PENGARUH ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN TERHADAP KINERJA UMKM TAHU DI KABUPATEN BOGOR DENGAN GAYA PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI VARIABEL MODERATOR
ANDINA DYAH RAHMADHANI ADITYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Orientasi Kewirausahaan terhadap Kinerja UMKM Tahu di Kabupaten Bogor dengan Gaya Pengambilan Keputusan sebagai Variabel Moderator adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Andina Dyah Rahmadhani Aditya H351140376
RINGKASAN ANDINA DYAH RAHMADHANI ADITYA. Pengaruh Orientasi Kewirausahaan terhadap Kinerja UMKM Tahu di Kabupaten Bogor dengan Gaya Pengambilan Keputusan sebagai Variabel Moderator. Dibimbing oleh HENY K.S DARYANTO dan BURHANUDDIN Kewirausahaan telah menjadi perhatian penting dalam mengembangkan pertumbuhan sosio ekonomi suatu negara. Semakin maju suatu negara, semakin banyak orang yang terdidik dan banyak pula orang menganggur, maka semakin dirasakan pentingnya kewirausahaan. Kemandirian ekonomi suatu negara khususnya Indonesia dapat dibangun melalui kewirausahaan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kewirausahaan memiliki peranan yang cukup penting terhadap perekonomian negara dan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Konsep kewirausahaan dapat diterapkan pada beberapa sektor, salah satunya adalah sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. UMKM kurang lebih memberikan kontribusi sebesar 50 persen terhadap PDB nasional dan setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Sektor UMKM memiliki peran yang cukup besar bagi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Akan tetapi, pada kenyataannya peningkatan daya saing UMKM sering menghadapi kendala karena skala ekonomi kecil dan ketersediaan sumber daya yang terbatas. Salah satu UMKM yang mengalami kendala tersebut adalah UMKM pembuatan tahu di Kabupaten Bogor. Kecenderungan umum yang terjadi dalam lingkungan bisnis saat ini adalah pemendekan produk dan siklus hidup model bisnis. Akibatnya, laba usaha yang didapatkan saat ini tidak menentu dan bisnis perlu terus-menerus mencari peluang baru. Orientasi kewirausahaan merupakan proses suatu perusahaan dalam menjalankan bisnis (strategi bisnis) untuk menciptakan kinerja yang baik. Berdasarkan identifikasi kondisi bisnis atau usaha yang dijalankan, para pelaku usaha pembuatan tahu dapat mengambil manfaat dari mengadopsi atau mengimplementasikan orientasi kewirausahaan. Tujuan penelitian ini adalah 1) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi orientasi kewirausahaan pelaku usaha pembuatan tahu dalam menjalankan usaha untuk meningkatkan kinerja usahanya 2) menganalisis dimensi yang membentuk orientasi kewirausahaan pelaku usaha pembuatan tahu dalam menjalankan usaha untuk meningkatkan kinerja usaha dan 3) menganalisis pengaruh orientasi kewirausahaan pelaku usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor terhadap kinerja usaha dengan gaya pengambilan keputusan sebagai variabel moderatornya. Penelitian ini dilaksanakan di 14 kecamatan wilayah pelayanan di Kabupaten Bogor berdasarkan frame sampling dari KOPTI Kabupaten Bogor. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan pengurus KOPTI dan 100 pelaku usaha pembuatan tahu di lokasi masing-masing dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disediakan. Data sekunder diperoleh dengan cara mempelajari buku dan sumber yang relevan dengan topik yang diteliti dari Kementrian Koperasi dan UMKM, Badan Pusat Statistik, dan KOPTI Kabupaten Bogor. Pengambilan data sekunder diperoleh juga dari
literatur-literatur, baik yang didapat di perpustakaan maupun dari tempat lain berupa hasil penelitian terdahulu mengenai kajian kewirausahaan, orientasi kewirausahaan, serta kinerja UMKM, baik dari media cetak (tabloid dan majalah), maupun media elektronik (internet). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, penyimpan data elektronik, dan alat pencatat. Analisis yang digunakan yaitu dengan analisis deskriptif dan kuantitatif Partial Least Square (PLS) dengan program SmartPLS. Hasil penelitian ini menunjukkan Faktor-faktor yang memengaruhi orientasi kewirausahaan pada pelaku usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor terdiri dari sumberdaya, karakteristik usaha, lingkungan eksternal, dan peran pemerintah. Faktor yang paling berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan adalah sumberdaya. Faktor orientasi kewirausahaan yang berpengaruh selanjutnya adalah lingkungan eksternal, karakteristik usaha dan yang terakhir adalah peran pemerintah. Tingkatan faktor yang berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan tersebut dilihat dari hasil outer loading dan penelitian di lapang. Dimensi orientasi kewirausahaan yang terlihat pada pelaku usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor adalah keinovatifan, proaktif, berani mengambil risiko, agresivitas kompetitif, dan otonomi. Berdasarkan kondisi di lapang dan hasil outer loading keinovatifan pada pelaku usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor paling terlihat. Salah satu bentuk keinovatifannya adalah keinovatifan pada produk tahu yang diproduksi. Orientasi kewirausahaan berpengaruh secara langsung dengan kinerja usaha. Model pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha menggunakan variabel gaya pengambilan keputusan sebagai variabel moderator. Gaya pengambilan keputusan secara langsung berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha. Akan tetapi variabel gaya pengambilan keputusan berinteraksi dengan orientasi kewirausahaan berpengaruh negatif terhadap kinerja usaha.
Kata kunci: Orientasi kewirausahaan, Partial Least Square, tahu, UMKM.
SUMMARY ANDINA DYAH RAHMADHANI ADITYA. The Influence of Entrepreneurship Orientation towards Tofu SME’s Performance in Bogor Regency with Decision Making Style as Moderator Variable. Supervised by HENY K.S DARYANTO and BURHANUDDIN Entrepreneurship has become an important concern to develop socioeconomic growth of the country. The more developed a country, there are many educated people but there are also many unemployed. So that increasingly perceived the importance of entrepreneurship. Economic independence of a country, especially Indonesia can be built through entrepreneurship. Therefore, it can be said that entrepreneurship has an important role on the economy and labor conditions in Indonesia. Entrepreneurship concept can be applied to several sectors, such as Micro Small and Medium Enterprises (SMEs). SMEs provide a substantial contribution to Gross Domestic Product of Indonesia. SMEs contribute about 50 percent to national GDP, and every year tends to increase. SMEs sector has a considerable role for the overall economic development. However, in fact enhancement the competitiveness of SMEs often face constraints due to the small economies of scale and availability of limited resources. SMEs which are facing the obstacles is the tofu SMEs in Bogor Regency. The general trend which happen in business environment is shortening life cycle of products and business models. As a result, the profit which gotten is uncertain and business need to look for new opportunities. Entrepreneurship orientation is the process of a company to do the business (business strategy) and create a good performance. Based on the identification of business conditions or business carried on, tofu entrepreneur could get benefit from adopting or implementing entrepreneurship orientation. The purpose of this study are 1) to analyze the factors that influence the entrepreneurship orientation of tofu entrepreneur to improve the business performance 2) to analyze the dimensions of entrepreneurship orientation of tofu entrepreneur to improve business performance and 3) to analyze the effect of entrepreneurship orientation of tofu entrepreneur in Bogor Regency towards business performance with decision making style as moderator variable. This study was conducted in 14 districts of Bogor Regency based on the sampling frame from KOPTI Bogor Regency. Data which used in this study are primary data and secondary data. Primary data was obtained from interviews with administrators KOPTI and 100 tofu entrepreneur at each location using a list of questions (questionnaire) that has been provided. Secondary data were obtained by studying books and resources that are relevant to the topic under study from the Ministry of Cooperatives and SMEs, the Central Bureau of Statistics, and KOPTI Bogor Regency. Collection of secondary data obtained also from literature, obtained either in the library or from other places such as the results of previous research on the study of entrepreneurship, entrepreneurship orientation, as well as the performance of SMEs, both in the print media (tabloids and magazines), and electronic media (internet). The instrument which used in this study are questionnaire, electronic data storage and recording devices. The
analysis used are descriptive and quantitative analysis Partial Least Square (PLS) with SmartPLS program. Results of this study indicate factors that influence entrepreneurship orientation of tofu entrepreneur in Bogor Regency consist of resources, business characteristics, the external environment, and the role of government. The factors that most influence of entrepreneurship orientation is resources. Factors that influence the entrepreneurial orientation next is the external environment, business characteristics and the last is the role of government. Levels of factors that influence the entrepreneurial orientation seen from the outer loading and research in the field. Entrepreneurship orientation of tofu entrepreneur in Bogor Regency are innovativness, proactive, risk-taking, competitive aggressiveness and autonomy. Based on field conditions and outer loading result that innovativness of tofu entrepreneur in Bogor Regency is the most visible. One of innovativness which done by tofu entrepreneur is products innovativness. Entrepreneurship orientation directly affects the performance of the business. Model influence of entrepreneurship orientation towards business performance using a variable decision making style as a moderator variable. Decision making style directly influence the entrepreneurship orientation and business performance. However, decision making style variable interacts with the entrepreneurship orientation negatively affect business performance.
Keywords: Entrepreneurship orientation, Partial Least Square, SMEs, tofu.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN TERHADAP KINERJA UMKM TAHU DI KABUPATEN BOGOR DENGAN GAYA PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI VARIABEL MODERATOR
ANDINA DYAH RAHMADHANI ADITYA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis
: Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Penguji Program Studi
: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Pengaruh Orientasi Kewirausahaan terhadap Kinerja UMKM Tahu di Kabupaten Bogor dengan Gaya Pengambilan Keputusan sebagai Variabel Moderator. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Terdapat sejumlah pihak yang telah memasilitasi penulis dalam menyelesaikan tesis ini, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih, khususnya kepada: 1) Dr Ir Heny K.S Daryanto, MEc, selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr Ir Burhanuddin, MM selaku anggota komisi pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam berbagi ilmu dan pengalaman, serta atas dukungan moril dan materil selama melakukan pembimbingan kepada penulis. 2) Dr Ir Rachmat Pambudy selaku dosen evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. 3) Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis. 4) Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis. 5) Ibunda tersayang Sulistiani dan ayahanda Sulistioadi atas doanya yang tidak pernah putus serta kakak-kakak Eka Nurrachman Aditya dan Ayunda Kamasary atas dukungan yang berguna selama penyelesaian studi. 6) Luqman Addinirwan, yang telah memberikan dukungan moril semangat kepada penulis. 7) Teman-teman seperjuangan fastrack II, MSA IV pada Program Studi Magister Agribisnis, sahabat-sahabat terdekat yang telah berbagi pengalaman melalui diskusi-diskusi, dan atas dukungan mereka dalam menyelesaikan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015 Andina Dyah Rahmadhani Aditya
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
5
Tujuan Penelitian
9
Manfaat Penelitian
9
Ruang Lingkup Penelitian
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
10
Dimensi Orientasi Kewirausahaan
10
Orientasi Kewirausahaan dengan Kinerja Usaha
12
Faktor-Faktor Orientasi Kewirausahaan
13
Kinerja Usaha
14
Gaya Pengambilan Keputusan
15
3 KERANGKA PEMIKIRAN
16
Kerangka Teoritis
16
Kerangka Operasional
21
4 METODE PENELITIAN
25
Lokasi dan Waktu Penelitian
25
Metode Penentuan Responden
25
Desain Penelitian
25
Data dan Instrumentasi
25
Metode Pengumpulan Data
26
Metode Analisis Data
26
Variabel Pengukuran
29
5 GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN
32
Deskripsi Kabupaten Bogor
32
Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Kabupaten Bogor
33
Gambaran Industri Tahu di Kabupaten Bogor
35
Gambaran Karakteristik Pelaku Usaha Tahu di Kabupaten Bogor
41
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Model Pengaruh Orientasi Kewirausahaan Terhadap Kinerja Usaha
43 43
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Orientasi Kewirausahaan
49
Dimensi Orientasi Kewirausahaan
53
Pengaruh Orientasi Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha dengan Gaya Pengambilan Keputusan sebagai Variabel Moderator
58
7 SIMPULAN DAN SARAN
63
Simpulan
63
Saran
63
DAFTAR PUSTAKA
64
LAMPIRAN
73
RIWAYAT HIDUP
78
DAFTAR TABEL 1 Nilai produk domestik bruto sektor usaha mikro, kecil, menengah dan nasional tahun 2009-2012 atas dasar harga berlaku 2 Konsumsi rata-rata per kapita tahu dan tempe per minggu tahun 2007-2012 3 Jumlah serapan tenaga kerja dan kontribusi dari sektor UMKM dan usaha besar terhadap PDRB Jawa Barat tahun 2010-2012 4 Jumlah anggota dan tenaga kerja pelaku usaha tahu anggota KOPTI berdasarkan wilayah pelayanan di Kabupaten Bogor tahun 2012 5 Perbandingan PLS dengan CBSEM 6 Aturan evaluasi pengukuran model PLS indikator reflektif 7 Aturan evaluasi struktural model PLS 8 Variabel laten dan indikator penelitian 9 Anggota KOPTI yang berada di wilayah Kabupaten Bogor 10 Karakteristik usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor 11 Jenis dan fungsi peralatan dalam pembuatan tahu 12 Loading factor, t-value, average variance extracted, dan composite reliability 13 Nilai r-square variabel laten endogen 14 Koefisien jalur dan t-value 15 Sebaran responden pelaku usaha tahu berdasarkan jumlah omset 16 Sebaran responden pelaku usaha tahu berdasarkan jumlah keuntungan
2 3 4 7 27 28 29 30 34 36 38 47 48 49 60 61
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kerangka konseptual orientasi kewirausahaan Model orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dengan efek moderasi Model orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dengan efek mediasi Model orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dengan efek independen Model orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dengan efek interaksi Kerangka pemikiran operasional Peta wilayah administrasi Kabupaten Bogor KOPTI Kabupaten Bogor Presentase kendala pelaku usaha tahu Bahan-bahan untuk produksi tahu Proses produksi tahu Presentase sebaran responden pelaku usaha tahu berdasarkan jenis kelamin Presentase sebaran responden pelaku usaha tahu berdasarkan umur Presentase sebaran responden pelaku usaha tahu berdasarkan pendidikan Model awal pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha Tampilan hasil PLS algorithm pada model awal Tampilan hasil PLS algorithm pada model akhir
18 18 19 19 19 24 33 34 37 39 40 41 42 43 44 45 46
18 Jenis produk tahu 19 Model orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha menggunakan efek moderasi
54 62
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Dokumentasi penelitian Hasil output Partial Least Square (PLS)
70 72
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kewirausahaan telah menjadi perhatian penting dalam mengembangkan pertumbuhan sosio ekonomi suatu negara. Semakin maju suatu negara, semakin banyak orang yang terdidik dan banyak pula orang menganggur, maka semakin dirasakan pentingnya kewirausahaan. Menurut Wennekers dan Thurik (1999) kewirausahaan merupakan faktor utama yang memengaruhi pergerakan ekonomi yaitu dengan memperkenalkan inovasi, menyediakan pekerjaan, meningkatkan persaingan dan kesejahteraan. Kewirausahaan berperan menambah daya tampung tenaga kerja, generator pembangunan, contoh bagi masyarakat lain, membantu orang lain, memberdayakan karyawan, hidup efesien dan menjaga keserasian lingkungan. Acs (2006) menyatakan bahwa kewirausahaan diperlukan untuk mengenali kesempatan dan cara pemanfaatan sumber daya yang memberikan keuntungan lebih tinggi. Wirausaha berperan dalam pembangunan ekonomi dengan menghasilkan dan mewujudkan gagasan-gagasan yang inovatif, diantaranya inovasi produk, inovasi proses, pemasaran, dan organisasi. Adanya inovasi akhirnya dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, serta meningkatkan efisiensi pasar dengan semakin bertambahnya wirausaha yang sukses. Schumpeter yang diacu pada Casson et al. (2008) mengatakan bahwa jika suatu negara memiliki banyak entrepreneur, negara tersebut pertumbuhan ekonominya tinggi, yang akan melahirkan pembangunan ekonomi yang tinggi. Menurut Hulsmann (1999) pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh dua unsur, (a) dengan jumlah barang yang tersedia yang dapat digunakan dalam proses produksi dan (b) dengan ketangkasan, faktor-faktor produksi yang tersedia digabungkan. Maka dari itu, untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi maka perlu adanya jiwa kewirausahaan untuk mengelola kedua unsur tersebut. Kemandirian ekonomi suatu negara khususnya Indonesia dapat dibangun melalui kewirausahaan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kewirausahaan memiliki peranan yang cukup penting terhadap perekonomian negara dan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari perkembangan situasi ketenagakerjaan Indonesia menunjukkan perubahan arah yang lebih baik, diindikasikan dengan adanya penurunan tingkat pengangguran dari 9.26 juta orang pada Februari 2009 menjadi 7.17 juta orang pada Februari 2013. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja yang bekerja dari 113.74 juta orang pada Februari 2009 menjadi 121.19 juta orang pada Februari 2013 (BPS 2013). Untuk mengatasi keterbatasan penyerapan tenaga kerja, berbagai upaya dilakukan antara lain pengembangan orientasi dalam berwirausaha dengan tujuan menghasilkan kinerja yang baik. Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan potensi kewirausahaan adalah melalui program Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN). Program tersebut telah diklaim berhasil meningkatkan angka wirausaha yang ada di Indonesia, dimana sebelum dicanangkan program GKN tahun 2011 presentase wirausaha di Indonesia baru sekitar 0.18 persen, saat ini tahun 2014 presentase tersebut meningkat menjadi 1.65 persen dari jumlah penduduk di Indonesia (KEMENKOP dan UKM 2014).
2 Konsep kewirausahaan dapat diterapkan pada beberapa sektor, salah satunya adalah sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2013), UMKM kurang lebih memberikan kontribusi sebesar 50 persen terhadap PDB nasional dan setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Data kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia dari tahun 2009-2012 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Nilai produk domestik bruto sektor usaha mikro, kecil, menengah dan nasional tahun 2009-2012 atas dasar harga berlaku Uraian PDB UMKM (Milyar Rupiah) PDB Nasional (Milyar Rupiah) Persentase PDB UMKM (%)
2009 2 993 5 295 56.52
2010 3 466 6 069 57.11
2011 4 304 7 427 57.95
2012 4 869 8 241 59.08
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memainkan peran yang semakin penting dalam pertumbuhan ekonomi sebagian besar negara. UMKM menjadi penting sebagai sumber penciptaan lapangan kerja dan pelaku utama dalam memaksimalkan efisiensi alokasi dan distribusi sumber daya dengan memobilisasi dan memanfaatkan sumber daya manusia dan material lokal. UMKM juga bertindak sebagai pemasok barang dan jasa untuk organisasi besar. Sebagian besar UMKM dicirikan sebagai usaha yang dinamis, inovatif, efisien dan ukurannya yang kecil memungkinkan untuk fleksibilitas, kecepatan memberikan umpan balik dalam menjalankan usaha, rantai pengambilan keputusan yang singkat, pemahaman yang lebih baik dan respons cepat yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (Idar dan Mahmood 2011). Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013) terjadi peningkatan terus menerus jumlah usaha mikro yang merupakan sumber wiarausaha baru dan proporsinya sangat dominan dalam struktur pelaku usaha di Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan 2014. Sementara itu peningkatan jumlah usaha kecil dan menengah yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan jumlah usaha menunjukkan adanya usaha yang “naik kelas”. Sektor UMKM memiliki peran yang cukup besar bagi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Akan tetapi, pada kenyataannya peningkatan daya saing UMKM sering menghadapi kendala karena skala ekonomi kecil dan ketersediaan sumber daya yang terbatas. Kecenderungan umum yang terjadi dalam lingkungan bisnis saat ini adalah pemendekan produk dan siklus hidup model bisnis (Hamel yang diacu oleh Huang et al. 2011). Akibatnya, laba usaha yang didapatkan saat ini tidak menentu dan bisnis perlu terus-menerus mencari peluang baru. Orientasi kewirausahaan merupakan proses suatu perusahaan dalam menjalankan bisnis (strategi bisnis) untuk menciptakan kinerja yang baik. Berdasarkan identifikasi kondisi bisnis atau usaha yang dijalankan, para pelaku usaha dapat mengambil manfaat dari mengadopsi atau mengimplementasikan orientasi kewirausahaan. Orientasi kewirausahaan menuntut individu khususnya pelaku usaha untuk berinovasi, berani mengambil risiko untuk menghasilkan produk-produk baru yang masih belum pasti dapat diterima pasar dan lebih proaktif terhadap peluang baru yang ada di pasar (Covin dan Slovin 1991).
3 Jenis-jenis UMKM dapat dibedakan berdasarkan jenis produk yang dihasilkan, antara lain adalah UMKM produk kerajinan tangan, produk rumah tangga, dan produk pangan. Salah satu usaha yang banyak digeluti oleh sebagian masyarakat Indonesia adalah di bidang pangan. UMKM pengolahan kedelai merupakan salah satu jenis UMKM di bidang pangan. Kedelai merupakan salah satu komoditas yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut PUSDATIN (2013) pada tahun 2002-2012, konsumsi total kedelai relatif berfluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan sebesar 2.69 persen, sedangkan pada tahun 2013 konsumsi kedelai masyarakat Indonesia mencapai 2.250 juta ton per tahun (SETKAB 2013). Produk olahan kedelai yang cukup banyak diminati oleh masyarakat Indonesia adalah tahu. Berdasarkan data dari BPS (2014) konsumsi tahu rata-rata per kapita seminggu dari tahun 2007 sampai dengan 2012 adalah 0.140 kg, jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan dengan tempe yaitu sejumlah 0.139 kg pada rentang tahun tersebut (Tabel 2). Tabel 2 Konsumsi rata-rata per kapita tahu dan tempe per minggu tahun 2007-2012 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rata-rata
Tahu (kg) 0.163 0.137 0.135 0.134 0.142 0.134 0.140
Jenis produk Tempe (kg) 0.153 0.139 0.135 0.133 0.140 0.136 0.139
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (diolah)
Kebutuhan kacang kedelai di Indonesia sebanyak 70 sampai dengan 80 persen dipenuhi dengan impor dari negara lain, sisanya dipenuhi dari produksi dalam negeri. Bahan baku kedelai sebagian besar digunakan oleh industri tahu yang umumnya berskala kecil dan menengah tersebut. Ketergantungan atas impor kedelai merupakan salah satu ancaman bagi keberlanjutan usaha industri pengolahan kedelai khususnya untuk industri tahu (Nurhayati et al. 2012). Diduga hal ini menghambat perkembangan industri pengolahan kedelai di Indonesia. Selain itu, permasalahan mendasar yang terjadi pada industri pengolahan kedelai adalah fluktuasi harga kedelai yang setiap harinya tidak menentu. Harga kedelai berpatokan pada kurs dollar yang bersifat elastis terhadap perubahan yang terjadi. Ketidakpasatian harga kedelai yang ada di pasar menyebabkan para pelaku usaha di industri pengolahan kedelai harus dapat mengatur biaya produksi yang dikeluarkan, sehingga usaha yang dijalankan tidak mengalami hambatan yang dapat membuat usaha tersebut gulung tikar pada akhirnya. Faktor budaya dan psikologi masyarakat atau konsumen tahu mempengaruhi pengembangan industri pengolahan kedelai termasuk tahu. Masyarakat pulau Jawa diindikasikan lebih menyukai produk olahan kedelai berupa tahu dibandingkan dengan masyarakat lainnya (Nurhayati et al. 2012). Hal ini terlihat dengan sentralisasi industri pengolahan kedelai yang tersebar di
4 beberapa daerah antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya di pulau Jawa (SETKAB 2013). Konsep orientasi kewirausahaan (EO) untuk menjelaskan pola pikir pelaku yang bergerak dalam mengembangkan usahanya dan menyediakan kerangka yang berguna untuk meneliti aktivitas kewirausahaan (Lumpkin dan Dess 2001). Orientasi kewirausahaan memungkinkan dimiliki oleh pelaku usaha kecil atau pelaku usaha baru yang baru dibangun kurang dari sepuluh tahun untuk meningkatkan kinerja usaha dan menghadapi pesaing dari usaha yang dibangun (Lumpkin dan Dess 2001; Wiklund dan Shepherd 2005). Bagi pelaku usaha pembuatan tahu dengan terbentuknya orientasi kewirausahaan pada dirinya akan dapat menghadapi tantangan dan meningkatkan kinerja usaha. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mengenai tantangan yang dihadapi oleh pelaku usaha pembuatan tahu seperti pesaing pada usaha sejenis ini dapat diatasi dengan penerapan orientasi kewirausahaan. UMKM yang ada pada setiap provinsi di Indonesia memberikan kontribusi terhadap PDB Indonesia begitu juga dengan provinsi Jawa Barat. Sektor UMKM di Jawa Barat memberikan kontribusi cukup besar terhadap PDRB Jawa Barat dibandingkan dengan usaha besar. Banyaknya jumlah UMKM di Jawa Barat dapat menyerap tenaga kerja yang pastinya mengurangi angka pengangguran di Jawa Barat. Serapan tenaga kerja di Jawa Barat dengan adanya UMKM ini semakin meningkat dari tahun 2010 sampai dengan 2012 sejalan dengan peningkatan kontribusi UMKM di Jawa Barat terhadap PDRB Jawa Barat. Data serapan tenaga kerja dan kontribusi UMKM terhadap PDRB Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah serapan tenaga kerja dan kontribusi dari sektor UMKM dan usaha besar terhadap PDRB Jawa Barat tahun 2010-2012 Kategori Serapan tenaga kerja (jiwa)
Peranan terhadap PDRB (%)
Tahun 2010 2011 2012 2010 2011 2012
Jenis usaha UMKM Usaha Besar 13 966 311 2 121 539 14 278 402 2 270 763 15 007 695 2 374 805 53.75 46.25 54.20 45.80 54.55 45.45
Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 2013 (diolah)
Bogor merupakan wilayah dimana penduduknya memiliki usaha sendiri yang terbesar pada bulan Agustus 2012 di Jawa Barat, yaitu sebesar 359 193 orang (BPS Jawa Barat 2012). Kabupaten Bogor adalah salah satu wilayah Bogor yang terdapat banyak usaha tahu dan menjadi salah satu sentra UMKM tahu di Jawa Barat. Sebagian besar bentuk usaha pengolahan kedelai menjadi tahu adalah Usaha Kecil Menengah (UKM) akan tetapi masih terdapat usaha tahu yang termasuk dalam usaha skala mikro. Seiring dengan pertumbuhan kuantitas dari industri tahu di Indonesia, maka persaingan di industri tahu saat ini berjalan dengan ketat sehingga pelaku usaha tahu harus dapat meningkatkan kinerja usaha dan memiliki bergaining position yang kuat di pasar. Berdasarkan data dari
5 KOPTI Kabupaten Bogor tahun 2012, jumlah UMKM tahu di Kabupaten Bogor pada tahun tersebut sebanyak 327 unit yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1 545 orang, sehingga dapat disimpulkan bahwa industri tahu mampu menjadi motor penggerak perekonomian Kabupaten Bogor. Apabila dibandingkan dengan industri sejenis di wilayah Kota Bogor, jumlah UMKM tahu di Kota Bogor lebih sedikit dibandingkan di Kabupaten Bogor yaitu sebanyak 155 (PRIMKOPTI 2012). Berdasarkan uraian di atas, maka dipilihlah wilayah Kabupaten Bogor sebagai lokasi pada penelitian ini yang didasarkan pada frame sampling dari KOPTI Kabupaten Bogor.
