BAB 2
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Definisi Kepemimpinan Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok menuju tercapainya tujuan yang ditentukan (Robbins dan Coulter) dalam Susanto dan Aisiyah (2010). Hughes et al dalam Tjihardi et al (2012:19) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi sebuah kelompok yang terorganisir untuk mencapai semua tujuan mereka. Clawson dalam Tjihardi et al (2012:19) mengatakan kepemimpinan adalah kesadaran dan keinginan untuk mempengaruhi orang lain, yang selanjutnya mereka memberikan tanggapan atas keinginan sendiri untuk mengikutinya. Walters (2004:8) menyatakan bahwa kepemimpinan berarti turut melibatkan orang lain dan lebih mengutamakan visi di atas segalanya, baru kemudian tiba pada langkah pelaksanaannya. Walters juga menambahkan bahwa kepemimpinan bersifat dinamis dan situasional yang artinya tidak ada satu cara terbaik yang dapat digunakan untuk segala situasi yang dihadapi. Menurut Crosby dalam Tjihardi et al (2012:20) kepemimpinan adalah penyebab berbagai tindakan yang digerakkan orang secara cermat dengan terencana yang bertujuan untuk penyelesaian agenda pemimpin. Sedangkan menurut Covey (2004:74) kepemimpinan adalah sarana komunikasi kepada bawahan tentang nilai dan potensi mereka dengan sangat jelas
10
11
dan kemudian mereka datang untuk menemukan nilai dan potensi tersebut di dalam diri mereka. Kepemimpinan dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dalam melakukan inisiasi terhadap kelompok perlu didukung oleh kemampuan pemimpin sebagai modal utama yang berasal dari dalam diri seorang pemimpin itu sendiri yang merupakan faktor intrinsik yang berupa ability/kemampuan, capability/kesanggupan dan
personality/kepribadian
(Sulistiyani,
2008:21-22).
Kepemimpinan
lebih
mendasarkan pada sebuah itikad untuk melakukan peran mempengaruhi dan mengarahkan secara efektif agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan baik. Schwandt dan Marquardt dalam Sahertian (2010) mengatakan bahwa peran pemimpin sangat diperlukan dalam menetapkan tujuan, mengalokasikan sumber daya yang langka, memfokuskan perhatian pada tujuan perusahaan, mengkoordinasikan perubahan yang terjadi, membina kontak antar pribadi dengan pengikutnya, dan menetapkan arah yang benar atau yang paling baik bila kegagalan terjadi. Kecepatan dari perubahan yang dihadapi oleh berbagai organisasi dewasa ini telah membuat banyak kalangan menyerukan tentang perlunya kepemimpinan yang lebih adaptif dan fleksibel. Pemimpin yang adaptif akan dapat bekerja sama dengan pengikut mereka untuk menciptakan solusi yang kreatif bagi berbagai masalah yang kompleks dan sekaligus mengembangkan diri mereka sendiri agar bisa menangani tanggung jawab kepemimpinan yang lebih luas jangkauannya (Bennis) dalam Sahertian (2010).
2.1.1.1 Gaya Kepemimpinan Di dalam suatu organisasi, gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor lingkungan intern yang sangat jelas mempunyai pengaruh terhadap perumusan kebijaksanaan dan penentuan strategi organisasi yang bersangkutan. Hal ini penting
12
mendapat perhatian karena seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya memperhatikan beberapa bentuk sikap yang berbeda. Menurut House dan Mitchell dalam Siregar (2009) terdapat tiga gaya kepemimpinan yaitu: − Supportive leadership Gaya kepemimpinan yang memberi perhatian terhadap kebutuhan para bawahan,
memberi
perhatian
terhadap
kesejahteraan
mereka
dan
menciptakan suasana yang bersahabat dalam unit kerja mereka. − Directive leadership Gaya kepemimpinan yang memberitahukan kepada para bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberi pedoman yang spesifik, meminta para bawahan untuk mengikuti peraturan dan prosedur, mengatur waktu dan mengkoordinasikan pekerjaan mereka. − Participative leadership Gaya kepemimpinan yang lebih mengutamakan berkomunikasi dengan para bawahan dan memperhitungkan opini dan saran mereka. Sedangkan menurut Owens dalam Umam (2012:130) ada lima gaya kepemimpinan yaitu: − Gaya kepemimpinan autokratis Pemimpin yang autokratis adalah yang pemimpin yang memiliki wewenang dari suatu sumber (misalnya karena posisinya), pengetahuan, kekuatan atau kekuasaan untuk memberikan penghargaan ataupun hukuman. − Gaya kepemimpinan birokratis
13
Gaya kepemimpinan yang dijalankan dengan menginformasikan kepada para anggota atau bawahannya tentang suatu tugas dan cara pelaksanaannya. − Gaya kepemimpinan diplomatis Pemimpin
yang diplomatis
adalah
pemimpin
yang tidak
suka
menggunakan kekuasaannya dan dapat memotivasi para karyawan untuk menjalankan tugas pekerjaannya dengan baik. − Gaya kepemimpinan partisipatif Pemimpin partisipatif adalah pemimpin yang terbuka selalu mengajak bawahannya untuk berpartisipasi atau mengambil bagian secara aktif, baik secara luas maupun dalam batas tertentu dalam pengambilan keputusan, pengumuman kebijakan, dan metode operasionalnya. − Gaya kepemimpinan free rein leader Pemimpin free rein leader adalah pemimpin yang memberikan kebebasan kepada anggota atau bawahannya untuk bekerja tanpa pengawasan sama sekali.
