Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
Konstruksi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Multistakeholder di Kabupaten Jombang Dhedhi Irawanto Magister Kebijakan Publik, Departemen Administrasi, FISIP UNAIR. Abstract Forest has a very complex function so that if the existing problems was not solved with good will cause other problems bigger. During the study, the authors found that the construction of the existing policy in Jombang has its drawbacks. Dichotomized status of forest resources, the state forest and community forest resulted in forest resource management planning in Jombang was not well integrated. Egosectoral between bureaucracy forest resource managers often accompanied by a collision occurs at the level of political laws and regulations. That is why we need a new construction on forest resource management policies that exist in local government. Formulation of appropriate policies are absolutely necessary for the function of forest continues to run well. Formulating forest resource management policies should at least pay attention to the dynamics of ecological, social and political. Also in the formulation also requires a new institutional form that the Regional Forestry Board (RFB) which contains representatives of all stakeholders. (RFB) itself should have a communication function, coordination and conflict resolution so that policies made more effective management and are accommodating to the interests of stakeholders. Key word : Policy Construction, Stakeholders, Regional Forestry Board
Pendahuluan Pembangunan sektor kehutanan di Kabupaten Jombang masih menjadikan permasalahan lahan kritis sebagai perhatian utama. Hingga tahun 2011 luasan lahan kritis yang mencapai 46.067,208 Ha atau sekitar 42% dari luas seluruh wilayah Kabupaten Jombang. Angka tersebut lebih kecil apabila dibandingkan dengan luas lahan kritis pada periode 2003 – 2008 yang mencapai 57.067,366 ha (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jombang, 2009). Permasalahan lain yang menjadi sorotan adalah menurunnya jumlah luasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Selama kurun waktu 2002 – 2007 luas hutan negara mencapai 19.651,6 ha dan berkurang hingga 16.798,3 ha pada tahun 2008 – 2010. Dan pada tahun 2011 luas hutan negara di Kabupaten Jombang menjadi 16.787 ha. Hal tersebut berdampak pada turunnya produksi kayu hutan dimana pada tahun 2009 produksi kayu mencapai 7.571 m3 menjadi 3.572 m3 di tahun 2010 dan terus merosot hingga 1.023 m3 di tahun 2011 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Jombang, 2012). Undang – Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menerangkan bahwa Indonesia hanya mempunyai 2 (dua) macam hutan menurut kepemilik-annya yaitu hutan negara dan hutan hak (hutan rakyat). Dalam
pengertian yang diterjemahkan secara bebas, pengertian hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Sementara itu hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Dalam bahasa rakyat yang tinggal di pedesaan segala sesuatunya dilukiskan dengan bahasa yang sederhana. Menurut rakyat hutan negara adalah kawasan hutan yang dimiliki sepenuhnya oleh Negara, dimana rakyat tidak memiliki hak atas manfaat semua sumber kekayaan yang ada di dalam hutan. Dalam pemahaman rakyat, hutan rakyat adalah kumpulan pohon‐pohon yang ditanam di lahan milik rakyat, di mana semua sumberdaya yang ada “sepenuhnya” menjadi milik rakyat. Sementara itu Departemen Kehutanan memberikan pengertian hutan rakyat sebagai satu hamparan lahan yang luasnya minimal 0,25 ha dengan jumlah pohon paling sedikit 400 batang per hektar (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa – Madura, 2009:1). Di Kabupaten Jombang keberadaan hutan rakyat semakin terdesak oleh semakin meluasnya lahan untuk komoditi tebu. Di Kecamatan Wonosalam, yang merupakan daerah hulu dan berstatuskan daerah rawan bencana melalui Keputusan Bupati Jombang Nomor 188/31/415.12/2006 tentang Penetapan Keadaan Bahaya Wilayah Terkena Bencana di Kecamatan Wonosalam dan Bareng Kabupaten 343
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
Jombang sehingga penggunaan lahannya seharusnya diprioritaskan untuk hutan dan konservasi, luasan lahan tebu mengalami peningkatan. Luasan lahan tebu di tahun 2008 tercatat hanya seluas 158 ha dan menjadi 464,82 ha di tahun 2011. Sementara di Kecamatan Bareng, yang juga merupakan daerah yang ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana, luasan lahan tebu meningkat dari 757 ha di tahun 2008 menjadi seluas 1.097,69 ha di tahun 2011 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Jombang, 2012). Jika hal tersebut tidak diperhatikan dengan baik maka bisa jadi sepuluh atau dua puluh tahun ke depan mayoritas hutan rakyat di dua kecamatan tersebut akan berubah wujud menjadi hamparan tebu dan tentunya akan sangat merugikan apabila dilihat dari aspek ekologisnya. Secara historis keadaan sumber daya hutan di Kabupaten Jombang, terutama di kawasan hutan negara, dapat dikatakan berangsur-angsur pulih setelah beberapa waktu sebelumnya mengalami beberapa kejadian traumatis. Di awal-awal reformasi didentum-kan, yaitu pasca tahun 1998 kondisi hutan di Indonesia secara umum mengalami deforestasi yang luar biasa karena adanya penjarahan secara besar-besaran oleh masyarakat. Hal ini juga terjadi di Kabupaten Jombang dimana masyarakat sekitar hutan pada waktu itu ikut menjarah kayu di kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Kegiatan penjarahan hutan tersebut merupakan implikasi dari kondisi kemiskinan yang ada dimasyarakat sekitar hutan yang kemudian beraku-mulasi dengan terlalu represifnya kebijakan pengelo-laan hutan negara yang dilakukan oleh Perum Perhutani pada waktu itu. Aksesibilitas masyarakat terhadap hutan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dihadang dengan adanya aksi-aksi militerisme polisi hutan Perum Perhutani yang mengatasnamakan pengelolaan hutan sehingga berujung pada aksi frontal antara masyarakat dengan Perum Perhutani (Irawanto, 2010:4). Jika diperhatikan dengan cermat maka kejadian tersebut merupakan akibat dari tidak adanya pertim-bangan aspek sosial di dalam pengelolaan sumber daya hutan dimana terdapat pembatasan akan aksesibilitas masyarakat terhadap hutan. Kekecewaan masyarakat yang telah terakumulasi
