SKENARIO DAN KEBIJAKAN 20 TAHUN PENGEMBANGAN PEMANFAATAN SUMBERDAYAHUTAN, Oleh Hariadi Kanodihardio21. PENDAHULUAN 1.1. Secara umum telah diketahui bahwa hutan negara telah mengalami kerusakm dengan volume sangat besx dan kecepatan sangat tinggi. Berbagai sudut pandang dapat digunakdn untuk menjawab sebabsebab terjadinp kerusakan hutan tersebut. Dalam kajian ini dicoba sebabsebab terjadinja kerusakan sumberdap hutan dari sisi untuk mengem* ekonomi maupun kelembagaan; 12. Kedua sudut pandang tersebut menentukan arah dan skenario pemanfaatan sumberdaya hutan. h d a s a n yang digunakan, dengan dernikian. adalah u n s u r - w u r ekonomi nasional d m pasar yang menentukan tiiggi rendahnya permimaan kayu, sen? aturan main dan kebijakan serta kapasitas lembagalembaga pemerintah dalam pelaksanaan kebijakdn; 1.3. Uraian ini membahas identiiikasi siruasi dan kondisi makro nasional, permasalahan pokok d m isu strategis, arah kebijakan sekror terkait, lujian seluor, skenario janglu panjang, sena arah kebijakan dan suategi nasiond 2. 1'UJUAN DAN PENDEKATAN
2.1. Tersusun kajian dan gambaran obyluif situasi dan kondisi serta pernasalahan
22.
pemanfaatan sumberdaya hutan, perurnusan arahan mairo dan skenario pengembangan pernanfmtan SDH ke depan, serta sebagai sdah satu input dalam perurnusan rencdnd kehutanan jangka panjang. Pendekatan yang digunakan adalah melacukar? kajian terbadap data dan refelensi yang reldh tersedia. Pen& tidak melakukan pengolaha data khusus untuk kajian ini.
I'emanfaatan Kayu 3.1. Selama periode 1993-2002 peran kayu lapk masih dominan, yaitu sekitar 48% dari selilruh nilai ekspor. Namun muld tahuil ZOO0 peml h y u lapis telah digantikan oleh nilai ekspor kenas dan bahan-b,ahan dari kenas]. Selama periode itu pula kapasita terpasang indusrri pulp terus meningkat, sedangkan kapasita terpasag industri kayu lapis meskipun relatif terap namun realisasi produksi dan peran ekspor terus men& (Gambar 1 d m Gambar 2).
C.wnb.>r 1 R*.,,b.,nl,n Nbi tLyrr Mmnllul II t ~ mM4.LZ-li
3.2. Jumlah nilai ekspor produk-produk hsil hutan hampir d ~ & kali lipat dibandingkan e k s p r produk penanian, namun nilai ekspor hsil hutan hanya 18% dari nilai total ekspor sektor industri (Gambar 3).
a,m
5::
....
-
n*l
.-,.
..
.. . . .
"'
3 n,+. I,*>
IS*
L
-
I
3.3. Stmktur inductri perka~uannasional, yang telah '",-----------7-T-A didominasip/yuooti, re!& bedin dengan dukung;m * *: * r -,6,.,U--,.r-r....W ct~do,umcn~~/jr~or.i selama hampir 20 tahun. Ddam lima tahun terakhir s t m h r industri nasional telah bembah. Kini perbandingan daya serap bahan baku dari HPH dan HTI untuk pbwood : .tzl~,mi//+rvoohrking+hilir : pulp/kemas = 28 : 22 : 504. Pemerintah tidak kebijakan khusus ymg ikut mempengaruhi pembahan struktur industri perkayuan nasional, kecuali unruk industri pulp/kenas melalui pembangunan hutan tanarnan. Perubahan tsb lebih diakibatkan oleh mekanisrne pasar. Kebangan bahan baku bagi industri p~wootld m tenedianp bahan baku bagi industri pulp/kemas menjadi faktor penentu. Adapun perkembangan industri .~~uwm~ll, woudworhtg dan hiir perkayuan disebabhn oleh tingginya c/rmunr/dal& dan Iuar negeri. 3.4. Data rahun 2002 menunjukkan bahwa kapasitas ijin seluruh industri sebesar 24 juta M3/th, sedangkan kapasitas terpasangnya sebesar 17,3 juta M3/th. Distribusi kayu bulat di dalam negeri pads tahun 2002, 22% untuk kayu gergajian, 28% untuk kayu lapis dan 50% unmk kayu pulp. Selama periode 1990 - 2002 rata-rata k o n s m i kayu bulat di dalam negeri sebesar 40 iuta m3. d m dalam tahun 2002 sebesar 33 juta m3. ~eleluruhL y u bulat yang diohh di dalam negeri 58% digunakan unruk konsumsi di dalam ,, negeri.5 ,:. - .&. -" 3.5. Sumber kayu bulat itu sendiri telah bergeser. Setelah ,. tahun 2000, jumlah kayu dari HTI sudah melebii pasolan dari kayu hutan alam (Gambar 4). Tenru saja, " jumlah pasokan tersebut bedasarkan angka resrni yang " * : - w . * e tercatat oleh Departemen Kehutanan. Kondisi riil di lapangan diperkirakan masih didorninasi oleh pasokan k a ~ udari hutan dam. t!
+*I
',.
'Thorns Waggrnrr. K h v n v v d i h h d . Nmr, J&
*"I_ * . I
Tauri 20M. Srntcgm for t b Dmbpmra of S u n r L u b d i ~ y W d B dInlurrrk m Inbncrb. Indonrsi*:TTO Pmjm, ITTO I'D 85/01 Rrv.70). Exrmrkc Summary Comb Trchnul Rrpon. MOF-ITTO. %or Indoresit. ' Tho- W a ~ n r r Khmurudin . Mohd. Nmr, &J T i . 2034. S& lor the h b p m m of Swimability W d B a s d lndustrk in ldcllvrb. ImionrritlTTO Pro+, ITTO PD 85/01 Rn.20.Exnucn+ Surmmry Comultant Technical R~pon.MOF-ITTO. Bogor. I n d o m l .
DISKUSI ARAH PEhfBANGUNAh' SEXTOR KEHUTAh'Ah' Pnrrrr Rencnna Kcbwoman Ba&n Plarologi Krbwonna &n Duhmn~anMFFDrpbur D T m
kelembagaan utamanp menyangkut s t a m hutan negan dan kepastian usaha
Pemanfaatan Kawasan Hutan 3.7. P e m f a a t a n kawasan hutan sejauh ini sudah sarnpai di luar konteks penataan kawasan
3.8. Kurangnya informasi tentang perubahan
hutao menjadi komoditas lainnp, menyebabkan peristiw ini belum pernah dikaji secan mendalam Kenptaan dari sini menunjukkan bahwa pemerintah yang masih l e b i mengandakan aspek legalitas dalam mempertahankan status hutan negara, di berbagai wilayah, telah dikalahkan oleh perkembangan ekonomi yang senantba mengkonveni hutan menjadi bentuk penggunaan lain.
Pemanfaatan Non Kayu dan Jasa Lingkungan 3.9. Perhitungan terbaru ..tentang seluruh manfaat ekonomi hutan menunjukkan b a h w nilai kayu sekitar 26% - 29%, sementm itu manfaat non kayu sebesar antara 11% - 23%, k e d m p sanga: tergantung dari fungsi hutannp (Tabel I). Pengetahuan tenebut menunjukkan haLhal sebagai berikut: - Sistem pengelolaan sumberdap hutan saat ini belum dapat memanfaatkan - lhl tenebut diiebabhn pula olch kebijakan nasional, yang tidak memperhitungkan jasa hutan y;tng berupa jasa Lingkungan sebagai bagm dari ukuran kine rja pembangunan.
rn-n
DISKUSI ARAH PGUBANGUNANSEKTDR KLHmANAN
----Kornposisi penggunaan bahan baku oleh holding, pasar bebas legal d m m a k r i kayukayu illegal sebesar 30:10:60. 4.4. Apabila dipetakan secara nasional, hubungan Pemerintah, Pernda, pengusaha, dan mas)arakat dapat rnengikuti skerna pada Gambar 8. Hubungm keempat pihak yang dianggap sentral dalam upaya pengendalian produksi tersebut dapat rnengikuti kornbinasi antara setuju dan tidak setuju terhadap tujuan pengelolaan hutan produksi, sena setuju dan tidak setuju terhadap cara yang akan diternpuh. Maka dapat diklasifiiikan menjadi tiga kelompob, yang mana setiap kelornpok rnemerlukan kebijakan yang berbed~bedauntuk rnenyelesaikan masalah-masalah hubungan pemerintahan yang ada. 4 5 . Kelornpok pihak-pihak y y g sepakat tujuan, dalam situasi saat hi, mash sangat tehatas, diprkirakan sekitar ZOYo7. Dari kelompok ini yang telah sepakat baik tujuan maupun card bagaimana hutan produksi dikelola dan dikendalikan produksinya, hanya 5%. Terhidap kelompok yang terakhir ini, upaya yang dilakukan relatif paling rnudah, yaitu dengan menjalankan ketentuan-ketentuan rnanajemen hutan. Yang perlu ddaldan pemerinth adalah memperkuat kondisi yang telah ada dan menjalankan kebijakan bagi usaha kehutanan yang sifatnya mernberi insentif bagi unit manajemen, sehingga pmduksi dapau dikendalikan dan produluivitas hutan alam dapat ditingkatkan. Sedangkan kelompok yang sepakat tujuan namun tidak sepakat cara yang perlu diternpuh adalah dengan rnelakukan kornunikasi untuk rnendapat input bagi kernungkinan alternatif kebijakan pengelolaan hutan produksi di witayah ini. 4.6. Pendekatan kebijakan di atas didasarkan pada suatu kenyataan bahwa kebijakan yang
47.
bersifat instruksional terbulcri tidak berjalan &hat Tabel 3). Aspek legalitas menjadi kehilangan daya k e d a a t a n , bah!! rnungkm daya keadilannya; meskipun di lapangan juga sangat banyak tejadi pelanggaran terhadap kebijakan nasional yang dilakukan bukan untuk kepentingan daerah atau kepentingan orang banyak, n'amun lebih sebagai usaha untuk memperjuangkan kepentingan individu danlatau kelornpok (rrnr .rre&n~ 6 c I w t . i r ~ r j ' . Banpknya pelanggaran untuk kepentingan individdkebrnpok tersebut berbalik mengeliminasi argumen kemanfaatan dan keadilan sebagai alasan melakukan pelanggaran. Sebab argumen seperti itu tidak selayaknya d i m a n f a a h untuk kepenuingm individdkelompok ~enyataan-kenyataandi atas rnenunjukkan b a h w upaya pengendalian produksi kayu bulat, yang secara teknis dapar dilakukan dengan pendekatanpendekatan rasional menggunakan SEPAKAT TDK TUJUAN SEPAWT insuumen rnanajemen hutan hanya akan efektif di wilayah yang sernpit. Dan untuk mernperluas . SE- psndrc.bn rmbon*wilayah itu yang diperlukan adalah pendekatanPAKAT pendekatan instirusional khususnya hubungan Mw p e m e ~ t a h a n yang lebih luas. Bagaimand 5% lu* dm pendekatan yang terakhir ini &pat berjalan CI. tergantung di satu pihak, hubungan-hubungan hhlnpl SE- 1n.lllE"w antar sekror, dan di pihak lain sangat tergantung PAKAT I ~ L I { / ~ ~ J . / Jsetiap ~~I lembaga, temtama lernbaga 15% 80% p e r n e ~ t a h(daerh) .