2.1.1.2 Pendekatan Kepemimpinan John Adair dalam Susanto dan Aisiyah (2010) menyatakan bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki kepribadian dan watak tertentu yang sesuai dengan situasi umum, didukung kemampuan teknis dan pengalaman yang relevan, yang mampu menyediakan fungsi yang diperlukan untuk menuntun kelompok mencapai tujuan dan dalam waktu yang bersamaan memelihara dan membangun persatuan tim.
14
Lebih lanjut Adair dengan model ACL (Action Centred Leadership) mengemukakan bahwa kepemimpinan seseorang dapat didekati dengan berbagai cara, di antaranya adalah: − Pendekatan kualitas kepemimpinan seseorang Dalam pendekatan ini seorang pemimpin menyiratkan kecenderungan memiliki kualitas yang dikagumi dan diharapkan pengikutnya. Seorang pemimpin adalah seorang yang mempunyai integritas yaitu kualitas yang membuat orang lain percaya. Tanpa integritas tentu kepemimpinan seseorang tidak ada artinya. − Pendekatan Situasional (Teori Kontingensi) Menurut pendekatan ini kepemimpinan seseorang akan mengalami perubahan di antara dua sisi yaitu orientasi tugas dan kepekaan (hubungan antar manusia) serta berusaha memprediksi keadaan yang membuat salah satu gaya kepemimpinan lebih cocok dibanding gaya yang lain. − Kebutuhan Individu Penerapan teori motivasi Maslow, kebutuhan individu bermula dari pemenuhan kebutuhan fisiologis (makan, minum, sandang, dan tempat tinggal), kemudian meningkat ke kebutuhan keamanan (perlindungan dan stabilitas), kebutuhan sosial (perasaan memiliki dan diterima kelompok, kekeluargaan serta persahabatan), kebutuhan harga diri (status, kehormatan diri, penghargaan, pengakuan, reputasi, dan prestasi) dan kebutuhan aktualisasi diri (penggunaan potensi diri pertumbuhan dan pengembangan diri.
15
2.1.2 Supportive Supervisors Menurut Mulianto, Cahyadi dan Widjayakusuma (2006:3) mengatakan bahwa supervisor adalah orang yang memiliki kelebihan atau mempunyai keistimewaan, yang tugasnya melihat dan mengawasi pekerjaan orang lain. Griffin, Patterson dan West dalam Zaigham (2010) mengatakan bahwa supportive supervisors adalah sejauh mana supervisor memberikan dorongan dan dukungan kepada karyawan dalam kelompok kerja mereka yang secara langsung berdampak pada reaksi afektif dari bawahannya. Supportive supervisor membantu menciptakan sebuah lingkungan di mana karyawan dapat dengan mudah terlibat dalam organizational citizenship behavior (OCB). Bukti yang menunjukkan bahwa supervisor mendukung para bawahannya adalah dengan mereka memfasilitasi kepuasan kerja dan komitmen organisasi karyawan sehingga berpengaruh positif terhadap kinerja dan organizational citizenship behavior (OCB) mereka (Schaubroeck dan Fink) dalam Zaigham (2010). Hampir semua deskripsi dari perubahan organisasi yang sukses menekankan pentingnya dukungan manajemen. Sedangkan Zellars, Tepper dan Duffy dalam Zaigham (2010) mengungkapkan bahwa bawahan yang bekerja dengan supervisor yang kasar dianggap kurang memiliki organizational citizenship behavior (OCB) daripada rekan mereka yang lain. Selanjutnya, bawahan supervisor yang kasar memiliki kurang kepercayaan terhadap supervisor tersebut sehingga komitmen organisasi para bawahan tersebut menjadi lemah (Duffy dan Ferrier) dalam Zaigham (2010). Hasil studi Loke dalam Zaigham (2010) menunjukkan bahwa manajer seharusnya menerapkan perilaku kepemimpinan dengan tepat untuk mempengaruhi karyawan untuk hasil organisasi yang lebih baik. Jika usaha untuk menyediakan
16
lingkungan yang mendukung untuk meningkatkan kepuasan kerja, produktivitas dan komitmen organisasi tidak dilakukan dengan baik yang ada akan berdampak buruk dan
mengakibatkan
kinerja
karyawannya
menurun.