Perumusan Masalah Orientasi kewirausahaan terjadi atas dasar rencana bisnis strategis yang harus disiapkan untuk diaplikasikan oleh pelaku usaha. Rencana bisnis strategis ini berbeda untuk setiap usaha yang dijalankan tergantung pada sumber daya serta kemampuan dari setiap pelaku usaha. Hal tersebut disesuaikan dengan cara pelaku usaha dalam mengatur dan mengambil keputusan dalam menjalanan usahanya. Sebuah rencana bisnis strategis merupakan integrasi dari berbagai elemen yang mendorong bisnis ke arah pencapaian tujuan secara keseluruhan. Rencana bisnis strategis tergantung pada aplikasi praktek yang efektif dan keberlanjutan serta pelaku usaha yang kompetitif. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa orientasi kewirausahaan memiliki berbagai aspek dan elemen bila diterapkan dalam lingkup operasional organisasi (Rauch et al. 2009). Orientasi kewirausahaan telah muncul sebagai konsep penting dalam manajemen strategis dan kewirausahaan selama dua dekade terakhir. Sebagai awalnya diusulkan oleh Miller (1983) orientasi kewirausahaan melibatkan kesediaan pelaku usaha untuk berinovasi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Selain itu dengan mencoba untuk menghasilkan produk dan layanan baru dengan kata lain berani mengambil risiko akan hal tersebut, serta untuk lebih proaktif dibandingkan pesaingnya dalam mencari peluang pasar baru. Kedelai yang awalnya hanya sebagai komoditas palawija tradisional, telah berubah menjadi komoditas pangan strategis dalam ekonomi nasional. Hal tersebut disebabkan salah satunya kedelai menduduki posisi sangat penting untuk konsumsi pangan karena mengandung protein, lemak, vitamin dan mineral yang permintaannya meningkat dari tahun ke tahun (Supadi 2009). Kedelai sebagai komoditas pangan yang strategis, mungkin terlalu berisiko apabila diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Alasan yang dijadikan pertimbangan utamanya adalah komoditas ini memegang peranan sentral dalam seluruh kebijakan pangan nasional karena sangat penting dalam menu pangan masyarakat Indonesia (Sumarno et al. dalam Supadi 2009). Kedelai berperan sebagai sumber nabati yang penting dalam rangka peningkatan gizi masyarakat, karena selain aman bagi kesehatan juga relatif murah dibandingkan dengan protein hewani (Swastika et al. dalam Supadi 2009). Produk pangan yang dihasilkan dari komoditas kedelai relatif murah dan beragam, salah satunya adalah tahu. Tahu sudah menjadi makanan masyarakat Indonesia. Walaupun ada yang mengatakan bahwa tahu berasal dari Cina yang dikenal dengan nama tofu, namun masyarakat Indonesia sudah menganggapnya sebagai makanan tradisional yang bergizi,
6 murah dan lezat. Tahu, merupakan makanan sederhana yang nikmat serta kaya gizi dengan teksturnya yang kenyal halus dan rasanya yang gurih. Berbagai permasalahan yang merupakan tantangan harus dihadapi oleh para pelaku usaha tahu. Akan tetapi, para pelaku usaha tahu masih tetap berusaha keras menjalankan usahanya. Menurut kondisi di lapang, para pelaku usaha tahu menyatakan bahwa permintaan akan tahu setiap tahunnya dapat meningkat sebesar 10 persen per tahun. Permintaan tahu yang semakin meningkat di setiap tahunnya seiring dengan perkembangan bisnis kuliner, terutama jumlah restaurant dapat dijadikan sebagai peluang. Kondisi nyatanya, mayoritas tempat makan itu menyajikan olahan tahu sebagai pelengkap sajian. Usaha tahu sangat kompetitif, hampir di setiap kota maupun kabupaten selalu terdapat pabrik tahu. Berdasarkan hal tersebut, diduga pelaku usaha tahu memiliki agresivitas kompetitif. Akan tetapi, masih terdapat banyak peluang usahanya karena tahu termasuk makanan favorit masyarakat Indonesia. Rata-rata margin keuntungan dari usaha tahu mencapai 20 persen (Muchlis 2014). Namun, lokasi pabrik tahu ikut berperan dalam menentukan besarnya keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha pembuatan tahu. Muchlis (2014) menyatakan bahwa perbedaan margin yang didapatkan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah perbedaan daya beli masyarakat dan jumlah pabrik di suatu daerah dengan daerah lain. Terjadinya gejolak seperti berkurangnya pasokan yang diikuti dengan lonjakan harga kedelai akan memberikan dampak negatif terhadap keberlangsungan UMKM tahu. Kenaikan harga kedelai dimulai pada tahun 2008 dimana harga kedelai yang semula hanya Rp5 389 per kilogram pada tahun 2007 menjadi Rp8 536 per kilogram pada tahun 2008, yang diakibatkan kenaikan harga kedelai di pasar internasional sebesar 48.16 persen. Sampai dengan tahun 2012 harga kedelai masih sekitar Rp8 000 per kilogram, akan tetapi pada tahun 2013 kenaikan harga kedelai terjadi yaitu di atas Rp9 000 per kilogram (BKP Pertanian 2013). Harga kedelai pada tahun 2014 mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2013 yaitu sekitar Rp8 025 per kilogram menurut hasil wawancara oleh Primartantyo (2014). Akan tetapi fluktuasi harga kedelai terus terjadi setiap harinya, hasil wawancara dengan salah satu pengurus KOPTI Kabupaten Bogor mengatakan bahwa setiap harinya harga kedelai dapat naik maupun turun sekitar Rp100-Rp 200 per kilogram dan pada bulan Desember 2014 ini harga kedelai Rp8 200 per kilogram. Fluktuasi harga kedelai yang terjadi disebabkan karena berkurangnya pasokan kedelai di dunia, dimana kedelai yang digunakan untuk pembuatan produk pangan khususnya tahu ini sebagian besar masih diimpor dari luar seperti dari Amerika, Brazil, dan Argentina. Selain itu, Dewan Kedelai Nasional (DKN) mengidentifikasi bahwa adanya praktik kartel sebagai penyebab melonjaknya harga kedelai saat ini. Lonjakan harga kedelai saat ini tidak sematamata hanya karena kurs rupiah yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat, tetapi terjadi karena perdagangan kedelai dikontrol sepenuhnya oleh pihak swasta. Harga kedelai yang tidak menentu ini merupakan salah satu risiko produksi yang dihadapi hampir seluruh UMKM tahu di Kabupaten Bogor. Pelaku usaha tahu harus memiliki tindakan berani mengambil risiko dalam menjalankan usahanya ketika terjadi fluktuasi harga. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tahu di Kabupaten Bogor merupakan salah satu sektor industri yang cukup banyak di Kabupaten Bogor. Pemerintah Kabupaten Bogor memberikan perhatian khusus terhadap sektor
7 industri tahu di Kabupaten Bogor. Bentuk perhatian khusus yang diberikan pemerintah salah satunya adalah dengan dibentuknya Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) pada tahun 1980-an sebagai organisasi yang membantu para pelaku usaha tempe dan tahu dalam menjalankan usahanya. Salah satu peranan KOPTI adalah memberikan bantuan berupa kemudahan dalam mendapatkan pasokan kedelai dengan harga terjangkau. Jumlah pelaku usaha tahu yang cukup banyak itu tersebar di 14 kecamatan wilayah pelayanan yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Para pelaku usaha tahu berjumlah 327 yang terdaftar di KOPTI Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah anggota dan tenaga kerja pelaku usaha tahu anggota KOPTI berdasarkan wilayah pelayanan di Kabupaten Bogor tahun 2012
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Wilayah pelayanan Ciseeng Parung Cibinong Citeureup I Citeureup II Bojong Gede Sukaraja Ciawi Megamendung Caringin Cijeruk Tamansari Leuwiliang Ciampea Cibungbulang Jasinga Dramaga Jumlah
Jumlah anggota 74 11 44 4 6 2 21 19 46 47 1 6 34 6 6 327
Jumlah tenaga kerja 423 44 168 14 19 15 95 96 182 215 5 25 185 31 28 1 545
Sumber : KOPTI Kabupaten Bogor 2012 (diolah)
Para pelaku usaha tahu memiliki beberapa target yang ingin dicapai dalam menjalankan usahanya. Target tersebut antara lain adalah ingin menciptakan variasi produk olahan tahu. Pelaku usaha tahu berusaha menciptakan variasi produk tahu yang diproduksi dengan menambahkan kunyit dalam pembuatannya, sehingga menghasilkan tahu kunyit. Variasi tahu lainnya adalah dengan membuat berbagai bentuk dari tahu seperti tahu kotak dan tahu bulat. Variasi dalam bentuk kemasan juga dapat dilakukan dengan memberikan label berupa merek atau brand dari produk tahu diproduksinya. Selain itu bentuk kemasan produk dibuat semenarik mungkin, sehingga dapat meningkatkan minat konsumen untuk membeli produk tahu dengan melihat tampilan awal yang menarik. Variasi tersebut pada dasarnya diciptakan untuk membuat diferensiasi produk, sehingga dapat memberikan suatu kekhasan produk tahu dibandingkan dengan produk tahu di daerah lain. Target pencapaian oleh para pelaku usaha tahu tersebut merupakan bentuk inovasi yang ingin diciptakan, dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dari usaha yang berujung pada keberhasilan usahanya. Keinovatifan dari pelaku usaha tahu mengacu pada kemampuan yang terbuka dengan hal-hal yang baru, berusaha mencari tahu mengenai hal yang dianggap baru mengenai usaha yang
8 dijalankan. Beberapa pelaku usaha tahu telah melakukan beberapa inovasi produk tahu, akan tetapi inovasi harus terus dilakukan seiring dengan perkembangan zaman. UMKM tahu tersebar hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Bogor. Hal tersebut membuat antar pelaku usaha tahu harus berkompetisi untuk mendapatkan konsumen. Walaupun di setiap kecamatan terdapat usaha tahu, peluang dari usaha tahu di Kabupaten Bogor cukup besar. Bisnis kuliner di wilayah Bogor berkembang pesat, hampir di setiap rumah makan menyediakan berbagai produk olahan tahu. Maka dari itu berkembangnya bisnis kuliner di Bogor dapat dijadikan sebagai peluang bagi pelaku usaha tahu. Setiap wilayah kecamatan di Bogor terdapat beberapa usaha tahu sejenis, sebagai pelaku usaha tahu yang cerdik harus mampu memanfaatkan peluang dengan meningkatkan keunggulan dari produk yang dijualnya sebagai wujud dari proaktif dalam menjalankan usaha. Selain itu, kepekaan terhadap lingkungan bisnis diperlukan dalam menjalankan usaha tahu ini. UMKM tahu ini dipimpin oleh seorang pelaku usaha yang memiliki otonomi dalam menjalankanya. Pelaku usaha tahu ini berwenang dan bertanggung jawab atas seluruh kegiatan usahanya di setiap kondisi dan situasi. Kondisi dan situasi bisnis yang terjadi pada kenyataannya diperlukan kemampuan dalam menghadapi hal tersebut. Pelaku usaha dituntut untuk dapat menentukan rencana strategis dalam usaha yang dijalankan pada kondisi apapun yang disebut dengan orientasi kewirausahaan. Orientasi kewirausahaan pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sumberdaya seperti keuangan sebagai modal usaha, bahan baku dan jumlah tenaga kerja. Karakteristik usaha seperti skala usaha merupakan faktor yang memengaruhi orientasi kewirausahaan. Kondisi eksternal seperti persaingan secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada orientasi kewirausahaan. Pemerintah juga berperan dalam meningkatkan kewirausahaan pada pelaku usaha tahu dibuktikan dengan dibentuknya KOPTI yang ada di Kabupaten Bogor. Akan tetapi, perlu dilihat tanggapan pelaku usaha tahu tersebut terhadap peran pemerintah untuk meningkatkan kewirausahaan pada pelaku usaha tahu. Permasalahan yang terjadi pada UMKM tahu di Kabupaten Bogor seperti lonjakan harga kedelai, laba yang tidak menentu, dan skala usaha yang masih kecil menyebabkan kinerja UMKM tahu di Kabupaten Bogor mengalami ketidakstabilan. Ketidakstabilan kinerja tersebut merupakan salah satu hal penting yang akan memengaruhi keberlanjutan dari usaha tahu. Selain itu, berdasarkan identifikasi kondisi lingkungan usaha, diduga terdapat orientasi kewirausahaan pada pelaku usaha tahu tersebut yang memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja usaha tahu. Jadi terdapat keterkaitan antara orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha dari pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor. Pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor dalam memutuskan suatu keputusan usaha dipengaruhi oleh adanya gaya pengambilan keputusan. Identifikasi mengenai orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha diduga dipengaruhi oleh gaya pengambilan keputusan pelaku usaha khususnya untuk pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor. Ketika kinerja usaha tersebut buruk dapat dilakukan perbaikan dalam menjalankan usaha, sebaliknya apabila kinerja usaha tersebut baik, dapat dilakukan peningkatan dalam menjalankan usaha. Kinerja usaha perlu dianalisis untuk melihat perkembangan dari suatu usaha. Berdasarkan
9 uraian sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelumnya, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1) Faktor apa saja yang memengaruhi orientasi kewirausahaan pelaku usaha pembuatan tahu dalam menjalankan usaha untuk meningkatkan kinerja usahanya ? 2) Dimensi apa saja yang membentuk orientasi kewirausahaan pelaku usaha pembuatan tahu dalam menjalankan usaha untuk meningkatkan kinerja usahanya ? 3) Bagaimana pengaruh orientasi kewirausahaan pelaku usaha pembuatan tahu terhadap kinerja usaha dengan adanya gaya pengambilan keputusan sebagai variabel moderator ?
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1) Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi orientasi kewirausahaan pelaku usaha pembuatan tahu dalam menjalankan usaha untuk meningkatkan kinerja usahanya. 2) Menganalisis dimensi yang membentuk orientasi kewirausahaan pelaku usaha pembuatan tahu dalam menjalankan usaha untuk meningkatkan kinerja usaha. 3) Menganalisis pengaruh orientasi kewirausahaan pelaku usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor terhadap kinerja usaha dengan gaya pengambilan keputusan sebagai variabel moderatornya.
Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti: 1) Pelaku UMKM pembuatan tahu, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan orientasi kewirausahan yang lebih berdampak pada peningkatan kinerja usaha. 2) Pengambil kebijakan, penelitian ini berguna sebagai bahan referensi dalam meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan yang berkaitan dengan program-program pengembangan kewirausahaan. 3) Bagi penulis, penelitian ini berguna sebagai pondasi dalam meningkatkan motivasi pengembangan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan di kampus.
Ruang Lingkup Penelitian 1) Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi orientasi kewirausahaan, dimensi orientasi kewirausahaan serta pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha dengan gaya pengambilan keputusan sebagai variabel moderator. 2) Penelitian mengenai orientasi kewirausahaan ini menggunakan model dari Lumpkin dan Dess (1996) yang dimodifikasi oleh peneliti.
10 3) Penelitian ini ditujukan pada pelaku UMKM pembuatan tahu di 14 Kecamatan (wilayah pelayanan) yang ada di Kabupaten Bogor dan merupakan anggota dari KOPTI Kabupaten Bogor. 4) Faktor-faktor orientasi kewirausahaan, dimensi dari orientasi kewirausahaan dan pengaruh dari orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha dianalisis menggunakan Partial Least Square (PLS).
2 TINJAUAN PUSTAKA Dimensi Orientasi Kewirausahaan Penelitian orientasi kewirausahaan banyak memperdebatkan mengenai orientasi kewirausahaan terdiri dari tiga komponen yang berbeda ataukah membentuk suatu keseluruhan yang terintegrasi (Covin dan Slevin 1989; Lumpkin dan Dess 1996). Sebagian besar penelitian memperlakukan orientasi kewirausahaan sebagai salah satu dimensi (Rauch et al. 2009). Orientasi kewirausahaan terdiri dari tiga dimensi menurut identifikasi dari Covin dan Slevin (1989) yang didukung oleh Miller dan Freiesen (1982), ketiga dimensi tersebut yaitu keinovatifan, berani mengambil risiko, dan proaktif untuk mengkarakterisasi dan menguji kewirausahaan. Setelah itu, Lumpkin dan Dess (1996) mengidentifikasi dua dimensi tambahan yaitu otonomi dan agresivitas kompetitif. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa agresivitas kompetitif merupakan bagian dari faktor proaktif dan tidak mewakili faktor terpisah (Chang dan Lin 2011). Lumpkin dan Dess (1996) berpendapat bahwa proses destruksi kreatif diawali dengan seorang pengusaha menciptakan inovasi yang merupakan faktor penting keberhasilan dalam orientasi kewirausahaan. Selain itu, hubungan antara kewirausahaan dan inovasi didukung oleh hasil penelitian dari Shane, Kolvereid dan Westhead (1991), yang menemukan bahwa inovasi adalah salah satu motif utama untuk memulai usaha. Alvarez dan Barney yang diacu pada Balan (2010) mengemukakan bahwa dalam menghadapi lingkungan usaha yang semakin kompleks, maka suatu usaha perlu meningkatkan inovasi dari usaha yang dijalankannya untuk meningkatkan daya saing dan keberlangsungan usaha. Secara khusus, terdapat penelitian yang menunjukkan terdapat hubungan positif antara inovasi dengan kinerja perusahaan (Covin dan Slevin 1989). Kewirausahaan dan inovasi adalah konsep yang terpisah yang keduanya dianggap sebagai drive pertumbuhan ekonomi (Brett dan Gourman 2013). Feldman dan Francis (2004) membahas bahwa mendorong pengembangan keinovatifan dari pengusaha dengan pendekatan kewirausahaan akan memberikan kesuksesan dalam menjalankan usaha. Segala macam bentuk inovasi termasuk tingkat spesifik kebaruan tentunya memiliki kaitan yang erat dengan hal-hal baru (Brem 2011). Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa inovasi berkaitan erat dengan diciptakan atau ditemukannya sesuatu hal yang baru. Ireland dan Webb (2007) menegaskan bahwa orientasi kewirausahaan dapat terwujud melalui penerapan inovasi pada produk maupun proses suatu usaha yang dijalankan. Inovasi perlu dikombinasikan dengan pendekatan kewirausahaan
11 untuk mengenali peluang yang kemudian dapat dimanfaatkan melalui inovasi untuk mewujudkan suatu keberhasilan usaha (Balan 2010). Tingkat inovasi akan memutuskan seberapa jauh dan seberapa dalam inovasi tersebut akan mencapai tujuan strategis dari usaha yang dijalankannya (Hult et al. 2004). Sebuah postur strategis yang inovatif dapat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan karena meningkatkan kemungkinan bahwa perusahaan akan menyadari inovasi sebagai penggerak utama dalam mencapai keuntungan dengan memanfaatkan peluang pasar untuk meningkatkan hasil keuangan usaha ( Hult et al. 2004). Proaktif sebagai perspektif dalam mencari kesempatan atau peluang untuk berkompetisi dan bertindak dalam mengantisipasi perubahan lingkungan di masa mendatang merupakan dimensi dari orientasi kewirausahaan (Covin dan Slevin 1991; Lumpkin dan Dess 1996; Rauch et al. 2009). Oleh karena itu, dengan adanya perspektif tersebut pelaku usaha yang proaktif dapat memanfaatkan peluang yang muncul (Keh et al. 2007). Perusahaan dengan pelaku usaha yang proaktif dapat memperoleh keuntungan dan membidik target segmen pasar sehingga dapat mengungguli pesaing (Lumpkin dan Dess 2001). Oleh karena itu, proaktif diharapkan akan berperan penting dalam mempertahankan keunggulan kinerja perusahaan (Lumpkin dan Dess 2001). Mengambil risiko dapat dilihat dari sejauh mana suatu perusahaan bersedia untuk membuat komitmen besar dan berisiko (Covin dan Slevin 1991). Tindakan pengambilan risiko oleh pelaku usaha dapat diklasifikasikan menjadi tindakan berisiko rendah dan berisiko tinggi (Lumpkin dan Dess 1996). Umumnya, pelaku usaha yang memiliki perilaku berisiko kewirausahaan cenderung memilih kegiatan usaha yang berisiko tinggi untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator atau ukuran pengambilan risiko bagi pelaku usaha. Pengambilan risiko merupakan kegiatan yang membutuhkan kecepatan dalam bertindak untuk merebut dan menilai peluang pasar, mengalokasikan sumberdaya dengan tepat, dan cenderung berani bertindak dalam mengambil keputusan. Bahkan, keberanian dalam memanfaatkan peluang untuk menghasilkan produk dan jasa yang baru dianggap sebagai refleksi dari orientasi kewirausahaan (Antoncic dan Hisrich 2003; Naldi 2007). Penanganan risiko terdiri dari beberapa tahap yaitu identifikasi, analisis, pencegahan dengan menyeimbangkan biaya untuk melindungi perusahaan terhadap risiko. Cara ideal untuk mengatasi risiko adalah dengan memahami risiko di awal (Begley dan Boyd 1987). Penelitian menunjukkan bahwa pelaku usaha dengan tingkat sedang dalam pengambilan risiko akan lebih unggul dibandingkan menunjukkan tingkat sedang mengambil risiko akan mengungguli pasar dibandingkan dengan pelaku usaha yang menunjukkan tingkat sangat tinggi dan sangat rendah dalam mengambil risiko (Begley dan Boyd 1987). Pada dasarnya pengalaman dalam pengambilan risiko usaha mempengaruhi kemampuan mengatasi risiko usaha. Agresivitas kompetitif mengacu pada kecenderungan pelaku usaha secara langsung dan fokus menantang pesaingnya untuk bersaing dan mengungguli pesaing di pasar (Kraus et al. 2005). Hal ini juga mencerminkan kesediaan pelaku usaha untuk tidak bertindak secara konvensional. Aspek ini digunakan untuk mengukur bagaimana pelaku usaha menghadapi ancaman dan juga mengacu pada respon pelaku usaha yang diarahkan untuk mencapai keunggulan kompetitif (Grande et al. 2011). Agresivitas kompetitif dijadikan sebagai dimensi berbeda
12 yang membentuk orientasi kewirausahaan (Lumpkin dan Dess 1996; Ogunsiji et al. 2010). Banyak literatur yang menggunakan istilah proaktif dan agresivitas kompetitif secara bersamaan, akan tetapi terdapat perbedaan antara kedua istilah tersebut. Proaktif menyatakan bagaimana cara memanfaatkan peluang pasar dalam proses penciptaan permintaan, sedangkan agresivitas kompetitif mengacu pada bagaimana pelaku usaha bersaing dengan pesaing dalam menanggapi tren dan permintaan yang sudah ada di pasar (Lumpkin dan Dess 2001). Otonomi sebagai tindakan independen dari individu atau tim dalam mewujudkan ide atau visi dan membawanya sampai pencapaiannya merupakan dimensi dari orientasi kewirausahaan (Lumpkin dan Dess 1996). Secara umum, hal tersebut menunjukkan kemampuan dan kemauan untuk menjadi mandiri dalam memanfaatkan peluang. Apabila diterapkan dalam konteks organisasi khususnya usaha, otonomi mengacu pada kebebasan dalam mengambil tindakan yang berhubungan dengan usaha (Stevenson dan Jarillo 1990). Otonomi dalam suatu usaha bervarisai sesuai dengan ukuran atau skala usaha, manajemen usaha, dan kepemilikan (Lumpkin dan Dess 1996). Beberapa peneliti menyatakan bahwa otonomi dapat dijadikan sebagai dimensi dari orientasi kewirausahaan (Lumpkin dan Dess 1996; Razak 2011; Awang et al. 2009 )
Orientasi Kewirausahaan dengan Kinerja Usaha Studi mengenai orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha telah menerima banyak perhatian oleh sebagian besar peneliti kewirausahaan. Perilaku kewirausahaan untuk terlibat dalam usaha dengan risiko tinggi, perilaku inovatif, dan proaktif memiliki hubungan positif dengan profitabilitas usaha (Covin dan Slevin 1991; Lumpkin dan Dess 1996). Menurut Rauch et al. (2009) menyatakan bahwa bisnis yang mengadopsi orientasi kewirausahaan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan bisnis yang tidak mengadopsi orientasi kewirausahaan. Banyak studi mengenai orientasi kewirausahaan dengan kinerja bisnis yang telah dikaitkan dan memiliki hasil positif (Covin dan Slevin 1991; Lumpkin dan Dess 1996; Kraus et al. 2005). Akan tetapi, di sisi lain terdapat penelitian yang mengungkapkan bahwa orientasi kewirausahaan tidak memberikan hasil positif terhadap kinerja usaha yang merupakan penelitian dari Naldi et al. (2007). Dengan demikian, orientasi kewirausahaan memiliki dampak langsung dan tidak langsung untuk mencapai kinerja usaha yang maksimal tergantung pada lingkungan yang berbeda (Lumpkin dan Dess 1996). Beberapa studi telah menunjukkan bahwa dimensi dari orientasi kewirausahaan dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan pasar (Shane dan Venkataraman 2000). Hasil penemuan dari Miller (1983) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi dari orientasi kewirausahaan yang dapat diukur yaitu keinovatifan, mengambil risiko, dan proaktif. Penelitian orientasi kewirausahaan yang terus berkembang, berdampak pada penambahan dimensi dari orientasi kewirausahaan oleh Lumpkin dan Dess (1996) yang menambahkan agresivitas kompetitif dan otonomi sebagai tambahan dari dimensi orientasi kewirausahaan. Setiap dimensi dari orientasi kewirausahaan mempengaruhi kinerja usaha secara berbeda (Lumpkin dan Dess 2001). Inovasi yang tinggi menunjukkan hubungan positif dengan pertumbuhan penjualan, sementara proaktif berhubungan positif
13 dengan tingkat penjualan, pertumbuhan penjualan, dan laba kotor (Kreiser et al. 2002). Di sisi lain, pengambilan risiko menunjukkan hubungan positif pada ukuran kinerja ke tingkat tertentu dan seterusnya peningkatan tingkat pengambilan risiko akan menunjukkan hubungan yang negatif (Begley dan Boyd 1987). Dalam penelitian lain, proaktif dan agresivitas kompetitif secara berbeda terkait dengan kinerja dalam situasi yang berbeda (Lumpkin dan Dess 2001; Kreiser et al. 2002). Berdasarkan hal tersebut, setiap dimensi dari orientasi kewirausahaan memiliki hubungan sendiri terhadap kinerja usaha.
