PLAN
LOG
ISSN: 1858-3261
ARAH DAN SKENARIO PENGEMBANGAN PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN (Diringkas dari Makalah “Pemantapan Kawasan Hutan” , yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS dalam Diskusi Arah Pembangunan Sektor Kehutanan, tanggal 17 Pebruari 2005)
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan hutan secara fungsional mengandung arti sebagai suatu kesatuan lahan atau wilayah yang karena keadaan bio-fisiknya dan/atau fungsi ekonomisnya dan/atau fungsi sosialnya harus berwujud sebagai hutan. Karena sifatnya yang demikian itu, peruntukan lahan tersebut harus ditetapkan dan dipertahankan sebagai hutan untuk selamanya. Itulah sebabnya mengapa kawasan hutan secara yuridis diartikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah (pusat) untuk dipertahankan keberadaannya sebagi hutan tetap (Pasal 1 Butir 3 UU No. 41 Tahun 1999). Secara fungsional, kelestarian kawasan hutan (Dimensi 1 ekosistem hutan) ini merupakan prasyarat untuk dapat dicapainya kelestarian dua dimensi ekosistem hutan lainnya (Dimensi 2 dan Dimensi 3), oleh karena bagaimana mungkin kita mewujudkan kelestarian kualitas dan produktivitas ekosistem hutan apabila lahan yang diperuntukkan sebagai hutan tidak ada? Selanjutnya, jika kualitas dan produktivitas hutan tidak ada, maka tentu saja fungsi ekonomis, ekologis dan sosial ekosistem hutan pun tidak akan ada! Jadi sangatlah mudah untuk dipahami bagaimana hubungan ketergantungan antara Dimensi 1, Dimensi 2, dan Dimensi 3 dari ekosistem hutan, yaitu: Dimensi 1 Dimensi 2 Dimensi 3 (baca: Dimensi 1 merupakan prasyarat bagi Dimensi 2, Dimensi 2 merupakan prasyarat bagi Dimensi 3, sehingga Dimensi 1 merupakan prasyarat bagi Dimensi 2 dan/atau Dimensi 3). Makna operasional untuk kepentingan pengelolaan hutan dengan berlandaskan pada prinsip PHL dari ketiga macam syarat keharusan di muka adalah sebagai berikut: Dimensi 1 : Keberadaan lahan yang diperuntukkan untuk hutan dengan luasan yang cukup dan dengan tempat yang tepat (sebaran spasial proporsional) harus selalu terjamin secara berkelanjutan. Dimensi 2 : Keberadaan wujud bio-fisik hutan yang tumbuh di atas lahan yang diperuntukkan sebagai hutan dengan luasan yang cukup serta kualitas dan produktivitas yang tinggi (di atas ambang batas kualitas dan produktivitas yang ditetapkan) harus selalu terjamin secara berkelanjutan. Dimensi 3 : Pengelolaan, termasuk di dalamnya pemanfaatan, ekosistem hutan untuk mendapatkan fungsi-fungsi ekonomis, ekologis, dan sosial-budaya secara optimal dan lestari harus senantiasa berjalan secara berkelanjutan Secara legalitas ketiga dimensi menjadi pembatas pengertian kawasan yang mantap dalam arti : a. Luas kawasan hutan dalam setiap kesatuan bentang alam setidak-tidaknya memenuhi syarat kecukupan minimal dan dengan sebaran lokasi (spasial) yang proporsional sesuai dengan keadaan sifat-sifat biofisik bentang alam serta kepentingan ekonomi dan sosial-budaya masyarakatnya.
DARI REDAKSI Salam planolog, para pembaca yang budiman mudah-mudahan kita sepakat, bahwa kejelasan arah dan tujuan merupakan wujud kehakikian siapa kita dan mau kemana kita sekarang dan di masa depan. Oleh karena itu makin fokus dan konvergennya arah dan tujuan makin jelas pula jati diri kita. Pembaca yang arif, adalah kodrat setiap manusia untuk menjadi perencana atau planolog, kodrat tersebut dimulai ketika berkembangnya pemahaman, bahwa problem yang dihadapi tidak terlepas dari dinamika perubahan dalam setiap detik kehidupan, sehingga mewajibkan kita untuk melatih ketrampilan dalam memilah, memilih dan menetapkan (scan, choice and decision making skill), ketrampilan mewujudkan hasil pilihan mulai dari perencanaan sampai dengan implementasinya (Planning and Implementation skill) serta ketrampilan untuk menyampaikan dan menjaga komitmen ( Dissemination and maintain of commitment skill). Berangkat dari kesamaan kodrati kita, kami selalu terbuka dan mengharapkan saran penyempurnaan maupun partisipasi ide dan pemikirannya, bukankah hasil dari ”banyak kepala” akan memperkecil kelemahan individu alias ”satu kepala”. Mudahmudahan sajian kedepan semakin bermanfaat bagi kita semua. Wassalam
LOG PLAN
BULETIN
b. Luas kawasan hutan (dengan luasan cukup dan sebaran proporsional) yang terdapat dalam setiap kesatuan bentang alam dapat dipertahankan (tetap) secara berkelanjutan. Untuk ini diperlukan syarat-syarat sebagai berikut : b.1. Seluruh kawasan hutan yang terdapat dalam setiap kesatuan bentang alam memiliki batas fisik di lapangan dan tertera pada peta (Peta Kawasan Hutan). b.2. Batas kawasan hutan secara fisik (di lapangan) dan pada peta memiliki kekuatan, baik secara de jure (ada hasil penataan batas kawasan hutan yang disahkan oleh Menteri (Kehutanan), maupun de facto (diketahui dan diakui oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat). b.3. Pal-pal batas kawasan hutan di lapangan terpelihara dan terjaga, baik posisi letaknya (titik koordinat pal batas) maupun kualitasnya. c. Kelembagaan dalam Perencanaan Kehutanan yang berkenaan dengan pengelolaan batas-batas kawasan hutan (penataan batas, pemeliharaan, dan pengamanan) untuk seluruh kawasan hutan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) terdefinisikan dengan jelas dan tegas, memiliki kekuatan hukum, dan berfungsi dengan efektif. Keberhasilan pengelolaan hutan berlandaskan prinsip PHL sangat ditentukan oleh persepsi dan tindakan para pihak terhadap kemantapan kawasan hutan sebagai syarat keharusan, sehingga mengacu pada hal tersebut upaya pengembangan pemantapan kawasan hutan menjadi ”harus dan perlu”. Keadaan hutan dan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan di Indonesia pada saat ini, antara lain, disebabkan pula oleh kurang mantapnya kawasan hutan, dicirikan oleh : a. Kepastian luas kawasan hutan dalam setiap DAS kurang terjamin, kecukupan luas kawasan hutan belum seluruhnya diketahui. b. Kepastian status kawasan hutan dalam setiap DAS kuranog terjamin akibat rendahnya laju penyelesaian kegiatan pengukuhan hutan, terutama untuk tahapan tata batas kawasan hutan. c. Rendahnya tingkat pengakuan para pihak yang berkepentingan, terutama masyarakat di sekitar hutan atau kelompok masyarakat hukum adat, terhadap status hukum kawasan hutan yang telah selesai dikukuhkan. Atas dasar itu, maka permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan di Indonesia dapat dipandang sebagai permasalahan yang berhubungan dengan kegiatan pengembangan pemantapan kawasan hutan di masa yang akan datang. B. Tujuan Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran obyektif mengenai situasi dan kondisi serta permasalahan dalam pelaksanaan pemantapan kawasan hutan serta memberikan masukan tentang pengembangan pemantapan kawasan hutan dalam jangka panjang. PRINSIP DASAR PENGELOLAAN HUTAN DALAM SISTEM PENGURUSAN HUTAN DI INDONESIA
Halaman
Dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem, ada tiga prinsip dasar yang perlu dipegang dengan sangat kuat, yaitu: a. Prinsip Keutuhan (holistic) Prinsip ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pengelolaan hutan harus mempertimbangkan dan sesuai dengan keadaan dan potensi seluruh komponen pembentuk hutan (hayati dan non hayati); kawasan lingkungannya (biofisik, ekonomi, politik, dan sosial-budaya masyarakat), serta memperhatikan dan dapat memenuhi kepentingan keseluruhan pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap hutan serta mampu mendukung kehidupan mahluk hidup (selain manusia) dan keberlanjutan keberadaan alam semesta. b. Prinsip Keterpaduan (Integrated) Prinsip ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pengelolaan hutan harus berlandaskan kepada pertimbangan keseluruhan hubungan ketergantungan dan keterkaitan antara komponen-komponen pembentuk ekosistem hutan serta pihak-pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap hutan dalam keseluruhan aspek kehidupannya, mencakup : aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial-budaya. c. Prinsip Keberlanjutan/Kelestarian (Sustainability) Prinsip ini mengandung arti bahwa fungsi dan manfaat ekosistem hutan dalam segala bentuknya harus dapat dinikmati oleh umat manusia dan seluruh kehidupan di muka bumi ini dari generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara bekelanjutan dengan potensi dan kualitas yang sekurang-kurangnya sama (tidak menurun). Jadi tidak boleh terjadi pengorbanan (pengurangan) fungsi dan manfaat ekosistem hutan yang harus dipikul suatu generasi tertentu akibat keserakahan generasi sebelumnya. Prinsip ini mengandung konsekuensi terhadap luasan hutan, produktivitas dan kualitas (kesehatan) hutan yang setidaknya tetap (tidak berkurang) dalam setiap generasinya. Oleh karena luas hutan yang tersedia pada kenyataannya terus berkurang, sementara total kebutuhan terhadap barang dan jasa hutan setiap saat terus meningkat, maka produktivitas dan kualitas hutan harus dapat ditingkatkan. Untuk ini diperlukan IPTEKS yang ramah lingkungan, yaitu IPTEKS yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas ekosistem hutan, tetapi memberikan dampak negatif yang minimal, serta dapat diterima dan cocok dengan nilai budaya masyarakat. IPTEKS seperti ini hanya akan dapat diperoleh apabila pengembangannya mengakar pada keadaan biofisik dan sosial-budaya masyarakat pada tempat hutan berada.
BULETIN
PLAN LOG
Untuk mewujudkan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem di muka, diperlukan tiga komponen kegiatan dan/atau sikap utama, yaitu : a. Penataan ruang yang bersifat rasional dalam setiap kesatuan bentang alam (landscape scenario) Kesatuan bentang alam yang dipergunakan harus merupakan kesatuan ekologis, bukan kesatuan politik atau administrasi pemerintahan. Untuk keperluan ini dapat dipergunakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai kesatuan ekosistem. Selanjutnya setiap kesatuan lahan dalam ekosistem DAS tersebut ditetapkan fungsi penggunaannya sesuai dengan watak fisik lahannya, sedangkan pemanfaatan setiap kesatuan lahan ini tidak boleh melebihi daya dukung lahan tersebut. Proses ini hendaknya dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dengan prinsip kebersamaan. Sesuai dengan karakteristik sebagian besar lahan dalam DAS serta tingkat aksesibilitasnya terhadap pusat pertumbuhan ekonomi wilayahnya, maka akan dapat ditentukan tujuan utama (skenario) pengelolaan sumberdaya alam dalam wilayah DAS. Setelah skenario pengelolaan DAS ditetapkan, maka pengelolaan setiap kesatuan ekosistem dalam DAS harus mendukung pencapaian tujuan utamanya. b. Komitmen yang kuat terhadap tata ruang yang telah disepakati (strong commitment) Seluruh pihak yang berada dan terkait dengan penggunaan ruang dalam setiap kesatuan ekosistem (DAS) harus memiliki komitmen yang sama dan kuat untuk mempertahankan tata ruang yang sudah disepakati bersama secara konsisten. c. Kebersamaan dalam perumusan kebijakan dan penyelenggaraan program pengelolaan (colaborative management) Kebijakan dan program yang akan dilakukan dalam rangka pengelolaan hutan dalam setiap ekosistem DAS hendaknya disusun dan dilaksanakan secara bersama dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak dan kewajiban yang proporsional dan berkeadilan (sesuai undang-undang), keterbukaan, demokratis, dan bertanggunggugat. Untuk ini, maka pengembangan sistem pengelolaan kolaboratif (colabarative management) dalam pengelolaan hutan merupakan sebuah kewajiban. Mengingat sifat-sifat biofisik, keadaan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat dalam setiap ekosistem DAS bersifat spesifik (berbeda satu sama lain), maka tujuan pengelolaan, rumusan macam-macam bentuk dan intensitas kegiatan pengelolaan harus ditetapkan untuk setiap kesatuan pengelolaannya dan sesuai dengan sifat-sifat biofisik, keadaan ekonomi dan sosialbudaya masyarakatnya (adaptive management). Demikianlah prinsip-prinsip pengelolaan hutan di Indonesia yang sesuai dengan aturan (tersurat dan tersirat) dalam undangundang di Indonesia. Oleh karenanya maka jika dalam pengelolaan hutan terdapat prinsip atau praktek yang bertentangan dengan prinsip sebagaimana diutarakan di muka, maka pengelolaan hutan tersebut bertentangan dengan undang-undang.
SKENARIO ARAH PENGEMBANGAN PEMANTAPAN HUTAN DALAM JANGKA PANJANG Berdasarkan proyeksi keadaan dan permasalahan dalam pemantapan kawasan hutan di masa yang akan datang , laju kegiatan pemantapan akan tetap terkendala oleh ; keterbatasan dana, SDM, kemampuan institusi dan kelemahan koordinasi pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Namun disamping kelemahan tersebut ada faktor pendorong berupa peluang komitmen yang kuat untuk terselenggaranya PHL dari para pihak baik di dalam maupun global. Berangkat dari proyeksi di atas dan setelah melalui analisis pengambilan keputusan dengan kriteria syarat-syarat keharusan dalam pemantapan kawasan hutan didapatkan alternatif strategi terbaik untuk setiap komponen kegiatan dalam pengembangan pemantapan kawasan hutan, sebagaimana yang tertera tabel di bawah ini. Tabel 1. Alternatif strategi terbaik untuk setiap komponen kegiatan dalam Pengem bangan Pemantapan Kawasan Hutan Jangka Panjang Nomor Komponen Kegiatan (1) 1.
2.
3.
4.
Nama Komponen Kegiatan
Deskripsi Alternatif Strategi Terbaik
(2) Penetapan luas kawasan hutan dalam DAS (atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di atas tingkat kecukupan minimal ( > 30%) dengan sebaran spasial tepat. Penetapan luas kawasan hutan dalam DAS (atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di atas tingkat kecukupan minimal ( > 30%) tetapi sebaran spasial belum tepat. Penetapan luas kawasan hutan dalam DAS (atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di bawah tingkat kecukupan minimal (< 30%).
(3) Luas kawasan hutan ditetapkan secara optimal (HL dan HK sesuai dengan karakteristik biofisik wilayah, HP sesuai Keperluan bahan baku hasil hutan), bila ada sisa kawasan hutan dapat dipergunakan untuk keperluan selain hutan. Luas dan distribusi kawasan hutan dibuat optimal, bila ada sisa kawasan hutan dapat dipergunakan untuk selain hutan.
Penataan batas kawasan hutan (batas luar kawasan)
Luas kawasan hutan ditambah dengan menunjuk kawasan hutan baru pada tanah milik sampai memenuhi luas kecukupan minimal (30%) da n dengan sebaran spasial yang optimal serta diikuti dengan mengem -bangkan sistem insentif yang secara ekonomis menguntungkan pemilik lahan. Dilakukan penataan batas kawasan hutan dengan melibatkan dan m engakomodasikan kepentingan para pihak yang berkepen-tingan (partisipatif).
Halaman
LOG PLAN
BULETIN
Halaman
Lanjutan Tabel 1. 5.
6. 7.
Penataan batas hutan adat (untuk kawasan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya). Penataan batas Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Penataan batas kawasan hutan untuk setiap fungsi penggunaan hutan (HP, HL, HK)
8.
Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan (KPHP, KPHL, KPHK).
9.
Penetapan urutan prioritas pelak -sanaan kegiatan dalam Peman -tapan Kawasan Hutan dalam setiap DAS (atau Pulau).
Dilakukan penataan batas hutan adat dengan melibatkan masyarakat hukum adat. Dilakukan penataan batas KHDTK dengan melibatkan para pihak terkait. Dilakukan penataa n batas fungsi penggu -naan kawasan hutan (HP, HL, HK) dengan melibatkan dan mengakomodasikan kepen-tingan para pihak terkait. Dibentuk Unit Pengelolaan Hutan secara permanen dengan melibatkan dan m eng-akomodasikan kepentingan para pihak terkait Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dilakukan bersama-sama sampai se -lesai, setelah it u dapat dilakukan Penataan Batas Hutan Adat, Penataan Batas KHDTK dan Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan secara pararel, sesuai keperluan.
