STR RUKTUR R KOMUN NITAS MA AKROZOO OBENTO OS DAN KEC CACATAN N LARVA A CHIRON NOMID D DI HULU SUNGAI S CISADANE BOGOR JAWA BA ARAT
DYAH H MUJI RAHAYU R
SEKOLA AH PASCA ASARJAN NA NSTITUT T PERTAN NIAN BOG GOR IN BOGOR R 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Struktur Komunitas Makrozoobentos dan Kecacatan Larva Chironomid di Hulu Sungai Cisadane Bogor Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Dyah Muji Rahayu NRP C251090051
RINGKASAN DYAH MUJI RAHAYU. Struktur Komunitas Makrozoobentos dan Kecacatan Larva Chironomid di Hulu Sungai Cisadane Bogor Jawa Barat. Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI dan YUSLI WARDIATNO. Kegiatan antropogenik terhadap ekosistem sungai menyebabkan terjadinya pencemaran sungai. Pencemaran sungai mengakibatkan terjadinya perubahan komunitas organisme perairan. Indikator biologi digunakan untuk mendukung indikator fisika dan kimia dalam mengevaluasi status ekologi perairan. Indikator biologi yang saat ini dikembangkan adalah makrozoobentos, karena memiliki keunggulan berberapa diantaranya : terdistribusi secara luas, hidupnya menetap, siklus hidupnya panjang, metode pengambilan sampel mudah dan murah, dan kunci identifikasi telah tersedia. Larva Chironomid merupakan kelompok makrozoobentos yang hidup di sedimen. Kecacatan pada larva Chironomid disebabkan peraiaran sungai terkontaminasi dengan logam berat, salah satunya Hg. Sungai Cisadane memiliki manfaat besar bagi kehidupan masyarakat di Bogor, Tangerang dan sebagian Jakarta. Manfaat tersebut diantaranya sebagai sumber air minum, perikanan, dan penambangan pasir. Aktivitas manusia di sekitar hulu Sungai Cisadane, seperti pembuangan limbah rumah tangga, pertanian, peternakan, dan limbah Hg dari tambang emas tradisional (gurandil) yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan. Penelitian yang dilakukan oleh Sudarso (2009) antara tahun 2006-2008, dibagian hulu Sungai Cisadane menunjukkan hasil pengukuran kekeruhan dan konduktivitas (µS/cm) mengalami kenaikan dari hulu ke hilir (kekeruhan 3,83-31,74 konduktivitas 0,034-0,087). Kontaminasi logam berat tertinggi terdapat di daerah Curug Bitung, yaitu Hg air 6,89 µg/L dan Hg sedimen 16,62 µg/L. Penelitian ini bertujuan : 1). Mendeskripsikan status perairan berdasarkan parameter fisika, kimia, dan biologi; 2). Mengkaji pengaruh perubahan kualitas air dari bahan organik dan Hg terhadap kelimpahan makrozoobentos di hulu Sungai Cisadane; dan 3). Mengungkap adanya kecacatan larva Chironomid yang di temukan di hulu Sungai Cisadane. Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Maret 2012, di empat lokasi di hulu Sungai Cisadane, meliputi Cikuluwung (tidak ada kegiatan antropogenik) Cisarua (pembuangan limbah rumah tangga dan pengolahan emas secara tradisional), Curug Bitung (pembuangan limbah rumah tangga, pertanian, dan pengolahan emas secara tradisional), dan Lukut (pembuangan limbah rumah tangga dan pengolahan emas secara tradisional). Pengukuran kualitas air meliputi: suhu, kecepatan arus, DO, TDS, konduktivitas, pH, TOM, organik sedimen, serta kandungan Hg dalam perairan dan sedimen. Sistem pelaksanaan pengambilan sampel makrozoobentos berdasarkan rapid assessment dan pengambilan makrozoobentos menggunakan kick net. Analisis data pada penelitian ini antara lain: Indeks Shannon Wiener, Indeks Keseragaman, Kekayaan Taxa, Indeks Signal, Indeks EPT, one way
ANOVA dan uji Turkey, Indeks Pencemaran, dan Indeks Pencemaran Hg di Sedimen. Status perairan di hulu Sungai Cisadane berdasarkan Indeks Pencemaran dan Indeks Pencemaran Logam Berat Hg di sedimen tergolong tercemar ringan, berdasarkan Indeks EPT tergolong baik hingga tercemar sedang, dan berdasarkan Indeks Signal tergolong tercemar ringan hingga tercemar sedang. Kualitas perairan yang berpengaruh terhadap kelimpahan makrozoobentos dengan menggunakan analisis one way ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Tukey adalah pH, suhu, TDS, dan konduktivitas yang meliputi daerah Cikuluwung (ST 1) dan Curug Bitung (ST 3) serta ST 1 dan Lukut (ST 4). Larva Chironomid yang ditemukan di hulu Sungai Cisadane yang mengalami kecacatan di bagian mandible dan mentum meliputi Polypedilum dan subfamily Orthocladinae yang disebabkan oleh adanya pencemaran bahan organik dan Hg.
Kata kunci: bahan organik dan Hg, Sungai Cisadane, makrozoobentos, kecacatan larva Chironomid
SUMMARY DYAH MUJI RAHAYU. Communities Structure of Macrozoobenthos and Disability of Chironomid Larvae at Upstream of Cisadane River Bogor West Java. Supervised by HEFNI EFFENDI and YUSLI WARDIATNO Anthropogenic activities on river ecosystems will cause river pollution. Pollution in the river resulted in a change of aquatic organisms communities. Biological indicators are used to support the physical and chemical indicators in evaluating the ecological status of waters. Macrozoobenthos is one of biological indicator that currently being developed. It because biological indicator has many advantages include widely distributed, sedentary life, long life cycle, the sampling method is easy and inexpensive, and identification keys are available. Chironomid larvae are macrozoobenthos groups that live in the sediment. Disability of Chironomid larvae is caused heavy metals contaminated, one of which Hg. Cisadane River has great benefits for the community in Bogor, Tangerang, and Jakarta area. The benefits are source of drinking water, fisheries, and sand mining. Human activities around the upstream of Cisadane River, such as household waste disposal, agriculture, animal husbandry, and Hg waste from traditional gold mining (gurandil) led to a decline in water quality. Research conducted by Sudarso (2009) between 2006-2008, upstream of Cisadane River showed that turbidity and conductivity increased from upstream to downstream (3,83 to 31,74 and 0,034 to 0,087µS/cm). Heavy metal (Hg) contamination was highest in Curug Bitung area. Hg in water is 6,89 µg/L and Hg sediment 16,62 µg/L. This study was aimed to: 1). Describe the status of waters based on the parameters of physics, chemistry, and biology; 2). Assessing the impact of changes in water quality (organic matter and Hg) on macrozoobenthos abundance in the upstream of Cisadane River and 3). Revealed Chironomid larvae disability found in the upstream of Cisadane River. The research was conducted in January-March 2012 at four locations in the upstream of Cisadane River, covering Cikuluwung (no anthropogenic activity), Cisarua (household waste disposal and mining of traditional gold), Curug Bitung (household waste disposal, agriculture, and mining of traditional gold), and Lukut (household waste disposal and mining of traditional gold). Water quality measurements include temperature, flow velocity, DO, TDS, conductivity, pH, TOM, organic sediment, and the amount of Hg in waters and sediments. Macrozoobenthos sampling system was implemented based on rapid assessment and a kick net was used to take macrozoobenthos. Data analysis of this study include Shannon Wiener Index, Evenness Index, Taxa Richness, Signal Index, EPT Index, one way ANOVA and Turkey test, Pollution Index, and Hg in Sediment Pollution Index. Status of waters in the upstream of Cisadane River based on Pollution Index and Heavy Metal Pollution Index (Hg) in sediments polluted relatively low,
based on EPT Index is fair to moderate polluted, and Signal Index from low to moderate polluted. Water quality which affects the macrozoobenthos abundance using one way ANOVA analysis continued by Tukey's test were pH, temperature, TDS, and conductivity which covers an area Cikuluwung (ST 1) and Curug Bitung (ST 3) also ST 1 and Lukut (ST 4). Chironomid larvae were found in the upstream of Cisadane River which have disability at the mandible and mentum (Polypedilum and Orthocladinae subfamily) is caused by the presence of organic matter and Hg pollution.
Keywords: disability of Chironomid larvae, Cisadane River, macrozoobenthos, organic matter and Hg
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DAN KECACATAN LARVA CHIRONOMID DI HULU SUNGAI CISADANE BOGOR JAWA BARAT
DYAH MUJI RAHAYU
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi:
Dr. Jojok Sudarso, M.Sc.