tersebut seakan-akan memang tumpah pada saat kenyataan yang terjadi pada waktu itu menunjukkan bahwa negara telah dianggap gagal dalam mengelola urusan kenegaraan. Jatuh temponya hutang negara pada waktu itu membuat keadaan perekonomian negara ini menjadi kacau. Ditambah lagi ketika stigma tersebut merebak hingga ke sektor kehutanan yang akhirnya menyebabkan masyarakat di daerah meng-gebu-nggebu dalam menjarah hutan sebagai ekspresi dari kekecewaan mereka. Dinamika pengelolaan sumber daya hutan yang ada di Kabupaten Jombang tersebut merupakan akibat dari pola perumusan kebijakan yang ada. Aspek ekologis dan sosial memang menjadi dasar pertimbangan terhadap kebijakan yang dihasilkan namun demikian pendikotomian terhadap sumber daya hutan, yaitu hutan negara dan hutan rakyat, menyebabkan siratan-siratan ego sektoral yang tentu dapat menimbulkan dampak kurang baik. Disamping itu keberadaan stakeholder harus dipertimbangkan dan diposisikan secara proporsional dengan harapan bahwa kebijakan yang lahir nantinya benar-benar unggul dan mampu menjawab permasalahan yang akan datang. Dengan demikian setidaknya terdapat 3 (tiga) aspek penting di dalam perumusan model pengelolaan hutan, yaitu aspek ekologi, sosial dan politik yang harus dipertimbangkan dengan baik agar terdapat sebuah keseimbangan di dalamnya. Jika model pengelolaan hutan yang tepat sudah berhasil dirumuskan maka bisa dipastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan nantinya adalah kebijakan pengelolaan hutan yang governance, tepat sasaran dan mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat serta melestarikan hutan untuk masa depan yang lebih baik. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka terdapat pertanyaan penelitian mengenai bagaimana model ideal dalam kebijakan pengelolaan sumber daya hutan multi stkaholder di Kabupaten Jombang dibuat dan diselenggarakan. Tujuan dan Manfaat Penelitian
344
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
Sesuai rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah menghasilkan sebuah konstruksi tentang kebijakan pengelolaan sumber daya hutan multi stakeholder di Kabupaten Jombang. Sehingga pada bagian akhir akan didapatkan rumusan mutakhir mengenai model pengelolaan hutan multi stakeholder yang sudah sesuai dengan perspektif good governance sehingga kebijakan pengelolaan hutan yang dihasilkan diharapkan mampu menjamin kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tinjauan Pustaka Kemauan negara untuk berbagai peran dan kewenangan dengan aktor lain juga menjadi salah satu kunci dari terwujudnya Good Forest Governance. Negara yang selama ini dianggap sebagai satu-satunya aktor yang mampu mengurusi dan mengelola sumberdaya hutan yang ada harus mulai menyadari bahwa keberhasilan pembangunan kehutanan juga sangat bergantung pada peran dari pihak lain yaitu masyarakat sipil dalam berbagi wadah dan bentuknya. Ketika masyarakat tidak dilibatkan dan tidak mendapatkan konstribusi yang berarti dari proses pembangunan hutan, maka mereka bisa menjadi musuh negara yang dapat merusak sumberdaya hutan secara masiv dan dalam waktu yang sangat cepat. Sebaliknya, jika masyarakat mendapat peran yang sesuai, maka kontribusi mereka akan dapat mendorong keberhasilan dalam kegiatan rehabilitasi hutan menuju tewujudnya kelestarian sumberdaya hutan (Siswoko, 2009). Terus berkembangnya jumlah penduduk, dimana rata-rata pemilikan lahan pertanian terus menurun, semakin banyak tenaga kerja yang melimpah dari sub-sistem pertanian pangan ke sub-sistem kehutanan. Oleh karena itu interaksi antara sub sistem sosial dengan sub-sistem kehutanan terus meluas dan sebagian tenaga kerja tadi tidak lagi dapat ditampung oleh kegiatan formal pengelolaan hutan karena kehutanan tidak menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di sub-sistem sosial. Akibatnya sebagian tenaga kerja yang tidak tertampung itu lalu melakukan kegiatan pencurian kayu untuk menambah pendapatan (Simon, 2001). Model pengelolaan hutan yang tepat, baik hutan negara maupun hutan rakyat, setidaknya harus melibatkan dua aspek, yaitu
aspek sosial dan aspek ekologi. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Siswoko (2009:12) bahwa model pengelolaan sumber daya hutan yang baik harus mampu mengakomodir paling tidak dua macam aspek, yaitu aspek ekologi dan aspek sosial. Dalam aplikasi di lapangan, pemerintah harus lebih memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam setiap tahap pengelolaan sumber daya hutan. Berbagai aktor selain pemerintah juga harus senantiasa dilibatkan baik dalam penetapan isu maupun perumusan kebijakan pengelolaan hutan untuk lebih menjaring aspirasi semua pihak. Selain itu pemerintah juga dituntut untuk mampu mempertahan-kan kelangsungan fungsi-fungsi ekologis dari sumber daya hutan. Namun demikian di era otonomi daerah seperti sekarang ini hampir semua kebijakan dilahirkan ber-dasarkan proses demokratisasi di tingkat lokal. Sebagaimana dijelaskan oleh Haris (2001:8), bahwa secara konseptual otonomi daerah adalah kebebasan untuk mengambil keputusan menurut prakarsa sendiri untuk kepentingan pemerintah daerah dan masyarakat setempat dengan menghormati peraturan perundangan nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan hutan adalah sebuah aktifitas kompleks yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Jika kepentingan akan uang dan kuasa lebih dikedepankan maka kerusakan lingkungan dan deforestasi menjadi mimpi buruk bagi umat manusia. Sehingga diperlukan sebuah konsep politik ekologi untuk mengatasi deforestasi dan kerusakan lingkungan. Politik ekologi adalah suatu pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi dan dinamika antara lingkungan dan manusia, dan antara kelompok bermacam-macam di dalam masyarakat dalam skala dari individu lokal kepada transnasional secara keseluruhan (Peterson, 2000:53). Dengan adanya politik ekologi akan terdapat sebuah frame untuk membantu memahami betapa komoleks dan krusialnya hubungan antara masyarakat lokal, pemerintah, pemodal (swasta) dengan keberadaan sumber daya hutan itu sendiri. Dengan memperhatikan penjelasan di atas, selain dua aspek yang dijelaskan sebelumnya yaitu aspek ekologi dan sosial, maka aspek politik di dalam perumusan model pengelolaan hutan di daerah menjadi penting 345