REKOMENDASI A. Arah Pengembangan Pemantapan Kawasan Hutan dalam Jangka Panjang 1. Penetapan luas kawasan hutan dalam setiap DAS (atau Pulau), untuk : a. DAS (atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di atas tingkat kecukupan minimal (> 30% dari luas DAS dan atau Pulau), dengan sebaran spasial tepat (proporsional). Luas kawasan hutan ditetapkan secara optimal, yaitu : 1) Seluruh areal dalam DAS (atau Pulau) yang menurut keadaan biofisiknya, termasuk kekhasan dan kelangkaannya, harus menjadi HK, berstatus sebagai HK. 2) Seluruh areal dalam DAS (atau Pulau) yang menurut keadaan fisiknya (tinggi tempat dpl, kemiringan lapangan, tingkat kepekaan erosi tanah, intensitas hujan) harus menjadi HL, berstatus sebagai HL. 3) Luas HP produksi memenuhi tingkat kecukupan untuk memproduksi hasil hutan, baik untuk pemenuhan bahan baku industri kehutanan dalam wilayah pengembangan industri kehutanan yang memiliki jarak terjangkau secara ekonomis (di dalam atau di luar DAS dan atau Pulau) maupun untuk konsumsi masyarakat lokal. Bila setelah luas kawasan hutan pada butir 1), 2) dan 3) di muka terpenuhi masih ada tersisa kawasan hutan dalam DAS (atau Pulau), maka areal sisanya ini dapat diperuntukan untuk selain kawasan hutan. b. DAS (atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di atas tingkat kecukupan minimal (> 30% dari luas DAS dan atau Pulau) tetapi sebaran spasial belum tepat (proporsional) : Luas dan distribusi kawasan hutan dibuat optimal (lihat butir a di muka), bilamana ada sisa kawasan hutan dalam DAS (atau Pulau), maka areal sisanya ini dapat dipergunakan untuk penggunaan di luar kawasan hutan. c. DAS (atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di bawah tingkat kecukupan minimal (< 30% dari luas DAS dan atau Pulau) : Luas kawasan hutan ditambah dengan menunjuk kawasan baru pada tanah milik sampai memenuhi luas kecukupan minimal (30% dari luas DAS dan atau Pulau) dan dengan sebaran spasial yang tepat (proporsional) serta diikuti dengan mengembangkan sistem insentif yang secara ekonomis menguntungkan bagi pemilik lahan hutan. 2. Pengukuhan Kawasan Hutan a. Penataan batas kawasan hutan (batas luar kawasan) : Dilakukan penataan batas kawasan hutan dengan melibatkan dan meng-akomodasikan kepentingan para pihak yang berkepentingan (partisipatif) dan dengan tetap sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku. b. Penataan batas hutan adat untuk wilayah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya : Dilakukan penataan batas hutan adat dengan melibatkan masyarakat hukum adat. c. Penataan batas Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) : Dilakukan penataan batas KHDTK dengan melibatkan para pihak terkait. 3. Penataan batas kawasan hutan untuk setiap fungsi penggunaan hutan (HP, HL, HK) : Dilakukan penataan batas fungsi penggunaan kawasan hutan (HP, HL, HK) dengan melibatkan dan mengakomodasikan kepentingan para pihak terkait. 4. Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan (KPHP, KPHL, KPHK) : Dibentuk Unit Pengelolaan Hutan secara permanen dengan melibatkan dan mengakomodasikan kepentingan para pihak terkait. 5. Penetapan urutan prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Pemantapan Kawasan Hutan dalam Setiap DAS (atau Pulau) : Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dilakukan bersama-sama sampai selesai, setelah itu dapat dilakukan Penataan Batas Hutan Adat, Penataan Batas KHDTK dan Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan secara pararel, sesuai keperluan.
BULETIN
PLAN LOG
B. Rekomendasi Khusus Dalam Rangka Pemantapan Kawasan Hutan 1.a. Penambahan Pasal 38A dan Pasal 38B dalam amandemen UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (berdasarkan PERPPU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) sangat potensial untuk mengurangi luas penutupan lahan pada kawasan hutan lindung (HL) dalam setiap DAS dan atau Pulau. Keadaan ini pada akhirnya akan mendorong terjadinya pengurangan luas kawasan hutan lindung di dalam DAS dan atau Pulau, akibat terjadinya fragmentasi lahan hutan yang kemudian diikuti dengan pengkonversian ke dalam peruntukan selain hutan. Berdasarkan pertimbangan ini, maka Pasal 83A dan Pasal 83B dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan direkomendasikan untuk dihilangkan kembali melalui proses amandemen yang baru. b. Ijin penambangan dengan pola pertambangan terbuka pada areal kontrak kerja yang berstatus sebagai kawasan hutan lindung dan ditandatangani sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hanya diberikan apabila berdasarkan hasil evaluasi dan penilaian ulang status kawasan hutan (survei mikro) oleh Tim Independen dan dengan kriteria serta prosedur yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dapat dibuktikan bahwa sesuai keadaan sifat-sifat fisik lahannya areal kontrak kerja tersebut tidak termasuk dalam kategori kawasan hutan lindung, sehingga tidak harus berstatus sebagai kawasan hutan lindung. 2. Mekanisme kegiatan penataan batas kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan seyogyanya dilakukan secara partisipatif dalam pengertian substansial, yaitu dengan cara : melibatkan, mempertimbangkan, dan mengakomodasikan secara optimal (dalam batas-batas peraturan perundangan yang berlaku) persepsi, harapan dan kepentingan para pihak terkait, terutama masyarakat di sekitar hutan dan pihak-pihak yang memiliki tanah yang berbatasan dengan kawasan hutan yang akan dikukuhkan. Untuk ini maka keterlibatan para pihak tersebut dalam penataan batas kawasan hutan seyogyanya bersifat utuh sejak penetapan rute trayek pal batas di atas peta dan pemancangan patok batas sementara di lapangan. 3. Penetapan program penyelenggaraan pengurusan hutan, termasuk di dalamnya pemantapan kawasan hutan, hendaknya dilakukan dengan menggunakan sistem perencanaan program berdasarkan pendekatan sistem alokasi sumberdaya dan penetapan prioritas kegiatan yang bersifat obyektif dan rasional. Untuk ini dapat dipergunakan teknik alokasi sumberdaya dan teknik pengambilan keputusan dalam teknik operasi (operation research) yang sesuai, seperti : linear programming, goal programming serta teknik pengambilan keputusan untuk kelompok kepu-tusan yang mengandung resiko (decision under risk) dan yang bersifat tidak pasti (decision under uncertainty).Apabila informasi yang diperlukan untuk menyusun model yang lengkap tidak cukup tersedia kita dapat menggunakan sistem pakar dengan mengembangkan teknik pengambilan keputusan dengan kriteria ganda (multiple criteria), misalnya teknik AHP (Analytic Hierarchy Process). Baik dalam keadaan informasi yang cukup atau tidak cukup, pembentukan model yang akan dipergunakan sebagai alat dalam pengambilan keputusan hendaknya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh komponen dalam Departemen Kehutanan dan para pihak yang berkepentingan terhadap lahan hutan, manfaat ekosistem hutan dan kegiatan pengelolaan hutan di luar Departemen Kehutanan (PEMDA Propinsi, Kabupaten/Kota, Pelaku Usaha, Masyarakat).
DAFTAR PUSTAKA
Buongiorno, J. and J.K. Gilles. 2003. Decision Methods for Forest Resources Management. Academic Press, New York. Davis, K. 1964. Forest Management : regulation and valuation. Second Edition. McGraw-Hill Book Co., New York. Davis, L.S. and K.N. Johnson. 1987. Forest Management. Third Edition. McGraw-Hill Book Co., New York. Departemen Kehutanan. 2004. Data Strategis Kehutanan (Eksekutif). Departemen Kehutanan, Jakarta. ___________________. 2004. Data Perkembangan Penataan Batas Kawasan Konservasi : s/d Agustus 2004. Departemen Kehutanan, Jakarta. ISTF (International Society of Tropical Foresters). 2004. ISTF News : Vol. 25 No. 2, June 2004. ISTF, Bethesda. Meffe, G.K., L.A. Nielsen, R.L. Knight, and D.A. Schenborn. 2002. Ecosystem Management : adaptive, community-based, conservation. Island Press, Washington. Osmaston, F.G. 1968. The Management of Forest. George Allen and Unwin Ltd., London. Sampson, N. and L. DeCoster. 2000. Forest fragmentation : implication for sustainable private forests. Journal of Forestry Vol. 98(3) March 2000 : 4-8. Taha, H.A. 1982. Operation Research : an introduction. Third Edition. Macmillan Publishing Co., Inc., New York.
Halaman
LOG PLAN
BULETIN
PERSEPSI MASYARAKAT DAN ALTERNATIF BENTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MENUJU KELESTARIAN HUTAN Oleh : Syaiful Ramadhan
Dari Simbyosa Menuju Persepsi Keragaman sosial budaya, budidaya dan perilaku dominan dari komunitas masyarakat Pegunungan, Pantai daerah yang beriklim basah dan yang beriklim kering merupakan bukti, adalah suatu keniscayaan bahwa lingkungan alam dan hutan adalah modal sosial budaya sangatlah berpengaruh pada pembentukan karakteristik komunitas masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitarnya. Secara empiris hubungan timbal balik jangka panjang antara komunitas hutan dan komunitas masyarakat mengintrodusir persepsi komunitas masyarakat tersebut terhadap hutan yang sering dikenal dalam implementasinya sebagai ”kearifan lokal (local wisdom)”. Persepsi dalam bentuk kearifan lokal ini sebenarnya ideal sebagai ukuran kondisi hubungan yang seimbang (equilibrium) antara hutan dan masyarakat dalam konteks ”model” hubungan yang saling menguntungkan (Symbiose Mutualistis) atau dalam bahasa ekonomi lingkungan terjadi ”keselarasan antara transfer benefit dan transfer cost” . Dari berbagai kajian terhadap pustaka-pustaka yang terkait dengan model-model hubungan manusia-hutan dalam konteks sebagaimana tersebut di atas, terbukti tidak ada hubungan yang mempermasalahkan aspek kepemilikan hutan paling tidak dalam pengelolaannya secara komunal tersebut, semua diselenggarakan secara konkuren, dari dan untuk bersama, setiap pengingkaran terhadap kebersamaan identik dengan proses pengucilan diri yang bersangkutan dari komunitasnya. Secara lebih rinci persepsi masyarakat terhadap hutan sangat dipengaruhi oleh : 1. Pengalaman “hubungan manfaat” dan atau “hubungan bencana” yang pernah dialami secara murni tanpa intervensi pengaturan.yang melahirkan persepsi masyarakat dalam bentuk, kearifan-kearifan lokal. 2. Tingkat pengetahuan tentang segala sesuatu tentang hutan baik secara formal maupun informal yang melahirkan persepsi dalam bentuk apresiasi terhadap kedudukan dan fungsi hutan secara berkesetaraan dalam sistem kehidupan. 3. Segala sesuatu peraturan yang secara formal mengatur tentang hubungan manusia dengan hutan baik di atas kertas maupun di lapangan yang mencerminkan keberfihakan tingkat kebolehan dan ketidak bolehan hubungan manusia dan hutan. Dominasi ketidak bolehan yang inkonsisten akan melahirkan persepsi apatis di satu sisi dan implementasi ilegal di sisi lain 4. Kejelasan jaminan hukum atas hak, peran alokasi dan distribusi serta konsekuensi dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan.serta manfaatnya. Semakin tidak jelas maka kondisi hutan akan makin mencuat persepsi bahwa hutan berstatus “open access” dan berimplikasi pada makin kurang terjamin kelestariannya. 5. Keserasian aspek luas, besar dan mutu dari populasi penduduk dan tekanan kebutuhan akan lahan dlsb. dengan daya dukung optimal hutan yang tersedia yang dicerminkan dari kompetisi dalam tata ruang. Persepsi yang dominan terhadap hutan adalah sebagai komoditi ekonomi yang mempunyai nilai pasar belaka, sehingga layak/dapat di porto poliokan dengan bisnis komoditi lain. Dari Persepsi Menuju Property Cara pandang atau pemahaman hukum “apa itu” hutan dan manfaat serta hasil hutan, perlu semakin dipertegas dan fokus, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam konsepsi kebijakan, hingga implementasinya bagi semua fihak terkait di lapangan. Saat ini cara pandang per UU an terhadap “kawasan hutan” adalah : Hak Penguasaan oleh Negara (Rezim of State's property right), sehingga menimbulkan hak pengaturan pengelolaan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum yang timbul terkait dengan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan oleh Pemerintah. Pengelolaan hak penguasaan yang kemudian memberi wewenang pengaturan tersebut yang harusnya tidak lepas dari konteks atau dijelmakan secara tidak berparadoks dengan fungsi “pelayanan prima” sebagai salah satu ciri tata laksana pemerintah yang baik (good governance). Sementara kondisi de facto di lapangan menunjukkan, bahwa ketidak jelasan Pengelola kawasan hutan berimplikasi pada tidak adanya kegiatan pengelolaan dan berujung pada kondisi kawasan rezim non property atau open access alias public goods yang mengundang kompetisi pemanfaatannya.(rambah/eksploitasi dahulu ijin diatur belakangan). Kenyataan di atas mencerminkan, bahwa persepsi pengelolaan hutan harus dapat memfasilitasi kebutuhan berbagai rezim property sesuai sifat dan karakteristik hutan dan manfaat hutan, sehingga kebijakan pengelolaan yang ada akan akomodatif terhadap terwujudnya manfaat sosial, ekonomi dan ekologi/lingkungan hutan sebagai common pool goods untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara lestari dan berkeadilan (bentuk hakiki pemberdayaan masyarakat yang bermartabat).
Halaman
BULETIN
PLAN
Dari Mix Rezim Property Menuju Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Jadi secara filosofis paling tidak ada dua hal yang saling terkait dan mutlak harus berdamai dan selaras untuk mewujudkan suatu kondisi pengelolaan hutan dalam konteks yang memberdayakan masyarakat, yaitu persepsi masyarakat dan persepsi pemerintah terhadap manfaat sosial, ekonomi dan ekologi hutan yang akhirnya melahirkan mix rezim property (“State Common pool/Public Private” Goods) .dalam upaya keberadilan akses pengelolaan hutan. Runtut fikir di atas tersebut, kemudian menjadi dasar pengembangan alternatif pemberdayaan masyarakat berbasis mix rezim property yang unik, yaitu : Tabel 1. Alternatif Pemberdayaan berbasis Rezim Property derivasi Persepsi
Alternatif Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan HutanYang
1 2
3
mendukung Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingk.
Persepsi terhadap Hutan dan Pengelolaan Hutan
Arahan Lokasi
Pola Budidaya &
(Pengelola Kawasan)
Kesatuan Penge
pengusahaan
lolaan (KP)
hutan
Rezim ”State” (BUMN/D) Rezim “Open Access”/ Public (”Pemilik”Non Kawasan Hutan Negara) Rezim "Private“ Dalam dan Luar Kawasan Hutan (HPH/Ht Rakyat)
H. Lindung H. Konservasi H. Desa H.Adat H.Rakyat Komunal
Barang terbatas Jasa Lingk. besar Proporsi Bebas*), Menguntungkan & Berkelanjutan
H. Produksi
Proporsi Bebas*), Menguntungkan & Berkelanjutan
Pola Permodalan
Invest. Pem. Saham Masy.
LOG
No.
Invest. Masy. Saham Swasta Invest. Swasta.& Saham Masy. Invest. Masy. & Saham Swasta
*)Yang dimaksud adalah Proporsi antara Produk Barang dan Jasa Hasil Hutan serta produk barang MPTS
Halaman
LOG
RENCANA STRATEJIK (RENSTRA) PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN WILAYAH PERBATASAN RI - MALAYSIA DI KALIMANTAN DAN RANCANGAN PENGELOLAAN HUTAN WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA- TIMOR LESTE DI PULAU TIMOR
PLAN
BULETIN
Disarikan Oleh : Tedi Setiadi
I. PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan negara kepulauan (Archipelagic State) terbesar di dunia dan diapit oleh dua benua (Asia dan Australia), memiliki posisi yang sangat strategis secara politik, sosial-ekonomi, kebudayaan dan pertahanan serta keamanan. NKRI memiliki batas wilayah intersional dengan 10 negara tetangga. Perbatasan didarat terdiri dari 3 (tiga) negara yaitu Malaysia, PNG dan Timor Leste. Sedangkan sebagai negara kepulauan Indonesia mempunyai batas maritim berupa batas laut wilayah (teritorial), batas landas kontinen dan batas Zone ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan 10 negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PNG, Timor Leste dan Australia. Kawasan perbatasan baik sebagai bagian dari wilayah provinsi, kabupaten atau kota yang langsung bersinggungan dengan negara tetangga, secara nasional memiliki arti yang strategis namun sampai saat ini penataan dan pembangunan wilayah perbatasan belum dilakukan secara maksimal. Perkembangan daerah di wilayah perbatasan dirasakan lambat (masih tertinggal) dan memprihatinkan, tingkat kesejahteraan masyarakatnya rata-rata tergolong miskin. Pemerintah selama ini memandang wilayah perbatasan sebagai “halaman belakang” bukan “halaman depan” negara. Menurut data dari Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menyebutkan 3 dari 5 kabupaten perbatasan negara di Kalimantan Barat (Kalbar), 3 kabupaten di Kalimantan Timur (Kaltim) dan 3 Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah tertinggal. Untuk itu perlu perhatian untuk menangani kawasan tersebut, namun tetap mempertimbangkan aspek keamanan, kesejahteraan dan lingkungan hidup. Berbagai kebijakan yang selama ini telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pembangunan wilayah perbatasan dan kesejahteraan masyarakat perbatasan diantaranya melalui pembentukan Badan Pengendali Pelaksanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan (BP3WPK) yang dibentuk melalui Keppres No. 44 tahun 1994, namun hasilnya belum nyata terasa oleh masyarakat. Keadaan sosial ekonomi yang masih jauh tertinggal terasa sangat mencolok apabila dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat dari negara tetangga khususnya di sepanjang wilayah perbatasan Indonesia Malaysia di P. Kalimantan. Kebijakan selama ini masih bersifat kebijakan parsial sektoral belum terintegrasi lintas sektoral, kebijakan penanganan dan pengelolaan wilayah yang ada masih tumpang tindih dan belum terkoordinasi secara baik. Kondisi seperti tersebut di atas apabila dibiarkan terus-menerus dapat menimbulkan kerawan dan gejolak sosial ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan (illegal logging, illegal trading dan pergeseran batas) bahkan kemungkinan terjadi penurunan rasa nasionalisme dan kebangsaan masyarakat di wilayah perbatasan yang pada akhirnya berujung pada diintegrasi. Wilayah perbatasan memiliki potensi yang cukup besar untuk ditata dan dikelola dengan baik, pembangunan wilayah dan kesejahteraan masyarakatnya dapat ditingkatkan melalui kebijakan pemerintah yang merubah pandangan halaman belakang menjadi halaman depan. Diharapkan dengan semakin meningkatnya kesejahteraannya masyarakat akan tercipta pertahanan dan keamanan dan sekaligus stabilitasi kawasan dapat tercapai. Pemerintah saat ini sedang melakukan berbagai kajian untuk menetapkan berbagai kebijakan pembangunan wilayah perbatasan salah satunya melalui upaya sinkronisasi berbagai kebijakan dan program lintas sektor. Departemen Kehutanan saat ini telah menyusun dan menyelesaikan Rencana Strategik Pengelolaan Kawasan Wilayah Perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimanatan yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 55/Menhut-VII/2004 tanggal 18 Pebruari 2004 dan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan Republik Indonesia Timor Leste di Pulau Timor yang dietapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor ; P.15/Menhut-II/2005 tanggal 28 Juni 2005.
