BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu wilayah di Indonesia yang menganut sistem kebudayaan patrilineal atau keturunan yang mengikuti garis keturunan ayah. Dalam sistem budaya seperti ini, posisi seorang laki-laki ditempatkan tidak hanya sebagai kepala keluarga semata namun juga dipandang sebagai pemimpin, pengambil keputusan, selalu berada dalam garis terdepan dan selalu mendapatkan penghormatan lebih. Contohnya dalam salah satu masyarakat adat di Sumba Barat, NTT, ketika ada pertemuan keluarga atau acara adat, kaum pria akan duduk di ruang tamu atau ruang paling depan dari bangunan, sedangkan kaum perempuan duduk di ruang dapur atau ruangan yang terpisah dari bangunan utama. Keterlibatan perempuan hanya sebatas menyediakan keperluan makan minum, atau hal-hal yang berkaitan dengan urusan dapur. Pola relasional seperti itu, tidak hanya terjadi dalam satu komunitas saja, namun telah menjadi pemahaman masif masyarakat NTT. Kendati begitu, di NTT sendiri telah muncul gerakan-gerakan berbau feminisme, yang “memaksa” adanya penghargaan terhadap kaum perempuan NTT. pergerakan seperti ini yang pada akhirnya memunculkan kesadaran perempuan NTT untuk berkarya di luar lingkungan rumah tangga, dan tak lagi “berdiri di belakang” kaum lelaki saja. Terbukti saat ini, banyak perempuan NTT yang berhasil memegang tampuk kepemimpinan di berbagai instansimaupun organisasi di Nusa Tenggara Timur. Hal ini juga tak lepas dari kehadiran sosok Kartini, Tokoh perempuan yang berani untuk menyerukan dan menggerakan emansipasi perempuan. Namun dalam ikatan budaya patrilineal yang kuat di masyarakat NTT, keberhasilan perempuan yang melebihi laki-laki masih di pandang sebelah mata. Bahkan ada anggapan “setinggi apapun pendidikan perempuan, ujung-ujungnya akan kembali masuk dapur juga”. Keberadaan media massa di Nusa Tenggara Timur sendiri tak lepas dari atmofsir budaya patrilineal. Pers lokal di NTT masih di dominasi kaum lelaki, sehingga kerap kali pemberitaan yang ditampilkan, masih menempatkan perempuan sebagai objek bukan sebagai subyek. Salah satu pers lokal yang terbesar di NTT adalah Surat Kabar
1
Harian Pos Kupang. SKH Pos Kupang ini memiliki satu rubrik yang ditulis dengan menggunakan bahasa Kupang, yang dinamakan Rubrik Tapale’uk. Secara keseluruhan, bisa dikatakan rubrik yang berisikan opini media ini, mewakili masyarakat Nusa Tenggara Timur. Ditulis dengan alur bercerita, rubrik ini menampilkan keadaan masyarakat Nusa Tenggara Timur sesuai dengan kondisi aslinya, baik itu dari tutur kata, lingkungan, pekerjaan, hingga permasalahan sosial yang dialami. Rubrik Tapale’uk ini diklaim oleh SKH Pos Kupang sebagai rubrik yang berisikan opini media terhadap berbagai persoalan sosial yang terjadi di sekitar masyarakat NTT. Opini media memiliki kekuatan untuk menggerakan opini massa. Tentu saja, dibalik rubrik ini, ada orang-orang yang bekerja di belakangnya, yang bertugas sebagai penulis dan juga penentu ide rubrik ini. Para penulis rubrik ini tidak hanya di dominasi oleh kaum lelaki namun juga kaum perempuan, maka tentu saja pola pikir yang dihasilkan pun akan berbeda-beda. Jika rubrik ini di tulis dengan bahasa lokal, dengan penggambaran sesuai dengan kondisi masyarakat NTT yang sebenarnya, lalu terkait dengan keberadaan perempuan dalam budaya patrilineal, bagaimanakah rubrik ini merepresentasikan perempuan dalam tulisannya. Terlebih dalam hari Kartini, hari peringatan terhadap sosok perempuan yang di hargai di Indonesia. Maka merujuk pada latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan fokus pada representasi perempuan pada Rubrik Tapale’uk.
2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian : Bagaimana Rubrik Tapale’uk SKH Pos Kupang, merepresentasi perempuan NTT dalam Edisi Kartini sejak tahun 2008 hingga 2012?
3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas maka tujuan dalam penelitian ini adalah : -
Untuk mendeskripsikan bagaimana Rubrik Tapale’uk merepresentasikan perempuan dalam wacana.
2
-
Untuk mengevaluasi bagaimana Pos Kupang merepresentasi perempuan sesuai keadaan dalam masyarakat.
4. Manfaat Penelitian 4.1 Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan, bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan atau kajian mendalam tentang media massa dan perempuan dalam masyarakat NTT.
4.2 Secara Akademis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada khalayak, mengenai bagaimana surat kabar mrepresensentasi peran perempuan NTT dalam segala bidang. b. Hasil penelitian berupa analisis wacana kritis representasi perempuan dalam media diharapkan juga mampu memberi masukkan kepada surat kabar lokal yang ada di NTT untuk lebih memperhatikan wacana seputar perempuan NTT, dengan sumbangsih yang mereka berikan bagi masyarakat NTT dimanapun mereka berada.
5. Kerangka Pemikiran 5.1 Opini Media Secara etimologis, opini berasal dari bahasa latin yaitu opinary yang berarti berpikir atau menduga. Beberapa pandangan ahli, menurut Webster’s New Collegiate Dictionary, opini adalah suatu pandangan, keputusan atau taksiran yang terbentuk di dalam pikiran mengenai suatu persoalan tertentu. Menurut Frazier Moore (2004) opini lebih kuat daripada sebuah kesan, tetapi lebih lemah daripada pengetahuan yang positif. Opini merupakan suatu kesimpulan yang ada dalam pikiran dan belum dikeluarkan untuk diperdebatkan. Demikian dengan William Albig yang menjelaskan opini sebagai “any expression on controversial topic”, yang bisa di cuapkan dengan kata-kata dan bisa juga dinyatakan dengan isyarat atau cara-cara lain yang mengandung arti dan segera dipahami maksudnya (Abdurrahman 1995:51-57). Abelson dalam Kasali (1994:20) menyebutkan opini mempunyai unsur pembentuk yaitu belief, attitude dan
3
perception. Akar dari opini adalah persepsi yang ditentukan oleh beberapa faktor yaitu latar belakang budaya, pengalaman masa lalu, nilai yang dianut dan berita yang berkembang. Menurut Effendy ada beberapa jenis opini yaitu : - Opini individu, yaitu pendapat seseorang secara perorangan mengenai sesuatu yang terjadi dimasyarakat. Opini individu jika dikumpulkan mampu menciptakan perpaduan opini publik. - Opini pribadi yaitu pendapat asli seseorang mengenai suatu persoalan. Opini seseorang belum tentu merupakan opini pribadinya, mungkin merupakan opini orang lain yang dianggapnya lebih mendekati kebenaran yang subjektif. - Opini kelompok yaitu pendapat kelompok mengenai masalah sosial.