D~lrm hrl ini d i r w p tidrkdimungliinlun r&np lvlompok prig t i i k rnub trrtutbp tupun t a p i rouju ~ r A d upr a yn!: r h n d~vnlpuhdtl.au F~grlotumn h u ~ palubi. ~n ' Pcnimboqon C n u i L p n p LID hrril d i h i d c n y n s o h sau peywoi di E k p n c m n lichutoru~t .Menutit b 5 , mar ink;!: m m p u n p i dua pengenln, p h : pe-, pngusd-u p n g m t i o n renw jang odo l u ~ w kchijolun
'
pcmrinwh dcnpn m u penyapan kcp=&p h i auu biroknt; d m Mu,polirii rrw hlrukror jnng mnrari rentr t e h o k h swasu dengm m n g a n c m pmgusd-u dengon regului p n g d d h&luel L b s . 2001. op c i .
DISKUSI A R A H P E h 4 B A N G U N A N S E K m R KEHUT.4h'A.h' MI Rrncana Krlr,ttannn Badan Plnnologi Krlrnrauna dan Dnk~*n.fnnMFP.F-Drpb*t Xm,I
?an;:
E konorni Biaya Tinggi 4.8. I'asar internasiond tertentu yang rnensyaratkan penggunian bahan baku berserrifikat ekolabel telah rnulai menjalankan s e r r i f i i i CoC, n m u n pelaksanran hi tidak cukup rnernberikan insentif j ~ k adibandhgkan dengan banyaknya pewdamn kornoditas perkayudn u n o a serrifiit G C Pemerintah daerah selama ini rnendapat manfaat ekonomi baik bagi " pendapatan daerah maupun serapan tenaga keja, narnun k e b i j h n pernerintah daerah yang secara nyata rnernberikan layanan kelangsungan usaha sangat minimal atau bahkan tidak ada, bahkm beban s t r u h r a l pemerintahan )ang tidak efisien rnasih cukup berat diunggung sektor industri @abet 4).
-. 1 abet 3. Kelernbagaan dan Kinerja Pernegang ljin P e w f a a t a n Huran A l m
Sumbrr: Diobh & plblikad ICW &I Grwwmirs; Imhmeria !- W i
T a b e l 4. Biaya P d u k s i dan Trans&i Beberapa Industri E b p o r , 2003
a
MR*N
awr
a P.SP.DFI
DISKUS1 ARAH PEWEXNGUNAN SEKIDR KEHUTAh'Ah' Pnwr R c m w K t b u t a m r &I&r Plnroloxi K t b n I a ~ n&a D n k n q a r MFP-Dcpbnr
178
4.9.
Secara teknis, kemakan hutan h produksi disebabkan oleh penebangan kayu melebii
p e ~ b u h a nhutan, yang pada &ya membawa damp& negatif bagi ekologi dan lingkungan. Narnun keputusan nknis teaebut sangat tergantung pada aspek-aspek finansial, sosd, rnaupun institusional Masalahnmrahh sosial dan institusional dapat mempenganh aspek fmansial,dalam ha1 ini berpengaruh langsung terhadap penarnbahan biaya produksi. l h t u k rnenghmdari b i produksi per 1x13yang tinggi, salah sam cara yang diternpuh adalah menambah produksi kayu bulat. Jika kondisi demikian tejadi, maka penerapan kebijakan-kebijakan teknis dan manajemen hutan untuk menganu pelestanan pasti tidak dapat bejalan. Kondisi di lapangan berikut rnenunjukkan buruknya s i w i institusional pemerintah~yang menunjukkan bahwa kebijakan-kebijh teknis udak lagi mampu mendomng perubahan. 4.10. Pertama, hubungan institusional pemeritahan saat ini belum marnpu mewujltdkan kesamaan langkah bagahma hutan produksi dikelola dan dikendalikan produksinya. Angka-angka dalam Tabel 2. di atas menunjukkan bahwa secara nasional produksi kayu yang dikonsumsi industri perkayuan lebih d a i 40% bemal dari ijin-ijin Bupati sena lelang dari penangkapan rhgaI bait& yangmana kedua sumber ini sebenarnya tidak dapar dikontrol Departemen Kehutanao. Di lapangan, produksi ini dapat diambi dari kawasan hutan yang masih dikelola oleh HPH, bahkan dilakuh di hutan lindung , maupun kawasan konservasi 4.11. Kedua, ~ n g u s a h a a n huran telah lama bergehx dengan s'ba*4 ekonomi biaya tin& yang terhitung sebagai biya transaksi sebesar 12%-13% dari biaya total produksi per m3 (Tabel 5). Disamping itu, pungutan-resmi $ang d i b a k j~~a'ditambah dengan pungutan-pungutan yang d i i o h h Pemda dan rnas)arakat, sehingga mengarnbii poai antara 379646% dari .CspCd! =t.p, W L ? total biaya produksi per m3. 4.12. Ketiga, implikasi dari k e t i i a s t i a n kebijakan pengelolaan hutan sena ungginya biaya tmsaksi yang h a m ditanggung ohh usaha kehutanan, telah mengakibarkan bangkrutnya usaha HPH. D h Gambar 9. ditunjukkan bdny~'daritahun 1998 sampai April 2004, jumlah L-IPHyang tidak bempemi per rata-rata 35 pemahaan.
Tabel 5. Biaya Produksi dan Transaksi Pengusahaan
4.13. Namun demikian, kebangkrutan tersebut ti&
&pat dilihat sebagi fenomena lima uhun belakangan ini. Perhitungan untuk mengetahui produksi kayu bulat yang tidak dilapork~n dari tahun 1977 sampai tahun 1998 menunpkkan bahwa selama periode tersebut m a - r ~ t a pmduksi kayu bulat dari FIPH yang tidak dhporkan sebesar 12,8 juta m3 per tahun (Kartodiiadjo, 2002). Realitas tersebut mcnunjukkan bahwa pengusaha HPI-I sendiri juga telah melakukan pengurasan sumbedaya hutan melebiii jatah tebangan yang ditetapkan pemerintah cukup lama, sehingga menyetnbkan kebangkrutannya saat ini.
Ukuran Kinej a Pernbangunan 4.14. Sejauh ini belurn ada valuasi ekonomi reAadap nilai guna tidak langsung dari sumberdap huian. Kenyaum dernikian ini relah mernberikan kesalahan dalam rnenilai peran sektor kchutartan bagi ekonomi nasional. Pendapatan nasional dari sehor kehutanan, misalnp, diperhitungkan sebesar Rp. 8,7 trilyun pada tahun 2000 d m terus rnenurun menjadi Rp 1,3 rrilyun pada rahun 2003 (BPS, 2004). Demikim pula sumbangan sekror kehu~anan terhada~GDP harga yang berlaku dalam sepuluh d u n rerakhir sebesar 3J5O/o. Penurunan pendapatan dari sekror kehutanan d m kecilnya perm sehor kehutanan terhadap GI)P telah rnernberikan opini yang cukup kuat bahwa sehor kehutanan ridak lagi penting d~lam rnenopangpzrnbangunan ekonomi. 4.15. 1)aIarn pengarnbilan ,kepumsan rnengenai konveni maupun penggunaan kawasm huun juga dipengaruhi oleh kesalahan mernpeAiwngkan manfaat hutan di aras. h4isalnya p n g tejadi di Kabupaten Karimun yang merupakan kabupaten dengan kesatuan ekosistem pulau di Propinsi Riau. Di saw sisi pertambangan menjadi sumber penghasilan bagi Pernda yang cukup berarti, rerapi nilai lingkungan yang hdang &bar perrambangan itu ridak terbayar oleh pendapatan langsung yang diterima oleh Pemda dari sehor perurnbangan (LihatBox 1.) Box 1. Kzrus Pcmrnbangan di Hutan Lindung di P u b u brirnun. R L u Penn perurnbangan & PDRB per d u n di Kabuplun K a r k m . RLq p e d uhun iOXL2W2 s e k s ~ r20%). p d n I8'!6, indurui kv;k dan bmgunm 13%. penlagangan, hue1 &n r e s ~ o n n3%. penpngkuun. Luwngzn &n ksa L i m p . IPX, (ICarimun D h A*. 2002). L h h pandangan ckonomi Lngkungan, a n g k ~ - a g k rdi Jrrs od& mnggunbilrlun penn w h o r ylng &rump, kanma fungsi h-an lindung ylng ada wwlul; d a k dlprrhhnglon. HJhu dayah p h u scpeni Pdau Karimun sap w r k o h i & q p n habaa1 hi& leupi jugr nr& lingkung~n Irhmm dengan p x p n i species e r d c d p n g kbib ringgi b b d i b d q h &nganpuLu koruinrn K m k e r i s i i bi>leih Pulau Karimun p n g n r n o n p l p k (I) ang glop an air p n g w h a m &n swnknla#cadangan air ouar p u g u n g a ~re& dm u h a u r ; (2) p e h d m renun rr&p h h r g a i w l u m dan p e n g a d elcnerml hib a l m i n n u p akiba~kcgLun nunuria, wpeni b d r i dm gelombang besar w r u pemnnnn, (3) wjunhh besar jenkjair (&me) e d e m i k &n kcanelwrapnun ylng r i p i &n bermti rin%gi (Ongkorongo, C5K 1998). PuLu Karimun dengan hur 27500 HJn r n p v ~ y r ihuun W u n g w b g a i k a w m lindung sckiur lOYb drri luas puLq piru reluas 2.818 Ha. M e w hil s w a i LPM I1B (2002). huun lindwg gunung Katiuun d & p m d k i 8 lunpi, piru: 1. % b p i &enh m a p air. 2. Sebagai pelindung bou !cxhm &n &a di dalamnp drri wrfaan angin, 3. P e M u n g &ri ~ e l u r u d g e b m b m gwru. n r n c e y h i o m i air la115 4. S i n k 4 budap r q o r a k a t dengan ~ b n Gunung ~ a kina &n J a m n , 5. Lokasi s a m dan p n s a n m penrrinuh, 6. Kawkau 1Lm.7. Temp1 Ireanelunganun h ~ i i &n 8. S d r pendap~unm s y d u ~ baik labagrung nnupun Lngrung. D e w n mrujuk brhenpa d e w m i t e n u q niLi huun p n g wlah a&. pe&n fungi huun W u n g Gunung Kuirmn d i s a j i n dalam Tabcl6. Tabcl6. P e h b g a n ( ! p v t m ~ , / r(nil Perrambangan di Hm+n L;ndung Gunung K a r h m