Faktor-Faktor Orientasi Kewirausahaan Faktor internal pelaku usaha merupakan faktor yang akan berpengaruh untuk menentukan strategi dalam berwirausaha. Menurut model konseptual dari Lumpkin dan Dess (1996) ada beberapa faktor internal yang memengaruhi orientasi kewirausahaan yaitu skala usaha, struktur usaha, sumberdaya, budaya, strategi, dan kepemimpinan usaha. Skala usaha yang lebih kecil lebih menyebabkan pelaku usaha lebih bersikap konservatif, karena dengan skala usaha yang kecil usaha tersebut memiliki keterbatasan antara lain modal dan penerapan teknologi (Autio 1997). Orientasi kewirausahaan difasilitasi oleh adanya sumberdaya, maka dari itu sumberdaya sangat memengaruhi aplikasi orientasi kewirausahaan dari pelaku usaha. Salah satu faktor yang berpotensi dapat mempengaruhi arah, sifat, dan efek kegiatan kewirausahaan adalah budaya organisasi. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan penentu utama dari orientasi kewirausahaan. Peneliti lain, dalam mengenali potensi pengaruh budaya organisasi pada orientasi kewirausahaan, telah menemukan adanya hubungan antara budaya organisasi dan orientasi kewirausahaan (Covin dan Slevin 1991). Struktur usaha yang mendukung merupakan faktor internal yang dapat meningkatkan orientasi kewirausahaan yang ada pada pelaku usaha (Hornsby et al. 2002; Zhou dan Shalley 2003 ). Persaingan atau kompetisi memang tantangan utama yang dihadapi oleh pelaku usaha. Berbagai langkah dilakukan oleh pelaku usaha mulai dari meningkatkan kemampuan dalam berwirausaha dan lebih berinovatif merupakan strategi untuk memperoleh orientasi kewirausahaan yang tinggi (Campoz dan Valenzuella 2013). Kepemimpinan bisnis memiliki arti yang berbeda untuk individu yang berbeda (Meredith et al. 1989). Menurut Jong dan Hartog yang dijelaskan oleh Noor dan Dzulkifli (2013) kepemimpinan bisnis hanya dapat disimpulkan sebagai proses memengaruhi orang lain terhadap pencapaian beberapa tujuan atau hasil. Pencapaian tujuan ini merupakan bentuk implikasi dari penerapan orientasi kewirausahaan dari pelaku usaha. Lingkungan merupakan faktor eksternal dari orientasi kewirausahaan. Lingkungan usaha menuntut pelaku usaha dapat menghadapi kondisi gejolak dan dinamis dari usahanya, termasuk memenuhi tuntutan penawaran dan permintaan, penerapan teknologi yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Hal tersebut merupakan suatu peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Milovanovic dan Wittine (2014) mengkonfirmasi hubungan positif antara lingkungan eksternal dan orientasi kewirausahaan. Perubahan pasar yang ditunjukkan melalui dinamika pasar dan turbulensi pasar menyebabkan peluang
14 pasar juga semakin terbuka. Ketika faktor-faktor tersebut disertai dengan persaingan yang ketat (seperti ditunjukkan dengan persaingan pasar), orientasi kewirausahaan semakin berperan dan memiliki hubungan positif terhadap kinerja usaha. Hostility memiliki pengaruh terhadap coorporate entrepreneurship dengan kinerja usaha (Zahra dan Gravis 2000). Brecherer dan Maurer yang diacu pada Nuiami et al. (2014) lingkungan hostility atau persaingan secara signifikan memiliki kaitan dengan orientasi kewirausahaan. Akan tetapi, apabila hostility atau persaingan itu meningkat, maka akan menyebabkan keuntungan dari suatu usaha menurun (Zahra dan Gravis 2000). Hal tersebut dikarenakan, suatu perusahaan harus membangun posisi pasar yang kuat. Dinamisme merepresentasikan tingkat perubahan yang terjadi pada pasar (Nuiami et al. 2014). Dinamisme sebagai lingkungan eksternal memiliki hubungan positif dengan orientasi kewirausahaan (Milovanovic dan Wittine 2014; Awang et al. 2009). Peranan pemerintah juga merupakan faktor eksternal yang memengaruhi orientasi kewirausahaan pelaku usaha (Mohgimbi dan Alambeigi 2012: Razak 2011). Peran pemerintah yang kondusif dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan UKM sebagai mesin pertumbuhan dan inovasi (Razak 2011).
Kinerja Usaha Kinerja mengacu pada kesuksesan pribadi dalam mencapai tujuan usaha yaitu dari empat perspektif keuangan, pelanggan, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan menurut Mulyadi dalam Effendi et al. (2013). Berbagai literatur mengenai kinerja usaha menjelaskan bahwa tidak ada konsensus diantara para peneliti mengenai indikator kinerja bisnis yang pasti. Oleh karena itu, terdapat keanekaragaman ukuran kinerja, yang terdiri dari ukuran objektif dan subjektif sebagai pengukuran keuangan atau non keuangan (Wiklund dan Shepherd 2005). Menurut pendapat Riyanti (2003) keberhasilan usaha dapat diukur dengan menilai kinerja suatu usaha. Kinerja usaha menurut Kaplan dan Norton dalam Riyanti (2003) diukur berdasarkan perspektif keuangan (laba dan aset), pelanggan (jumlah pelanggan), proses bisnis internal (tingkat produksi dan perluasan usaha), dan proses pertumbuhan (kepuasan kerja karyawan). Penelitian yang menganggap indikator kinerja usaha hanya dimensi tunggal atau hanya membahas secara sempit dapat menghasilkan hasil yang tidak tepat. Oleh karena itu, muncullah pertanyaan mengenai pengukuran bentuk kinerja usaha yang tepat. Pengukuran dari sisi keuangan dapat dilihat dari pertumbuhan penjualan, laba atas investasi, pertumbuhan pendapatan atau keuntungan. Sedangkan pengukuran non keuangan dapat dilihat dari tingkat kepuasan antar stakeholder yang terlibat dalam kegiatan usaha termasuk respons positif dari masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menganggap bahwa ukuran objektif lebih tepat dalam menilai suatu kinerja usaha dibandingkan dengan ukuran subjektif. Kondisi nyatanya, data obyektif sulit diperoleh karena responden tidak ingin untuk memberikan informasi yang sensitif kepada pihak luar. Di sisi lain, pemilik usaha umumnya cenderung untuk memberikan evaluasi subjektif dari kinerja usahanya (Wiklund dan Shepherd 2005). Kinerja usaha dapat dilihat sebagai multidimensi yang dapat diintegrasikan melalui berbagai langkah subjektif dan objektif untuk
15 pengukuran yang akurat dari kinerja usaha (Lumpkin dan Dess 1996; Wiklund dan Shepherd 2005).
Gaya Pengambilan Keputusan Orientasi kewirausahaan mengacu pada proses, praktik, dan kegiatan pengambilan keputusan yang mengarah pada suatu hal yang baru. Hal ini muncul dari perspektif strategis pilihan dari Van de Ven dan Poole (1995) yang menyatakan bahwa peluang baru dapat berhasil dimanfaatkan atas dasar berlakunya pencapaian tujuan. Terdapat serangkaian proses organisasi yang berkembang dengan adanya pengambilan keputusan strategis (Rajagopalan, Rasheed, dan Datta 1993). Dalam studinya tentang pengaruh struktural pada proses pengambilan keputusan, Fredrickson (1986) mengusulkan faktor-faktor seperti proaktif, rasionalitas, kelengkapan, pengambilan risiko, dan ketegasan. Hart (1992) mengintegrasikan proses pembuatan strategi gabungan berbagai faktor menjadi lima model pembuatan strategi yaitu perintah, simbolik, rasional, transaktif, dan generatif. Pembuat keputusan utama dalam suatu perusahaan atau usaha adalah pemilik usaha atau manajer. Otonomi tersirat oleh hak kepemilikan. Artinya, di perusahaan-perusahaan kecil yang sederhana, tingginya tingkat aktivitas kewirausahaan dikaitkan dengan pelaku usaha yang memimpin suatu usaha dengan mengetahui kondisi pasar. Rehman et al. (2012) menyatakan bahwa keberhasilan usaha dipengaruhi dengan gaya pengambilan keputusan pengusaha. Gaya pengambilan keputusan dapat dikategorikan ke dalam rasional dan emosional, yang sangat berbeda satu sama lain. Selain itu, teori sosial kognitif juga menekankan hubungan interaktif antara individu, lingkungan dan perilaku (Bandura dan Cervone 1986). Terdapat banyak peneliti mengembangkan penelitian mengenai dampak gaya keputusan atau pendekatan manajemen terhadap kinerja bisnis startup (Rehman et al. 2012; Lee dan Tsang 2001) atau dampak lingkungan dan gaya pengambilan keputusan terhadap kinerja bisnis startup. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja bisnis startup adalah gaya pengambilan keputusan. Smith Eugene (2004) merasa bahwa selain mengkategorikan gaya pengambilan keputusan menjadi dua jenis yaitu rasionalitas dan intuisi, penekanan juga harus ditempatkan pada kemampuan perusahaan untuk menanggapi situasi darurat dan pentingnya dampak kedua jenis pengolahan informasi pada kinerja dari perusahaan. Keputusan rasional berfokus pada proses analisis yang terdiri dari fitur prosedur, logika dan kolektifitas untuk mencapai tujuan tertentu. Keputusan yang intuisi memiliki karakteristik yang berbasis individualistik, emosional dan real-time. Ini kategori yang berbeda sering digunakan oleh para peneliti sebagai gaya pengambilan keputusan kognisi (Smith Eugene 2004).
16
3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teoritis
Orientasi Kewirausahaan Konsep kewirausahaan awalnya didefinisikan oleh Schumpeter, mengacu pada seseorang atau fungsi dalam suatu perusahaan. Sebuah konsep kewirausahaan strategi diselidiki pada awal riset ekonomi yang digambarkan sebagai pencarian keuntungan baru. Konsep orientasi kewirausahaan harus dibedakan dari konsep kewirausahaan. Inti dari orientasi kewirausahaan tergantung pada bagaimana pengusaha melaksanakan kewirausahaan dalam rangka mewujudkan ambisinya. Schumpeter merupakan salah satu tokoh yang menyoroti mengenai peran inovasi dalam proses kewirausahaan. Schumpeter yang diacu oleh Lumpkin dan Dess (1996) menjelaskan proses destruksi kreatif, dimana penciptaan kekayaan terjadi melalui gangguan struktur pasar yang ada karena pengenalan barang dan jasa yang memungkinkan pertumbuhan perusahaan baru. Di sisi lain, kewirausahaan berfokus pada pembaharuan dari sebuah kegiatan usaha. Pembaharuan dalam kegiatan usaha ini dapat dilakukan dengan menciptakan barang dan jasa baru atau yang sudah ada kemudian memasukkannya pada pasar baru. Seorang pengusaha berhasil membangun bisnisnya tidak hanya tergantung pada perannya tetapi juga pada orientasi ke arah organisasi itu sendiri, dengan demikian orientasi kewirausahaan dapat membantu seorang individu untuk mencapai tujuan strategis dai organisasi yang dijalankannya (Rauch et al. 2009). Covin dan Slevin (1988) berpendapat bahwa orientasi kewirausahaan pada suatu organisasi usaha adalah penjumlahan dari sejauh mana manajer atau pelaku usaha cenderung untuk mengambil risiko bisnis terkait, untuk mendukung perubahan dan inovasi, untuk mendapatkan keunggulan kompetitif bagi perusahaannya dan untuk bersaing secara agresif dengan perusahaan lainnya. Banyak perusahaan yang memiliki orientasi kewirausahaan yang lebih aktif untuk menentukan perhatian dan upaya menuju peluang seperti yang ditemukan di pasar internasional. Naman dan Slevin (1993) menunjukkan klasifikasi kewirausahaan sebagai item agregat terdiri oleh tiga komponen yaitu kemauan untuk mengambil risiko bisnis terkait, kesediaan untuk menjadi proaktif ketika bersaing dengan perusahaan lain, dan kemauan untuk berinovasi. Covin dan Slevin (1991) mengusulkan agar orientasi kewirausahaan harus dianggap sebagai dimensi strategis yang dapat diamati pada usaha yang dijalankan oleh pelaku usaha atau manajer sebagai konsep kewirausahaan. Orientasi kewirausahaan dimiliki oleh pelaku usaha yang memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam kegiatan mengambil risiko, perilaku inovatif dan proaktif, sementara pelaku usaha yang memiliki tingkat keterlibatan rendah dalam kegiatan mengambil risiko, keinovatifan dan proaktif adalah pelaku usaha dengan orientasi konservatif (Covin dan Slevin 1991). Lumpkin dan Dess (1996) menganggap orientasi kewirausahaan sebagai konstruksi proses yang berkaitan dengan metode, praktik, dan gaya pengambilan keputusan yang digunakan oleh pelaku usaha. Akan tetapi, istilah orientasi kewirausahaan juga digunakan untuk merujuk kepada
17 kumpulan dari aspek personal psikologis, nilai-nilai, atribut dan sikap yang sangat terkait dengan motivasi untuk terlibat dalam kegiatan kewirausahaan (Poon et al. 2006). Usaha Mikro Kecil dan Menengah KEMENKOP dan UKM (2015) mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 yang mengatur tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mendefinisikan UMKM dan memberikan kriteria mengenai UMKM. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro yaitu jumlah aset maksimal Rp50 000 000 dan omset maksimal Rp300 000 000. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria. Adapun kriteria dari usaha kecil yaitu memiliki aset sejumlah lebih dari Rp50 000 000-Rp500 000 000 dan omset sejumlah lebih dari Rp300 000 000-Rp2 500 000 000 000. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar. Adapun kriteria usaha menengah yaitu jumlah aset lebih dari Rp500 000 000-Rp10 000 000 000 dan jumlah omset lebih dari Rp2 500 000 000-Rp50 000 000 000. UMKM merupakan sektor yang dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Eksistensi dari UMKM tidak dapat diragukan karena telah memberikan kontribusi dan penggerak perekonomian negara. Akan tetapi UMKM di Indonesia mengalami permasalahan yang cukup banyak, antara lain adalah terbatasnya modal kerja, sumber daya manusia yang rendah, dan minimnya penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi. Kendala lain yang dihadapi UMKM adalah keterkaitan dengan prospek usaha yang kurang jelas serta perencanaan, visi dan misi yang belum mantap. Menurut Sudaryanto dan Hanim dalam BKF (2013), umumnya UMKM bersifat income gathering yaitu menaikkan pendapatan, dengan ciri-ciri usaha milik keluarga, menggunakan teknologi yang masih relatif sederhana, kurang memiliki akses permodalan (bankable), dan tidak ada pemisahan modal usaha dengan kebutuhan pribadi. Model Hubungan Orientasi Kewirausahaan dengan Kinerja Usaha Hubungan orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha dihubungkan melalui beberapa model. Beberapa peneliti mempertimbangkan variabel kontingensi dalam merumuskan model orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha. Teori kontingensi menunjukkan kesesuaian antara variabel kunci, seperti lingkungan, struktur, dan strategi untuk mendapatkan kinerja yang optimal (Miller 1988). Faktor seperti industri, lingkungan, struktural dan karakteristik manajerial sebuah usaha yang ada, mempengaruhi bagaimana orientasi kewirausahaan akan dikonfigurasi untuk mencapai kinerja yang tinggi. Lumpkin dan Dess (1996) merumuskan model konseptual yang mempertimbangkan variabel kontingensi dalam menganalisis hubungan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha. Model tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.
18 Faktor Lingkungan Dinamisme Peluang Kompleksitas Karakteristik Industri Orientasi Kewirausahaan Keinovatifan Mengambil risiko Proaktif Agresivitas kompetitif Otonomi
Kinerja Usaha
Faktor Organisasi Skala usaha Struktur usaha Strategi Sumberdaya Budaya Kepemimpinan usaha
Pertumbuhan penjualan Pangsa pasar Profit Kinerja keseluruhan Kepuasan stakeholder
Gambar 1 Kerangka konseptual orientasi kewirausahaan (Sumber: Lumpkin dan Dess 1996)
Berdasarkan kerangka konseptual orientasi kewirausahan pada gambar di atas dapat diidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hubungan antara orientasi dengan kinerja usaha. Terdapat beberapa model alternatif yang untuk menunjukkan peran variabel kontingensi pada hubungan orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha. Venkatraman (1989b) telah mengusulkan alternatif model untuk mengidentifikasi dampak dari variabel kontingensi yang terdiri dari model dengan efek mediasi, efek moderasi, efek independen, efek interaksi terhadap hubungan antara orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha. Model alternatif tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini. Organisasi Orientasi Kewirausahaan Gambar 2
Kinerja Usaha
Model orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dengan efek moderasi
Model orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dengan efek moderasi, bentuk kekuatan hubungan orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha bervariasi sesuai dengan struktur organisasi usaha tersebut. Efek moderasi pada model orientasi kewirausahaan tersebut menjadikan organisasi sebagai variabel
19 moderator. Menurut perspektif moderasi, dampak dari adanya variabel predikator disebut variabel moderator. Variabel moderator ditenetukan sesuai dengan objek penelitian yang akan dilakukan. Orientasi Kewirausahaan
Aktivitas Integrasi
Kinerja Usaha
Gambar 3 Model orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dengan efek mediasi Model dengan efek mediasi menganggap orientasi kewirausahaan menjadi variabel anteseden, kinerja usaha menjadi variabel hasil, dan integrasi kegiatan organisasi menjadi variabel mediasi. Perspektif mediasi menentukan adanya mekanisme intervensi yang signifikan antara variabel anteseden dan variabel akibat. Orientasi Kewirausahaan Kinerja Usaha Lingkungan Usaha Gambar 4 Model orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dengan efek independen Model dengan efek independen, lingkungan dijadikan sebagai variabel independen dari kinerja usaha. Orientasi kewirausahaan dan lingkungan usaha pada Gambar 4 merupakan variabel yang tidak saling berinteraksi. Akan tetapi kedua variabel tersebut berinteraksi dengan kinerja usaha yang merupakan variabel hasil. Karakteristik Kepemimpinan Usaha Kinerja Usaha Orientasi Kewirausahaan Gambar 5 Model orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dengan efek interaksi
20 Model terakhir dari orientasi kewirausahaan adalah independen. Model orientasi kewirausahaan menggunakan efek interaksi menjelaskan bahwa berbagai elemen lingkungan organisasi (usaha) berinteraksi dengan orientasi kewirausahaan untuk memengaruhi kinerja usaha. Keempat model tersebut ditemukan oleh Venkatraman (1989b). Naman dan Slevin (1993) menjelaskan bahwa kinerja dapat ditingkatkan ketika variabel kunci diterapkan secara benar. Hal tersebut merupakan premis dasar kontingensi. Teori yang menyatakan bahwa keselarasan diantara variabelvariabel kunci seperti kondisi industri dan proses organisasi sangat penting untuk menciptakan kinerja yang optimal. Teori kontingensi menyatakan bahwa hubungan antara dua variabel tergantung pada tingkat variabel ketiga. Venkatraman (1989b) memperkenalkan efek moderator dalam menjelaskan hubungan orientasi kewirausahaan dan dapat membantu mengurangi potensi kesimpulan yang tidak sesuai. Terdapat sedikit konsensus untuk menentukan variabel moderator yang cocok untuk menghubungkan orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha. Variabel internal seperti pengetahuan (Wiklund dan Shepherd 2005), dan berbagai variabel lingkungan (Tan dan Tan 2005) telah dimasukkan dalam studi mengenai orientasi kewirausahaan. Lingkungan telah lama dianggap sebagai salah satu kontingensi penting dalam teori organisasi dan manajemen strategis. Banyak konseptualisasi lingkungan sebagian besar konsisten dengan konsep yang telah dijelaskan oleh Dess dan Beard (1984) yaitu terdiri dari peluang, kompleksitas, dan dinamisme. Dimensi ini menarik dua pendekatan yang biasa digunakan untuk konseptualisasi lingkungan: (1) sebagai sumber informasi, dan (2) sebagai saham sumber daya (Aldrich dan Mindlin diacu pada Castrogiovanni 1996). Pada intinya, dinamika dan kompleksitas mencerminkan tingkat ketidakpastian yang dihadapi ketergantungan suatu perusahaan organisasi dan peluang untuk memanfaatkan sumber daya. Dinamisme merupakan faktor lingkungan yang menunjukkan ketidakpastian berupa perubahan lingkungan yang tidak terduga dan stabilitas lingkungan (Dess dan Beard 1984). Zahra dan Gravis (2000) menyatakan bahwa hostility merupakan persaingan dalam lingkungan eksternal bisnis. Apabila pada lingkungan eksternal terjadi perubahan yang radikal, maka hostility tersebut tidak menguntungkan bagi perusahaan (Zahra dan Gravis 2000). Dess dan Beard (1984) mengatakan bahwa hostility merupakan hasil dari persaingan pasar dan ketidakpastian produk. Miller (1988) berpendapat bahwa jenis strategi kewirausahaan yang cenderung lebih berhasil ketika menangani konsumen adalah yang memberikan perhatian terhadap inovasi dan pelayanan yang unik. Hal ini konsisten dengan lingkungan yang dinamis. Lingkungan yang dinamis berhubungan dengan ketidakpastian yang tinggi dari konsumen dan pesaing serta tingginya tingkat perubahan tren pasar dan inovasi industri (Dess dan Beard 1984). Ketika berada pada lingkungan yang dinamis seperti dimana permintaan terus meningkat, peluang menjadi berlimpah dan kinerja semakin meningkat untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki orientasi untuk mengejar peluang baru karena memiliki kecocokan antara orientasi strategis yang dimiliki dengan lingkungan. Moghimbi dan Alambeigi (2012) mengidentifikasi peran pemerintah dari lima aspek yaitu executive facilitator role, financial facilitator role, legislation facilitator role, policy facilitator role, communication facilitator role.