Opini publik bisa dibangun lewat opini personal yang artinya publik menilai opini personal tersebut mewakili kepentingan/persoalan bersama. Dari sudut pandang ini “yang publik” dibicarakan lewat “yang personal”. Dengan demikian kedudukan subyek dalam opini menjadi penting untuk diperhatikan karena ia menyangkut(kan) kepentingan bersama (kepublikan). Dalam konteks komunikasi publik, hadirnya opini juga mencirikan seberapa jauh kehidupan demokrasi di suatu tempat (negara) diberlangsungkan. Lewat opini, rakyat bisa mengetahui tentang warga negara yang lain. Pemerintah bisa tahu pendapat-pendapat rakyat. Rakyat pun bisa tahu bagaimana penyelenggaraan suatu pemerintahan dijalankan, dan tentu saja mengetahui bagaimana sikap birokrat lewat pendapat-pendapatnya di media (massa). Pun demikian, media massa pun punya ruang beropini seperti tajuk rencana, kartun editorial. Artinya, pendapat redaksi merupakan opini pers tiap-tiap surat kabar. Setiap orang maupun kelompok yang ada dalam masyarakat selalu memiliki kemampuan untuk menyampaikan opini. Cara penyampaian opini pun bisa berbedabeda. Menurut Dan Nimmo, Opini dapat dinyatakan secara aktif maupun secara pasif. Opini dapat dinyatakan secara verbal, terbuka dengan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara jelas, ataupun melalui pilihan-pilihan kata yang sangat halus dan tidak secara langsung dapat diartikan (konotatif). Opini dapat pula dinyatakan melalui perilaku, bahasa tubuh, raut muka, simbol-simbol tertulis, pakaian yang dikenakan, dan oleh
4
tanda-tanda lain yang tak terbilang jumlahnya, melalui referensi, nilai-nilai, pandangan, sikap, dan kesetiaan. Dalam surat kabar, opini adalah pendapat atau pandangan (views) yang sifatnya subjektif mengenai suatu masalah atau peristiwa yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Jenis-jenis naskah opini antara lain artikel opini (article), kolom (column), tinjauan (essay), tajuk rencana (editorial atau opini redaksi), surat pembaca (letter to the editor), karikatur, dan pojok. Lebih lanjut opini lebih mendekati bentuk argumentasi, yaitu pemaparan yang intinya menggiring opini orang atau meyakinkan orang lain agar sepakat dengan ide atau pandangannya. Tentu saja, penulisan jenis ini juga harus disertai dengan referensi yang ada dan bersifat argumentatif. Pada opini orang dihadapkan pada pertanyaan “mengapa”. Isi tulisan berupa pendapat pribadi penulis berdasarkan fakta ataupun ungkapan pemikiran semata. Struktur umum tulisan opini/artikel: judul (head), penulis (by line), pembuka tulisan (opening), pengait (bridge), isi tulisan (body), dan penutup (closing). Segala sesuatu yang bukan berita disebut opini. Opini dapat dikategorikan dalam dua jenis. -
opini yang mewakili lembaga disebut tajuk, pojok, opini atau rubrik.
-
opini yang mewakili perorangan disebut kolom.
Perlu dibedakan antara berita dan opini. Karena tak jarang orang sering mengartikan opini sebagai berita, pun sebaliknya. Harus kita pahami bahwa, Berita adalah fakta alias kenyataan sedangkan opini adalah pendapat, ide,pandangan, atau analisa terhadap sebuah berita dan kadang opini juga dapat berupa sebuah prediksi dengan menyatukan dan melihat serta meninjau berita-berita di masa lalu dan mengkaitkannya dengan berita sekarang. Menjadi menarik karena saat ini banyak sekali opini yang disisipkan dalam sebuah berita. Mengapa ? Jawabnya adalah karena adanya suatu misi atau tujuan untuk membentuk sebuah opini publik. Intinya segala yang bukan berita adalah yang dinamakan opini, ciri-ciri umum opini antara lain : -
mewakili pendapat si penulis
-
ada data dan fakta tapi disertai analisis penulis
-
biasanya terkait tema-tema yang sedang aktual
-
memberikan alternatif pemecahan masalah
Secara singkat perbedaan antara berita dan opini dapat diklasifikasi sebagai berikut : Berita :
5
-
Berisi fakta umum atau kejadian/keadaan yang biasa kita temukan dalam kehidupan.
-
Berisi fakta khusus atau keadaan/peristiwa yang ditemukan secara khusus atau istimewa bahkan dianggap tidak lazim.
-
Informasi biasanya bersifat tidak mengajak atau non-persuasif.
-
Teks dibuat dari refrensi dari buku ilmiah atau buku terpercaya sebagai bukti otentik.
-
Bersifat memperkaya wawasan atau ilmu seseorang.
-
Bersifat objektif.
-
Tidak memiliki unsur emosional dalam teks.
-
Tidak menuduh seseorang, memberikan penilaian pribadi, atau memberikan predikat khusus.
-
Ragam bahasa yang terjaga.
-
Bersifat subyektif.
-
Bersifat persuasif karena penuh dengan penilaian, arahan, agar penyimak
Opini :
menyetujui perkataannya. -
Memiliki pertahanan pendapat jika berada dalam posisi dialog interaktif.
-
Memiliki unsur emosional.
-
Bersifat sharing atau bagi pengalaman.
Dalam dunia jurnalistik ada beberapa macam jenis opini, yaitu : a. Artikel bisa dikatakan ini adalah bentuk dasar dan jamak dari opini, sebagian besar yang ada di media massa khususnya cetak adalah opini berjenis artikel ini, maka ciriciri artikel adalah : -
tema yang ditulis aktual
-
bahasanya cenderung formal dan baku
-
meski opini namun tetap mencantumkan data dan fakta
b. Kolom Kolom adalah bentuk lebih sederhana dari artikel yang khas, unik dan lebih memiliki daya tarik. Kolom lebih sering ditulis oleh orang-orang diluar media
6
dan biasanya dia adalah seseorang yang memiliki kompetensi dibidangnya, mereka disebut kolumnis. Ciri dari kolom adalah : -
Isinya lebih subjektif lagi dari artikel
-
Karena lebih subjektif, data dan fakta sedikit jumlahnya
-
Bahasanya lebih santai
c. Esai Benuk opini yang sifatnya mengungkapkan dan memaparkan suatu hal dengan lebih lugas dan luas. Hampir sama seperti kolom, esai itu lebih santai sifatnya bahkan cenderung punya gaya sendiri. Ciri dari esai adalah : -
Bahasanya lebih lugas bahkan “liar”
-
Gaya bahasa dan penulisannya punya karakter yang kemudian menjadi ciri khas.
d. Tajuk rencana Lazim disebut editorial, berbeda dengan ketiga poin di atas yang kebanyakan ditulis oleh orang luar media, tajuk rencana ditulis oleh orang dalam media, biasanya oleh pemimpin redaksi atau pemimpin umum redaksi tersebut, bukan individu. Bahasanya formal seperti artikel dan bertujuan untuk mempengaruhi pembaca serta memberikan interpretasi atas suatu peristiwa. e. Surat Pembaca Bentuknya lebih ringkas dan sederhana daripada keempat poin diatas, namun sama-sama menyampaikan pendapat. Ada juga yang menyampaikan complain, kesan atau suatu layanan publik atau swasta. f. Resensi Isinya lebih kepada ulasan sebuah media (buku, film, album music, dll). Media yang diulas adalah data dan faktanya yang dianalisis dengan pendapat dan referensi terkait dalam media cetak.