Judul Tesis : Struktur Komunitas Makrozoobentos dan Kecacatan Larva Chironomid di Hulu Sungai Cisadane Bogor Jawa Barat Nama : Dyah Muji Rahayu NIM : C251090051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. Ketua
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Tanggal Ujian: 20 Mei 2013
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Struktur Komunitas Makrozoobentos dan Kecacatan Larva Chironomid di Hulu Sungai Cisadane Bogor Jawa Barat”. Penelitian ini diajukan sebagai prasyarat untuk meraih gelar Magister. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan sehingga tesis ini dapat selesai. 2. Gunawan Pratama Yoga, M.Sc. peneliti di Limnologi LIPI atas kesempatan yang diberikan untuk bisa mengikuti penelitian beliau. 3. Kedua orang tua penulis serta adek yang selalu memberikan motivasi serta doanya untuk kelancaran tesis. 4. Suami tercinta Ayatullah S.Fil.I MA. dan anakku tersayang Nabila az Zahra yang selalu mejadi sumber inspirasi dan motivasi dalam proses penelitian dan penulisan tesis. 5. Rekan-rekan SDP 2009 dan 2010 (Aliati Iswantari, Gema Wahyu Dewantoro, Sri Wahyuni, Anti Landu, Munirah Tuli, Haiatus Shohihah, Darwin, dan Robin) yang telah banyak membantu baik tenaga dan pikiran serta selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis. 6. Serta rekan-rekan yang lainnya yang telah memberikan doa untuk kelancaran tesis. Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Agustus 2013
Dyah Muji Rahayu
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perkembangan peradaban yang cepat dalam beberapa dekade terakhir telah menyebabkan meningkatnya dampak manusia terhadap lingkungan alam (Stryjecki 2002). Kegiatan manusia (antropogenik)memiliki efek yang kuat terhadap ekosistem perairan terutama pada komunitas biotik dan fungsi ekologi (Maddock 1999). Penelitian biota air memiliki banyak manfaat, diantaranya untuk mengetahui adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan antropogenik (Chessman 1995; Plafkin et al. 1985). Indikator biologi digunakan untuk mendukung indikator fisika dan kimia dalam mengevaluasi status ekologi di banyak negara (European Commission 2003). Penilaian kualitas air berdasarkan indikator biologis telah dikembangkan selama puluhan tahun, 60% diantaranya telah menggunakan makrozoobentos (De Pauw & Hawkes 1993). Makrozoobentos merupakan salah satu indikator lingkungan perairan yang baik (Chessman 1995; Plafkin et al. 1985). Rosenberg dan Resh (1993), beberapa keuntungan menggunakan makrozoobentos sebagai bioindikator, diantaranya: (1) Terdistribusi secara luas; (2) Kemampuan dalam merespon perubahan kualitas air; (3) Banyak spesies yang bersifat menetap; (4) Siklus hidupnya panjang sehingga mampu mengikuti efek gangguan yang regular atau intermitten, dan konsentrasi yang beragam; (5) Metode berkembang dengan baik; (6) Peralatan yang digunakan sederhana dan tidak mahal; dan (7) Taksonomi sebagian besar kelompok makrozoobentos telah diketahui dan kunci identifikasi telah tersedia. Larva Chironomid (Diptera) merupakan salah satu kelompok makrozoobentos yang dianggap sebagai organisme yang ideal untuk bioassay karena sebagian besar hidupnya berada dipermukaan sedimen dan memiliki siklus hidup yang pendek. Kriteria tersebut membuat mereka cocok sebagai organisme pemantau ekotoksikologi (Warwick 1985; Ingersoll & Nelson 1990; Vermeulen 1995). Logam berat salah satunya Hg yang mencemari perairan dapat menyebabkan kecacatan pada larva Chironomid (Warwick 1979; Diggins & Stewart 1993; Jansens de Besthoven & van Speybroeck 1994). Merkuri (Hg) merupakan salah satu jenis logam berat yang sangat berbahaya bagi lingkungan, khususnya Hg metil (MeHg). Masuknya Hg kedalam tubuh organisme perairan dapat melalui tiga proses, yaitu akumulasi secara biologi (bioakumulasi), proses perpindahan secara biologi (biotransfer), dan pembesaran secara biologi (biomagnifikasi) yang terjadi secara alamiah. Organisme perairan dapat mengakumulasi Hg dari air, sedimen, dan makanan yang dikonsumsi. Bahaya Hg metil (MeHg) salah satu contohnya terjadi di Teluk Minamata, Jepang. Produk sampingan yang mengandung MeHg dibuang kedalam teluk tersebut oleh pabrik kimia penghasil klorida vinil dan formaldehida milik Perusahaan Chisso (Yasuda 2000). Menurut Katz (1973), Hg dapat menyebabkan pembentukan lapisan mukus pada insang (coagulation film anoxia), sehingga mengganggu sistem pernapasan, sirkulasi darah, dan sistem transportasi ion melalui membran epitelum pada insang. Menurut Skinner & Bennet (2007) kontaminasi merkuri di perairan dapat merusak insang pada beberapa larva dan
2
nympha serangga perairan, sehingga secara langsung dapat menurunkan tingkat kelulushidupan makrozoobentos. Pada manusia, Hg dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru, hati, ginjal, kerusakan sel otak, dan pada ibu hamil dapat melahirkan anak yang cacat (Hancock 1976). Sungai Cisadane memiliki manfaat besar bagi kehidupan masyarakat di Bogor, Tangerang, dan sebagian Jakarta. Manfaat tersebut diantaranya sebagai sumber air minum, perikanan, dan penambangan pasir. Aktivitas manusia di sekitar hulu Sungai Cisadane, seperti pembuangan limbah rumah tangga, pertanian, peternakan, dan limbah Hg dari tambang emas tradisional (gurandil) yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan. Penelitian yang dilakukan oleh Sudarso (2009) antara tahun 2006-2008, dibagian hulu Sungai Cisadane menunjukkan hasil pengukuran kekeruhan dan konduktivitas (µS/cm) mengalami kenaikan dari hulu ke hilir (kekeruhan 3,83-31,74, sedangkan konduktivitas 0,034-0,087). Kontaminasi logam berat tertinggi terdapat di daerah Curug Bitung, yaitu Hg air 6,89 µg/L dan Hg sedimen 16,62 µg/L. Berdasarkan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup No. 115 tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, baku mutu Hg di dalam perairan adalah 2 µg/L, sehingga kandungan Hg perairan di daerah Curug Bitung telah melebihi baku mutunya. Perubahan parameter fisika dan kimia perairan tersebut dapat mempengaruhi struktur komunitas dari makrozoobentos dan aktivitas antropogenik di hulu Sungai Cisadane diduga telah menyebabkan kecacatan pada larva Chironomid. Perumusan Masalah Hulu Sungai Cisadane terdapat berbagai aktivitas antropogenik, diantaranya pembuangan limbah rumah tangga, pertanian, dan penambangan emas tradisional yang dapat mempengaruhi kondisi kualitas sungai tersebut. Pemantauan kualitas sungai-sungai di Indonesia umumnya masih menggunakan indikator fisika dan kimia, dan belum secara konsisten memadukannya dengan indikator biologi, salah satunya makrozoobentos. Pencemaran yang terjadi di hulu Sungai Cisadane dapat menyebabkan terjadinya perubahan stuktur komunitas makrozoobentos, yaitu adanya kelompok-kelompok makrozoobentos yang toleran dan intoleran terhadap perubahan kualitas air. Pencemaran tersebut juga diduga dapat menyebabkan kecacatan pada larva Chironomid. Kecacatan pada larva Chironomid dapat dilihat pada bagian mouthpart, baik mentum maupun mandiblenya. Adanya permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh masukan bahan organik dan kontaminasi Hg di perairan serta beberapa variabel lingkungan perairan penting lainnya terhadap struktur komunitas makrozoobentos dan kecacatan pada larva Chironomid. Penelitian ini juga mendeskripsikan status perairan hulu Sungai Cisadane berdasarkan indikator fisika, kimia, dan biologi.
3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan status perairan berdasarkan parameter fisika, kimia, dan biologi; 2. Mengkaji pengaruh kualitas fisika dan kimia air yang diteliti dengan kelimpahan makrozoobentos di hulu Sungai Cisadane; dan 3. Mengunggkap adanya kecacatan larva Chironomid yang ditemukan di hulu Sungai Cisadane.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai salah satu data dasar untuk biomonitoring dan pengontrolan pencemaran di ekosistem sungai.
TINJAUAN PUSTAKA
Makrozoobentos Makrozoobentos merupakan organisme yang berada di substrat dasar. Makrozoobentos adalah organisme yang dapat ditahan oleh jaring dengan ukuran mesh ≥ 200 hingga 500 μm (Slack et al. 1973; Weber 1973; Wiederholm 1980; Suess 1982). Makrozoobentos memiliki peranan penting dalam ekosistem sungai. Makrozoobentos merupakan sumber makanan utama bagi sebagian besar ikan di sungai. Pada lingkungan lotik, komunitas makrozoobentos terdiri dari lima taksa (Allan 1975; Morse et al. 1980; Benke et al. 1984; Ward & Stanford 1991) yang terdiri dari Arthropoda (Insekta, tungau, Scud, dan udang karang), Mollusca (siput, limpet, remis dan kerang), Annelida, Nematoda, dan Platyhelminthes. Taksonomi Insekta merupakan kelompok Arthropoda yang meliputi ordo Emphemeroptera (Mayflies), Odonata (Damselflies dan Dragonflies), Plecoptera (Stoneflies), Trichoptera (Caddiesflies), Collembola (Springtails), Neuroptera (khususnya subordo Megaloptera (Alderflies, Dobsonflies, Fishflies, Hellgramites), Hemiptera (subordo Heroptera (kumbang)), Coleoptera (Beetles), Diptera (flies, khususnya subordo Nematocera juga beberapa Brachycera), dan Lepidoptera (ngengat (Moths) dan kupu-kupu (Butterflies). Banyak spesies dari Coleoptera dan Hemiptera pada tahap larva dan dewasa hidup di perairan. Arthropoda yang bukan tergolong Insekta, terdiri dari Amphipoda, Isopoda dan Decapoda juga merupakan komponen komunitas sungai. Molusca, diantaranya beberapa famili Gastropoda (siput dan limpet) dan Bivalvia (kerang dan remis)
4
umumnya hidup di sungai. Annelida diwakilkan oleh beberapa famili dari Oligochaeta (cacing) dan Hirudinea (lintah) (Hershey & Lamberti 1998). Adaptasi Reproduksi dan survival (kelulushidupan) makrozoobentos menunjukkan adanya adaptasi khusus di lingkungan sungai (Butler 1984). Sebagai contoh, sebagian spesies beradaptasi khusus pada jenis sungai ephemeral (sungai yang ada airnya hanya pada saat musim hujan, tetapi airnya belum tentu banyak) dengan tahap telur dorman yang menetas pada saat sungai tersebut tergenang air (Williams 1987). Adaptasi lainnya dapat dilihat menurut musim yaitu larva mengalami diapauses (Hauer & Stanford 1982) atau melepaskan feromone saat dewasa untuk menarik lawan jenis (Resh et al. 1987). Makrozoobentos juga memiliki beragam siklus hidup, diantaranya sebagian spesies siklus hidupnya sempurna beberapa kali per tahunnya (multivoltine), siklus hidup dua kali per tahun (bivoltine), sekali per tahunnya (univoltine), atau mungkin membutuhkan dua atau tiga tahun untuk melengkapi siklus hidupnya (semivoltine) (Hauer & Stanford 1982). Siklus Hidup Menurut Gooderham & Edward (2003), sebagian besar avertebrata siklus hidupnya sederhana. Mereka menetas dari telur dan menghabiskan sebagian waktunya untuk berkembang. Saat larva atau nympha tumbuh, kemudian menjadi dewasa, bereproduksi seksual dan melepaskan telur-telurnya, lalu muncul yang muda dan begitu seterusnya siklus hidupnya. Beberapa avertebrata menggunakan metode yang menarik untuk bereproduksi, seperti pembelahan diri dan hermaprodit.Pembelahan diri terjadi pada hewan seperti Tubelaria (cacing pipih), Porifera (sponge) dan Cnidaria (Hydra). Mereka dapat membelah diri menjadi individu-individu baru atau dapat memulihkan diri ketika mendapat serangan dari predator. Reproduksi secara hermaprodit terdapat pada Gastropoda (siput) dan Hirudinea (lintah). Ada dua bentuk perubahan yang terjadi, yaitu: 1. Siklus hidup larva Larva merupakan bentuk yang lunak, tubuhnya sederhana ketika mereka masih muda dan tampak berbeda dengan induknya. Mereka terkadang memiliki saluran pencernaan sederhana. Ketika larva mencapai ukuran tertentu, mereka akan memasuki fase pupa (tahap kehidupan beberapa Insekta mengalami transformasi) yang akan mengubah mereka menjadi Insekta. Selama fase tersebut terjadi perubahan menjadi dewasa yang bersayap. Insekta dapat keluar dari kulit pupa sewaktu masih berada dalam air, atau pada beberapa kasus pupa dapat bergerak dan berenang ke permukaan air, kemudian saat dewasa terlepas kulit pupanya. 2. Siklus hidup nympha Nympha pada umumnya hampir menyerupai dewasa dan pada saat dewasa sayapnya sederhana dan ukurannya kecil. Sayap nympha dimulai dari cikal bakal sayap yang akan berkembang menjadi sayap pada saat dewasa. Beberapa nympha hidup di air hingga mereka menjadi dewasa. Nympha bergerak keluar dari air, melepaskan kulitnya. Beberapa Insekta seperti kumbang sejati dan kumbang akan
5
kembali ke air untuk melepaskan telur-telurnya dan kemudian mati (Gooderham & Edward 2003). Pertumbuhan Lintah dan siput memiliki kulit yang dapat tumbuh dengan laju yang sama. Crustacea dan Insekta (phylum Arthropoda) mempunyai external skeleton, dan tidak dapat tumbuh menjadi keras. Untuk menghindari tekanan dari dalam kulitnya, Arthropoda melepaskan kulitnya secara berkala, menggantinya dengan yang sesuai dengan ukurannya. Arthropoda dapat berganti 50 kali sepanjang hidupnya.Banyak avertebrata di sungai berupa Insekta. Selama hidupnya mereka berubah dari Insekta muda tanpa sayap menjadi dewasa yang bersayap (Gooderham & Edward 2003). Habitat Makrozoobentos Banyak aspek fisik dari ekosistem sungai yang mempengaruhi komposisi dan kelimpahan makrozoobentos. Faktor-faktor tersebut diantaranya substrat, arus, suhu, oksigen terlarut, dan kimia perairan (Hershey & Lamberti 1998). Suhu merupakan kendala mendasar bagi fisiologi hewan, beberapa makrozoobentos lebih memilih suhu kisaran sempit, sedangkan yang lain dapat mentolerir suhu lebih luas (eurytherms) (Li et al. 1994; Tait et al. 1994). Oksigen rendah dapat terjadi di bagian sungai dengan turbulensi rendah, terutama pada malam hari ketika fotosintesis tidak terjadi, tetapi produsen dan konsumen masih menggunakan oksigen. Jenis makrozoobentos yang dapat mentoleransi kondisi oksigen yang rendah adalah Diptera dan Oligochaeta. Aspek lain dari kimia air yang dapat membatasi kehadiran makrozoobentos yaitu ketersediaan ion spesifik, seperti Gastropoda dan Bivalvia yang membutuhkan kalsium untuk pembentukan cangkang (Hershey & Lamberti 1998). Pada habitat lokal, substrat dan kecepatan merupakan faktor penting dalam menentukan jenis taksa makrozoobentos. Substrat menjadi penting karena sebagian besar makrozoobentos menghabiskan sebagian besar hidupnya melekat pada substrat. Substrat lotik dapat dibagi menjadi dua, yaitu substrat anorganik (materi geologi mulai dari lumpur sampai batu-batuan) dan substrat organik (bahan organik mulai dari partikel halus). Ukuran partikel dari materi anorganik (kerikil dan batu-batuan) memiliki pengaruh besar pada struktur komunitas makrozoobentos daripada sedimen halus (pasir dan lumpur), misalnya kumbang air (keluarga Psephenidae), larva Hellgrammite (Megaloptera, Corydalidae) dan stoneflies famili Perlidae (Plecoptera) sering ditemukan pada sisi bawah batu. Caddisflies (Tricoptera) menjadi kepompong yang melekat pada batu-batuan, karena adanya aliran air yang membawa oksigen terlarut, yang dibutuhkan untuk metamorfosis (Resh et al. 1981). Keragaman yang rendah dari avertebrata biasanya ditemukan di sedimen halus karena sedikitnya detritus yang terperangkap dan ketersediaan oksigen yang rendah (Allan 1995). Hg Merkuri (Hg) adalah unsur renik pada kerak bumi. Pada perairan alami, Hg juga ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil. Hg merupakan satu-satunya
6
logam yang berada dalam bentuk cairan pada suhu normal. Hg terserap dalam bahan-bahan partikulat dan mengalami presipitasi. Pada dasar perairan anaerobik, Hg berkaitan dengan sulfur. Merkuri anorganik dapat mengalami transformasi menjadi metil merkuri (merkuri organik) yang di perairan alami dipengaruhi oleh keberadaan mikroba, karbon organik, pH, dan suhu. Metil merkuri dapat mengalami bioakumulasi dan biomagnifikasi pada biota perairan, baik secara langsung maupun jaring makanan (food web). Organisme yang berada pada rantai makanan paling tinggi (top karnivora) memiliki kadar Hg lebih tinggi dari organisme di bawahnya (Palar 1994). Larva Chironomid Larva Chironomid hidup dalam sedimen, memakan detritus dan ganggang yang terdapatdi sedimen (Reynoldson 1987; Larsson 1994). Larva Chironomid merupakan bagian yang penting dari rantai makanan, karena sebagai sumber pakan utama bagi avertebrata lain (predator) dan ikan (Hart & Fuller 1974). Organisme bentik seperti larva Chironomid digunakan sebagai indikator kualitas air karena keanekaragaman dan kelimpahannya dalam ekosistem perairan (Pinder 1986). Kecacatan bagian mulut (mouthpart) dari larva Chironomid digunakan sebagai indikator polusi akibat pencemaran antropogenik (Burt et al. 2003). Kecacatan larva Chironomid sering ditemukan pada bagian mentum dan ligulae yang terdapat dibagian kepala, dan kejadian tersebut telah dikaitkan dengan polusi lingkungan, seperti pestisida dan logam berat (Warwick 1975; Diggins & Stewart 1993; Janssens de Bisthoven & Van Speybroeck 1994).