21 Kelima aspek tersebut dapat diterapkan untuk mengidentifikasi peran pemerintah terhadap suatu organisasi. Beberapa model hubungan orientasi dengan kinerja usaha telah dijelaskan oleh Lumpkin dan Dess (1996). Salah satu model yang dijelaskan tersebut adalah moderasi. Konsistensi terhadap perspektif moderasi, efek dari variabel prediktor pada variabel kriteria disebut moderator (Venkatraman 1989b). Begitu juga dengan konsep elaborasi yang sangat relevan dalam mengembangkan wawasan yang lebih dalam mengenai hubungan orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha. Elaborasi berfungsi untuk memperjelas hubungan antara dua variabel melalui pengenalan variabel tambahan dalam analisis. Proses elaborasi ini dapat menjelaskan hubungan dengan tingkat akurasi yang lebih besar. Kekuatan hubungan orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha dengan efek moderasi memiliki berbagai variasi sebagai fungsi dari struktur organisasi. Burns dan Stalker dalam Lumpkin dan Dess (1996) menjelaskan bahwa organisasi organik dan mekanistik sebagai moderator dalam hubungan orientasi kewirausahaan dengaan kinerja usaha. Organisasi organik biasanya terdesentralisasi, informal, dan memiliki penekanan pada sisi interaksi serta pemerataan pengetahuan di seluruh jaringan organisasi. Organisasi mekanistik cenderung sangat terpusat, formal serta ditandai dengan tingginya tingkat tingginya vertikal dan perbedaan fungsi. Shoghi dan Saifeepoor (2013) berpendapat bahwa orientasi kewirausahaan perlu dikaitkan dengan faktor organisasi karena efektif untuk mencapai suatu kesuksesan dalam organisasi. Demikian pula, Covin dan Slevin (1991) menyarankan bahwa orientasi kewirausahaan harus dikaitkan dengan formalisasi struktural rendah, desentralisasi, dan kompleksitas rendah. Bentuk efek moderasi menunjukkan organisasi harus disertakan untuk menentukan hubungan orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha. Menurut Covin dan Slevin (1988) menyatakan bahwa dari struktur usaha, pengambilan keputusan memoderatori hubungan orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha. Secara khusus, konsep dinamika lingkungan dan peluang telah memainkan peranan penting dalam memahami proses pengambilan keputusan strategis yang terjadi dalam organisasi kewirausahaan (Lumpkin dan Dess 2001; Miller dan Freisen 1982).
Kerangka Operasional Kewirausahaan dengan orientasi kewirausahaan memiliki perbedaan konsep. Inti dari orientasi kewirausahaan tergantung pada bagaimana pengusaha menjalankan usaha dalam rangka mewujudkan ambisinya. Covin dan Slevin (1991) mengusulkan agar orientasi kewirausahaan harus dianggap sebagai dimensi strategis yang dapat diamati pada usaha yang dijalankan oleh pelaku usaha atau manajer sebagai konsep kewirausahaan. Di sisi lain, kewirausahaan berfokus pada pembaharuan dari sebuah kegiatan usaha. Pembaharuan dalam kegiatan usaha ini dapat dilakukan dengan menciptakan barang dan jasa baru atau yang sudah ada kemudian memasukkannya pada pasar baru. Orientasi kewirausahaan dimiliki oleh pelaku usaha yang memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam kegiatan mengambil risiko, perilaku inovatif dan proaktif, sementara pelaku usaha yang memiliki tingkat keterlibatan rendah dalam kegiatan
22 mengambil risiko, keinovatifan dan proaktif adalah pelaku usaha dengan orientasi konservatif. Konsep orientasi kewirausahaan (EO) untuk menjelaskan pola pikir pelaku yang bergerak dalam mengembangkan usahanya dan menyediakan kerangka yang berguna untuk meneliti aktivitas kewirausahaan. Orientasi kewirausahaan memungkinkan dimiliki oleh pelaku usaha kecil atau pelaku usaha baru yang baru dibangun kurang dari sepuluh tahun untuk meningkatkan kinerja usaha dan menghadapi pesaing dari usaha yang dibangun. Bagi pelaku usaha tahu dengan terbentuknya orientasi kewirausahaan pada dirinya akan dapat menghadapi tantangan dan meningkatkan kinerja usaha. Tantangan yang dihadapi oleh pelaku usaha tahu seperti pesaing pada usaha sejenis ini, permasalahan produksi berkaitan dengan ketersediaan bahan baku dan gejolak harga kedelai sebagai bahan baku pembuatan tahu dapat diatasi dengan penerapan orientasi kewirausahaan. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi kewirausahaan pelaku usaha tahu dalam menjalankan usaha untuk meningkatkan kinerja usahanya dan menganalisis pengaruh dari orientasi kewirausahaan pelaku usaha tahu terhadap kinerja usaha. Faktor tersebut dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal. Menurut model konseptual dari Lumpkin dan Dess (1996) ada beberapa faktor internal yang memengaruhi orientasi kewirausahaan yaitu skala usaha, struktur usaha, sumberdaya, budaya, strategi, dan kepemimpinan usaha. Lingkungan merupakan faktor eksternal dari orientasi kewirausahaan. Lingkungan usaha menuntut pelaku usaha dapat menghadapi kondisi gejolak dan dinamis dari usahanya, termasuk memenuhi tuntutan penawaran dan permintaan, penerapan teknologi yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Lingkungan telah lama dianggap sebagai salah satu kontingensi penting dalam teori organisasi dan manajemen strategis. Konseptualisasi lingkungan direfleksikan melalui hostility dan dinamisme. Melihat kondisi UMKM pembuatan tahu di Kabupaten Bogor, faktor internal dan eksternal yang diduga berpengaruh terhadap terbentuknya orientasi kewirausahaan adalah sumberdaya, karakteristik usaha, lingkungan eksternal dan peran pemerintah. Orientasi kewirausahaan sering dioperasionalkan dalam tiga dimensi. Ketiga dimensi tersebut yaitu keinovatifan, berani mengambil risiko, dan proaktif untuk mengkarakterisasi dan menguji kewirausahaan. Setelah itu, Lumpkin dan Dess (1996) mengidentifikasi dua dimensi tambahan yaitu otonomi dan agresivitas kompetitif. Model pada penelitian ini menggunakan lima variabel manifest atau indikator dari orientasi kewirausahaan yaitu keinovatifan, berani mengambil risiko, proaktif, otonomi dan agresivitas kompetitif. Berbagai literatur mengenai kinerja usaha menjelaskan bahwa tidak ada konsensus diantara para peneliti mengenai indikator kinerja bisnis yang pasti. Oleh karena itu, terdapat keanekaragaman ukuran kinerja, yang terdiri dari ukuran objektif dan subjektif sebagai pengukuran keuangan atau non keuangan (Wiklund dan Shepherd 2005). Penelitian ini mengukur kinerja berdasarkan pada pertumbuhan profit, pertumbuhan penjualan, dan kepuasan konsumen dari produk tahu. Beberapa model hubungan orientasi dengan kinerja usaha telah dijelaskan oleh Lumpkin dan Dess (1996). Salah satu model yang dijelaskan tersebut adalah moderasi. Orientasi kewirausahaan mengacu pada proses, praktik, dan kegiatan
23 pengambilan keputusan yang mengarah pada suatu hal yang baru. Pada penelitian ini digunakan variabel pengambilan keputusan sebagai variabel moderator. Gaya pengambilan keputusan dapat dikategorikan ke dalam rasional dan emosional, yang sangat berbeda satu sama lain. Tujuan selanjutnya penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh orientasi kewirausahaan dengan menggunakan efek moderasi. Pengaruh tersebut diidentifikasi menggunakan Partial Least Square dengan menambahkan variabel pengambilan keputusan sebagai variabel moderator. Semua variabel tersebut diduga positif membentuk orientasi kewirausahaan pada pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor dan orientasi kewirausahaan tersebut diduga positif memengaruhi kinerja usaha dengan efek moderasi dari gaya pengambilan keputusan dari pelaku usaha. Model kerangka berpikir operasional pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
24
Pelaku usaha tahu mengalami laba yang tidak menentu dan kinerja usaha yang tidak stabil.
Penerapan Orientasi Kewirausahaan
Riset Produsen (Pelaku usaha tahu)
Analisis Deskriptif
Karakteristik Pelaku Usaha Tahu
Proses Pembuatan Tahu
Analisis Deskriptif
Faktor-faktor yang Memengaruhi Orientasi Kewirausahaan
Dimensi Orientasi Kewirausahaan
Pengaruh Orientasi Kewirausahaan Terhadap Kinerja Usaha dengan Gaya Pengambilan Keputusan Sebagai Variabel Moderator
Implikasi manajerial
Gambar 6 Kerangka pemikiran operasional
Partial Least Square (PLS)
25
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di 14 wilayah pelayanan (kecamatan) di Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa di Kabupaten Bogor banyak terdapat UMKM tahu menurut data dari KOPTI Kabupaten Bogor 2012. Pengumpulan data dilakukan selama satu bulan dari bulan Maret sampai dengan April 2015.
Metode Penentuan Responden Responden dari penelitian ini adalah 100 pelaku usaha tahu yang ada di Kabupaten Bogor. Berdasarkan Latan dan Ghozali (2012) jumlah tersebut didapatkan berdasarkan aturan statistik untuk SEM dengan pendekatan PLS. Teknik pengambilan sampel atau pemilihan responden dengan menggunakan metode purposive secara proporsional. Jumlah sampel didapatkan dari jumlah pelaku usaha tahu di setiap wilayah pelayanan (kecamatan) dibandingkan dengan jumlah seluruh populasi pelaku tahu dikalikan dengan jumlah maksimal sampel statistik menggunakan PLS menurut Latan dan Ghozali (2012).
Desain Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dapat memberikan gambaran mengenai orientasi kewirausahaan pelaku usaha tahu, serta membantu dalam melihat pengaruhnya dengan kinerja usaha. Selain itu, prosedur dan teknik penelitian menggunakan metode kasus. Penggunaan metode ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara rinci tentang orientasi kewirausahaan serta pengaruhnya dengan kinerja usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor.
Data dan Instrumentasi Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan pengurus KOPTI dan pelaku usaha tahu di lokasi masing-masing dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disediakan. Data sekunder diperoleh dengan cara mempelajari buku dan sumber yang relevan dengan topik yang diteliti dari Kementrian Koperasi dan UMKM, Badan Pusat Statistik, dan KOPTI Kabupaten Bogor. Pengambilan data sekunder diperoleh juga dari literaturliteratur, baik yang didapat di perpustakaan maupun dari tempat lain berupa hasil penelitian terdahulu mengenai kajian kewirausahaan, orientasi kewirausahaan, serta kinerja UMKM, baik dari media cetak (tabloid dan majalah), maupun media elektronik (internet). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, penyimpan data elektronik, dan alat pencatat.
26 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi wawancara dan observasi lapang yang dilakukan sendiri oleh peneliti. Penelitian ini menggunakan bantuan kuesioner untuk memperoleh data secara utuh yang dapat menggambarkan fenomena yang terjadi di lapangan. Selain itu, kuesioner digunakan untuk mendapatkan data dari pelaku usaha terkait dengan orientasi kewirausahaan yang dimiliki. Setiap pengisian kuesioner peneliti melakukan wawancara secara langsung untuk mengantisipasi adanya kesulitan atau kesalahpahaman dalam mengartikan pertanyaan kuesioner. Wawancara secara langsung dilakukan dalam setiap pengisian kuesioner juga dimaksudkan untuk mencari informasi lain yang lebih mendalam yang belum tercakup dalam kuesioner.
Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara dan observasi selama penelitian. Sedangkan data kuantitatif diperoleh berupa data anggota pelaku usaha pembuatan tahu, data profit dan nilai penjualan serta data penilaian orientasi kewirausahaan yang dimiliki masing-masing pelaku usaha pembuatan tahu. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan orientasi kewirausahaan yang ada pada diri pelaku usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor serta bagaimana kondisi UMKM tersebut. Data yang diperoleh dari kuesioner akan diolah menggunakan software computer Microsoft Excel dan Partial Least Square. Data yang diperoleh melalui penelitian terlebih dahulu melewati proses scoring dan codding. Codding adalah proses pemberian kode atau simbol pada setiap kategori jawaban responden untuk menyederhanakan jawaban responden dalam bentuk simbol atau kode tertentu agar lebih mudah dalam menganalisisnya. Scorring meliputi proses penyederhanaan jawaban responden yang dibuat konsisten dalam bentuk ordinal pada masing-masing jawaban pertanyaan. Analisis Deskriptif Menurut Sugiyono (2011), statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendiskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum atau generalisasi. Analisis deskriptif kualitatif bertujuan membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang dikaji. Sedangkan analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk menjelaskan gambaran umum karaktristik responden, ekonomi wilayah, orientasi kewirausahaan serta kinerja usaha dari setiap responden. Analisis PLS (Partial Least Square) Faktor-faktor yang memengaruhi orientasi kewirausahaan, dimensi orientasi kewirausahaan, dan pengaruh orientasi kewirausahaan pelaku usaha
27 tahu dengan kinerja usaha dapat dianalisis menggunakan PLS (Partial Least Square). Menurut Latan dan Ghozali (2012), PLS merupakan pendekatan alternatif yang bergeser dari pendekatan SEM berbasis kovarian menjadi berbasis varian. PLS merupakan metode analisis yang tidak didasarkan pada banyak asumsi, misalnya data harus terdistrbusi normal dan sampel tidak harus besar. Selain dapat digunakan untuk mengkonfirmasi teori, PLS juga dapat digunakan untuk menjelaskan ada tidaknya hubungan antar variabel laten. PLS dapat sekaligus menganalisis konstruk yang dibentuk dengan indikator reflektif dan formatif. Apabila dibandingkan dengan CBSEM (Covariance Based Structural Equation Model), PLS menghindari dua masalah serius yaitu inadmisable dan factor indeterminacy. Perbandingan antara PLS dengan CBSEM dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perbandingan PLS dengan CBSEM Kriteria Tujuan penelitian Pendekatan Evaluasi model dan asumsi normalitas data
SEM-PLS Untuk mengembangkan teori atau membangun teori (orientasi prediksi) Variance Tidak mensyaratkan data terdistribusi normal dan estimasi parameter dapat langsung dilakukan tanpa persyaratan goodness of fit
CBSEM Untuk menguji teori atau mengkonfirmasi teori (orientasi parameter) Covariance Mensyaratkan data terdistribusi normal dan memenuhi kriteria goodness of fit sebelum estimasi parameter
PLS terdiri dari model pengukuran dan model struktural. Model pengukuran menjelaskan hubungan antara item yang diobsevasi dengan variabel laten, sedang model struktural menjelaskan hubungan antara variabel laten (Latan dan Ghozali 2012). Oleh karena itu Model PLS diinterpretasikan dalam dua tahap, yaitu pertama validitas dan reliabilitas dari model pengukuran, kedua adalah model struktural dinilai dengan mengevaluasi daya penjelas (explanatory power) dan tingkat signifikansi koefisien jalur. Secara lebih rinci, diuraikan sebagai berikut: 1)
Model Pengukuran atau Outer Model Cara yang paling sering digunakan untuk melakukan pengukuran model dengan menguji validitas convergent dan discriminant (Latan dan Ghozali 2012). Validitas konvergen berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur (variabel manifest) dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi. Uji validitas konvergen indikator reflektif dapat dilihat dari nilai individual loading factor (λ) untuk setiap indikator konstruk. Titik kritis yang digunakan biasanya harus lebih dari 0.5-0.6 untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran (Chin dalam Latan dan Ghozali 2012). Selain itu juga dilihat nilai Average Variance Extracted (AVE) yang harus ≥ 0.5. Pengukuran model dengan menguji validitas diskriminan berhubungan dengan prinsip bahwa variabel manifest konstruk yang berbeda seharusnya tidak berkorelasi tinggi. Cara untuk menguji validitas diskriminan dengan indikator
28 reflektif yaitu dengan melihat nilai cross loading untuk setiap variabel harus lebih dari 0.7. Cara lain adalah dengan membandingkan akar kuadrat dari AVE untuk setiap konstruk harus lebih besar dari nilai korelasi antar konstruk (Fornell dan larcker dalam Latan dan Ghozali 2012). Rumus AVE dapat dirumuskan sebagai berikut: ∑ ∑
Dimana, λi variance.
∑
: Factor loading;
F : Factor Variance;
: error
Selain uji validitas, evaluasi model juga dilakukan dengan uji reliabilitas suatu konstruk. Uji reliabilitas dilakukan untuk membuktikan akurasi, konsistensi, dan ketetapan instrumen dalam mengukur konstruk. Dalam PLS-SEM, untuk mengukur reliabilitas suatu konstruk dengan indikator reflektif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu Cronbach’s Alpha (CA) dan Composite Reliability (CR). Namun demikian penggunaan CA untuk menguji reliabilitas konstruk akan memberikan nilai yang lebih rendah (under estimate) sehingga lebih disarankan untuk menggunakan CR. Titik kritis yang digunakan untuk menilai reliabilitas dengan CR disarankan lebih besar dari 0.7. Ringkasan evaluasi model pengukuran pada penelitian ini, baik uji validitas dan reliabilitas, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Aturan evaluasi pengukuran model PLS indikator reflektif Evaluasi model 1.
2.
2)
Parameter
Rule of thumb
Validitas konvergen
Loading factor
0.5 – 0.6 untuk pengembangan skala pengukuran
Validitas diskriminan
Average Variance Extracted (AVE) Akar kuadrat AVE dan korelasi antar konstruk laten Composite reliability
Validitas
Reliabilitas
0.5 Akar kuadrat AVE > Korelasi antar konstruk laten 0.7
Model Struktural atau Inner Model Inner model (inner relation, structural model dan substantive theory) menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan pada teori substantif. Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R2 untuk konstruk dependen, Stone-Geisser-Q-square test untuk predictive relevance dan uji-t untuk signifikansi dari koefisien parameter jalur struktural serta overall fit index yang yang menggunakan GoF Index. Dalam menilai model dengan PLS dimulai dengan melihat R2 untuk setiap variabel laten dependen. Interpretasinya sama dengan interpretasi pada regresi. Perubahan nilai R2 dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel laten independen tertentu terhadap variabel laten dependen apakah mempunyai pengaruh yang substantif (Latan dan Ghozali 2012). Disamping melihat nilai R2, model PLS juga dievaluasi dengan melihat Q2 relevansi prediktif untuk model
29 konstruktif. Q2 mengukur seberapa baik nilai observasi yang dihasilkan oleh model dan juga estimasi parameternya. Terakhir adalah dengan melihat nilai indekx GoF dan F2. Indeks GoF dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut : ̅̅̅̅ √̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅ : rata-rata indeks Communality; ̅̅̅̅ : rata-rata R-Square Ringkasan evaluasi model pengukuran pada penelitian ini, baik uji validitas dan reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Aturan evaluasi struktural model PLS A. Model struktural Kriteria R-square Q-S Square GoF F-Square
Rule of thumb 0.75 : Kuat; 0.5 : Moderate; 0.35 : Kecil (Haier et al. dalam Latan dan Ghozali 2012) Q2 > 0 menunjukkan model mempunyai predictive relevance dan jika Q2 < 0 menunjukkan bahwa model kurang memiliki predictive relevance.
0.02 : kecil; 0.13 : Medium; dan 0.26 : Besar (Cohen dalam Latan dan Ghozali 2012). Variabel Laten memiliki pengaruh, 0.02: kecil, 0.15: menengah, dan 0.35: besar pada level struktural.
Variabel Pengukuran Path Modelling Partial Least Square dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh antar variabel laten. Variabel-variabel yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian terdiri dari variabel laten dan variabel manifest yang merupakan indikator dari variabel laten. Pengukuran peubah variabel-variabel didasarkan pada konsep yang telah terbukti secara empiris, sehingga dapat diimplementasikan di lapangan serta diukur sebagaimana seharusnya. Semua variabel diukur dengan skala ordinal dengan menggunakan skala likert 1 sampai dengan 4. Terdapat tujuh variabel laten dan dua puluh variabel indikator atau manifest yang digunakan pada model penelitian. Identifikasi variabel laten dan indikator disajikan pada Tabel 8 dan operasionalisasi variabel diuraikan di bawahnya.
30 Tabel 8 Variabel laten dan indikator penelitian No Variabel laten 1. Orientasi kewirausahaan (EO)
2.
Sumberdaya (SD)
3.
Karakteristik usaha (KU)
4.
Lingkungan eksternal (LE)
Variabel indikator/manifest
1 Keinovatifan (EO1) 2 Proaktif (EO2) 3 Berani mengambil 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Sumber acuan Covin dan Slevin (1991), Lumpkin dan Dess (1996). risiko
(EO3) Agresivitas kompetitif (EO4) Otonomi (EO5) Keuangan (SD1) Bahan baku (SD2) Tenaga kerja (SD3) Usia usaha (KU1) Modal Awal (KU2) Skala Usaha (KU3) Hostility (LE1) Dinamisme (LE2)
5.
Peran pemerintah (PI)
14 Excecutive role (PI1) 15 Financial role (PI2)
6.
Kinerja usaha (KUS)
16 Profit (KUS1) 17 Pertumbuhan penjualan (KUS2) 18 Kepuasan pelanggan (KUS3)
7.
Gaya pengambilan keputusan (GYKP)
19 Intuisi (GYKP1) 20 Rasional (GYKP2)
Lumpkin dan Dess (1996), Autio (1997). Lumpkin dan Dess (1996), Zhou dan Shaley (2003). Dess dan Beard (1984),
Milovanovic dan Wittine (2014), Awang et al. (2009), Aldrich dan Mindlin dalam Castrogiovanni (1996). Zahra dan Gravis (2000) Dess dan Beard (1984), Mohgimbi dan Alambeigi (2012). Lumpkin dan Dess (1996), Kaplan dan Norton diacu oleh Riyanti (2003).
Bandura dan Cervone (1986), Smith Eugene (2004).
Secara operasional definisi masing-masing variabel yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah sebagai berikut : 1) Orientasi kewirausahaan merupakan bagian penting dalam menjalankan usaha, karena dapat membantu seorang individu untuk mencapai tujuan strategis dari usaha yang dijalankannya (Rauch et al. 2009). Menurut Lumpkin dan Dess (1996) orientasi kewirausahaan terdiri dari lima dimensi yaitu: a) Keinovatifan adalah kemampuan pelaku usaha yang terbuka dengan halhal yang baru, berusaha mencari tahu mengenai hal yang dianggap baru mengenai usaha yang dijalankan. b) Proaktif adalah kemampuan pelaku usaha dalam mencari kesempatan atau peluang untuk berkompetisi dan bertindak dalam mengantisipasi perubahan lingkungan di masa mendatang.