Halaman
Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan dan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan Republik Indonesia Timor Leste di Pulau Timor merupakan salah satu acuan Departemen Kehutanan dan atau beberapa pihak terkait di Pusat dan Daerah dalam mengelola kawasan hutan wilayah perbatasan. Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan berlaku tahun 2004 s/d 2009, sedangkan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Timor Leste berlaku tahun 2005 s/d 2009. Substansi yang tertuang dalam Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan di Kalimantan dan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan Republik Indonesia Timor Leste di Pulau Timor dapat dilihat pada uraian singkat sebagai berikut :
Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Wilayah perbatasan daratan Indonesia di Pulau Kalimantan yang berbatasan langsung dengan negara Bagian Sabah dan negara Bagian Sarawak (Malaysia Timur), membentang sepanjang ± 1.840 Km (mencakup wilayah Provinsi Kaltim sepanjang ± 1.035 Km dan Kalbar sepanjang ± 805 Km). Letak geografis wilayah perbatasan antara 109o10'-114 o 05' BT dan 0 o 30'-2 o 10' LU. Luas wilayah kawasan yang berada di Provinsi Kalimantan Barat seluas ± 7,2 juta ha, termasuk kedalam 5 Kabupaten yaitu Sambas, Bengkayang,Sanggau,Sintang dan Kapuas Hulu).
LOG
2. Wilayah Perbatasan Indonesia-Timor Leste di P. Timor Wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste di P. Timor (Provinsi NTT) sepanjang 230 Km (batas daratan) terdiri dua bagian yaitu : a. Wilayah perbatasan di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dengan Distrik Ambenu Timor Leste sepanjang 115 Km ( Kab.Kupang sepanjang 10,5 Km dan Kab. TTU sepanjang 104,5 Km) b. Wilayah perbatasan di Kabupaten Belu dengan Distrik Bobonaro dan Suai sepanjang 115 Km. Letak geografis wilayah perbatasan Kabupaten Kupang, Kabupaten TTU Distrik Ambenu (Timor Leste) adalah 124o02'12”-124 o 28'28” BT dan 9 o 12'27”LS, Kabupaten Belu Distrik Bobonaro dan Suai (Timor Leste) 124 o 55'06”-125 o 10'39” BT dan 8 o 59'59”-9 o 28'13” LS. Luas wilayah perbatasan di Kabupaten Kupang (Kecamatan Amfoang Utara seluas 48.421 Ha), yang berbatasan langsung hanya 1 desa (seluas 10.465 Ha). Di wilayah Kabupaten TTU terdapat 3 kecamatan (Kecamatan Miomaffo Timur seluas 44.733 Ha, Miomaffo Barat seluas 44.730 Ha dan Insana Utara seluas 10.672 Ha). Desa-desa yang berbatasan langsung sebanyak 25 desa yaitu seluas 40.405 Ha. Sedangkan di Kabupaten Belu terdapat 5 kecamatan yaitu Kecamatan Tsifeto Timur seluas 27.585 Ha, Reihat seluas 8.721 Ha, Lamaknen seluas 21.431 Ha, Tasifero Barat seluas 28.443 ha dan Kobalima seluas 21.706 Ha. Desa-desa yang berbatasan langsung terdapat 31 desa seluas 86.426 Ha.
BULETIN
1.
LETAK DAN LUAS WILAYAH
PLAN
II.
III. SISTEMATIKA PENYAJIAN Sistematika Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan di Kalimantan terdiri dari beberapa bab yaitu : 1. Pendahuluan ; memuat latar belakang dan kondisi umum permasalahan kawasan hutan di wilayah perbatasan, maksud dan tujuan penyusunan renstra , sistematika penyajian serta ruang lingkup. 2. Deskripsi Umum Wilayah Perbatasan; memuat gambaran umum wilayah perbatasan antara lain : keadaan sosialbudaya masyarakat, permasalahan kependudukan, keadaan sarana dan prasarana wilayah termasuk aksesibilitasnya, kondisi kawasan hutan, perkembangan pengelolaan kawasan hutan. 3. Permasalahan; memuat permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan hutan wilayah perbatasan, serta analisa SWOT terhadap faktor internal dan eksternal yang dihadapi dalam pengelolaan hutan wilayah perbatasan. 4. Visi dan Misi ; memuat landasan dan falsafah dalam pengelolaan hutan yang terdiri dari prinsip universal, kebijakan Departemen Kehutanan, strategi, tuntutan peran SDH dan fungsi khusus kawasan hutan di wilayah perbatasan serta rumusan visi da misi dalam pengelolaan kawasan hutan wilayah perbatasan. 5. Kebijakan, Tujuan, Sasaran dan Program; memuat isu-isu yang ada, penetapan kebijakan, penetapan tujuan dan sasaran serta penentuan program-programnya. Sistematika penyajian Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Timor Leste di Pulau Timor hampir sama dengan sistematika Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan di Kalimantan yang telah diuraikan di atas, namun ada beberapa perbedaan yaitu pada Bab III istilah “Permasalahan” menjadi “Isu-isu Strategis”, Bab V “Kebijakan, Tujuan, Sasaran dan Program” menjadi “Strategi, Kebijakan dan Program” ditambah dengan Bab VI “Penutup”. IV. MAKSUD DAN TUJUAN Adapun Maksud penyusunan Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan dan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan Indonesia - Timor Leste di Pulau Timor adalah untuk melakukan reorientasi dan restrukturisasi kebijaksanaan dan strategi pembangunan kawasan hutan di wilayah perbatasan dalam meningkatkan kesejateraan masyarakat, pelibatan pemerintah daerah dan mewujudkan pengeloalan hutan lestari (sustainable forest management/SFM). V. VISI DAN MISI
Adapun Visi dan Misi yang ditetapkan dalam Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan dan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Timor Leste di P. Timor adalah sebagai berikut : Halaman
LOG PLAN
BULETIN
Halaman
A. Visi : Terwujudnya kelestarian hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mampu mendukung sistem pertahanan dan keamanan NKRI di wilayah perbatasan Kalimantan dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. B. Misi : 1. Menjamin keberadaan hutan wilayah perbatasan; 2. Mengoptimalkan manfaat hutan wilayah perbatasan; 3. Pembenahan kelembagaan pengurusan hutan wilayah perbatasan. VI. ISU-ISU STRATEGI DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI A. Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Isu-isu strategis : 1. Batas kawasan hutan secara de jure dan de fakto baik dalam wilayah RI maupun di sepanjang garis perbatasan dengan Malaysia tidak jelas dan tidak mantap. 2. Pola pemanfaatan kawasan hutan di wilayah perbatasan belum optimal akibat kekurangan telitian informasi (peta topografi, peta tanah, peta iklim, peta vegetasi) yang dipergunakan sebagai dasar dalam penetapan f u n g s i penggunaan hutan di masa lalu. 3. Keadaan hutan sebagian rusak, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk berfungsi secara optimal 4. kegiatan pencurian kayu dan perdagangan yang melanggar hukum (illegal logging dan illegal trading) dari kawasan hutan di wilayah perbatasan telah lama terjadi dan semakin merebak. 5. Sistem pengelolaan hutan pada kawasan hutan perbatasan belum kondusif bagi keterlibatan dan partisipasi masyarakat disekitarnya. 6. Peraturan perundangan dalam bidang kehutanan antara peraturan pada tingkat pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten belum harmonis. 7. Sistem kelembagaan pengurusan kawasan hutan di wilayah perbatasan belum jelas dan sangat lemah. Beberapa kendala yang menyebabkan timbul isu strategis : 1. Peta dasar tidak sama, terutama kawasan konservasi belum menjadi perhatian. 2. Aksesibilitas rendah termasuk kurangnya fasilitas pengamanan. 3. Batas negara berimpit dengan batas kawasan hutan, serta penataan batas belum partisipatif. 4. Adanya perbedaan persepsi hukum terhadap batas kawasan hutan. 5. Kebijakan pemerintah belum dan kurang memperhatikan kepentingan dan partisipasi masyarakat serta belum ada harmonisasi. 6. Pemanfatan SDH terlampau berpihak pada pemodal kuat. 7. Kurangnya pengembangan peluang pemanfatan hutan bagi masyarakat. 8. Adanya desakan ekonomi dan perubahan nilai kultural. 9. Pemanfatan kawasan hutan tidak sesuai dengan ijin yang diberikan serta bermotif jangka pendek. 10. Masyarakat sering dianggap bodoh, malas dan jarang diberi kesempatan dalam mengelola hutan. 11. Belum memperhatikan kearifan tradisional. 12. Pasar Indonesia tidak mengakomodasikan kayu illegal padahal negara tetangga tidak, serta permasalahan kayu illegal mengarah kepada penadahan. 13. Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari. 14. Perbedaan antar peraturan perundangan, serta masih tingginya ego-sektoral termasuk interest kepentingan pusat dan daerah. 15. Proses penyusunan peraturan perundangan cenderung dianggap belum partisipatif serta mengabaikan hak-hak adat. 16. Penanggung jawab kawasan perbatasan belum jelas. 17. Sosialisasi peraturan perundangan dan kebijakan yang ada belum berjalan optimal. 18. Sistem pengawasan kurang terpadu dan efektif serta kurang adanya political will dari pemerintah. 19. Belum adanya harmonisasi kerjasama dan koordinasi antara pemerintah pusat-daerah serta NGO dan masyarakat lokal. 20. Tata usaha kayu yang belum terkoordinasi antara RI dan Malaysia. 21. Perlu keselarasan antara hukum negara dan hukum masyarakat. 22. Belum ada kesepahaman antara RI-Malaysia mengenai illegal logging. 23. Belum terpenuhinya kesejahteraan aparat penegak hukum. 24. Belum adanya alternatif bagi masyarakat untuk bekerja di sektor lain selain kayu. 25. Belum jelasnya mekanisme kewenangan masing-masing pihak terkait (pusat-provinsi-kab-pihak terkait lainnya).
BULETIN
PLAN LOG
B. Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Timor Leste di P. Timor Isu-isu strategis yang menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan hutan : 1. Batas kawasan hutan secara de jure dan de facto, baik dalam wilayah negara RI maupun di sepanjang garis perbatasan dengan Timor Leste, belum jelas dan belum mantap. 2. Keadaan hutan sebagaian besar dalam kondisi tidak berhutan, sehingga tidak memungkinkan hutan berfungsi optimal. 3. Kegiatan perambahan, pencurian kayu dan keamanan lahan dari kawasan hutan di wilayah perbatasan intensitas cukup tinggi ditambah banyak pengungsi eks Timor Timur masuk wilayah Indonesia. 4. Pembangunan hutan dan kawasan hutan perbatasan belum banyak menumbuhkan partisipasi masyarakat di sekitarnya. 5. Tindakan penegakan hukum (law enforcement) terhadap kerusakan hutan masih lemah. 6. Sistem kelembagaan pengurusan kawasan hutan di wilayah perbatasan belum terbentuk dengan baik. Kendala permasalahan : 1. Aksesibiltas di NTT khusus dalam perbatasan sangat rendah termasuk kurangnya fasilitas pengamanan. 2. Batas negara berimpit dengan batas kawasan hutan, serta penataan batas belum pernah dilakukan. 3. Kurangnya pengembangan peluang pemanfaatan hutan bagi masyarakat. 4. Adanya desakan ekonomi dan perubahan nilai kultural. 5. Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari. 6. Proses penyusunan peraturan perundangan cenderung dianggap belum partispatif serta mengabaikan hak-hak adat. 7. Sosialisasi peraturan perundangan dan kebijakan yang ada belum berjalan optimal. 8. Perlu keselarasan antara hukum negara dan hukum masyarakat. 9. Belum terpenuhinya kesejahteraan aparat penegak hukum.
VII. KEBIJAKAN STRATEGI, TUJUAN, SASARAN DAN PROGRAM A. Kebijakan Berkaitan dengan pembenahan sistem pengurusan hutan yaitu : 1. Pembenahan status, kondisi dan pola pemanfatan kawasan hutan. 2. Pembenahan sistem perlindungan hutan. 3. Pembenahan sistem kelembagaan pengurusan hutan 4. Menciptakan lapangan pekerjaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan hutan. B. Strategi Strategi penanganan permasalahan pembangunan kehutanan wilayah perbatasan dilakukan melalui penetapan tujuan dan sasaran untuk mencapai misi yang telah ditetapkan.
C. Tujuan, Sasaran Dan Program Serta Kegiatan Pokok
a
Misi 1 : menjamin keberadan hutan wilayah perbatasan Renstra pengelolaan hutan wilayah perbatasan RIRancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Malaysia Perbatasan RI-Timor Leste Mendapatkan kepastian status lahan kawasan hutan mendapatkan kepastian status lahan kawasan secara de jure dan de facto. hutan secara de jure dan de facto.
Tujuan
:
Sasaran
:
Batas kawasan hutan dalam garis batas negara (RI dgn Malaysia) dan di dalam wilayah RI bersifat mantap dan bebas konflik
Kebijakan
:
-
Program
:
Pemantapan kawasan hutan q
b.
Sinkronisasi penataan ruang wilayah perbatasan Penataan batas kawasan hutan partisipatif q Analisis/kajian pengembangan kawasan konservasi di wilayah perbatasan q Pembentukan KPHP,KPHL, KPHK tertib dan tata hukum dalam bidang kehutanan di wilayah perbatasan. q
Rancangan Kegiatan Pokok
:
Tujuan
:
Sasaran
:
Dapat diatasinya pelanggaran hukum dalam bidang kehutanan di seluruh wilayah di daerah perbatasan.
Kebijakan
:
-
Program
:
Intensifikasi penegakan hukum dibidang kehutanan
q Rancangan Kegiatan Pokok
q
: q
q
Intesifikasi pengawasan, pengendalian peredaran hasil hutan Pengendalian kebakaran hutan Pengembangan sistem pengawasan partisipatif Koordinasi penegakan hukum
Batas kawasan hutan dalam garis batas negara (RI dgn Timor Leste) dan di dalam wilayah RI bersifat mantap dan bebas konflik Pembenahan status, kondisi dan pola pemanfaatan kawasan hutan Pemantapan kawasan hutan dan peningkatan jumlah sarana dan prasarana pendukung q Sinkronisasi penataan ruang wilayah perbatasan q Penataan batas kawasan hutan partisipatif q Pembentukan KPHL tertib dan tata hukum dalam bidang kehutanan di wilayah perbatasan. Dapat diatasinya pelanggaran hukum dalam bidang kehutanan di seluruh wilayah di daerah perbatasan. Pembenahan sistem perlindungan hutan Intensifikasi penegakan hukum dibidang kehutanan q Intesifikasi pengawasan, pengendalian peredaran hasil hutan q Pengendalian kebakaran hutan q Pengembangan sistem pengawasan partisipatif q Koordinasi penegakan hukum termasuk meningkatkan kemitraan dengan masyarakat lokal dalam pengamanan hutan q Mengupayakan relokasi pengungsi eks. Timor Timur yang berada dalam kawasan hutan
Halaman
LOG
a
Tujuan
:
Sasaran
:
Kebijakan
:
Program
:
Misi 2 : Mengoptimalkan m anfaat hutan w ilayah perbatasan Meningkatkan penutupan hutan pada kawasan hutan dengan tegakan hutan yang berkualitas tinggi. Areal hutan yang terbuka dan bekas tebangan dapat Areal hutan yang terbuka dan lahan kritis dapat dihutankan kembali dihutankan kembali Pembenahan status, kondisi dan pola pemanfaatan kawasan hutan Peningkatan kualitas sumberdaya hutan wilayah Peningkatan Kualitas sumberdaya hutan wilayah perbatasan perbatasan
Meningkatkan penutupan hutan pada kawasan hutan dengan tegakan hutan yang berkualitas tinggi.
PLAN
BULETIN
q
b
Rancangan Kegiatan Pokok
:
Tujuan
:
Kabijakan
:
q q
Sasaran
:
Kebijakan
:
q
q
Pemanfaatan kayu pada hutan alam Pemanfaatan kayu pada hutan tanaman Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Pengembangan wisata alam dan jasa lingkungan pada kawasan hutan perbatasan Pemantapan pengelolaan kawasan konservasi Peningkatan kerjasama kemitraaan RI-Malaysia Penelitian dan pengembangan beberapa jenis tanaman obat Pengembangan alternatif-alternatif terbukanya manfaat sosial hutan Upaya pem berdayaan m asyarakat sekitar hutan Penyiapan dan peningkatan SDM Kehutanan q q q
: q q q q
b
c
Halaman
Tujuan
:
Sasaran
:
Kebijakan
:
Program
:
q
Identifikasi/kajian/analisis peraturan–peraturan pewrundangan yang ada Sinkronisasi/koordinasi/sinegi pusat-provkabupaten dalam penyusunan peraturan perundangan
:
Tujuan
:
Penerpaan praktek peneyenggraan pengurusan hutan melalui pola desentralisasi kehutanan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
Sasaran
:
Penerapan desentralisasi penyelenggaraan kehutanan di wilayah perbatasan berjalan dengan baik
Kebijakan
: :
Rancangan Kegiatan Pokok
:
Tujuan
:
Sasaran
:
Kebijakan
:
Program
:
Rancangan Kegiatan Pokok
:
Peningkatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Pengembangan wisata alam dan jasa lingkungan pada kawasan hutan perbatasan Peningkatan kerjasama kemitraaan RI-Timor Leste Penelitian dan pengembangan beberapa jenis tanam an langka dan tanaman obat Pengembangan alternatif-alternatif terbukanya manfaat sosial hutan Upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan Penyiapan dan peningkatan SDM Kehutanan q q q q q q
Misi 3 : Pembenahan kelembagaan pengurusan hutan wilayah perbatasan Diperolehnya perangkat peraturan perundangan Diperolehnya perangkat peraturan perundangan yang yang lengkap dan harmonis antara peraturan lengkap dan harmonis antara peraturan pada tingkat pada tingkat pemerintah pusat, provinsi dan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dalam kabupaten dalam bidang pengelolaan hutan di bidang pengelolaan hutan di wilayah perbatasan wilayah perbatasan Harmonisasi peraturan perundangan seluruh bidang Harmonisasi peraturan perundangan seluruh dalam ruang lingkup pengurusan hutan di wilayah bidang dalam ruang lingkup pengurusan hutan di perbatasan wilayah perbatasan Pembenahan sistem kelembagaan pengurusan hutan Harmonisasi dan penyempurnaan peraturan Harmonisasi dan penyempurnaan peraturan perundangan dalam bidang pengelolaan hutan perundangan dalam bidang pengelolaan hutan wilayah perbatasan wilayah perbatasan
Rancangan Kegiatan Pokok
Program
q
Mendapatkan pola pemanfaatan kawasan hutan yang bersifat optimal berdasarkan karakteristik biofisik hutan Pembenahan status, kondisi dari kawasan hutan Mantapnya pengelolaan kawasan hutan di hutan lindung maupun hutan produksi Pembenahan status, kondisi dari kawasan hutan
q
a
Pengembangan social forestry untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Rehabilitasi hutan di Kabupaten Kupang, TTU dan Belu dengan melibatkan/partisipasi masyarakat.