5.2 Opini sebagai sebuah wacana Dalam pengertian linguistik, wacana adalah kesatuan makna (semantis) antar bagian di dalam suatu bangun bahasa. Oleh karena itu wacana sebagai kesatuan makna dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Selain dibangun atas hubungan makna antarsatuan bahasa,
7
wacana juga terikat dengan konteks. Konteks inilah yang dapat membedakan wacana yang digunakan sebagai pemakaian bahasa dalam komunikasi dengan bahasa yang bukan untuk tujuan komunikasi. Dalam bukunya, Analisis Wacana, Effendy memaparkan beberapa pengertian wacana berdasarkan beberapa ahli. Menurut Hawthorn (1992) wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya. Roger Fowler (1977) mengemukakan bahwa wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya. Foucault memandang wacana kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan, kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai sebuah praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan. Pendapat lebih jelas lagi dikemukakan oleh J.S. Badudu (2000) yang memaparkan; wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan dengan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan,yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata,disampaikan secara lisan dan tertulis. (Effendy 2001:2)
Berdasarkan level konseptual teoretis, wacana diartikan sebagai domain dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata.
Wacana menurut konteks penggunaannya
merupakan sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu. Sedangkan menurut metode penjelasannya, wacana merupakan suatu praktik yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan. Dari uraian di atas, jelaslah terlihat bahwa wacana merupakan suatu pernyataan atau rangkaian pernyataan yang dinyatakan secara lisan ataupun tulisan dan memiliki hubungan makna antarsatuan bahasanya serta terikat konteks. Dengan demikian apapun bentuk pernyataan yang dipublikasikan melalui beragam media yang memiliki makna dan terdapat konteks di dalamnya dapat dikatakan sebagai sebuah wacana. Dalam salah satu kamus bahasa Inggris yang terkemuka, mengenai wacana (discourse) ini kita dapat membaca keterangan sebagai berikut :
8
1.
Komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan; konversasi atau percakapan.
2.
Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah.
3.
Risalat tulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; khotbah. (Webster, 1983:522).
Wacana adalah satuan bahasa yang komunikatif. Ini berarti bahwa wacana harus mengandung suatu pesan yang jelas dan bersifat otonom, dapat berdiri sendiri. Pemahaman suatu teks didukung oleh pengujarannya, jadi situasi komunikasi dapat mempengaruhi makna wacana. Wacana tidak tersusun dalam bentuk yang pasti, dapat terdiri dari satu kata saja, satu kalimat, satu paragraf, satu artikel, satu buku, bahkan kadang-kadang juga satu bidang ilmu, seperti wacana sastra, wacana politik, dan lainlain. Opini
sebagai
wacana
mesti
dilihat
dari
berbagai
faktor
seperti framing (pembingkaian), priming (kapan dihadirkan, di mana, lewat media apa), strategi signing (pemilihan tanda untuk pembentukan makna), hingga pemilihan fakta (apa saja yang dipilih dan apa saja yang ditak dihadirkan). Dalam proses tersebut opini juga
terkait
faktor-faktor
seperti innoncently (kesalahan,
kekurangmampuan),
internality (kepentingan dari dalam), dan eksternality (kepentingan dari luar). Opini dalam media, dalam pandangan kontruksi sosial, merupakan suatu strategi bagaimana realitas dibaca dan dihadirkan. Opini media merupakan suatu kontruksi atas realitas yang membangun realitas media itu sendiri. Jika merujuk pada konsep Lull (1998), yang memberikan penjelasan lebih sederhana mengenai wacana, yaitu cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas, maka opini media boleh dikatakan sebagai sebuah bentuk wacana. Sebuah opini media bisa bermakna positif, namun juga bisa bermakna negatif. Target dari opini tersebut yang akan menjadi satu kesatuan dari apa yang menjadi perbincangan. Opini media bisa muncul dalam bentuk sentimen, baik itu dalam hal positif dan negatif; dan perdebatan, termasuk di dalamnya perdebatan dalam melawan sesuatu atau perdebatan dalam mempertahankan sesuatu. Media massa memiliki kekuatan untuk menjadikan opini media sebagai sebuah opini publik, yang pada akhirnya akan berkembang menjadi sebuah wacana dalam masyarakat. Kekuatan media
9
massa seperti tersebut di atas, disadari kemudian dimanfaatkan oleh kepentingankepentingan tertentu. Atmakusumah (1996) mengatakan bahwa media massa diakui oleh banyak pihak sebagai alat paling efektif untuk melibatkan publik dalam pemahaman maupun perdebatan tentang suatu isu. Sebuah realitas semu dapat menjadi seolah-olah nyata jika diperkukuh dengan dukungan media massa. Media massa memiliki kesanggupan dalam menularkan dan menyuapkan ide, bahkan jika perlu menjungkir-balikkan keyakinan yang tengah berlaku, termasuk didalmnya melalui opini media.
5.3 Opini Media dalam membentuk Representasi Perempuan Surat Kabar adalah salah satu bentuk media massa yang menjadi bagian dari instrumen untuk membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Surat kabar dapat disebut sebagai pilar ke-empat kekuasaan karena pengaruhnya terhadap opini dan kesadaran publik. Surat kabar di berbagai masyarakat memilki dua peran: memberi catatan mengenai serangkaian peristiwa mutakhir dan sebagai pemberi informasi mengenai opini publik yang kemudian mempengeruhi perkembangan berbagai sudut pandang yang berbeda. Surat kabar dapat menjadi reflektor dari ketidakadilan gender dalam masyarakat karena menampilkan kehidupan manusia secara faktual maupun fiksional. Kesadaran yang sensitif gender ini baru tumbuh di segelintir wartawan yang kebetulan juga kebanyakan berjenis kelamin perempuan. Meski seringkali surat kabar cenderung meminimalkan pengungkapan berbagai peristiwa dan organisasi-organisasi kepentingan terhadap perempuan. Surat kabar termasuk
pubikasi-publikasi
terhadap
perempuan,
tidak
secara
memadai
menginformasikan hak dan peran perempuan dalam masyarakat, tidak juga mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan langkah-langkah pemerintah untuk memperbaiki posisi perempuan. Banyak media didunia yang mengekspos tetntang perempuan seperti efek dari suatu peraturan atau kebijakan negara, perempuan adalah korban pertama dari reformasi dan perubahan ekonomi yang terjadi disuatu negara. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa perempuan sangat teralienisasi dari proses pembuatan keputusan, juga diabaikan media (Shvedova dalam Karam 1999:33). Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah apabila tidak ada pemberitaan yang menjadikan perempuan sebagai objek yang dieksploitasi. Ana Nadya Abrar mengungkapkan
10
wartawan Indonesia lebih memiliki sensitifitas gender dalam memahami masalah yang dialami oleh perempuan. Meski citra perempuan dalam pandangan pers masih rendah, karena kebijakan keredaksian dapat dikalahkan oeh kebijakan pemasaran yaitu segmentasi, kontribusi iklan dan keinginan pembaca (Abrar 1998:164). Tuchman (1981) dalam penelitiannya mengatakan bahwa profil perempuan dalam surat kabar/cetak sebenarnya mengalami penghancuran simbolik secara total. Maksudnya perempuan ditampilkan sebagai sosok tradisional seperti misalnya istri, ibu, sosok yang mampu membereskan persoalan domestik dan sebagai objek seks. Pada akhirnya secara keseluruhan perempuan digambarkan sebagai pihak yang peranannya dibatasi secara sosial (Umar 2006:1). Sosok perempuan direpresentasikan berbeda dalam setiap surat kabar. Misalnya saja dalam kasus kekerasan, ada surat kabar harian yang melihat peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan sebagai bahan komodifikasi semata. Dimana aspek sensasi lebih banyak ditonjolkan dibandingkan dengan substansi kejadiannya. Dengan menggunakan kalimat-kalimat yang panjang, jenis huruf yang tebal dan mencolok, serta judul cenderung menjadi sensasional. Ada juga surat