-
a
WICMT
'nCHm,
I
-
n.a. tidak dikediui Senmnun iru dikcm'1ui bahwa p e d p a u n &enh &ri rojdri FT.& K Gmicc dikcuhui nusing-nnsing rehsar Rp 4 3 +di @un 2000, Rp 557 m3yYdi diu 2001. Rp 558 ndprdidiu 2002, Rp 4.14 dyardi d u n 2003. N h m& v a dmemkb ~ ~ Kabumwn KuLRln oer d u n wrwbur s e h SO% dui & minkun a u u s e k r 20% ddri ruLj
hlum wmpruk b;il & n d a p u n I&& d a k Lngrung ).mg &mkh w ) & r hui huun lindungyerrebur Tdak dikakukikurnyl && hgkmgsn. sard dm budayl, dui khn& huun L n d q rnenpdilun peq.amhlln pendeb &rP, hail b n m g u r & f i i d bagi p e i g G l u ~.UI k p m a n a h ,nmgurh p&k p i t u r i n u s p n k a ~s u uu ~ &rinn d e w mngorb+nlon hbutuhan rmsyu+lu~ hur di m a ).mg d u n h u n g . Selanju~npiuga penring d k d u i dui kunNngan pngh p e d w n e b u ~i p a whemnyr ylng pPlrng dnurnrnglun dan s i a p ~p n g paling dmrgrkn Aollsis ini &I& s a q i &pat mnjauab peluny+m ini w q i vcan unum &p dkuIlplr&m b l h w perurnbugan di huun lindung k b i banyak m n p m q k m Lrpmhgan pemdar~~.,& m r r p n l u ~ Iw, Irhurunn nne di PuLu KuLmra
DISKUSI ARAH P M B A N C U N A N SEKTDR KEHUTANAN Puur R m u n o Krbu~asonBa&n Plnnofogi Kcburonam &n D d u n g o n MFP.Dgbur R)sKsNHIT-MPUN
OTWl
'.wp.DH
180
kelembagaan utamanp menyangkut s t a m hutan negan dan kepastian usaha
Pemanfaatan Kawasan Hutan 3.7. P e m f a a t a n kawasan hutan sejauh ini sudah sarnpai di luar konteks penataan kawasan
3.8. Kurangnya informasi tentang perubahan
hutao menjadi komoditas lainnp, menyebabkan peristiw ini belum pernah dikaji secan mendalam Kenptaan dari sini menunjukkan bahwa pemerintah yang masih l e b i mengandakan aspek legalitas dalam mempertahankan status hutan negara, di berbagai wilayah, telah dikalahkan oleh perkembangan ekonomi yang senantba mengkonveni hutan menjadi bentuk penggunaan lain.
Pemanfaatan Non Kayu dan Jasa Lingkungan 3.9. Perhitungan terbaru ..tentang seluruh manfaat ekonomi hutan menunjukkan b a h w nilai kayu sekitar 26% - 29%, sementm itu manfaat non kayu sebesar antara 11% - 23%, k e d m p sanga: tergantung dari fungsi hutannp (Tabel I). Pengetahuan tenebut menunjukkan haLhal sebagai berikut: - Sistem pengelolaan sumberdap hutan saat ini belum dapat memanfaatkan - lhl tenebut diiebabhn pula olch kebijakan nasional, yang tidak memperhitungkan jasa hutan y;tng berupa jasa Lingkungan sebagai bagm dari ukuran kine rja pembangunan.
rn-n
DISKUSI ARAH PGUBANGUNANSEKTDR KLHmANAN
----Kornposisi penggunaan bahan baku oleh holding, pasar bebas legal d m m a k r i kayukayu illegal sebesar 30:10:60. 4.4. Apabila dipetakan secara nasional, hubungan Pemerintah, Pernda, pengusaha, dan mas)arakat dapat rnengikuti skerna pada Gambar 8. Hubungm keempat pihak yang dianggap sentral dalam upaya pengendalian produksi tersebut dapat rnengikuti kornbinasi antara setuju dan tidak setuju terhadap tujuan pengelolaan hutan produksi, sena setuju dan tidak setuju terhadap cara yang akan diternpuh. Maka dapat diklasifiiikan menjadi tiga kelompob, yang mana setiap kelornpok rnemerlukan kebijakan yang berbed~bedauntuk rnenyelesaikan masalah-masalah hubungan pemerintahan yang ada. 4 5 . Kelornpok pihak-pihak y y g sepakat tujuan, dalam situasi saat hi, mash sangat tehatas, diprkirakan sekitar ZOYo7. Dari kelompok ini yang telah sepakat baik tujuan maupun card bagaimana hutan produksi dikelola dan dikendalikan produksinya, hanya 5%. Terhidap kelompok yang terakhir ini, upaya yang dilakukan relatif paling rnudah, yaitu dengan menjalankan ketentuan-ketentuan rnanajemen hutan. Yang perlu ddaldan pemerinth adalah memperkuat kondisi yang telah ada dan menjalankan kebijakan bagi usaha kehutanan yang sifatnya mernberi insentif bagi unit manajemen, sehingga pmduksi dapau dikendalikan dan produluivitas hutan alam dapat ditingkatkan. Sedangkan kelompok yang sepakat tujuan namun tidak sepakat cara yang perlu diternpuh adalah dengan rnelakukan kornunikasi untuk rnendapat input bagi kernungkinan alternatif kebijakan pengelolaan hutan produksi di witayah ini. 4.6. Pendekatan kebijakan di atas didasarkan pada suatu kenyataan bahwa kebijakan yang
47.
bersifat instruksional terbulcri tidak berjalan &hat Tabel 3). Aspek legalitas menjadi kehilangan daya k e d a a t a n , bah!! rnungkm daya keadilannya; meskipun di lapangan juga sangat banyak tejadi pelanggaran terhadap kebijakan nasional yang dilakukan bukan untuk kepentingan daerah atau kepentingan orang banyak, n'amun lebih sebagai usaha untuk memperjuangkan kepentingan individu danlatau kelornpok (rrnr .rre&n~ 6 c I w t . i r ~ r j ' . Banpknya pelanggaran untuk kepentingan individdkebrnpok tersebut berbalik mengeliminasi argumen kemanfaatan dan keadilan sebagai alasan melakukan pelanggaran. Sebab argumen seperti itu tidak selayaknya d i m a n f a a h untuk kepenuingm individdkelompok ~enyataan-kenyataandi atas rnenunjukkan b a h w upaya pengendalian produksi kayu bulat, yang secara teknis dapar dilakukan dengan pendekatanpendekatan rasional menggunakan SEPAKAT TDK TUJUAN SEPAWT insuumen rnanajemen hutan hanya akan efektif di wilayah yang sernpit. Dan untuk mernperluas . SE- psndrc.bn rmbon*wilayah itu yang diperlukan adalah pendekatanPAKAT pendekatan instirusional khususnya hubungan Mw p e m e ~ t a h a n yang lebih luas. Bagaimand 5% lu* dm pendekatan yang terakhir ini &pat berjalan CI. tergantung di satu pihak, hubungan-hubungan hhlnpl SE- 1n.lllE"w antar sekror, dan di pihak lain sangat tergantung PAKAT I ~ L I { / ~ ~ J . / Jsetiap ~~I lembaga, temtama lernbaga 15% 80% p e r n e ~ t a h(daerh) .
D~lrm hrl ini d i r w p tidrkdimungliinlun r&np lvlompok prig t i i k rnub trrtutbp tupun t a p i rouju ~ r A d upr a yn!: r h n d~vnlpuhdtl.au F~grlotumn h u ~ palubi. ~n ' Pcnimboqon C n u i L p n p LID hrril d i h i d c n y n s o h sau peywoi di E k p n c m n lichutoru~t .Menutit b 5 , mar ink;!: m m p u n p i dua pengenln, p h : pe-, pngusd-u p n g m t i o n renw jang odo l u ~ w kchijolun
'
pcmrinwh dcnpn m u penyapan kcp=&p h i auu biroknt; d m Mu,polirii rrw hlrukror jnng mnrari rentr t e h o k h swasu dengm m n g a n c m pmgusd-u dengon regului p n g d d h&luel L b s . 2001. op c i .
DISKUSI A R A H P E h 4 B A N G U N A N S E K m R KEHUT.4h'A.h' MI Rrncana Krlr,ttannn Badan Plnnologi Krlrnrauna dan Dnk~*n.fnnMFP.F-Drpb*t Xm,I
?an;:
4.9.