Mendapatkan pola pem anfaatan kawasan hutan yang bersifat optimal berdasarkan karakteristik biofisik hutan Mantapnya pengelolaan kawasan hutan di kawasan konservasi maupun luar kawasan konservasi q
Rancangan Kegiatan Pokok
q
Pengembangan social forestry pada HP yang bebas oleh pemanfaatan lain Rehabilitasi Hutan Lindung dan Hutan Produksi seluas ± 700 ribu Ha di Kalbar dan Kaltim Pembangunan dan pemanfaatan hutan tanaman
q
Implementasi desentralisasi dalam bidang kehutanan di wilayah perbatasan q q
Identifikasi kewenangan pengurusan hutan Penyusunan tata hubungan kerja
Diperolehnya kesepakatan mengenai bentuk organisasi dan mekanisme kerja dalam pengelolaan hutan wilayah perbatasan Hubungan antara pemerintah pusat (Departemen Kehutanan dan instansi terkait), pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten dalam wilayah perbatasan terdefinisikan dan berjalan dengan harmonis Penyempurnaan sistem organisasi pelaksana pengelolaan hutan daerah perbatasan q Sinkronisasi pengembangan organisasi q Upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana
q q
Identifikasi/kajian/analisis peraturan– peraturan perundangan yang ada Sinkronisasi/koordinasi/sinegi pusat-provkabupaten dalam penyusunan peraturan perundangan
Penerapan praktek penyelenggaraan pengurusan hutan melalui pola desentralisasi kehutanan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku Penerapan desentralisasi penyelenggaraan kehutanan di wilayah perbatasan berjalan dengan baik Pembenahan sistem kelembagaan pengurusan hutan Implementasi desentralisasi dalam bidang kehutanan di wilayah perbatasan q Identifikasi kewenangan pengurusan hutan q Penyusunan tata hubungan kerja Diperolehnya kesepakatan mengenai bentuk organisasi dan mekanisme kerja dalam pengelolaan hutan wilayah perbatasan Hubungan antara pemerintah pusat (Departemen Kehutanan dan instansi terkait), pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten dalam wilayah perbatasan terdefinisikan dan berjalan dengan harmonis Pembenahan sistem kelembagaan pengurusan hutan Penyempurnaan sistem organisasi pelaksana pengelolaan hutan daerah perbatasan q Sinkronisasi pengembangan organisasi q Upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana
LOG
Secara kodrat alami alur air selalu sejalan dengan alur hutan, ketika komunitas hutan menghilang, maka alur airpun mengering, maka sangatlah wajar ketika Daerah Aliran Sungai dari hulu sampai dengan hilir, disebut juga daerah tangkapan air dengan struktur geografis yang cekung dan komunitas hutan sebagai “penangkap air”nya. Keberadaan hutan menjadi strategis, karena selain perannya menjadi penangkap air dalam siklus air yang mempengaruhi iklim lokal, regional dan global, hutan berperan pula sebagai ”pabrik” yang langsung memprodusir barang dan jasa hasil hutan yang dapat dikonsumsi langsung dan berperan sebagai pendukung asupan bahan baku bagi pabrik pengolahan hasil hutan kayu maupun bukan kayu serta keberadaannya sebagai input pendukung lintas sektor. Bencana kekeringan yang mengakibatkan kelangkaan air bagi kegiatan vital kehidupan manusia dan bencana kelebihan air yang mengakibatkan banjir, longsor dan erosi yang melanda banyak tempat di Indonesia menimbulkan kerusakan dan kerugian yang sudah dikategorikan luar biasa, sehingga masuk bencana nasional. Bencana-bencana tersebut yang terjadi secara sistemik setiap tahun, tidak terlepas dari perilaku manajemen sumberdaya hutan dalam struktur DAS sebagai ekosistem yang berkorelasi langsung dengan konservasi air. Untuk itu tidak layak lagi proses kebijakan mulai dasar pemikiran, perumusan dan implementasi manajemen sumberdaya hutan berlangsung seperti biasa (business as usual). Begitu serius dan strategisnya krisis ekologi SDH ini, telah memicu krisis sosial berupa ketegangan dan konflik sosial berkepanjangan antara swasta masyarakat, pemerintah/BUMN masyarakat, antar masyarakat di pelbagai wilayah. Bentuk disharmoni kehidupan sosial tersebut. Bentuk disharmoni kehidupan social tersebut, tidak saja pada konflik horizontal (ekonomi, ekologi dan sosial) saja, tetapi juga konflik vertical (politik, pertahanan dan keamanan) di atara pengguna dalam suatu Negara maupun antar Negara. Dapat diyakini, bahwa salah satu solusi untuk meminimalisasikan masalah SDH adalah dengan memperbaiki sistem manajemen SDH. Pemahaman, bahwa manajemen SDH merupakan usaha yang padat modal, sehingga mencuatkan usulan privatisasi SDH. Isu ini menimbulkan “pro dan kontra”, bagi yang pro berargumen , bahwa efisiensi manajemen SDH hanya dapat dicapai dalam skala lestari yang realtif besar dan padat modal, sedangkan manfaat ekonomi dapat didistribusikan dalam bentuk pemberian lapangan dan kesempatan kerja . Kelompok yang “kontra” menganggap privatisasi tidak sesuai dengan hak kodrati SDH itu sebagai sumber dan pendukung sumber kehidupan, sedangkan privatisasi akan menonjolkan SDH sebagai komoditas ekonomi yang komersial semata, sehingga “kemanfaatan SDH” hanya akan dimonopolii oleh golongan kaya dan sangat mungkin jauh dari dampak negatif dari pengelolaan SDH saja.
BULETIN
Oleh : Syaiful Ramadhan
PLAN
DINAMIKA PARADIGMA, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA HUTAN
Hutan Sebagai Kebutuhan Dasar Kehidupan Tidak cukup jaminan konstitusi dan tekanan global terhadap keharusan keberadaan hutan, namun ternyata juga dibutuhkan bencana demi bencana sebagai media peringatan, bahwa keberadaan hutan dan fungsinya merupakan kebutuhan dasar umat manusia. Sebagai salah satu kebutuhan dasar, maka potensi daya dukung, akses, alokasi, distribusinya perlu diatur, agar tidak terjadi penguasaan bagi kepentingan yang terbatas, namun harus diarahkan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat (mahluk). Amanat penguasaan dalam rangka pengurusan sumberdaya hutan disatu sisi dan disisi lain terdapat persepsi umum, bahwa hutan adalah “public goods” atau paling tidak “common pool goods”, mengakibatkan setiap kawasan hutan Negara yang belum jelas pengelola atau belum ada kegiatan pengelolaan secara fisik menjadi wilayah open acces , sehingga yang terjadi dalam perumusan dan implementasi kebijakan berkutat pada masalah-masalah hak, kewenangan dan tenurial . Kondisi ini mencuat sebagai iklim upaya pemanfaatan hutan secara “kompetitif” dibandingkan “konkurensi”, dimana pembuktian keberhasilan pemanfaatan yang paling bersifat instant adalah perolehan materi atau boleh dikatakan paradigma yang digunakan adalah hedonis paradigm yang berorientasi pada pemuasan kebutuhan manusia dengan menafikan, bahwa keberadaan hutan dan fungsinya .merupakan kebutuhan dasar kehidupan dan tingkat kelangkaan hanya menjadi indikator tinggi rendahnya “harga” sebagai produk dinamika demand dan supply dalam pasar. Terlepas dari amanat konstitusi dan derivasinya, cara pandang mana yang dianut dalam manajemen sumberdaya hutan akan tercerminkan dari bagaimana para fihak yang berkepentingan memperlakukan sumberdaya hutan (SDH), apakah sebagai komoditi ekonomi dan asset pembangunan yang bersifat sementara saja atau sebagai sumberdaya yang perlu dipertahankan keberlanjutan keberadaan dan fungsinya dalam wujudnya yang terpadu baik wilayah, antar sektor maupun lintas generasi. Selain kerangka filosofis di atas, keputusan manajemen sumberdaya hutan juga dipengaruhi oleh proporsi dominasi antar ruang/ranah (domein) masyarakat (social sector domain), Ruang Publik (Public sector domain) dan ruang pasar (private sector domain). Ruang Swasta, sesuai dengan perilaku ”ekonomi”nya cenderung akan memonopoli ”sebesar-besar” manfaat SDH bagi sebesar-besar laba untuk kelompok Pemilik Modal dan menafikan distribusi manfaat dan akibat dampak eksploitasi SDH pada keberadaan dan multi manfaat SDH dalam jangka panjang Ruang sosial masyarakat sesuai dengan ”nature”nya tidak akan berdaya untuk mengeksploitasi manfaat SDH secara luas dan optimal dan terbukti ketika pendekatannyapun hanya berdasarkan aspek ekonomi saja, ternyata juga berdampak negatif pula bagi keberadaan dan multi manfaat SDH dalam jangka panjang . Sehingga pada dasarnya baik itu domein swasta maupun domein masyarakat, ketika yang menjadi asas adalah kerangka filosofis antropocentrisme, maka sumberdaya hutan (SDH) sebagai public goods / coomon pool goods cenderung dieksploitasi dan dimanfaatkan secara tidak efisien untuk kepentingan jangka pendek, tanpa dilandasi kepentingan keberlanjutan kelestarian keberadaan dan dampak manfaatnya sebagai subsistem penunjang kehidupan antar /lintas generasi. Sebaliknya jika kerangka filosofis ecocentrisme yang dijadikan landasan cara pandang, maka efisiensi alokasi dan kelestarian keberadaan sumberdaya hutan dan manfaatnya menjadi arah sekaligus aspek pengelolaan yang
Halaman
LOG PLAN
BULETIN
Tabel 1. Perbedaan Cara Pandang Filosofis 2 Mazhab Ekonomi terhadap SDH No. Karakteristik Ekonomi Liberal Ekonomi Ekologi 1 2 3 4 Antropocentrisme (manusia Ekosentrisme (setiap ele 1. Basic Cara Pandang adalah pemilik semua yang men ekosistem ; manusia, ada di bumi, olehkarenanya, hewan – tumbuhan memiliki setiap keputusan ekonomi kedudukan/hak sederajat harus mengedepankan dalam memperjuangkan kepentingan manusia di atas /mendapatkan kepentingan elemen alam kepentingannya) lainnya. 2. Sistem Nilai Ekonomi Nilai ekonomi diturun kan dari Setiap benda di alam ini kelangkaan yang berorientasi mempunyai intrinsic value pada pemenuhan kebutuhan yang tak dapat dinilai secara manusia semata. konvensio nal oleh piranti ekonomi. Exploitatif (destruktif) Ramah Lingkungan 3. Perilaku terhadap alam 1 4.
2 Faktor utama pendo rong pemanfaatan
3 Kesejahteraan hidup manusia terpenuhi melalui pemenuhan kebutuhan konsumsi
5.
Status manusia ekosistem
dlam
Manusia adalah produ cers dan consumer
6.
Keputusan dalam manfaatan SDH
pe
Pasar sebagai satu-satunya lembaga pe ngatur alokasi sumber daya
4 Kesejahteraan manusia ditentukan oleh tingkat kemampuannya untuk bersymbiose mutualistis dengan alam lingkungan nya. Manusia hádala warga ekosistem yang berstatus sama dengan mahluk lain dalam kegiatan konsumsi dan produksi. Kelembagaan politik (konstituen)juga penting selain kelembagaan ma syarakat dan pasar
Berdasarkan kenyataan di atas tersebut, domein Pemerintah sangat diharapkan berperan menjadi pengarah pengelolaan SDH, agar SDH sebagai kebutuhan dasar maupun pendukung tersedianya kebutuhan dasar manusia dan kehidupan dapat teralokasi secara efisien, baik lintas wilayah, lintas sektor dan lintas generasi. Dikarenakan amanat UU adalah untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat dan berkelanjutan, maka kebijakan pengelolaan SDH yang diberlakukan haruslah menjamin akses pengelolaan dan distribusi manfaat yang berkeadilan bagi masyarakat. Hal tersebut harus pula tercermin mulai dari pelembagaan perencanaan pengurusan pengelolaan SDH, sampai dengan implementasinya.
Ruang Masyarakat
Filosofi Pemanfaatan SDH
Ruang Publik/Pemerintah
Ruang Pasar/Privat/Swasta
Gambar 1. Tiga domain para fihak yang berkepentingan dengan sumberdaya hutan dengan masing-masing kepentingan yang berbeda Dinamika Paradigma, Kebijakan dan Strategi
Halaman
Apa penyebab atau mengapa suatu paradigma, kebijakan dan strategi yang umumnya menjadi aspek-aspek yang diyakini kemapanannya bisa menjadi dinamis atau berubah ? Telah menjadi suatu keniscayaan, bahwa yang abadi itu adalah perubahan yang saling berkait sesamanya itu sendiri. Perubahan lingkungan strategis internal maupun eksternal mau tidak mau telah memaksa diperlukannya perubahan kebijakan dan strategi dalam pengembangan sumberdaya hutan, bahkan lebih daripada itu nampaknya diperlukan adanya perubahan pradigma (paradigm change). Hal ini mengingat perubahanperubahan yang diperlukan menyangkut hal-hal yang bersifat filosofis mendasar terutama yang berkaitan dengan perilaku manusia terhadap sumberdaya hutan. Faktor-faktor penyebab diperlukannya perubahan atau penyesuaian kebijakan dan strategi dalam pengembangan sumberdaya hutan tersebut antara lain meliputi :
BULETIN
PLAN LOG
1. Perubahan lingkungan strategi internal reformasi, demokratisasi menunju masyarakat madani (civil society), otonomi daerah, tata laksana pemerintahan yang baik (good governance), hak asasi manusia dlsb. 2. Perubahan lingkungan strategis eksternal globalisasi, perdagangan bebas, revolusi teknologi informasi, permaslahan lingkungan global dll. 3. Keterbatasan kemampuan Negara / pemerintah dalam manajemen pengembangan sumberdaya hutan, khususnya menyangkut pendanaan reboisasi, rehabilitasi kawasan hutan. 4. Berkurangnya ketersediaan hasil hutan kayu, karena deegradasi hutan alam dan lambannya pengembangan hutan tanaman di satu sisi, dan meningkatnya kebutuhan hasil hutan sebagai dampak kenaikan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan ekonomi terkait lainnya. 5. Kerugian materiel maupun immaterial dari kerusakan sumberdaya hutan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan yang berdampak pada dampak kerugian ekonomi ganda dari kerugian akibat kekeringan dan dari bencana banjir, longsor dan erosi. 6. Effisiensi industri hulu maupun hilir kehutanan masih rendah dan berimplikasi pada kebutuhan alokasi bahan baku yang sangat besar untuk mencapai kapasitas terpasang. 7. Perumusan dan implementasi kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam manajemen sumberdaya hutan masih belum menyentuh akar permasalahan, padahal permasalahan yang dihadapi terjadi berulang secara sistemis, berdampak negatif yang luas terhadap kesejahteraan (human wellbeing), keamanan dan kestabilan nasional (National security and stability) Permasalahan Dari faktor-faktor penyebab di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perubahan paradigma dari para pihak yang berkepentingan yang diperlukan bagi revitalisasi dan restrukturisasi manajemen sumberdaya hutan dengan mengkorelasikan revitalisasi secara intergratif dengan dampak ganda ekonomi, ekologi dan sosial baik yang bersifat positip ataupun negatif dalam manajemen pengembangan sumberdaya hutan... 2. Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam menyeimbangkan daya dukung sumberdaya hutan dengan permintaan pemanfaatannya dalam konteks keseimbangan terpadu diantara 3 (tiga) domein ekonomi, ekologi dan sosial yang menjadi ciri pembangunan yang berkelanjutan di satu fihak dan keseimbangan akses manajemen sumberdaya hutan di atara 3 (tiga) domein Masyarakat (Sosial), Pemerintah dan Swasta (Private). Dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. 3. Bagaimana pengalokasian sumberdaya hutan antar wilayah, antar sektor dan anatar waktu (annual generation) secara adil dan merata bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 4. Bagaimana meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan dan langkah-langkah privatisasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat (miskin) di dalam dan di sekitar hutan dalam konteks otonomi/desentralisasi. 5. Bentuk dan mekanisme kelembagaan yang bagaimana yang diperlukan dalam rangka manajemen pengembangan sumberdaya hutan dalam konteks tata laksana pemerintahan yang baik (good governance). 6. Gerakan-gerakan Nasional apa saja yang diperlukan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat bagi pembinaan dan pengembangan sumberdaya air. Perubahan Paradigma dan Restrukturisasi Kebijakan dan Strategi Mengingat keberadaan dan fungsi sumberdaya hutan secara filosofis sangatlah strategis, karena terkait erat dengan ”pabrik” barang jasa yang bermanfaat bagi kehidupan (air, O2, amenities, knowledge development resources dll) dan sebagai ”penyerap sekaligus pelarut polutant (CO2)” serta sebagai barrier pelindung wilayah budidaya dari berbagai potensi malapetaka alami, yang secara kumulatif berkonsekuensi pada kompleksitas permasalahannya, maka keterlibatan Pemerintah dalam manajemen pengembangan sumberdaya hutan (alokasi, distribusi sumberdaya) merupakan suatu keniscayaan. `Keterlibatan atau intervensi Pemerintah tersebut diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berfungsi mendasar bagi tujuan tercapainya penggunaan sumberdaya hutan (Kawasan hutan dan segala kandungan isi di dalamnya) untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat. Perubahan paradigma dan retrukturisasi kebijakan yang direkomendasikan adalah sebagai berikut : 1. Perubahan paradigma meliputi ;cara pandang ekonomi liberal (hedonis) menuju ekonomi dan (cum) ekologi (lihat tabel 1.) dan dari domein(ruang) kepentingan sosial ekonomi sebagai domein tunggal/parsial mengarah kepada domein kepentingan tripartite yang sinergis (lihat gambar 1.) 2. Perubahan pada butir 1. menjadi acuan diadakannya perubahan total dari pola fikir para fihak terutama dalam persepsi pembuat kebijakan, perubahan perilaku serta perubahan dalam praktek implementasi kebijakan. 3. Perubahan dalam kebijakan dan strategi menyangkut Konsepsi, Korelasi, Komitmen dan Konsistensi dalam arti mencakup kepentingan lintas wilayah, lintas sektor dan lintas generasi secara sinerjis. 4. Pada prinsipnya ”privatisasi pengelolaan SDH dalam koridor menanggulangi ”tragedi ekstra laju degradasi SDH (tragedy of the common) melalui tanggung jawab swasta dan pemerintah dalam peningkatan efisiensi pemanfaatan SDH tanpa mengurangi akses dan distribusi manfaat SDH bagi golongan miskin. Privatisasi hanya dalam batas manajemen SDH tetapi tidak dalam konteks pemilikan.SDH serta kebijakan juga mengatur batas maksimal kepemilikan saham bagi swasta, agar posisi tawar pemerintah dalam pengarahan kebijakan yang ”pro poor” tetap kondusif. 5. Partisipasi masyarakat secara luas dalam pengurusan dan pengelolaan SDH harus dikondisikan secara sistematis dalam bentuk Gerakan Nasional yang mengarah pada perubahan cara pandang dan perilaku masyarakat terhadap SDH bagi kepentingan luas mereka sendiri dalam jangka panjang.