kabar harian yang sangat hati-hati dan serius dalam menulis berita kekerasan terhadap perempuan. Surat kabar demikian juga mencoba untuk melindungi dan memberdayakan korban perkosaan, selain itu berita demikian juga punya tujuan untuk mencari simpati masyarakat terhadap kekerasan atas perempuan. Namun ada juga surat kabar yang kurang memberikan tempat terhadap berita-berita kekerasan terhadap perempuan, khususnya kasus perkosaan. Hal ini barangkali dianggap kurang bernilai berita dibandingkan berita-berita lainnya yang menyangkut masalah politik dan ekonomi. Kecenderungan pemberitaan tentang kekerasan terhadap perempuan yang demikian ini, selain akibat pengaruh kebijakan redaksional masing-masing media, juga merupakan cermin kesadaran gender yang masih kurang di kalangan wartawan sendiri. Oleh karena itu bisa dibayangkan ketidakseimbangan pertarungan wacana, sikap dan perilaku di tubuh organisasi surat kabar antar beberapa individu yang sensitif gender dengan kesadaaran kolektif dominan yang male oriented. Sebagian besar wartawan di beberapa media justru mendefinisikan sosok perempuan sebagai makhluk yang lemah, mobilitas kurang, sulit menghadapi resiko dan tantangan yang berat, serta perlu perhatian yang tinggi dari manajemen. Oleh karena itu, apabila ada perempuan menjadi
11
wartawan maka dia akan ditempatkan pada wilayah yang tidak berbahaya dan tidak menuntut mobilitas yang tinggi. Biasanya jurnalis perempuan ditempatkan di desk kota untuk meliput masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia perempuan atau setidaknya liputan-liputan untuk fakta sosial yang lunak. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia melakukan penelitian tentang pemberitaan perempuan di media cetak dan televisi. Berita yang dijadikan sample diambil dari 7 surat kabar yang terbit di Jakarta yaitu Indo Pos (Jawa Pos Group), Kompas, Warta Kota, Republika, Suara Pembaruan, Koran Tempo dan Poskota periode Maret – Mei 2012. Sementara itu, sample yang berasal dari media televisi diambil dari RCTI, SCTV, Metro TV, TV One Trans TV dan Trans 7 dalam periode Maret – Mei 2012. Berita bertema perempuan adalah berita yang menjadikan subjek/objek pemberitaan menitikberatkan pada permasalahan perempuan. Kategorisasi terhadap berita perempuan dilakukan setelah seluruh berita teridentifikasi berdasarkan pada tema yang menjadi subjek/objek berita. Ada 11 kategorisasi yang dilakukan yakni kekerasan terhadap perempuan, perempuan berhadapan dengan hukum, politik dan keterwakilan perempuan, peningkatan taraf hidup perempuan. Kategorisasi lain yakni kesehatan perempuan, perdagangan perempuan, perempuan dan tenaga kerja, ekonomi dan kemiskinan, profil dan kiprah perempuan, tafsir agama dan gaya hidup. Temuan Media Cetak dalam kurun waktu tiga bulan pengumpulan data, dari tujuh surat kabar yang didata, memperlihatkan ada 731 berita yang terkait dengan perempuan. Pemberitaan yang terkait tentang perempuan ini umumnya merata, namun pemberitaan tertinggi pada bulan April sebanyak 262 berita, pemberitaan bulan Maret 261 berita dan pemberitaan bulan Mei 208 berita. Berita tentang kekerasan terhadap perempuan berada di urutan ketiga. Dalam waktu tiga bulan sebanyak 106 berita mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan paling menonjol pada periode ini adalah kekerasan seksual (perkosaan) disamping sejumlah kekerasan dalam rumah tangga juga mewarnai pemberitaan. Namun meskipun perempuan telah menjadi korban, dalam penulisan judul dan isi pmberitaan, perempuan tetap disalahkan akibat kejahatan itu. Padahal menyalahkan korban kejahatan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Di posisi kedua, media banyak mengangkat berita tentang profil/kiprah perempuan yaitu sebanyak 137 berita. Profil perempuan yang diliput oleh media
12
memberikan inspirasi bagi pembaca. Profil perempuan tidak hanya pada satu bidang, namun terjadi di hampir semua bidang. Media pun tak hanya mengangkat profil perempuan
Indonesia
melainkan
juga
profil
perempuan
di
luar
negeri.
Sedangkan di urutan pertama, media banyak mengangkat isu tentang perempuan berhadapan dengan hukum yaitu sebanyak 245 berita. Sejumlah kasus, khususnya yang berkaitan dengan korupsi yang telah melibatkan perempuan mewarnai pemberitaan pada periode tersebut. Bersamaan dengan periode pengumpulan data yang dilakukan, kasus korupsi yang gencar menjadi pemberitaan telah menyeret nama-nama perempuan seperti Angelina Sondakh, Miranda Goeltoem, Nunun Nurbaeti, Malinda Dee. Kasus yang juga menarik perhatian media terkait isu perempuan berhadapan dengan hukum, adalah kasus tabrakan yang menewaskan sembilan orang di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Namun media masih melekatkan stereotipe tertentu pada fisik perempuan. Misalnya penggunaan kata ‘Wanita bertubuh tambun’ atau menyebutnya dengan kata ‘Gadis maut’. (sumber : http://ajiindonesia.or.id/read/article/berita/163/masih-adakekerasan-pada-perempuan-di-media.html). Keterlibatan perempuan dalam perkembangan industri media tanah air saat ini belum menunjukkan presentase memuaskan. Hal ini dapat kita lihat dalam susunan struktural sebuah media, kurang sekali nama perempuan sebagai redaksi atau redaktur pada sebuah media. Terlalu bodohkah perempuan? Pertanyaan inilah seharusnya menjadi cambuk bagi kaum perempuan untuk lebih pro aktif dalam kancah dunia media di negeri ini. Akibat kurangnya keterlibatan langsung perempuan dalam media sehingga pemberitaan media terhadap perempuan menjadi tidak objektif. Hal itu tidak lepas dari anggapan bahwa profesi jurnalisme adalah profesi yang sulit untuk dimasuki oleh kaum perempuan, karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, mobilitisnya rendah dan tidak tahan terhadap deraan deadline yang tinggi, dan tidak bisa menerus meninggalkan rumah (anak dan suami) berhari-hari (Siregar 1999:14). Istilah yang pernah dikatakan Dr. Daniel DhakiDae, bahwa pers termasuk surat kabar harian sebagai sosok yang male industry, karena jelas industry ini didominasi oleh kaum laki-laki, baik dari segi kuantitas (personalia) maupun kualitas (struktur organisasi dan manajemen kerja). Kita melihat dalam perjalanan perkembangan media baik itu media cetak atau elektronik, perempuan lebih banyak menjadi bahan berita bagi sebuah media. Dalam hal ini, kita tidak dapat menilai pasti apakah perempuan memang suka
13
untuk di ekspose atau memang perempuan dianggap sebagai suatu komoditi yang menjanjikan keuntungan. Terlihat jelas selama ini perempuan hanya dijadikan media iklan komersial untuk pencapaian keuntungan. Tidak hanya sampai disitu, dalam tayangan sinetron pada media TV sering sekali menampilkan peran seorang istri yang selingkuh, ibu yang jahat, seolah mempertegas perempuan memang bertipikal buruk. Ketika kebebasan pers dilindungi undang-undang, insan pers dan pelaku bisnis media merasa mendapat angin segar atau jaminan untuk mengekspresikan karya atau tulisannya tanpa peduli layak atau tidak layak. Kelemahan intelektual kaum perempuan selalu dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ini menunjukkan bahwa perempuan harus mendapatkan prioritas utama dalam pendidikan. Karena pendidikan memegang peranan penting bagi pengembangan intelektual dan kecerdasan kaum perempuan. Sehingga perempuan tidak menjadi kaum yang marginal. Kesetaraan gender yang kita dengung-dengungkan selama ini hendaknya benar-benar menjadi jaminan bagi perempuan untuk setara dengan laki-laki terutama dalam bidang IPTEK, sehingga tidak menjadi bias gender. Dalam hal ini peran media yang mendidik benar-benar sangat diperlukan untuk mendongkrak dan mengangkat martabat kaum perempuan, bukan menjadikan perempuan hanya sebagai barang eksploitasi bagi media. Hendaknya keberadaan media menjadi sarana bagi perempuan untuk menuangkan ekspresi dan kreasinya dalam kehidupan bermasyarakat dengan kemampuan intelektual yang dimiliki perempuan. Dalam satu kasus kita lihat media massa membuka peluang lowongan kerja untuk menjadi
insan
pers.
