PERBANDINGAN PENERAPAN SANKSI PIDANA ANAK YANG MELAKUKAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN SISTEM PERADILAN ANTARA UNDANGUNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN ANAK Andina Damayanti Saputri, Bouwris Charisma Putra, Ika Yuana Darmayanti ABSTRAK Pemidanaan bertujuan dalam upaya memberikan perlindungan demi tercapainya kesejahteraan anak, maka kriteria/standar berat ringannya pemberian sanksi bukan hanya dilihat/diukur secara kuantitatif, melainkan lebih didasarkan kepada pertimbangan kualitatif. Oleh karena itu, sesungguhnya pertimbangan berat ringannya sanksi (terutama sanksi pembinaan di dalam lembaga), bukan hanya sebatas adanya pengurangan dari ancaman sanksi untuk orang dewasa, melainkan perlu dipertimbangkan juga bobot sanksi yang diancamkan. Sebagai ukuran, bahwa penjatuhan sanksi ditujukan untuk melindungi kepentingan anak, maka ancaman sanksi perampasan kemerdekaan sejauh mungkin dihindarkan. Sebagaimana ditegaskan dalam berbagai instrumen internasional, bahwa tidak seorangpun akan dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penghukuman terhadap seorang anak harus sesuai dan diterapkan sebagai upaya terakhir untuk jangka waktu yang paling pendek. Berdasarkan pengamatan dan data yang telah kami kumpulkan, didapat hasil bahwa pemberian hukuman terhadap anak hendaknya dijadikan sarana untuk merehabilitasi anak nakal tersebut dan melindunginya dari stigma buruk terhadapnya, untuk itu negara harus tampil sebagai pelindung dan teman bagi sang anak bukannya sebagai pelaksana pembalasan masyarakat yang marah atas perbuatan jahat yang dilakukan oleh anak. Penjatuhan pidana penjara menimbulkan dampak negatif dan kerugian khususnya terhadap terpidana anak. Kata kunci : pidana, penjara, anak, kejahatan
ABSTRACT Condemnation (punishment) aimed to give protection in order to achieve children welfare; therefore the criterion/standard of condemnation severity is not only viewed/measured quantitatively, but also based on qualitative consideration. For that reason, actually the consideration of sanction severity (particularly the sanction of building in an institution), is not only limited to the sanction reduction for adult, but also the quality of sanction to be imposed. As the measure, the sanction imposition aimed to protect the child’s interest; therefore the threat of liberation seizure sanction should be avoided. It was as confirmed in various international instrument that no one would be seized for his/her liberation illegally or arbitrarily. The condemnation of a child should be consistent and applied as the last resort for the shortest term. 1
Considering the observation and the data we had collected, it could be found that the condemnation of child should be a means of rehabilitating the mischievous child and to protect him/her from bad stigma; for that reason, the state should appear as the protector and the friend for the child not only as the executor of revenge from the society that was angry with the bad deed the child had done. Imprisonment sentence led to negative effect and was harmful to the child defendant.