Karyawan
mampu
mengidentifikasi sumber dari perlakuan tidak adil di tempat kerja (yaitu berasala dari atasan atau rekan kerja) dan ini dapat meningkatkan ketidakpuasan karyawan, kesusahan, dan organizational citizenship behavior (OCB) yang menjadi agresif (Ladebo, Awotunde dan Saghir) dalam Zaigham (2010). Jadi, dapat disimpulkan bahwa supportive supervisors adalah penerapan gaya kepemimpinan yang tepat oleh supervisor yang berfungsi untuk mendorong dan memberikan dukungan kepada bawahan sehingga dapat berdampak pada meningkatnya organizational citizenship behavior (OCB) para karyawan dalam perusahaan.
2.1.2.1 Faktor-Faktor Supportive Supervisors Dalam Zaigham (2010) dapat dikatakan bahwa seorang supervisor memiliki peran sebagai pemimpin yang dapat memberikan support dan dorongan kepada para karyawan dan jika perusahaan ingin menerapkan supportive supervisors maka harus mengutamakan beberapa faktor berikut ini: − Leadership Supervisor
menggunakan
gaya
kepemimpinan
yang
tepat
untuk
mempengaruhi para karyawannya. − Motivation Memberikan kebebasan bekerja kepada karyawan karena karyawan tersebut dianggap sudah memiliki kemampuan.
17
− Feedback Seorang pemimpin yang efektif memberikan umpan balik tentang peran dan tugas para karyawan.
2.1.3 Definisi Empowerment Empowerment adalah wewenang untuk membuat keputusan dalam suatu area kegiatan operasi tertentu tanpa harus memperoleh pengesahan orang lain (Luthans) dalam Chasanah (2008). Sedangkan Straub dalam Chasanah (2008) mengatakan empowerment sebagai pemberian otonomi, wewenang, kepercayaan, dan mendorong individu dalam suatu organisasi untuk mengembangkan peraturan dalam rangka menyelesaikan pekerjaan. Empowerment merupakan pemberian tanggung jawab dan wewenang terhadap pekerja untuk mengambil keputusan menyangkut semua pengembangan produk dan pengambilan keputusan. Empowerment juga berarti saling berbagi informasi dan pengetahuan di antara karyawan yang digunakan untuk memahami dan mendukung kinerja organisasi, pemberian penghargaan terhadap kinerja organisasi dan pemberian otonomi dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh terhadap organisasi (Ford) dalam Chasanah (2008). Empowerment merupakan sarana untuk membangun kepercayaan antara karyawan dan manajemen. Ada dua karakteristik dalam empowerment, pertama bahwa karyawan didorong untuk menggunakan inisiatif mereka sendiri, dan kedua karyawan tidak hanya hanya diberi wewenang saja tetapi juga diberi sumber daya untuk melakukan pengambilan keputusan sesuai dengan kreativitas dan inovasi mereka. Secara tidak langsung karyawan juga didorong untuk melakukan pembelajaran dari hasil keputusan dan pelaksanaannya.