Selau
saja
tertulis “Dibutuhkan
WARTAWAN
bukan
WARTAWATI”. Padahal perempuan mempunyai potensi untuk mencari dan menulis berita dan bukan hanya sekedar menjadi topik berita. Survei membuktikan perempuan lebih bisa mengelola emosinya, perempuan dengan segala keterbatasan dan kekurangan ilmu mampu bertahan dalam memenuhi hajat hidup keluarganya walau harus bekerja keras melebihi pekerjaan laki-laki. Berseliwerannya berita tentang perempuan, dan gerakan perempuan di media massa mesti dilihat dari dua sisi. Sisi ancaman dan sisi peluang. Sebagai ancaman, manakala perempuan tidak mampu sebagai gate keeper dalam mengonstruksi realitas media massa. Sebaliknya sebagai peluang karena bagi media massa, perempuan selalu mengandung ‘nilai berita’ dibandingkan pria. Tidak bisa dipungkiri kritik bahasan
14
tentang perempuan di media massa selalu diwarnai oleh perempuan sebagai pigura (hiasan semata). Perempuan sebagai objek sensual, bahkan lebih ekstrim perempuan dalam berita sebagai monster mistik (mythical monster) apabila tokoh perempuan tersebut dianggap bersalah melakukan kejahatan. Baik ‘kejahatan politik’ maupun tindak kriminal lainnya. Perempuan sebagai sumber berita, memerlukan beberapa kompetensi yang harus dikuasai. Pertama, kompetensi membingkai isu. Pengetahuan tentang nilai berita menjadi mutlak dimiliki oleh seorang sumber berita. Kedua, kompetensi sebagai spoken person. Perempuan sebagai sumber berita mesti tampil dengan asertif saat wawancara. Bukan tampil genit. Ketiga, kompetensi menulis berita, minimal membuat press release sehingga wartawan terbantukan dengan adanya press release sebagai guide. Keempat, kompetensi membina dan menjaga hubungan baik dengan pers. Perempuan sebagai wartawan dan redaksi, selain harus memiliki kompetensi profesional, juga perlu memiliki wawasan pengaruh utamaan gender. Kompetensi ini akan mewarnai pembingkaian (framing) berita yang berkaitan dengan isu perempuan maupun beritaberita yang bersifat umum. Framing media massa yang ramah dengan gerakan perempuan akan mampu ‘menyembunyikan’ gerakan itu menjadi sesuatu yang ‘sangat halus’. Wacana tentang perempuan sering dihadirkan dalam isu media massa. Kehadiran perempuan dalam media sering disertai dengan penggunaan kata gender. Wacana gender sendiri sebenarnya mengemuka pada tahun 1977 ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama, seperti patriarchal atau sexist. Mereka memilih jargo baru, gender discourse. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam peran perilaku, mentalitas, karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Definisi tersebut menunjukan gender sebagai salah satu bentuk interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan. Definisi ini diperkuat secara sosiologi dalam Encyclopedia of Sociology, bahwa gender merupakan model hubungan sosial yang terorganisasi antara perempuan dan laki-laki, tidak semata hubungan personal atau kekeluargaan tapi meliputi institusi sosial yang lebih besar seperti kelas sosial, hubungan hierarkis dalam organisasi dan struktur pekerjaan (Kadarusman 2005:20)
15
Nugroho (2002) memaparkan ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni : a. Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi Bentuk marjinalisasi terhadap kaum perempuan bisa terjadi karena berbagai faktor diantaranya kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marjinalisasi ini telah terjadi baik di dalam rumah tangga dan juga pekerjaan. Dalam rumah tangga marjinalisasi perempuan sudah terjadi dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang lakilaki maupun perempuan. Timbulnya proses marginalisasi ini juga diperkuat oleh tafsir keagamaan maupun adat istiadat. Misalnya dalam pemberian hak waris. b. Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik Bentuk subordinasi yang dimaksud adalah sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari anggapan, bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa memimpin. Dalam kehidupan di masyarakat, rumah tangga dan bernegara, banyak kebijakan yang dikeluarkan tanpa menganggap penting kaum perempuan. Misalnya : masih terdengar hingga kini, adanya anggapan bahwa yang menjadi prioritas untuk bersekolah adalah laki-laki, perempuan tak perlu bersekolah tinggi toh pada akhirnya akan masuk dapur juga. c. Pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif Akibat dari stereotype ini biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidakadilan. Banyak sekali bentuk stereotype yang terjadi di masyarakat, yang dilekatkan pada umumnya kaum perempuan berakibat menyulitkan, membatasi, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Misalnya kaum perempuan selalu dikaitkan sebagai kaum yang suka bersolek untuk memancing perhatian lawan jenis, sehingga ketika terjadi kasus kekerasan atau pelecehan seksual, maka perempuan perempuan yang merupakan korban akan menjadi pihak yang disalahkan. d. Kekerasan (violence) Bentuk kekerasan terhadap perempuan bisa bermacam-macam, mulai dari pemukulan, pemerkosaan hingga bentuk yang lebih halus lagi seperti sexual harassment (pelecehan) dan penciptaan ketergantungan. Kekerasan terhadap
16
perempuan ini banyak sekali terjadi karena stereotipe gender. Kekerasan gender ini juga acapkali terjadi karena ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
e. Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak Peran gender perempuan dalam pandangan masyarakat luas adalah emngelola rumah tangga, sehingga banyak perempuan yang menanggung beban kerja domestic lebih banyak dan lebih lama dibanding kaum laki-laki. Bahkan bagi kalangan keluarga miskin beban yang harus ditanggung perempuan sangat berat, apalagi jika si perempuan harus bekerja diluar rumah sehingga harus memikul beban kerja yang ganda. Kalaupun keluarga tersebut berkecukupan, beban kerja domestik seringkali dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga, yang juga pada umunya adalah perempuan.