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
untuk diperhatikan. Pendekatan politik di dalam merumuskan model pengelolaan kawasan hutan negara di Jawa dapat dimulai dengan adanya dialog mengenai kewenangan dan peran strategis di dalam pengelolaan hutan baik antara pemerintah daerah dengan Perum Perhutani maupun antara keduanya dengan masyarakat desa hutan dan stake holders lainnya. Dialog antar stakeholders tersebut seharusnya juga lebih dititikberatkan pada rencana aksi nyata program pemberdayaan masyarakat desa hutan sehingga kedepannya keberda-yaan dan kesejahteraan masyarakat dapat meningkat. Keterlibatan stakeholder di dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan merupakan hal yang harus diupayakan sebaik mungkin agar good foerstry governance dapat terwujud. Stakeholder dapat berkolaborasi di dalam merumuskan sebuah kebijakan. Judith E. Innes and david E. Booher memberikan penjelasan mengenai collaborative policymaking sebagai berikut: “…collaborative policymaking as not just a method which can solve problems when there is conflict in the traditional policy system. It is, even more importantly, a way to establish new networks among the players in the system and increase the distribution of knowledge among these players. This includes knowledge of each other’s needs and capabilities and of the dynamics of the substantive problems in society, whether in transportation, environment or housing policy. Collaborative planning, we contend, has emerged as a highly adaptive and creative form of policymaking and action in the Information Age. It is an emerging mode of governance” (Innes and Booher, 2003:36) Tulisan Judith E. Innes and david E. Booher yang berjudul Collaborative policy making: Gover-nance through dialogue tersebut memaparkan The Sacramento Water Forum sebagai sebuah forum stakeholders yang terdiri lebih banyak perwakilan publik yang kemudian merumuskan kebijakan publik di bidang air di California dimana keputusan dari forum tersebut kemudian diangkat oleh pemerintah menjadi kebijakan publik. Hal ini memberikan gambaran bahwa sebuah
kebijakan harus dianalisis secara bersama oleh publik melalui konsep keterwakilan yang benar-benar merepresentasikan stakeholder. Meski demikian keterlibatan stakeholder di dalam sebuah proses perumusan kebijakan merupakan poin penting yang harus dilewati agar kebijakan yang dihasilkan tepat sasaran. Disinilah kemudian seorang administrator publik selain berperan sebagai fasilitator juga harus mengambil peran sebagai mobilisator stakeholder agar kapasitas partisipasi dan representa-sinya meningkat. Hal tersebut dijelaskan oleh Fishcer sebagai berikut : “Rather than providing technical answers designed to bring political discussions to an end, the task of the analyst-asfacilitator is to assist citizens in their efforts to examine their own interests and to make their own decisions ... The facilitation of citizen learning can be understood as enlarging the citizen/clients’ abilities to pose the problems and questions that interest and concern them and to help connect them to the kinds of information and resources needed to help them” (Fischer, 2003: 225) Keterlibatan stakeholder di dalam sebuah proses perumusan kebijakan harus dilandasi dengan prinsip kemitraan (partnership) yang berarti tidak ada peran yang lebih menonjol dari salah satu pihak dibandingkan yang lain. Kesetaraan posisi yang kemudian diiringi dengan rasa saling percaya dan kesadaran penuh terhadap permasalahan yang dihadapi adalah syarat mutlak agar kolaborasi antar stakeholder dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, berdasarkan beberapa penjelasan teoritis di atas, konsep konstruksi kebijakan pengelolaan sumber daya hutan multi stakeholder yang ideal dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini : Negara
Dinamika Ekologi
Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan
Masyarakat
Dinamika Sosial
Dinamika Politik
Swasta
346
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
Gambar I.1. Konsep Baru Konstruksi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Multi Stakeholders
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif. Tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk mempelajari masalahmasalah dalam masyarakat, tingkah laku dan situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung, dan pengaruh serta fenomena yang terjadi dalam hubungannya dengan kebijakan yang ada. Analisis Stakeholder Identifikasi dan analisis peran stakeholder adalah tahapan paling krusial sehingga pemetaan stakeholder (stakeholder maping) harus dirumuskan dengan tepat. Grimble and Wellard (1997:174) menjelaskan bahwa analisis stakeholder dapat didefinisikan sebagai sebuah pendekatan holistik atau prosedur untuk memperoleh pemahaman tentang sistem, dan menilai dampak perubahan pada sistem itu, dengan cara mengidentifikasi pelaku utama atau pemangku kepentingan dan menilai kepentingan masingmasing dalam sistem. Lebih lanjut Grimble and Wellard (1997:176) menjelaskan bahwa tujuan umum dari analisis stakeholder adalah menyediakan metodologi untuk memahami permasalahan lingkungan dan pembangunan serta interaksinya melalui analisis komparatif dari persepktif yang berbeda dan set kepentingan para stakeholder di berbagai tingkatan. Pemetaan stakeholder umumnya didasarkan pada karakteristik atau kekhasan dari masing-masing stakeholders. Kusumedi dan Achmad (2010:181-184) menyebutkan Kriteria kekhasan / karakteristik stakeholder yang sederhana adalah berdasarkan kekuatan/ kekuasaan (power), kepentingan (interest) dan legitimasi (legitimacy) yang kemudian disingkat PIL. Berdasarkan PIL tersebut, stake holders dapat dibedakan menjadi 8 (delapan) kelompok yaitu; kelompok PIL (dominan), PI (bertenaga), PL (berpengaruh), IL (rentan), P (dorman), L (berperhatian), I (marjinal) dan kelompok yang tidak memliki ketiganya.