Secara teknis, kemakan hutan h produksi disebabkan oleh penebangan kayu melebii
p e ~ b u h a nhutan, yang pada &ya membawa damp& negatif bagi ekologi dan lingkungan. Narnun keputusan nknis teaebut sangat tergantung pada aspek-aspek finansial, sosd, rnaupun institusional Masalahnmrahh sosial dan institusional dapat mempenganh aspek fmansial,dalam ha1 ini berpengaruh langsung terhadap penarnbahan biaya produksi. l h t u k rnenghmdari b i produksi per 1x13yang tinggi, salah sam cara yang diternpuh adalah menambah produksi kayu bulat. Jika kondisi demikian tejadi, maka penerapan kebijakan-kebijakan teknis dan manajemen hutan untuk menganu pelestanan pasti tidak dapat bejalan. Kondisi di lapangan berikut rnenunjukkan buruknya s i w i institusional pemerintah~yang menunjukkan bahwa kebijakan-kebijh teknis udak lagi mampu mendomng perubahan. 4.10. Pertama, hubungan institusional pemeritahan saat ini belum marnpu mewujltdkan kesamaan langkah bagahma hutan produksi dikelola dan dikendalikan produksinya. Angka-angka dalam Tabel 2. di atas menunjukkan bahwa secara nasional produksi kayu yang dikonsumsi industri perkayuan lebih d a i 40% bemal dari ijin-ijin Bupati sena lelang dari penangkapan rhgaI bait& yangmana kedua sumber ini sebenarnya tidak dapar dikontrol Departemen Kehutanao. Di lapangan, produksi ini dapat diambi dari kawasan hutan yang masih dikelola oleh HPH, bahkan dilakuh di hutan lindung , maupun kawasan konservasi 4.11. Kedua, ~ n g u s a h a a n huran telah lama bergehx dengan s'ba*4 ekonomi biaya tin& yang terhitung sebagai biya transaksi sebesar 12%-13% dari biaya total produksi per m3 (Tabel 5). Disamping itu, pungutan-resmi $ang d i b a k j~~a'ditambah dengan pungutan-pungutan yang d i i o h h Pemda dan rnas)arakat, sehingga mengarnbii poai antara 379646% dari .CspCd! =t.p, W L ? total biaya produksi per m3. 4.12. Ketiga, implikasi dari k e t i i a s t i a n kebijakan pengelolaan hutan sena ungginya biaya tmsaksi yang h a m ditanggung ohh usaha kehutanan, telah mengakibarkan bangkrutnya usaha HPH. D h Gambar 9. ditunjukkan bdny~'daritahun 1998 sampai April 2004, jumlah L-IPHyang tidak bempemi per rata-rata 35 pemahaan.
Tabel 5. Biaya Produksi dan Transaksi Pengusahaan
4.13. Namun demikian, kebangkrutan tersebut ti&
&pat dilihat sebagi fenomena lima uhun belakangan ini. Perhitungan untuk mengetahui produksi kayu bulat yang tidak dilapork~n dari tahun 1977 sampai tahun 1998 menunpkkan bahwa selama periode tersebut m a - r ~ t a pmduksi kayu bulat dari FIPH yang tidak dhporkan sebesar 12,8 juta m3 per tahun (Kartodiiadjo, 2002). Realitas tersebut mcnunjukkan bahwa pengusaha HPI-I sendiri juga telah melakukan pengurasan sumbedaya hutan melebiii jatah tebangan yang ditetapkan pemerintah cukup lama, sehingga menyetnbkan kebangkrutannya saat ini.
4.16. Kabupaten Kanrnun yang hanya menenma pendapatan dan sector penambangan selutar 20% - 50% dari seluruh kehilangan nilai ekonomi (totul ervnomrc wIue) huran lindung yang ditambang adalah bagian dan tekanm p e m e ~ t a hpusat yang secan srrdural ham, diterimag. Kenyataan demikian ini hanyalah salah satu contoh fenomena yang dihadapl Pemda yang telah berupaya unrk menrimbangkan pemanfaatan sumberdaya alamnyal010, namun menghadapi tekanan politik ekonomi yang belum dapat d~can solusinya. Dan p e m e ~ t a htetap akan terus menguras sumberdaya dam apabila ukuran b e y pembangunan tidak memasukkan nilai-nilai mtangrbk dan sumberdaya dam. P e n m a n semu pendapatan pemerintah dari sumberdaya darn (Garnbar 10 dan 11) mengakibatkan mudahnya jastifikasi untuk mengebploirasinya.
Kcbijakan Pemcrintah 4.17. Dalam Tabel 7. berikut disajikan ringkasan telaah analisis kebijakan 8 bldang (54 peraturan) yang berbitan dengan pengelolaan dan usaha kehutanan. Dari has11 telaah ke 8 bidang tersebut dapat ditunjukkan mengapa kebijakan pengelolaan hutan produks~kurang efehd, yaitu: m m
B u
rn
10
1899i210
ncc
at r
-MqJL--b.---Wmu,--
2012
am3
-.lambang-Pcrllann
Garnbar 11. Perkembangan Pendapatan Pemerintah dariSumberdaya Alam, 1996 - 2003
---- R p k D m ~ . b h-Palah
Inl'l-SOA
-LabaBlhlIl
------PI=
Garnbar 10. Perkernbangan Pendaparan Pemerinrah, 1996 - 2003
' Perpu N >1 / 2 W
tanggal I 1 h4am1 2004 tentug Pembaban aus UU No 41/1999,1ahu d m s e k l u m daetul~uDI'R ~ r l pull ~ h drundA Lnjuu &ngm Kepprcs No 41/1999 tanggal 12 &I2004 y q m n e w p k v l I3 p z n u h r a n u m b m g dl h u m Imdun: 1 t 1IF kmpers~ '6 Ddarnsrrmrur srhrn png d d A h n & G d u n g & w d Tanjungbdq K r m , 24 Me1 2004,Peda Ranrnun r w n m w l u n h ~ h pcnr&nyn ~ e h t b dl r h r u n Lndung heaLLinp &nulun, rp+lgrj d u p z n ~ m b ~ rersebur n ~ ~ n d u n d ~ l A t l l o nd e n g ~ n mnghrnctulun Gunung Jrnlan dm Gunung &urn sena s m hudap hemp P m s r r Pxsu tang m n r d r r~rnholh ~ mg \ )~~ m l u ~ K~runun
DISKUSI ARAH PLHBANCUNAN SEK7VR KEHUTANAN hut Rrncana Kcbwraum Badan Pl.nolop Kebwuwan I n Dukrtngan MFP-Dtphat FUSRNHJI U ? U N DtPHJl
HFP
"'
~
4.16. Kabupaten Kanrnun yang hanya menenma pendapatan dan sector penambangan selutar 20% - 50% dari seluruh kehilangan nilai ekonomi (totul ervnomrc wIue) huran lindung yang ditambang adalah bagian dan tekanm p e m e ~ t a hpusat yang secan srrdural ham, diterimag. Kenyataan demikian ini hanyalah salah satu contoh fenomena yang dihadapl Pemda yang telah berupaya unrk menrimbangkan pemanfaatan sumberdaya alamnyal010, namun menghadapi tekanan politik ekonomi yang belum dapat d~can solusinya. Dan p e m e ~ t a htetap akan terus menguras sumberdaya dam apabila ukuran b e y pembangunan tidak memasukkan nilai-nilai mtangrbk dan sumberdaya dam. P e n m a n semu pendapatan pemerintah dari sumberdaya darn (Garnbar 10 dan 11) mengakibatkan mudahnya jastifikasi untuk mengebploirasinya.
Kcbijakan Pemcrintah 4.17. Dalam Tabel 7. berikut disajikan ringkasan telaah analisis kebijakan 8 bldang (54 peraturan) yang berbitan dengan pengelolaan dan usaha kehutanan. Dari has11 telaah ke 8 bidang tersebut dapat ditunjukkan mengapa kebijakan pengelolaan hutan produks~kurang efehd, yaitu: m m
B u
rn
10
1899i210
ncc
at r
-MqJL--b.---Wmu,--
2012
am3
-.lambang-Pcrllann
Garnbar 11. Perkembangan Pendapatan Pemerintah dariSumberdaya Alam, 1996 - 2003
---- R p k D m ~ . b h-Palah
Inl'l-SOA
-LabaBlhlIl
------PI=
Garnbar 10. Perkernbangan Pendaparan Pemerinrah, 1996 - 2003
' Perpu N >1 / 2 W
tanggal I 1 h4am1 2004 tentug Pembaban aus UU No 41/1999,1ahu d m s e k l u m daetul~uDI'R ~ r l pull ~ h drundA Lnjuu &ngm Kepprcs No 41/1999 tanggal 12 &I2004 y q m n e w p k v l I3 p z n u h r a n u m b m g dl h u m Imdun: 1 t 1IF kmpers~ '6 Ddarnsrrmrur srhrn png d d A h n & G d u n g & w d Tanjungbdq K r m , 24 Me1 2004,Peda Ranrnun r w n m w l u n h ~ h pcnr&nyn ~ e h t b dl r h r u n Lndung heaLLinp &nulun, rp+lgrj d u p z n ~ m b ~ rersebur n ~ ~ n d u n d ~ l A t l l o nd e n g ~ n mnghrnctulun Gunung Jrnlan dm Gunung &urn sena s m hudap hemp P m s r r Pxsu tang m n r d r r~rnholh ~ mg \ )~~ m l u ~ K~runun
DISKUSI ARAH PLHBANCUNAN SEK7VR KEHUTANAN hut Rrncana Kcbwraum Badan Pl.nolop Kebwuwan I n Dukrtngan MFP-Dtphat FUSRNHJI U ? U N DtPHJl
HFP
"'
~
1
'I'abel7. Ringkasan Telaah Kebijakan Pengelolun dan Usaha Kehutanan MASNMAI-I
KEBIJAKAN
An:klin
Bdwn a& klrran htnm rlillkJi
Kerangka
',a
n bg;nuol
REKOMENDASI PEMBAHARUAN
nrar
prig d i L k & k r ~ z tK Akibnnp Pcmt brig mlmLprt inrrnd, tLnhtd lubihn pzlrjl yrni p m z p u l b n s a n potcxsi hmm ?an: &prt ditsabbn. ry I , a r l r , rbn
Umiun
hn%m ritwrt yutg &&pi
pcnn w a d pcngclulr 8-lh dlrd~lunpa& podrlutm mmurif m L l w Iroprrrri. Kcnn;Lu unum jvb. acrtri dngvl o ~ u u l r l ,lrntvl Irontmk rntsrr prrrrinth - p m a a h L L m
-. . .
-
I'erizinan dan I'engendalian
hha,&m prp,dcbd untuk rmn)rlalrhnny K&&n uu n+k &h -;bu~ prss + k a n i i S q t c h & homun Gmru unm m m a h d u &n hum
j
p km& m w n hh.Lut PI;~LIAJII 4 u i A 6ub ILb 4 12) U u n t w lvhurlon
Indusrri dan Tataniaga tlasil I-Iuran Kawasan
<mcdihudp,2034, op ch.