Keywords: punishment, prison, child, crime. A. PENDAHULUAN Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak juga sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak, memberikan istilah terhadap anak pelaku tindak pidana, yaitu “juvenile delinquency” atau yang lebih dikenal dengan anak delikuen. Juvenile Delinquency sebenarnya memiliki berbagai istilah, ada yang menyebutnya dengan kenakalan remaja atau sering juga diistilahkan sebagai kejahatan anak, namun istilah kejahatan anak sangat tajam (kasar) bila dilabelkan pada anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa yang dikatakan Anak Nakal adalah anak sebagai pelaku tindak pidana, atau anak yang melakukan perbuatan yang tidak lazim dilakukan oleh anak. Anak yang melakukan tindak pidana (anak nakal atau anak delikuen) seharusnya dilindungi segala haknya dan tetap diberikan pengayoman dan pembekalan pembinaan oleh keluarga, masyarakat, maupun pemerintah, bukanlah dijauhkan dan diberi label yang akan memberi dampak yang buruk pada psikis anak tersebut. 2
Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara substansinya Undang- Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 3 Juli 2012 beberapa bulan yang lalu setidaknya memberi “nafas” baru bagi anak. Dimana kepentingannya perlu mendapatkan perlakuan hukum “istimewa.” Terutama ketika sang anak tersebut melakukan tindak pidana. Sebagaimana Undang-Undang mengaturnya. Baik Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 maupun revisinya, menyebut anak yang melakukan tindak pidana adalah anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam Undang-Undang peradilan anak yang baru. Ada beberapa hal sekiranya dapat dikatakan sebagai sebuah kemajuan. Seperti, diterapkannya keadilan restoratif (Pasal 5 ayat 1) dan upaya diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Suatu hal yang patut dengan diterapkannya kedua hal tersebut guna memperhatikan kepentingan anak, keadaan anak baik sosial, psikologis, pendidikan dan hal lain guna melindungi anak tersebut meskipun ia telah melakukan tindak pidana.
B. Penerapan Sanksi Pidana Anak Yang Melakukan Kejahatan Menurut Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 Dalam pengertian anak nakal pada Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah seseorang yang terlibat dalam perkara anak nakal. Sedang yang dimaksud dengan anak nakal dalam Pasal 1 butir 2 mempunyai dua pengertian yaitu : 1. Anak yang melakukan tindak pidana 3
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak. Yang dimaksud perbuatan terlarang bagi anak yaitu baik menurut peraturan perUndangUndangan maupun menurut hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Gatot Supramono,2000:21). 3. Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 batasan umur yang dapat dipidanakan bagi anak nakal yaitu terdapat pada Pasal butir satu yang berisi “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. Kemudian dijelaskan juga dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke siding anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”. Batasan umur dalan dua ketentuan diatas, menunjukkan bahwa yang disebut anak yang dapat diperkarakan secara pidana dibatasi ketika berumur anatara 8 tahun sampai dengan sebelum genap 18 tahun. Apabila dibawah umur 18 tahun tetapi sudah kawin, harus danggap sudah dewasa bukan sebagai kategori anak nakal lagi. Dengan demikian tidak diproses berdasarkan Undang-undang Pengadilan Anak, tetapi berdasarkan KUHAP dan KUHP (Gatot Supramono,2000:19-20). 4. Tempat pemidanaan anak nakal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menghendaki supaya terpidana anak menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang dapat dilihat pada Pasal 61 ayat (1) yang menyebutkn bahwa anak pidana yang belum selesai menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan telah mencapai umur 18 tahun dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan. Jadi terpidana anak yang tempat menjalani pidnanya tiak sama dengan tempat orang deawasa menjalani pidananya. Demikian pula untuk yang berupa penyerahan anak nakal ke pada Negara, penempatannya juga di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai ditetapkan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Pngadilan Anak. Jadi tempat anak nakal menjalani hukumannya di Lembaga Pemasarakatan Anak (Gatot Supramono,2000:37). Sanksi hukum terhadap anak nakal menurut Undang-undang Nomo 3 Tahun 1997 yaitu mengenai sanksi hukumanya telah diatur dalam Bab III dan secara garis besar sanksi tersebut ada 2 macam berupa pidana an tindakan (Pasal 22). Sanksi hukum yang 4
berupa pidana terdiri atas pidna pokok dan pidana tambahan. Untuk pidana pokok ada 4 macam sebagaimana ditetapkan Pasal 23 ayat (2) yaitu 1. Pidana penjara 2. Pidana kurungan 3. Pidana denda 4. Pidana pengawasan Sedangkan mengenai pidana tambahan berdasarkan Pasal 23 ayat (3) ada 2 macam yaitu 1. Perampasan barang-barang tertentu 2. Pembayaran ganti rugi Dari keempat macam pidana pokok dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, pidana pengawasan merupakan jenis pidana baru yang khusus untuk terpidana anak. Yang dimaksud dengan pidana pegawasan yaitu pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing pemasyarakatan. Jadi pidana pengawasan, bukan beupa pidana penjara atau pidana kurungan yang dilaksanakan di rumah terpidana, tetapi beupa pengawasan terhadap terpidana selama beberapa waktu yang ditetapkan oleh putusan pengadilan ( Gatot Supramono,2000:29-31).