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Hulu Sungai Cisadane Bogor Jawa Barat, dilaksanakan pada bulan Februari 2012 – April 2012. Lokasi penelitian dilakukan di hulu Sungai Cisadane, yang terdiri dari empat stasiun. Tiga stasiun berada di aliran Sungai Cikaniki, yaitu Cisarua (ST 2), Curug Bitung (ST 3), dan Lukut (ST 4), sedangkan ST 1 berada di Sungai Cikuluwung. Gambaran mengenai lokasi penelitian dapat dilahat pada Gambar 1. Pembagian stasiun didasarkan pada aktivitas antropogenik di masing-masing tempat, yaitu: 1. ST 1 merupakan daerah yang kondisinya masih baik belum banyak terpengaruh oleh kegiatan antropogenik. 2. ST 2 terdapat aktifitas berupa pembuangan limbah rumah tangga dan pengolahan emas tradisional. 3. ST 3 terdapat aktivitas berupa pertanian, pembuangan limbah rumah tangga, dan pengolahan emas tradisional. 4. ST 4 terdapat pembuangan limbah rumah tangga dan pengolahan emas tradisional.
7
Gambar 1. Lokasi penelitian di hulu Sungai Cisadane. Insert merupakan lokasi Jawa Barat Desain Penelitian Desain penelitian menggunakan pendekatan survei post facto. Dasar sistematik penelitian adalah pengaruh masukan bahan organik dan Hg di hulu Sungai Cisadane, serta menemukan adanya kecacatan pada larva Chironomid di sungai tersebut. Metode Kerja Pengambilan Sample dan Identifikasi Makrozoobentos Pelaksanaan pengambilan sampel makrozoobentos dan enumerasi mengadopsi dari sistem penilaian cepat (rapid assessment) (Bode et al. 1991; Barbour et al.1999). Pengambilan makrozoobentos dengan menggunakan kick net, yang memiliki pori-pori 0,5 mm. Caranya dengan mengaduk-aduk air menggunakan kaki berlawanan arah arus sungai selama 5 menit. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan sepanjang 5 meter yang dibagi menjadi lima titik. Semua organisme tersebut dimasukkan ke dalam plastik 20 liter dan ditambahkan dengan formalin 5 % sebagai pengawet. Makrozoobentos dapat disortir dalam sebuah kotak grid subsampler yang berukuran 30 cm x 15 cm setelah 24-48 jam. Pengerjaan pemilahan dilakukan di bawah mikroskop stereo. Hewan yang telah disortir dimasukkan ke dalam botol flakon/vial yang sudah berisi alkohol 70% sebagai pengawetnya, kemudian diidentifikasi dengan mikroskop dan buku identifikasi menggunakan Usinger (1956); Lehmkuhl (1979); Pennak (1989); Peckasky et al. (1990); Clifford (1991); Throp & Covich (1991); Merritt & Cummins (1996).
8
Perlakuan Pengamatan Kecacatan pada Larva Chironomid Larva Chironomid dimasukkan dalam beaker glass yang sudah diberi KOH, kemudian dipanaskan diatas hot plate hingga mendidih dan bening.Setelah itu dicuci dengan aquades dan ditambahkan alkohol 70 %. Larva Chironomid yang diamati diambil dengan pipet dan ditempatkan di cover glass, kemudian ditetesi dengan CMCP-10 1-2 tetes. Pengamatan larva Chironomid dapat dilakukan setelah 24 jam dengan menggunakan mikroskop. Pengukuran Kualitas Air Parameter fisika dan kimia air yang diukur diantaranya suhu, kec. arus, konduktivitas, TDS, DO, organik sedimen, kandungan Hg di air dan sedimen, pH, serta TOM. Alat serta metode pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut. Tabel 1. Parameter kualitas air, alat, dan metode pengukuran Parameter Fisika 1. 2. 3. 4. Kimia 1. 2. 3. 4.
Suhu Kec. Arus Konduktivitas TDS
pH TOM DO Kandungan Hg sedimen 5. Kandungan Hg di air
6. Organik sedimen
Alat
Metode
Thermometer Potensiometri Currentmeter Water Quality Checker Water Quality Checker SNI 06 – 2413 1991 pHmeter Water Quality Checker Mercury Analyzer Hg 300 Mercury Analyzer Hiranuma Hg 300 -
Potensiometri Winkler Spektrometri Serapan Atom uap dingin -
Analisis Data Analisis komunitas makrozoobentos terhadap kontaminasi merkuri dan variabel kualitas air dengan enam pendekatan, yaitu: 1. Indeks Shannon Wiener (H’), Indeks Keseragaman dan Kekayaan Taksa Indeks Shannon Wiener (H’), Indeks Keseragaman, dan Kekayaan Taxa merupakan indeks yang menggambarkan perubahan struktur komunitas akibat polusi dan digunakan untuk mengukur tekanan di lingkungan. Kekayaan taksa berkurang seiring dengan meningkatnya polusi (Stoyanova et al. 2010). 2. Signal 2 Menentukan status perairan berdasarkan ordo, famili, dan genus dari makrozoobentos (Gooderham & Edward 2002). Penilaian kuadran antara skor signal dengan jumlah famili (Chessman 2003). 3. Indek EPT Merupakan jumlah taksa dari nympha Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan (Bode et al. 1997).
9
4. One way ANOVA One way ANOVA digunakan untuk mengetahui perbedaan antara dua kelompok dalam setiap group (Mertler & Vannatta 2002). Hasil perbedaan tersebut diuji lebih lanjut dengan uji Tukey. 5. Indeks Pencemaran (PI) Indeks pencemaran digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan. Rumusnya adalah: PI = √(Cij/Lij)2 M + (Cij/Lij)2 R /2 Keterangan: PI = Indeks Pencemaran Lij = konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam baku mutu air Cij = konsentrasi parameter kualitas air hasil pengukuran Cij/Lij M = nilai Cij/Lij maksimum Cij/Lij R = nilai Cij/Lij rata-rata Evaluasi terhadap nilai PI adalah 0≤ PI ≤ 1 (kon disi baik); 1< PI< 5 (tercemar ringan); 5< PI< 10 (tercemar sedang); dan > 10 (tercemar berat) (Numerrow 1974). 6. Indeks Pencemaran Logam di Sedimen Merupakan hasil dari akar kosentrasi logam di daerah situs uji (Ci) dibagi dengan konsentrasi logam di situs rujukan (Coi), rumusnya, yaitu: IPI = √X; dimana x = Ci/Coi Evaluasi terhadap nilai IPI adalah < 1 (tercemar ringan); 1< IPI< 2 (tercemar sedang); dan >2 (tercemar berat) (Chen et al. 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian Sungai Cisadane berasal dari Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat dan bermuara ke Teluk Naga, Banten. Panjang sungai sekitar 80 kilometer dan luas daerah aliran sungai sekitar 7.679,3 Ha. Lokasi penelitian berada di hulu Sungai Cisadane, terdiri dari empat stasiun yaitu Cisarua, Lukut, Curug Bitung, dan Cikuluwung. Karakteristik lokasi penelitian meliputi kegiatan antropogenik dan kondisi sungai, secara jelas dapat dilihat di Tabel 2 dan gambaran mengenai lokasi penelitian dapat dilihat di Lampiran 1.
10
Tabel 2. Karakteristik lokasi penelitian Lokasi Cikuluwung (ST 1)
Cisarua (ST 2)
Curug Bitung (ST 3)
Lukut (ST 4)
Keterangan Aktivitas antropogenik : belum ada/minimal Kecepatan arus rerata: 0,58 m/dtk Tipe substrat dasar : kerikil, berpasir, dan berbatu Kedalaman rerata : 24,75 cm Lebar sungai rerata : 9,7 m Aktivitas antropogenik : limbah rumah tangga dan pengolahan emas tradisional Kecepatan arus rerata : 0,67 m/dtk Tipe substrat dasar : kerikil, berpasir, dan berbatu Kedalaman rerata : 32,9 cm Lebar sungai rerata : 9,4 m Aktivitas antropogenik : pertanian, limbah rumah tangga, dan pengolahan emas tradisional. Kecapatan arus rerata : 0,44 m/dtk Tipe substrat dasar : kerikil, berpasir, dan berbatu Kedalaman rerata : 30,43 cm Lebar sungai rerata : 10,7 m Aktivitas antropogenik : limbah rumah tangga dan pengolahan emas tradisional Kecepatan arus rerata : 0,56 m/dtk Tipe substrat dasar : kerikil, berpasir, dan berbatu Kedalaman rerata : 23,11 cm Lebar sungai rerata : 24,3 m
Kualitas Fisika Air di Lokasi Penelitian Hasil penelitian kualitas fisik air di lokasi penelitian dan hasil rerata dapat dilihat di Lampiran 2 dan Gambar 2 berikut menunjukkan nilai rerata parameter fisika air di stasiun penelitian. Keadaan suhu alami memberikan kesempatan bagi ekosistem untuk berfungsi secara optimum. Banyak kegiatan hewan air dikontrol oleh suhu, misalnya: migrasi, pemangsaan, kecepatan berenang, perkembangan embrio dan kecepatan proses metabolisme (Clark 1974). Suhu dapat mempengaruhi proses dekomposisi bahan organik dan ketersediaan oksigen terlarut (Paul & Meyer 2001). Nilai tertinggi suhu terdapat di daerah Lukut (ST 4) berkisar 24,3 ⁰C – 27,5 ⁰C dan terendah di daerah Cikuluwung (ST 1) berkisar 20,9 ⁰C – 21,5 ⁰C. Suhu yang baik bagi organisme untuk berkembang berkisar 23 °C - 35 °C (Odum 1971). Berdasarkan kisaran suhu di atas, bahwa nilai suhu tersebut masih menunjang bagi kehidupan organisme perairan. Kecepatan arus dapat digunakan untuk memperkirakan kapan bahan pencemar akan mencapai lokasi tertentu, apabila bagian hulu mengalami pencemaran (Effendi 2003). Kecepatan arus memiliki peranan penting, diantaranya penyebaran organisme, gas-gas terlarut, serta bahan organik dan mineral yang terdapat dalam perairan (Barus 2001). Nilai kecepatan arus di semua stasiun pengamatan berkisar 0,3 – 0,8 m/dtk. Umumnya kecepatan arus di daerah hulu sangat tinggi terutama diakibatkan oleh kecuraman topografi aliran yang terbentuk (Barus 2004). Macan (1974) mengelompokan sungai menjadi sungai
11
30 25 20 15 10 5 0
A KEC ARUS (m/dtk)
SUHU (⁰C)
berarus sangat cepat (>100 cm/det), arus cepat (50-100 cm/det), arus sedang (2550 cm/det), arus lambat (10-25 cm/det), dan arus sangat lambat (<10 cm/det). Kecepatan arus di stasiun penelitian termasuk cepat karena berada di wilayah hulu Sungai Cisadane.