Halaman
LOG PLAN
BULETIN
MEMBANGUN VISITOR CENTER IDEAL Oleh : Ristianto Pribadi
Dalam rangka menerapkan prinsip konservasi, yaitu pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan ekowisata, khususnya di Taman Nasional. Sebagai upaya memberikan pemahaman lingkungan kepada pengunjung dan untuk menerapkan prinsip utama ekowisata sebagai aktivitas wisata yang ramah lingkungan dan tidak melupakan unsur pendidikan lingkungan, maka diperlukan cara pembelajaran yang efektif kepada pengunjung terutama sebelum mereka memulai aktivitas wisatanya, cara yang dapat ditempuh yaitu melalui pengembangan interpretasi pengunjung. Kegiatan interpretasi merupakan pengembangan jalur atau jembatan komunikasi antara alam dengan pengunjung, salah satunya melalui pengembangan fasilitas visitor center. Menurut Sharpe (1982), visitor center, pada umumnya adalah pusat dari kegiatan interpretasi dari suatu kawasan, sehingga visitor center ini merupakan memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Pengambilan keputusan untuk membangun fasilitas visitor center harus dipertimbangkan secara matang. Visitor center diyakini memiliki fungsi utama sebagai titik utama bagi pengunjung untuk memulai kegiatan wisatanya, sehingga sebuah visitor center diharapkan dapat menyediakan gambaran umum mengenai kawasan wisata yang disampaikan kepada pengunjung melalui berbagai media komunikasi. Kemudian yang perlu diperhatikan bagi pengelola, visitor center juga harus mampu memberikan informasi kepada pengunjung khususnya mengenai bagaimana langkah dan cara beraktivitas pada saat kondisi cuaca yang kurang mendukung, sehingga langkah ini dapat menekan tingkat kecelakaan pengunjung dalam berwisata. Dengan demikian, pada intinya sebuah fasilitas visitor center berfungsi untuk menyediakan kesempatan bagi pengunjung untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalam benak mereka. Berikut adalah beberapa contoh pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul dari pengunjung: ·
Dimana lokasi toilet? ·
Dimana lokasi bumi perkemahan? ·
Dimana kami bisa membeli makanan dan minuman? ·
Dimana lokasi terbaik untuk dapat melihat satwa liar? ·
Kapan program paket wisata ini diberangkatkan? ·
Apakah di daerah ini sering terjadi angin kencang? ·
Dimana lokasi terbaik untuk melihat matahari terbit? ·
Objek wisata apa saja yang dapat dilihat di sini? ·
Apakah kami boleh memetik buah/tanaman di dalam kawasan? ·
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai objek wisata? ·
Mengapa kawasan ini disebut Taman Nasional? Paket wisata apa saja yang ditawarkan? · Dsb. Dalam rangka upaya pencapaian fungsi sebuah visitor center sebagai fasilitas informasi pengunjung utama dalam sebuah kawasan wisata seperti Taman Nasional, maka disarankan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan atribut yang akan ditampilkan dalam sebuah VISITOR CENTER IDEAL adalah sebagai berikut: ·
1. Information Checklist Meskipun pengelola kawasan wisata mampu untuk mengingat dan hafal terhadap hampir seluruh aspek informasi yang dibutuhkan oleh pengunjung, namun demikian perlu disusun sebuah katalog informasi yang dapat berwujud dalam beberapa catatan. Information checklist ini sangat bermanfaat bagi pihak pengelola (petugas pelayanan pengunjung) untuk memberikan jawaban yang tepat dan akurat, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pengunjung. Catatan information checklist ini dapat bersifat manual (tertulis) dalam bentuk dokumen catatan, maupun disusun dalam bentuk database komputer. 2. Peta “Apakah anda memiliki peta kawasan wisata ini?” Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang kemungkinannya paling sering muncul dari pengunjung. Sebuah visitor center sudah tentu mutlak memilikinya, mengingat penyediaan peta tidaklah terlalu mahal sedangkan permintaan akan peta sudah pasti tinggi. Peta dapat disediakan dari yang sederhana dalam bentuk denah kawasan hingga peta tiga dimensi yang harganya cukup mahal. Namun demikian, penyediaan informasi peta kawasan dengan ukuran yang cukup besar dan mudah dibaca akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi pengunjung. 3.
Halaman
Handouts (Panduan Pengunjung) Penyediaan panduan bukan berarti dapat menggantikan posisi seorang pemandu wisata, namun panduan ini akan sangat membantu pengunjung dalam mengintepretasikan objek-objek yang dilihatnya, khususnya yang ditampilkan di dalam visitor center. Handouts ini akan memberikan panduan kepada pengunjung mengenai langkah-langkah dalam menggali informasi seluas-luasnya yang terdapat di visitor center. Handouts tidak harus dalam bentuk buku, mengingat biaya yang dibutuhkan dalam pencetakan cukup tinggi. Handout dapat menjadi murah apabila disusun dalam suatu lembaran yang kemudian ditampilkan bersamaan dengan poster/display/foto yang diinformasikan kepada pengunjung.
BULETIN
LOG
Relief Model (Replika Kawasan) Replika kawasan merupakan alat bantu peraga yang sangat bermanfaat bagi pengunjung, khususnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pembagian wilayah kawasan, jalur wisata, batas kawasan, lokasi objek wisata dan informasi lainnya. Replika ini memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk dapat melihat kawasan secara utuh dan hal ini adalah hal yang sangat menarik bagi pengunjung, apalagi replika yang dibuat adalah replika kawasan pegunungan seperti halnya untuk kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 5. Display (Exhibits) Secara umum pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan oleh pengunjung berkaitan dengan potensi kawasan wisata seharusnya dapat terjawab oleh display yang tersedia. Sebagai ilustrasi, seorang pengunjung mempertanyakan mengapa pohon dalam kawasan Taman Nasional tidak boleh ditebang, maka display akan menjelaskan proses tumbuhnya pohon, manfaat pohon bagi kehidupan mahluk hidup, peran pohon dalam kehidupan kita sehari-hari, hingga menerangkan hal yang akan terjadi bila pohon tersebut ditebang oleh manusia. Dengan penjelasan informasi tersebut, maka pengunjung akan memahami alasan dikeluarkannya larangan menebang pohon di dalam kawasan Taman Nasional. Display dapat dikembangkan dalam berbagai media informasi, mulai dari foto atau poster, relief model hingga display yang menampilkan animasi multimedia. 6. Papan Pengumuman Papan pengumuman merupakan sebuah atribut yang mutlak dibutuhkan dalam sebuah visitor center. Papan pengumuman ini berfungsi sebagai media informasi dalam menyampaikan pengumuman-pengumuman, baik pengumuman dari pengelola kawasan kepada pengunjung, pengumuman dari pengunjung kepada pengelola kawasan, maupun pengumuman dari pengunjung yang satu kepada pengunjung lainnya. Papan pengumuman ini harus dapat diakses oleh pihak pengelola dan pengunjung selama 24 jam sehari, sehingga papan ini tidak dibatasi oleh waktu. Papan pengumuman ini akan berperan sangat vital khususnya ketika visitor center telah tutup. 7. Perlengkapan Audio Visual (Multimedia) Ketersediaan perlengkapan audio visual berperan sangat tinggi dalam tercapainya sasaran informasi yang ingin disampaikan kepada pengunjung. Perlengkapan audio visual dapat dimanfaatkan pada display (exhibit) dan juga sebagai perlengkapan untuk pemutaran informasi kawasan dalam bentuk video. Diyakini oleh seluruh pihak bahwa apabila informasi yang disampaikan dalam bentuk audio visual, maka kemungkinan pengunjung dalam mengingatnya akan semakin besar, sehingga apabila yang disampaikan adalah informasi pelestarian alam, maka pengunjung diharapkan benar-benar akan melaksanakannya di kemudian waktu. Dengan dasar uraian tersebut diatas, berikut disampaikan beberapa tahapan yang dapat ditempuh dalam mengembangkan sebuah VISITOR CENTER IDEAL: Identifikasi Pengunjung · Pihak pengelola harus mampu mengidentifikasi pengunjung, apakah mereka berasal dari desa, kota atau berasal dari luar negeri? Apakah mereka datang secara individu, keluarga atau dalam sebuah kelompok besar? Berapa lama mereka akan tinggal? Umur mereka? Tingkat pendidikan? dan Tujuan kunjungan? Setiap kelompok memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda, dengan demikian perlu dilakukan kajian terhadap karakteristik pengunjung secara mendalam. Penentuan Tujuan · Menentukan tujuan pengembangan visitor center menjadi hal yang sangat mendasar. Tidak ada pedoman khusus untuk hal ini, sehingga secara otomatis tujuan visitor center secara penuh diserahkan pada pihak pengelola. Apakah visitor center tersebut hanya sebatas untuk memberikan informasi kepada pengunjung? Ataukah visitor center juga diharapkan mampu merubah pola pikir pengunjung? Perijinan · Bahan informasi yang ingin disampaikan dalam visitor center harus jelas, dalam arti kata apa yang akan disampaikan tidak bertentangan dengan hukum peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Lebih lanjut, apabila visitor center menampilkan spesies flora dan fauna, maka perlu dipastikan bahwa flora dan fauna tersebut diperoleh secara legal dan telah memperoleh ijin untuk dapat ditampilkan kepada pengunjung. Pemilihan Tema · Jika telah diidentifikasi karakteristik pengunjung dan tujuan pengembangan visitor center telah ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah memilih tema visitor center. Sebagai pertimbangan dalam memilih tema, dapat dipikirkan mengenai alasan utama yang mendorong pengunjung datang ke kawasan wisata atau pertanyaan paling umum yang dilontarkan oleh pengunjung? Pertimbangan tersebut adalah pertimbangan yang paling mendasar, yang mutlak dibutuhkan dalam pengembangan visitor center, masih banyak pertimbangan-pertimbangan lainnya. Akhirnya, visitor center sebaiknya dikembangkan sesuai dengan nilai ideal dari sudut pandang pengunjung dan bukan nilai ideal dari sudut pandang pengelola.
PLAN
4.
Halaman
LOG
KENDALA KENDALA ORGANISASI KENDALA-KENDALA ORGANISASI MEMBANGUN VISITOR CENTER IDEAL DALAM ERA GLOBAL DALAM ERA GLOBAL Oleh : Thomas Nifinluri
PLAN
BULETIN
LATAR BELAKANG Di era global saat ini, terdapat tiga jenis organisasi yaitu organisasi pemerintah yang identik dengan birokrasi, organisasi swasta atau bisnis dan organisasi nirlaba atau organisasi non pemerintah. Dalam menjalankan visi misinya, masing-masing organisasi tersebut sangat dipengaruhi oleh dukungan dan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya yang terdiri dari man, money dan capital, serta kemampuan manajerial organisasinya1. Disebagian besar negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, dicirikan dengan masih rendahnya kinerja birokrasinya dalam hal penyediaan data dan informasi, ataupun alternatif dalam penyusunan kebijakan public. Hal ini terlihat dari salah satu penyebab lambat pulihnya kondisi krisis ekonomi Indonesia adalah karena kendala yang ada dalam organisasi publiknya2. Sedang organisasi swasta yang profit oriented, cenderung untuk mempengaruhi bahkan menguasai birokrasi. Para pelaku bisnis berlomba untuk mencari fasilitas misalnya untuk mendapatkan hak monopoli, fasilitas pajak dan proteksi untuk kepentingan bisnisnya. Disisi lain, NGO kurang berkembang karena terkait dengan kebijakan pemerintah. NGO yang kritis cenderung mengalami kesulitan untuk eksis, sehingga fungsi kontrol yang seharusnya diperankan sangat kecil dampaknya bahkan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
TIPE ORGANISASI Secara umum, ketiga tipe organisasi baik pemerintah, swasta dan nirlaba, bertujuan untuk melayani masyarakat. Akan tetapi terdapat perbedaan yang khas dengan tidak mengesampingkan persamaan-persamaan yang mendasar. Sesuai dengan namanya, organisasi publik memiliki misi melayani publik yang mengelola aspek yang menguasai hajat hidup orang banyak termasuk pengelolaan sumberdaya alam misalnya tambang, hutan dan air. Salah satu ciri organisasi publik adalah adanya birokrasi yang kuat bahkan kaku, sehingga terkesan lamban dalam proses pengambilan keputusan. Disamping itu organisasi ini memiliki struktur organisasi yang gemuk dan tidak efisien. Berbeda dengan organisasi publik maupun NGO, organisasi swasta melayani masyarakat umum dengan motif mencari untung. Sedang NGO juga memiliki misi melayani publik. Meskipun demikian, pelayanan itu itu tidak persis sama dengan pelayanan oleh organisasi publik dan tidak perlu dituntut sama mengingat konsumennya lebih terbatas. Struktur organisasi NGO lebih sederhana dan lebih efesien dibandingkan dengan organisasi publik, sehingga mempersingkat waktu dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa organisasi non-profit berada diantara organisasi publik dan bisnis. Ia bukan publik dan juga bukan bisnis. Tetapi mengambil atribut dari keduanya3.