18
Thomas dan Veltahouse dalam Chasanah (2008) beragumentasi bahwa empowerment merupakan suatu yang multifaceted yang esensinya tidak bisa dicakup dalam satu konsep tunggal. Dengan kata lain empowerment mengandung pengertian perlunya keleluasaan kepada individu untuk bertindak dan sekaligus bertanggung jawab atas tindakannya sesuai dengan tugas yang diembannya. Konsep empowerment ini juga berarti bahwa seseorang akan mampu untuk berperilaku secara mandiri dan penuh tanggung jawab. Dari berbagai pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa empowerment adalah karyawan diberikan kepercayaan, wewenang serta tanggung jawab atas pengambilan keputusan yang dilakukan.
2.1.3.1 Aspek / Komponen Empowerment Berikut ini aspek/komponen empowerment yang perlu diperhatikan (Sedarmayanti, 2007:289) : − Kemampuan karyawan meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau perilaku. − Penempatan karyawan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan jabatan dalam suatu organisasi. − Kewenangan yang jelas. − Tanggung jawab karyawan yang jelas. − Kepercayaan terhadap karyawan. − Dukungan terhadap karyawan. − Kepemimpinan. − Motivasi.
19
2.1.3.2. Faktor-Faktor Empowerment Khan dalam Chasanah (2008), menawarkan sebuah model pemberdayaan yang dapat dikembangkan dalam sebuah organisasi. Model pemberdayaan tersebut yaitu: − Desire adalah tahap di mana ada keinginan dari manajemen untuk mendelegasikan dan melibatkan pekerja misalkan seperti karyawan diberikan kesempatan untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang dan karyawan diberi kesempatan untuk dapat membuat strategi kerja yang baru. − Trust (membangun kepercayaan antara manajemen dengan karyawan), hal ini terjadi
setelah
ada
keinginan
dari
manajemen
untuk
melakukan
pemberdayaan misalkan dengan memberi kesempatan kepada para karyawan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. − Confident adalah tahap menimbulkan rasa percaya diri karyawan dengan menghargai kemampuan yang dimiliki oleh karyawan. − Credibility
adalah
memberikan
penghargaan
dan
mengembangkan
lingkungan kerja yang mendorong kompetisi yang sehat, sehingga tercipta organisasi yang memiliki kinerja yang tinggi misalkan dengan perusahaan menganggap karyawan sebagai partner bisnis yang strategis. − Accountability adalah menetapkan secara konsisten dan jelas tentang peran, standar dan tujuan penilaian terhadap kinerja karyawan, tahap ini merupakan sarana evaluasi terhadap kinerja misalkan jika karyawan sedang menghadapi beban kerja yang berlebih maka perusahaan berusaha membantu dengan memberikan saran terhadap karyawan untuk menghadapi beban kerja tersebut.
20
− Communication adalah tersedianya komunikasi yang terbuka untuk menciptakan
saling
memahami
antara
karyawan
dan
manajemen.
Keterbukaan ini dapat diwujudkan dengan adanya kritik, saran terhadap hasil dan prestasi yang dilakukan pekerja misalkan pihak perusahaan bersedia mendiskusikan masalah yang sedang dihadapi secara terbuka dengan para karyawan.
2.1.4 Perilaku Organisasi Wagner dan Hollenbeck (2010:5) berpendapat bahwa perilaku organisasi adalah bidang studi yang berusaha untuk memahami, menjelaskan, memprediksi, dan mengubah perilaku manusia seperti yang terjadi dalam konteks organisasi. Menurut Robbins (2007:11), perilaku organisasi adalah suatu bidang studi yang menyelidiki dampak yang dimiliki perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi, dengan maksud menerapkan pengetahuan semacam
itu
untuk
memperbaiki efektifitas organisasi. Menurut Luthans (2006:20), perilaku organisasi didefinisikan sebagai pemahaman, prediksi, dan manajemen perilaku manusia dalam organisasi. Maka, berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku organisasi adalah bidang ilmu yang berusaha untuk menyelidiki, memahami, memprediksi, dan mengatur bagaimana orang bertindak dalam organisasi serta juga dapat mengubah perilaku individu, kelompok, dan organisasi dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi. Greenberg dan Baron (2003:4) menyatakan bahwa ada empat karakter utama dari bidang ilmu perilaku organisasi, yaitu:
21
− Perilaku organisasi menggunakan metode ilmiah untuk mengatasi berbagai masalah manajerial pengetahuan dalam perilaku organisasi berdasarkan pada ilmu perilaku (behavioral sciences), seperti psikologi dan sosiologi yang mencari tahu tentang perilaku manusia dan masyarakat melalui penggunaan metode ilmiah. − Perilaku organisasi fokus pada tiga level analisis, yaitu individu, kelompok, dan organisasi. Perilaku organisasi tidak hanya menyoroti karyawan secara individual, karena dalam organisasi orang bekerja sama dalam kelompok dan tim. Lebih jauh, orang secara individu maupun kelompok mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan kerja mereka. Level individu yang dipelajari dalam perilaku organisasi misalnya sikap kerja, level kelompok misalnya komunikasi, dan level organisasi misalnya struktur. − Perilaku
organisasi
sebenarnya
merupakan
multi-disipliner.