400
ST 2
ST 3
ST 4
0.8 0.6 0.4 0.2 0
200
C
300 200 100
B
ST 1
TDS (mg/L)
KONDUKTIVITAS (µs/dtk)
ST 1
1
ST 2
ST 3
ST 4
D
150 100 50 0
0 ST 1
ST 2
ST 3
ST 4
STASIUN PENGAMATAN
ST 1
ST 2
ST 3
ST 4
STASIUN PENGAMATAN
Gambar 2. Nilai rerata parameter fisika perairan di lokasi penelitian: (A). Suhu, (B). Kec. Arus, (C). Konduktivitas, dan (D). TDS. Tanda bar menunjukkan standar deviasi Konduktivitas menggambarkan kadar garam-garam yang terionisasi atau terlarut dalam air. Banyaknya ion dalam larutan dapat ditentukan dengan melihat kemampuan air dalam menghantarkan arus listrik (Michael 1994). Pengaruh konduktivitas terhadap hewan akuatik dihubungkan dengan kesadahan perairan, yaitu tergantung pada tinggi rendahnya konsentrasi ion-ion kalsium (Ca2+) dan magnesium (Mg2+) (Izmiarti 2004). Nilai konduktivitas tertinggi terdapat di daerah Cikuluwung (ST 1) dengan nilai kisaran 323 µs/dtk – 380,6 µs/dtk dan di daerah Lukut (ST 4) berkisar 159,02 µs/dtk – 188,72 µs/dtk. Tingginya nilai konduktivitas tersebut disebabkan kandungan ion-ion alami di daerah Cikuluwung. Konduktivitas tinggi juga terdapat di daerah Lukut (ST 4). Tingginya nilai konduktivitas disebabkan banyaknya ion-ion yang berasal dari pencemaran bahan organik berupa limbah rumah tangga, pertanian, dan pengolahan emas tradisional. Lenat (1984) dan Fairchild et al. (1987) menyebutkan pengaruh pertanian umumnya akan meningkatkan nilai konduktivitas perairan. Total padatan terlarut merupakan konsentrasi jumlah ion kation (bermuatan positif) dan anion (bermuatan negatif) di dalam perairan (Oram 2010). Nilai tertinggi TDS berkisar 161,2 mg/L – 191 mg/L terdapat di daerah Cikuluwung (ST 1) dan terendah berkisar 71,32 mg/L – 91,18 mg/L terdapat di
12
daerah Curug Bitung (ST 3). Berdasarkan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup No. 115 tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, baku mutu nilai TDS berada pada 50 mg/L. Tingginya TDS melebihi baku mutu di daerah Cikuluwung disebabkan daerah ini mengandung belerang yang tinggi. Tingginya TDS melebihi baku mutu di daerah Cisarua, Curug Bitung, dan Lukut (lihat Gambar 2) disebabkan karena adanya pembuangan limbah rumah tangga, pertanian, dan pengolahan emas tradisional. Sumber utama untuk TDS dalam perairan adalah limpahan dari pertanian dan limbah rumah tangga.Kandungan TDS yang berbahaya adalah pestisida (Dezuane 1997). Konsentrasi TDS yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan organisme perairan, berkurangnya penetrasi cahaya, dan berkurangnya oksigen terlarut dalam perairan. Kualitas Kimia Air di Lokasi Penelitian pH merupakan suatu ekspresi dari konsentarsi ion hidrogen (H+) didalam air. pH sangat penting sebagai parameter kualitas air, karena pH mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air (Barus 2001). Hasil tertinggi pH terdapat di daerah Curug Bitung (ST 3) dengan nilai kisaran 7,69 – 8,09 dan terendah di daerah Cikuluwung (ST 1) dengan kisaran 5 – 6,53. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kriteria mutu air pH adalah (6-9). Organisme perairan lebih menyukai pH mendekati pH netral (Novotny & Olem 1994). Berdasarkan hasil penelitian, nilai pH di hulu Sungai Cisadane masih menunjang keberlangsungan hidup organisme perairan. Oksigen diperlukan oleh organisme air untuk menghasilkan energi yang sangat penting bagi pencernaan, asimilasi makanan, pemeliharaan keseimbangan osmotik, metabolisme, dan respirasi (Wardhana 1995; Barus 2001). Kekurangan oksigen menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme perairan (Wardhana 1995). Hasil tertinggi DO terdapat di daerah Curug Bitung (ST 3) dengan nilai kisaran 5,6 mg/L – 8,27 mg/L dan terendah di daerah Lukut (ST 4) dengan kisaran 5,99 mg/L – 6,87 mg/L. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kriteria mutu air DO adalah 3-6 mg/L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai DO masih menunjang keberlangsungan hidup organisme perairan. Secara umum DO mengalami penurunan dari daerah Cikuluwung hingga Lukut yang disebabkan meningkatnya pencemaran yang berasal dari limbah rumah tangga, pertanian, dan pengolahan limbah emas tradisional. Menurut Connel &Miller (1995) sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik. Hasil penelitian rerata kualitas kimia air secara grafik dapat dilihat pada Gambar 3. Total Organik Matter (TOM) menggambarkan kandungan bahan organik total dalam suatu perairan (Goldman & Horne 1983). Nilai kisaran tertinggi 8,41 mg/L – 55,6 mg/L terdapat di daerah Cisarua (ST 2) dan nilai kisaran terendah 15,6 mg/L – 19,94 mg/L terdapat di daerah Curug Bitung (ST 3). Menurut KLH LON-LIPI (1993), perairan dengan kandungan bahan organik total < 10 mg/L dikategorikan sebagai perairan yang bersih. Berdasarkan hasil penelitian, semua stasiun memiliki nilai bahan organik total > 10 mg/L, yang berarti hulu Sungai Cisadane mengalami pencemaran berupa bahan organik.
13
A
10 8 6 4 2 0
60
ST 2
ST 3
20
ST 1
ST 2
ST 3
4
15
E
0.1000 0.0500 0.0000
ST 2
ST 3
ST 4
D
10 5 0
ST 4
ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 100 Hg PARTIKULAT (µg/L)
0.1500 Hg SEDIMEN (µg/L)
6
ST 1 ORGNK SEDIMEN (mg/L)
C
0
80
F
60 40 20 0
ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 Hg TERLARUT (µg/L)
8
0
ST 4
40
4 3
B
2 ST 1
TOM (mg/L)
10 DO (mg/L)
pH
Tingginya pencemaran bahan organik menyebabkan kekeruhan yang dapat mengganggu proses fotosintesis dan respirasi organisme perairan.
ST 1
ST 2
ST 3
ST 4
STASIUN PENGAMATAN G
2 1 0 ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 STASIUN PENGAMATAN
Gambar 3. Nilai rerata parameter kimia perairan di lokasi penelitian.Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Nilai rerata di ST 1: Hg sedimen (0.0011 µg/L ±0.001067), Hg air partikulat (0.39 µg/L ± 0.093), dan Hg air dissolved (0.01 µg/L ± 0,0062). Duxbury & Duxbury (1993) menyatakan sedimen sebagai kumpulan partikel-partikel organik dan anorganik yang terakumulasi secara luas. Hasil kisaran tertinggi organik sedimen terdapat di daerah Cikuluwung (ST 1) yaitu 8,97 mg/L – 11,79 mg/L dan hasil terendah terdapat di Cisarua (ST 2) dengan
14
kisaran 5,43 mg/L – 8,37 mg/L. Kandungan bahan organik sedimen di hulu Sungai Cisadane bisa berasal dari organisme perairan yang mengalami dekomposisi, limbah rumah tangga, dan pertanian. Merkuri (Hg) adalah salah satu jenis logam berat yang sangat berbahaya, khususnya dalam bentuk metil Hg (MeHg) (Yasuda 2000). Hasil Hg sedimen tertinggi terdapat di daerah Curug Bitung (ST 3) dengan nilai kisaran antara 0,01 µg/L – 0,13 µg/L dan Hg air tertinggi di daerah Lukut (ST 4) berkisar 9,03µg/L – 38,13µg/L. Meningkatnya logam merkuri di lingkungan umumnya berasal dari sumber yang sangat kompleks, misalnya dari aktivitas alami seperti gunung berapi dan proses geologi, serta dari aktivitas antropogenik seperti industri dan pertanian (Boening 2000; Boszke 2004). Tingginya Hg perairan di daerah Curug Bitung (ST 3) dan Lukut (ST 4) disebabkan adanya pengolahan emas tradisional. Kualitas Biologi Kelimpahan Makrozoobentos Menurut Krebs (1978), kelimpahan makrozoobentos merupakan salah satu karakteristik dari struktur komunitas makrozoobentos. Kelimpahan makrozoobentos dinyatakan secara numerik (jumlah individu/m2). Makrozoobentos yang ditemukan meliputi ordo, famili hingga kelimpahan rerata taksa pada masing-masing stasiun pengamatan. Jenis-jenis makrozoobentos yang ditemukan dapat dilihat pada Lampiran 3. Kelimpahan rerata makrozoobentos didominasi oleh Bungona ordo Empheroptera (171 ind/m2), Simulium ordo Diptera (101 ind/m2), dan Cheumatophyshe ordo Trichoptera (50 ind/m2 ). Komposisi makrozoobentos dihabitat sungai ditentukan terutama oleh karakter substrat dan jenis aliran (Baptista et al. 2001; Brunke et al. 2001; Tickner et al. 2000). Substrat pada lokasi penelitian berupa batu-batuan besar berpasir dan sedikit lumpur dan kecepatan arus di hulu Sungai Cisadane tergolong tinggi. Batu besar berpasir dan sedikit lumpur merupakan substrat yang cocok untuk kelompok Ephemeroptera, Diptera, dan Tricopetera. Ridwan (2004) nympha Ephemeroptera (lalat sehari) dapat hidup pada lumpur, batu, kerikil, dasar batu, dan beberapa ditemukan hanya di antara atau di bawah batuan. Simulium dan Hydropsyche merupakan jenis yang dapat bertahan hidup pada aliran deras (Odum 1993). Pengambilan sampel makrozoobentos bertepatan saat musim hujan. Taksa yang kelimpahannya meningkat karena musim hujan meliputi Baetidae, Chironomidae, dan Simuliidae (Robinson et al. 2003). Kelimpahan rerata dari Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera semakin menurun seiring dengan meningkatnya pencemaran bahan organik dan Hg (lihat Lampiran 3). Empheroptera, Plecoptera, dan Trichoptera merupakan kelompok makrozoobentos yang intoleran. Wilhm (1975) menjelaskan kelompok intoleran adalah kelompok organisme yang jarang ditemukan di perairan yang tercemar bahan organik. Organisme ini tidak mampu beradaptasi pada perairan yang tercemar bahan organik. Kelimpahan rerata total makrozoobentos yang ditemukan di stasiun penelitian menunjukkan adanya penurunan kelimpahan rerata dari 194 ind/m2 menjadi 54 ind/m2. Penurunan kelimpahan rerata tersebut terkait dengan meningkatnya pencemaran bahan organik dan Hg. Perubahan-perubahan kualitas
15
air sangat mempengaruhi kehidupan makrozoobentos, baik komposisi maupun besar populasinya (Wilhm 1975). Simuliidae merupakan kelompok toleran, yaitu kelompok makrozoobentos yang dapat bertahan dalam kondisi perairan tercemar (Wilhm 1975). Simuliidae paling banyak ditemukan di daerah Cikuluwung karena kandungan bahan organik yang cukup tinggi berasal dari dekomposisi serasah daun dan ranting. Sungai di daerah Cikuluwung berada di Gunung Salak merupakan daerah yang sedikit sekali gangguan manusia sehingga serasah yang ada di perairan berasal dari vegetasi yang ada di sekitar sungai. Kelimpahan Simuliidae yang ada di daerah Cikuluwung merupakan adaptasi yang baik terhadap kandungan sulfur. Penelitian yang dilakukan oleh Kozlov et al. (2005) melakukan penelitian pada tahun 20002001 berlokasi di dataran rendah Kola Peninsula, Rusia yang menemukan Simuliidae di perairan yang terpapar sulfur dioxide. Indeks Shannon Wiener, Indeks Keseragaman, dan Kekayaan Taksa Hasil pengukuran mengenai Indeks Shannon Wiener, Indeks Keseragaman, dan Kekayaan Taksa pada masing-masing stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3. Nilai Indeks Shannon Wiener, Indeks Keseragaman, dan Kekayaan Taksa pada masing-masing stasiun penelitian Stasiun ST 1 ST 2 ST 3 ST 4