KENDALA ORGANISASI
Halaman
Kendala yang dihadapi disetiap jenis organisasi memiliki persamaan meskipun kadarnya berbeda. Masalah yang umum ditemukan disetiap organisasi adalah meliputi ketersediaan sumberdaya dan kemampuan manajerial, serta aspek lain. Pengertian sumberdaya terdiri atas man, money, dan infrastructure. Kendala organisasi dalam pengelolaan sumberdayanya adalah sebagai berikut: 1. Kapasitas SDM belum profesional sesuai dengan kualifikasi organisasi, sehingga berpengaruh terhadap kinerja pembangunan, khususnya dalam penguasaan iptek yang sangat berpengaruh dalam pemanfaatan dan bekerjanya faktor-faktor produksi (modal dan sumberdaya alam), bahkan SDM nya sendiri. 2. Sumber pendanaan yang terbatas atau kondisi keuangan organisasi yang tidak stabil menyebabkan pencapaian target dan sasaran yang tidak utuh, karena hanya sebagian program saja yang mampu didukung. Kemampuan keuangan organisasi merupakan cerminan kemandirian organisasi, sehingga diperlukan kemampuan untuk mengelola keuangan dan aktif untuk menggali sumber-sumber pendanaan. 3. Sarana dan prasarana pendukung organisasi yang tidak memadai, kondisi kantor tidak standar, fasilitas teknologi terbatas, dan aksesibilitas organisasi rendah dari jangkuan fasum (jalan raya, telepon, listrik, air minum). Sarpras adalah alat untuk menjalankan roda organisasi secara rutin. Kondisi sarpras yang terbatas berpengaruhi terhadap proses pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. 4. Dukungan terhadap litbang sangat terbatas dalam mendukung pengambilan keputusan organisasi, sehingga berdampak pada kualitas pengambilan keputusan. Jumlah organisasi yang memiliki divisi penelitian dan pengembangan masih terbatas dan umumnya hanya dimiliki oleh organisasi publik dan swasta yang sudah maju. Secara umum, organisasi public di Indonesia masih jarang menggunakan hasil riset dari divisi litbangnya dalam pengambilan keputusan. 5. Dukungan terhadap sistem informasi belum mantap dalam mendukung proses pengambilan keputusan stratejik organisasi. Hal ini terkait erat dengan penguasaan iptek. Belum banyak organisasi yang berkembang menggunakan database sebagai basis dalam pengambilan keputusan, sehingga keputusan yang diambil sering kontraproduktif dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Salah satu kunci sukses organisasi adalah kemampuan manajerial yang mantap. Kemampuan manajemen adalah meliputi kemampuan mengelola organisasi dari tahap perencanaan, pengelolaan, pengawasan dan koordinasi, serta
BULETIN
KENDALA-KENDALA ORGANISASI DALAM ERA GLOBAL
PLAN LOG
pemecahaan masalah dan evaluasi. Termasuk di dalamnya adalah semua aspek leadership yaitu visi, pemberdayaan, komunikasi dan motivasi. Kendala dalam aspek manajerial yang umum ditemui dalam suatu organisasi adalah sebagai berikut: 1. Struktur organisasi yang tidak teratur, sehingga susunan tanggung jawab dalam organisasi tidak jelas. Masingmasing unit mengambil keputusan stratejik sendiri-sendiri yang tidak sejalan dengan stratejik umum organisasi. Hal ini mengakibatkan aliran tugas dan tanggung jawab kebawah dan kesamping tidak jelas, sehingga sulit untuk melakukan pengendalian terhadap program. 2. Tujuan dan sasaran organisasi yang tidak jelas akan mengaburkan langkah atau keputusan yang akan diambil. Ketidak pahaman terhadap visi dan misi oleh unit dalam organisasi menyebabkan organisasi kehilangan arah. Penetapan tujuan, visi dan misi organisasi adalah kunci menuju sukses orgainisasi. 3. Kepemimpinan yang lemah tidak akan mampu memantau perubahan lingkungan dan tidak mampu untuk menggunakan kekuatan dan kesempatan untuk mengelola sumber daya yang ada kearah yang dituju organisasi. Kemampuan untuk mengarahkan, melakukan analisis pemecahan masalah dan melihat peluang baru adalah bagian dari tugas leadership4. Leadership merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh decision maker dan harus memiliki visi yang jelas. 4. Birokrasi yang kaku, menyebabkan banyak waktu terbuang percuma karena pelayanan yang lamban. Pelayanan yang diberikan sering mengindikasikan penyimpangan, diskriminatif dan tidak efesien sehingga telah menjadi pandangan umum bahwa pelayanan publik belum prima karena birokrasi. 5. Koordinasi yang lemah menyebabkan program pemerintah dan sektor tidak sinergis, sehingga terjadi pemborosan dana dan waktu. Bahkan menimbulkan kegagalan. Kelemahan koordinasi disebabkan oleh kuatnya hegemoni sektoral. 6. Pengetahuan dan pemahaman terhadap manajemen organisasi lemah. menyebabkan pelaksanaan dan pengendalian program lemah, sehingga tujuan tidak tercapai. Kurangnya koordinasi dan komunikasi yang efektif adalah kendala lain yang sering ditemui dalam suatu organisasi. 7. Komitmen organisasi lemah, dimana nilai dan harapan terhadap visi misi organisasi tidak jelas. Semangat dan integritas organisasi untuk mencapai tujuan berkurang, permasalahan bermunculan dalam menuju sasaran. Akibatnya produktivitas menurun dan organisasi tidak akan bertahan lama. 8. Adanya konflik internal dalam organisasi. Konflik dalam organisasi merupakan bagian yang selalu ada. Menurut Doctorof, 1977 dalam Salusu, 1996, menyebutkan bahwa konflik adalah ibu dari segala perubahan (the mother of change). Semakin besar suatu organisasi maka potensi konflik yang mungkin timbul akan semakin besar pula. Kendala dalam organisasi yang disebabkan oleh hal-hal lain selain yang tersebut di atas adalah kondisi sosial ekonomi dan politik yang tidak stabil. Munculnya penguasa politik baru, biasanya diikuti dengan memperkenalkan visi baru yang sekaligus menuntut adanya penyesuaian diri dan pemahaman tentang kebijakan baru tersebut. Otomatis ini akan berdampak secara global terhadap sosial ekonomi di luar lingkungan organisasi. Interaksi organisasi dengan lingkungannya secara signifikan mempengaruhi keberlangsungan aktifitas di dalam organisasi.
PENUTUP Menurut studi yang dilakukan oleh Booz-Allege and Hamilton yang dikutip oleh Riant Nugroho, 2001, menemukan fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat Good Governance yang paling rendah diantara negara-negara ASEAN. Indeks Good Governance Indonesia tercatat hanya 2,8. Sedang Singapura dengan indeks 8,9; Malaysia 7,7; Thailand 4,8 dan Philipina 3,47. Hampir tidak ada organisasi terlepas dari permasalahan dan kendala yang ada didalam tubuh organisasi pemerintah, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat. Namun, salah satu kunci keberhasilan yang telah diperlihatkan oleh negara-negara maju di Asia dalam mengatasi krisis ekonominya adalah dengan efisiensi organisasi publiknya (birokrasi). Bisakah kita (Indonesia) bersaing dalam era global dengan kondisi organisasi kita yang ada sekarang ini??? Catatan khaki Sinamo, Jansen. 2002. Ethos 21, Ethos Kerja Profesional di Era DigitalGlobal. Institute Darma Mahardika, Jakarta. 2 Riant Nugroho, D. 2001. Reinventing Indonesia, Menata Ulang Manajemen Pemerintahan Untuk Membangun Indonesia baru Dengan Keunggulan Global. Gramedia, Jakarta. 3 Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik; Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. PT. Grasindo, Jakarta. 4 Covey, Stephen.R., 1997. The Seven Habits of Highly Effective People (Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif). Binarupa Aksara, Jakarta.
1
Halaman
LOG
PENGOLAHAN KONSERVASI DALAM PERSPEKTIF PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT (Studi Kasus Di Taman Nasional Sembilang) Oleh : Parida
PLAN
BULETIN
PENDAHULUAN Sumberdaya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Konservasi merupakan landasan pembangunan yang berkelanjutan, tanpa adanya jaminan ketersediaan sumberdaya alam hayati, maka pembangunan ekonomi akan terhenti. Kegiatan konservasi dan ekonomi, bertujuan meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahtraan masyarakat. Mewujudkan sistem pengelolaan kawasan konservasi efektif memang tidaklah mudah akan tetapi dengan kesungguhan, maka tugas berat itu akan dapat disiasati. Dengan meningkatkan capacity building organisasi dan sumberdaya manusianya, maka tugas tersebut akan dapat teratasi. Sekali lagi dengan menselaraskan persepsi atau pemahaman tentang esensi konservasi dan ekonomi, maka tidak ada dikotomi antara konservasi dan ekonomi, karena dalam pembangunan yang berkelanjutan, unsur konservasi dan unsur ekonomi tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa program konservasi sejalan dengan aktivitas ekonomi. Pengolahan kawasan konservasi dapat efektif bila memiliki tiga indikator yang dapat dijadikan acuan pengukuran yaitu : $ Aspek ekologi, yang menunjukan bahwa kawasan konservasi sebagai manifestasi fisik dari potensi sumber keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dapat terjamin kelestariannya, $ Aspek ekonomi, dan sosial yang menunjukan bahwa sistem pengelolaan kawasan konservasi dapat mendukukng perkembangan ekonomi masyarakat lokal yang dicirikan oleh tingkat pendapatan perkapita dan kesejahtraan masyarakat yang cenderung meningkat, $ Persepsi dan partisifasi, yang menunjukan bahwa pemahaman masyarakat tentang pentingnya konservasi cenderung meningkat yang dicirikan oleh meningkatnya partisipasi mereka dalam mendukung kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistem kawasan konservasi.
POTENSI KAWASAN TAMAN NASIONAL SEMBILANG Taman Nasional Sembilang memiliki keanekaragaman hayati dan ekosistem yang melimpah ruah, hal ini diperkuat oleh hasil survei Proyek Berbak Sembilang (PBS, 2001c), dimana tercatat 17 spesies mangrove sejati, 6 spesies mangrove ikutan, 8 spesies tumbuhan rawa, 5 spesies tumbuhan air, 6 spesies tumbuhan paku, dan beberapa jenis dari beberapa famili jenis kayu yang terdapat dihutan hujan tropis maupun hutan pantai di TN Sembilang. Hingga saat ini jumlah jenis satwa yang sudah diketahui, dan jumlah spesies-spesies endemik untuk masingmasing taksa sebagai berikut : §
515 Jenis mamalia (39% endemik)
§
511 Jenis reptile (29% endemik)
§
1539 Jenis burung (29% endemik)
§
270 jenis ampibi (37% endemik)
§
35 jenis primata (18% endemik) KONDISI MASYARAKAT TAMAN NASIONAL SEMBILANG DAN SEKITARNYA
Halaman
Masyarakat di Taman Nasional Sembilang dan sekitarnya pada umumnya bermatapencaharian sebagai nelayan (baik perikanan darat maupun perikanan laut) dan sebagian kecil bekerja sebagai petani Tujuan pengelolaan yang berkaitan dengan pembinaan partisipasi masyarakat ini didasarkan pada fakta di lapangan bahwa saat ini masyarakat di dalam dan sekitar kawasan dirasakan masih kurang memahami dan peduli akan arti pentingnya sebuah Taman Nasional, sehinggga jaminan akan kelestarian Taman Nasional Sembilang masih diragukan. Mereka juga tidak mengetahui akan adanya batasan kawasan Taman Nasional Sembilang serta hak-hak mereka berada di dalam dan di sekitar Taman Nasional Sembilang. Dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola (ikut menjaga dan memanfaatkan secara bijaksana) diharapkan dapat lebih menjamin keberhasilan pengelolaan Taman Nasional yang berarti juga meningkatkan ekonomi masyarakat untuk menunjang kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan mereka yang lebih baik. Kesadaran masyarakat saat ini akan pentingnya konservasi kawasan Taman Nasional Sembilang masih kurang dikarenakan mereka tidak secara langsung bergantung kepada sumberdaya hutan di dalam kawasan. Apabila dikaji lebih jauh, hasil perikanan yang merupakan mata pencarian utama masyarakat, keberlanjutannya bergantung kepada rantai ekosistem disekelilingnya termasuk hutan bakau, sungai dan rawa sekitarnya. Putus atau musnahnya proses ekologis salah satu rantai ekosistem ini akan mempengaruhi komponen lainnya. Proses kelangkaan atau kepunahan sumberdaya alam hayati terus berlangsung setiap hari dan konversi hutan alam belum dapat dicegah. Berbagai upaya Pemerintah kearah itu belum efektif. Oleh karena itu, upaya mencegah kepunahan, atau dengan kata lain melakukan upaya konservasi, menjadi tanggung jawab kita bersama. Konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatanya dilakukan secara bijaksana untuk menjamain kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya, dengan tujuan agar dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
pembangunan dan kesejahteraan manusia; (Studi Kasus Di Taman Nasional Sembilang) 2. Pengawetan sumber plasma nutfah, Menjamin terpeliharanya keanekaragaman genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehinggga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan masyarakat; 3. Pemanfaatan secara lestari, Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga menjamin kelestariannya.
LOG
PEMBINAAN DAYA DUKUNG KAWASAN
BULETIN
PLAN
Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dapat dikatakan berhasil apabila dapat mewujudkan tiga sasaran : PENGOLAHAN KONSERVASI DALAM PERSPEKTIF 1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan, PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang bsistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan
Dalam pengembangan kawasan TN Sembilang diharapkan tidak hanya sebagai kawasan yang berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam saja tetapi juga sebagai suatu kawasan yang bisa bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan daerah sekitarnya. Berdasarkan Christian Goenner (2001), nilai ekonomi kawasan Sembilang yang paling penting adalah perikanan, penyimpanan karbon (carbon storage), dan keanekaaragaman hayati. Oleh karenanya kawasan Sembilang diperkirakan mempunyai nilai ekonomi total lahan basah. Kawasan Sembilang sebagai sistem penyangga kehidupan perlu dibina keberadaannya, sehingga dapat tetap berfungsi dan memiliki daya dukung yang memadai dalam menjaga keanekaragaman hayati yang ada. Pembinaan daya dukung kawasan diharapkan dapat mencapai sasaran utama pengelolaan yaitu : a. Merehabilitas kawasan yang rusak terutama kawasan hutan mangrove sebagai ciri khas Taman Nasional Sembilang, b. Mendukung pembinaan dan pengembangan zona penyangga untuk menjaga keutuhan ekosistem dan koridor satwa (termasuk antara kawasan Taman Nasional Sembilang dan Taman Nasional Berbak yang berdampingan).
PEMANFAATAN UNTUK UNTUK PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT
Kawasan Taman Nasional Sembilang saat ini memiliki potensi perikanan yang relatif tinggi produktifitasnya. Ini terlihat bahwa sebagian besar masyarakat lebih tergantung pada hasil perikanan tangkap dari pada hasil hutan (proyek Berbak-Sembilang). Namun demikian, pada laporan yang sama juga dicatat bahwa terjadi penurunan hasil perikanan tangkap akibat banyaknya trawl ilegal yang beroperasi di perairan pesisir Sembilang, di samping terdapat pembukuan hutan mangrove menjadi tambak, terutama di kawasan Semenanjung Banyuasin. Sejumlah konflik kepentingan telah diidentifikasi terjadi di kawasan Taman Nasional Sembilang dan sekitarnya. Beberapa aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan kawasan juga menggunakan metode destruktif (seperti penggunaan racun, dan trawl dalm mencari ikan). Untuk mengurangi konflik kepentingan dan penggunaan metode yang destruktif dalam pemanfaatan sumberdaya alam, perlu adanya kesepakatan dan kesepahaman antara stakeholder dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada dan penegakan hukum. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diidentifikasi, yang terkait dengan pengembangan pemanfaatan kawasan yang bersifat lestari, beberapa upaya pokok dan rencana kegiatan yang dapat dan perlu dilakukan adalah sbb : (1)
Penetapan kebijakan-kebijakan dan peraturan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, melalui koordinasi dengan instansi terkait dan masyarakat, khususnya pada zona-zona pemanfaatan. Kebijakan-kebijakan dan peraturan ini meliputi kebijakan dan peraturan pemanfaatan kawasan perairan laut maupun sungai sebagai kawasan yang penting untuk perikanan. (2) Menggalang terbentuknya kesepakatan dan kesepahaman dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan antara lain : Mengidentifikasi konflik atau potensi konflik dalam pemanfaatan sumberdaya alam § Sosialisasi fungsi masing-masing zona di dalam Taman Nasional Sembilang § Pelibatan masyarakat dalam menetapkan peratuaran-peraturan. § (3) Mengontrol pemanfaatan sumberdaya aalam di zona-zona pemanfaatan dan zona pemanfaatan tradisional. Dapat dilakukan oleh staf lapangan unit pengelola Taman Nasional Sembilang bersama-sama dengan masyarakat yang telah terlatih. (4) Membantu upaya pembinaan atau penangkaran hidupan liar melalui koordinator dengan lembaga penelitian, sektor swasta, universitas dan instansi lain. (5) Mengembangkan potensi wisata alam di Taman Nasional sembilang melalui identifikasi potensi wisata, membuat strategi dan rencana pengembangan wisata, pembangunan sarana dan prasarana pendukung, serta pengembangan kerjasama dengan masyarakat dan stakeholder lainya. Beberapa potensi wisata di Taman Nasional Sembilang yang dapat dikembangkan secara bertahap untuk peningkatan ekonomi baik kesejahteraan ekonomi masyarakat maupun pendapatan pemerintah kabupaten dan Propinsi Sumatera Selatan yang antara lainnya : a) Wisata mangrove b) Pengamatan satwa seperti burung air, dan c) Wisata perikanan Pengembangan wisata alam dengan obyek wisata hutan mangrove dan pengamatan hidupan liar dapat dilakukan di zona pemanfaatan seperti di Sungai Sembilang-Simpang Satu, Pulau Betet dengan membangun jembatan mangrove,
Halaman
LOG PLAN
BULETIN
Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dapat dikatakan berhasil apabila dapat mewujudkan tiga sasaran : 1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan, Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang bsistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia; 2. Pengawetan sumber plasma nutfah, Menjamin terpeliharanya keanekaragaman genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehinggga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan masyarakat; 3. Pemanfaatan secara lestari, Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga menjamin kelestariannya. PEMBINAAN DAYA DUKUNG KAWASAN
Dalam pengembangan kawasan TN Sembilang diharapkan tidak hanya sebagai kawasan yang berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam saja tetapi juga sebagai suatu kawasan yang bisa bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan daerah sekitarnya. Berdasarkan Christian Goenner (2001), nilai ekonomi kawasan Sembilang yang paling penting adalah perikanan, penyimpanan karbon (carbon storage), dan keanekaaragaman hayati. Oleh karenanya kawasan Sembilang diperkirakan mempunyai nilai ekonomi total lahan basah. Kawasan Sembilang sebagai sistem penyangga kehidupan perlu dibina keberadaannya, sehingga dapat tetap berfungsi dan memiliki daya dukung yang memadai dalam menjaga keanekaragaman hayati yang ada. Pembinaan daya dukung kawasan diharapkan dapat mencapai sasaran utama pengelolaan yaitu : a. Merehabilitas kawasan yang rusak terutama kawasan hutan mangrove sebagai ciri khas Taman Nasional Sembilang, b. Mendukung pembinaan dan pengembangan zona penyangga untuk menjaga keutuhan ekosistem dan koridor satwa (termasuk antara kawasan Taman Nasional Sembilang dan Taman Nasional Berbak yang berdampingan).