Setelah itu pemetaan stakeholder dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok, yaitu: 1) Kelompok yang kepentingan dan kekuatan pengaruhnya tinggi, 2) Kelompok yang kepentingan tinggi, tapi kekuatan pengaruhnya rendah, 3) Kelompok yang kepentingan rendah, tapi kekuatan pengaruhnya tinggi, Kelompok yang kepentingan dan kekuatan pengaruhnya rendah. Fokus Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah dinamika ekologi, sosial dan politik yang berkaitan dengan sumber daya hutan di daerah. Fokus selanjutnya adalah stakehokder yang berkepen-tingan dengan sumber daya hutan yang ada di Kabu-paten Jombang baik dalam hal interaksi antar stakeholder maupun peran dan kewenangannya. Fokus yang terakhir adalah bagaimana kemudian dari peran masing-masing stake holder tersebut secara dianalisis dan dihadap kan dengan dinamika ekologi, sosial dan politik sehingga menghasilkan konstruksi kebijakan pengelolaan sumber daya hutan di Kabupaten Jombang. Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan dokumen-dokumen mengenai pengelolaan hutan di Kabupaten Jombang. Beberapa dokumen tersebut didapatkan langsung dari instansi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan di daerah. Sedangkan data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui proses wawancara mendalam. Informan terpilih diperoleh secara purposif yang dianggap memiliki keterkaitan di dalam kebijakan pengelolaan hutan. Selain hasil wawancara tersebut, data primer yang didapat juga merupakan hasil observasi lapangan. Observasi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melihat kondisi lapangan secara langsung, khususnya untuk melihat bagaimana dinamika ekologi terjadi, dan memberikan pengalaman empiris yang dapat menunjang analisis dalam penelitian ini. Validitas Data
347
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
Sebuah temuan atau data hasil penelitian dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti (Sugiyono, 2012:268-269). Uji validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji kredibilitas yang dilakukan dengan perpanjangan pengamatan. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Melakukan studi literatur dan observasi lapangan untuk menemu kan dinamika ekologi, sosial dan politik yang berkaitan dengan penge lolaan hutan. 2. Melakukan identifikasi dan analisis terhadap peran para stakeholder pengelola hutan yang ada di daerah. 3. Melakukan abstraksi terhadap dinamika ekologi, sosial dan politik dan menemukan relasi antara ketiga nya. 4. Mengkombinasikan hasil abstraksi dari ketiga dinamika tersebut dengan hasil analisis stakeholders untuk kemudian dirumuskan konstruksi kebijakan pengelolaan multi stake holder. Hasil Pembahasan Dinamika Pengelolaan Sumber Daya Hutan Kabupaten Jombang memiliki letak yang sangat strategis berada pada bagian tengan Jawa Timur dan dilintasi jalan Arteri Primer Surabaya-Madiun dan Jalan Kolektor Primer Malang-Babat. Disebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang sebagai daerah wisata dan kota pelajar serta kota industri, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk, dan sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lamongan. Secara geografis, Kabupaten Jombang terletak di sebelah Selatan garis katulistiwa berada antara 5° 20‟ 01” Bujur Timur dan 7° 24‟ 01” Lintang Selatan, dengan luas wilayah 1.159,50 km². Ibukota Kabupaten Jombang terletak
pada ketinggian ±44 m di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Jombang didominasi oleh wilayah datar hingga bergelombang. Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kecamatan Perak Kecamatan Gudo, Kecamatan Diwek, Kecamatan Ngoro, Kecamatan Jodoroto, Kecamatan Peterongan, Kecamatan Megaluh, Kecamatan Tembelang, Kecamatan Kesamben, dan Kecamatan Ploso berada di kemiringan lahan 0 – 2 %. Kecamatan Mojowarno dan Kecamatan Jombang berada pada kemiringan 0 – 5 %. Kecamatan Kecamatan Kabuh berada pada kemiringan 0 – 40 %. Kecamatan Bareng, Kecamatan Mojoagung dan Kecamatan Plandaan merupakan kecamatan yang mempunyai kemiringan bervariasi dari datar hingga terjal 0 - > 40 %. Kecamatan Wonosalam, Kecamatan Kudu dan Kecamatan Ngusikan merupakan wilayah yang berada pada kategori bergelombang hingga terjal. Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jombang, jumlah luasan lahan kritis masih mencapai 46.067,208 Ha atau sekitar 42% dari luas seluruh wilayah Kabupaten Jombang. Sementara itu permasalahan lainnya adalah menurunnya jumlah luasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Selama kurun waktu 2002 – 2007 luas hutan negara mencapai 19.651,6 ha dan berkurang hingga 16.798,3 ha pada tahun 2008 – 2010. Dan pada tahun 2011 luas hutan negara di Kabupaten Jombang menjadi 16.787 ha. Khusus untuk hutan rakyat, hasil inventarisasi dengan pendekatan interpretasi citra satelit, di Kebupaten Jombang terdapat kawasan yang dapat diindikasikan sebagai hutan rakyat seluas 22.980 ha yang tersebar di kawasan utara sekitar 5.081 ha, kawasan tengah 8.213 ha, dan kawasan selatan 9.686 ha. Areal yang diidentifikasi sebagai hutan rakyat memeiliki kategori tutupan lahan yang beragam mulai dari hutan sebanyak 12,02%, tegalan/pekarangan sebanyak 53,31% dan sisanya semak belukar sebanyak 34,67% (Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2013:103). Keberadaan hutan rakyat di Jombang semakin terdesak oleh semakin meluasnya lahan untuk komoditi tebu. Di Kecamatan Wonosalam, yang merupakan daerah hulu dan berstatuskan daerah rawan bencana melalui Keputusan Bupati Jombang Nomor 188/31/415.12/2006 tentang Penetapan 348
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
Keadaan Bahaya Wilayah Terkena Bencana di Kecamatan Wonosalam dan Bareng Kabupaten Jombang sehingga penggunaan lahannya seharusnya diprioritaskan untuk hutan dan konservasi, luasan lahan tebu mengalami peningkatan dimana pada tahun 2008 hanya seluas 158 ha menjadi 464,82 ha di tahun 2011. Sementara di Kecamatan Bareng, yang juga merupakan daerah yang ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana, luasan lahan tebu meningkat dari 757 ha di tahun 2008 menjadi seluas 1.097,69 ha di tahun 2011 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Jombang, 2012). Pengelolaan hutan rakyat dilakukan masyarakat secara individu pada tingkat keluarga. Hutan rakyat dibangun di atas lahan milik masyarakat, maka kelola sumberdaya, kelola usaha (kelola bisnis) dan penetapan kebijakan dalam mengelola hutan rakyat berada pada tingkat keluarga. Petani hutan rakyat bergabung dalam Kelompok Tani (Poktan) atau Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) dalam rangka untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan, serta membangun kesepahaman dalam rangka untuk mengelola hutan rakyat, dan belum bertujuan untuk malakukan pengelolaan hutan rakyat secara bersama. Pembentukan kelompok didasarkan pada keinginan petani untuk belajar bersama yang kemudian dikembangkan untuk mendukung programprogram pemerintah terkait dengan pengembangan hutan rakyat. Namun demikian sebagian besar Poktan belum memiliki kantor sendiri, sehingga kantornya masih menjadi satu dengan rumah salah satu pengurus Poktan (biasanya di rumah ketua Poktan). Poktan memiliki kas kelompok yang diperoleh dari iuran wajib dan simpanan anggota, serta bantuan dari program pemerintah. Kas kelompok ini digunakan untuk mendukung kegiatan dan dikembangkan sebagai usaha simpan pinjam bagi anggotan Poktan. Poktan juga memiliki berbagai alat-alat pengolah yang berfungsi untuk mendukung usaha mereka. Kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat, antara lain adalah : kebakaran hutan pada musim kemarau; kekeringan yang menyebabkan kematian pohon pada musim kemarau; kekurangan air pada musim kemarau karena sumber air jauh; pemasaran
