebut sebagai penerimaan dan keinginan perusahaan untuk melupakan kebiasaan lama dan mencoba ide-ide yang belum teruji" (2006: 66). Pemikiran ini sangat menyiratkan bahwa inovasi membutuhkan pola pikir perusahaan atau kecenderungan untuk mendengarkan "semua suara", baik secara internal maupun eksternal (Ahmed, 1998), dan untuk mengeksplorasi dan bereksperimen dengan ide-ide (Lumpkin dan Dess, 1996). Dalam hal ini, Leavitt dan Walton (1975, 1988) mendiskusikan "keterbukaan terhadap pengolahan informasi". Hurt et al. (1977) dalam konseptualisasi mereka inovasi merupakan "keterbukaan terhadap ide-ide baru dan metode". Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa inovasi terdiri dari sebuah ciri kepribadian yang mendasari disebut "keterbukaan terhadap ide-ide baru" yang dimiliki oleh semua perusahaan sampai batas tertentu, meningkatkan
21
niat perusahaan untuk berinovasi, maka akan membawa perusahaan terhadap perilaku inovatif. 3. Intention to innovate Melekat dalam definisi sebelumnya merupakan komitmen atau pengabdian perusahaan terhadap proses inovasi (Berthon et al, 1999;.. Avlonitis et al, 1994), dan keinginannya untuk menjadi inovatif (Kundu dan Katz, 2003). Avlonitis et al. (1994: 14) mempertimbangkan "niat inovasi diwujudkan strategis perusahaan". Inovasi dikonseptualisasikan sebagai niat untuk bertindak secara inovatif mengarah ke inovasi, tetapi itu bukan inovasi itu sendiri. Hal ini terkait dengan. Dari perspektif perilaku, Avlonitis et al. (1994) memperlakukan inovasi sebagai kesediaan perilaku, niat, dan komitmen dari perusahaan untuk berinovasi. Gagasan perubahan perilaku ini cukup umum dalam semua studi pariwisata inovasi (misalnya Hjalager (1997, 1996) dan Stamboulis Skyannis (2003) menyatakan bahwa sebuah perusahaan pariwisata perlu untuk mengubah perilaku dalam rangka untuk tetap berada di garis depan industri dan memerangi tren pasar dan tantangan. Oleh karena itu, inovasi adalah niat perusahaan untuk berinovasi, dibentuk oleh keseluruhan sikap dan pola pikir terhadap inovasi. Yang paling penting adalah fakta bahwa inovasi hanya mengacu pada niat perusahaan
untuk
berinovasi, ia tidak mengacu pada tindakan nyata inovasi. 4. Risk Gagasan "kesediaan untuk mengambil risiko" telah muncul dari definisi novasi
sebelumnya
(Panayides,
2006).
Gounaris
et
al.
(2003)
mempertimbangkan gagasan risiko dalam tingkat kesulitan, ketidakpastian, dan ambiguitas yang berkaitan dengan inovasi. Fell et al. (2003) menyatakan
22
bahwa memperkenalkan produk baru (yaitu, inovasi) yang dibebani dengan risiko, terutama karena diperkirakan bahwa sampai sepertiga dari produk baru gagal di tahap peluncuran (Cooper dan Kleinschmidt, 1987). Midgley dan Dowling (1978) menyelaraskan gagasan "inovasi bawaan", yaitu, inovatif yang mendasari kepribadian sifat manusia, dengan risiko yang dirasakan dan kecenderungan untuk membuat keputusan berisiko. Cowart et al. (2007) juga menemukan bukti empiris untuk mendukung hubungan ini, menemukan inovasi yang mempengaruhi persepsi risiko yang dirasakan dan langsung mempengaruhi niat perilaku. Apa yang sangat penting dari Cowart et al. (2007) pekerjaan adalah penekanan pada "niat perilaku" dan bukan perilaku aktual, menyiratkan bahwa kecenderungan melekat terhadap risiko tidak selalu berarti bahwa adopsi inovasi berikutnya akan muncul, tetapi hanya meningkatkan kemungkinan adopsi tersebut. Memang, literatur menyebutkan berbagai jenis risiko, tergantung pada perspektif peneliti mengacu pada (yaitu, konsumen terhadap perusahaan). Dari perspektif konsumen, Daneels dan Kleinschmidt (2001) mempertimbangkan risiko yang dirasakan adopsi produk baru sebagai dimensi inovasi, yang disebut "adopsi resiko". Pada intinya, risiko adalah bagian penting dari inovasi di berbagai tingkat kepedulian dalam perusahaan. Penulis berpendapat bahwa kesediaan untuk terlibat dalam perilaku berisiko sangat penting sebagai inovasi. 5. Capacity to innovate Avlonitis et al. (1994) berpendapat bahwa tidak cukup bahwa perusahaan hanya memiliki perilaku kemauan untuk berinovasi dan mengambil risiko (yaitu, kemauan dan komitmen), tetapi juga harus memiliki kemampuan teknologi yang dibutuhkan untuk mewujudkan keinginan ini. Hurley dan Hult
23
(1998: 44) melihat kapasitas perusahaan untuk berinovasi sebagai "kemampuan organisasi untuk mengadopsi atau menerapkan ide-ide baru, proses, atau produk "; diperlakukan sebagai "prekursor budaya" yang menyediakan "modal sosial" untuk memfasilitasi inovatif perilaku (Hurley et al., 2005). Demikian juga, Hult et al. (2004) merasionalisasi inovasi sebagai kapasitas perusahaan untuk memperkenalkan proses baru, produk, atau ideide dalam organisasi. Gebert et al. (2003: 42) mendefinisikan inovasi sebagai "kapasitas organisasi untuk meningkatkan produk yang sudah ada dan / atau proses dan kapasitas untuk memanfaatkan sumber daya kreativitas dari organisasi sampai kenyang".