5.4 Teori Representasi Istilah representasi dalam penelitian ini, merujuk pada bagaimana seorang, suatu kelompok, gagasan atau pendapat perempuan ditampilkan dalam wacana. Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah perempuan baik itu dalam sosok seseorang atau kelompok ataupun gagasan ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata semestinya ini mengacu pada apakah perempuan itu ditampilkan dalam teks apa adanya, ataukah diburukkan. Suatu objek bisa saja ditampilkan dengan citra yang baik dengan mengungkap sisi posistif dan menyembunyikan sisi negatif. Namun bisa juga keadaan yang terjadi adalah sebaliknya, suatu objek juga dimungkinkan untuk ditampilkan lebih buruk dari kondisi yang semestinya. Kedua, bagaimana representasi tersebur ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak (Eriyanto, 2001:113-114). Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan atau dikonstruksikan di dalam sebuah teks tapi juga dikonstruksikan di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi. Dengan fokus penelitian terhadap representasi, maka sekilas kita melihat gambaran yang diberikan Hall tentang representasi, yaitu : pertama, penggunaan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang penuh makna tentang, atau untuk merepresentasikan
17
dunia dengan penuh makna, kepada orang lain. Kedua bagian penting dari sebuah proses yang dengan makna di produksi dan dipertukarkan diantara para anggota sebuah kebudayan. Ketiga, produksi makna dari konsep yang ada dalam pikiran kita melalui bahasa (Hall, 1997:17). Konsep representasi adalah sebuah proses produksi makna dari sebuah konsep dengan menggunakan bahasa sebagai media. Dalam praktek pemaknaan ini, ada dua proses mutlak yang harus dilewati yaitu representasi mental dan bahasa. Kedua proses ini dikenal dengan istilah sistem representasi melalui cara-cara mengorganisasi, mengelompokkan, menyusun, mengatur dan mengklasifikasikan berbagai konsep. Representasi mental adalah serangkaian konsep yang ada di benak bauran antara konsep di dalam pikiran dengan pengalaman fisik seseorang sebagai sesuatu yang ada diluar pikiran. Dimana bergantung sepenuhnya pada sistem konsep dan citra yang dibentuk dalam pikiran kita yang bisa menggantikan atau merepresentasikan jagad, sehingga memungkinkan kita untuk merujuk pada segala hal yang ada baik didalam maupun diluar kepala kita. Bentukkan konsep ini kemudian dinyatakan dengan tanda (sign) sebagai tahapan kedua, yaitu bahasa. Bahasa dapat berupa kata yang dituliskan, suara yang dilafalkan atau gambar visual. Untuk memaknai penggunaan bahasa dalam merepresentasikan makna, dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu reflektif, intensional dan konstruksionis. Pendekatan reflektif memandang fingsi bahasa sebagai medium untuk merefleksikan objek dalam makna yang sebenarnya. Pendekatan intensional memanfaatkan bahasa untuk menegosiasikan makna yang dikehendaki oleh komunikator sebagai pemikiran pribadi pengarang. Berbeda dengan kedua pendekatan diatas, pendekatan konstruksionis menempatkan bahasa sebagai medium untuk merepresentasikan konsep. Pendekatan yang terakhir ini mengakui bahwa objek maupun pengguna bahasa dapat meletakkan makna didalam bahasa. Dengan kata lain bahwa tidak ada makna yang paten melekat pada suatu objek melainkan makna yang telah terbentuk melalui proses representasi. Hall menguraikan bahwa pada proses produksi makna berlangsung melalui bahasa dan wacana. Representasi yang menggunakan bahasa dikenal dengan pendekatan semiotik atau poetics, sementara representasi yang menggunakan wacana dikenal dengan menggunakan wacana dikenal dengan pendekatan diskursif atau politics. Pendekatan semiotic melihat bahasa sebagai sistem yang melibatkan tiga unsur yaitu tanda (sign), penanda (signifier), dan petanda (signified). Tanda merujuk pada konsep
18
yang ingin diberi makna. Penanda menunjuk pada spek materi yang terbayang menandai bunyi ujaran, dan petanda merujuk pada proses pemaknaan yang dengannya orang dapat mengerti apa yang dimaksudkan tanpa harus menghadirkan sosok nyata dari objek yang disebutkan. Berbeda dengan pandangan diatas, yang dipahami dalam pendekatan diskursif lebih dari sekedar penciptaan makna melalui bahasa. Pendekatan ini melihata bagaimana bahasa dihubungkan dengan kekuasaan dan relasi yang membentuk identitas dan subjektifitas, serta bagaimana cara sesuatu itu direpresentasikan. Kedua pendekatan ini, meski memiliki perebedaan namun keduanya cukup member gambaran tentang bagaimana objek ditampilkan dalam pemberitaan. Bahasa merupakan medium untuk menampilkan realitas sebagai konstruksi media. Pemaknaan terhadap realitas tersebut dilakukan dengan dua tahapan. Tahapan pertama berupa pemilihan fakta yag berdasar pada perspektif wartawan. Tahapan kedua berupa penulisan fakta untuk disajikan kepada khalayak. Penulisan fakta dilakukan dengan menggunakan kata, kalimat, preposisi dan foto tertentu. Tahapan ini sangat bergantung pada persepektif wartawan bagaimana ia memahami suatu peristiwa. Karena itu, memungkinkan peristiwa yang sama dimaknai sebagai realitas yang berbeda jika dipandang dengan cara yang berbeda. Pemaknaan ini selalu melibatkan proses pemilihan, berupa penonjolan atau penghilangan terhadap bagian-bagian tertentu dari realitas. Proses ini tidak sekedar sebagai bagian dari teknis jurnalistik, melainkan juga sebagai praktek representasi. Dengan asumsi bahwa setiap wartawan memiliki perspektif yang berbeda. Demikian juga pemilihan kata-kata tertentu akan menciptakan realitas tertentu yang pada akhirnya menggiring pemahaman khalayak terhadap peristiwa tertentu. Terkait dengan ini, Burke menyatakan bahwa “Term” with no only focus the attention of the audiences on the specific subject, but also limit the audience’s perception and direct the audience’s though and belief system” (Eriyanto 2002:116119). Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Kedua, gambaran politis hadir untuk merepresentasikan kepada kita. Kedua ide ini berdiri bersama untuk menjelaskan gagasan mengenai representasi. “representasi” adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis
19
bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan. Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “so the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stand for what we’re talking about” Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya. “Culture is the way we make sense if, give meaning to the world”. Budaya terdiri dari peta makna, kerangka yang dapat dimengerti, hal-hal yang membuat kita mengerti tentang sekeliling kita. Ambiguitas akan muncul sampai pada saat dimana kita harus memaknainya (make sense of it). Jadi, makna muncul sebagai akibat dari berbagi peta konseptual ketika kelompok-kelompok atau anggota-anggota dari sebuah budaya atau masyarakat berbagi bersama. Konsep budaya mempunyai peran sentral dalam proses representasi. Dalam merepresentasikan sesuatu di media, menurut John Fiske (Eriyanto 2001:114), ada tiga proses yang dihadapi wartawan pada saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang, Yaitu : pertama, peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh wartawan/media. Kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Disini kita menggunakan perangkat secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik dan sebagainya. Ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan kedalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat. Ketiga proses tahapan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1.1. Tahapan proses konstruksi peristiwa menjadi realitas
20
Pertama
Realitas (Dalam bahasa tulis berupa dokumen, wawancara, transkrip, dan sebagainya.
Kedua
Representasi Penandaan secara tekhnis, seperti penggunaan kata, proposisi, kalimat,
foto,
grafik,
dan sebagainya.