C. Penerapan Sanksi Pidana Anak Yang Melakukan Kejahatan Menurut Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 Keberadaan anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Pemenjaraan sebagai upaya utama (premium remidium) dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Resolusi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 45/113 tentang
Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya menyatakan bahwa : Rule 1.1 Imprisonment should be used a last resort digunakan sebagai upaya terakhir) 5
( pidana penjara harus
Rule 1.2. Deprivation of the liberty of a juvenile should be a disposition of last resort and the minimum necessary period and should be limited to exceptional cases ( perampasan kemerdekaan anak harus ditetapkan sebagai upaya terakhir untuk jangka waktu yang minimal yang diperlukan, serta dibatasi untuk
dan kasus-
kasus yang luar biasa atau eksepsional) Perlindungan terhadap anak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu (Maidin Gulton, 2008:34) : 1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan. 2. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan. Dasar perlindungan anak adalah (Arif Gosita, 1999:264-265) : 1. Dasar filosofis : Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak; 2. Dasar etis : pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak; 3. Dasar yuridis : pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan secara yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan. Pada kenyatannya anak yang telah dijatuhi pidana penjara mereka tidak menjadi lebih baik dari sebelumnya tetapi justru akan melakukan kembali tindak pidana, maka dari itu dapat dikatakan bahwa ternyata penjatuhan pidana penjara tidaklah efektif dalam upaya menanggulangi kejahatan yang terjadi tetapi justru menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi anak. Melihat begitu besarnya kerugian dan dampak negatif yang ditimbulkan, maka hendaklah dicari dan dirumuskan alternatif- alternatif dari pidana penjara terhadap anak sebagai pelaku kejahatan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan pembaharuan dari Undang-Undang 6
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan pembaharuan ini diharapkan bisa lebih sempurna dan kekurangan-kekurangan yang ada pada Undang-Undang sebelumnya dapat teratasi. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Istilah anak nakal mengandung pengertian seseorang yang melakukan tindak pidana sama halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Padahal anak yang melakukan tindak pidana berbeda halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Anak yang melakukan tindak pidana juga merupakan korban dari lingkungan budaya tempat ia dibesarkan, karena itu istilah anak nakal yang terdapat dalam UndangUndang Pengadilan Anak harus diganti dengan istilah anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak. Batasan usia anak yang berhadapan dengan hukum dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 terdapat daplam Pasal 1 ayat (3) yaitu anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun. Pada usia tersebut anak-anak tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan sidang peradilan anak atas tindak pidana yang dilakukannya, tetapi harus melalui mekanisme tersendiri yang bertujuan untuk mengendalikan prilaku anak tersebut ke arah lebih baik. Pasal 2 menjelaskan mengenai Sistem Peradilan Anak yang dilaksanakan berdasarkan asas : 1. Perlindungan; 2. Keadilan; 3. Nondiskriminasi; 4. kepentingan terbaik bagi anak; 5. penghargaan terhadap pendapat anak; 6. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; 7. pembinaan dan pembimbingan anak; 8. proporsional; 9. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan 10. penghindaran pembalasan.
7
Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur secara khusus mengenai hak-hak yang dimiliki anak baik pada saat dalam proses peradilan maupun pada saat menjalankan pidana. Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, penahanan anak ditempatkan pada panti-panti sosial yang disediakan oleh pemerintah yang dikelola melalui Depertemen Sosial. Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 telah mengatur mengenai pelaksanaan dimana telah diatur secara khusus yaitu dilakukan di LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara) yaitu tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung yang diatur dalam Pasal 84. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif melalui upaya Diversi. 1. Keadilan Restorative, yang merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 Angka 6); 2. Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 angka 7). Pada dasarnya, diversi ini dilakukan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan perkara anak di sidang
pengadilan dan dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (recidive).