Indeks Shannon Wiener 0,405-0,632 0,244-0,542 0,748-0,849 0,818-0,871
Indeks Keseragaman 0,443 – 0,706 0,268 – 0,575 0,809 – 0,962 0,875 – 0,91
Kekayaan Taksa 9 - 16 10 - 16 7 - 13 13 - 14
Tabel tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan Indeks Shannon Wiener di semua stasiun tergolong keanekaragamannya sangat rendah dengan nilai 0,2440,871. Rendahnya nilai Indeks Shannon Wiener disebabkan karena adanya pencemaran bahan organik dan Hg. Hasil dari Indeks Keseragaman menunjukkan bahwa di daerah Curug Bitung (ST 3) dan Lukut (ST 4) memiliki nilai mendekati 1 (E mendekati 1) artinya genus dalam komunitas relatif merata (seragam), sedangkan di daerah Cikuluwung (ST 1) dan Cisarua (ST 2) teradapat makrozoobentos yang mendominasi, karena nilai Indeks Keseragaman mendekati 0. Keseragaman adalah komposisi jumlah individu dalam setiap genus yang terdapat dalam komunitas. Nilai keseragaman suatu populasi akan berkisar antara 0–1 dengan kriteria: 0,4≤ E ≤ 0 ,6 dengan keseragaman populasi kecil; keseragaman populasi sedang; sampai dengan keseragaman tinggi (Brower et al. 1990). Keseragaman di daerah Cikuluwung (ST 1) tergolong dalam keseragaman dengan populasi sedang, di daerah Cisarua (ST 2) keseragaman populasinya rendah, dan di daerah Curug Bitung (ST 3) dan Lukut (ST 4) keseragaman populasinya tinggi. Hasil dari Kekayaan Taksa, di daerah Cisarua (ST 2) tertinggi dengan nilai kisaran 10-16, artinya jumlah taksa yang ditemukan di daerah tersebut lebih banyak yaitu 194 ind/m2. Suatu ekosistem yang dikatakan stabil dapat saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau tinggi (Odum 1971).
16
Wilhm (1975) menjelaskan struktur komunitas makrozoobentos pada kondisi perairan tercemar beberapa jenis kelompok intoleran dan fakultatif mulai menghilang dan mulai muncul kelompok toleran yang mendominasi. Pada lokasi penelitian muncul kelompok yang mendominasi yaitu Simulium. Feeding Group Makrozoobentos Gambaran mengenai ekologi feeding setiap stasiun penelitian secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar tersebut menunjukkan bahwa komposisi gatherer collector (GC) di daerah Cikuluwung (ST 1) 78,77%, lebih besar dibandingkan dengan feeding groups yang lainnya. Cisarua (ST 2), komposisi tertinggi adalah kelompok gatherer collector (GC) yaitu 86,43%. Curug Bitung (ST 3) komposisi tertinggi adalah kelompok filtering collector (FC) yaitu 51,52%. Lukut (ST 4) juga didominasi oleh kelompok filtering collector (FC) yaitu 41,67%. Makrozoobentos yang ditemukan di daerah Cikuluwung (ST 1) dan Lukut (ST 4) banyak yang bersifat penyaring bahan organik dalam perairan, didominasi oleh ordo Diptera yaitu Simulium (82 ind/m2 (ST 1), 12 ind/m2 (ST 4)) dan Trichoptera yaitu Cheumatopsyche (30 ind/m2 (ST 1), 12 ind/m2 (ST 4)), sedangkan macrozoobentos yang ditemukan di daerah Cisarua (ST 2) dan Curug Bitung (ST 3) didominasi ordo Ephemeroptera (Bungona: 150 ind/m2 (ST 2), 14 ind/m2 (ST 3)). Dominasi filtering collector yaitu Simulium berkaitan dengan kandungan sulfur yang menyebabkan perairan bersifat asam (pH < 7). Merrit & Kenneth (1996) menjelaskan collectors makanan dominannya berupa FPOM (Fine Particular Organik Matter) dimana bersifat detrivora yaitu pemfilter atau pemakan bahan-bahan yang tersuspensi, contoh taksa adalah Trichoptera (Hydropsychidae) dan Diptera (Simuliidae). Berdasarkan makanan fungsional utamanya, makrozoobentos dapat dikelompokan menjadi lima, yaitu shredders, gathering-collectors, filtering collectors, dan scrapers (grazers) (Gallo 2013). Hasil penelitian yang ditemukan tertinggi adalah gathering-collectors dan filtering collectors. Avertebrata sungai yang termasuk gathering-collectors mengkonsumsi FPOM dan Ultra-Fine Particulate Organic Matter (UFPOM) yang terdapat pada substrat sungai (Vannote et al. 1980; Graca 2001). Collectors berkontribusi terhadap dekomposisi lebih lanjut dari FPOM dengan mengumpulkan dan makan bahan organik yang mengendap di permukaan dasar sungai, yang umumnya lebih kecil dari 1 mm (Merritt & Cummings 1996). Contoh dari collector meliputi anggota Ephemeroptera, Plecoptera, Diptera, Nematoda, dan Oligochaeta (Allan1995). Filtering collectors mengkonsumsi organik tersuspensi dalam kolom air (Merritt & Cummings 1996; Graca 2001). Bahan organik tersebut termasuk fitoplankton, FPOM dan UFPOM (Allan 1995). Filter feeder planktonik termasuk taksa seperti Rotifera, Copepoda, Cladocerans dan Diptera larva (Allan 1995). Filter feeder bentik mencakup banyak spesies dari Caddisflies, yang membuat jaring pada substrat sungai untuk mengumpulkan bahan organik dari kolom air (Merritt & Cummings 1996). Mekanisme penyaringan dalam kelompok organisme ini dapat sangat bervariasi,misalnya Simuliidae Diptera (larva lalat hitam), memiliki sisir yang besar di mulut mereka yang gunakan untuk mengumpulkan partikulat tersuspensi dari kolom air (Merritt & Cummings 1996).
17
Keterangan: Gambar 4. Nilai persentase (%) makrozoobentos berdasarkan feeding groups pada masing-masing stasiun penelitian (FC = filtering collector; Sh = shredder; GC = gatherer collector; PR = predator; PA = parasite; dan SC = scraper) Hawkins & Sedell (1981), menjelaskan dibagian hilir sungai, makrozoobentos yang mendominasi adalah kelompok collectors pemakan partikel organik halus. Semua stasiun pengamatan didominasi oleh kelompok collector, baik filtering collector maupun gatherer collector yang memanfaatkan bahan organik dalam perairan, hal ini menunjukkan adanya pencemaran bahan organik di stasiun penelitian. Indeks Pencemaran dan Indeks Pencemaran Logam Berat (Hg) Sedimen Parameter fisika dan kimia perairan dapat menentukan status pencemaran sungai. Status perairan pada masing-masing stasiun penelitian berdasarkan Indeks Pencemeran dan Indeks Pencemaran Logam Berat (Hg) di sedimen dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
18
Tabel 4. Status perairan berdasarkan Indeks Pencemaran dan Indeks Pencemaran Logam Berat (Hg) sedimen Indeks Pencemaran
Indeks Pencemaran Logam Berat (Hg)
STASIUN
Nilai
Status
Nilai
Status
ST 1
2,62
Tercemar ringan
0,03
Tercemar ringan
ST 2
2,18
Tercemar ringan
0,17
Tercemar ringan
ST 3
2,80
Tercemar ringan
0,15
Tercemar ringan
ST 4
3,35
Tercemar ringan
0,23
Tercemar ringan
Tabel di atas menunjukkan bahwa berdasarkan Indeks Pencemaran semua stasiun penelitian tergolong tercemar ringan dan berdasarkan Indeks Pencemaran Logam, yaitu Hg sedimen menunjukkan bahwa semua stasiun juga tercemar ringan. Indeks Biologi Indeks EPT Indeks EPT merupakan indeks yang didasarkan pada jumlah taksa dari Empheroptera, Plecoptera, dan Trichoptera.Hasil dari Indeks EPT dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Total jumlah Ephemeroptera, Plecoptera, dan Tricoptera (EPT) menunjukkan adanya penurunan jumlah dari hulu di Cikuluwung (ST 1) hingga ke Curug Bitung (ST 3), hal tersebut dikarenakan adanya pencemaran bahan organik di Curug Bitung disebabkan oleh adanya aktivitas manusia berupa pertanian dan buangan limbah rumah tangga. Menurut Wilhm (1975), organisme intoleran adalah organisme yang jarang dijumpai pada perairan yang kaya akan bahan organik. Selain itu organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kualitas perairan menurun, contohnya adalah kelompok Ephemeroptera, Trichoptera, dan Plecoptera. Tabel 5. Status perairan menggunakan EPT berdasarkan genus EPT GROUPS E P T Total Kriteria Mutu Air
ST 1 3 4 4 11 Baik
Genus ST 2 ST 3 1 2 1 0 3 1 5 3 Tercemar Tercemar sedang sedang
ST 4 1 1 2 4 Tercemar sedang
19
Tabel EPT di atas menunjukkan bahwa kekayaan genus juga menunujukkan status perairan di Cikuluwung (ST 1) masih tergolong baik, sedangkan di tiga stasiun yaitu Cisarua (ST 2), Curug Bitung (ST 3), dan Lukut (ST 4) tergolong tercemar ringan. Bode et al. (1996), nilai kualitas perairan berdasarkan EPT, yaitu < 2 (tercemar berat), 2-5 (tercemar sedang), 6-10 (baik), dan >10 (sangat baik). Indeks Signal Nilai Indeks Signal di daerah Cikuluwung (ST 1), Cisarua (ST 2), dan Lukut (ST 4) tergolong tercemar ringan. Daerah Curug Bitung (ST 3) tergolong tercemar sedang. Daerah Cikuluwung tergolong tercemar ringan oleh bahan organik, Hg, dan sulfur yang berasal dari sumber-sumber alamiah. Daerah Curug Bitung tercemar sedang karena adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah rumah tangga dan pertanian, serta kontaminasi Hg yang berasal pengolahan emas tradisional. Daerah Lukut tergolong tercemar ringan karena pada saat pengukuran kualitas air bertepatan dengan hujan, sehingga bahan organik yang ada dalam perairan dimungkinkan terbawa oleh arus sungai. Hasil pengukuran kualitas biologi dengan menggunakan Indeks Signal dapat dilihat pada Tabel 6 dan berdasarkan skor signal dan jumlah famili dari makrozoobentos dapat digambarkan biplot, lebih jelasnya dapat dilihat di Gambar 5. Tabel 6. Status perairan berdasarkanIndeks Signal 1 (Gooderham & Edward 2002) pada masing-masing stasiun penelitian Stasiun ST 1 ST 2 ST 3 ST 4
Nilai 5,31 5,16 4,50 5,13
Status Tercemar ringan Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar ringan
Berdasarkan nilai kuadran Indeks Signal 2, daerah Cikuluwung (ST 1) berada di kuadran satu, daerah ini minim gangguan manusia. Adanya kandungan bahan organik, sulfur, dan Hg berasal dari sumber-sumber alamiah. Jumlah famili yang ditemukan di daerah Cikuluwung sebanyak 20 famili. Daerah Cisarua (ST 2) dan Lukut (ST 4) berada di kuadran dua, daerah ini sudah mengalami pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah rumah tangga.Jumlah famili yang ditemukan di daerah Cisarua (ST 2) ada 16 famili dan di daerah Lukut (ST 4) ada 14 famili.