31
2)
3)
4)
5)
6)
c) Berani mengambil risiko adalah kemampuan pelaku usaha dalam mengambil risiko usaha dengan mengetahui peluang keberhasilan dan kegagalan dalam menjalankan usahanya. d) Agresivitas kompetitif adalah kemampuan pelaku usaha dalam menantang pesaingnya untuk bersaing dan mengungguli pesaing di pasar. e) Otonomi adalah kemampuan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya dengan mengatur segala aktivitas dari usaha yang dijalankannya. Sumberdaya adalah faktor yang diperlukan pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan usahanya. Sumberdaya dalam penelitian ini terdiri dari tiga variabel indikator yang menjelaskan yaitu: a) Keuangan adalah sumberdaya atau kebutuhan finansial berupa uang yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha. b) Bahan baku adalah sumberdaya berupa bahan baku untuk melakukan kegiatan produksi dalam usaha yang dijalankan. c) Tenaga kerja adalah sumberdaya berupa tenaga kerja yang dpekerjakan untuk membantu dalam menjalankan usaha. Karakteristik usaha adalah ciri-ciri dari usaha yang dijalankan oleh pelaku usaha. Karakteristik usaha terdiri dari tiga variabel indikator yaitu: a) Usia usaha adalah lama usaha tersebut dijalankan oleh pelaku usaha. b) Modal awal adalah jumlah modal awal yang digunakan untuk menjalankan usaha. c) Skala usaha adalah ukuran dari usaha yang dijalankan pelaku usaha dilihat dari jumlah produksi dari produk yang dihasilkan setiap harinya. Lingkungan eksternal adalah lingkungan yang menggambarkan kondisi di luar usaha. Lingkungan eksternal dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel indikator yaitu : a) Hostility adalah suatu kondisi dari lingkungan usaha yang penuh dengan persaingan dari pelaku usaha. b) Dinamisme menunjukkan ketidakpastian yang mengikis kemampuan pelaku usaha untuk memprediksi kejadian masa depan serta dampaknya terhadap usahanya. Peran pemerintah adalah tindakan yang dilakukan pemerintah untuk memberikan dukungan kepada pelaku usaha terkait dalam hal meningkatkan usaha yang dijalankan. Peran pemerintah dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel indikator yaitu: a) Excecutive role adalah peran pemerintah dalam memberikan bantuan berupa peralatan, bahan baku, dan bantuan lainnya selain modal. b) Financial role adalah peran pemerintah dalam memberikan bantuan berupa modal finansial (dana). Kinerja usaha adalah suatu pencapaian secara utuh atas usaha yang dijalankan selama periode waktu tertentu dan merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional usahanya dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki. a) Profit adalah keuntungan yang didapatkan pelaku usaha setiap periode tertentu. b) Pertumbuhan penjualan adalah peningkatan jumlah penjualan dalam periode tertentu.
32 c) Kepuasan pelanggan adalah pengukuran terhadap tingkat pelayanan barang maupun jasa yang diberikan kepada konsumen dari sudut pandang pelaku usaha 7) Gaya pengambilan keputusan adalah cara pelaku usaha dalam mengambil keputusan tindakan yang harus dilakukan dalam menjalankan usahanya. Penelitian ini menggunakan dua variabel indikator dari gaya pengambilan keputusan yaitu: a) Rasional adalah gaya pengambilan keputusan yang berdasarkan pada pemikiran yang rasional dan logika untuk mencapai suatu tujuan tertentu. b) Intuisi adalah gaya pengambilan keputusan yang berdasarkan pada emosional perasaan individu.
5 GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN Deskripsi Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang termasuk dalam Provinsi Jawa Barat. Visi dari Kabupaten Bogor adalah menjadi kabupaten termaju di Indonesia. Sedangkan misi dari Kabupaten Bogor yaitu : a) Meningkatkan kesalehan sosial dan kesejahteraan masyarakat. b) Meningkatkan daya saing perekonomian masyarakat dan pengembangan usaha berbasis sumber daya alam dan pariwisata. c) Meningkatkan integrasi, koneksitas, kualitas dan kuantitas infrastruktur wilayah dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. d) Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas penyelenggaraan pendidikan dan pelayanan kesehatan. e) Meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan kerjasama antar daerah dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik. Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838,304 Ha, secara geografis terletak di antara 6º18'0" - 6º47'10" Lintang Selatan dan 106º23'45" 107º13'30" Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut : a) Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bekasi. b) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak. c) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta. d) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan, yaitu sekitar 29.28 persen berada pada ketinggian 15-100 meter di atas permukaan laut (dpl), 42.62 persen berada pada ketinggian 100-500 meter dpl, 19.53 persen berada pada ketinggian 500–1 000 meter dpl, 8.43 persen berada pada ketinggian
33 1 000–2 000 meter dpl dan 0.22 persen berada pada ketinggian 2.000–2.500 meter dpl. Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan yang di dalamnya meliputi 417 desa dan 17 kelurahan (434 desa atau kelurahan), yang tercakup dalam 3 882 RW dan 15 561 RT. Pada tahun 2012 telah dibentuk 4 (empat) desa baru, yaitu Desa Pasir Angin Kecamatan Megamendung, Desa Urug dan Desa Jayaraharja Kecamatan Sukajaya serta Desa Mekarjaya Kecamatan Rumpin. Peta wilayah administrasi Kabupaten Bogor dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 7 Peta wilayah administrasi Kabupaten Bogor (Sumber : BNPB 2009)
Secara umum, kondisi demografis Kabupaten Bogor dapat digambarkan bahwa penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2013 berdasarkan estimasi Badan Pusat Statistik (2014) berjumlah 5 111 769 jiwa. Jumlah penduduk tersebut dari penduduk laki-laki 2 616 873 jiwa dan penduduk perempuan 2 494 807 jiwa (BAPPEDA 2014). Berdasarkan kombinasi luas wilayah dan jumlah penduduk tersebut, maka Kabupaten Bogor mempunyai potensi yang cukup besar, terutama di bidang Industri dan Perdagangan. Menurut BAPPEDA (2014) keberadaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor sangat penting bagi perekonomian karena turut menyumbang PDRB sektor industri dangan pengolahan yang mencapai 59.59 persen dan menyumbang penyerapan tenaga kerja sektor industri dan pengolahan mencapai 28.86 persen.
Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Kabupaten Bogor Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Kabupaten Bogor didirikan pada tanggal 2 November 1980 dan terletak di jalan Cilendek Raya no 27, Bogor. KOPTI Kabupaten Bogor memiliki visi menjadi koperasi yang andal
34 dan tangguh yang memiliki hubungan erat dengan anggotanya. Sedangkan misi dari KOPTI Kabupaten Bogor adalah menjalankan usaha dengan cermat dan saling memberikan manfaat serta melayani dengan kesungguhan hati dan menjadi panutan dalam melaksanakan tata kelola yang baik. Wilayah pelayanan KOPTI Kabupaten Bogor meliputi 14 kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Setiap wilayah pelayanan memiliki Ketua Wilayah Pelayanan (KWP) yang bertugas sebagai penghubung antara pengurus KOPTI dengan anggota perihal kegiatan usaha KOPTI. Berikut ini merupakan gambar dari KOPTI Kabupaten Bogor.
Gambar 8 KOPTI Kabupaten Bogor Aktivitas yang dilakukan oleh KOPTI Kabupaten Bogor meliputi tiga bidang yaitu bidang organisasi dan kelembagaan, bidang usaha, dan bidang keuangan. Aktivitas bidang organisasi dan kelembagaan antara lain adalah mengadakan Rapat Anggota Tahunan (RAT), rapat koordinasi, menyusun jobdesk sesuai dengan jabatan pengurus KOPTI, dan pendataan keanggotaan KOPTI. Berdasarkan data rekap anggota KOPTI Kabupaten Bogor terbaru perwilayah pelayanan pada tahun 2012 terdapat 915 anggota yang terdiri dari 327 pelaku usaha pembuatan tahu dan 588 pelaku usaha pembuatan tempe yang merupakan anggota KOPTI yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Anggota KOPTI yang berada di wilayah Kabupaten Bogor No
Wilayah pelayanan
1 2 3 4 5 6 7
Ciseeng Parung Cibinong Citeureup I Citeureup II Bojong Gede Sukaraja Ciawi Megamendung Caringin Cijeruk Tamansari Leuwiliang Ciampea Cibungbulang Jasinga Dramaga Jumlah
8 9 10 11 12 13 14 15
Jumlah pelaku usaha pembuatan tahu 74 11 44 4 6 2 21
Jumlah pelaku usaha pembuatan tempe 27 95 61 111 76 47 24
19
4
46 47 1 6 34 6 6 327
19 3 38 56 14 13 588
Sumber: KOPTI Kabupaten Bogor Tahun 2012 (diolah)
35 Berdasarkaan daftar keanggotaan tersebut, KOPTI Kabupaten Bogor menyalurkan kedelai kurang lebih sebanyak 500 ton kedelai per bulan untuk anggota KOPTI tersebut. Aktivitas bidang usaha KOPTI Kabupaten Bogor memiliki unit usaha produktif yaitu sebagai penyedia kacang kedelai bagi pelaku usaha pengolahan kedelai, penyedia layanan simpan pinjam bagi anggota KOPTI, penyedia peralatan produksi bagi anggota KOPTI (antara lain adalah mesin pemecah kedelai dan dandang perebusan kedelai), penyedia jasa angkutan barang yang digunakan untuk mendistribusikan kedelai, penyedia layanan usaha sewa tempat yaitu lahan kosong yang disewakan untuk dibangun minimarket dan kios. Selain unit usaha, KOPTI juga melakukan beberapa usaha untuk meningkatkan kualitas dari hasil produksi olahan kedelai para pengrajin diantaranya adalah memberikan penyuluhan kepada pelaku usaha tempe dan tahu bagaimana cara memproduksi tahu dan tempe dengan baik, membuat kemasan plastik yang menarik dengan memberikan merk produk tahu dan tempe yang diproduksi. Hal tersebut dapat meningkatkan jumlah konsumen untuk membeli produk para pelaku usaha tahu dan tempe. KOPTI Kabupaten Bogor memiliki program strategis yang terdiri dari peningkatan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan usaha dan peningkatan citra koperasi. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, studi banding, diskusi, dan seminar. Peningkatan usaha dilakukan dengan mengembangkan UMKM tahu dan tempe, membangun perbengkelan mesin tahu dan tempe, mengembangkan usaha jasa angkutan, mengembangkan sumber energi alternative. Peningkatan citra koperasi dilakukan dengan merumuskan kembali visi dan misi, mengembangkan usaha dan manajemen KOPTI yang masih berjalan, dan melakukan sosialisasi program untuk memberikan harapan baru bagi pengelola dan anggota.
Gambaran Industri Tahu di Kabupaten Bogor Karakteristik Industri Industri tahu merupakan industri pengolahan yang umumnya berskala kecil, akan tetapi ada sebagian usaha tahu yang termasuk pada usaha mikro. Usaha mikro menurut Tambunan (2009) memiliki karakteristik yaitu usaha beroperasi secara informal, usaha dijalankan oleh pemilik, sebagian besar menggunakan tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar, mekanisasi dan spesialisasi pekerjaan yang rendah, serta orientasi pasar hanya bersifat lokal dengan sumber daya modal yang berasal dari uang pribadi. Sedangkan usaha kecil berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995 adalah usaha kecil yang memiliki ciri-ciri sumber daya manusia lebih maju, dengan pendidikan rara-rata SMA dan berpengalaman usaha, manajemen usaha yang sederhana yang mencakup sistem keuangan yang sudah dipisahkan antara rumah tangga dan bisnis, sudah berijin usaha, sudah berhubungan dengan lembaga keuangan, dan tenaga kerja yang dipekerjakan antara 5 sampai 9 orang. Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2008 kriteria usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro yaitu jumlah aset maksimal Rp50 000 000 dan omset maksimal Rp300 000 000. Sedangkan usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
36 perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria. Adapun kriteria dari usaha kecil yaitu memiliki aset sejumlah lebih dari Rp50 000 000-Rp500 000 000 dan omset sejumlah lebih dari Rp300 000 000-Rp2 500 000 000 000. Kriteria serta pengertian usaha mikro dan kecil dari uraian tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kriteria, yaitu formalitas usaha, organisasi dan manajemen, tenaga kerja, teknologi produksi, sasaran pasar, sumber modal dan bahan baku, serta omset. Berdasarkan penelitian di lapang, ciri-ciri usaha mikro dan kecil pada usaha tahu di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Karakteristik usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor No 1 2 3
Kriteria Formalitas Bentuk usaha Organisasi dan manajemen
Usaha mikro Informal Perseorangan Spesialisasi kerja tidak terlalu diterapkan. Pembukuan kas yang dilakukan masih sederhana. Tenaga kerja maksimal dua orang yang merupakan anggota keluarga inti.
4
Tenaga kerja
5
Teknologi produksi
Teknologi yang digunakan masih sederhana dan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak.
6
Sasaran pasar
Orientasi pasar lokal pada daerah sekitar usaha saja.
7
Sumber modal
Internal keluarga
8
Sumber bahan baku
Kerja sama dengan penjual bahan baku kedelai.
9
Omset
Omset maksimal adalah Rp300 000 000
Usaha kecil Informal Perseorangan Terjadi spesialisasi kerja. Pembukuan kas yang lebih rapi.
Tenaga kerja yang dipekerjakan lebih dari tiga orang yang berasal dari luar keluarga. Teknologi yang digunakan masih sederhana, tetapi jumlah alat produksinya lebih banyak dibandingkan usaha pembuatan tahu skala mikro. Orientasi pasar sudah keluar daerah usaha yang lebih luas. Internal (keluarga) dan Lembaga Keuangan (LKM dan Perbankkan). Kerjas sama dengan penjual bahan baku kedelai dan KOPTI. Omset berkisar pada Lebih dari Rp300 000 000 sampai dengan Rp2 500 000 000 000
37 Berdasarkan kriteria usaha mikro dan kecil tersebut, dilakukan juga identifikasi mengenai kendala usaha yang dialami oleh pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor. Kondisi di lapang memperlihatkan bahwa sebesar 80 persen pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor mengalami kendala modal usaha. Modal ini merupakan kendala utama bagi pelaku usaha tahu. Hal tersebut dikarenakan kesulitan akses keuangan yang dirasakan oleh pelaku usaha tahu untuk mendapatkan pinjaman dengan bunga yang rendah. Selain itu, pelaku usaha tahu cenderung tidak berani untuk melakukan pinjaman kepada lembaga keuangan seperti perbankkan dan memilih untuk menggunakan modal pribadi. Kendala usaha yang kedua dan ketiga adalah tenaga kerja dan pemasaran yang memiliki presentase sama yaitu 9 persen. Pelaku usaha tahu merasakan kesulitan untuk mencari tenaga kerja yang akan dipekerjakan. Hal tersebut menyebabkan pelaku usaha tahu sulit untuk memperluas usahanya karena keterbatasan tenaga kerja. Pemasaran juga merupakan kendala yang dialami oleh pelaku usaha tahu saat ini. Kesulitan dalam memperluas usaha tahu yang sedang dijalankan, disebabkan karena banyaknya jumlah pesaing usaha tahu lainnya. Sehingga pelaku usaha tahu memasarkan produk tahunya hanya di sekitar kawasan usaha tahu tersebut dijalankan. Kendala yang terakhir adalah peralatan yang hanya sebagian kecil pelaku usaha tahu mengalaminya yaitu sekitar 2 persen. Para pelaku usaha tahu mengalami kesulitan untuk memperbaharui peralatan yang sudah usang, sehingga peralatan tersebut hanya diperbaiki sebisa mungkin.
Kendala Pelaku Usaha Tahu 2% 9% Modal
9%
Tenaga Kerja Pemasaran 80%
Peralatan
Gambar 9 Presentase kendala pelaku usaha tahu Proses Pembuatan Tahu Industri tahu merupakan industri pengolahan yang umumnya berskala kecil atau rumah tangga. Terdapat 327 usaha tahu yang terdaftar pada KOPTI Kabupaten Bogor tahun 2012. Industri tahu di Kabupaten Bogor hampir keseluruhan merupakan usaha perseorangan yang mempekerjakan tenaga kerja antara 2-15 orang. Proses pembuatan tahu tidak dapat dilakukan sendiri. Hal tersebut dikarenakan proses pembuatan tahu dilakukan melalui beberapa tahapan yang membutuhkan tenaga kerja untuk menyelesaikan tahapan dalam proses pembuatan tahu tersebut. Selain itu, proses pembuatan tahu menggunakan peralatan yang cukup banyak sekitar 15-17 jenis alat. Berdasarkan penelitian di
38 lapang, alat yang digunakan untuk proses pembuatan tahu di Kabupaten Bogor secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jenis dan fungsi peralatan dalam pembuatan tahu Nama Alat Mesin diesel Mesin giling
Tungku semen
Kain saring Tahang
Cetakan Tampir
Tampir tahu cetak
Tampah Ember plastic
Box plastic Mistar
Wajan Tungku penggorengan
Spatula
Fungsi Menambahkan energi listrik dalam proses produksi tahu. Menggiling kedelai untuk menghasilkan kedelai yang halus atau sering disebut dengan bubur kedelai. Tempat untuk merebus bubur kedelai. Pada pembuatan tahu, perebusan bubur kedelai tidak membutuhkan penutup karena bubur kedelai gampang meluap pada saat mendidih. Memisahkan bubur kedelai hasil rebusan dengan ampasnya. Sebagai tempat untuk meletakkan bubur kedelai yang telah direbus dan menggumpalkan bubur kedelai dengan menggunakan biang tahu. Mencetak sari tahu menjadi tahu. Meletakkan tahu yang sudah direbus dan dicetak biasanya digunakan untuk tahu sumedang. Meletakkan tahu yang sudah direbus dan untuk tempat memotong tahu cetak. Meletakkan tahu bungkus yang sudah direbus. Sebagai tempat pencucian kedelai dan untuk meletakkan kedelai yang sudah dicuci. Sebagai tempat untuk menyimpan tahu yang akan dijual. Sebagai alat pengukur untuk memotong tahu sesuai dengan ukuran tahu yang akan dijual. Sebagai tempat untuk menggoreng tahu. Sebagai tempat pelindung agar api tetap hidup pada saat proses penggorengan tahu. Sebagai alat untuk mengangkat tahu yang sudah digoreng dan siap untuk ditiriskan..
39 Bahan yang dibutuhkan untuk proses produksi tahu mentah adalah kedelai, biang tahu, asam cuka, garam, kunyit, dan plastik. Sedangkan untuk proses produksi tahu goreng dibutuhkan minyak. Bahan yang digunakan untuk membuat tahu dapat dilihat pada Gambar 10.
Kedelai
Biang Tahu
Asam Cuka
Garam
Kunyit
Plastik Bening
Minyak
Plastic Bag
Gambar 10 Bahan-bahan untuk produksi tahu
40 Proses pembuatan tahu terdiri dari beberapa tahapan sesuai dengan produk tahu yang diproduksi. Tahapan proses pembuatan tahu harus dilakukan sesuai dengan urutannya, agar tahu yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Proses pembuatan tahu yang dilakukan oleh pelaku usaha di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 11.
Mencuci bersih kedelai dan merendam kedelai
Melakukan penyaringan dengan menggunakan kain saring.
Mengendapkan sari tahu dengan memberikan cuka dan batu tahu.
Menggiling kedelai menggunakan mesin giling
Kedelai yang sudah digiling kemudian direbus hingga matang dan diberi garam.
Mencetak tahu
Tahu siap dipasarkan Gambar 11 Proses produksi tahu
41 Proses pembuatan tahu diawali dengan mencuci kedelai menggunakan air bersih untuk memisahkan kedelai dari kotoran. Setelah melalui proses pencucian, maka kedelai harus direndam dalam air bersih selama 3-4 jam. Kemudian dilakukan proses pembilasan, lalu penggilingan dengan menggunakan mesin giling hingga kedelai tersebut halus. Kedelai yang sudah digiling selanjutnya direbus hingga matang. Setelah melalui proses perebusan maka akan terbentuk bubur kedelai cair. Langkah berikutnya adalah mengambil sari tahu dari bubur kedelai cair dengan memindahkannya ke wadah lain yang telah dilapisi kain saringan. Sari tahu yang merupakan hasil dari proses penyaringan dieendapkan dengan menggunakan air cuka dan biang tahu. Setelah sari tahu mengendap, dilakukan pembentukan tahu menggunakan alat cetak. Tahu yang dihasilkan adalah tahu putih. Terdapat 40 pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor yang memproduksi tahu kuning, maka dari itu dilakukan proses tambahan dengan merendam tahu dalam air kunyit. Setelah itu, dapat dilakukan proses pengemasan sesuai kemasan yang diinginkan. Pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor sekitar 41 orang memproduksi tahu yang sudah digoreng bukan berupa tahu mentah. Sebanyak 19 pelaku usaha tahu yang memproduksi tahu putih mentah. Gambaran Karakteristik Pelaku Usaha Tahu di Kabupaten Bogor Karakteristik responden berisi mengenai gambaran umum identitas responden. Adapun objek penelitian yang ditetapkan adalah Usaha Mikro Kecil (UMK) tahu di Kabupaten Bogor yang merupakan anggota KOPTI Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara tatap muka kepada 100 orang pelaku usaha tahu. Berdasarkan 100 kuesioner yang terkumpul, dapat dilihat identitas responden berdasarkan jenis kelamin, usia, dan pendidikan.
Presentase
Jenis kelamin Terdapat perbedaan yang cukup besar antara responden yang berjenis kelamin pria dan wanita. Jumlah responden untuk pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor sebagian besar didominasi oleh pria. Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 12. 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pria
Wanita Jenis Kelamin
Gambar 12 Presentase sebaran responden pelaku usaha tahu berdasarkan jenis kelamin
42 Berdasarkan penelitian di lapang, didapatkan informasi bahwa sebesar 72 persen pelaku usaha tahu dimiliki oleh pelaku usaha dengan jenis kelamin pria. Sedangkan sebesar 28 persen pelaku usaha tahu dimiliki oleh pelaku usaha dengan jenis kelamin wanita. Hal tersebut dapat diindikasikan bahwa pria lebih banyak memimpin usaha tahu dibandingkan dengan wanita. Umur Pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor memiliki umur yang beragam. Umur dikategorikan menjadi empat kriteria yaitu: (1) umur 25-36 tahun; (2) umur 37-48 tahun; (3) 49-60 tahun; (4) umur 61-72 tahun. Klasifikasi ini didasarkan pada sebaran responden pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor. Sebaran responden berdasarkan umur dapat dilihat pada Gambar 13. 40% 35% Presentase
30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 25-36
37-48
49-60
61-72
Umur
Gambar 13 Presentase sebaran responden pelaku usaha tahu berdasarkan umur Berdasarkan penelitian di lapang, presentase terbesar yaitu 35 persen pelaku usaha tahu memiliki umur berkisar 37-48 tahun. Sebesar 30 persen responden berumur 49-60 tahun. Pelaku usaha tahu yang memiliki umur berkisar 25-36 tahun sebesar 26 persen. Sedangkan untuk presentase terkecil, pelaku usaha tahu memiliki umur berkisar 61-72 tahun yaitu sebesar sembilan persen. Pendidikan Pendidikan yang pernah ditempuh oleh pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor diklasifikasikan menjadi empat jenjang pendidikan yaitu SD, SMP, SMA, dan D3. Klasifikasi tersebut didasarkan pada sebaran responden pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor. Rata-rata pendidikan responden masih tergolong rendah. Sebagian besar pelaku usaha tahu tersebut berpendidikan lulusan Sekolah Dasar (SD). Sebaran responden berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada Gambar 14.
43
70% 60%
Presentase
50% 40% 30% 20% 10% 0% SD
SMP
SMA
D3
Pendidikan
Gambar 14
Presentase sebaran responden pelaku usaha tahu berdasarkan pendidikan
Berdasarkan penelitian di lapang, sebesar 59 persen pelaku usaha tahu berpendidikan lulusan SD. Responden yang berpendidikan lulusan SMP sebesar 22 persen dan SMA sebesar 17 persen. Hanya sebagian kecil pelaku usaha tahu yang menempuh pendidikan D3 yaitu sebesar dua persen. Pendidikan yang masih rendah tersebut dikarenakan pelaku usaha pembuatan tahu berasal dari ekonomi rendah yang tidak memiliki dana untuk melanjutkan pendidikan.
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Model Pengaruh Orientasi Kewirausahaan Terhadap Kinerja Usaha Model Awal Penelitian Model awal orientasi kewirausahaan pada pelaku UMKM tahu di Kabupaten Bogor dikembangkan berdasarkan pada teori dan hasil penelitian terdahulu serta eksplorasi beberapa variabel yang dianggap sesuai dengan ruang lingkup kajian. Pengembangan model ini bertujuan untuk merumuskan hipotesis dalam menduga variabel yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha karena variabel-variabel ini masih memberikan kesempatan untuk dieksplorasi lebih luas. Model yang dikembangkan menduga bahwa orientasi kewirausahaan dipengaruhi oleh faktor sumberdaya, karakteristik usaha, lingkungan eksternal, dan peran pemerintah. Sedangkan orientasi kewirausahaan tersebut diduga memengaruhi kinerja usaha. Model pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha dengan menambahkan gaya pengambilan keputusan sebagai variabel moderator yang dikembangkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 15.
44
Gambar 15 Model awal pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha Model orientasi kewirausahaan dikembangkan dari model Covin dan Slevin (1991) serta Lumpkin dan Dess (1996). Pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha dipengaruhi secara tidak langsung oleh faktor sumberdaya (Lumpkin dan Dess 1996, Autio 1997), karakteristik usaha (Lumpkin dan Dess 1996, Zhou dan Shaley 2003), lingkungan eksternal (Dess dan Beard 1984, Lumpkin dan Dess 1996, Aldrich dan Mindlin yang diacu dalam Castrogiovanni 1996), dan peran pemerintah (Dess dan Beard 1984, Mohgimbi dan Alambeigi 2012). Model pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha pada penelitian ini juga dikembangkan dengan menambahkan variabel moderator yaitu gaya pengambilan keputusan. Variabel moderator tersebut berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Bandura dan Cervone (1986) serta Smith Eugene (2004). Validitas dan reliabilitas model dianalisis menggunakan metode Partial Least Square (PLS) dengan program software SmartPLS. Hasil dari analisis model awal pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha dapat dilihat pada Gambar 16.