Kebijakan yang baik - normatif - tidak bejalan akibat di satu pihak rid& dipertimbangkannyasituasil 1, di pihak lain belum didukung oleh tata-kejall. birokrasi p n g efektif d m efisien. Dalam hal ini, kembali kepada ulasan sebelumnp, karena pemerintah belum mempunyai kerangka m u m Ct;cuncfvork) )ang jelas. I'enyusunan peraturan masih bermmpu pada isi peraturan diatasnya serta reaktif terhadap kasus-bus yang rejadi, sebaliknya belum meninjau akar masalah yang a h dipecahkan dengan rnelakukan inovasi kebijakan. H al ini menpbabkan di satu bidang rertentu peraturan cepat berubah (misal bidang prijii),di bidang &'I peraturan n tenebut belum tidak berubah (misal bidang kawasan hutan) m e s k ~ ~ uperaturan bejalan sebagaimana yang diharapkan. Perumusan kebijakan d i g g a p selesai manakala telah disusun peraturan p n g isinya sudah searah dengan tujuan. Misalnya kebijakan m u m tentang penetapan jarah produksi kayu secara nasional ($4hndins). Padaha berjalannya kebijakan tenebut sangat tergantung situasi tata p e m e ~ t a h a napakah mendukung atau tidak, serta norma 'I
Dalam phy unu.h.i~.kau .sinmi- mmpuuyi mlm. khurm. Yairu kcadaan ylng sehm p~riOdckbipkur tenebut k i & n , Ladam renebut cidak krubab auu *p.&k bcntbah MipLryr, koldiri perncrinuhan pug korup, mgpan b u y prig cllr tepat & hutan pog mcmpunp s d t o p r rwrir. & s u m s k i y+ng buw dpninbangkan daLm pemblucn kebiilbo - yang b* stntegi png wlab hi11 i dab k b @ h UISC~IZ Sinuri ad& I&, whingga d a k &pat dbsumikrn S n u u ~s a t ici miuloyl, mncabut NPHHR yrng buruk kinerjanp sebhpun juruu a h mcrurlk hutan, lvrcm sifat .pr. a i r u dari h u m Membuat Lrebijlkn ylnb sangat plajlag rmminp seru ylng diasurmilun bc+ b y a i h penywsmny k j L q jup alvn ygd, hmna sinusinp ~ m n d u l t u u g
I
pelaku yang terkena peraturan tersebut (layak atau tidak). Hal yang terdkhir ini belum secara ekspltit dipenirnbangkan dalam perurnusan kebijakan. I'ara penyusun kebijakan - khususnyd dalam pengesahan ijj-ijin - masih terperangkap dalam bias kepentigan, sehingga senantiasa menambah urusan yang hann ditanganinya. Banyaknya m a n ini mempunyai implikasi terbenruknya relasi b i k r a t pengusaha secara personal yang mendatangkan moral hazard dalam b e n d kolusi. Yang menjadi korban kemudian adalah nama serta kredibilitas p e m e ~ t a h(daerah) di mata masyarakat.
5. ARAHKEBIJAKANqKTORTERKAIT 5.1. Selwuh sektor yang terkair dengan kehutanan pada dasarnya berkaitan dengan kepentingan penggunaan lahan, penentu kebijakan ekonomi, keuangan, maupun perdagangan, seia mendayagunakan jasa lingkungan dari sumberdaya hutan seperti air, kesuburan tanah, energi maupun estetika lingkungan sebagai bagian penting dari pariwisata. Disamphg itu sektor kehutanan juga mempunyai kaitan erat dengan kebijakan pemerintahan yang rnenentukan kewenangan pusat dan daerah. Sampai sejauh ini keseluruhan sektor terkait tersebut mernpunyai kebijakan yang sangat eksploitatif terhadap s u m b e r d a ~ a!am termasuk hutan. 5 2 . Kamsan hutan negara yang ditetapkan sekitar 70% dari luas daratan di Indonesia telah membuat dominasi sektor kehutanan di beberapa wilayah, namun dernikian dominasi ini akhii-akhir ini rnenjadi pertanyaan banyak pihak, terutama dikaitkan dengan distribusi n d a a t yang tidak add, terutama manfaat langsung sumberdaya hutan bagi pemerinth daerah. Atas dasar demikian itu, perlindungan terhadap keberadaan hutan temp di dalam kawasan hutan negara dipersaingkan antara kedudukamya menurut legalius dari peraturan perundangan yang berlaku dengan keunggulan komparatifnya u n d penggunaan lain selain kehutanan. .. 53. Dalarn kaitan persaingan antar sektor tersebut, bahasa pembangunan yang secara k u t dikummdangkan sektor lain, seringkaL t i i rnendapat respon yang cukup d x i sektor kehutanan, karena bahasa yang digunakan oleh sektor kehutanan cenderung terbatas melingkupi aspek - aspek fiik seperti jumlah produksi, luas kawasan, d l . Sehubungan hd tersebur, maka faktor-faktor ekonorni seperti masalah ketenagakejaan perlu menjadi *a,a:an
Aw.2
cap
imrSJmb z r l
-.lOl-..lp~.-'-r~WLW"~IP
6. SKENARIOJANGKA PANJANG 6.1. Pemanfaatan secard berkelanjutdn dari sumberdaya hutan memerlukan pengendalian p n g sejahn dengan daya dukung hutm. Lemah-kuatnya pengendalian ini ditentuhn oleh beke rjanyd dua sistern sekdigus yaitu sistern pemerinthan yang menentuhn beke jlnya kebijakan ~ u b l i kdan pasar serta sistern sosial kemasyarakatan yang rnenentukan p e n g a h n hak, ke~ercayaan,serta apa yang dianggap baik dan buruk yang tumbuh di tengah-tengah milsyarakat. Digunakamya kedua sistem tersebut karena pengelohan sumberdaya hutan
DISKUSI ARAH PtNEANCUNAN SEKTDR KEHLJTANAh' P t ~ Rmcama t Krbttm"ntt E a L n PIn>,oIo~iKrbrtta*~nndan D ~ ~ L ~ t n gMFP-Dcphmt nn MWI
6.2.
~idaklahme~nilikisifat yang eksklusif sehingga hak dan ijin yang dibebankan kcpadanp ditentukan oleh sistem sosial yang berlaku di suatu wilayah dimana hutan rerscbut bcrada; Konsep yang digunakm tenebut dapat di;utikulasikan menjadi bentuk sknario kondiri huran aim1 dan tanaman akan yang menjadi basis sumbenumber pemanfaatan huran di masa depan (Gambar U). ApabL skenario tenebut dapat diterima, maka lakror-fakriror yang menentukan seberapa besar pemdnfaatan sumberdaya hutan di rnasa depan adalah: Komirmen polit&, pelaksanaan pemerintahan (pod und 'bun 4omrnrm~r)sena pelaktanaan desentraliasi yang dapat rnenentukan efelaivitas pengendalian ilk-$dl Iqggtrx, kchaL~ran hucan dan lahan, konveni hutan dam, sena terjadinya ouer ~urrmgdalam usaha khutanan yang se&ing bc jalan;
Cambar 13. Ske~ialioKondisi Hutan Alam dan Industri Perkayuan Keberhasilan pemerintah d h niel* transformasi sistem pengelolaan hutan secara nasional m u p u n pelaksanaan rehabiitasi hutan d m lahan sena termasuk percepatan pembangunan hutan m m ; Keberhasilan p e l a k s a n ~program restrukrurisasi kehutanan terutama yang b e r h i t ~ n dengan industri yang sudah tidak efisien dan yang menggunakan sumber-sumber b h a n baku kayu illrguf.
.
7. 7.1.
KAJIAN SEKTOR (SWOT) Untuk menentukan posisi pemanfaatan sumberdaya hutan saat ini ridak dilakukan bcrdasarkan andisis SWOT sebagaimana yang dilakukan untuk bisnis atau pnuatc phq, melainkan dilakukan bedasarkan sistem dan fakror p n g menentukan skenario Fernanfaatan sumberdaya hutan ke depan. Oleh karena itu, sejalan dengan pokok-pkok pernasalahan pemanfaatan sumberdaya hutan yang telah diuraikan dalam Bab 4, rnaka faktor penentu posisi penydaatan sumberdaya hutan nasional adalah sebagai berikut: A ~ p kPrmrrintuhon dun Pusor
Disinsentif ekonomi Hubungan Pusat-Daetah Ekonomi Biaya Tiggi Kebijakan P e r n e ~ r a h Ukuran Kineja Pernbangunan
B o k t (1-70)
6 8
7 8
5
A p r k Ikoton don jalinorr Josiul
Kelembagaan LoM Keadaan Ekonomi Masyankat LoM
@ RISRN"J1-MRIN
afwr
hwP Df'
DISKUSI ARAH PLUBANGUNAN S E K l V R KEHUTANAN PJ~w f i~ r ~ u* b r a n Bedam Plan010~K c b ~ r a r nMI D*k*m8an MFP-Drpbn
184
SKENARIO DAN KEBIJAKAN 20 TAHUN PENGEMBANGAN PEMANFAATAN SUMBERDAYAHUTAN, Oleh Hariadi Kanodihardio21. PENDAHULUAN 1.1. Secara umum telah diketahui bahwa hutan negara telah mengalami kerusakm dengan volume sangat besx dan kecepatan sangat tinggi. Berbagai sudut pandang dapat digunakdn untuk menjawab sebabsebab terjadinp kerusakan hutan tersebut. Dalam kajian ini dicoba sebabsebab terjadinja kerusakan sumberdap hutan dari sisi untuk mengem* ekonomi maupun kelembagaan; 12. Kedua sudut pandang tersebut menentukan arah dan skenario pemanfaatan sumberdaya hutan. h d a s a n yang digunakan, dengan dernikian. adalah u n s u r - w u r ekonomi nasional d m pasar yang menentukan tiiggi rendahnya permimaan kayu, sen? aturan main dan kebijakan serta kapasitas lembagalembaga pemerintah dalam pelaksanaan kebijakdn; 1.3. Uraian ini membahas identiiikasi siruasi dan kondisi makro nasional, permasalahan pokok d m isu strategis, arah kebijakan sekror terkait, lujian seluor, skenario janglu panjang, sena arah kebijakan dan suategi nasiond 2. 1'UJUAN DAN PENDEKATAN
2.1. Tersusun kajian dan gambaran obyluif situasi dan kondisi serta pernasalahan
22.
pemanfaatan sumberdaya hutan, perurnusan arahan mairo dan skenario pengembangan pernanfmtan SDH ke depan, serta sebagai sdah satu input dalam perurnusan rencdnd kehutanan jangka panjang. Pendekatan yang digunakan adalah melacukar? kajian terbadap data dan refelensi yang reldh tersedia. Pen& tidak melakukan pengolaha data khusus untuk kajian ini.