SKOR SIGNAL
20
5 4.9
ST 1
ST 3
4.8 4.7 4.6
ST 4
4.5
ST 2
4.4 4.3 0
5
10
15
20
25
30
JUMLAH FAMILI
Gambar 5. Kuadran antara jumlah famili dengan skor signal Daerah Curug Bitung (ST 3) berada di kuadran tiga, daerah ini telah mengalami pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah rumah tangga dan pertanian.Daerah Curug Bitung (ST 3) telah terkontaminasi logam berat berupa Hg yang berasal dari pengolahan emas secara tradisional. Jumlah famili yang ditemukan ada 14 famili. Pengaruh Kualitas Air terhadap Kelimpahan Makrozoobentos Perbedaan kualitas air dan kelimpahan makrozoobentos pada stasiun penelitian menggunakan one way ANOVA (p < 0,05) yang dilanjutkan dengan uji Turkey. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan kualitas perairan yaitu pH, suhu, TDS, dan konduktivitas. Hasil perbedaan kualitas air dan kelimpahan makrozoobentos pada masing-masing stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil uji Turkey pada masing-masing stasiun penelitian Parameter pH TDS Konduktivitas Suhu Kelimpahan Makrozoobentos
Uji Turkey ST 1 dan ST 2; ST 1 dan ST 3; ST 1 dan ST 4 ST 1 dan ST 4 ST 1 dan ST 3; ST 1 dan ST 4; ST 2 dan ST 3; ST 2 dan ST 4
Keterangan: Cikuluwung (ST 1), Cisarua (ST 2), Curug Bitung (ST 3), dan Lukut (ST 4) Hasil tabel di atas, kualitas perairan yang meliputi pH, TDS, dan konduktivitas terdapat perbedaan yang signifikan di ST 1, ST 2, ST 3, dan ST 4. Perbedaan yang ditunjukkan oleh parameter suhu hanya terdapat di ST 1 dan ST 4. Hasil dari Indeks Pencemaran dan Indeks Pencemaran Hg di sedimen menunjukkan perbedaan antara stasiun penelitian dapat dilihat pada nilai indeks. Perbedaan yang sangat signifikan dari nilai indeks terdapat pada ST 1 dan ST 4
21
dengan rentang nilai cukup jauh yaitu 2,62-3,35 (Indeks Pencemaran) dan 0,030,23 (Indeks Pencemaran Logam Berat Hg) (lihat Tabel 4). Kelimpahan makrozoobentos terdapat perbedaan yang signifikan pada ST 1 dan ST 3, ST 1 dan ST 4, ST 2 dan ST 3, serta ST 2 dan ST 4. Total rerata kelimpahan makrozoobentos (ind/m2) yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ST 1 (142) memiliki perbedaan yang signifikan dengan ST 3 (64) dan ST 4 (54), sedangkan ST 2 (194) juga menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan ST 3 dan ST 4. Kelimpahan makrozoobentos berdasarkan Indeks EPT dan Indeks Signal juga menunjukkan perbedaan antar stasiun penelitian. Pada Indeks Signal ST 3 memiliki nilai yang lebih kecil jika dibanding dengan stasiun lainnya (Lihat Tabel 5 dan Tabel 6). Hasil tabel di atas menunjukkan bahwa pH, TDS, dan konduktivitas berpengaruh pada kelimpahan makrozoobentos di ST 1 dan ST 3 serta ST 1 dan ST 4. Suhu hanya berpengaruh pada kelimpahan makrozoobentos di ST 1 dan ST 4. Perubahan pH berpengaruh terhadap kelimpahan makrozoobentos di perairan, karena pH yang terlalu asam atau basa menyebabkan daya tahan makrozoobentos terhadap tekanan pencemaran akibat kegiatan antropogenik semakin menurun. Hasil rerata pH di stasiun penelitian berkisar 5,92-7,85. Hasil rerata total kelimpahan makrozoobentos yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan penurunan dari daerah Cikuluwung (ST 1) hingga Lukut (ST 4). Vranovsky et al. (1994) beberapa spesies makrozoobentos sensitif terhadap perairan yang bersifat asam. Perubahan suhu berpengaruh terhadap pola migrasi makrozoobentos untuk mencari suhu yang optimal untuk berkembangbiak dan tumbuh. Adanya migrasi menyebabkan kelimpahan makrozoobentos berbeda-beda di setiap tempat. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengontrol kehidupan dan penyebaran organisme dalam suatu perairan. Menurut Brugmer et al. (2007) perubahan suhu dapat mempengaruhi komposisidan keanekaragaman spesies. TDS merupakan bahan terlarut di perairan yang berupa ion-ion. Ion-ion tersebut berasal dari limbah rumah tangga, pertanian, dan pengolahan emas tradisional. Kandungan bahan-bahan terlarut (TDS) yang berlebihan di dalam perairan menyebabkan meningkatnya kekeruhan yang berpengaruh pada menurunnya kandungan oksigen terlarut karena proses fotosintesis terhambat (Effendi 2003). Hasil penelitian Chatzinikolaou et al. (2006) total padatan terlarut (TDS) menjadi faktor utama yang mempengaruhi struktur komunitas makrozoobentos yang diamati. Kegiatan antropogenik yang menyebabkan meningkatnya kandungan TDS beberapa diantaranya berasal dari limbah industri dan rumah tangga. Komposisi komunitas makrozoobentos yang ditemukan bergeser dari sensitif menjadi toleran. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya peningkatan TDS di perairan berpengaruh terhadap menurunnya kelimpahan rerata total makrozoobentos. Konduktivitas menggambarkan kadar garam yang telarut dalam perairan. Meningkatnya nilai konduktivitas menyebabkan adaptasi makrozoobentos semakin menurun sehingga berpengaruh pada menurunnya kelimpahan total makrozoobentos. Hasil penelitian Obolewski et al. (2013) salah satu parameter fisika yang dapat mempengaruhi kelimpahan makrozoobentos adalah konduktivitas. Hasil penelitian ini juga menunjukkan semakin meningkatnya nilai
22
konduktivitas semakin menurun kelimpahan rerata total makrozoobentos yang ditemukan. Kecacatan Larva Chironomid yang di temukan di Hulu Sungai Cisadane Pengamatan kecacatan larva Chironomid dilakukan pada bagian mandible dan mentum. Morfologi kecacatan di beberapa larva Chironomid biasanya tampak dibagian mulut dan antena (Jeyasingham & Ling 1997). Kecacatan dibagian mulut pada larva Chironomid digunakan sebagai indikator pencemaran antropogenik. Kecacatan yang umum, salah satunya adalah hilangnya beberapa mentum (Burt et al. 2003). Kecacatan larva Chironomid ditemukan di daerah Cikuluwung (ST 1) dan Cisarua (ST 2). Kecacatan larva Chironomid di daerah Cikuluwung (ST 1) ditemukan pada Polypedilum dan di daerah Cisarua (ST 2) ditemukan pada subfamili Orthocladinae. Kecacatan tersebut terjadi dibagian mentum dan mandible. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat di Gambar 6. Abnormal mentum juga ditemukan pada genera Polypedilum di Sungai Buffalo (New York) pada tahun 1990-1991 (Diggins & Stewart 1993). Adanya kecacatan Polypedilum yang ditemukan di Cikuluwung (ST 1) diduga karena kandungan sulfur yang ditunjukkan oleh pH perairan yang asam.
1
2 38 µm
(A)
33 µm
(B)
Gambar 6. (A) Polypedilum cacat di Cikuluwung; dan (B) subfamili Ortocladinae cacat di Cisarua. Keterangan gambar: 1. Mentum, 2. Mandible Nazarova et al. (2004) melakukan penelitian pada tahun 1999-2000 di perairan Santa Marta, Colombia menunjukkan perairan tersebut tercemar logam berat berupa Cu, Cd, Zn, Pb, Hg, dan Cr. Larva Chironomid yang ditemukan beberapa diantaranya telah mengalami kecacatan, antara lain kecacatan pada mentum (Chironomus, Goeldichironomus sp., dan Dicrotendipes sp.) serta ligulae pada (Tanypodinae). Struktur yang terkait dengan makan pada genera larva Chironomid, termasuk dalam kategori ini adalah mandibledan mentum (Coffman & Ferrington 1996). Mandible digunakan untuk memotong, menghancurkan, dan mengunyah makanan atau dapat dimodifikasi untuk menusuk herbivora. Cacat yang terjadi
23
pada mouthpart menyebabkan tidak berfungsinya struktur tersebut, sehingga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan pada larva Chironomid. Kecacatan pada larva Chironomid yang ditemukan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai peringatan awal bahwa terjadi pencemaran akibat aktivitas antropogenik. Pengelolaan Sumberdaya Perairan Menurut Undang-undang Sumberdaya Air Nomor 7 tahun 2004 Pasal 1 ayat 1, Pengelolaan Sumberdaya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air, dan pengendalian daya rusak air. Komposisi komunitas dari ekosistem sungai akan mengalami perubahan mulai dari hulu hingga muara sungai (hilir) dalam hubungannya dengan perubahan fisik yang dikenal River Continuum Concept (RCC) (Marshall & Wallace 2002). Pengelolaan kualitas perairan dapat menggunakan parameter fisika, kimia, dan biologi. Parameter biologi salah satunya menggunakan makrozoobentos sebagai bioindikator dapat digunakan untuk pengelolaan kualitas perairan. Wilhm (1975) menjelaskan struktur komunitas makrozoobentos dapat digunakan untuk menilai berbagai kondisi perairan mulai dari tidak tercemar, tercemar sedang, dan tercemar berat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa makrozoobentos dapat difungsikan untuk biomonitoring kondisi lingkungan, karena makrozoobentos merupakan organisme perairan yang hidupnya menetap di dasar perairan, memiliki pergerakan relatif lambat serta daur hidup relatif lama sehingga memiliki kemampuan merespon kondisi kualitas air secara terus-menerus. Makrozoobentos dapat dimanfaatkan sebagai organisme bioassay yang digunakan untuk pendeteksi adanya polutan di perairan, baik besarnya konsentrasi suatu polutan maupun tingkat toksisitas suatu polutan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Status perairan di Hulu Sungai Cisadane berdasarkan Indeks Pencemaran dan Indeks Pencemaran Logam Berat Hg, menunjukkan kondisi perairan tercemar ringan, berdasarkan Indeks EPT, menunjukkan kondisi perairan baik hingga tercemar sedang, sedangkan Indeks Signal menunjukkan kondisi perairan tercemar ringan hingga tercemar sedang. 2. Perbedaan kualitas perairan pada masing-masing stasiun penelitian antara lain pH, TDS, dan konduktivitas meliputi daerah Cikuluwung (ST 1) dan Cisarua (ST 2); Cikuluwung (ST1) dan Curug Bitung (ST 3); serta Cikuluwung (ST 1) dan Lukut (ST 4). Suhu hanya meliputi daerah Cikuluwung (ST 1) dan Lukut (ST 4). Pengaruh kualitas perairan tersebut terhadap kelimpahan
24
makrozoobentos terdapat pada daerah Cikuluwung (ST1) dan Curug Bitung (ST 3) serta Cikuluwung (ST 1) dan Lukut (ST 4). 3. Pencemaran bahan organik dan Hg menyebabkan kecacatan pada Chironomid pada Polypedilum dan subfamily Orthocladinae. Kecacatan tersebut terdapat di bagian mandible dan mentum. Saran Saran dari penelitian ini adalah: 1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pencemaran antropogenik terhadap komunitas makrozoobentos pada musim kemarau dan penentuan status perairan pada musim tersebut sebagai bahan perbandingan. 2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi limbah organik dan Hg yang dapat menyebabkan kecacatan pada larva Chironomid.