Perilaku
organisasi tidak hanya mempelajari sebuah topik dari satu perspektif tertentu, melainkan juga mempertimbangkan berbagai macam pendekatan, mulai dari pendekatan psikologi yang sangat berorientasi pada individu, ilmu sosiologi yang lebih berorientasi pada kelompok, hingga beragam isu dalam kualitas organisasi yang dipelajari oleh para ilmuwan manajemen. − Perilaku organisasi berusaha mengembangkan efektivitas organisasi dan kualitas kehidupan dalam pekerjaan. Disiplin ilmu yang menyumbang kepada bidang perilaku organisasi (Robbins, 2007:12-14): − Psikologi, yaitu ilmu yang berupaya mengukur, menjelaskan, dan dapat mengubah perilaku manusia dan binatang.
22
− Psikologi sosial, yaitu suatu bidang di dalam psikologi yang memadukan beragam konsep baik dari psikologi maupun sosiologi dan yang memusatkan perhatian pada saling mempengaruhi antara manusia. − Sosiologi, yaitu studi tentang manusia dalam hubungan dengan sesama manusia. − Antropologi, yaitu studi tentang masyarakat untuk mempelajari mengenai manusia dan kegiatan mereka.
2.1.5 Definisi Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational
Citizenship
Behavior
(OCB)
atau
kewarganegaraan
organisasional sangat terkenal dalam perilaku organisasi saat pertama kali diperkenalkan sekitar 20 tahun yang lalu dengan dasar teori disposisi/kepribadian dan sikap kerja. Dasar kepribadian untuk OCB merefleksikan ciri/trait predisposes karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian, dan sungguh-sungguh. Sedangkan dasar sikap mengindikasikan bahwa karyawan terlibat dalam OCB untuk membalas tindakan organisasi (Luthans, 2006:251). Robbins dan Judge (2008:40) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut. Sedangkan, menurut Organ dalam Budihardjo (2012:139) OCB merupakan bentuk perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal organisasi. Ini berarti, perilaku tersebut tidak termasuk dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak dilakukan pun tidak diberi hukuman.
23
Sementara itu, Johns dalam Budihardjo (2012:140) mengatakan bahwa OCB memiliki karakteristik perilaku sukarela (extra-role behavior/ERB) yang dapat didefinisikan sebagai perilaku yang menguntungkan organisasi atau diarahkan untuk menguntungkan organisasi, dilakukan secara sukarela, dan melebihi ekspektasi peran yang ada. Perilaku tersebut dilakukan baik secara disadari maupun tidak disadari, diarahkan maupun tidak diarahkan, untuk dapat memberikan manfaat dan keuntungan bagi perusahaan. Dipola dan Hoy dalam Budihardjo (2012:140) menjelaskan bahwa OCB adalah perilaku karyawan yang mempraktekkan peranan tambahan dan menunjukkan sumbangannya kepada organisasi melebihi peran spesifikasinya dalam kerja serta kesediaan dan keikutsertaan untuk melakukan usaha yang melebihi tanggung jawab formal dalam organisasi merupakan sesuatu yang efektif untuk meningkatkan fungsi sebuah organisasi. Berdasarkan berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa OCB Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi volunter untuk tugas ekstra, patuh terhadap aturan dan prosedur di tempat kerja sehingga dapat membuat karyawan bekerja lebih dari tuntutan pekerjaan yang diberikan perusahaan dan akan memberikan keuntungan bagi perusahaan jika para karyawannya menerapkan OCB.