Selain itu, Tang (1998, 1999) percaya
pengetahuan dan keterampilan membentuk dasar kompetensi untuk berinovasi, terdiri dari kedua kreativitas yang berhubungan dengan keterampilan dan pengetahuan yang berhubungan dengan domain-. Slater dan Narver (1994) melihat inovasi sebagai salah satu nilai inti-menciptakan kemampuan yang mendorong kinerja. Demikian pula, baik Markides (1998) dan Besanko et al. (1996) menganggap inovasi sebagai pengembangan strategi kompetitif baru yang menciptakan nilai bagi perusahaan. Penulis percaya bahwa kapasitas inovatif perusahaan yang terbaik dianggap sebagai kemampuan untuk berpotensi menghasilkan inovasi, bagaimanapun, ini dimensi dipengaruhi oleh struktur organisasi. 2.1.4 Business Performance Konsep kinerja (Performance) dapat didefinisikan sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of accomplishtment (Rue dan byars, 1981 dalam Keban 1995). Hal ini berarti bahwa, kinerja suatu organisasi itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana
24
organisasi dapat mencapai tujuan yang didasarkan pada tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama (Robbins dalam Rai, 2008, p40). Di lain pihak, Ahuya menjelaskan bahwa performance is the way of job or task is done by an individual, a group of an organization (Rai, 20008, p40). Dari kedua definisi diatas, terlihat bahwa istilah kinerja mengarah pada 2 hal, yaitu proses dan hasil yang dicapai. Menurut Wirawan (2009, p5), kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu. Kinerja atau Performance, merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan karena kinerja merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam mengelolah dan mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya. Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert dalam Rivai dan Sagala, 2009, p604). Mengingat bahwa alasan dari suatu organisasi itu adalah untuk mencapai tujuan tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya, maka informasi tentang kinerja organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting. Informasi tentang kinerja organisasi dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah proses kerja yang dilakukan organisasi selama ini sudah sejalan dengan tujuan yang diharapkan atau belum. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak organisasi yang
25
justru kurang atau bahkan tidak jarang ada yang tidak mempunyai informasi tentang kinerja dalam organisasinya. Untuk menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator atau kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria yang jelas tidak akan ada arah yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebih efektif diantara : alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desaindesain organisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan wewenang yang berbeda (Bryson, 2002). Sekarang permasalahannya adalah kriteria apa yang digunakan untuk menilai organisasi. Sebagai sebuah pedoman, dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan pada tujuan atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah organisasi privat/swasta yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang yang dihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut mampu memproduksi barang untuk menghasilkan keuntungan bagi organisasi. Indikator yang masih bertalian dengan sebelumnya adalah seberapa besar efficiency pemanfaatan input untuk meraih keuntungan itu dan seberapa besar effectivity process yang dilakukan untuk meraih keuntungan tersebut. Sementara itu ada indikator yang sering kali digunakan untuk mengukur kinerja organisasi privat/publik seperti : work lood/demain,
economy, efficiency,
effectiveness dan equity productivity. Dalam organisasi publik, sulit untuk ditemukan alat ukur kinerja yang sesuai. Bila dikaji dari tujuan dan misi utama kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik, kelihatannya sederhana sekali ukuran kinerja organisasi publik, namun tidaklah demikian kenyataannya,
26
karena hingga kini belum ditemukan kesepakatan tentang ukuran kinerja organisasi publik. Berkaitan dengan kesulitan yang terjadi dalam pengukuran kinerja organisasi publik ini dikemukakan oleh, “kesulitan dalam pengukuran kinerja organisasi pelayanan publik sebagian muncul karena tujuan dan misi organisasi publik seringkali bukan hanya kabur akan tetapi juga bersifat multidimensional. Organisasi publik memiliki stakeholders yang jauh lebih banyak dan kompleks ketimbang organisasi swasta. Stakeholders dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang berbenturan satu dengan yang lainnya, akibatnya ukuran kinerja organisasi publik dimata para stakeholders juga menjadi berbeda-beda”. Namun ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik yaitu sebagai berikut: a. Produktivitas Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. b. Kualitas Layanan Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik. c. Responsivitas Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. d. Responsibilitas