PEMANFAATAN UNTUK UNTUK PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT
Kawasan Taman Nasional Sembilang saat ini memiliki potensi perikanan yang relatif tinggi produktifitasnya. Ini terlihat bahwa sebagian besar masyarakat lebih tergantung pada hasil perikanan tangkap dari pada hasil hutan (proyek Berbak-Sembilang). Namun demikian, pada laporan yang sama juga dicatat bahwa terjadi penurunan hasil perikanan tangkap akibat banyaknya trawl ilegal yang beroperasi di perairan pesisir Sembilang, di samping terdapat pembukuan hutan mangrove menjadi tambak, terutama di kawasan Semenanjung Banyuasin. Sejumlah konflik kepentingan telah diidentifikasi terjadi di kawasan Taman Nasional Sembilang dan sekitarnya. Beberapa aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan kawasan juga menggunakan metode destruktif (seperti penggunaan racun, dan trawl dalm mencari ikan). Untuk mengurangi konflik kepentingan dan penggunaan metode yang destruktif dalam pemanfaatan sumberdaya alam, perlu adanya kesepakatan dan kesepahaman antara stakeholder dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada dan penegakan hukum. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diidentifikasi, yang terkait dengan pengembangan pemanfaatan kawasan yang bersifat lestari, beberapa upaya pokok dan rencana kegiatan yang dapat dan perlu dilakukan adalah sbb : (1)
Penetapan kebijakan-kebijakan dan peraturan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, melalui koordinasi dengan instansi terkait dan masyarakat, khususnya pada zona-zona pemanfaatan. Kebijakan-kebijakan dan peraturan ini meliputi kebijakan dan peraturan pemanfaatan kawasan perairan laut maupun sungai sebagai kawasan yang penting untuk perikanan. (2) Menggalang terbentuknya kesepakatan dan kesepahaman dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan antara lain : Mengidentifikasi konflik atau potensi konflik dalam pemanfaatan sumberdaya alam § Sosialisasi fungsi masing-masing zona di dalam Taman Nasional Sembilang § Pelibatan masyarakat dalam menetapkan peratuaran-peraturan. § (3) Mengontrol pemanfaatan sumberdaya aalam di zona-zona pemanfaatan dan zona pemanfaatan tradisional. Dapat dilakukan oleh staf lapangan unit pengelola Taman Nasional Sembilang bersama-sama dengan masyarakat yang telah terlatih. (4) Membantu upaya pembinaan atau penangkaran hidupan liar melalui koordinator dengan lembaga penelitian, sektor swasta, universitas dan instansi lain. (5) Mengembangkan potensi wisata alam di Taman Nasional sembilang melalui identifikasi potensi wisata, membuat strategi dan rencana pengembangan wisata, pembangunan sarana dan prasarana pendukung, serta pengembangan kerjasama dengan masyarakat dan stakeholder lainya. Beberapa potensi wisata di Taman Nasional Sembilang yang dapat dikembangkan secara bertahap untuk peningkatan ekonomi baik kesejahteraan ekonomi masyarakat maupun pendapatan pemerintah kabupaten dan Propinsi Sumatera Selatan yang antara lainnya : a) Wisata mangrove b) Pengamatan satwa seperti burung air, dan c) Wisata perikanan Pengembangan wisata alam dengan obyek wisata hutan mangrove dan pengamatan hidupan liar dapat dilakukan di zona pemanfaatan seperti di Sungai Sembilang-Simpang Satu, Pulau Betet dengan membangun jembatan mangrove, Halaman
Oleh : Ali Djajono
RJP KL
RPJP Nasional
RPJP Daerah
Renstra KL
RPJMNasional
RPJM Daerah
Renstra SKPD
Renja-KL
RKP
RKP Daerah
Renja SKPD
Kementerian/ Lembaga
Nasional
LOG
Perencanaan merupakan salah satu aspek/bagian penting dalam suatu proses pembangunan, termasuk dalam konteks kegiatan pembangunan nasional. Keberhasilan suatu pembangunan sangat ditentukan salah satunya oleh adanya suatu perencanaan yang baik. Menyadari pentingnya perencanaan, Pemerintah dan DPR telah menyepakati untuk mengatur perencanaan secara nasional dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU tersebut didalamnya mengamanatkan kepada Pemerintah, Kementerian Negara/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk menyusun perencanaan pembangunan nasional, antara lain: a) Mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasinal untuk kurun waktu 20 tahunan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional untuk kurun waktu 5 tahunan dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk kurun waktu tahunan; b) Mengamanatkan kepada Kementerian Negara/Lembaga untuk menjabarkan rencana-rencana nasional tersebut kedalam Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) dan Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga (Renja-KL); c) Mengamanatkan kepada Pemerintah daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) untuk menyusun RPJP Daerah untuk kurun waktu 20 tahunan, RPJM daerah untuk kurun waktu 5 tahunan dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk kurun waktu tahunan. d) Mengamanatkan kepada Satuan Kerja Perengkat Daerah (SKPD) untuk menjabarkan rencana-rencana pembangunan daerah (Provinsi/ Kabupaten/Kota) kedalam Rencana Strategis SKPD (Renstra-SKPD) dan Rencana Kerja SKPD (Renja-SKPD) Penjelasan mengenai posisi dari masing-masing rencana dapat disarikan dalam bagan sebagai berikut.
BULETIN
RENCANA KEHUTANAN DALAM RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL
PLAN
I
Daerah
Bagan 1. Posisi Rencana Pembangunan dalam Perencanaan Nasional Rencana-rencana pembangunan tersebut apabila dipahami lebih lanjut menyangkut 2 aspek dimensi yaitu dimensi waktu (Panjang/20 tahun, menengah/5 tahun dan tahunan) dimensi geografis/wilayah (Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota). Dimensi tersebut juga tercermin dalam rencana pembangunan setiap Kementerian/Lembaga dan SKPD. Dalam konteks kehutanan perintah untuk menyusun suatu rencana juga telah diamanatkan dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Selanjutnya penyusunan rencana kehutanan akan diatur lebih mendetail dalam suatu sistem perencanaan kehutanan (Sisperhut). Sebagai satu bagian dari sistem pemerintahan, maka rencana-rencana kehutanan yang akan disusun Departemen Kehutanan harus diselaraskan dengan sistem perencanaan pembangunan nasional seperti yang diatur dalam UU No. 25 tahun 2004. keterkaitan tersebut dapat digambarkan bahwa rencana-rencana kehutanan yang didalamnya memuat rencana pembangunan sektor kehutanan harus selalu sinkron dengan rencana pembangunan nasional. Sehingga substansi materi rencana kehutanan harus dapat mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Adapun materi yang dimuat dalam rencana-rencana kehutanan sendiri (seperti diamanatkan dalam PP 44 tentang Perencanaan Kehutanan) mengandung materi substansi kehutanan yaitu segala sesuatu yang terkait dengan aspek pengurusan hutan yang meliputi Perencanaan Kehutanan, Pengelolaan Hutan, Penelitian dan pengembangan kehutanan, Pendidikan dan latihan kehutanan, Penyuluhan kehutanan, Pengawasan. Proses sinkronisasi rencana kehutanan dengan rencana pembangunan nasional diintegrasikan melalui mekanisme antara lain: 1. Koordinasi dan konsultasi antara Departemen Kehutanan dan Bappenas, yang waktunya diparalelkan antara penyusunan konsep rencana kehutanan dan penyusunan rencana pembangunan nasional. 2. Musyawarah Rencana Pembangunan Pusat (Musrenbangpus) dan Musyawarah Rencana Pembangunan N a s i o n a l (Musrenbangnas) yang penyelenggaraannya di koordinir oleh Bappenas. 3. Konsultasi Departemen Kehutanan dengan DPR.
Halaman
LOG PLAN
BULETIN
Halaman
Disisi lain proses penyusunan rencana-rencana kehutanan di intern sektor kehutanan diupayakan untuk selalu harus mengikuti prinsip-prinsip transparant, partisipatif, akuntabel, dan proses keterlibatan para pihak lingkungan kehutanan. Maka ada beberapa cara untuk menempuh proses tersebut, al: Penjaringan usulan kegiatan melalui Rapat Koordinasi Pembangunan Kehutanan Daerah dan Regional (Rakorbanghutda dan Rakorbanghutreg), Konsultasi publik di beberapa provinsi, pembahasan rutin di tingkat pusat dengan melibatkan beberapa pihak terkait (Bappenas, LSM, Lembaga Donor, Eselon I lingkup Dephut, Organisasi profesi). Proses ini ditempuh untuk mencapai materi rencana yang mencerminkan paling DESAdanSEBAGAI UNIT HUTAN RAKYAT LESTARI tidak pandangan harapan beberapa pihak PENGELOLAAN terkait sektor kehutanan. Sedang Keterkaitan rencana kehutanan dan rencana pembangunan DI PULAU JAWA nasional, dapat mengambil contoh proses penyusunan dan materi substansi Renstra KL Dephut 2005-2009 dan Renja-KL Dephut 2006. Renstra-KL Dephut tahun 2005-2009 materinya sinkron dan mengacu pada RPJM Nasional 2005-2009 demikian juga Renja-KL tahun 2006 materinya sinkron dan mengacu pada RKP tahun 2006. Gambaran sektor kehutanan dalam RPJM Nasional 2004-2009 secara ringkas dapat dilihat pada materi dimasingmasing Agenda, Bab (arah kebijkan), Program matrik 1 di bawah ini. Matrik 1. Sektor kehutanan dalam RPJM 2004-2009 BAGIAN (AGENDA) BAB Program (ARAH KEBIJAKAN) II. Agenda Bab 4. 1. Pemantapan keamanan dalam negeri Menciptakan Peningkatan keamanan, ketertiban Indonesia yang dan penanggulangan kriminalitas Aman dan Damai III. Agenda Bab 14. 1. Peningkatan pengawasan dan Menciptakan Peningkatan tata pemerintahan yang akuntabilitas aparatur negara Indonesia yang adil bersih dan berwibawa dan demokratis 2. penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan pemerintahan IV. Agenda Bab 16. 1. Pemantapan Pemanfaatan potensi Meningkatkan Penanggulangan kemiskinan SDH Kesejahteraan (Pemenuhan hak atas LH dan SDA) 2. Perlindungan dan konservasi SDA Rakyat 3. Pengembangan kapasitas pengelolaan SDA dan LH Bab. 19. 1. Pemantapan pemanfaatan potensi Revitalisasi pertanian SDH 2. Perlindungan dan konservasi SDA 3. Rehabilitasi dan pemulihan cadangan SDA Bab 22 1. Penelitian dan pengembangan Iptek Peningkatan kemampuan IPTEK Bab. 25 1. Perlindungan dan konservasi SDA Pembangunan perdesaan Bab 27 1. Pendidikan kedinasan Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas 1. Pemantapan pemanfaatan potensi Bab. 32 SDH Perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi 2. Perlindungan dan konservasi SDA lingkungan hidup 3. Rehabilitasi dan pemulihan cadangan SDA 4. Pengembangan kapasitas pengelolaan SDA dan LH 5. Peningkatan kualitas dan akses informasi SDA dan LH Sebagai catatan bahwa program-program yang menjadi payung kegiatan kehutanan ada kemungkinan menjadi payung kegiatan dari sektor lainnya misal Pertanian, Lingkungan Hidup. Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa RPJM Nasional telah diupayakan untuk tidak bersifat sektoral. Maka dapat dilihat bahwa program-program yang terdapat dalam Renstra-KL dan Renja-KL Dephut merupakan program yang sama seperti dalam Rencana Pembanguanan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Program RPJM yang menjadi payung program Renstra-KL dan Renja-KL adalah: 1. Program Pemantapan Keamanan Dalam Negeri 2. Program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Hutan (SDH) 3. Program Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Alam (SDA) 4. Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan SDA 5. Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup (LH) 6. Program Peningkatan Akses Informasi SDA dan LH 7. Program-program pendukung, antara lain: Program Pendidikan Kedinasan; Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan; Litbang Iptek; Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara. Sinkron dan terintegrasinya antara rencana pembangunan nasional dan rencana kementerian, juga dapat mengefektifkan evaluasi, pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan untuk menilai kinerja Pemerintah termasuk kementerian/Lembaga dan SKPD. Hasil evaluasi yang obyektif akan dapat mencerminkan keberhasilan-keberhasilan dan kegagalan-kegagalan yang sesungguhnya dari penyelenggaraan pemerintahan. Sekaligus hasil evaluasinya dapat dijadikan bahan pelajaran (“lesson learn”) untuk proses penyusunan
BULETIN
Oleh : Subarudi
PLAN
DESA SEBAGAI UNIT PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI DI PULAU JAWA
PENDAHULUAN
LOG
Akhir-akhir ini peran dan fungsi desa menjadi pembicaraan hangat setelah sekitar 3000-an perangkat desa dari berbagai daerah se-Jawa yang tergabung dalam Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa (Parade) Nusantara berujuk rasa di Gedung Mahkama Agung dan Departemen Dalam Negeri, Jakarata, 4 April 2006. Mereka menuntut amendemen UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang terkait dengan persyaratan calon kades dan kesejahteraan kades. Berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa, maka sebuah gagasan untuk menjadikan desa sebagai unit pengelolaan hutan rakyat lestari (UPHRL) di Pulau Jawa dapat merupakan salah satu upaya untuk mengangkat peran dan fungsi desa sekaligus untuk mensejahterahkan kepala desa dan aparat desa tersebut. Pertanyaaan lain yang muncul apakah penunjukkan desa sebagai UPHRL hanya berlaku di Pulau Jawa dan bagaimana dengan kondisi UPHRL di luar Jawa? Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa ada perbedaan yang nyata antara kondisi hutan rakyat di Jawa dengan luar Jawa baik dalam hal luas areal, pola kepemilikan lahan, rata-rata luas kepemilikan lahan per petani, pola budidaya, dan sistem pemasarannya sehingga konsep ini lebih difokuskan untuk di daerah Jawa. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas secara mendalam tentang arti peningkatan peran dan fungsi desa, desa sebagai unit pengelolaan hutan rakyat lestari, peran dan fungsi Dinas Kehutanan kabupaten, revitalisasi peran dan fungsi penyuluh kehutanan, dan strategi untuk mewujudkan desa sebagai UPHRL.
PENINGKATAN PERAN DAN FUNGSI DESA Demo sekitar 3000 an perangkat desa dari berbagai daerah se-Jawa yang tergabung dalam Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa (Parade) Nusantara berujuk rasa di Gedung Mahkamah Agung dan Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 4 April 2006 telah membuahkan hasil berupa respon dari Mahkamah Agung atas tuntutan kades dengan membentuk Majelis Hakim perkara perubahan masa jabatan Kepala Desa dan keputusannya harus diambil secepatnya karena akan dijadikan acuan pembuatan peraturan daerah kabupaten dan kota se-Indonesia (Media Indonesia, 04/04/2006). Memang siapa yang tidak terhenyak setelah mendengarkan uraian tentang bagaimana peran dan fungsi desa selama ini diabaikan oleh pemerintah orde baru, dimana aparat desa selama ini mendapatkan bayaran dengan memberikan kewenangan kepada desa untuk memanfaatkan tanah desa atau “tanah bengkok” bagi desa yang memilikinya. Namun bagi desa yang tidak memiliki tanah desa dibiarkan untuk mencari dana sendiri untuk menggaji aparat desanya. Menurut Ketua Asosiasi Pemerintahan Desa (Apdesi) Kabupaten Bandung, Drs. H. Joko N.H., Apdesi memohon tunjangan Rp. 1 juta per bulan untuk Kepala Desa, Rp. 750.000 per bulan untuk Sekretaris Desa, dan Rp. 500,000 untuk per bulan untuk Kepala Dusun karena saat ini Kepala Desa hanya dibayar sebesar Rp. 75.000 per bulan yang dibayarkan per triwulan, sedangkan Sekretaris Desa sebesar Rp. 60.000 per bulan dan Kepala Dusun Rp. 50.000 per bulan (Pikiran Rakyat, 20/04/2006). Komitmen yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung perlu diikuti oleh pemerintah daerah lainnya dalam upaya melakukan peningkatan peran dan fungsi desa. Pemkab Bandung telah mengalokasikan dana untuk desa sebesar Rp. 56 miliar dsalam pos belanja bagi hasil kepada pemerintah desa. Selain itu, dana sebesar Rp. 2,6 miliar akan dibagikan melalui pos belanja bantuan keuangan kepada pemerintah desa/kelurahan. Konsekuansinya, bagi pemerintah desa, yaitu masing-masing akan memperoleh bantuan yang nilainya bervariasi sesuai kebutuhan desa dan memenuhi indicator yang telah ditetapkan. Sebelumnya nilai bantuan ke desa disamaratakan yaitu sebesar Rp. 50 juta per desa (Pikiran Rakyat, 20/04/2006). Pemerintah Kabupaten Cianjur juga akan memberikan dana insentif setiap bulan kepada ribuan ketua rukun warga (RW) dan ketua rukun warga (RW) sebesar Rp. 50.000. Disamping menaikkan anggaran Bantuan Keuangan Kepada Pemerintah Desa (BKKPD) dari semula Rp. 40 juta/tahun (2005) menjadi Rp. 60 juta/tahun dan rencana tahun 2007 akan ditingkatkan lagi menjadi Rp. 100 juta/tahun. Peningkatan peran dan fungsi desa tidak hanya dilihat dari peningkatan anggaran desa, tetapi bagaimana program desa tersebut dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga sebaiknya pemberian dana insentif disesuaikan dengan jenis dan manfaat program desa dan realisasi pelaksanaannya terhadap kemakmuran desa tersebut. DESA SEBAGAI UPHRL Peran desa sebagai bagian dari pengelolaan hutan rakyat telah lama diterapkan di Kabupaten Ciamis, dimana Kepala Desa diberikan salah satu kewenangan untuk menjelaskan tentang asal usul kayu, tanpa surat keterangan dari Kepala Desa tersebut maka dokumen angkutan kayu tidak akan dikeluarkan oleh UPTD Dinas Kehutanan Ciamis. Jadi penunjukan desa sebagai unit terkecil pengelolaan hutan rakyat bukan hanya wacana belaka, tetapi di sebahagian daerah telah berlangsung dengan mekanisme yang berbeda-beda. Kabupaten Kuningan telah mengeluarkan Perda tentang penanaman pohon bagi pasangan muda-mudi yang ingin menikah. Kabupaten Ciamis juga tidak mau ketinggalan dengan mewajubkan penanaman pohon bagi setiap kelahiran anak dari pasangan suami istri. Desa sebagai UPHRL dapat melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan kegiatan pengelolaan hutan rakyat
Halaman
LOG PLAN
BULETIN
Perencanaan hutan rakyat dapat dilakukan dengan bekerjasama atau menggerakkan penyuluh-penyuluh kehutanan atau pertanian untuk mengumpulkan data dan informasi tentang luasan, kepemilikan, dan jenis tanaman kehutanan yang berada dalam lokasi hutan rakyat. Hal ini terinspirasi tentang kelengkapan data dan informasi yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan Keluaraga Berencana (KB) dimana penyuluh-penyuluh KB mempunyai data dan informasi yang lengkap terkait dengan jumlah pasangan subur dan non subur, pasangan yang menggunakan berbagai alat kontrasepsi di desa tersebut. Pengaturan hutan rakyat dapat dilakukan dengan menerapkan peraturan desa yang terkait dengan sistem penebangan hutan rakyat yang dikenal dengan sebutan sistim tebang butuh dan tebang 1 tanam 5. Sistim tebang butuh diartikan bahwa sistem pelaksanaan penebangan pohon di lahan masyarakat dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu pada saat masyarakat membutuhkan uang untuk keperluan sekolah dan keperluan hidup lainnya yang mendesak. Sistem tebang 1 tanam 5 ini telah diterapkan di Kabupaten Ciamis yang menyiratkan bahwa apabila masyarakat telah melakukan penebangan 1 batang pohon maka harus melakukan juga penanaman dengan 5 batang bibit pohon. Pelaksanaan hutan rakyat yang diurus oleh desa adalah berkaitan dengan ijin tebang dan pengurusan dokumen serta penjualan bibit-bibit tanaman yang berkualitas sehingga hasil produksi kayunya dapat meningkat dan kualitasnya terjamin. Sebagai contoh Kabupaten Ciamis telah berhasil mendelegasikan pengurusan dokumen kayunya kepada kepala desa yang memiliki potensi hutan rakyat. Pengendalian pembangunan hutan rakyat di desa dapat dilakukan dengan mengecek langsung ke lapangan apakah benar pohon yang ditebangnya berada dalam lahan yang dimiliki masyarakat pemohon ijin tebang dan apakah lokasi penebangan pohon sesuai dengan aturan yang berlaku (misalnya dilarang menebang pohon yang terletak di kanan kiri sepadan sungai atau diperbukitan karena dikhwatirkan akan terjadi longsor yang akan membawa bencana terjadap penduduk lainnya dan bahwa jiwa penduduk di desa tersebut). Dengan menjadikan desa sebagai UPHRL, maka peningkatan kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa serta masyarakat desa bukan hanya impian belaka, tetapi mimpi yang menjadi kenyataan. Sebagai contoh DKK Ciamis tahun 2005 telah berhasil memberikan ijin tebang dengan produksi kayu sebanyak 320.000 m3, maka uang yang beredar di pedesaan mencapai sekitar Rp. 64 milyar (assumsi harga kayu sekitar Rp. 200.000 per m3). Jumlah tersebut merupakan jumlah yang cukup fantastis untuk menunjang perekonomian desa jika dibandingkan dengan penerimaan gaji yang diterima kepala desa atau aparat desa setiap bulannya sekitar Rp. 125.000 per bulan atau sebesar Rp. 1,5 juta per tahun. Perhitungan diatas menunjukkan bahwa dengan menjadikan desa sebagai basis atau unit terkecil dalam pengelolaan hutan rakyat dapat merupakan jawaban yang cukup tepat dan relevan untuk tidak saja sekedar meningkatkan kesejahteraan kepala desa dan perangkatnya, tetapi masyarakat desa tersebut.