D. Perbandingan Penerapan Sanksi Pidana Anak yang Melakukan Kejahatan dalam Pelaksanaan Sistem Peradilan antara Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Undang-undang peradilan anak di Indonesia diatur didalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak dan setelah berjalannya waktu setelah adanya penelitian-penelitian maka Undang-undang tersebut diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang pengadilan anak dikarenakan didalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 terdapat beberapa kekurangan-kekurangan dengan adanya perubahan tersebut diharapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 lebih 8
sempurna. Dalam perubahahan Undang-undang tersebut mengalami beberapa perubahan yaitu : 1. Usia anak nakal Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyatakan anak nakal adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai usia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin, tetapi usia yang dapat dilakukan penahanan ialah usia 14 (empat belas) tahun atau lebih atau dengan memperhatikan tindak pidana yang dilakukan. Anak yang usianya belum mencapai 12 (dua belas) tahun hanya dapat dilakukan pembimbingan dan pembinaan terhadapnya. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 dinyatakan anak nakal adalah apabila dalam berperkara telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun. Pada usia tersebut anak-anak tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan sidang peradilan anak atas tindak pidana yang dilakukannya, tetapi harus melalui mekanisme tersendiri yang bertujuan untuk mengendalikan prilaku anak tersebut ke arah lebih baik. 2. Kejahatan anak Kejahatan anak sering dinyatakan dengan istilah Juvenile delinquency. Paul Moedikno memberikan perumusan tentang Juvenile delinquency sebagai berikut: a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya; b. Semua perbuatan penyelewengan dari
norma kelompok tertentu
yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya: memakai celana jangki tidak sopan, mode you can see, dan sebagainya; c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain (Wagiati Soetodjo, 2006:6). Namun, Juvenile delinquency tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak daripada kejahatan anak. Terlalu ekstrim rasanya apabila seorang anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai penjahat. Sementara setiap manusia pasti
9
pernah
mengalami
kegoncangan
semasa
menjelang
kedewasaanya
diman
tindakannya merupakan manifestasi dari kepuberan remaja. 3. Penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana Undang-Undang Pengadilan Anak menyebutkan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana. Hal ini berbeda sekali dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan istilah anak yang berhadapan dengan hukum, demikian juga halnya dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Istilah anak nakal mengandung pengertian seseorang yang melakukan tindak pidana sama halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Padahal anak yang melakukan tindak pidana berbeda halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Adanya sebutan anak nakal justru dapat menjadikan anak tersebut tertekan dan malah tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran atau bahkan kejahatan (tindak pidana). Anak yang melakukan tindak pidana tidak semata-mata murni berasal dari anak tersebut, tetapi juga merupakan korban dari lingkungan budaya tempat ia dibesarkan, karena itu istilah anak nakal yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak harus diganti dengan istilah anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. 4. Tempat atau Lembaga Penahanan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 44 ayat (6) menyatakan penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahan Negara, atau di tempat tertentu. Hal tersebut dapat dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mental anak yang masih lemah dan rentan. Selain itu juga menimbulkan stigma yang jelek terhadap anak tersebut. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, penahanan anak ditempatkan pada panti-panti sosial yang disediakan oleh pemerintah yang dikelola melalui Depertemen Sosial. Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 telah mengatur mengenai pelaksanaan dimana telah diatur secara khusus yaitu dilakukan di LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara) yaitu tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung yang diatur dalam 10
