BAB 1 PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah A. Latar belakang Makanan dan minuman yang awalnya merupakan kebutuhan primer, saat ini telah berkembang menjadi gaya hidup. Apresiasi terhadap makanan dan minuman yang berkualitas baik telah menjadi salah satu kenikmatan besar dalam hidup (Bridle dan Timberlake, 1997). Konsumen menilai kualitas makanan dengan memperhatikan tiga hal yakni warna, rasa, dan tekstur. Dari ketiga hal tersebut, warna mendapatkan porsi perhatian yang paling besar. Keberadaan warna sering dikaitkan dengan tingkat keamanan makanan. Karenanya, warna bisa menggiring konsumen untuk menjadikan makanan itu sebagai preferensi, mengarahkannya pada kadar akseptabilitas tertentu, sebelum akhirnya menjadikannya sebagai pilihan (Delgado-Vargas dan Paredes-Lopez, 2002). Banyaknya proses yang dilalui serta panjangnya jalur distribusi produk makanan sebelum sampai kepada konsumen mengakibatkan terjadinya degradasi warna, bahkan hilangnya warna makanan. Oleh sebab itu, penambahan zat-zat aditif ke dalam produk makanan, khususnya bahan pewarna, menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena selain untuk mengembalikan penampilan poduk makanan seperti sedia kala, juga unuk memastikan keseragaman warna makanan, mengintensifkan warna makanan sehingga tampak seperti pada keadaan normalnya, melindungi
1
komponen lain yg terkandung di dalam makanan (contohnya, antioksidan), memperoleh kenampakan terbaik makanan, mempertahankan ciri khas dan karakteristik visual makanan (Delgado-Vargas dan Paredes-Lopez, 2002). Ada dua jenis zat pewarna yang digunakan sebagai bahan aditif pada produk makanan, yakni pewarna alami dan pewarna sintetis (artifisial). Dari sisi ekonomi, penggunaan pewarna artifisial bisa jadi lebih menguntungkan. Namun jika ditilik dari sisi keamanan, masih terdapat kekurangan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengkaji hal ini lebih lanjut dan melaporkan bahwa pewarna artifisial ternyata memiliki dampak negatif bagi tubuh. Pewarna artifisal pada makanan berkorelasi positif terhadap munculnya hiperkinesis dan hiperaktivitas pada anak-anak (Fiengold, 1976; Bateman, dkk., 2004; McCann, dkk., 2007). Amaranth (FD & C Red No. 2) pada konsentrasi 8 mM menunjukkan aktivitas genotoksik, sitostatik, dan
sitotoksik. Sedangkan tartrazin (FD & C
Yellow No. 5) menunjukkan aktivitas sitotoksik pada konsentrasi 1 mM dan 2 mM (Mpontoukas, dkk., 2010). Selain itu dilaporkan juga bahwa Eritrosin (FD & C Red No. 3) pada konsentrasi 8 mM, 4 mM, dan 2 mM menunjukkan aktivitas sitotoksik dan sitostatik (Mpontoukas, dkk., 2010), sedangkan pada konsentrasi 50 µg/mL dan 70 µg/mL menunjukkan adanya aktivitas genotoksik (Chequer, dkk., 2012). Demikian pula laporan yang disusun oleh Kobylewski dan Jacobson (2010) yang memaparkan bahwa sejumlah pewarna artifisial berpotensi menimbulkan kanker, reaksi alergi, dan hiperaktivitas pada anak-anak.
2
Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) telah banyak diolah menjadi produk minuman tradisional, salad, selai, jelly, dan berbagai jenis makanan olahan tradisional lain (Qi, dkk., 2005; Anonim, 2010). Pemanfaatan yang beragam tersebut dikarenakan kandungan antosianin yang tinggi dalam kelopak bunganya, dengan konstituen utama delphinidin-3-sambubiosida dan cyanidin-3-sambubiosida (Cisse, dkk., 2012; Briddle dan Timberlake, 1997), sehingga menghasilkan warna merah terang dalam produk yang dihasilkan. Antosianin sebagai bahan pewarna telah dikenal sejak berabad-abad silam, namun sampai sekarang potensinya sebagai bahan pewarna masih belum terangkat seluruhnya (Konczak dan Zang, 2004; Aberoumand, 2011; Duangmal, dkk., 2004). Selain potensinya sebagai bahan pewarana, antosianin juga memiliki efek farmakologis. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa antosianin dalam kelopak bunga rosella memiliki efek antioksidan yang tinggi (Christian, dkk,. 2009; Tsai, dkk., 2002; Mohd-Esa, dkk., 2010; Kong, dkk., 2003), efek antihipertensi (Lila, 2004; Herrera-Arellano, dkk., 2004), serta menurunkan kadar glukosa dan kolesterol total dalam darah secara bermakna (Gurrola-Diaz, dkk., 2010). Dengan berbagai potensi yang dimilikinya itu, ekstraksi antosianin dari kelopak bunga rosella perlu dilakukan optimasi untuk bisa mendapatkan jumalh antosianin yang melimpah secara efektif dan efisien. Salah satu bentuk optimasi ekstraksi yang bisa dilakukan adalah penentuan sistem pelarut serta durasi ekstraksi yang optimum.