I'emanfaatan Kayu 3.1. Selama periode 1993-2002 peran kayu lapk masih dominan, yaitu sekitar 48% dari selilruh nilai ekspor. Namun muld tahuil ZOO0 peml h y u lapis telah digantikan oleh nilai ekspor kenas dan bahan-b,ahan dari kenas]. Selama periode itu pula kapasita terpasang indusrri pulp terus meningkat, sedangkan kapasita terpasag industri kayu lapis meskipun relatif terap namun realisasi produksi dan peran ekspor terus men& (Gambar 1 d m Gambar 2).
kelembagaan utamanp menyangkut s t a m hutan negan dan kepastian usaha
Pemanfaatan Kawasan Hutan 3.7. P e m f a a t a n kawasan hutan sejauh ini sudah sarnpai di luar konteks penataan kawasan
3.8. Kurangnya informasi tentang perubahan
hutao menjadi komoditas lainnp, menyebabkan peristiw ini belum pernah dikaji secan mendalam Kenptaan dari sini menunjukkan bahwa pemerintah yang masih l e b i mengandakan aspek legalitas dalam mempertahankan status hutan negara, di berbagai wilayah, telah dikalahkan oleh perkembangan ekonomi yang senantba mengkonveni hutan menjadi bentuk penggunaan lain.
Pemanfaatan Non Kayu dan Jasa Lingkungan 3.9. Perhitungan terbaru ..tentang seluruh manfaat ekonomi hutan menunjukkan b a h w nilai kayu sekitar 26% - 29%, sementm itu manfaat non kayu sebesar antara 11% - 23%, k e d m p sanga: tergantung dari fungsi hutannp (Tabel I). Pengetahuan tenebut menunjukkan haLhal sebagai berikut: - Sistem pengelolaan sumberdap hutan saat ini belum dapat memanfaatkan - lhl tenebut diiebabhn pula olch kebijakan nasional, yang tidak memperhitungkan jasa hutan y;tng berupa jasa Lingkungan sebagai bagm dari ukuran kine rja pembangunan.
rn-n
DISKUSI ARAH PGUBANGUNANSEKTDR KLHmANAN
----Kornposisi penggunaan bahan baku oleh holding, pasar bebas legal d m m a k r i kayukayu illegal sebesar 30:10:60. 4.4. Apabila dipetakan secara nasional, hubungan Pemerintah, Pernda, pengusaha, dan mas)arakat dapat rnengikuti skerna pada Gambar 8. Hubungm keempat pihak yang dianggap sentral dalam upaya pengendalian produksi tersebut dapat rnengikuti kornbinasi antara setuju dan tidak setuju terhadap tujuan pengelolaan hutan produksi, sena setuju dan tidak setuju terhadap cara yang akan diternpuh. Maka dapat diklasifiiikan menjadi tiga kelompob, yang mana setiap kelornpok rnemerlukan kebijakan yang berbed~bedauntuk rnenyelesaikan masalah-masalah hubungan pemerintahan yang ada. 4 5 . Kelornpok pihak-pihak y y g sepakat tujuan, dalam situasi saat hi, mash sangat tehatas, diprkirakan sekitar ZOYo7. Dari kelompok ini yang telah sepakat baik tujuan maupun card bagaimana hutan produksi dikelola dan dikendalikan produksinya, hanya 5%. Terhidap kelompok yang terakhir ini, upaya yang dilakukan relatif paling rnudah, yaitu dengan menjalankan ketentuan-ketentuan rnanajemen hutan. Yang perlu ddaldan pemerinth adalah memperkuat kondisi yang telah ada dan menjalankan kebijakan bagi usaha kehutanan yang sifatnya mernberi insentif bagi unit manajemen, sehingga pmduksi dapau dikendalikan dan produluivitas hutan alam dapat ditingkatkan. Sedangkan kelompok yang sepakat tujuan namun tidak sepakat cara yang perlu diternpuh adalah dengan rnelakukan kornunikasi untuk rnendapat input bagi kernungkinan alternatif kebijakan pengelolaan hutan produksi di witayah ini. 4.6. Pendekatan kebijakan di atas didasarkan pada suatu kenyataan bahwa kebijakan yang
47.
bersifat instruksional terbulcri tidak berjalan &hat Tabel 3). Aspek legalitas menjadi kehilangan daya k e d a a t a n , bah!! rnungkm daya keadilannya; meskipun di lapangan juga sangat banyak tejadi pelanggaran terhadap kebijakan nasional yang dilakukan bukan untuk kepentingan daerah atau kepentingan orang banyak, n'amun lebih sebagai usaha untuk memperjuangkan kepentingan individu danlatau kelornpok (rrnr .rre&n~ 6 c I w t . i r ~ r j ' . Banpknya pelanggaran untuk kepentingan individdkebrnpok tersebut berbalik mengeliminasi argumen kemanfaatan dan keadilan sebagai alasan melakukan pelanggaran. Sebab argumen seperti itu tidak selayaknya d i m a n f a a h untuk kepenuingm individdkelompok ~enyataan-kenyataandi atas rnenunjukkan b a h w upaya pengendalian produksi kayu bulat, yang secara teknis dapar dilakukan dengan pendekatanpendekatan rasional menggunakan SEPAKAT TDK TUJUAN SEPAWT insuumen rnanajemen hutan hanya akan efektif di wilayah yang sernpit. Dan untuk mernperluas . SE- psndrc.bn rmbon*wilayah itu yang diperlukan adalah pendekatanPAKAT pendekatan instirusional khususnya hubungan Mw p e m e ~ t a h a n yang lebih luas. Bagaimand 5% lu* dm pendekatan yang terakhir ini &pat berjalan CI. tergantung di satu pihak, hubungan-hubungan hhlnpl SE- 1n.lllE"w antar sekror, dan di pihak lain sangat tergantung PAKAT I ~ L I { / ~ ~ J . / Jsetiap ~~I lembaga, temtama lernbaga 15% 80% p e r n e ~ t a h(daerh) .
D~lrm hrl ini d i r w p tidrkdimungliinlun r&np lvlompok prig t i i k rnub trrtutbp tupun t a p i rouju ~ r A d upr a yn!: r h n d~vnlpuhdtl.au F~grlotumn h u ~ palubi. ~n ' Pcnimboqon C n u i L p n p LID hrril d i h i d c n y n s o h sau peywoi di E k p n c m n lichutoru~t .Menutit b 5 , mar ink;!: m m p u n p i dua pengenln, p h : pe-, pngusd-u p n g m t i o n renw jang odo l u ~ w kchijolun
'
pcmrinwh dcnpn m u penyapan kcp=&p h i auu biroknt; d m Mu,polirii rrw hlrukror jnng mnrari rentr t e h o k h swasu dengm m n g a n c m pmgusd-u dengon regului p n g d d h&luel L b s . 2001. op c i .
DISKUSI A R A H P E h 4 B A N G U N A N S E K m R KEHUT.4h'A.h' MI Rrncana Krlr,ttannn Badan Plnnologi Krlrnrauna dan Dnk~*n.fnnMFP.F-Drpb*t Xm,I
?an;:
4.16. Kabupaten Kanrnun yang hanya menenma pendapatan dan sector penambangan selutar 20% - 50% dari seluruh kehilangan nilai ekonomi (totul ervnomrc wIue) huran lindung yang ditambang adalah bagian dan tekanm p e m e ~ t a hpusat yang secan srrdural ham, diterimag. Kenyataan demikian ini hanyalah salah satu contoh fenomena yang dihadapl Pemda yang telah berupaya unrk menrimbangkan pemanfaatan sumberdaya alamnyal010, namun menghadapi tekanan politik ekonomi yang belum dapat d~can solusinya. Dan p e m e ~ t a htetap akan terus menguras sumberdaya dam apabila ukuran b e y pembangunan tidak memasukkan nilai-nilai mtangrbk dan sumberdaya dam. P e n m a n semu pendapatan pemerintah dari sumberdaya darn (Garnbar 10 dan 11) mengakibatkan mudahnya jastifikasi untuk mengebploirasinya.
Kcbijakan Pemcrintah 4.17. Dalam Tabel 7. berikut disajikan ringkasan telaah analisis kebijakan 8 bldang (54 peraturan) yang berbitan dengan pengelolaan dan usaha kehutanan. Dari has11 telaah ke 8 bidang tersebut dapat ditunjukkan mengapa kebijakan pengelolaan hutan produks~kurang efehd, yaitu: m m
B u
rn
10
1899i210
ncc
at r
-MqJL--b.---Wmu,--
2012
am3
-.lambang-Pcrllann
Garnbar 11. Perkembangan Pendapatan Pemerintah dariSumberdaya Alam, 1996 - 2003
---- R p k D m ~ . b h-Palah
Inl'l-SOA
-LabaBlhlIl
------PI=
Garnbar 10. Perkernbangan Pendaparan Pemerinrah, 1996 - 2003
' Perpu N >1 / 2 W
tanggal I 1 h4am1 2004 tentug Pembaban aus UU No 41/1999,1ahu d m s e k l u m daetul~uDI'R ~ r l pull ~ h drundA Lnjuu &ngm Kepprcs No 41/1999 tanggal 12 &I2004 y q m n e w p k v l I3 p z n u h r a n u m b m g dl h u m Imdun: 1 t 1IF kmpers~ '6 Ddarnsrrmrur srhrn png d d A h n & G d u n g & w d Tanjungbdq K r m , 24 Me1 2004,Peda Ranrnun r w n m w l u n h ~ h pcnr&nyn ~ e h t b dl r h r u n Lndung heaLLinp &nulun, rp+lgrj d u p z n ~ m b ~ rersebur n ~ ~ n d u n d ~ l A t l l o nd e n g ~ n mnghrnctulun Gunung Jrnlan dm Gunung &urn sena s m hudap hemp P m s r r Pxsu tang m n r d r r~rnholh ~ mg \ )~~ m l u ~ K~runun
DISKUSI ARAH PLHBANCUNAN SEK7VR KEHUTANAN hut Rrncana Kcbwraum Badan Pl.nolop Kebwuwan I n Dukrtngan MFP-Dtphat FUSRNHJI U ? U N DtPHJl
HFP
"'
~
pelaku yang terkena peraturan tersebut (layak atau tidak). Hal yang terdkhir ini belum secara ekspltit dipenirnbangkan dalam perurnusan kebijakan. I'ara penyusun kebijakan - khususnyd dalam pengesahan ijj-ijin - masih terperangkap dalam bias kepentigan, sehingga senantiasa menambah urusan yang hann ditanganinya. Banyaknya m a n ini mempunyai implikasi terbenruknya relasi b i k r a t pengusaha secara personal yang mendatangkan moral hazard dalam b e n d kolusi. Yang menjadi korban kemudian adalah nama serta kredibilitas p e m e ~ t a h(daerah) di mata masyarakat.