2.1.5.1 Faktor-Faktor Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dimensi OCB menurut Organ, Podsakoff dan Mackenzie dalam Budihardjo (2012:140-142) adalah sebagai berikut : − Helping behaviour/altruism/courtesy
24
Menunjukkan suatu perilaku membantu orang lain secara sukarela yang bukan merupakan tugas dan kewajiban utamanya. − Sportmanship Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengeluh, terus bersikap positif, dan bersedia mengorbankan kepentingannya sendiri demi kelompok. − Organizational compliance/general compliance/organizational obedience Menunjukkan suatu sikap individu yang menerima peraturan dan prosedur yang berlaku di dalam organisasi. − Organizational loyalty/spreading goodwill Perilaku individu yang berkaitan dengan upaya mempromosikan citra organisasi ke pihak luar serta melindungi organisasi dari ancaman eksternal serta tetap bertahan kerja walaupun organisasi tersebut sedang dalam keadaan yang tidak menguntungkan dan penuh resiko. − Civic virtue/organizational participations Keterlibatan individu dalam mengatasi berbagai persoalan yang sedang dihadapi organisasi serta peduli terhadap keberlangsungan organisasi. − Individual initiative/conscientiousness Suatu perilaku individu yang menunjukkan upaya sukarela dalam menjalankan tugasnya secara kreatif demi meningkatkan kinerja organisasi. − Self-development Suatu perilaku individu yang berkaitan dengan upaya mengembangkan kompetensi yang dimilikinya secara sukarela.
25
2.1.5.2 Motif yang mendasari Organizational Citizenship Behavior (OCB) Menurut McClelland, manusia memiliki tiga tingkatan motif (Hardaningtyas, 2005:14) : − Motif berprestasi, mendorong orang untuk menunjukkan suatu standard keistimewaan (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau kompetisi. − Motif afiliasi, mendorong orang untuk mewujudkan, memelihara, dan memperbaiki hubungan dengan orang lain. − Motif kekuasaan, mendorong orang untuk mencari situasi di mana mereka dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain. Kerangka motif berprestasi, afiliasi, dan kekuasaan telah diterapkan untuk memahami OCB seperti dalam gambar 2.1 berikut ini:
Motif Berprestasi Dengan OCB berarti : • Kesempurnaan tugas • Kesuksesan organisasi
OCB
Motif Afiliasi Dengan OCB berarti: • Pembentukan dan pemeliharaan relasi • Penerimaan dan persetujuan
Motif Kekuasaan Dengan OCB berarti : • Mendapat kekuasaan dan status • Menunjukkan kesan positif
Gambar 2.1 Motif OCB
26
2.1.5.3 Manfaat Organizational Citizenship Behavior (OCB) dalam Perusahaan Dari hasil-hasil penelitian mengenai OCB, dapat ditemukan beberapa manfaat OCB, sebagai berikut (Hardaningtyas, 2005:18): 1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja. − Karyawan yang menolong rekan kerja akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan tersebut. − Seiring berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau kelompok. 2. OCB meningkatkan produktivitas manajer. − Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja. − Karyawan yang sopan dan menghindari konflik dengan rekan kerja akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen. 3. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan. − Jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer. Konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat perencanaan bagi organisasi. − Karyawan yang menampilkan conscentioussness yang tinggi hanya membutuhkan
pengawasan
minimal
dari
manajer
dapat
mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini
27
berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting. − Karyawan lama membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut. − Karyawan yang menampilkan perilaku sportsmanship akan sangat menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan. 4. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara fungsi kelompok. − Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril (morale) dan keretakan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi untuk pemeliharaan fungsi kelompok. − Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik manajemen terbuang. 5. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasikan kegiatankegiatan kelompok kerja. − Menampilkan perilaku civic virtue (seperti menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam peremuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi di antara anggota keompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan efisiensi kelompok.
28
− Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling memberi informasi tentang pekerjaan dengan anggota tim lain) akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan. 6. OCB
meningkatkan
kemampuan
organisasi
untuk
menarik
dan
mempertahankan karyawan terbaik. − Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan keretakan serta perasaan saling memiliki di antara anggota kelompok, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan yang baik. − Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku sportsmanship
(misalnya
tidak
mengeluh
karena
permasalahan-
permasalahan kecil) akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi. 7. OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi. − Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas (dengan cara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja. − Karyawan yang conscientiuous cenderung mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada kinerja unit kerja. 8. OCB meningkatkan kemampuan organiasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan. − Karyawan yang mempunyai hubungan yang dekat dengan pasar dengan sukarela memberi informasi tentang bagaimana merespon perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat.