Elemen-elemen
ini
ditransmisikan ke dalam kode representasi yang memasukkan diantaranya bagaimana objekdigambarkan melalui narasi dan sebgaainya. Ketiga
Ideologi Semua elem di organisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideology, seperti individualism, liberalism, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme dan sebagainya
Sumber : Jhon Fiske dalam Eriyanto 2002 :115
5.5 Analisis Wacana Kritis Fairclough Analisis Norman Fairclough pada dasarnya didasarkan pada pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Titik perhatian besar Fairclough adalah praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu, dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Norman Fairclough membangun suatu model yang mengintegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistic dan pemikiran sosial dan politik, dan secara umum di intergrasikan pada perubahan sosial. Oleh karena itu model yang dikemukakan oleh Fairclough ini sering juga disebut sebagai model perubahan sosial (social change) (Eriyanto 2001:286). Dalam karyanya yang berjudul Critical Discourse Analysis : The Critical Study of Language, Fairclough (1995:7) berpendapat sebagai berikut “discourse is use of language seen as form of social practice, and discourse analysis of how text work within social cultural practice. Such analysis requires attention to textual form, structure and organization at all levels; phonological, grammatical; lexical(vocabulary) and higher
21
levels of textual organization in term of exchange sistem (the distribution of speaking turns), structures of argumentation and generic (activity type) structure”. “Wacana adalah pemakaian bahasa yang tampak sebagai praktek sosial dan analisis wacana adalah analisis mengenai bagaimana teks bekerja dalam praktik sosial budaya. Analisis seperti itu mengutamakan perhatian pada bentuk, struktur, dan organisasi tekstual pada semua tatara ; fonologis, gramatikal, leksikal, dan tataran yang lebih tinggi dari organisasi tekstual yang berkenaan dengan sistem perubahan, struktur argumentasi dan struktur umum”. Wacana menurut Norman Fairclough merupakan bentuk penting praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan hubungan sosial yang mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik sosial yang lain. Oleh karenanya, wacana memiliki hubungan dialektik dengan dimensidimensi sosial yang lain. Fairclough memahami struktur sosial sebagai hubungan sosial di masyarakat secara keseluruhan dan di lembaga-lembaga khusus dan yang terdiri atas unsur-unsur kewacanaan dan non kewacanaan (Jorgensen & Phillips, 2007: 122-123). Menurut Fairclough, wacana biasa kurang lebih bersifat ideologis, wacana ideologis
yang
memberikan
kontribusi
bagi
usaha
mempertahankan
dan
mentranformasikan hubungan-hubungan kekuasaan. Ideologi itu sendiri bagi Fairclough merupakan “makna yang melayani kekuasaan”. Ia memaknai ideologi sebagai pengkonstruksian makna yang memberikan kontribusi bagi pemroduksian, pereduksian dan transformasi hubungan-hubungan dominasi. Hubungan dominasi yang didasarkan pada struktur sosial. Fairclough membangun kerangka teori kajiannya tidak hanya sebatas pada teks akan tetapi meliputi konsep wacana tiga dimensi yakni a language text; spoken or written, discourse practice (text production and interpretation), and sociocultural practice (Fairclough, 1995b:97). Ketiga aspek tersebut akan bekerja secara komprehensif. Analisis teks saja tidak akan mampu menjelaskan bagaimana proses struktur dan cultural. Pada tradisi makrososiologis menganggap praktik social dibentuk oleh struktur social dan relasi kekuasaan. Ketiganya pada akhirnya akan membongkar bagaimana relasi kekuasaan berkembang dan dipertahankan dalam setiap pengetahuan (Jorgensen & Philips, 2007). Dengan demikian hubungan ketiga level tersebut membantu dalam melakukan analisis terhadap wacana. Ketiga model tersebut
22
menintegrasikan secara bersama-sama terhadap tiga tahapan dalam melakukan analisis. Ketiga level tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabel 1.2. Dimensi analisis Fairclough
Sumber : Eriyanto, 2001:288
Kerangka analisis Norman Fairclough terdiri dari tiga tingkatan Pertama adalah teks. Digunakan untuk memetakan kecenderungan-kecenderungan yang tergambar dalam teks. Kedua adalah praktik wacana melalui wawancara mendalam untuk mengungkap proses produksi dan konsumsi teks, dan yang terakhir adalah praktik sosiokultural melalui studi pustaka untuk melihat dimensi yang berhubungan dengan konteks diluar teks. Seperti tampak dalam gambar analisis wacana kritis (Critical Discourse analysis) Norman Fairclough melihat teks sebagai hal yang memiliki konteks baik beradasarkan “process of production” atau “text production”; ‘process of interpretation’ atau ‘teks consumption’ maupun berdasarkan praktik sosio kultural. Dengan demikian untuk memahami wacana (naskah/teks) kita dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan “realitas” dibalik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsusmsi teks dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Analisis wacana kritis yang akan menjadi metodologi dalam riset ini termasuk dalam kategori paradigma kritis. Paradigma kritis pada dasarnya dipengaruhi oleh ide gagasan Marxis yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas. Masyarakat dilihat sebagai sebuah dominasi dan media adalah salah satu bagian dari dominasi tersebut. Bila pandangan pluralis percaya bahwa kelompok-kelompok masyarakat dapat secara 23
bebas bertarung dalam ruang yang terbuka, Maka pandangan kritis justru melihat masyarakat didominasi oleh kelompok elit. Media adalah alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok yang tidak dominan. Jika pandangan pluralis percaya bahwa profesionalitas, sistem kerja dan pembagian kerja dalam media dapat menciptakan kebenarannya sendiri, maka pandangan kritis menolaknya. Wartawan yang bekerja dalam suatu sistem produksi berita bukanlah otonom. Bukan pula bagian dari suatu sistem yang stabil, tetapi merupakan praktik ketidakseimbangan dan dominasi.
6. Metodologi Penelitian 6.1 Jenis dan Sifat Penelitian Pendekatan penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang akan menggambarkan dan memaknai representasi perempuan dalam Rubrik Tapale’uk. Dengan mendeskripsikan wacana tersebut berdasarkan tata bahasa serta keberpihakan rubrik berdasarkan realitas sosial yang menggunakan dengan analisis wacana kritis (CDA) yang dikembangkan oleh Fairclough dan bersifat deskripsi. Dalam penelitian ini lebih menekankan pada bagaimana memaknai representasi perempuan yang di hadirkan dalam teks pada Rubrik Tapale’uk edis Kartini tahun 2008 hingga 2012, serta melihat bagaimana proses produksi teks dan sosiokultural, turut menjadi satu kesatuan yang membentuk teks tersebut. 6.2 Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah rubrik “Tapale’uk” dalam Surat Kabar Harian Pos Kupang. Untuk lebih mempertajam, maka edisi yang diambil adalah edisi hari Kartini, yaitu pada bulan April, tertanggal 19, 20, 21, 22, 23 sejak tahun 2008 hingga 2012. Pemilihan rubrik dan penanggalan tersebut, didasarkan pertimbangan bahwa rubrik tersebut mampu menggambarkan keadaan masyarakat NTT yang nyata dalam percakapan sehari-hari. Tanggal yang dipilih adalah sebelum, saat dan setelah hari Kartini, hari dimana bangsa Indonesia mengenang salah satu tokoh perempuan hebat yang mampu membawa perubahan. Kartini adalah salah satu sosok teladan perempuan yang tak hanya terkenal di Indonesia saja namun juga hingga mancanegara karena
24
keberaniannya memperjuangkan hak perempuan, dan keinginannya
untuk terus
berkarya dalam keterbatasan.