5. ARAHKEBIJAKANqKTORTERKAIT 5.1. Selwuh sektor yang terkair dengan kehutanan pada dasarnya berkaitan dengan kepentingan penggunaan lahan, penentu kebijakan ekonomi, keuangan, maupun perdagangan, seia mendayagunakan jasa lingkungan dari sumberdaya hutan seperti air, kesuburan tanah, energi maupun estetika lingkungan sebagai bagian penting dari pariwisata. Disamphg itu sektor kehutanan juga mempunyai kaitan erat dengan kebijakan pemerintahan yang rnenentukan kewenangan pusat dan daerah. Sampai sejauh ini keseluruhan sektor terkait tersebut mernpunyai kebijakan yang sangat eksploitatif terhadap s u m b e r d a ~ a!am termasuk hutan. 5 2 . Kamsan hutan negara yang ditetapkan sekitar 70% dari luas daratan di Indonesia telah membuat dominasi sektor kehutanan di beberapa wilayah, namun dernikian dominasi ini akhii-akhir ini rnenjadi pertanyaan banyak pihak, terutama dikaitkan dengan distribusi n d a a t yang tidak add, terutama manfaat langsung sumberdaya hutan bagi pemerinth daerah. Atas dasar demikian itu, perlindungan terhadap keberadaan hutan temp di dalam kawasan hutan negara dipersaingkan antara kedudukamya menurut legalius dari peraturan perundangan yang berlaku dengan keunggulan komparatifnya u n d penggunaan lain selain kehutanan. .. 53. Dalarn kaitan persaingan antar sektor tersebut, bahasa pembangunan yang secara k u t dikummdangkan sektor lain, seringkaL t i i rnendapat respon yang cukup d x i sektor kehutanan, karena bahasa yang digunakan oleh sektor kehutanan cenderung terbatas melingkupi aspek - aspek fiik seperti jumlah produksi, luas kawasan, d l . Sehubungan hd tersebur, maka faktor-faktor ekonorni seperti masalah ketenagakejaan perlu menjadi *a,a:an
Aw.2
cap
imrSJmb z r l
-.lOl-..lp~.-'-r~WLW"~IP
6. SKENARIOJANGKA PANJANG 6.1. Pemanfaatan secard berkelanjutdn dari sumberdaya hutan memerlukan pengendalian p n g sejahn dengan daya dukung hutm. Lemah-kuatnya pengendalian ini ditentuhn oleh beke rjanyd dua sistern sekdigus yaitu sistern pemerinthan yang menentuhn beke jlnya kebijakan ~ u b l i kdan pasar serta sistern sosial kemasyarakatan yang rnenentukan p e n g a h n hak, ke~ercayaan,serta apa yang dianggap baik dan buruk yang tumbuh di tengah-tengah milsyarakat. Digunakamya kedua sistem tersebut karena pengelohan sumberdaya hutan
DISKUSI ARAH PtNEANCUNAN SEKTDR KEHLJTANAh' P t ~ Rmcama t Krbttm"ntt E a L n PIn>,oIo~iKrbrtta*~nndan D ~ ~ L ~ t n gMFP-Dcphmt nn MWI
72.
Berdasarkan penilaian yang tehh dilakukan dalam B a b bab sebelumnya, serta penilain e m p k - dengan berbagai indikator yang cejadi di lapangan - &pat dltunjukkan bahwa posisi pemanfaatan sumberdaya hutan sazt ini berada daparn siruasi kohesi
G a m b r 14. P06acbnAnhSlrakqi
P,,~~,,,s,M,,
. - P w m mop
'+lm
-AL.nh-L-m -ELY(.IYtryvdkuh~~~
- kr,."Arr
lad=
lain, baik secara ekonomi
layak sehingg;l dapat dipastikan tidak akan dapat berkelanjutan.
K m n g terfuopa
Gambar 14. Posisi dan Hum
8.
Anh
Swategi P c d a a u n Surrbenlay
KEBIJAKAN DAN STRATEGI JANGKA PANJANG
Argumentas; Kebijakan 8.1. Kebijakan pernanfaatan sumberdaya hutan rnerupakan "resepn yang dapat melandasi arah Depmemen Kehutanan, Pemeritah Provinsi, rnaupun P e m e ~ t a hKabupaten/Kota, serta sektor lain terkait untuk menylesaikan masalah-mas& pokok yang berkaitan dengan penyhnggaraan, pengelolaan, maupun pernanfaatan hutan produksi sena penataan dan pengembangan industri primer hasil hutan. Kebijakan ini dirumuskan untuk menjernbatani p e r n b w n situasi pengelolaan hutan d m industri primer hasil hutan saat ini rnenuju sitmi yang diiarapkan dalarn lirna tahun mendatang (oQiecriwr). Adapun tujuan utama (gu? yang akan dicapai adalnh Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHl'L). 82. Kemanjuran "resepn yang dirurnuskan dalarn kebijakan ini sangar tergantung dari hail diagnosa atas simpul masalah yang dianggap paling penting (In!/e neck) dari sekian banyak mas& yang saling berkaitan, serta urutan mana rnasalah yang perlu diselesaikan terlebih dahuh, sebelwn penylesaian, masalah lainnya, atau masalah-masalah yang perlu diseksaikan secara simultan untuk rnencapai tujuan tertentu, baik yang bersifat segera maupun lima tahun ymg dkan datang. 8.3. Kebijhn.20 tahun berfungsi untuk rnendapatkan arah p g konsisten dari pelaksanaan peraturan perundangan, karena untuk rnenata produksi kehutanan nasional sesuai dengan Undang Undang, diperlukan arah dan langkah-langkah irnplementasi kebijakan yang selar~s dalarn jmgka panjang, bagi seluruh penentu kebijakan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. 8.4. Secara urnurn kegiatan pemanfaatan surnberdaya hutan adalah kegiatan usaha, baik berupa usaha kornersial (sekor swasta), tidak kornersial (sekor p e r n e ~ t a h )maupun kornbinasi kedwya. Kelangsungan kegiatan usaha kehutanan sangat tergantung dari kesiapan prakondisi dan tersedianya faktor produksi y;mg diperlukan. Efiiensi usaha kehutanan bukan d i t e n t u h oleh besarnya kontrol p e r n e ~ t a hsecara langsung, melainkan okh
@ i
OZ PL7
.A?$
DISKUSI ARAH PWBANGUNANSEKTDR KEHUTANAN i , ; ~ l lR l ~ C C ZKrL,ttmmn M Badam Planologi K r b w u ~ a nd a m Dwknn#dm Mff.Drpl,rr
185
72.
Berdasarkan penilaian yang tehh dilakukan dalam B a b bab sebelumnya, serta penilain e m p k - dengan berbagai indikator yang cejadi di lapangan - &pat dltunjukkan bahwa posisi pemanfaatan sumberdaya hutan sazt ini berada daparn siruasi kohesi
G a m b r 14. P06acbnAnhSlrakqi
P,,~~,,,s,M,,
. - P w m mop
'+lm
-AL.nh-L-m -ELY(.IYtryvdkuh~~~
- kr,."Arr
lad=
lain, baik secara ekonomi
layak sehingg;l dapat dipastikan tidak akan dapat berkelanjutan.
K m n g terfuopa
Gambar 14. Posisi dan Hum
8.
Anh
Swategi P c d a a u n Surrbenlay
KEBIJAKAN DAN STRATEGI JANGKA PANJANG
Argumentas; Kebijakan 8.1. Kebijakan pernanfaatan sumberdaya hutan rnerupakan "resepn yang dapat melandasi arah Depmemen Kehutanan, Pemeritah Provinsi, rnaupun P e m e ~ t a hKabupaten/Kota, serta sektor lain terkait untuk menylesaikan masalah-mas& pokok yang berkaitan dengan penyhnggaraan, pengelolaan, maupun pernanfaatan hutan produksi sena penataan dan pengembangan industri primer hasil hutan. Kebijakan ini dirumuskan untuk menjernbatani p e r n b w n situasi pengelolaan hutan d m industri primer hasil hutan saat ini rnenuju sitmi yang diiarapkan dalarn lirna tahun mendatang (oQiecriwr). Adapun tujuan utama (gu? yang akan dicapai adalnh Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHl'L). 82. Kemanjuran "resepn yang dirurnuskan dalarn kebijakan ini sangar tergantung dari hail diagnosa atas simpul masalah yang dianggap paling penting (In!/e neck) dari sekian banyak mas& yang saling berkaitan, serta urutan mana rnasalah yang perlu diselesaikan terlebih dahuh, sebelwn penylesaian, masalah lainnya, atau masalah-masalah yang perlu diseksaikan secara simultan untuk rnencapai tujuan tertentu, baik yang bersifat segera maupun lima tahun ymg dkan datang. 8.3. Kebijhn.20 tahun berfungsi untuk rnendapatkan arah p g konsisten dari pelaksanaan peraturan perundangan, karena untuk rnenata produksi kehutanan nasional sesuai dengan Undang Undang, diperlukan arah dan langkah-langkah irnplementasi kebijakan yang selar~s dalarn jmgka panjang, bagi seluruh penentu kebijakan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. 8.4. Secara urnurn kegiatan pemanfaatan surnberdaya hutan adalah kegiatan usaha, baik berupa usaha kornersial (sekor swasta), tidak kornersial (sekor p e r n e ~ t a h )maupun kornbinasi kedwya. Kelangsungan kegiatan usaha kehutanan sangat tergantung dari kesiapan prakondisi dan tersedianya faktor produksi y;mg diperlukan. Efiiensi usaha kehutanan bukan d i t e n t u h oleh besarnya kontrol p e r n e ~ t a hsecara langsung, melainkan okh
@ i
OZ PL7
.A?$
DISKUSI ARAH PWBANGUNANSEKTDR KEHUTANAN i , ; ~ l lR l ~ C C ZKrL,ttmmn M Badam Planologi K r b w u ~ a nd a m Dwknn#dm Mff.Drpl,rr
185
Dengan kondisi demikian, rnaka kebijakan pemerintah perlu dirumushn b a t ~ a n n ~agar a, tidak bersifat mencampun u m a n usaha kehutanan, yang justru berpotensi menjadikannp tidak efisien. 8.5. Usaha pemanfaacan sumberdayd hutan mempunydi . . karakteristik berada di depan, dan dl bclaklngnya adahh serangkaian persoalan ydng berkditan dengan pen~lesaianprakondisi pcrnbangunan kehutanan. Oleh karena itu, kebijakannya dapat dikeiompokkdn ke dalam dua s p e k pokok : Kebijakan alokasi dadatau kepastian kawasan hutan serra kewenangan yang rnengatumya. Kebijakan ini mempunpi titik berat pada kepastian dan alokasi kdwasan, pcngelolaan hutan (ddam arri adrninistrasi wilayah pengelolaan/kesaruan pengelolaan), dll. Kcbijakan untuk. rnendorong efisiensi pemanfaatan hutan dan usdha khutanan. Kebijakan ini mernpunyai titik be,rat pada aspek-aspek ekonomi seperri aspck pendanaan usaha (sebagai tnacr dan/atau usaha non komeniq, standardisasi pmses maupun produk, peningkatan hpasiras mnajernen maupun sumberdaya manusia. 8.6. Kedua kebijakan di atas diimplementasikan kedalam dua situasi yang berbeda, sehingga rerdapat dua f o k a kebijakan yairu kebijakan realokasi kawasan hutan d m k e b i j a h transformi usaha kehuman, sebagaimana tergambar &lam mat& berikut : KEBUAKAN PEMANFAATAN SOH FOKUS
K
E
~
~
PENYELESAIAN: PENYIAPAN ~ ~ K KONDlSl ~ ~ PEHUNGKIN
EFA:?,t:,"N",","^
-USA KEHUTANANSMT IN1 : HPH. HTI. OUMN. INDUSTRI PRIMER M I L HUTAN USAHA KEHUTANAN YANG AKAN DIKEUBANGKAN
)(EBW
KEBWMN
REALOKSI KAW*SAN W A N
hua USlUU
WSFOR-
KEHUTU(AII
.