45
Gambar 16 Tampilan hasil PLS algorithm pada model awal Evaluasi Model Pengukuran Model PLS yang digunakan dalam penelitian ini adalah model reflektif. Tujuan utama dilakukan evaluasi model pengukuran adalah untuk menilai validitas dan reliabilitas model atau secara tidak langsung untuk menilai bahwa variabel indikator benar-benar mengukur variabel laten dalam model. Untuk melakukan evaluasi model pengukuran dengan indikator reflektif, sebagaimana model penelitian ini dikembangkan, digunakan evaluasi beberapa perlakuan dan metode. Pengujian validitas dan reliabilitas dalam model reflektif dilakukan dalam tiga pengujian yaitu convergent validity, discriminant validity, composite reliability. Convergent validity dari model pengukuran reflektif, indikator dinilai berdasarkan item score atau component score dengan construct score yang dihitung dengan PLS. Ukuran reflektif dikatakan tinggi apabila berkorelasi lebih dari 0.7 dengan konstruk yang ingin diukur. Namun untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran outer loading 0.5 sampai dengan 0.6 dianggap cukup menurut Chin dalam Latan dan Ghozali (2012). Penelitian ini menggunakan ukuran reflektif 0.5 karena termasuk penelitian tahap awal. Setelah itu, dilakukan pengujian discriminant validity yang dilihat dari nilai Average Varian Extracted (AVE) setiap variabel laten dengan korelasi antar variabel laten. Jika nilai akar kuadarat AVE setiap variabel laten lebih besar dibandingkan nilai korelasi antar variabel laten, maka dapat dikatakan nilai discriminat validity baik
46 (Fornell dan Larcker diacu oleh Latan dan Ghozali 2012). Composite Reliability lebih dipilih untuk digunakan mengukur reliabilitas dibandingkan Cronbach Alpha (CA) karena CA seringkali tidak secara tepat mengukur skala reliabilitas. Dengan alasan ini, digunakan Composite Reliability untuk mengukur reliabilitas dengan nilai kritis CR yang lebih besar dari 0.7 (Latan dan Ghozali 2012). Berdasarkan hasil evaluasi pengukuran pada model awal, diperoleh beberapa variabel indikator yang dinilai tidak merefleksikan konstruknya. Oleh karena itu perlu dilakukan perlakuan untuk memperbaiki validitas dan reliabilitas model. Perbaikan model dilakukan dengan menghilangkan variabel indikator dan laten yang tidak memenuhi kriteria kelayakan model pengukuran. Dari hasil evaluasi model pengukuran model awal penelitian (secara lengkap disajikan pada Lampiran 2) dapat diketahui beberapa perlakuan yang dibutuhkan untuk memperbaiki model adalah sebagai berikut: 1) Variabel indikator yang memiliki nilai loading factor (λ) kurang dari 0.5 akan dikeluarkan dari model, antara lain: KU1 (usia usaha), KU2 (modal awal), KUS3 (kepuasan pelanggan). 2) Tahapan selanjutnya adalah melakukan proses ulang dengan tanpa melibatkan variabel-variabel indikator tersebut diatas. Gambaran model pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha yang diperbarui dapat dilihat pada Gambar 17. Sedangkan gambaran hasil dari evaluasi model pengukuran model yang diperbarui dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 17 Tampilan hasil PLS algorithm pada model akhir
47 Proses algoritma PLS pada model yang telah diperbarui memberikan hasil yang valid dan reliabel berdasarkan kriteria evaluasi pengukuran model PLS. Validitas konvergen masing-masing konstruk pada model diperbarui sudah sesuai dengan nilai kirits atau rule of thumb, yaitu nilai loading factor dan AVE yang lebih dari 0.5 serta t-hitung lebih dari 1.96 (Latan dan Ghozali 2012). Selain itu, tingkat reliabilitas masing-masing konstruk sudah meyakinkan karena nilai Composite Reliability (CR) seluruh konstruk lebih besar dari 0.7 (Tabel 12). Tabel 12 Loading factor, t-value, average variance extracted, dan composite reliability Variabel Laten Orientasi kewirausahaan (EO)
Sumberdaya (SD) Karakteristik usaha (KU) Lingkungan eksternal (LE) Peran pemerintah (PI) Kinerja usaha (KUS) Gaya pengambilan keputusan (GYKP) Moderasi
Λ
Variabel Indikator Keinovatifan (EO1) Proaktif (EO2) Berani mengambil risiko (EO3) Agresivitas kompetitif (EO4) Otonomi (EO5) Keuangan (SD1) Bahan baku (SD2) Tenaga kerja (SD3) Skala usaha (KU3)
0.80 0.79 0.64 0.52 0.68 0.76 0.86 0.81 1.00
t AVE 147.28 164.19 94.19 0.50 48.35 92.97 96.83 208.70 0.65 119.92 1.00
Hostility (LE1) Dinamisme (LE2) Excecutive role (PI1) Financial role (PI2)
0.84 0.70 0.58 0.94
89.28 0.60 53.97 21.28 100.78 0.61
Profit (KUS1) Pertumbuhan penjualan (KUS2) Intuisi (GYKP1)
0.99 0.91
846.58 260.23 0.90
-0.67
41.87
Rasional (GYKP2)
0.94
143.90
Gaya pengambilan keputusan_Orientasi kewirausahaan
1.00
-
CR
0.82
0.85 1.00 0.74
0.74
0.95
0.67
1.00
1.00
1.00
Evaluasi Model Struktural Evaluasi model pengukuran telah dilakukan hingga menghasilkan model akhir pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha dengan indikator yang valid dan reliabel. Setelah itu, dilakukan dilakukan uji model struktural atau inner model. Tujuan evaluasi model struktural adalah untuk melihat hubungan antara konstruk laten dengan melihat hasil estimasi koefisien parameter jalur dan tingkat signifikansinya (Latan dan Ghozali 2012). Analisa model struktural dilakukan untuk menggambarkan korelasi antar konstruk atau variabel laten. Pada penelitian ini dikembangkan hubungan-hubungan prediksi yang memengaruhi orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dalam UMKM tahu di Kabupaten Bogor.
48 Model yang dikembangkan menduga bahwa kinerja usaha dipengaruhi oleh orientasi kewirausahaan usaha tahu dan gaya pengambilan keputusan sebagai variabel moderator. Sedangkan orientasi kewirausahaan dipengaruhi oleh faktor sumberdaya, karakteristik usaha, lingkungan eksternal, peran pemerintah, dan gaya pengambilan keputusan sebagai variabel moderator. Evaluasi model struktural PLS dilakukan dengan beberapa tahap. Evaluasi pertama dilakukan dengan melihat R-square (R2) pada variabel laten endogen yang digunakan dalam model. Menurut Latan dan Ghozali (2012) nilai R2 0.75, 0.5, dan 0.25 secara berturut-turut dapat disimpulkan bahwa model bersifat kuat, moderate, dan lemah. Hasil dari evaluasi model PLS menjelaskan bahwa R2 merepresentasikan jumlah varians dari konstruk yang dijelaskan oleh model. Tabel 13 memberikan sebaran R2 masing-masing konstruk tersebut. Variabel kinerja usaha menghasilkan R2 sebesar 0.10 yang dapat diinterpretasikan bahwa variabilitas konstruk kinerja bisnis dapat dijelaskan secara lemah oleh variabilitas konstruk orientasi kewirausahaan yaitu sebesar 10 persen. Sedangkan sisanya sebesar 90 persen, dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Dari hasil analisis model juga diperoleh bahwa variabel orientasi kewirausahaan memiliki nilai R2 relatif lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa pemilihan variabel sumberdaya, karakteristik usaha, lingkungan eksternal, peran pemerintah, dan gaya pengambilan keputusan sebagai variabel eksogen secara lebih baik mampu menjelaskan variabilitas variabel orientasi kewirausahaan. Tabel 13 Nilai r-square variabel laten endogen Variabel laten endogen
R-Square
Kinerja usaha
0.10
Orientasi kewirausahaan 0.40
Variabel eksogen penduga Orientasi kewirausahaan Gaya pengambilan keputusan Sumberdaya Karakteristik usaha Lingkungan eksternal Peran pemerintah Gaya pengambilan keputusan
Dari Tabel 13 tersebut dapat dihitung nilai kesesuaian model terhadap data yang ada dengan mencari nilai Q2 sebagai berikut: Q2 = 1 – (1-0.10)(1-0.40) = 1 – 0.54 = 0.46 2 Nilai Q adalah 46 persen yang artinya model hasil analisis dapat menjelaskan 46 persen terhadap fenomena yang dikaji. Sedangkan sisanya merupakan error dari model, yaitu 54 persen, dijelaskan oleh variabel lain yang belum dapat di dalam model. Selanjutnya dilakukan overall fit index dengan menggunakan goodness of fit (indeks GoF). Indeks ini dikembangkan untuk mengevaluasi model pengukuran dan model struktural. Disamping itu juga, GoF memberikan pengukuran sederhana untuk keseluruhan dari prediksi model (Latan dan Ghozali 2012). Kelayakan nilai GoF didasarkan pada kriteria 0.02: kecil; 0.13: medium; dan 0.26:
49 besar (Cohen dalam Latan dan Ghozali 2012). Nilai GoF model diperoleh dengan rumus: GoF = √̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅ = √̅̅̅̅̅̅ ̅̅̅̅̅̅ = √ = 0.43 Nilai GoF yang dihasilkan sebesar 0.43 yang lebih besar dari 0.35. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa GoF model termasuk dalam kategori besar yang artinya kesesuaian model tergolong tinggi. Tahap terakhir adalah uji signifikansi hubungan-hubungan antar konstruk yang dipergunakan sebagai dasar dalam melakukan uji hipotesis. Uji ini dapat dilihat dari nilai koefisien parameter dan nilai signifikansi statistiknya. Secara lebih lengkap, nilai-nilai tersebut disajikan dalam Tabel 14. Tabel 14 Koefisien jalur dan t-value Hipotesis SD → EO KU → EO LE → EO PI→ EO GYKP → EO EO → KUS GYKP → KUS GYKP_EO (Moderasi) → KUS *t(0.05): 1.96; **t(0.15):0.81
Original sample 0.32 0.15 0.26 0.12 0.11 0.30 0.01 -0.03
T – value 25.57* 11.35* 34.70* 15.70* 14.61* 19.40* 1.04** 2.28*
Tabel 14 menunjukkan hubungan konstruk yang signifikan pada tingkat kepercayaan (α) 0.05 dan 0.15. Penggunaan tingkat kepercayaan sampai 0.15 dilakukan untuk memperoleh gambaran lebih luas variabel yang berpengaruh karena penelitian ini merupakan penelitian sosial.
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Orientasi Kewirausahaan Faktor-faktor yang memengaruhi orientasi kewirausahaan pada penelitian ini terdiri dari sumberdaya, karakteristik usaha, lingkungan eksternal, dan peran pemerintah. Keempat faktor tersebut berkedudukan sebagai variabel laten yang terdiri dari variabel indikator pada penelitian ini. Faktor sumberdaya terdiri dari variabel indikator keuangan, bahan baku, dan tenaga kerja. Faktor karakteristik usaha terdiri dari variabel indikator usia usaha, modal awal, dan skala usaha. Akan tetapi, menurut hasil output PLS variabel indikator karakteristik usaha yang terlihat pada diri pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor adalah skala usaha. Hal tersebut dikarenakan variabel indikator usia usaha dan modal awal tidak memenuhi kriteria dari PLS. Faktor lingkungan eksternal memiliki variabel
50 indikator yaitu hostility dan dinamisme. Faktor yang terakhir adalah peran pemerintah dengan variabel indikator yaitu executive role dan financial role. Sumberdaya Variabel laten sumberdaya pada penelitian ini terdiri dari variabel indikator yaitu keuangan (SD1), bahan baku (SD2), dan tenaga kerja (SD3). Berdasarkan hasil analisis Partial Least Square (PLS), ketiga variabel indikator dari sumberdaya dapat terlihat pada usaha tahu di Kabupaten Bogor. Secara keseluruhan variabel sumberdaya berpengaruh secara langsung terhadap orientasi kewirausahaan. Variabel indikator keuangan pada usaha tahu dianalisis melalui jumlah modal yang digunakan setiap harinya dan nilai proporsi pinjaman terhadap modal yang digunakan saat ini. Selain itu, variabel indikator keuangan juga dianalisis dari kecukupan modal yang digunakan untuk produksi setiap hari dan untuk melakukan pengembangan usaha. Jumlah modal yang digunakan untuk kegiatan produksi setiap harinya bergantung pada jumlah kedelai yang digunakan untuk produksi tahu. Berdasarkan penelitian di lapang, jumlah modal pelaku usaha tahu berkisar antara 500 000-10 000 000 rupiah setiap harinya. Jumlah modal tersebut disesuaikan dengan kapasitas produksi setiap usaha tahu. Apabila ditinjau lebih jauh, presentase terbesar yaitu 17 persen pelaku usaha tahu menggunakan modal sebesar Rp1 000 000 setiap harinya. Sebagian besar pelaku usaha tahu menggunakan modal sendiri untuk menjalankan usahanya. Sebesar 82 persen pelaku usaha tahu tidak melakukan peminjaman modal untuk melakukan kegiatan produksi. Pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor menilai bahwa modal yang dimilikinya cukup untuk melakukan kegiatan produksi. Akan tetapi, dengan jumlah modal tersebut masih belum dapat mencukupi untuk melakukan pengembangan usaha. Pengembangan usaha yaitu dengan meningkatkan skala produksi dan membuka cabang baru masih belum dapat dilakukan. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan modal yang dimiliki pelaku usaha tahu. Bahan baku merupakan variabel indikator dari sumberdaya. Bahan baku utama dalam pembuatan tahu ini adalah kedelai. Berdasarkan penelitian di lapang, jumlah kedelai yang digunakan untuk kegiatan produksi antara 50-1 000 kilogram setiap harinya. Saat ini ketersediaan kedelai dinilai pelaku usaha tahu mudah untuk didapatkan. Pelaku usaha tahu mendapatkan kedelai dengan membeli di pasar. Selain itu, sebagian pelaku usaha tahu ada juga yang membeli kedelai di KOPTI Kabupaten Bogor. Harga kedelai untuk saat ini cenderung cukup stabil yaitu berkisar antara Rp7 900-8 000 per kilogram. Harga tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tiga tahun terakhir, yaitu pada tahun 2012 harga kedelai berkisar Rp8 000, tahun 2013 harga kedelai di atas Rp 9 000 per kilogram dan pada tahun 2014 harga kedelai sekitar Rp 8 025 (BKP Pertanian 2013 dan Primartantyo 2014). Kondisi ketersediaan dan harga kedelai untuk saat ini dinilai baik dan stabil. Sehingga para pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor tidak mengalami kesulitan bahan baku kedelai untuk kegiatan produksi. Variabel indikator tenaga kerja dianalisis melalui jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan dan kemampuan dari tenaga kerja yang dipekerjakan. Berdasarkan penelitian di lapang, jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan sesuai dengan skala produksi setiap pelaku usaha tahu. Jumlah tenaga kerja berkisar antara 2-15 orang. Sebesar 32 persen pelaku usaha tahu mempekerjakan sejumlah tiga orang tenaga
51 kerja. Seluruh pelaku usaha tahu menyatakan tenaga kerja yang dipekerjakan adalah tenaga kerja yang sudah ahli bukan tenaga kerja pemula. Tenaga kerja ahli ini sudah sudah terbiasa membuat tahu sebelumnya. Hampir seluruh responden yaitu pelaku usaha tahu menyatakan bahwa jumlah produksi tahu dengan menggunakan bahan baku kedelai ≥ 50 kilogram tidak dapat dikerjakan secara sendiri, melainkan membutuhkan tenaga kerja. Hal tersebut tidak terlepas bahwa dalam proses pembuatan tahu terdiri dari beberapa tahapan. Secara keseluruhan variabel sumberdaya sebagai variabel laten berpengaruh positif dan signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lumpkin dan Dess (1996) yang menyatakan bahwa sumberdaya sebagai faktor internal memengaruhi orientasi kewirausahaan. Berdasarkan hasil output PLS, nilai outer loading dari variabel sumberdaya sebesar 0.32 dengan t-value 25.57 dimana t-value lebih besar dari ttable (1.96). Artinya sumberdaya berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Apabila sumberdaya meningkat satu persen, maka akan meningkatkan orientasi kewirausahaan sebesar 0.32 persen. Karakteristik Usaha Skala usaha merupakan variabel indikator dari karakteristik usaha. Skala usaha diidentifikasi melalui jumlah produksi tahu yang dihasilkan oleh pelaku usaha setiap harinya. Berdasarkan penelitian di lapang, pelaku usaha tahu yang menggunakan bahan baku kedelai sebanyak 50 kilogram akan menghasilkan tahu rata-rata sebanyak 2 000-3 000 biji. Sedangkan untuk pelaku usaha tahu yang menggunakan bahan baku kedelai sebanyak 100 kilogram, akan menghasilkan tahu rata-rata sebanyak 6 000-10 000 biji. Pelaku usaha tahu yang menggunakan kedelai lebih dari 100 kilogram akan menghasilkan tahu lebih dari 10 000 biji. Jumlah produksi tahu yang dihasilkan berdasarkan ukuran tahu yang diproduksi. Ukuran tahu yang digunakan pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor terdiri dari beberapa ukuran yaitu 3x3 cm, 5x5 cm, dan 8x8 cm. Variabel karakteristik usaha sebagai variabel laten berpengaruh positif dan signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Autio (1997) yang menyatakan bahwa skala usaha yang lebih kecil akan menyebabkan pelaku usaha lebih bersifat konservatif. Skala usaha pada usaha tahu sebagian besar adalah skala kecil dengan indikasi bahwa pelaku usaha pembuatan tahu bersifat konservatif dan berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan pelaku usaha tahu tersebut. Berdasarkan hasil output PLS, nilai outer loading dari variabel karakteristik usaha sebesar 0.15 dengan t-value 11.35 dimana t-value lebih besar dari t-table (1.96). Artinya karakteristik usaha berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Apabila karakteristik usaha meningkat satu persen, maka akan meningkatkan orientasi kewirausahaan sebesar 0.15 persen. Lingkungan Eksternal Lingkungan eksternal merupakan faktor eksternal yang diduga memengaruhi orientasi kewirausahaan. Variabel laten lingkungan eksternal terdiri dari variabel indikator yaitu hostility (LE1) dan dinamisme (LE2). Berdasarkan hasil analisis Partial Least Square (PLS), kedua variabel indikator dari lingkungan eksternal dapat terlihat pada usaha tahu di Kabupaten Bogor. Secara
52 keseluruhan variabel lingkungan eksternal berpengaruh secara langsung terhadap orientasi kewirausahaan. Variabel indikator hostility dianalisis dengan melihat kondisi persaingan pada usaha tahu di Kabupaten Bogor. Sebesar 65 persen pelaku usaha tahu menyatakan bahwa persaingan pada usaha tahu di Kabupaten Bogor sangat ketat. Hal tersebut dikarenakan banyaknya usaha tahu yang ada di Kabupaten Bogor. Maka dari itu pelaku usaha tahu harus berkompetisi untuk mendapatkan konsumen karena persaingan yang sangat ketat antar pelaku usaha tahu. Pelaku usaha tahu merasakan bahwa usaha tahu yang dijalankan akan sulit untuk dipertahankan apabila tidak dapat bersaing dengan usaha tahu lainnya. Kondisi persaingan pada lingkungan usaha mendominasi dan sangat memengaruhi pelaku usaha tahu untuk memperhitungkan sekecil mungkin dampak negatif yang akan diterima oleh usaha tahu yang dijalankan. Salah satu ciri dari usaha tahu khususnya di Kabupaten Bogor adalah setiap kecamatan minimal terdapat satu usaha tahu yang biasanya memiliki daerah pemasaran produk tahu di sekitar usaha tersebut dijalankan. Dinamisme merupakan variabel indikator dari lingkungan eksternal. Dinamisme dianalisis melalui kondisi ketidakpastian yang terjadi pada usaha tahu. Seluruh pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor menyatakan bahwa produk tahu yang diproduksi memiliki tingkat perubahan ketahanan produk yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan tahu yang diproduksi tanpa menggunakan bahan pengawet. Selain itu, sebesar 57 persen pelaku usaha tahu mengatakan bahwa permintaan produk tahu tidak menentu setiap harinya. Pelaku usaha tahu merasakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pesaing usaha tahu lainnya tidak dapat diprediksikan. Secara tiba-tiba para pesaing pelaku usaha tahu melakukan kegiatan yang tidak terduga, seperti memperbaharui praktek pemasaran dan menghasilkan produk olahan tahu jenis lainnya. Hasil tersebut didukung dengan penelitian oleh Dess dan Beard (1984) yang menyatakan bahwa apabila usaha berada pada kondisi yang dinamis akan memiliki pengaruh dan kecocokan terhadap orientasi kewirausahaan. Secara keseluruhan variabel lingkungan eksternal sebagai variabel laten berpengaruh positif dan signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Milavanovic dan Vettine (2014) yang mengkonfirmasi bahwa terdapat hubungan positif antara lingkungan eksternal dengan orientasi kewirausahan. Hasil dari penelitian Milavanovic dan Vettine (2014) mendukug hasil dari penelitian ini. Berdasarkan hasil output PLS, nilai outer loading dari variabel karakteristik usaha sebesar 0.26 dengan t-value 34.70 dimana t-value lebih besar dari t-table (1.96). Artinya lingkungan eksternal berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Apabila lingkungan eksternal meningkat satu persen, maka akan meningkatkan orientasi kewirausahaan sebesar 0.26 persen. Peran Pemerintah Peran pemerintah merupakan faktor eksternal yang diduga memengaruhi orientasi kewirausahaan. Variabel laten peran pemerintah terdiri dari variabel indikator yaitu excecutive role (PI1) dan financial role (PI2). Berdasarkan hasil analisis Partial Least Square (PLS), kedua variabel indikator dari peran pemerintah dapat terlihat pada usaha tahu di Kabupaten Bogor. Secara
53 keseluruhan variabel peran pemerintah berpengaruh secara langsung terhadap orientasi kewirausahaan. Variabel indikator excecutive role dianalisis melalui peran pemerintah dalam memberikan bantuan kepada para pelaku usaha pembuatan tahu. Pemerintah memberikan bantuan usaha seperti berupa peralatan dan pelatihan untuk membantu dalam pengembangan UMKM tahu. Akan tetapi hampir seluruh pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor tidak merasakan peran pemerintah tersebut. Pelaku usaha tahu menyatakan bahwa apabila pemerintah memberikan bantuan peralatan yang digunakan untuk kegiatan produksi akan dapat membantu pelaku usaha tahu untuk mengembangkan usaha tahunya. Walaupun demikian, pelaku usaha tahu masih merasakan pemerintah berperan aktif dalam menjamin ketersediaan bahan baku kedelai untuk UMKM tahu. Sebesar 65 persen pelaku usaha tahu mengatakan bahwa ketersediaan kedelai cukup banyak dan tidak sulit untuk didapatkan, karena pemerintah menjamin ketersediaan kedelai. Financial role juga merupakan variabel indikator dari peran pemerintah. Financial role dianalisis melalui peran pemerintah memberikan bantuan berupa finansial kepada pelaku usaha tahu. Berdasarkan penelitian di lapang, hampir seluruh pelaku usaha tahu menyatakan bahwa program permodalan pemerintah sulit untuk diakses. Selain itu, pelaku usaha tahu tidak merasakan adanya bantuan modal yang diberikan khusus oleh pemerintah kepada pelaku usaha tahu. Walaupun kondisinya seperti itu, pelaku usaha tahu mengharapkan bantuan permodalan dan kemudahan akses dalam permodalan untuk menjalankan kegiatan pembuatan tahu. Secara keseluruhan variabel peran pemerintah sebagai variabel laten berpengaruh positif dan signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Mohgimbi dan Alambeigi (2012) yang menyatakan bahwa peran pemerintah sebagai faktor eksternal yang memengaruhi orientasi kewirausahaan. Berdasarkan hasil output PLS, nilai outer loading dari variabel peran pemerintah sebesar 0.12 dengan t-value 15.70 dimana t-value lebih besar dari t-table (1.96). Artinya peran pemerintah berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Apabila peran pemerintah meningkat satu persen, maka akan meningkatkan orientasi kewirausahaan sebesar 0.12 persen.
Dimensi Orientasi Kewirausahaan Orientasi kewirausahaan merupakan bagian penting dalam menjalankan usaha, karena dapat membantu seorang individu untuk mencapai tujuan strategis dari usaha yang dijalankannya (Rauch et al. 2009). Penelitian ini menggunakan model dimensi orientasi kewirausahaan dari Lumpkin dan Dess (1996). Orientasi kewirausahaan pada penelitian ini merupakan variabel laten. Berdasarkan hasil output PLS dan didukung dengan observasi lapang, dimensi orientasi kewirausahaan dari pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor terdiri dari keinovatifan, proaktif, berani mengambil risiko, agresivitas kompetitif, dan otonomi.