67.3 Pengumpulan Data Terkait dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini, maka terlebih dahulu harus dipahami sumber data yang akan digunakan dalam penelitiaan ini. Dalam penelitian ini data pokok yang digunakan adalah Rubrik Tapale’uk di Surat Kabar Harian Pos Kupang . Ada dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu : a) Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari sumbernya pada saat melakukan penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi data primer adalah berita-berita tentang peran perempuan dalam masyarakat yang dimuat dalam Rubrik Tapale’uk SKH Pos Kupang edisi hari Kartini, sejak tahun 2008 hingga 2012. Pengumpulan berita hanya pada tanggal tertentu saja di bulan april yaitu tanggal 19, 20, 21, 22, dan 23 april.
b) Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh oleh peneliti secara langsung yang berasal dari pihak lain, diluar objek penelitian. Data sekunder ini diperoleh dari studi pustaka yakni data-data yang diperoleh dari buku-buku ilmiah dan pengetahuan umum sebagai landasan teosi yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
7.4 6 Pengolahan Data dan Teknik Analisis Data Setelah semua berita terkumpul tahap selanjutnya adalah melakukan kategorisasi berdasarkan struktur analisis wacana model Fairclough untuk melihat representasi perempuan dalam media khususnya pemberitaan tentang peran perempuan dalam rubrik Tapaleu’uk di SKH Pos Kupang. Kategorisasi ini bermaksud untuk memudahkan proses analisis berdasarkan tiga struktur yaitu tingkat makrostruktur (sociocultural practice),
25
mesostruktur (discourse practice), dan mikrostruktur (text) yang akan di terapkan untuk melihat representasi perempuan dalam media tersebut. Penelitian dengan menggunakan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) model Norman Fairclough, menggabungkan pembahasan pada tingkat makrostruktur (sociocultural practice), mesostruktur (discourse practice), dan mikrostruktur (text). Model Critical Discourse Analysis (CDA) yang dikembangkan Fairclough adalah model pendekatan dialectical relational approach. CDA model Fairclough mengasumsikan bahwa terdapat relasi dialektik antara wacana dengan elemen-elemen diluar wacana seperti misalnya unsur sosial. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan (Eriyanto 2001 :285). Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas individu untuk merefleksikan sesuatu. Norman Fairclough membangun suatu model yang mengintegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik dan pemikiran sosial politik dan secara umum di integrasikan pada perubahan sosial. Faiclough berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Konsep ini mengasumsikan dengan melihat praktik wacana bisa jadi menampilkan efek sebuah kepercayaan (ideologis) artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas dimana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial. Analisis Wacana melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antara peristiwa yang bersifat melepaskan diri dari dari sebuah realitas, dan struktur sosial. Fokus Fairclough pada bahasa sebagai praktik kekuasaan inilah yang menjadi alasan utama pemilihan metode Fairclough sebagai metode yang digunakan untuk menganalisis penelitian ini. Metode analisis yang ditawarkan oleh Fairclough melihat bagaimana penempatan dan fungsi bahasa dalam hubungan sosial khususnya dalam kekuatan dominan dan ideologi. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu melihat bagaimana wacana tersebut membawa dampak perubahan sosial bagi masyarakat yang membacanya. Berdasarkan pengamatan awal peneliti, Rubrik Tapale’uk ditulis oleh
26
beberapa wartawan, naik itu wartawan laki-laki dan perempuan yang bekerja di SKH Pos Kupang. Masing-masing penulis pastilah memiliki ideologi sendiri yang pada akhirnya akan berpengaruh pada bahasa yang digunakan dalam menulis teks Rubrik Tapale’uk. Jadi representasi perempuan yang nampak nantinya bukan hanya karena bahasa yang ada dalam teks semata, namun juga karena ideologi penulis yang ada didalamnya. Selain itu untuk memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas akan kepentingan yang yang bersifat subjektif. Setelah semua data terkumpul, dan diolah, maka data-data tersebut akan disajikan dalam kolom yang dibuat berdasarkan Kerangka analisis wacana Fairclough. Berikut ini tabel struktur analisis wacana kritis model Fairclough yang akan digunakan dalam penelitian : Tabel 1.3 kerangka analisis wacana kritis model Fairclough Struktur Wacana
Objek Pengamatan
Metode
Mikrostruktur (Text) - Representasi : bagaimana peristiwa, Critical Linguistic, orang, kelompok, situasi, keadaan atau Studi apapun
yang
ditampilkan
Pustaka,
dan penelusuran
digambarkan dalam teks.
literatur.
- Relasi : bagaimana hubungan antara wartawan, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. - Identitas
:
bagaimana
identitas
wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks Mesostruktur
Pada bagian ini akan dijabarkan tentang Wawancara dengan
(Discourse Practice)
produksi teks yang meliputi perusahan penulis, wawancara yang membuat teks dan topik yang pemimpin institusi diangkat, serta bagaimana distribusi dan
27
konsumsi teks Makrostruktur (Social
Culture
Practice)
- Situasional: teks yang berasal dari Penelusuran rubrik menceritakan tentang isu, topik, literature/
studi
tema tertentu yang disesuaikan dengan pustaka, wawancara situasi yang terjadi di masyarakat. - Institusional pengaruh
:
melihat
institusi
dengan pembaca
bagaimana
atau
organisasi
dalam memproduksi wacana. - Sosial : aspek sosial ini dipengaruhi oleh aspek politik,
makro
ekonomi
seperti system ataupun
budaya
masyarakat. Dalam konteks ini teks juga harus melihat bagaimana konteks sosial turut mempengaruhi isi dari teks tersebut. Kesimpulan
Berisikan rangkuman dari teks yang diamati, dari sisi Text, Produksi dan konsumsi
teks,
serta
analisis
Sosiokultural. Sumber : Eriyanto 2001 :288
Struktur analisis diatas, akan digunakan untuk mengolah data yang telah terkumpul. Karena tanpa sebuah struktur, mustahil sebuah cerita dapat dipahami dan dimengerti isinya. Mengingat rubrik ini adalah rubrik yang ditulis dengan menggunakan alur bercerita, maka penelitian ini akan disajikan dalam pola analisis naratif. Analisis naratif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memahami sebuah cerita, agar kita juga mesti mengetahui setiap komponen-komponen dari struktur yang ada pada cerita tersebut. Dimana dalam sebuah susunan alur cerita tidak selalu sama dengan apa (peristiwa) yang terjadi sebenarnya. William Labov dan Joshua Waletzky merupakan dua orang yang pertama kali meneliti naratif. Dalam banyak penelitiannya berdasarkan data wawancara, Labov dan Waletzky menemukan suatu struktur yang terdapat di dalam naratif atas peristiwa sehari-hari dengan ciri-ciri sosial yang menaratifkan sebuah cerita.
28
Menurut William Labov dan Joshua Waletzky, ada beberapa cara untuk menganalisis naratif, baik dari cerita atau kisah-kisah umum maupun cerita pengalaman pribadi. Secara umum ada beberapa komponen struktur naratif, antara lain; abstrak, orientasi,
komplikasi-implikasi,
evaluasi,
solusi
dan
koda.
Komponen pertama yang ada dalam setiap naratif adalah orientasi. Orientasi merupakan penjabaran latar dan merupakan bagian struktur naratif yang memberi informasi tentang latar
tempat,
waktu,
tokoh/pelaku
dan
situasi
naratif
pada
awal
cerita.
Komponen kedua dari struktur naratif adalah komplikasi. Labov mendefinisikan komplikasi sebagai urutan naratif yang melaporkan peristiwa selanjutnya. Biasanya peristiwa ini merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan, apa yang terjadi [kemudian]? atau sebuah urutan naratif yang memunculkan eskalasi konflik sehingga sebuah naratif menjadi lebih menarik. Di dalam komponen komplikasi, ada implikasi, yakni semua urutan naratif yang berurutan atau mengikuti komplikasi. Komponen struktur naratif yang lain adalah solusi. Dimana narator menyampaikan proses jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Komponen struktur naratif yang terakhir adalah koda. Koda adalah pernyataan yang diberikan oleh narator yang mengisyaratkan sebuah naratif telah berakhir.
29