Fungsi Internal dan Eksternal 8.7. Adanp kebijakan ini diharapkan dapat rnensinergikan langkah internal di dilam Departemen Kehutanan, khususnya yang terkaitan langsung dengan kebijakan pernanfaatan sumberdaya hutan. Hal demikian sangar penting mengingat adanya ko~npleksitas masalah di lapangan yang mernerlukan penanganan bersama secara terprogram dan sisternatis. Disarnping im, kebijakan yang sudah menjadi ketetapan secara nasional dapat &njadi pegangan bagi Pernerinrah Propinsi dan KabupatedKota untuk menerwkan menjadi k e l i j h l opcrasional di lapangan. 8.8. Bagi masyarakat, kebijakan 20 tahun pemanfaatan sumberdaya hutan dapat mengurmgi ketidak-pastian, karena kebijakan yang telah maupun segera diimplementasikan Departernen Kehmanan, tidak h a n p dilihat &lam jangka pendek melainkan dapat diitahui pula arah kebijakan nasiond yang dituju.
Kondisi Yang Diharapkan Dalzrn 20 Tahun Mendatang 8.9. Kondisi 20 tahun mendatang yang diharapankan terwujud, adalah sebagai berikut: 1. Dan seluas sekitar 57 juta Ha hutan produkri di Indonesia, pada I0 tahun mendatang teralokasikan : a. Seluas 20 juta Ha (34% dari luas hutan proddsi nasional) berupa hutan alam produkri dapat diusahakan dengan sistern IUPHHK yang m e n g h a s h pmdukii kayu per tahun sebesar 15 juta ml;
DXSKUSI ARAH PZMBANCUNAN SEKTDR KEHUTAh'AN P*wt R t n c a Krbruanam ~ BaLm Plnmolw~Krbnunan &x D n k n g u n MFP.Dcplur FVS4NWl MfUN
O(WI
186
b. Seluas 10 juta Ha (17 % dari hutan p d u k s i nasional) teralokasikan dalarn benruk rorial fmr~ydan dikelola oleh BUMN Kehutanan dalarn b e n d usaha hutan tanaman dan hutan alam rehabitasi; c. Seluas 277 jura Ha (49% dari luas hutan alam p r o d k i nasional) minim1 tetap utuh dan pulih bndisinya. 2. Pada pencngahan tabun 2005 telah terwujud f o r m u h i dan irnplemenrasi kebijakan efiiiensi tataniaga hasil h u m , sexta penilaian kinerja usaha kehuman yang lvedibel; 3. Terdapat kebijakan dan irnplementasinya yang dapat mendorong transformasi usaha kehutanan, khususnya industri primer kehutanan, in&~~tri jasa lingkungan kehutanan, s e h i n w ekspor hasil industri dapat dicapai sebesar 15 milyar US $ per tahlm; 4. Pada akhir tahun 2606 teiah diwujudkan sinkronisasi kebijakan p d u k s i kehutanan dan indusrri p k r hasd h u m antara pemerintah, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupatenlkota, guna menopang apa yang akm dicapai tersebut di atas. 8.10. Fungsi pemerintahan sangat penting untuk mewujudkan harapan tersebut di atas, ka~ena kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah sebagai lembaga menurut Undang-Undang menguasai sumberdaya a h dan menentukan hubungan (hukurn) atas kebrnpok masyarakat terhadap pengelolaan dan pemanfaatannya. Indikator bejalannya fungsi pemerintahan tenebut yang terpenting adalah tidak menjadikannya sumberdaya hutan sebagai sumberdaya yang dengan mudah dapat dinrrsuki dm dimanfmtkan sena diubah fungsinya (open u'zrrr rrrounrr) oleh banyak pihak
Strategi Mencapai Kondisi 20 Tahun Mendatang 8.1 1. Apabila dilihat dari sudut pemerintah dan pemerintah daerah, lingkungan strategis saat ini u n t A mewujudkan kondisi yang diharapkan dalam 20 rahun mendatang sebagaimana diuraikan di atas tidaklah mudah, karena secara internal pemerintahan lebih banyak merniliki kelemahan daripada kekuatan, sedangkan berbagai faktor eksternal lebih banyak menunjukkan unsw ancaman daripada kesempatan. Sementara itu diitahui b a b a fungsifungsi pemerintahan ddam pengelolaan sumberdaya alam dan khususnya sumbcrdap hutan s a n g t diperlukan, mengingat mudahnya hutan menjadi open u'zrr.r nsounrs. Maka dari itu, upaya untuk memperkuat ebistensi peran pemerintahan menjadi suatu keharucan. 8.12. Peran pemerintah.an tridaklah dinikan bahwa banyak ha1 harus diatur pemerintah (erarisme), m e h k a n memastikan bahwa apa yang diatw pemerintah terfokus pada simpul masalah sena dapat diincanakan, diorganisasikan pelaksanaannya, sena dapat dikontrol secira efehif. Ddam kaitan h i m k a perlu adanyd strategi pengorganisasian seluruh bidang pemerintahan dalam mengatasi simpul masalah tenentu. Agar upaya tersebut mendapat dukungan masyarakat, maka strategi yang perlu dijalankan addah memberi kejclasan kepada masyarakat atas kebijakan yang sedang dijalankan @hat butir 8.8.). 8.13. Strategi pengorganisasian u n d mewujudkan pengutan peran pernerint~han, ying dikaitkan dengan f o b kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan (lihat butir 8.6.) ~dalah sebagaimam disajikan ddam Tabcl 8, dengan asurnsi belum terdapat reorganisai Depanemen Kehutanan, meskipun sangat diperlukan.
Naskah Kebijakan 8.14. D h pelaksanaan pengorganisasian tersebut, lingh~p operasionalisasi kcbij.~k~n permnfaatan sumberdaya hutan perlu disenai rumusin beberapa naskah kebijakan, t e r u m dalam aspek-aspek berikut : 1). Kebijakan pengembangan industri jasa lingkungan; 2). Kebijakan restrulaurlasi industri primer hasil hutan; 3). Kebijakan, strategi dan mekanisme tata niaga hasil hutan temasuk impor; 4). Kebijakan transfomasi BUMN Kehutanan (PTINI-WAN1 dan Perum Perhutini); 5). Kebijakan realoksi kawasan hutan dalam pengembangan sotiu//irc.rl~
,@p :,
RISEM1IFM.W OCWI
UZw
DJSKUSI A R M PLUBAhGUNAN SEKKEHUTANAh' ~ ~ I Rrrcnnn M I Krb,rfanam Barlnn Plnnologi Kcburanfin dnn DnLnng.gdn MFP-Drpbur
6). Kebijakan pengendalian ijin, pengendalian produksi kayu dari hutan alam, sena debirokratlsi yang berkaiun dengan pemanfaaran surnberdaya hutan; 7). Kebijakan fiikal dan pembiayaan usaha kehutanan; 8). Kebijakan evaluasi IUPHHK untuk mengetahui perusahaan yang layak arau tidak layak untuk dikembangkan, serta penllaian kine j a m a j e m e n perusahan (IUPI-I%) yang rnelaksanakan kriteria dan i n d h t o r PHPL: 9). Kebijakan pengembangan dan penerapan ukuran kineja pembmgunan bcrbasis surnberdaya hutan.
'I'abcl8. Pengorganuasian Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Hucan antara Departernen Kehutanan dengan Pemerintah Daerah dan Seluor Terkait. -. - -.. --
SEKTOWEMDA DAN MASYARAKAT
FOKUS KEBIJAKAN BlNA PRODUKSI KEHUTANAN-')
DEPHUf DAN SE KTOR KEBIJAKAN MAKRO BINA PRODUKSI KEHUfANAN
PEMDA
MASYARAKAT
ICE BIJAKAN
KETENAGAKERJAAN IMPLEMENTASI DAN KESlAPAN PRODUKSI KELEMBAGAAN KEHUTANAN MASYARAKA.1' USAHA KEHUI'ANAN SAAT IN1 :HPH, HTI, BUMN, INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN-. 1 . Kehi&nwniLiankinerG I Dhien BPK 1 BIDANG I SDM nltlrdrpat
UNTUK
-
Du~n BPK, Deperindag
2. K e h i j j n restrukurisni indusui primer hsil hum 3. K
05.
e
b
Diien BPK. MenKeu
m Kehuunu,
kmbaga urluii Masdab ukni di lapugan: wnna pnsanru, kekrnbagaan rmsp&r. SDM Kip, dl].
L
Mvahh berernp-luiun
BIDANG KEHUTANAN, B I D f f i EKONOMI BIDAS
Madab kurnerkeri~an
DmNRLPS. BIDANG SEVEN, DEPKEU.
..--..
U A N
I
a g a n k i Uuha wp-&t
KEHCrrANAN, BIDIN PEMBERDAYAAN
I
d h m pengemhagln
kondh I
*). Kepastian mengenai fokus kbijakan ini perlu ditetapkan melalui proses konsultasi
DISKUSI ARAH PLIIBANCUNANSEKlVR KEHiJTtWAN '?%?fiwr Rc,tclrro K d u l n ~ ~ Ph~ologaKrburalulr dn. Dukumga MFP-Lkpbrrr Endan
RISP(tWIFMKAN CTPY"
'.*p
OH
188