54 Keinovatifan Keinovatifan merupakan dimensi dari orientasi kewirausahaan yang terlihat pada diri pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor. Keinovatifan dalam pelaku usaha tahu relatif berkembang. Terdapat dua kriteria dalam penelitian yang digunakan untuk mengukur keinovatifan, yaitu keragaman produk dan keaktifan mencari pasar baru. Hasil dari inovasi umumnya adalah produk, baik berupa barang maupun jasa. Produk yang diproduksi oleh pelaku usaha tahu umumnya lebih dari satu jenis. Sebesar 80 persen pelaku usaha tahu menjual produk tahu 2-3 jenis. Inovasi produk tahu oleh pelaku usaha tahu dapat dilakukan berdasarkan jenis produk, bentuk, ukuran dan kemasan. Jenis produk tahu yang dijual tidak hanya tahu putih mentah saja, tetapi produk yang dijual berupa tahu goreng dan tahu kunyit dengan berbagai ukuran. Bentuk keinovatifan yang telah dilakukan dan akan terus dilakukan oleh pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor ini merupakan salah satu pembaharuan yang akan berdampak pada peningkatan kinerja usaha. Jenis produk tahu yang diproduksi pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 18.
Tahu Kunyit
Tahu Bungkus Putih
Tahu Goreng
Tahu Potong Putih
Gambar 18 Jenis produk tahu Pada umumnya pelaku usaha tahu menjual produk tahu dengan bentuk persegi empat. Selain itu ada juga pelaku usaha tahu yang menjual tahu bulat. Ukuran tahu yang diproduksi oleh pelaku usaha tahu terdiri dari tiga ukuran yang berbeda yaitu 3x3 cm, 5x5 cm, dan 8x8 cm. Bentuk kemasan dari tahu yang dijual
55 sebagian hanya menggunakan plastik untuk pembelian dengan jumlah sedikit dan menggunakan box untuk pembelian dalam jumlah banyak. Sebesar 94 persen pelaku usaha tahu masih belum memiliki label atau nama produk tahu yang diproduksi. Hanya sebesar enam persen pelaku usaha tahu yang sudah memakai kemasan plastik dengan label nama produk tahu. Pemberian label atau nama produk tahu tersebut belum dilakukan oleh pelaku usaha tahu dikarenakan ketidakcukupan modal. Sebesar 13 persen pelaku usaha tahu memasarkan tahu pada pasar kecamatan. Seperti contoh pelaku usaha tahu di Desa Iwul memasarkan tahu di pasar Kecamatan Ciseeng, karena Desa Iwul berada pada Kecamatan Ciseeng. Akan tetapi, pada umumnya pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor sudah melakukan perluasan pasar dalam memasarkan tahu. Sebesar 87 persen pelaku usaha tahu memasarkan tahu di luar kecamatan di mana tahu tersebut diproduksi, bahkan tahu tersebut sudah dipasarkan pada pasar tingkat kabupaten. Hampir seluruh pelaku usaha tahu tidak melakukan promosi dalam memasarkan tahu, akan tetapi memasarkan atau menjualnya secara langsung kepada konsumen. Hanya sebesar empat persen yang melakukan promosi untuk memperkenalkan tahu yang diproduksi baik melalui leaflet dan ada juga yang melalui blog. Hasil penelitian bahwa keinovatifan merupakan dimensi orientasi kewirausahaan yang terlihat pada pelaku usaha tahu. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hult et al. (2004) yang menyatakan bahwa inovasi atau keinovatifan akan berpengaruh terhadap pencapaian rencana strategis pada suatu usaha. Dimensi orientasi kewirausahaan keinovatifan yang terlihat pada penelitian ini sesuai dengan dimensi orientasi kewirausahaan oleh Lumpkin dan Dess (1996). Proaktif Dimensi proaktif pada pelaku usaha tahu diindikasikan dengan beberapa kriteria, yaitu keinginan untuk menjadi usaha tahu yang besar, menjadi usaha yang dapat memanfaatkan peluang dan cepat dalam merespon tindakan yang dilakukan pesaing. Sebesar 97 persen pelaku usaha tahu menyatakan bahwa usaha tahu yang dijalankan selalu diusahakan untuk dapat usaha yang besar. Akan tetapi untuk menjadikan usaha yang besar tidak diimbangi dengan tindakan kontinuitas perencanaan target penjualan. Hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan usaha karena untuk bertumbuh, usaha memerlukan target dan rencana penjualan yang jelas untuk mencapainya. Sebesar 88 persen pelaku usaha tahu melakukan kerja sama dengan mitra terbaik sebelum pesaing melakukannya. Mitra terbaik misalnya pemilik warung makan, pedagang gorengan, bahkan restoran. Ciri khas dari usaha tahu ini aktif memasok produk tahunya ke mitra-mitra sekitar usaha tahu dijalankan. Misalnya, di mana usaha tahu itu didirikan dan sekitarnya terdapat warung, maka pelaku usaha tahu tersebut memanfaatkan peluang dengan memasok tahu untuk dijual di warung tersebut. Sebagian besar pelaku usaha tahu lebih aktif dalam menentukan harga jual untuk tahu dibandingkan dengan pesaing lakukan. Sehingga pesaing harus merespon atau menanggapi harga yang telah ditentukan terlebih dahulu. Akan tetapi pelaku usaha tahu menyatakan bahwa tidak menentukan harga yang lebih rendah dengan cepat dibandingkan pesaing lakukan.
56 Hasil penelitian bahwa proaktif merupakan dimensi orientasi kewirausahaan yang terlihat pada pelaku usaha tahu. Lumpkin dan Dess (2001) menyatakan bahwa pelaku usaha yang proaktif dapat membidik target segmen pasar dan memanfaatkan peluang yang ada sehingga dapat mengungguli pesaing. Pada penelitian ini, secara garis besar pelaku usaha tahu diidentifikasi dapat memanfaatkan peluang. Adanya perspektif tersebut pelaku usaha yang proaktif dapat memanfaatkan peluang yang muncul (Keh et al. 2007) Dimensi orientasi kewirausahaan proaktif yang terlihat pada penelitian ini sesuai dengan dimensi orientasi kewirausahaan oleh Covin dan Slevin (1991) serta Rauch et al. (2009). Berdasarkan hasil output PLS, nilai outer loading dari proaktif sebesar 0.79 dengan t-value 152.39 dimana t-value lebih besar dari t-table (1.96). Berani Mengambil Risiko Berani mengambil risiko merupakan dimensi dari orientasi kewirausahaan yang terlihat pada diri pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor. Suatu usaha yang memiliki kesediaan untuk berani mengambil keputusan berisiko biasanya dipengaruhi oleh karakteristik personal pelaku usahanya. Karakteristik berani mengambil risiko digambarkan oleh tiga kriteria, yaitu sikap terhadap kondisi ketidakpastian atas penggunaan dana, kesediaan untuk mengembangkan produk baru, dan kesediaan mengembangkan teknologi produksi tahu. Seluruh responden menyatakan bahwa usaha tahu yang dijalankan akan selalu diusahakan untuk dapat menerima risiko atas usahanya. Berdasakan penelitian di lapang, Sebesar 77 persen pelaku usaha tahu berani menggunakan jumlah dana yang besar untuk menjalankan usahanya. Pelaku usaha tahu menyatakan bahwa ketika sudah terjun dalam usaha tahu maka harus berani untuk mengambil seluruh risiko atas usaha yang dijalankan. Dana yang digunakan oleh pelaku usaha tahu untuk menjalankan usahanya berasal dari dana sendiri. Akan tetapi sebesar 75 pesen pelaku usaha tahu menyatakan berani melakukan pinjaman dana untuk mengembangkan usaha tahu yang sedang dijalankan apabila dana sendiri tidak mencukupi. Pada pembahasan sebelumnya ditunjukkan bahwa keinovatifan dalam pelaku usaha tahu relatif berkembang. Hal tersebut dapat disebabkan kesediaan pelaku usaha tahu untuk mengembangkan teknologi produksi dan mengembangkan produk baru cukup tinggi. Sebesar 76 persen pelaku usaha tahu berani untuk mengembangkan produk baru walaupun produk tersebut belum tentu laku di pasar. Selain itu pelaku usaha tahu tersebut juga berani menerapkan teknologi baru untuk memproduksi tahu walaupun berisiko tinggi untuk gagal. Pada kondisi kenyataannya risiko dari usaha pembuatan tahu ini cukup besar misalnya, risiko produk tahu yang gagal sepeti rasa tahu yang terkadang tidak sesuai karena kualitas kedelai yang kurang bagus maupun tahu yang perishable (mudah rusak). Pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor menerima konsekuensi tersebut dan tetap bertahan untuk menjalankan usaha pembuatan tahu. Hasil penelitian bahwa berani mengambil risiko merupakan dimensi orientasi kewirausahaan yang terlihat pada pelaku usaha tahu. Antonic dan Hisrich (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keberanian untuk menghasilkan produk dan jasa yang baru dianggap sebagai refleksi dari orientasi kewirausahaan. Pada penelitian ini, secara garis besar pelaku usaha tahu diidentifikasi berani mengambil risiko atas usaha tahu yang dijalankannya, sesuai dengan pernyataan dari Antonic dan Hisrich (2003). Berdasarkan hasil output PLS, nilai outer
57 loading dari berani mengambil risiko sebesar 0.64 dengan t-value 90.58 dimana tvalue lebih besar dari t-table (1.96). Agresivitas Kompetitif Dimensi agresivitas kompetitif pada pelaku usaha tahu diindikasikan dengan beberapa kriteria, yaitu sikap kompetitif untuk mengalahkan pesaing dan terbuka pada persaingan. Sikap kompetitif pada pelaku usaha tahu terlihat ketika usaha tahu yang dijalankan selalu diusahakan untuk dapat mengalahkan pesaing dalam memasuki pasar baru. Seluruh pelaku usaha tahu menyatakan bahwa akan menanggapi tindakan dari pesaing lakukan. Misalnya pada saat pesaing menjual produk tahu dengan membuka lapak di pasar, pelaku usaha tahu tersebut juga berani bersaing dengan membuka lapak di pasar. Hal tersebut menandakan pelaku usaha tahu terbuka dengan persaingan yang ada, sejauh persaingan tersebut adalah persaingan yang sehat dan tidak saling menjatuhkan. Selain itu, pelaku usaha tahu akan selalu berusaha memenuhi semua permintaan tahu agar pesaing tidak mengambil konsumennya. Hasil penelitian bahwa agresivitas kompetitif merupakan dimensi orientasi kewirausahaan yang terlihat pada pelaku usaha tahu. Berdasarkan penelitian di lapang, pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor cenderung untuk bersaing secara sehat. Kecenderungan tersebut sesuai dengan pernyataan dari Lumpkin dan Dess (1996) yang menyatakan bahwa pelaku usaha yang agresif terhadap persaingan memiliki kecenderungan langsung untuk besaing dan mengungguli pesaingnya di pasar. Pada penelitian ini, secara garis besar pelaku usaha tahu diidentifikasi memiliki kecenderungan untuk bertindak agresif terhadap persaingan atau kompetisi. Agresivitas kompetitif pada diri pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor merupakan dimensi dari orientasi kewirausahaan, sesuai dengan penelitian dari Ogunsiji et al. (2010). Otonomi Dimensi terakhir dari orientasi kewirausahaan pelaku usaha tahu yang dikaji dalam penelitian ini adalah otonomi. Karakteristik otonomi berkaitan dengan kemampuan secara mandiri dalam mencari peluang pasar dan mengembangkan usaha. Otonomi ini berkaitan dengan kewenangan pelaku usaha tahu dalam mengambil keputusan dan menjalankan usahanya. Usaha tahu di Kabupaten Bogor termasuk usaha yang dijalankan secara mandiri oleh masingmasing pelaku usaha. Usaha ini jarang dijalankan secara bersama-sama oleh dua atau lebih pelaku usaha. Usaha tahu yang dijalankan dapat secara mandiri mengidentifikasi peluang untuk mengembangkan usahanya. Selain itu pelaku usaha tahu sebagai pemimpin sekaligus pemilik usaha selalu memberikan dorongan kepada seluruh individu yang terlibat dalam usaha tahu yang dijalankan. Hal tersebut dilakukan karena setiap individu yang terlibat dalam usahanya memiliki pengaruh dalam pencapaian target usaha. Walaupun demikian, pelaku usaha tahu memegang wewenang secara penuh dalam memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan usahanya. Secara mandiri pelaku usaha tahu dapat mengidentifikasi peluang untuk mengembangkan usaha. Usaha tahu sebagai UMKM ini para pelaku usahanya memiliki wewenang secara penuh dikarenakan pada UMKM keputusan dipegang oleh pelaku usaha tanpa melibatkan pihak lain
58 karena tidak adanya keterikatan dengan pihak lain seperti Perseroan Terbatan (PT), CV, dan usaha besar lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, menyatakan bahwa otonomi merupakan dimensi orientasi kewirausahaan yang terlihat pada pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor. Apabila diterapkan dalam konteks organisasi khususnya usaha, otonomi mengacu pada kebebasan dalam mengambil tindakan yang berhubungan dengan usaha (Stevenson dan Jarillo 1990). Hal tersebut terlihat pada diri pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor yang dapat mewujudkan pencapaian usaha yang dipimpinnya secara mandiri. Identifikasi otonomi sebagai kemampuan pelaku usaha tahu dalam memutuskan suatu keputusan usaha secara mandiri dimensi dari orientasi kewirausahaan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lumpkin dan Dess (1996) dan Razak (2011).
Pengaruh Orientasi Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha dengan Gaya Pengambilan Keputusan sebagai Variabel Moderator Gaya Pengambilan Keputusan Gaya pengambilan keputusan pada penelitian ini dijadikan sebagai variabel moderator. Variabel gaya pengambilan keputusan terdiri dari variabel indikator yaitu intuisi (GYKP1) dan rasional (GYKP2). Kedua variabel indikator dari gaya pengambilan keputusan dapat terlihat pada usaha tahu di Kabupaten Bogor. Secara keseluruhan variabel gaya pengambilan keputusan berpengaruh secara langsung terhadap orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha. Variabel indikator intuisi pada penelitian ini diindikasikan melalui beberapa kriteria, yaitu penggunaan naluri dan kecenderungan fokus pada pemikiran sendiri dalam menjalankan usaha. Berdasarkan penelitian di lapang, sebesar 52 persen pelaku usaha tahu sudah menerapkan nalurinya dalam menjalankan usahanya. Hal tersebut didukung dengan sikap pelaku usaha tahu yang cenderung pada pemikiran sendiri pada saat menentukan suatu keputusan usaha. Berdasarkan hasil output PLS variabel indikator intuisi pada pelaku usaha tahu memiliki nilai outer loading bernilai negatif yaitu sebesar -0.67. Hal tersebut terjadi dikarenakan pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor cenderung lebih memiliki gaya pengambilan keputusan secara rasional. Gaya pengambilan keputusan secara rasional terlihat ketika 83 persen pelaku usaha tahu melakukan pengumpulan informasi secara lengkap sebelum memutuskan suatu keputusan dalam usaha. Sehingga keputusan yang dibuat sudah tepat untuk dilakukan. Selain itu, seluruh pelaku usaha tahu selalu berusaha mempertimbangkan situasi dan kondisi yang memengaruhi usaha pembuatan tahu yang dijalankan pada saat menentukan suatu keputusan usaha. Berdasarkan kriteria tersebut, nilai outer loading dari indikator rasional jauh lebih tinggi dibandingkan dengan indikator intuisi yaitu 0.95. Penelitian di lapang juga memperlihatkan bahwa gaya pengambilan keputusan pelaku tahu di Kabupaten Bogor cenderung berfokus pada logika yang melibatkan individu yang terlibat dengan usahanya dalam memutuskan suatu keputusan usaha. Sehingga sebagian besar pelaku usaha tahu di Kabupaten dalam memutuskan suatu keputusan usaha didasarkan pada pemikiran secara rasional. Apabila didasarkan pada studi literatur, seorang entrepeneur pada usaha kecil dan menengah menerapkan gaya keputusan secara intuisi dalam
59 menjalankan manajemen usahanya (Smith Eugene 2004). Pada kasus penelitian ini, kecenderungan gaya pengambilan keputusan secara rasional lebih banyak diterapkan oleh pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor. Apabila ditinjau lebih jauh, gaya pengambilan keputusan secara rasional pada pelaku usaha tahu ini juga dipengaruhi oleh kondisi usaha tahu itu sendiri. Kondisi usaha tahu di Kabupaten Bogor yang dipimpin oleh satu pelaku usaha dengan otonomi atau memegang kekuasaaan penuh, membuat pelaku usaha tahu mengambil keputusan secara rasional. Hal tersebut dikarenakan dalam pengambilan keputusan secara rasional, otonomi tersebut membuat pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor tidak mengedepankan perasaannya melainkan berpikir secara sistematis dengan mempertimbangkan kondisi usahanya. Variabel gaya pengambilan keputusan pada model penelitian ini diduga berpengaruh dengan variabel orientasi kewirausahaan. Secara keseluruhan gaya pengambilan keputusan berpengaruh positif dan signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Rajagopalan, Rasheed, dan Datta (1993) yang menyatakan bahwa serangkaian proses strategis seperti orientasi kewirausahaan berkembang dengan adanya pengambilan keputusan strategis. Pada penelitian ini gaya pengambilan keputusan memiliki pengaruh secara langsung terhadap orientasi kewirausahaan pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil output PLS, nilai outer loading dari variabel gaya pengambilan keputusan sebesar 0.11 dengan t-value 14.61 dimana t-value lebih besar dari t-table (1.96). Artinya gaya pengambilan keputusan berpengaruh signifikan terhadap orientasi kewirausahaan. Apabila gaya pengambilan keputusan meningkat satu persen, maka akan meningkatkan orientasi kewirausahaan sebesar 0.11 persen. Variabel gaya pengambilan keputusan pada model penelitian ini diduga berpengaruh terhadap variabel kinerja usaha. Secara keseluruhan gaya pengambilan keputusan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Rehman et al. (2012) yang menyatakan bahwa keberhasilan usaha dipengaruhi oleh gaya pengambilan keputusan pengusaha. Selain itu beberapa peneliti juga mengindikasikan bahwa terdapat dampak yang ditimbulkan dari penerapan gaya pengambilan keputusan terhadap kinerja usaha (Rehman et al. 2012; Lee dan Tsang 2001). Gaya pengambilan keputusan memiliki peranan yang cukup penting dalam peningkatan kinerja usaha. Apabila pelaku usaha tahu memutuskan suatu keputusan yang berkaitan dengan usaha dengan tepat, maka hal tersebut akan berdampak baik terhadap kinerja usaha. Begitu juga sebaliknya, apabila keputusan pelaku usaha tidak tepat, akan menyebabkan kinerja usaha yang buruk. Pada penelitian ini gaya pengambilan keputusan berpengaruh langsung terhadap kinerja usaha walaupun nilai outer loading yang kecil. Berdasarkan hasil output PLS, nilai outer loading dari variabel gaya pengambilan keputusan sebesar 0.01 dengan t-value 1.04 dimana t-value lebih besar dari t-table (1.96). Artinya gaya pengambilan keputusan berpengaruh signifikan terhadap kinerja usaha. Apabila gaya pengambilan keputusan meningkat satu persen, maka akan meningkatkan kinerja usaha sebesar 0.01 persen.
60 Pengaruh Orientasi Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha dengan Menggunakan Efek Moderasi Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha dengan gaya pengambilan keputusan sebagai variabel moderator. Dimensi orientasi kewirausahaan yang terlihat pada diri pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor adalah keinovatifan, proaktif, berani mengambil risiko, agresivitas kompetitif, dan otonomi. Sedangkan untuk variabel kinerja usaha terdiri dari variabel indikator profit dan pertumbuhan penjualan. Variabel indikator profit diindikasikan melalui beberapa kriteria yaitu jumlah omset rata-rata setiap hari, jumlah keuntungan rata-rata setiap hari, dan peningkatan keuntungan selama tiga tahun terakhir. Pertumbuhan penjualan diindikasikan melalui peningkatan produksi tahu dan penjualan tahu tiga tahun terakhir Berdasarkan penelitian di lapang, sebesar 81 persen pelaku usaha tahu setiap harinya menghasilkan omset rata-rata berkisar antara Rp 550 000-Rp 4 162 500 (Tabel 15). Tabel 15 Sebaran responden pelaku usaha tahu berdasarkan jumlah omset Jumlah omset (rupiah) 550 000-4 162 500 4 162 501-7 775 000 7 775 001-11 387 500 11 387 501-15 000 000 Total
Jumlah (orang) 81 14 3 2 100
Presentase (%) 81.00 14.00 3.00 2.00 100.00
Apabila ditinjau lebih jauh, dari 81 persen sebesar 11 persen pelaku usaha tahu menghasilkan omset Rp 1 200 000 yang merupakan presentase terbesar pada kategori omset Rp 550 000-Rp 4 162 500. Berdasarkan presentase tertinggi omset pelaku usaha tahu menghasilkan produksi tahu rata-rata sebanyak 10 0000-20 000 biji. Untuk kategori omset selanjutnya, empat persen pelaku usaha tahu menghasilkan omset sebesar Rp 6 000 000 dengan produksi tahu rata-rata 30 00040 000 biji. Presentase tersebut adalah presentase terbesar dari kategori omset Rp 4 163 501-Rp 7 775 000. Jumlah keuntungan yang diperoleh sebagian besar pelaku usaha tahu setiap harinya berkisar antara Rp50 000-Rp 1 287 500. Jumlah keuntungan yang dihasilkan memiliki kaitan yang erat dengan jumlah omset yang dihasilkan. Maka dari itu presentase jumlah pelaku usaha yang menghasilkan keuntungan hampir sama dengan presentase jumlah pelaku usaha yang menghasilkan omset pada setiap kategorinya. Berdasarkan kondisi di lapang, semakin besar produksi tahu yang dihasilkan akan menyebabkan semakin besar keuntungan yang dihasilkan. Klasifikasi jumlah keuntungan pelaku usaha tahu tersebut dapat dilihat pada Tabel 16.
61
Tabel 16 Sebaran responden pelaku usaha tahu berdasarkan jumlah keuntungan Jumlah keuntungan (rupiah) 50 000-1 287 500 1 287 501-2 525 000 2 525 001-3 762 500 3 762 501-5 000 000 Total
Jumlah (orang) 90 8 1 1 100
Presentase (%) 90.00 8.00 1.00 1.00 100.00
Kategori jumlah keuntungan Rp 50 000-Rp1 287 500, apabila ditinjau lebih jauh sebesar 22 persen pelaku usaha tahu menghasilkan keuntungan Rp 200 000 setiap harinya. Presentase tersebut merupakan presentase terbesar dari kategori keuntungan Rp 50 000-Rp 1 287 500. Presentase terbesar pada kategori keuntungan Rp 1 287 501-Rp 2 525 000 yaitu lima persen pelaku usaha tahu yang menghasilkan keuntungan Rp 1 500 000. Berdasarkan jumlah keuntungan tersebut, sebesar 66 persen pelaku usaha tahu mengalami peningkatan keuntungan selama tiga tahun terakhir. Secara langsung keuntungan pada tahun sekarang lebih besar dibandingkan keuntungan tiga tahun yang lalu. Variabel indikator kinerja usaha selanjutnya adalah pertumbuhan penjualan. Pertumbuhan penjualan diindikasikan melalui beberapa kriteria yaitu peningkatan jumlah produksi tahu dan jumlah produk tahu yang dijual tiga tahun terakhir. Berdasarkan penelitian di lapang, sebesar 66 persen pelaku usaha tahu mengalami peningkatan jumlah produksi tahu. Selain itu, sebagian besar pelaku usaha tahu mengalami peningkatan penjualan tahu selama tiga tahun terakhir. Hal tersebut diindikasikan karena pengaruh dari orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha. Penelitian di lapang menunjukkan bahwa orientasi kewirausahaan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Shane dan Venkataraman (2000) menunjukkan bahwa orientasi kewirausahaan menyebabkan tingkat pertumbuhan pasar. Sesuai dengan studi literatur yang dilakukan, orientasi kewirausahaan dengan kinerja bisnis telah dikaitakan dan memiliki hasil positif (Covin dan Slevin 1991; Lumpkin dan Dess 1996; Kraus et al. 2005). Maka hasil penelitian ini sesuai dengan hasil studi literatur. Berdasarkan hasil output PLS nilai variabel orientasi kewirausahaan sebesar 0.30 dengan t-value 19.40 dimana t-value lebih besar dari t-table (1.96). Artinya setiap peningkatan satu persen orientasi kewirausahaan, maka akan meningkatkan kinerja usaha sebesar 0.30 persen. Pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor akan mengalami peningkatan kinerja usahanya, apabila pelaku usaha tersebut menerapkan atau mengadopsi orientasi kewirausahaan dalam menjalankan usahanya. Penerapan orientasi kewirausahaan tersebut dapat mengatasi permasalahan laba tidak menentu dan kecenderung kinerja semakin menurun atau tidak stabil yang dialami oleh pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa penerapan orientasi kewirausahaan adalah salah satu solusi untu meningkatkan kinerja usaha.