Pasal 84. Tujuan penahanan anak melalui panti-panti sosial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah untuk mengadakan pembinaan terhadap anak tersebut sehingga menjadi anak yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara di masa yang akan datang. 5. Hak-hak anak yang yang berkonflik dengan hukum Hak-hak anak dalam proses peradilan harus dipahami sebagai suatu perwujudan keadilan. Dalam hal ini, keadilan yang dimaksud adalah suatu kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang. Perlunya Undang-Undang secara khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum berbeda halnya dengan hak-hak orang dewasa yang berhadapan dengan hukum. Hal ini disebabkan tingkat kecakapan seorang anak berbeda dengan tingkat kecakapan orang dewasa. Secara lebih jauh masalah ini akan membawa perbedaan pada motivasi anak untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Juga harus dipertimbangkan tingkat kemampuan seorang anak untuk menjalani hukuman sebagai akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukannya tersebut. Berbeda halnya dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur secara khusus dalam Pasal 3 dan Pasal 4 mengenai hak-hak anak baik dalam proses peradilan dan pada saat menjalankan pidana. 6. Diversi dan Keadilan Restoratif Sistem Peradilan Pidana Anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 berbeda dengan Sistem Peradilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, dimana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif melalui upaya Diversi. a. Keadilan Restorative, yang merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal Angka 6); 11
1
b. Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 angka 7). Pada dasarnya, diversi ini dilakukan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di sidang pengadilan dan dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (recidive). Selain itu, hakikat pokok dilakukan diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Dalam dua upaya ini, Hakim bertindak sebagai mediator untuk menengahi permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum, dan diharapkan dapat mencapai suatu kesepakatan yang adil dan tidak berat sebelah. Tetapi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 lebih mengedepankan unsur pembalasaan, juga tidak adanya pengaturan secara jelas alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum. Penjatuhan pidana dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 masih bersifat retributive atau penghukuman. Undang-Undang ini masih menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributive). 7. Penjatuhan pidana Berikut ini merupakan perbandingan sanksi antara Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 yang mencakup mengenai pidana pokok, pidana tambahan, serta sanksi tindakan : UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012
Sanksi Pidana 1. Pidana Pokok a. pidana penjara; b. pidana kurungan; c. pidana denda; atau d. pidana pengawasan
Sanksi Pidana 1. Pidana Pokok a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: (1) pembinaan di luar lembaga; (2) pelayanan masyarakat; atau (3) pengawasan c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga;
2. Pidana Tambahan a. perampasan barang- barang 12
tertentu; dan/atau b. pembayaran ganti rugi.
e. penjara. 2. Pidana Tambahan a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat.
Sanksi Tindakan 1. mengembalikan kepada orangtua, wali, orangtua asuh; 2. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau 3. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Sanksi Tindakan 1. pengembalian kepada orang tua/Wali; 2. penyerahan kepada seseorang; 3. perawatan di rumah sakit jiwa; 4. perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS); 5. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; 6. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau 7. perbaikan akibat tindak pidana
Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 masih mengutamakan penjatuhan pidana berupa pidana pokok yaitu berupa pidana penjara. Penjatuhan pidana dalam UU No 3 tahun 1997 masih bersifat penghukuman yang mengedepankan unsur pembalasaan agar anak jera dan tidak mengulangi kembali kesalahan yang dilakukan tanpa memikirkan kedepan setelah mereka dipidana, apakah menjadi lebih baik atau buruk dan belum sepenuhnya menganut perbaikan pada diri pelaku anak. Sedangkan dalam UndangUndang Nomor 11 tahun 2012 dengan pendekatan keadilan restorative dan pendekatan diversi. Pendekatan keadilan restorative merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 Angka 6) sedangkan pendekatan keadilan diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 Angka 7). UndangUndang Nomor 11 tahun 2012
telah menentukan sanksi yang jauh berbeda dari
ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yang tidak mencerminkan 13
perlindungan, pemulihan, dan pembinaan terhadap Anak. Bahkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 justru meletakkan sanksi penjara sebagai pidana pokok yang paling akhir. Ketentuan sanksi ini telah sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang menyatakan bahwa pidana penjara dapat diterapkan terhadap anak apabila tidak ada upaya terakhir lagi dan dilakukan terpisah dari penjara dewasa. Pemberian sanksi pidana maupun tindakan menurut Undang-Undang Pengadilan Anak ditentukan berdasarkan subjek anak yang melakukan, jika anak yang melakukan itu adalah anak nakal yang kategorinya anak yang melakukan tindak pidana maka dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Namun apabila yang melakukan adalah anak nakal yang kategorinya anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak, maka terhadapnya hanya dapat diterapkan sanksi tindakan. Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 menyebutkan bahwa pemberian sanksi pidana maupun sanksi tindakan ditentukan berdasarkan usia anak pelaku, anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan.