3
Antosianin merupakan senyawa yang mudah larut dalam air, namun stabilitasnya sangat rendah dalam bentuk larutan maupun dalam formulasi produk makanan yang kompleks. Padahal jika tersedia dalam bentuk terpurifikasi dan stabil dalam penyimpanan, bisa menjadi bahan pewarna alami yang sangat potensial (Gradinaru, dkk., 2003). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilannya antara lain: pH, temperatur, kadar, oksigen, cahaya, enzim, asam askorbat, gula, dan senyawa sulfat (Cavalcanti, dkk., 2011). Beberapa metode ekstraksi telah dikaji untuk mendapatkan ekstrak yang sarat antosianin, salah satunya dengan memanfaatkan berbagai jenis solven antara lain metanol, etanol, aseston, air, atau campuran dari solven-solven tersebut. Penambahan asam klorida atau asam format (asam organik) dalam jumlah yang sedikit juga dilakukan untuk mencegah terjadinya degradasi (Fan, dkk., 2008; Mazza, dkk., 2004). Dalam kaitannya sebagai bahan pewarna makanan dan minuman, pemilihan solven ekstraksi tidak bisa diabaikan, karena nantinya bahan tersebut akan dikonsumsi dan dikhawatirkan residu solven tersebut ada yang ikut terkonsumsi, sehingga perlu dipilih solven yang aman bagi tubuh jika itu terkonsumsi. Etanol dan air di dalam tubuh dianggap lebih aman dibandingkan metanol dan aseton (Ikawati, 2010; Anonim, 2011). Komposisi solven antara etanol dan air yang optimal bisa dievaluasi dengan menggunakan metode simplex lattice design (SLD) yang memakai perhitungan matematis sehingga lebih efisien karena tidak melalui jalan trial and error
(Bondari, 2005). Sedangkan modus ekstraksi yang
4
dianggap paling efisien dan ekonomis adalah dengan cara maserasi, yang memakai prinsip kesetimbangan konsentrasi (anonim, 2000). Dan berdasarkan prinsip kesetimbangan tersebut, maka durasi maserasi memiliki peranan yang signifikan terhadap kadar antosianin yang tersari. Jenis asam yang digunakan untuk mencegah terjadinya degradasi antosianin selama proses maserasi juga perlu diperhatikan. Manakah yang lebih baik, apakah asam mineral (HCl) ataukah asam organik (asam asetat). Penelitian tentang optimasi ekstraksi ini penting dilakukan untuk mengetahui metode manakah yang menghasilkan ekstrak yang optimum berdasarkan parameter kadar antosianin dan densitas warna dengan variabel jenis solven, jenis asam, serta durasi ekstraksi yang selanjutnya diharapkan bisa diproyeksikan ke skala industri. Pemanfaatan rosella sebagai pewarna alam, baik sebagai pewarna makanan dan minuman olahan, produk kosmetik, maupun produk farmasi, akan mengangkat nilai komoditi tersebut yang akan berimbas pada banyak bidang kehidupan negeri ini, terutama bidang kesehatan dan ekonomi.
5
B. Rumusan masalah 1. Komposisi pelarut manakah yang menghasilkan ekstrak dengan respon kadar antosianin dan densitas warna paling optimal dalam ekstraksi kelopak bunga rosella? 2. Jenis asam manakah yang menghasilkan ekstrak dengan respon kadar antosianin dan densitas paling optimal dalam ekstraksi kelopak bunga rosella? 3. Pada durasi waktu berapakah yang menghasilkan ekstrak dengan respon kadar antosianin dan densitas paling optimal dalam ekstraksi kelopak bunga rosella?
C. Tujuan penelitian 1. Untuk mengetahui komposisi pelarut yang paling optimal dalam menyari senyawa antosianin dari kelopak bunga rosella. 2. Untuk mengetahui jenis asam yang paling optimal dalam menyari senyawa antosianin dari kelopak bunga rosella. 3. Untuk mengetahui durasi waktu ekstrasi yang paling optimal dalam menyari senyawa antosianin dari kelopak bunga rosella.
6