kayu terkendalai oleh akses jalan; produk dari kayu hutan rakyat tergantung pesanan; penyediaan bibit tergantung dari bantuan pemerintah/bibit alami/beli di pasar; penebangan kayu pada umur muda; pengijon; pencurian kayu; harga kayu ditentukan oleh tengkulak sehingga pendapatan dari kayu belum optimal; pengelolaan lembaga masih lemah; serangan hama penyakit pada tanaman cengkeh; lahan milik sebagian besar menjadi hutan rakyat, sehingga pemenuhan kebutuhan jangka pendek menjadi terbatas (dari hasil pertanian dan perkebunan); dan di beberapa tempat ada kecenderungan perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian dan hutan rakyat untuk budidaya tebu. Di era otonomi daerah, Direksi Perhutani telah mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan yaitu PHBM Plus (SK Direksi nomor 268/KPTS/DIR/2007). Munculnya kebijakan ini, sebagaimana tertuang dalam konsiderannya, selain untuk lebih melibatkan stakeholder kehutanan, sebenarnya dipengaruhi oleh tekanan sosial masyarakat desa hutan yang sejak dulu menginginkan adanya akses pemanfaatan sumberdaya hutan. Pengurusan hutan negara di Kabupaten Jombang memang sudah menjadi ranah mutlak bagi Perum Perhutani sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah melalui PP No. 30 tahun 2003 tentang Perum Perhutani. Dan kewajiban Perum Perhutani terhadap daerah adalah dengan memberikan profit sharing dalam bentuk Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) atas hasil hutan kayu yang dipanen dari kawasan hutan negara. Di dalam pengurusan hutan negara tersebut Dinas Kehutanan dan Perkebunan juga berperan sebagai mana yang terlihat pada MOU antara Pemerintah Kabupaten Jombang dengan Perum Perhutani KPH Jombang Nomor180/10/415.12/2006;979/059.9/P.SDH/JB G/II tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan Nota Kesepahaman (MOU) antara Pemerintah Kabupaten Jombang dengan Perum Perhutani KPH Jombang Nomor 36/SJ/RUPHR/2009; 640/ 215/ 415. 10./ 2009 tentang Penyelenggaraan Penge-lolaan dan Pengembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Jombang. Hanya saja sangat disayangkan bahwa pada tahun 2010 sampai dengan penelitian ini dilaksanakan ternyata tidak ada lagi penandatanganan MOU sebagai bentuk
349
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
interaksi kerjasama di dalam mengelola hutan negara. Pendekatan perencanaan pembangunan kehutanan sebagai bagian (sub-sistem) pembangunan wilayah di Kabupaten Jombang sangat penting sebagai upaya siner-gisitas antar sektor pembangunan. Problematika peruntukan lahan umumnya masih sering menjadi masalah karena tata ruang yang belum mantap. Ego sektoral sering muncul dan tidak jarang muncul kebijakan yang justru kontraproduktif. Ketika digalak-kan program rehabilitasi hutan dan lahan tidak jarang areal yang cocok untuk pertanian tanaman pangan ditanami jenis-jenis mono kultur tanaman kehutanan. Atau sebaliknya, areal yang sudah ditanami tanaman kehutanan dan sudah berfungsi baik dirombak kembali dijadikan tanaman perkebunan dan lain-lain. Hal ini menunjukan adanya perencanaan yang kurang tepat dan kurang sinkron antar berbagai sektor. Kemudian sehubungan dengan muncul nya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak, yang berdampak pada tidak berlakunya Peraturan Daerah Kabupaten Jombang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tata Kelola Pemanfaatan dan Peredaran Kayu yang berasal dari Hutan Hak dan Tanah Milik di Kabupaten Jombang, Pemerintah Daerah harus segera membuat peraturan yang baru terkait dengan teknis pelaksanaan tata kelola kayu di daerah. Sekilas munculnya Permenhut tersebut memang dilatar belakangi oleh semangat memper-mudah proses administrasi di dalam tata kelola kayu mulai dari penebangan sampai dengan peredarannya akan tetapi tidak adanya mekanisme perijinan di Dinas akan berpotensi terjadi penyelewengan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Perhatian Pemerintah Daerah terhadap kebera-daan sumber daya hutan, khususnya yang berada di lahan milik (hutan rakyat), diwujudkan dalam aspek legal formal dimana pada tahun 2008 Pemda Jombang menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tata Kelola Pemanfaatan dan Peredaran Kayu yang berasal dari Hutan Hak dan Tanah Milik di Kabupaten Jombang. Berdasarkan konsideran yang ada di dalamnya, Peraturan Daerah ini terbit dalam rangka upaya menjaga kelestarian lingkungan
hidup dan sumberdaya alam hutan, tanah dan air, dari kerusakan. Implementasinya adalah dengan mewajibkan setiap orang atau badan hukum yang mengelola hutan hak dan lahan milik yang dikuasai dan dikelolanya untuk menyesuaikan kegiatannya dengan kaidah konservasi tanah dan air. Ditambah lagi dengan adanya kewajiban untuk melaporkan data potensi kayu yang ada di hutan hak serta adanya pelaporan perihal penebangan kayu di lahan milik. Hal ini memang dimaksudkan agar kegiatan penebangan tidak dilakukan semena-mena dan wajib memperhatikan keamanan, keselamatan masyarakat, potensi banjir dan tanah longsor, serta keberlangsungan fungsi tata air dan tentunya keaneka ragaman hayati. Tidak ketinggalan juga adanya kewajiban untuk merehabilitasi lahan bekas tebangan yaitu dengan menanam dua pohon untuk satu pohon yang ditebang. Namun demikian sejak bulan Agustus 2012 Perda Nomor 16 Tahun 2008 tersebut sudah tidak berlaku dikarenakan muncul Peraturan Menteri Kehu-tanan Nomor: P.30/Menhut-II/2012 tentang Penata usahaan Hasi Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak. Apabila sebelumnya seluruh kegiatan penatausahaan hasil hutan kayu dari hutan hak (penebangan kayu dan peredaran kayu) dapat dikontrol oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan melalui mekanisme ijin penebangan dan ijin pengangkutan kayu rakyat maka dengan adanya peraturan yang baru mekanisme tersebut ditiadakan karena pemilik dapat menebang dan mengedarkan hasil hutan kayunya sendiri sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 ayat (2). Munculnya peraturan tersebut tentu dapat mengakibatkan serangkaian hal yang berpotensi merugikan keadaan hutan itu sendiri. Tidak adanya mekanisme ijin penebangan mengakibatkan hilangnya kontrol pemerintah terhadap keberadaan dan kelestarian hutan. Selain itu peredaran kayu menjadi tidak dapat terdeteksi asal-usulnya karena seseorang pemilik dapat membuat nota angkutnya sendiri tanpa adanya pengawasan dan legalisasi dokumen dari Dinas. Hal ini tentunya harus disikapi dengan bijak oleh Pemerintah Kabupaten Jombang. Peningkatan kesadaran masyara-kat tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan harus terus dilakukan secara masif dan berkualitas.