E. Penutup Berdasarkan pembahasan tersebut,dapa tditarik simpulan sebagai berikut : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak masih menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributive) dan belum sepenuhnya menganut pendekatan keadilan restorative (restorative justice) dan diversi; Undang-Undang ini belum sepenuhnya bertujuan sebagai Undang-Undang lex specialis dalam memberikan perlindungan secara khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Secara substantif bertentangan dengan perlindungan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Anak (KHA). Ketentuan yang bertentangan antara lain: 1. Usia minimum pertanggung jawaban pidana terlalu rendah; 2. Penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana yang seolaholah sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana; 14
3. Tempat pelaksanaan penahanan yang masih dilakukan di Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahan Negara; 4. Belum adanya pengaturan Hak-hak anak yang yang berkonflik dengan hukum; 5. Belum melaksanakan proses Diversi dan Keadilan Restoratif; 6. Tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal; 7. Penjatuhan pidana yang masih bersifat retributive. Berdasarkan simpulan diatas, maka penulis mengajukan saran sebagai berikut yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 merupakan perbaikan dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997, ini merupakan salah satu contoh bagi pembuatan UndangUndang atau peraturan lain yang menyangkut mengenai anak. Bahwa harus diperhatikan bukan hanya fisik tetapi juga psikis anak, karena anak merupakan penerus bangsa sehingga harus mendapatkan bimbingan yang benar untuk proses ke depannya. 2. Sanksi yang dijatuhkan pada anak memang sebaiknya berupa rehabilitasi atau bimbingan sosial. Karena pidana penjara justru dapat membuat anak merasa tertekan secara psikis apalagi bila digabung dengan penjara dewasa. Hal tersebut malah dapat membuat anak menjadi lebih paham dan bukan tidak mungkin mengulang perbuatannya. 3. Undang-Undang atau peraturan tentang anak sebaiknya bukan hanya melihat pada tindakan anak dan kewajibannya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya saja, tetapi tetap harus memperhatikan hak-hak anak yang dimilikinya. F. PERSANTUNAN Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Ibu Zakki Adliyati S.H.,M.H.,L.LM selaku pembimbingyang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam membuat penulisan hukum. G. DAFTAR PUSTAKA Buku 15
Gulton, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung : Refika Aditama. Supramono, Gatot. 2000. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta : Djambatan Soetodjo, Wagiati. 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung : Refika Aditama
PeraturanPerundang-undangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Jurnal Gosita, Arif. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-Hak Anak, Era Hukum, Jurnal Ilmiah Hukum Nomor 4/Th.V/April 1999. Jakarta : Fakultas Hukum Tarumanegara.
Alamat Korespondensi Andina Damayanti Saputri (NIM.E0010030), Jl.Kenari No 1 Perum BGI Rt 06 Rw 12 Jaten, Karanganyar. HP.08997956999. Email:
[email protected] Bouwris Charisma Puta (NIM.E0010078), Palur Wetan RT 02/07, Mojolaban, Sukoharjo. HP.08089605150363. Email:
[email protected] Ika Yuana Darmayanti (NIM.E0010174), Sidomulyo RT 02/05 Banyuanyar, Banjarsari, Surakarta. HP. 085642267723. Email:
[email protected]
16