DESA SEBAGAI UPHRL
Halaman
Peran dan fungsi Dinas Kehutanan Kabupaten (DKK) adalah mendistribusikan penyuluh-penyuluhan kehutanan yang dimilikinya secara merata ke masing-masing kecamatan yang ada di wilayahnya sebagai pembina teknis kehutanan di lapangan. Sebagai contoh DKK Ciamis telah mendistribusikan semua penyuluhnya sebanyak 60 orang ke 15 kecamatan yang ada di wilayah kabupaten Ciamis. Apabila DKK tidak mempunyai jumlah penyuluh kehutanan yang cukup, maka strategi yang harus diambil adalah menempatkan penyuluh-penyuluh kehutanannya di kecamatan-kecamatan yang belum ada penyuluh pertaniannya. Langkah ini dipandang penting karena DKK dapat lebih memanfaatkan penyuluh-penyuluh pertanian yang ada dengan memberikan latihan-latihan dan bimbingan teknis kehutanan kepada mereka sebagai upaya meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka di bidang teknis kehutanan. DKK dapat juga melakukan pembagian wilayah pengembangan hutan rakyat sesuai dengan karakteristik sosial budaya dan pola budidaya hutan rakyat di wilayahnya. Pembagian wilayah pengembangan ini sangat membantu DKK dalam mewujudkan pengelolaan hutan rakyat lestari disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan kemajuan pelaksanaan tebangtanam di wilayah tersebut. Contoh konkrit telah dilakukan oleh Pemerintah Subang dengan membagi wilayahnya dalam 3 (tiga) kluster dalam program peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu kluster pegunungan, pedataran, dan pantai. Pembagian kluster tersebut didasarkan atas kajian dan analisis yang mendalam terhadap akar masalah, dimana masing-masing kluster memiliki karakteristik sendiri dan fenomena masalah tersendiri. Kecerdasan pemerintah Subang membuahkan hasil dimana Subang dipilih sebagai daerah pemenang Program Pendanaan Kompetisi Akselerasi Indkes Pembangunan Manusia (PPK-IPM) Jawa Barat tahun 2006 (Pikiran Rakyat, 24/04/2006). DKK dapat juga memberikan sebagian wewenangnya kepada kepala desa dalam hal pengurusan dokumen angkutan kayu hutan rakyat. Kepala Desa diberikan kewenangan untuk mengeluarkan ijin tebang setelah berhasil meninjau langsung areal tebangan di lapangan dan memberikan surat keterangan yang menjelaskan bahwa kayu hutan rakyat yang ditebang adalah berasal dari desa mereka dan letaknya berada di lahan milik petani di wilayah desa mereka dan aman bagi lingkungan sekitarnya. Peran dan fungsi DKK seperti diatas, telah lama diterapkan di wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis. Namun pendistribusian wewenang ijin tebang ke Kepala Desa seharusnya dilakukan secara selektif, dimana perlu dilakukan akreditasi terlebih dahulu kepada Desa tersebut dengan mengecek langsung lokasi tebangan dan proses penebangan di desa tersebut. Apabila Kepala Desa telah memberikan ijin tebang kepada masyarakatnya terutama di daerahdaerah datar dan aman, maka kepala desa tersebut akan memperoleh sertifikasi sebagai Kepala Desa yang berwawasan lingkungan. Sebaliknya, jika Kepala Desa telah mengijinkan penebangan pohon di daerah-daerah yang berbukit-bukit dan rawan longsor, maka dapat dikatakan bahwa Kepala Desa tersebut telah menyalahgunakan kewenangan yang telah diberikan dan kewenangan tersebut harus ditarik kembali atau paling tidak diserahkan kepada Kepala Desa terdekat yang sudah diakreditasi. DKK juga dapat melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap desa yang paling berhasil dalam pengelolaan hutan rakyatnya sehingga setiap tahunnya DKK akan pemberian penghargaan atas desa-desa yang telah menerapkan tebang tanam sesesuai dengan tuntutan kelestarian pengelolaan hutan rakyat. DKK dapat diberikan peran sebagai pengatur harga kayu hutan rakyat, dimana semua pembeli kayu hutan rakyat
LOG
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian desa sebagai UPHRL, maka peran dan fungsi penyuluh dapat lebih ditingkatkan karena selama ini peran dan fungsi mereka telah dipinggirkan oleh pemerintah daerah di era otonomi daerah dan hanya dipandang sebagai pusat pengeluaran (cost center). Apalagi saat ini sebagian besar penyuluh-penyuluh kehutanan di daerah sudah memasuki usia pensiun sehingga perlu biaya yang cukup banyak untuk merekrut tanaga penyuluh yang baru. Subarudi (2001) telah menegaskan bahwa kasus-kasus konflik kehutanan di daerah tidak terlepas dari peran dan fungsi penyuluh yang mandul serta ketidak siapan pemerintah pusat dalam merespon otonomi daerah dalam pengelolaan hutan. Kemandulan peran dan fungsi penyuluh lebih disebabkan karena masalah institusi tempat penyuluh berkarya, sarana dan prasarana kerja yang tidak mendukung tugas pokok dan fungsinya serta rendahnya keterampilan penyuluh. Sebenarnya kita semua sepakat tentang peranan dan fungsi tenaga penyuluh yang strategis dan telah menjadi ujung tombak dalam pembangunan kehutanan. Namun dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya nasib penyuluh tidak kalah tragis dan memilukan dengan nasib Kepala-Kepala Resort Pemangkuan Hutan (KRPH) di luar Jawa yang dikenal sebagai ujung tombok karena miskinnya fasilitas dan sarana kerja padahal mereka lah gugus terdepan dalam pembangunan kehutanan daerah. Hasil wawancara terhadap penyuluh kehutanan di beberapa Kabupaten mengatakan mereka merasa ditelantarkan setelah otonomi daerah dan mereka telah putus hubungan sama sekali dengan Pusat Penyuluhan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Di beberapa daerah kabupaten baik di Jawa dan luar Jawa, ada penyuluh-penyuluh kehutanan telah beralih kedudukan sebagai aktor jual-beli SKSHH sehingga menambah marak kasus-kasus penebangan liar. Oleh karena itu Departemen perlu juga mencari bagaimana mekanisme hubungan kelembagaan yang tepat antara Pusat Penyuluhan Kehutanan dengan DKK yang terkait dengan pembinaan dan pengembangan tenaga penyuluh di wilayah kabupaten. Permasalahan besar yang hingga kini belum disepakati adalah penentuan siapa masyarakat sasaran untuk kegiatan penyuluhan kehutanan. Subiyanto (2001) secara kritis telah membahas tentang siapa sebenarnya sasaran dari kegiatan penyuluhan dan menyimpulkan bahwa sasaran utama penyuluh yaitu petani (cocok tanam) di hutan adalah tidak relevan karena prosentasenya yang kecil (10 %) dan yang terbesar adalah pengusaha HPH, HPHTI, dan HPHH (60 %), dan industri kehutanan (30 %). Pemerintah Daerah Tasikmalaya telah merespon kelemahan sistem kelembagaan penyuluh dengan membentuk Kantor Pusat Penyuluh (KPP) sebagai wadah yang menampung semua penyuluh-penyuluh antar sektor seperti Pertanian, Keluarga Berencana, Perikanan, dan Kesehatan. Kelebihan dari pembentukan KPP ini adalah keterpaduan, efisiensi dan efektifitas suatu kegiatan penyuluhan di wilayah tertentu. Peran dan fungsi penyuluh dalam UPHRL adalah membantu desa dalam kegiatan perencanaan hutan rakyat yang bekerjasama dengan aparat desa terkait untuk mengumpulkan data dan informasi tentang luasan, kepemilikan, dan jenis tanaman kehutanan dan pola budidaya yang berada dalam lokasi hutan rakyat.
BULETIN
REVITALISASI PERAN DAN FUNGSI PENYULUH
PLAN
Dinas Kehutanan Ciamis telah mempelopori dengan mendirikan 4 UPT nya di kabupaten Ciamis sebagai upaya memberikan pelayan yang cepat dan tepat abgi masyarakat yang membutuhkannya terutama yang berkaitan dengan penggunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).
STRATEGI UNTUK MEWUJUDKAN DESA SEBAGAI UPHRL
Ada beberapa strategi yang perlu dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam upaya mewujudkan desa sebagai UPHRL, diantaranya: 1. Departemen Kehutanan dapat saja membantu pendanaan untuk pengembangan hutan rakyat langsung kepada pemda kabupaten melalui Dinas Kehutanan Kabupaten karena telah disadari oleh semua pihak bahwa pengelolaan hutan lestari hanya dapat dicapai apabila unit-unit terkecil pengelolaan hutan telah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan. 2. Tenaga penyuluh dari UPT-UPT Dephut dapat saja didayagunakan untuk berperan ganda tidak saja bertugas menjaga kawasan hutan konservasi, tetapi juga membantu pemda dalam pengembangan hutan rakyat di sekitar kawasan konservasi yang dijaganya. 3. Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Kehutanan Kabupaten dapat melakukan inventarisasi luas dan potensi hutan rakyat di masing-masing desa yang ada di wilayahnya. Kemudian desa-desa yang memiliki hutan rakyat diakreditasi tentang perkembangan dan kemajuan pengelolaan hutan rakyatnya dan dirumuskan strategi apa yang harus dilakukan untuk pengelolaan rakyat lestari antar desa-desa tersebut. 4. Dinas Kehutanan Kabupaten dapat saja menetapkan kluster-kluster untuk pengembangan hutan rakyat di wilayahnya berdasarkan hasil inventarisasi dan akreditasi terhadap pengelolaan HR di tingkat desa. 5. Dinas Kehutanan Kabupaten dapat melakukan pembinaan dan pendampingan langsung kepada desa dalam upaya proses alih teknologi (transfer of knowledge) tentang penerapan teknik-teknik silvikultur dalam pembangunan hutan rakyat, tata niaga, dan pemasaran hasil hutan. 6. Dinas Kehutanan Kabupaten juga akan dapat mengalokasi proyek-proyek rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) kepada desa yang memang sudah dianggap mampu melaksanakan RHL sesuai dengan hasil akreditasi dan saransaran dari pemerintah kecamatan. 7. Pemerintah Kecamatan dapat melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap perkembangan hutan rakyat yang berada di desa-desa dibawah koordinasinya dengan melibatkan penyuluh-penyuluh yang ada di kecamatan terlepas dari ada atau tidaknya penyuluh kehutanan, maka penyuluh pertanian juga dapat didayagunakan. 8. Pemerintah desa harus sudah mulai menata dan mengenali potensi hutan rakyat di desanya dengan membuat monografi desa tentang hutan rakyat yang berkaitan dengan luasan hutan rakyat dan potensinya serta jenis kayu
Halaman
LOG PLAN
BULETIN
9. Pemerintah desa dapat saja melakukan kerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten (sebagai penyangga harga) dalam upaya meningkatkan harga jual produk hasil hutannya sehingga pajak dan retribusi daerah akan meningkat seiring dengan kenaikan harga kayu hutan rakyat. 10. Pemerintah desa dapat membuat kesepakatan dengan Dinas Kehutanan Kabupaten untuk tidak menjual kayu langsung kepada tengkulak kayu karena berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa marjin keuntungan (profit margin) yang diterima tengkulak lebih besar daripada marjin keuntungan yang diterima langsung oleh petani hutan rakyat. Dalam hal ini DKK dapat bertindak sebagai agen pemasaran (marketing agent) bagi produk-produk hasil hutan rakyat di wilayahnya. 11. Penyuluh-penyuluh kehutanan/pertanian dapat diperlakukan sebagai pengawas lapangan atas transaksi penjualan kayu di wilayah kerjanya dan mendapatkan prosentase pembagian keuntungan dari hasil transaksi hasil hutan rakyat tersebut sebagai tambahan pendapatan (insentif).
DEWAN REDAKSI Pelindung : Kepala Badan Planologi Kehutanan Pengarah : Kepala Pusat Rencana Dan Statistik Kehutanan Sekretaris Badan Planologi Kehutanan Kepala Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan Kepala Pusat Inventarisasi Dan Perpetaan Hutan Kepala Bidang Rencana Umum Kehutanan Kepala Bidang Evaluasi Pelaksanaan Rencana Kehutanan Pemimpin Redaksi : Ketua : Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr. Sekretaris : Ir. Yana Juhana, Msc.Forst.
Redaksi Pelaksana : Ir. Ali Djajono, M.Sc. Ir. Drs. Sudjoko Prayitno, MM. Dewi Febrianti,S.Hut, MP Tedi Setiadi, S.Hut. Ir. Joko Kuncoro Uus Danu Kusumah, S.Hut.
PENUTUP Demikian uraian singkat tentang gagasan untuk menjadikan desa sebagai UPRHL yang dalam kenyataannya tidak saja banyak membantu meningkatkan kesejahteraan petani hutan rakyat, tetapi juga kesejahteraan kepala desa dan pengkat desa lainnya. Hal yang utama dan penting untuk teruwujudkan desa sebagai UPRHL adalah komitmen semua pihak yang terlibat untuk secara tulus dan jujur membantu meningkatkan kesejahteraan petani hutan dan duduk bersama untuk membahas langkah-langkah untuk mewujudkannya serta mencari jalan keluar atas permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan desa sebagai UPHRL. Dengan menjadikan desa sebagai UPHRL akan memberikan keuntungan berganda (multiplier effects) yang kepada semua pihak yang terkait langsung dan tidak langsung atas keberadaan desa sebagai UPHRL.
Editor : Ketua : Dr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si. Anggota : Ir. Thomas Nifinluri, Msc. Ir. Agus Nurhayat, MM.Agr Ir. Herman Kustaryo Ir. Lilit Siswanty Julijanti, SE, MT Desain Grafis : Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism Ade Wahyu, S.Hut. Efsa Caesariantika, A.Md. John Piter G. Lubis, S.Hut Popi Susan ,S.Hut
DAFTAR PUSTAKA
Media Indonesia. 2006. MA Respons Tuntutan Kades. Harian Media Indonesia, tanggal 4 April 2006. Pikiran Rakyat. 2006.Insentif Ketua RT dan RW Rp. 50.000/Bulan. Harian Pikiran Rakyat, tanggal 18. April 2006. Pikiran Rakyat. 2006. Komitmen Untuk Menata Desa. Harian Pikiran Rakyat, tanggal 20 April 2006. Subiayanto, B.S. 2001. Pengembangan Penyelenggaraan Penyuluhan Kehutanan Oleh Dunia Usaha Kehutanan Agar Penyuluhan Lebih Efektif dan Efisien. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Penyuluhan Kehutanan Nasional, Di Jakarta, 5 6 Desember 2001.
Kontributor : Seluruh Staf Badan Planologi Kehutanan dan Mitra Badan Planologi Kehutanan
MENU BULETIN
Arah dan Skenario Pengembangan Pemantapan Kawasa Hutan.
Persepsi Masyarakat dan Alternatif Bentuk Pemberdayaa Masyarakat Menuju Kelestarian Hutan
Renstra Pengelolaan Kawasab Hutan Wilayah Perbatasan R
Malaysia di Kalimantan dan Rancangan Pengelolaan Huta Wilayah Perbatasan RI-Timor Leste di Pulau Timor
Dinamika Paradigma, Kebijakan dan Strategi Pengembanga Sumberdaya Hutan Membangun Visitor Center Ideal Kendala-kendala Organisasi Dalam Era Global
Pengolahan konservasi Dalam Perspektif Peningkata Ekonomi Masyarakat
Rencana Kehutanan Dalam Rencana Pembangunan Nasiona
Desa Sebagai Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Di Pula Jawa
ALAMAT REDAKSI Halaman
Gd. Manggala Wanabakti, Blok VII Lantai 5 Jl. Jenderal Gatot Subroto, P.O.BOX 6506 JAKARTA - 10065