25
DAFTAR PUSTAKA
Allan JD. 1975. The Distributional Ecology and Diversity of Benthic Insects in Cement Creek, Colorado. Ecology 56: 1040-1053. -------------. 1995. Stream Ecology. London (UK): Chapman dan Hall. Baptista DF, Buss DF, Dorville LFM, Nessimian JL. 2001. Diversity and Habitat Preference of Aquatic Insects along the Longitudinal Gradient of the Macae´ River basin, Rio de Janeiro, Brazil. Revista Brasileira de Biologia 61: 249–258. doi: 10.1590/S0034-71082001000200007. Barbour MT, Gerritsen J, Snyder BD, Sribling JB. 1999. Rapid Bioassessment Protocols for Use. In Streams and Wadeable Rivers: Periphyton, Benthic Macroinvertebrata and Fish. Ed ke-2. Washington (US): Office of Water. Hlm 841. Barus TA. 2001. Pengantar Limnologi. Jakarta: Swadaya Cipta. Benke A, Arsdall van TC Jr, Gillespie DM, Parrish FK. 1984. Invertebrate Productivity in a Subtropical Blackwater River: The Importance of Habitat and Life History. Ecological Monographs 54: 25-63. doi: 10.5735/086.050.0305. Bervoets L, Blust R, Wit de M, Verheyen R. 1997. Relationship between River Sediment Characteristics and Trace Metal Concentration in Tubificid Worms and Chironomid larvae. Environmental Pollution 95: 345-356. Bode RW, Novak MA, Abele LE. 1991. Methods for Rapid Biological Assessment of Stream. Albany, New York (US): NYS Department of Environmental Conservation. ----------. 1996. Quality Assurance Work Plan for Biological Stream Monitoring in New York State. Albany, New York (US): NYS Department of Environmental Protection. --------, Burian SK, Novak MA, Abele LE. 1997. New Record of Brachycercus maculates Berner (Ephemeroptera: Caenidae) from New York and a Key to Larvae of Northeastern Species. Great Lakes Entomologist 30 (3): 8588. Boening DW. 2000. Ecological Effects, Transport, and Fate of Mercury: a General Review. Chemosphere 40: 1335-1351. doi: 10.1016/S00456535(99)00283-0. Boszke L, Kowalski A, Siepak J. 2004. Grain Size Partitioning of Mercury in Sediments of the middle Odra River (Germany/Poland). Water, Air, and Soil Pollution 159: 125–138. doi: 10.1023/B:WATE.0000049171.22781.bd. Burt J, Ciborowski JJH, Reynoldson TB. 2003. Baseline Incidence of Mouthpart Deformities in Chironomidae (Diptera) from The Laurentian Great Lakes, Canada. Great Lakes Research 29 (1): 172-180. doi: 10.1016/S03801330(03)70425-0. Butler MG. 1984. Life History of Aquatic Insect. ReshVH, Rosenberg DM, editor. In The Ecology of Aquatic Insect. New York (US): Praeger. Hlm 24-55. Brower JE, Zar JH, Ende von CN. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Dubuque: WCB Publishers.
26
Brugmer T, Hillenbrand H, Pfenninger M. 2007. Effects of Climate-driven Temperature Changes on the Diversity of Freshwater Macroinvertebrates. Oecologia 151: 93-103. doi. 10.1007/s00442-006-0542-9. Brunke M, Hoffmann A, Pusch M. 2001. Use of Mesohabitat-specific Relationships between Flow Velocityand River Discharge to Assess Invertebrate Minimum Flow Requirements. Regulated Rivers: Research and Management 17: 667–676. doi: 10.1002/rrr.626. Chatzinikolaou Y, Vasilis D, Maria L. 2006. Longitudinal Impacts of Anthropogenic Pressures on Benthic Macroinvertebrate Assemblages in a Large Transboundary Mediteran River during the Low Flow Period. Acta Hydrochimicaet Hydrobiologica 34 (5): 453–463. doi: 10.1016/j.desal.2008.12.062. Chen TB, Zheng YM, Lei M, Huang ZC, Wu HT, Chen H, Fan KK, Yu K, Wu X,Tian XZ. 2005. Assessment of Heavy Metal Pollution in Surface Soils of Urban Parks in Beijing, Cina. Chemosphere 60: 542-551. doi: 10.1016/j.chemosphere. 2004.12.072. Chessman B. 1995. Rapid Assessment of River Using Macroinvertebrates: a Procedure based on Habitat Specific Sampling, Family Level Identification and Abiotic Index. Australian Journal of Ecology 20: 122129. doi: 10.1111/j.1442-9993.1995.tb00526.x. --------------. 2003. Signal 2: A Scoring System for Macroinvertebrates (Water Bugs) in Australia Rivers. Canberra, Australia (AU): Department of the Environment Heritage. Clark J. 1974. Coastal Ecosystems. New York: Macmillan Publishing Clone. Coffman WP, Ferrington Jr LC. 1996. Chironomidae. Merritt RW, Cummins KW, editor. In An Introduction to the Aquatic Insects of North America. Edisi ke-3. Dubuque: Kendall/Hunt. Hlm 635-754. Connel DW, Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: Universitas Indonesia. De Pauw N, Hawkes AH. 1993. Biological Monitoring of Water Quality. Walley WJ, Judd S, editor. In Proceedings of the Freshwater Europe Symposium on River Water Quality Monitoring and Control River Water Quality Monitoring and Control. Birmingham. Hlm 87-111. Dezuane J.1997. Handbook of Drinking Water Quality. Edisi ke-2. New York (US): John Wiley and Sons. Hlm 575. Diggins TP, Stewart KM. 1993. Deformities of Aquatic Larva Midges (Chironomidae: Diptera) in the Sediments of the Buffalo River New York. Great Lakes Research 19: 648-659. doi: 10.1016/S0380-1330(93)71252-6. Duxbury AB, Duxbury AC. 1993. Fundamental of Oceanography. Washington: Wm. C. Brown Publ. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. European Commission. 2003. Common Implementation Strategy for the Water Framework Directive (2000/60/EC),Guidance document no. 10, Riversand lakes (Tipology). Working Group REFCON. Fairchild IJ, Spiro B. 1987. Petrological and Isotopic Implications of Some Contrasting Late Precambrian Carbonates, NE Spitzbergen. Sedimentology 34: 973-989. doi: 10.1111/j.1365-3091.1987.tb00587.x.
27
Gallo ER. 2013. The Importance of Stream Invertebrates to Riverine Ecosystem Function [internet]. [diacu 9 April 2013]. Tersedia dari: https://www.geology.ucdavis.edu/~shlemonc/html/trips/scott_river/docs/re ports/Erika_Gallo.pdf. Gooderham J, Edward T. 2002. A Guide to Freshwater Macroinvertebrates of Temperate Australia, TheWaterbug Book. Australia (AU): Csiro Publishing. Goldman CR, Horne AJ. 1983. Limnology. New York: McGraw Hill Book Company. Graca MAS. 2001. The Role of Invertebrates on Leaf Litter Decomposition in Streams – a review. International Review of Hydrobiology 86: 383-393. Hancock DA. 1976. Mercury in Fish. Australian Fisheries 35 (1): 4-7. doi: 10.1038/272049a0. Hart CW Jr, Fuller SLH. 1974. Pollution Ecology of Freshwater Invertebrates. New York (US): Academic Pr. Hauer FR, Stanford JA. 1982. Bionomics Dicosmoecus gilvipes (Trichoptera: Limnephilidae) in a Large Western Montane River. American Midland Naturalist 108: 81-87. ----------- ,Walter RH. 1996. Temperature, Light, and Oxygen. Hauer FR, Lamberti GA, editor. In Methods in Stream Ecology. New York (US): Academic Pr. Hal 93-106. Hawkins CP, Sedell JR. 1981. Longitudinal and Seasonal Changes in Functional Organization of Macroinvertebrate Communities in Four Oregon Streams. Ecology 62:387–397. doi: 10.1007/BF00007201. Hellawell JM. 1986. Biological Indicators of Freshwater Pollution and Environmental Management. London (GB): Elsevier Science. Hershey AE, Lamberti GA. 1998. Stream Macroinvertebrate Communities. Naiman RJ, Bilby RE, editor. In River Ecology and Management. New York: Springer. Hlm 165-195. Ingersoll CG, Nelson MK. 1990. Testing Sediment Toxicity with Hyalellaazteca (Amphipoda) and Chironomus riparius (Diptera). Landis WG, van der Schalie WH, editor. In Aquatic Toxicology and Risk Assessment. Volume ke 3, ASTM STP 1096. Philadelphia (PA): American Society for Testing and Materials. Hlm 93-109. Izmiarti L. 2004. Komunitas Makrozoobentos di Situ Lengkong dan Situ Kubang Panjalu Ciamis. Jurnal Andalas 9: 51-59. Janssens de Bisthoven L, van Speybroeck D. 1994. Some Observation of Deformed Midge Larvae (Diptera, Chironomidae) in Kenya. Limnology 25: 2485-2489. Jeyasingham K, Ling N. 1997. Head Capsule Deformities in Chironomus zealandicus (Diptera: Chironomidae): Influence of Site and Substrate. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research 31: 175-184. doi: 10.1023/A:1003958710632. Katz M. 1973. The Effect of Heavy Metals on Fish and Aquatic Organism. Krenkel, editor. In Heavy Metals in the Aquatic Environment. Tennesse, New York (US): Pergamon Pr. Hal 25-30.
28
KLH. 2003. Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup No. 115 tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta. Kozlov MV, Brodskaya NK, HaartoA, Kuusela K, Schafer M, Zverev V. 2005. Abundance and Diversity of Human-biting Flies (Diptera: Ceratopogonidae, Culicidae, Tabanidae, Simuliidae) around a NickelCopper smelter at 263-271 Monchegorsk, Northwestern Russia. Journal of Vector Ecology 30 (2): 263-271. Lenat DR. 1984. Agriculture and Stream Water Quality: A Biological Evaluation of Erosion Control Practices. Environmental Management 8 (4): 333-344. doi: 10.4236/jep.2013.47A002. Li HW, Lamberti GA, Pearsons TN, Tait CK, Li JL, Buckhouse JC. 1994. Cumulative Effects of Riparian Disturbances on High Desert Trout Streams of the John Day Basin, Oregon. Transactions American Fisheries Society 123: 627-640. doi:10.1577/1548-8659. Macan TT. 1974. Freshwater Ecology. London: Longman Group Limited. Maddock I. 1999.The Importance of Physical Habitat Assessment for Evaluating River Health. Freshwater Biology 41: 373–391. doi: 10.1046/j.13652427.1999.00437.x Marshall R, Wallace JB. 2002. Invertebrate Food Webs along a Stream Resource Gradient. Freshwater Biology 47:129-141. doi: 10.1899/12-101.1. McCreadie JW,Colbo MH. 1992. Spatial Distribution Patterns of Larval Cytotypes of the Simulium venustum/verecundum complex (Diptera: Simuliidae) on the Avalon Peninsula, Newfoundland: Factors associated with Cytotype Abundance and Composition. Canadian Journal of Zoology 70 (7): 1389-1396. doi: 10.1139/z92-195. Merrit RW, Resh VH, Cummins KW. 1996. Design of Aquatic Insect Studies: Collecting, Sampling and Rearing Procedurs. Merrit RW, Cummins KW, editor. In An Introduction to the Aquatic Insects of North America. Ed ke3. Dubuque(IA): Kendall and Hall. Hlm 12-28. Mertler CA, Vannatta RA. 2002. Advanced and Multivariate Statistical Methods: Practical Application and Interpretation. Ed ke-2. Los Angeles: Pyrczak Publishing. Hlm 8-24. Michael P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Morse JC, Chapin JW, Herlong DD, Harvey RS. 1980. Aquatic Insects of upper Three Runs Creek, Savannah River Plant, South Carolina, Orders other than Diptera. The Georgia Entomological Society 15: 73-101. doi: 10.3157/0002-8320-134.3.283. Mousavi SK, Primiceiro R, Amundsen PA. 2003. Diversity and Structure of Chironomidae (Diptera) Communities along a Gradient of Heavy Metal Contamination in a Subarctic Watercourse. Science Total Environment 307: 93-110. doi: 10.1016/S0048-9697(02)00465-5. Nazarova LB, Riss HW, Werding AKB. 2004. Some Observations of Buccal Deformities in Chironomid larvae (Diptera: Chironomidae) from the Cienaga Grande de Santa Marta, Colombia. Caldasia 26 (1): 275-290. Nemerow NL. 1974. Scientific Stream Pollution Analysis. McGraw-Hill.