29
− Karyawan yang secara aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuanpertemuan di organisasi akan membantu menyebabkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi. − Karyawan yang menampilkan perilaku conscientiousness (misalnya kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian baru) akan meningkatkan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.
2.1.6 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu Yang Relevan Berikut ini adalah hasil penelitian-penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian yang akan dilakukan penulis: 1.
Penelitian oleh Zaigham, Nida (2010) yang berjudul “Impact of Supportive Supervisors & Empowerment on Organizational Citizenship Behavior (OCB) in The Private Sector of Pakistan”. Hasil akhir dari penelitian ini adalah ketika karyawan diberdayakan dengan baik mereka akan menunjukkan organizational citizenship behavior (OCB), sama ketika karyawan memiliki dukungan supervisor & lingkungan organisasi yang kooperatif maka mereka akan melibatkan diri dalam organizational citizenship behavior (OCB). Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bahwa supportive supervisors memiliki pengaruh yang signifikan terhadap organizational citizenship behavior (OCB) begitu pula dengan empowerment juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap organizational citizenship behavior (OCB).
2.
Penelitian oleh Wech, Barbara (2009) yang berjudul “Trust context: Effect on organizational citizenship behavior, supervisory fairness, and job satisfaction beyond the influence of leader-member exchange”. Hasil akhir dari penelitian
30
ini adalah meskipun organizational citizenship behavior (OCB) tidak resmi diakui oleh organisasi tetapi seiring berjalannya waktu, organizational citizenship behavior (OCB) tersebut dapat menghasilkan keuntungan melalui kenaikan gaji, bonus, dan atau peluang karir. Ini berarti bahwa dalam kelompok dengan konteks kepercayaan yang positif, para bawahan percaya organizational citizenship behavior (OCB) mungkin lebih mudah diakui oleh supervisor mereka. Meskipun perilaku diarahkan rekan kerja dan supervisor, hal ini dapat berkonotasi ada hubungan yang positif dengan atasan dan dapat digunakan untuk membalas perilaku yang diterima dari supervisor. Jadi dengan kata lain supportive
supervisor
memiliki
pengaruh
yang
signifikan
terhadap
organizational citizenship behavior (OCB). 3.
Penelitian oleh Menon, Sanjay (2008) yang berjudul “Psychological empowerment: definition, measurement, and validation”. Hasil akhir dari penelitian ini adalah empowerment memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh secara signifikan karena program empowerment dilakukan para supervisor dengan cara supervisor melakukan konsultasi pekerjan dengan para karyawan sehingga mereka dapat mengerjakan semua tugas yang dihadapi dengan baik dan tentu saja ini akan menghasilkan output yang sangat positif seperti karyawan menjadi memiliki komitmen yang tinggi terhadap perusahaan, karyawan senang atas pekerjaan yang mereka hadapi dan tentu saja ini akan membuat karyawan melakukan organizational citizenship behavior (OCB) tanpa diarahkan kembali oleh pihak perusahaan.
31
2.2 Kerangka Pemikiran
Supportive Supervisors (X1)
Organizational Citizenship Behavior (Y)
e
Empowerment (X2)
Keterangan: Menggambarkan pengaruh secara parsial
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Menggambarkan pengaruh secara simultan
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis Hipotesis penelitian berdasarkan tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Hipotesis untuk T – 1 −
H0 : tidak ada pengaruh secara signifikan antara Supportive Supervisors (X1) terhadap Organizational Citizenship Behavior (Y).
−
Ha : ada pengaruh secara signifikan antara Supportive Supervisors (X1) terhadap Organizational Citizenship Behavior (Y).
2. Hipotesis untuk T – 2
32
−
H0 : tidak ada pengaruh secara signifikan antara Empowerment (X2) terhadap Organizational Citizenship Behavior (Y).
−
Ha : ada pengaruh secara signifikan antara Empowerment (X2) terhadap Organizational Citizenship Behavior (Y).
3. Hipotesis untuk T – 3 −
H0 : tidak ada pengaruh secara signifikan antara Supportive Supervisors (X1), dan Empowerment (X2) terhadap Organizational Citizenship Behavior (Y).
−
Ha : ada pengaruh secara signifikan antara Supportive Supervisors (X1) dan Empowerment (X2) terhadap Organizational Citizenship Behavior (Y).