62 Penelitian ini menggunakan model orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dengan efek moderasi. Model tersebut dapat dilihat pada Gambar 19. Sesuai dengan aturan moderasi pada PLS yang dirujuk dari Latan dan Ghozali (2012), maka pada penelitian ini diciptakan variabel interaksi baru dengan gaya pengambilan keputusan dikalikan dengan orientasi kewirausahaan (GYKP_EO). Hal tersebut digunakan untuk menjelaskan pengaruh gaya pengambilan keputusan terhadap orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha.
Gambar 19
Model orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha menggunakan efek moderasi
Variabel interaksi baru (GYKP_EO) memberikan hasil yang signifikan memoderasi orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha. Akan tetapi hasil nilai outer loading dari variabel moderasi ini bernilai negatif. Hasil tersebut disebabkan karena variabel indikator intuisi dari gaya pengambilan keputusan bernilai negatif sehingga berpengaruh terhadap nilai dari variabel interaksi baru. Hal tersebut mengindikasikan bahwa untuk pelaku UMKM tahu yang mengambil keputusan dengan perspektif rasional, maka akan menurunkan pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha. Maka dari itu perlu penerapan intuisi dalam mengambil keputusan usaha, karena diduga dengan penerapan intuisi dapat meningkatkan pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha. Berdasarkan hasil output PLS, nilai outer loading dari variabel interaksi baru (GYKP_EO) sebesar -0.03 dengan t-value 2.28 dimana t-value lebih besar dari ttable (1.96). Artinya dengan adanya gaya pengambilan keputusan tidak mampu meningkatkan pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha karena nilai outer loading yang negatif. Akan tetapi gaya pengambilan keputusan dapat dikatakan sebagai variabel moderator pada penelitian ini karena berpengaruh signifikan terhadap pengaruh orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dari Venkatraman (1989b) menyatakan bahwa model hubungan orientasi kewirausahaan dengan kinerja usaha dapat dijelaskan dengan menambahkan peranan variabel kontingensi. Penambahan variabel kontingensi tersebut dapat diterapkan pada beberapa model dengan efek moderasi, mediasi, independen, dan interaksi.
63
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1) Faktor-faktor yang memengaruhi orientasi kewirausahaan pada pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor terdiri dari sumberdaya, karakteristik usaha, lingkungan eksternal, dan peran pemerintah. Faktor yang paling berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan adalah sumberdaya. Faktor orientasi kewirausahaan yang berpengaruh selanjutnya adalah lingkungan eksternal, karakteristik usaha dan yang terakhir adalah peran pemerintah. Tingkatan faktor yang berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan tersebut dilihat dari hasil outer loading dan penelitian di lapang. 2) Dimensi orientasi kewirausahaan yang terlihat pada pelaku usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor adalah keinovatifan, proaktif, berani mengambil risiko, agresivitas kompetitif, dan otonomi. Berdasarkan kondisi di lapang dan hasil outer loading keinovatifan pada pelaku usaha tahu di Kabupaten Bogor paling terlihat. Salah satu bentuk keinovatifannya adalah keinovatifan pada produk tahu yang diproduksi. 3) Orientasi kewirausahaan berpengaruh secara langsung dengan kinerja usaha. Model pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja usaha menggunakan variabel gaya pengambilan keputusan sebagai variabel moderator. Gaya pengambilan keputusan secara langsung berpengaruh terhadap orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha. Akan tetapi variabel gaya pengambilan keputusan berinteraksi dengan orientasi kewirausahaan berpengaruh negatif terhadap kinerja usaha. Saran Berdasarkan kesimpulan dirumuskan beberapa saran baik untuk pengembangan kinerja usaha pelaku usaha tahu maupun untuk penelitian selanjutnya yang relevan dengan topik penelitian. Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1) Pemerintah bekerjasama dengan KOPTI dapat memberikan pelatihan kewirausahaan yang akan bermanfaat untuk penerapan orientasi kewirausahaan dalam menjalankan usaha. Selain itu perlu adanya kebijakan berupa pemberian bantuan finansial (modal) ataupun berupa peralatan, sehingga dapat menunjang keberlangsungan usaha tahu di Kabupaten Bogor. 2) Penelitian selanjutnya dapat menggunakan variabel lain yang dijadikan sebagai variabel moderator seperti lingkungan atau skala organisasi sesuai dengan studi literatur sebelumnya. Selain itu penelitian selanjutnya juga dapat dikembangkan dengan mengeksplorasi hubungan orientasi kewirausahaan dan kinerja usaha dengan efek mediasi dan independen.
64
DAFTAR PUSTAKA Acs ZJ. 2006. State of Literature on Small to Medium-Size Enterprises and Entrepreneurship in Low-Income Communitites. Proceedings: Community 88 Affairs Dept. Conferences, Federal Reserve Bank of Kansas City. (Jul 2006): 2154. Antoncic B, Hisrich R.D. 2003. Clarifying the intrapreneurship concept. Journal of Small Business and Enterprise Development. 10 (1): 7-24. Autio E. 1997. New technology based firms in innovation networks symplectic and generative impacts. Research Policy. 26(9): 263-281. Awang Amran, Aziz Yusof, Kamsol Muhamed, Mohammad Ismail, Rozihana, Abdul Rashid. 2009. Entrepreneurial orientation and performance relations of Malaysian Bumiputera SMEs: The impact of some perceived environmental factors. International Journal of Business and Management. 4(9): 84-96. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2013. Menata perubahan mewujudkan Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan pencapaian kinerja pembangunan KIB I (2004-2009) dan KIB II (2009-2014) [internet]. [diunduh pada 3 Januari 2015]. Tersedia pada: www.bappenas.go.id Balan. 2010. Innovation capability, entrepreneurial orientation and performance in Australian hotels. Cooperative Research Centre for Sustainable Tourism. ISBN 9781921658341. Bandura A, Cervone D. 1986. Differential engagement of self-reactive influences in cognitive motivation. Organizational Behaviour and Human Decision Processes. 38: 92-113. Begley TM, Boyd DP. 1987. Psychological characteristics associated with performance in entrepreneurial firms and smaller businesses. Journal of Business Venturing. 2: 79- 93. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bogor tahun 2013-2018. [diunduh tanggal 27 April 2015]. Tersedia pada: bappeda.jabarprov.go.id. [BKF] Badan Kebijakan Fiskal. 2013. Strategi pemberdayaan UMKM menghadapi Pasar Bebas ASEAN [internet]. [diunduh pada 27 Februari 2015]. Tersedia pada: www.fiskal.depkeu.go.id [BKP Pertanian] Badan Ketahanan Pangan. 2013. Kebijakan stabilisasi harga pangan 2002-2012 [internet]. [diunduh pada 14 Desember 2014]. Tersedia pada: http://bkp.pertanian.go.id/berita-198-kebijakan-stabilisasi-harga-pangan20022012.html [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2009. Peta administrasi Kabupaten Bogor. Jakarta (ID): BNPB Nasional [Internet]. [diunduh pada 26 April 2015]. Tersedia pada: geospasial.bnpb.go.id/peta-administrasikabupaten-bogor/. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 2013. Bogor (ID): BPS Kabupaten Bogor [Internet]. [diunduh pada 27 April 2015]. Tersedia pada: bogorkab.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah angkatan kerja di Indonesia tahun 2009-2013. Jakarta (ID): BPS Pusat.
65 ______________________________. Nilai Produk Domestik Bruto sektor UMKM nasional tahun 2009 – 2012 atas dasar harga berlaku. Jakarta (ID): BPS Pusat [Internet]. [diunduh 14 Desember 2014]. Tersedia pada: bps.go.id [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Konsumsi rata – rata bahan makanan penting tahun 2007 – 2012. Jakarta (ID): BPS Pusat [Internet]. [diunduh 14 Desember 2014]. Tersedia pada: bps.go.id _______ Jawa Barat. 2012. Penduduk yang Bekerja menurut Status Pekerjaan Utama Propinsi Jawa Barat Agustus 2012. [Internet]. [diunduh 14 Desember 2014]. Tersedia pada : http://jabar.bps.go.id/ketenagakerjaan. _______ Jawa Barat. 2013. Pemberdayaan KUMKM Jawa Barat dalam menghadapi AEC 2015. Bandung (ID): BPS. Brem Alexander. 2011. Linking innovation and entrepreneurship literatur overview and introduction of process oriented framework. International Journal Entrepreneurship and Innovation Management. 14(1): 6-34. Brett dan Gourman. 2013. Furthering innovative regions of Europe. [internet]. [diunduh pada 27 Februari 2015]. Tersedia pada: http://www.fiereproject.eu/files/5114/0593/2844/Lit_Review_Final.pdf. Casson et al. 2008. The Oxford Handbook of Entrepreneurship. New York (US): Oxford University Press. Castrogiovanni. 1996. Pre-Startup planning and the survival of new small businesses: Theoretical. Journal of Management. 22: 801. doi: 10.1177/014920639602200601. Chang HJ, Lin SJ. 2011. Entrepreneurial intensity in catering industry: a case study on Wang Group in Taiwan. Business and Management Review. 1(9): 112. Covin JG, Slevin DP. 1989. Strategic management of small firms in hostile and benign environments. Strategic Management Journal. 10: 75-87. Covin JG, Slevin DP. 1988. The influence of organization structure on the utility of an entrepreneurial top management style. Journal of Management Studies. 25(3): 217-234. Covin JG, Slevin DP. 1991. A conceptual model of entrepreneurship as firm behavior. Entrepreneurship: Theory and Practice. 16(1): 7-24. Dess GG, Beard DW. 1984. Dimensions of organizational task environments. Administrative Science Quarterly. 29: 52-73. Effendi Syahrul, Djumilah, Solimun, Noermijanti. 2013. The effect of entrepreneurship orientation on the small business performance with government role as the moderator variable and managerial competence as the mediating variable on the small business of apparel industry in Cipulir Market, South Jakarta. IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM). ISSN 2278487X. 8(1): 49-55.
Feldman MP, Francis JL. 2004. Homegrown solutions: Fostering cluster formation. Economic Development Quarterly. 18: 127–137. doi: 10.1177/0891242403262556 Fredrickson J. 1986. The strategic decision making process and organizational structure. Academy of Management Review. 11: 280-297. Grande, Einar Lier Madsen, Odd Jarl. 2011. The Relationship between resources, entrepreneurial orientation and performance in farm-based ventures. Entrepreneurship and Regional Development. 23(3): 89-111.
66 Hart SL. 1992. An integrative framework for strategy-making processes. Academy Management. Rev. 17 (2): 327–351. Hornsby JS, Kuratko DF, Zahrab SA. 2002. Middle managers’ perception of the internal environment for corporate entrepreneurship: assessing a measurement scale. Journal of Business Venturing. 17: 253–273. Huang Kai Ping, Karen Yuan Wang, Kuo Hsiung Chen, Jui-Mei Yien. 2011. Revealing the effects of entrepreneurial orientation on firm performance: A conceptual approach. Journal of Applied Sciences. 11: 3049-3052. Hulsmann JG. 1999. Entrepreneurship and economic growth. The Quarterly Journal of Austrian Economics. 2(2): 63-65. Hult G. Tomast, Robert F. Hurley, Gary A. Knight . 2004. Innovativeness: Its antecedents and impact on business performance. Industrial Marketing and Management. 33: 429-438. Idar R, Mahmood R. 2011. Entrepreneurial and market orientation relationships to performance: The SME perspective. Interdisciplinary Review of Economics and Management. 1(2): 1-8. Ireland, Webb Justin. 2007. A cross-disciplinary exploration of entrepreneurship research. Journal of Management. 33: 891. doi: 10.1177/0149206307307643. [KEMENKOP dan UKM] Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. 2014. Syarief Hasan Menteri Koperasi Mendatang Tinggal Melanjutkan Meningkatkan Program. [internet]. [diunduh pada 15 Desember 2014]. Tersedia pada: depkop.go.id/berita. [KEMENKOP dan UKM] Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. 2015. Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Menurut UU No 20 Tahun 2008 tentang UMKM. [internet]. [diunduh pada 26 Februari 2015]. Tersedia pada: depkop.go.id Keh Hean Tat, Thi Tuyet, Hwei Ping . 2007. The effects of entrepreneurial orientation and marketing information on the performance of SMEs. Journal of Business Venturing. 22 (4): 592-611. [KOPTI] Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia. 2012. Daftar Rekapitulasi Data Anggota KOPTI Kabupaten Bogor. Jakarta (ID): KOPTI Kraus Stephanie, Michael Frese. 2005. Entrepreneurial orientation: A psychological model of success among Southern African small business owners. European Journal of Work and Organizational Psychology. 14(3): 315-344. Kreiser PM, Louis Marino, K. Mark. 2002. Assessing the Psychometric Properties of the Entrepreneurial Orientation Scale: A Multi-Country Analysis. Latan Hengky, Ghozali Imam. 2012. Partial Least Square Konsep, Teknik dan Aplikasi Menggunakan Program SmartPLS 2.0 M3. Semarang (ID): Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Lee DY, Tsang EWK. 2001. The effects of entrepreneurial personality, background, and network activities on venture growth. Journal of Management Studies. 38(4): 583–602. Lumpkin GT, Dess GG. 1996. Clarifying the entrepreneurial orientation construct and linking it toperformance. Academy of Management Review. 21: 135-172. Lumpkin GT, Dess GG. 2001. Linking two dimensions of entrepreneurial orientation to firm performance: The moderating role of environment and industry life cycle. Journal of BusinessVenturing. 16: 429-451.
67 Lussier RN. 1995. A non financial business success versus failure prediction model for young. Journal of Small Business Management. 33(1): 8−20. Meredith Geofrey, Nelson Robert, Neck Philip. 1989. Kewirausahaan: Teori dan Praktek. Jakarta (ID): PT Hastama. Moghimbi, Alambeigi. 2012. Government facilitator roles and ecopreneurship in environmental NGOs. International Journal Environment Research. ISSN 1735-6865. 6(3):635-644. Miller D, Friesen P. 1982. Innovation in conservative and entrepreneurial firms: Two model of strategic momentum. Strategic Management Journal. 3:1–25. Miller D. 1983. The correlates of entrepreneurship in three types of firms. Management Science. 29:770–791. Miller D. 1988. Relating Porter’s business strategies to environment and structure: analysis and performance implications. Academy Management Journal. 31 (2): 280–308. Milovanovic, Wittine. 2014. Analysis of external environment’s moderating role on the entrepreneurial orientation and business performance relationship among Italian small enterprises. International Journal of Trade, Economics and Finance. 5(3). Muchlis. 2014. Ayo melahap untung dari tahu. [internet]. [diunduh pada 10 Januari 2015]. Tersedia pada: www.seputarumkm.com. Naldi, Mattias Nordqvist, Karin Sjoberg, Johan Wiklund. 2007. Entrepreneurial orientation, risk taking and performance in family firms. Family Business Review. 20(1): 33–47. Naman JL, Slevin DP.1993. Entrepreneurship and the concept of fit: A model and empirical tests. Strategic Management Journal. 14: 137-153. Noor M, Dzulkifli. 2013. Assessing leadership practices, organizational climate and its effect towards innovative work behaviour in R&D. International Journal of Social Science and Humanity. 3(2). doi: 10.7763/IJSSH.2013.V3.211. Nuiami, Wael Muhamad, Fayiz Abdelrahman, Mah’d Hussein. 2014. An empirical study of the moderator effect of entrepreneurial orientation on the relationship between environmental turbulence and innovation performance in five-star Hotels in Jordan. International Journal of Business Administration. 5(2). doi: 10.5430/ijba.v5n2p111. Nurhayati Nunung, Musa Hubeis, Sapta Raharja. 2012. Kelayakan dan strategi pengembangan usaha industri kecil tahu di kabupaten kuningan, Jawa Barat. Manajemen IKM. ISSN 2085-8418 (111-121). 7 (2). Ogunsiji, Kayode, Ladanu. 2010. Entrepreneurial orientation as a panacea for the ebbing productivity in Nigerian Small and Medium Enterprises: a theoretical perspective. International Business Research. 3(4): 192-198 Poon et al. 2006. Effects of self-concept traits and entrepreneurial orientation of firm performance. International Small Business Journal. 24(1): 61-82. [PRIMKOPTI] Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia. 2012. Daftar Nama UMK Tempe dan Tahu di Kota Bogor. Bogor (ID): PRIMKOPTI. Primartantyo. 2014. Rupiah melemah, harga tempe dan tahu naik. [diunduh pada 17 Desember 2014]. Tersedia pada: www.tempo.co. [PUSDATIN] Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2013. Buletin konsumsi pangan. 4(3).
68 Rajagopalan N, Rasheed A, Datta D. 1993. Strategic decision processes: Critical review and future directions. Journal of Management. 19: 349-384. Rauch A, Johan Wiklund, GT Lumpkin. 2009. Entrepreneurial orientation and business performance: An assessment of past research and suggestions for the future. Entrepreneurship Theory and Practice. 761-787. Razak Roslida. 2011. Entrepreneurial orientation as a universal remedy for the receding productivity in Malaysian Small and Medium Enterprises: A theoretical perspective. International Journal of Business and Social Science. 2(19): 249-257. Rehman Rashid, Khalid Arfan, Khan Majid. 2012. Impact of employee decision making styles on organizational performance: in the moderating role of emotional intelligence. World Applied Sciences Journal. ISSN 1818-4952 17(10): 1308-1315. Riyanti. 2003. Kewirausahaan dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Jakarta (ID): PT Grasindo. [SETKAB] Sekretariat Kabinet. 2013. Problematika harga kedelai di Indonesia [internet]. [diunduh pada tanggal 2 Januari 2014]. Tersedia pada: www.setkab.go.id/artikel-10045-problematika-harga-kedelai-diindonesia.html. Shane S, Kolvereid L, Westhead P. 1991. An exploratory examination of the reasons leading to new firm formation across country and gender. Journal of Business Venturing. 6: 431-446. Shane S, Venkataraman S. 2000. The promise of entrepreneurship as a field of research. Academy of Management Journal. 25(1): 217-226. Shogi dan Saifeepoor. 2013. The Effects of organizational structure on the entrepreneurial orientation of the employees. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences. ISSN 2222-6990. 3(11) Smith Eugene. 2004. Cognitive style and management of small and medium-sized enterprises, Organization Studies. 25(2): 155-181. Stevenson, Jarillo. 1990. A paradigm of entrepreneurship: Entrepreneurial Management. Strategic Management Journal. 11: 17-27. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung (ID): Alfabeta. Supadi. 2009. Dampak impor kedelai berkelanjutan terhadap ketahanan pangan. Analisis Kebijakan Pertanian. 7(1): 87-102. Tambunan. 2009. Women entrepreneurship in asian developing countries: their development and main constraints. J Dev Agric Econ. 1(2):027-040. Tan J, Tan D. 2005. Environment-strategy coevolution and coalignment: A staged-model of Chinese SOEs under transition. Strategic Management Journal. 26(2): 141 – 157. Van de Ven A, Poole M.S. 1995. Explaining development and change in organizations. Academy of Management Review. 20: 510-540. Venkatraman N. 1989b. The concept of fit in strategy research: Toward verbal and statistical correspondence. Academy of Management Review. 14: 423-444. Wennekers S, Thurik R. 1999. Linking entrepreneurship and economic growth. SBE. 13(1): 27-56.doi: 10.1023/A:1008063200484.
69 Wiklund, Shepherd. 2005. Entrepreneurial orientation and small Business performance: a configurational approach. Journal of Business Venturing. 20: 71–91 Zahra S, Garvis D. 2000. International corporate entrepreneurship and firm performance: The moderating effect of international environmental hostility. Journal of Business Venturing. 15: 469-492. Zhou J, Shalley. 2003. Research on employee creativity: a critical review and proposal for future research directions. Research in Personnel and Human Resource Management Oxford: Elsevier.
70 Lampiran 1 Dokumentasi penelitian
Tahu goreng yang siap untuk dijual
Kedelai yang siap diolah
Proses penggorengan tahu poong
Proses perebusan tahu dengan kunyit
Box penyimpanan tahu
Tahu setelah melalui proses perebusan
Tahu bungkus siap untuk dijual
Tahu kuning
71
Mesin diesel
Mesin giling
Tungku semen
Kain saring
Tahang
Cetakan
Tampir tahu Sumedang
Tampir tahu cetak
72 Lampiran 2 Hasil output Partial Least Square (PLS)
Output awal PLS untuk Pelaku Usaha Pembuatan Tahu (Tahap 1) Path Diagram Coefficient
Path Diagram T-Value
73 Uji statistik model awal (Tahap 1) Indikator Keuangan (SD1) Bahan baku (SD2) Tenaga kerja (SD3) Usia usaha (KU1) Modal awal (KU2) Skala usaha (KU3) Hostility (LE1) Dinamisme (LE2) Executive role (PI1) Financial role (PI2) Keinovatifan (EO1) Proaktif (EO2) Berani mengambil risiko (EO3) Agresivitas kompetitif (EO4) Otonomi (EO5) Profit (KU1) Peningkatan penjualan (KU2) Kepuasan konsumen (KU3) Intuisi (GYKP1) Rasional (GYKP2) Variabel interaksi (GYKP_EO)
Outer Loading 0.76 0.86 0.81 0.23 0.36 0.94 0.84 0.70 0.58 0.94 0.80 0.79 0.63 0.52 0.68 0.99 0.91 0.01 -0.66 0.95 1.00
T-Hitung
Keterangan
107.89 220.81 112.88 13.42 12.40 176.59 94.50 54.97 20.02 97.12 128.53 166.31 84.27 49.47 99.64 399.60 232.41 0.24 35.30 131.45 0.00
Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan
Output akhir PLS untuk Pelaku Usaha Pembuatan Tahu (Tahap 2) Path Diagram Coefficient
74 Path Diagram T-Value
Uji statistik model akhir (Tahap 2) Variabel Laten Orientasi kewirausahaan (EO)
Sumberdaya (SD) Karakteristik usaha (KU) Lingkungan eksternal (LE) Peran pemerintah (PI) Kinerja usaha (KUS) Gaya pengambilan keputusan (GYKP) Moderasi
Λ
Variabel Indikator Keinovatifan (EO1) Proaktif (EO2) Berani mengambil risiko (EO3) Agresivitas kompetitif (EO4) Otonomi (EO5) Keuangan (SD1) Bahan baku (SD2) Tenaga kerja (SD3) Skala usaha (KU3)
0.80 0.79 0.64 0.52 0.68 0.76 0.86 0.81 1.00
t AVE 147.28 164.19 94.19 0.50 48.35 92.97 96.83 208.70 0.65 119.92 1.00
Hostility (LE1) Dinamisme (LE2) Excecutive role (PI1) Financial role (PI2)
0.84 0.70 0.58 0.94
89.28 0.60 53.97 21.28 100.78 0.61
Profit (KUS1) Pertumbuhan penjualan (KUS2) Intuisi (GYKP1)
0.99 0.91
846.58 260.23 0.90
-0.67
41.87
Rasional (GYKP2)
0.94
143.90
Gaya pengambilan keputusan_Orientasi kewirausahaan
1.00
-
CR
0.82
0.85 1.00 0.74
0.74
0.95
0.67
1.00
1.00
1.00
75 Koefisien Jalur dan T-Value Hipotesis SD → EO KU → EO LE → EO PI→ EO GYKP → EO EO → KUS GYKP → KUS GYKP_EO (Moderasi) → KUS *t(0.05): 1.96; **t(0.15):0.81
Original Sample 0.32 0.15 0.26 0.12 0.11 0.30 0.01 -0.03
T – Value 25.57* 11.35* 34.70* 15.70* 14.61* 19.40* 1.04** 2.28*
76
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 2 April 1992 dari ayah Sulistioadi dan ibu Sulistiani. Penulis adalah putri kedua dari dua bersaudara. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Puri Mojokerto dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis merupakan mahasiswi program Sinergi S1-S2 yang menempuh pendidikan S1 dan S2 dalam kurun waktu lima tahun. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota dari organisasi international yaitu International Association Agriculture and Related Science (IAAS), organisasi tersebut merupakan organisasi pertanian yang terdapat di sekitar 32 negara di dunia. Penulis juga aktif mengajar les privat untuk anak SD, SMP, SMA maupun TPB untuk beberapa mata pelajaran. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan perlombaan seperti karya tulis ilmiah dan pidato bahasa Inggris. Prestasi yang pernah diraih oleh penulis antaa lain adalah finalis dan photogenic FEM Ambassador pada tahun 2011, finalis paper competition pada International Conference ADIC Malaysia pada tahun 2012, juara 3 speech contest of FALCON IPB tahun 2012, finalis paper competition pada International Conference ICID Netherlands 2013, mahasiswa berprestasi tingkat Departemen tahun 2014.