27
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit (Lenvine, 1990). e. Akuntabilitas Akuntabilitas publik menunjukan pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat, asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Kumorotomo (1995) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, antar lain adalah berikut ini: a. Efisiensi Efisiensi
menyangkut
pertimbangan
tentang
keberhasilan
organisasi
pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan fakltor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. b. Efektivitas Apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya organisasi rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan. c. Keadilan Keadilan
mempertanyakan
distribusi
dan
alokasi
layanan
yang
diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. d. Daya Tanggap Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau
28
pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap ini Kinerja bisa juga dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses tertentu yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumber-sumber tertentu yang digunakan (input). Selanjutnya, kinerja juga merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu organisasi. Bagi suatu organisasi, kinerja merupakan hasil dari kegiatan kerjasama diantara anggota atau komponen organisasi dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Sederhananya, kinerja merupakan produk dari kegiatan administrasi, yaitu kegiatan kerjasama untuk mencapai tujuan yang pengelolaannya biasa disebut sebagai manajemen. Sebagai produk dari kegiatan organisasi dan manajemen, kinerja organisasi selain dipengaruhi oleh faktor-faktor input juga sangat dipengaruhi oleh proses-proses administrasi dan manajemen yang berlangsung. Sebagus apapun input yang tersedia tidak akan menghasilkan suatu produk kinerja yang diharapkan secara memuaskan, apabila dalam proses administrasi dan manajemennya tidak bisa berjalan dengan baik. Antara input dan proses mempunyai keterkaitan yang erat dan sangat menentukan dalam menghasilkan suatu output kinerja yang sesuai harapan atau tidak. Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa proses manajemen yang berlangsung tersebut, merupakan pelaksanaan dari fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating, dan controlling (POAC) atau lebih detailnya lagi adalah
29
planning, organizing, staffing, directing, coordinating, regulating, dan budgetting (POSDCoRB). Mengingat bahwa kinerja organisasi sangat dipengaruhi oleh faktor input dan proses-proses manajemen dalam organisasi, maka upaya peningkatan kinerja organisasi juga terkait erat dengan peningkatan kualitas faktor input dan kualitas proses manajemen dalam organisasi tersebut. Analisis terhadap kondisi input dan proses-proses administrasi maupun manajemen dalam organisasi merupakan analisis kondisi internal organisasi. Selain kondisi internal tersebut kondisi-kondisi eksternal organisasi juga mempunyai peran yang besar dalam mempengaruhi kinerja organisasi. Penilaian terhadap faktor-faktor kondisi eksternal tersebut dapat dilakukan dalam analisis: (a) kecenderungan politik, ekonomi, sosial, teknologi, fisik, dan pendidikan; (b) peranan yang dimainkan oleh pihak-pihak yang dapat diajak bekerja sama (collaborators) dan pihak-pihak yang dapat menjadi kompetitor, seperti swasta, dan lembaga-lembaga lain; dan (c) dukungan pihak-pihak yang menjadi sumber resources seperti para pembayar pajak, asuransi, dan sebagainya (Bryson, 1995 dalam Keban, 2001). Berkaitan dengan upaya peningkatan kinerja organisasi, maka pilihan mana yang akan dioptimalkan penanganannya, apakah pada sisi internal organisasi atau pada sisi eksternal organisasi, itu tergantung pada permasalahan yang dihadapi organisasi. 2.1.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi Kinerja organisasi yang baik merupakan tujuan dari setiap organisasi/ perusahaan. Menurut Wirawan (2009, p7), faktor-faktor organisasi dapat dijelaskan sebagai berikut :
yang dapat mempengaruhi kinerja
30
•
Faktor Internal Karyawan Faktor internal karyawan, yaitu faktor-faktor dari dalam diri karyawan yang merupakan faktor yang diperoleh ketika ia berkembang. Faktor-faktor bawaan, misalnya bakat, sifat pribadi, serta keadaan fisik dan kejiwaan. Sementara
itu, faktor-faktor
yang diperoleh
misalnya
pengetahuan,
keterampilan, etos kerja, pengalaman kerja dan motivasi kerja. Setelah dipengaruhi oleh lingkungan internal organisasi dan lingkungan eksternal organisasi, faktor internal karyawan ini menentukan kinerja mereka. •
Faktor Lingkungan Internal Organisasi Dalam melaksanakan tugasnya, karyawan memerlukan dukungan organisasi tempat mereka bekerja. Dukungan tersebut sangat mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja karyawan.