350
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
Sejalan dengan itu, keberadaan sektor swasta yang bergerak di sektor kehutanan juga turut menjadi potensi penting bagi pembangunan kehutanan di Kabupaten Jombang. Hingga saat ini di Kabupaten Jombang terdapat setidaknya 38 industri primer yang bergerak di bidang perkayuan. Keberadaan industri tersebut selain menjadi lapangan kerja bagi masyarakat tentunya juga menjadi tempat bagi para petani hutan untuk menjual kayu-kayuan yang berasal dari lahan milik mereka. Di Kabupaten Jombang juga terdapat dua perusahaan besar yang bergerak di sektor kehutanan khususnya perkayuan yaitu PT Sejahtera Usaha Bersama dan PT Seng Fong. Namun sedikit agak disayangkan bahwa kedua perusahaan besar tersebut mendatangkan sebagian besar kebutuhan bahan bakunya dari luar daerah dikarenakan pasokan kayu rakyat dari Kabupaten Jombang hanya mampu memenuhi sekitar 20% - 25% saja. Hadirnya sektor swasta di daerah harus disikapi dengan tepat agar keberadaannya dapat menjadikan daerah semakin kuat dalam menyeleng-garakan pelayanan publik. Konstruksi Kebijakan Kegiatan pengelolaan hutan sering diwujudkan dalam berbagai bentuk aktifitas untuk memanfaatkan dan memelihara hutan. Pemanfaatan sumberdaya hutan dapat berupa pemanenan hasil kayu maupun non kayu dari hutan. Sedangkan pemeliharaan dilakukan dengan menjaga kuantitas dan kualitas dari biofisik hutan serta menjaga kelangsungan berjalannya fungsi hutan. Sejalan dengan adanya misi pengelolaan hutan oleh negara sekarang ini yang selain berupaya menjaga kelestarian ekosistem hutan juga turut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama yang tinggal di sekitar hutan maka aktifitas pengelolaan hutan harus mencakup paling tidak dua macam kepentingan yaitu kepentingan ekologis dan sosial (Siswoko, 2010:93-94). Sebagaimana uraian tentang dinamika ekologi dan sosial dapat diketahui bahwa keduanya akan selalu ditemui di dalam setiap aspek pengelolaan sumber daya hutan. Contoh kasus pengrusakan hutan di Kabupaten Jombang di awal era reformasi bergulir merupakan sebuah pengalaman berharga
yang memberikan pelajaran penting bahwa kelestarian hutan akan sejalan dengan kesejahteraan ekonomi masyarakat serta kewibawaan pemerintah dalam menjalan amanat konstitusi untuk menguasai hajat hidup orang banyak. Hal tersebut memberikan petunjuk bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya hutan di daerah paling tidak harus dirumuskan dengan pertimbangan bahwa kepentingan ekologi dan sosial harus tersinergi dengan tepat. Demikian halnya dengan dinamika politik juga akan berpengaruh terhadap pola pengelolaan sumber daya hutan di daerah. Lahirnya sebuah peraturan per-undangundangan bisa menjadi “pengganggu” dari suatu keadaan yang sudah stabil apabila tidak dilatarbelakangi oleh semangat yang benar. Selain produk hukum berupa peraturan perundangan, dinamika politik juga dapat dilihat dari interaksi kepentingan antar aktor terhadap sumber daya hutan. Tabrakan kepentingan yang tidak diakomodir dengan baik tentunya juga akan berpotensi mengakibatkan keadaan menjadi labil. Oleh karena itulah dalam merumuskan sebuah kebijakan pengelolaan sumber daya hutan di daerah, yang tentunya memiliki peluang untuk dimasuki beberapa pemangku kepentingan, harus memperhatikan dinamika politik yang ada yaitu dengan melakukan telaah terhadap kebijakan yang sudah ada (termasuk peraturan perundang-undangan yang berlaku) dan melakukan analisis terhadap para stake holders yang dimungkinkan terlibat. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara tersebut, maka didapatkan identifikasi stakeholders baik yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap perumusan kebijakan kehutanan di Kabupaten Jombang seperti yang terlihat pada tabel berikut ini : No.
Stakeholders
Langsung
1.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Perum Perhutani DPRD Kabupaten Pemerintah Desa Petani / Masyarakat Sekitar Hutan Koperasi LSM Investor / Swasta
√
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tidak Langsung
√ √ √ √ √ √ √
Sumber : Data Primer 2013
351
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
Tabel tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya stakeholders yang terkait langsung diharapkan dapat memacu terbentuknya kebijakan pengelolaan sumber daya hutan sesuai dengan yang dikehendaki oleh para pihak. Sedangkan dari segi kriteria kekhasan PIL (Power – Interest – Legitimacy) yang dipahami sebagai tingkat keterpengaruhan stakeholders oleh situasi tertentu maka didapatkan peta dan kekhasan stake holders yang disampaikan oleh Kepala Dishutbun Kabupaten Jombang sebagai berikut: Tabel. 3.2. Analisis Stakeholders dengan Kriteria Kekhasan PIL (Power – Interest – Legitimacy) dalam Perumusan Kebijakan Kehutanan No
Stakeholder
. 1.
2. 3. 4. 5.