•
Faktor Lingkungan Eksternal Organisasi Faktor-faktor lingkungan eksternal organisasi adalah keadaan, kejadian, atau situasi yang terjadi di lingkungan eksternal organisasiyang mempengruhi kinerja. Misalnya, krisi ekonomi, budaya masyarakat dan lain halnya.
31
2.2
Kerangka Pemikiran
Learning Orientation • • • •
Commitment to Learning Shared Vision Open Mindedness Intraorganizational Knowledge Sharing
T6 T2
Business Performance • •
Innovativeness
T1
• • • • •
T4
Creativity Openness to new ideas Intention to innovate Risk Capacity to innovate
T5
•
Faktor Internal Karyawan Faktor Internarl organisasi/perusahaan Faktor lingkungan eksternal
Entrepreneurial Orientation
T3 • • • • •
Autonomy Innovativeness Risk Taking Proactiveness Competitive aggressiveness
T7
Sumber : Hasil Pengolahan Data Penelitian, 2012 Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 2.3
Hipotesis •
H1 = Entrepreneurial Orientation memiliki hubungan terhadap Learning Orientation dalam dealer mobil
•
H2 = Learning orientation dan Entrepreneurial Orientation secara simultan memiliki pengaruh terhadap Innovativeness dalam dealer mobil
•
H3 = Learning Orientation memiliki pengaruh terhadap Innovativeness dalam dealer mobil
•
H4
=
Entrepreneurial
Orientation
Innovativeness dalam dealer mobil
memiliki
pengaruh
terhadap
32
•
H5 = Learning Orientation, Entrepreneurial Orientation dan Innovativeness secara simultan memiliki pengaruh terhadap Business Performance dalam dealer mobil
•
H6 = Learning Orientation memiliki pengaruh terhadap Business Performance dalam dealer mobil
•
H7 = Entrepreneurial Orientation memiliki pengaruh terhadap Business Performance dalam dealer mobil
•
H8 = Innovativeness memiliki pengaruh terhadap Business Performance dalam dealer mobil
2.4
Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Judul
Sumber
Hasil Penelitian
The Innovativeness Effect
International Journal
Learning orientation
Of Market Orientation And of Manpower Vol.
positively correlates with
Learning Orientation On
innovativeness (Beta ¼
Business Performance
29 No. 8, 2008. Lin, Peng, Kao (2008)
0:65, t-value ¼ 5:23 ( p,0.05)) and innovativeness positively correlates with business performance (Beta ¼ 0:33, t-value ¼ 4:91 ( p , 0.05))
The Effect of
International Journal
Entrepreneurship
of Trade, Economics
•
Entrepreneurship orientation has
33
Orientation on Learning
and Finance, Vol.1,
significantly positive
Orientation and
No.3, October, 2010.
relationship with
Innovation: A Study of Small-Sized Business Firms in Iran
commitment to learning
Ali Reza Ma’atoofi
(β = 0.753; t = 10.237;
and Kayhan
p < 0.001),
Tajeddini (2010)
open-mindedness (β = 0.818; t = 12.699; p < 0.001) and shared vision (β = 0.730; t = 9.552; p < 0.001) •
commitment to learning (β = 0.722; t = 9.321; p < 0.001), open-mindedness (β = 0.817; t = 12.675; p < 0.001) and shared vision (β = 0.671; t = 8.093; p < 0.001) are positively and significantly related to innovation
Learning orientation, firm
Industrial Marketing
The coefficient on the path
34
innovation capability, and
Management 31
from learning orientation
firm performance
(2002) 515– 524.
to firm innovativeness is
Roger J. Calantone, S.Tamer Cavusgila, Yushan Zhao (2002) Sumber : Jurnal
.49 (t = 5.28, P < .01).