6. 7. 8.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Perum Perhutani DPRD Kabupaten Pemerintah Desa Petani / Masyarakat Sekitar Hutan Koperasi LSM Investor / Swasta
P B √
I K
B √
L K
B √
K
Kategor i PIL
jutan di dalam perumusan kebijakan kehutanan akan menghasilkan dampak positif antara lain efektifitas dan efisiensi kebijakan, dampak kebijakan yang sustainable dan terwujudnya transparansi, akuntabilitas serta keseta-raan. Meski demikian di dalam perumusan kebijakan tidak dapat meninggalkan peran serta atau partisipasi aktif dari petani / masyarakat sekitar hutan dan investro / swasta yang dalam hal ini memiliki klasifikasi sebagai stakeholder langsung yang perlu dilibatkan meskipun tingkat legitimasinya kecil. Dari tabel 3.2. tersebut, tingkatan kategori dari para stakeholders dapat dipahami sebagai sebuah tingkat keterpengaruhan terhadap situasi tertentu. Sehingga didapatkan pemetaan stakeholders seperti yang tersaji dalam gambar berikut : Kekuatan (Power) LSM
Dishutbun Kab., Perum Perhutani,
besar √
√
√
PIL
√
√
√
PIL
√
√
√
PIL
√
√
DPRD Kab., Pemerintah Desa Petani/Masyarakat, Investor/Swasta
√
kecil Koperasi
PI
kecil besar Kepentingan (Interest) √ √ √
√ √ √
√ √ √
P PI
Gambar 7.1. Peta Stakeholder Perumusan Kebijakan Kehutanan di Kabupaten Jombang
Sumber : Data Primer 2013
Tabel 3.2. menunjukkan bahwa stake holders yang ada di dalam perumusan kebijakan kehutanan di Kabupaten Jombang terbagi menjadi empat kategori, yaitu PIL (dominan), PI (bertenaga), P (dorman) dan peringkat lain-lain. Kategori dominan yang sangat perlu dilibatkan dalam perumusan kebijakan kehutanan di Kabupaten Jombang antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jombang, Perum Perhutani, DPRD Kabupaten Jombang dan Pemerintah Desa. Kategori bertenaga adalah petani / masyarakat sekitar hutan dan investor/ swasta. Sedangkan kategori dorman adalah LSM serta kategori lain-lain adalah koperasi. Pelibatan stakeholders dengan kategori dominan secara terus-menerus dan berkelan-
Pembangunan sektor kehutanan sebagai bagian dari pembangunan wilayah Kabupaten Jombang harus diarahkan pada peningkatan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan baik aspek ekologi, sosial, maupun ekonomi. Hutan negara dengan kawasan yang relatif mantap harus terus diarahkan pada peningkatan kualitas sesuai dengan fungsinya. Hutan rakyat juga harus terus ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya melalui berbagai kegiatan rehabilitasi lahan kritis dan pembinaan hutan rakyat tentunya dengan pola yang terus disempurnakan. Dari aspek ekologis, baik hutan negara maupun hutan rakyat keberadaannya diharapkan mampu menjaga kestabilan eko sistem wilayah kabupaten. Dengan terus dilakukannya peningkatan jumlah luasan hutan 352
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
rakyat diharapkan mampu memenuhi bahkan melebihi jumlah minimal 30% tutupan vegatasi dari luas wilayah Kabupaten Jombang sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Demikian halnya dengan aspek sosial ekonomi, sebagai bagian dari pemba-ngunan ekonomi wilayah, pembangunan harus mampu memberikan dampak positif terhapa peningkatan PDRB yang pada akhirnya mampu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Jombang. Berdasarkan keadaan lahan kritis yang ada di Kabupaten Jombang maka arah kebijakan rehabilitasi lahan harus tetap ada dengan target penyelesaian lahan kritis sehingga pada lima tahun kedepan di Kabupaten Jombang diharapkan tidak ada lagi lahan kritis. Konsekuensi dari kegiatan penanganan lahan kritis adalah perlunya persiapan lahan, pengadaan bibit, penyiapan organisasi pelaksana, penyediaan pupuk, dan monitoring dan evaluasi kegiatan. Khusus untuk hutan rakyat, pengembangannya memiliki berbagai tujuan yang secara umum dapat dikaitkan dengan fungsi hutan. Hutan secara fitrah memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi perlindungan dan fungsi ekonomi. Fungsi perlindungan dari hutan rakyat sudah diakui para pihak. Lahan milik yang peruntukannya dapat untuk berbagai kepentingan sesuai kemauannya, dijadikan hutan oleh pemiliknya. Dilihat dari fungsi ekonomi, hutan rakyat dapat memberikan tambahan pendapatan masyarakat. Peluang peningkatan kontribusi hutan rakyat terhadap peingkatan pendapatan dapat dilakukan dengan pemanfaatan lahan di bawah tegakan dengan jenis-jenis tanaman yang tahan naungan. Selain itu peningkatan kegiatan pengelolaan hutan rakyat perlu dilakukan mulai dari pemilihan bibit unggul, pemeliharan sampai pemanenan perlu ditingkatkan sehingga hasil kayu dan non kayu hutan rakyat dapat meningkat baik kuantitas maupun kualitas. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan merupakan sebuah manifestasi fungsi dari penciptaan kestabilan ekosistem, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penunjang pembangunan nasional. Kompleksnya fungsi yang dimiliki oleh sumberdaya hutan inilah yang kemudian menjadikannya sebagai sumber kepentingan dari para stakeholder. Dengan demikian langkah paling utama yang
harus diambil oleh para pelaku kebijakan adalah dengan membentuk sebuah wadah atau forum yang dapat mengakomodasi seluruh kepentingan dari para stakeholder terkait. Setelah lembaga multi stakeholder tersebut dibentuk dan memiliki legalitas serta legitimasi yang kuat maka langkah selanjutnya adalah merumuskan beberapa prioritas program/kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan yang harus segera dijalankan. Prioritas tersebut diperlukan untuk menjaga efektifitas dan efisiensi dari kebijakan yang dirumuskan demi mencapai tujuan pengelolaan hutan yang lestari dan holistik. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya mem-butuhkan kerjasama yang saling berkesinambungan antar stakeholder yang terlibat di dalam kepengurusan hutan. Dewan Kehutanan Daerah Perumusan kebijakan pengelolaan sumbedaya hutan kolaboratif yang melibatkan para stakeholder akan menjadi solusi yang tepat dalam menjawab segala permasalahan di dunia kehutanan asalkan ada etika baik dari para stakeholder. Jika intuisi moral semacam ini sulit untuk diterima rasionalisasinya maka sudah seharusnya dibuat sebuah regulasi formal yang mampu memberikan batasanbatasan hukum yang jelas dan berkeadilan sehingga sumberdaya hutan pun diharapkan akan tetap terjaga kelestariannya. Dewan Kehutanan Daerah (DKD) merupakan sebuah forum stakeholders yang hadir sebagai tawaran solusi bagi perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan multistakeholders di Kabupaten Jombang, dimana unsur government terwujud dalam dua bentuk yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang dan Perum Perhutani. Dikotomi pengurusan hutan di daerah memang sudah tertuang dalam peraturan perundang-undangan, yaitu PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan dan PP No. 30 tahun 2003 tentang Perum Perhutani. Meskipun demikian interaksi antara Pemda dengan Perum Perhutani sebenarnya juga diperlukan agar pengelolaan sumberdaya hutan di daerah dapat menghasilkan manfaat yang menyeluruh. Selain itu dalam kaitannya dengan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik diutamakan juga hadirnya partisipasi aktif dari masyarakat. Partisipasi masyarakat diper353
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
lukan dalam kaitannya dengan akuntabilitas serta transparansi dalam proses kebijakan yang dibuat. Keberadaan sektor swasta juga menjadi faktor penting dalam agenda pembangunan daerah. Beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa kemampuan daerah dalam memenuhi APBD melalui jalur PAD hanya sebesar 10 – 15 % sebenarnya memerlukan keterlibatan sektor swasta untuk membangun sektor-sektor penerimaan daerah sehingga harapannya daerah akan menjadi lebih mandiri dalam hal keuangan dan lebih kompetitif. Sebagai suatu lembaga yang terdiri dari elemen negara, masyarakat, dan swasta, DKD harus memiliki fungsi yang jelas dan tepat agar keberadaannya tidak menimbulkan efek superbody. Fungsi yang harus ada di dalam DMK ini antara lain: koordinasi, komunikasi, dan resolusi konflik. Fungsi koordinasi dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan mutlak diperlukan agar dalam pelaksanaan program tidak terjadi overlaping peran yang pada akhirnya hanya akan menurunkan produktifitas kinerja. Fungsi komunikasi diperlukan dalam kaitannya dengan persamaan persepsi dari masingmasing aktor agar tidak terjadi kesalahpahaman. Sementara fungsi resolusi konflik diperlukan untuk mengatasi permasalahan perbedaan kepentingan yang terjadi. Pengelolaan sumberdaya hutan di daerah, baik hutan negara mapun hutan rakyat, harus diseleng-garakan dengan tujuan untuk menjaga kelestariannya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian siapapun aktor yang terlibat di dalamnya harus memegang prinsip tersebut. Pemda dan Perum Perhutani harus mampu memposisikan diri sebagai agen pemerintah yang mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Transparansi dan akuntabilitas publik harus diberikan porsi yang seharusnya. Masya-rakat lokal juga harus berpartisipasi aktif terutama dalam proses-proses kebijakan yang berlangsung. Demikian halnya dengan swasta pun harus memberikan kontribusi nyata dalam melestarikan sumberdaya hutan dan mensejahterakan masyarakat. Dan yang paling penting adalah bahwa DKD ini harus memiliki legitimasi formal yang jelas. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah maka Pemda Jombang beserta dengan DPRD dapat membuat sebuah peraturan daerah yang
memuat hal ini agar dalam pelaksanaannya nanti DKD bukan hanya menjadi sebuah forum silaturahmi belaka yang tidak memiliki legitimasi hukum yang tegas. Perlu diyakini bahwa kehidupan manusia beserta seluruh peradaban yang dibawa bersamanya akan berjalan dengan positif seiring dengan kualitas sumberdaya hutan yang semakin membaik. Interaksi antar stakeholder di dalam merumuskan sebuah kebijakan bersama harus dilandasi oleh kesadaran bersama bahwa sumber daya hutan yang ada di daerah harus dijaga dan dikelola dengan tepat agar membawa kemanfaatan bersama. Di samping itu juga harus disertai dengan rasa saling percaya di antara stakeholder. Dan yang harus diperhatikan adalah penerapan prinsip partnerships di antara stakeholder sehingga pola interaksi yang terjadi benar-benar berdasarkan kesetaraan (equety) tanpa adanya dominasi dari pihak tertentu. Kesimpulan dan Saran Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di Kabupaten Jombang harus dirumuskan secara bersama-sama oleh para stake holder dengan memperhatikan dinamika ekologi, sosial dan politik. Pertimbangan ekologis diperlukan untuk memberikan batasan terhadap tingkat kekritisan hutan terkait dengan lestarinya fungsi ekologis dari hutan. Pertimbangan sosial diperlukan untuk menghadapi tekanan sosial yang datang dari masyarakat sekitar hutan. Sedangkan pertimbangan terhadap dinamika politik diperlukan baik untuk mengevaluasi bagaimana pengaruhnya kebijakan yang sudah pernah dijalankan terhadap tujuan pembangunan yang dicapai maupun keterlibatan stakeholder yang berkepentingan di dalamnya. Stakeholder yang harus dilibatkan di dalam merumus-kan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan di Kabupaten Jombang, yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jombang, Perum Perhutani KPH Jombang, DPRD Kabupaten Jombang, Pemerintah Desa, Petani/Masyarakat sekitar hutan, dan investor /swasta. Perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan di Kabupaten Jombang memerlukan sebuah bentuk kelembagaan kehutanan daerah, yaitu Dewan Kehutanan Daerah (DKD) yang merupakan wadah 354
Jejaring Administrasi Publik. Th V. Nomor 2, Juli-Desember 2013
apresiasi bagi para stakeholder terkait. selain itu sebaiknya pemerintah daerah harus berupaya untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat desa sekitar hutan di dalam pelaksanaan program/kebijakan penge-lolaan sumber daya hutan sejak dari tahap perencanaan. Penguatan partisipasi masyarakat desa sekitar hutan harus melalui proses pemberdayaan ditingkat lokal yang kemudian diiringi dengan proses-proses fasilitasi oleh Pemerintah Daerah untuk memunculkan potensi serta merumuskan suatu solusi pemecahan permasa-lahan sehingga menuju pada partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri. Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik Kabupaten Jombang, 2012. Kabupaten Jombang dalam Angka 2012. Jombang. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa – Madura, 2009. Stategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa. Yogyakarta. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jombang, 2009. Bupati Jombang Peduli Kehutanan. Jom-bang. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jombang, 2013. Inventarisasi Sumber Daya Sektor Kehuta-nan di Kabupaten Jombang. Jombang. Fischer, Frank, 2003. Beyond empiricism: Policy Analysis as Deliberative Practice. Di dalam Maartin A. Hajer and Hendrick Wagenaar, (Eds.), Deliberative Policy Analysis, Understanding Governance in the Network Society, New York-USA: Cambridge University Press. Grimble, Robin, dan Kate Wellard, 1997. “Stakeholder Methodologies in Natural Resource Management: a Review of Principle, Contexts, Experiences and Opportunities”. Di dalam Agricultural System, Vol.55, No.2, hal.173-193, 1997. Haris, Syamsuddin, 2001. Paradigma Baru Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Politik (P2P-LIPI), Jakarta. Peterson, Garry, 2000. “Political Ecology and Ecological Resillience: An Integration of Human dan Ecological Dynamics”. Di dalam Ecological Economics, vol. 35, Issue 3, hal.323-336, 2000.
Innes, Judith E., David E. Booher, 2003. Collaborative Policymaking: Governance Through Dialogue. Di dalam Maartin A. Hajer and Hendrick Wagenaar, (Eds.), Deliberative Policy Analysis, Understanding Governance in the Network Society, New York-USA: Cambridge University Press. Irawanto, Dhedhi, 2010. Konstruksi Kebijakan Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Kabupaten Jombang. Skripsi Sarjana, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kusumedi, Priyo, dan Achmad Rizal H. B., 2010. “Analisis Stakeholder dan Kebijakan Pembangunan KPH Model Maros di Propinsi Sulawesi Selatan”. Di dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Vol.7, No.3, hal.179-193, 2010. Peterson, Garry, 2000. “Political Ecology and Ecological Resillience: An Integration of Human dan Ecological Dynamics”. Di dalam Ecological Economics, vol. 35, Issue 3, hal.323-336, 2000. Simon, Hasanu, 2001. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Yogyakarta: BIGRAF Publishing. Siswoko, B. D., 2009. Good Forest Governance: Model Pengelolaan Hutan Negara di Kabupaten Gunung Kidul. Tesis Magister Sain. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
355