29
Novotny V, Olem H. 1994. Water Quality: Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. New York: van Nostrand Reinhold. Obolewski KT, Strzelczak A, Astel AM, Sawczyn J. 2013.Short-Term Effects of Stream Restoration and Management on Macroinvertebrate Communities in Lowland Streams. International Journal of Engineering Research and Development 6 (4): 122-131. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelphia, London:WB Sounders Company. Oram B. 2010. Total Dissolved Solids [internet]. [diacu 12 Juli 2013]. Tersedia dari:http://www.water-research.net/totaldissolved solids.htm Palar H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Bandung (IA): Rineka Cipta. Paul MJ, Meyer JL. 2001. Stream in Urban Landscape. Annual Review Ecology System 32: 333-365. doi: 10.1146/annurev.ecolsys.32.081501.114012. Pennak RW.1978. Freshwater Invertebrates of the United States. Edisi ke-2. New York (US): John Wiley and Sons. Hlm 803. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pinder A.1986. Ecology of Macroinvertebrates in Seasonal Wetlands. [Thesis]. Australia (AU): Murdoch University. Plafkin JL, Barbour MT, Porter KD, Gross SK, Hughes RM. 1985. Rapid Bioassessment Protocols for use in Streams and Rivers: Benthic Macroinvertebrates and Fish. Washington DC (US): USEPA, Assessment and Watershed Protection Division. Resh VH, Flynn TS, Lamberti GA, McElravy EP, Sorg KL, Wood JR. 1981. Responses of the Sericostomatid Caddisfly Gumagani gricula (McL.) to Environmental Disruptions. Proceedings of the 3rd International Symposium on Trichoptera 3: 311-318. ----------, Jackson JK, WoodJR. 1987. Techniques for Demonstrating Sex Pheromones in Trichoptera. Bournaud M, Tachet H, editor. In International Symposium on Trichoptera. Ed ke-5. Netherlands: Dr. W. Junk Publisher. Hlm 151-194. Reynoldson TB. 1987. Interactions between Sediment Contaminants and Benthic Organisms. Hydrobiologia 149: 53–66. Ridwan D. 2004. Komunitas Makrozoobenthos sebagai Indikator Biologi Perairan Sungai Ciliwung. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Rocha LG, Medeiros ESF, Andrade HTA. 2012. Influence of Flow Variability on Macroinvertebrate Assemblages in an Intermittent Stream of Semiarid Brazil. Arid Environments 85: 33-40. doi: 10.1016/j.jaridenv.2012.04.001. Rosenberg DM, ReshVH. 1993. Introduction to Freshwater Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates. New York (US): Chapman dan Hall. Seire A, Pall P. 2000. Chironomid Larvae (Diptera, Chironomidae) as Indicator of Water Quality in Estonian Streams. Proceedings Estonian Biology Ecology 49: 307-316. Skinner KM, Bennett JD. 2007. Altered Gill Morphology in Benthic Macroinvertebrates from Mercury Enriched Streams in the Neversink
30
Reservoir Watershed, New York. Ecotoxicology 16: 311–316. doi: 10.1007/s10646-006-0130-0. Slack KV, Averett RC, Greeson PE, Lipscomb RG. 1973. Methods for Collection and Analysis of Aquatic Biological and Microbiological Samples. In Techniques of Water Resources Investigations of the United States Geological Survey. Ed ke-5. Washington (US): Department of the Interior, Geogical Survey. Hlm 165. Stoyanova T, Ivan T, Ivanka Y, Valentin B. 2010. Ecological Quality Assessment of Luda River Bulgaria. Natura Montenegrina Podgorica 9 (3): 341-348. Stryjecki R. 2002. The Impact of Human Activity on the Water Mite Fauna (Acari, Hydrachnidia) of the “LasyJanowskie” Landscape Park (SouthEastern Poland). In Proceedings of the IV Symposium oleh Europian Association of Acarologist. Acarid Phylogeny and Evolution: Adaptation in Mites and Ticks. Kluwer Academic Publisher. Sudarso Y, Gunawan PY, Tri S, Muhamad SS, Yustiawati. 2009. Pengaruh Aktivitas Antropogenik di Sungai Cikaniki (Jawa Barat) terhadap Komunitas Fauna Makrobentik. Limnotek 16 (2): 153-166. Suess MJ. 1982. Examination of Water for Pollution Control, a Reference handbook, vol. 3. In Biological, Bacteriological, and Virological Examination. Oxford, Inggris: Pergamon Pr. Tait CK, Li JL, Lamberti GA, Pearsons TN, Li HW. 1994. Relationships Between Riparian Cover and the Community Structure of High Desert Streams. Journal North American Benthological Society 13: 45-56. Tickner D, Armitage PD, Bickerton MA, Hall KA. 2000. Assessing Stream Quality using Information on Mesohabitat Distribution and Character. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems 10: 170–196. Vannote RL, Minshall GW, Cummings KW, Sedell JR, Cushing CE. 1980. The River Continuum Concept. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 37: 130-137. doi: 10.1139/f80-017. Vermeulen AC. 1995. Elaboration of Chironomid Deformities as Bioindicators of Toxic Sediment Stress: The Potential Application of Mixture Toxicity Concepts. Annual Zoology Fennica 32: 265-285. Vranovsky M, Il’ja K, Ferdinand S, Jozef T. 1994. The Effect of Anthropogenic Acidification on the Hydrofauna of the Lakes of the West Tatra Mountains (Slovakia). Limnology of Mountain Lake 93: 163-170. doi: 10.1007/97894-017-2095-3_19. Waltz RD, Burian SK. 2008. Ephemeroptera. Merrit RW, Cummins KW, Berg MB, editor. In An Introduction to the Aquatic Insects of North America. Ed ke-4. Kendall/Hunt Publishing Company. Hlm 825-845. Ward JV, Stanford JA. 1991. Thermal Responses in the Evolutionary Ecology of Aquatic Insects. Annual Review of Entomology 27: 97-117. doi: 10.1146/annurev.en.27.010182.000525. Wardhana AW. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offsed. Warwick WF. 1975. The Impact of Man on the Bay of Quinte Lake Ontario as Shown by the SubfossilChironomid Succession (Chironomidae, Diptera). Limnologie 19: 31-41.
31
--------------. 1985. Morphological Abnormalities in Chironomidae (Diptera) Larvae as Measures of Toxic Stress in Freshwater Ecosystems: Indexing Antennal Deformities in Chironomus Meigen. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 42: 1881-1914. doi: 10.1139/f85-236. Weber CI. 1973. Biological Field and Laboratory Methods for Measuring the Quality of Surface Water and Effluents. Cincinnati (US): Environmental Protection Agency. Wiederholm T. 1980. Use of Benthos in Lake Monitoring. The Water Pollution Control Federation 52: 47-537 Williams DD. 1987. The Ecology of Temporary Waters. Portland (OR): Timber Pr. Wilhm JL. 1975. Biological Indicators of Pollution, in River Ecology. Whitton BA, editor. Berkeley (CA): University of California Pr. Yasuda Y. 2000. Water Pollution Control Policy and Management: The Japanese Experience. Okada M, SA Peterson, editor. Tokyo (JP): Gyosei Ltd.
32
LAMPIRAN
33
Lampiran 1. Gambaran mengenai stasiun penelitian
Cikuluwung (ST1)
Cisarua (ST 2)
34
Lampiran 1. (lanjutan)
Curug Bitung (ST 3)
Lukut (ST 4)
Lampiran 2. Rerata kualitas air masing-masing stasiun penelitian KUALITAS AIR DO mg/L pH Suhu⁰C TDS mg/L Konduktivitas µs/dtk Kec. arus m/dtk TOM mg/L Hg Sedimen µg/L Hg Air Terlarut µg/L Hg Air Partikulat µg/L OrganikSedimen mg/L
ST 1 6.70± 0,45 (6,42-7,22) 5.92± 0,81 (5-6,53) 21.20± 0,3 (20,9-21,5) 173.40± 15,62 (161,2-191) 347.20± 29,88 (323-380,6) 0.58± 0,167 (0,4-0,74) 17.67± 6,44 (10,71-23,43) 0.0011± 0,0011 (0,0002-0,002) 0.01± 0,0001 (0,01) 0.39± 0,09 (0,29-0,47) 10.23± 1,43 (8,97-11,79)
ST 2 6.68± 0,41 (6,37-7,14) 7.74± 0,52 (7,31-8,32) 24.77± 1.78 (23,5-26,8) 82.18± 31,92 (62,4-119) 162.95± 63,32 (123,76-236) 0.67± 0.11 (0,6-0,8) 28.12± 24,54 (8,41-55,6) 0.04± 0,041 (0,01-0,08) 0.88± 1,02 (0,01-2,01) 23.08± 12,59 (11,43-36,43) 6.43± 1,68 (5,43-8,37)
ST 3 6.85± 1,34 (5,6-8,27) 7.85± 0,21 (7,69-8,09) 23.90± 1.54 (22,2-25,2) 81.06± 9,94 (71,32-91,18) 164.43± 20,05 (142,72-182,26) 0.44± 0,16 (0,3-0,62) 17.22± 2,36 (15,6-19,94) 0.05± 0,07 (0,01-0,13) 1.24± 1,63 (0,01-3,08) 34.37± 30,24 (5,28-65,65) 7.44± 2,98 (4,16-9,97)
ST 4 6.54± 0,47 (5,99-6,87) 7.42± 0,24 (7,14-7,59) 25.87± 1,6 (24,3-27,5) 87.68± 8,87 (77,46-93,4) 178.27± 16,69 (159,02-188,72) 0.56± 0,08 (0,48-0,64) 19.66± 8,28 (13,29-29,02) 0.02± 0,009 (0,01-0,03) 1.00± 1,72 (0,01-2,99) 49.28± 28,31 (18,05-73,26) 8.44± 1,8 (7,09-10,48)
36
Lampiran 3. Ordo, famili, serta kelimpahan rerata taksa makrozoobentos yang ditemukan pada setiap stasiun Ordo
Famili
Taksa
Ephemeroptera (mayflies)
Baetidae
Bungona
Baetidae
Baetid genus II
Leptophlebiidae
Kirrara
Trichoptera (caddiesfly)
Diptera (Trueflies)
Jenis dan kelimpahan rerata (ind/m2) ST 1 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1)
ST 2 150 ± 42,25 (102-184)
ST 3 14 ± 17,82 (1-34)
ST 4 6 ± 8,72 (2-16)
-
-
-
-
-
-
Ephemeroptera pupa
-
-
Lumbriculidae
Lumbriculus
-
Hydropsyhidae
Cheumatopsyche
Ecnomidae
Ecnomus
Hydroptilidae
Oxyethira
Philopotamidae
Chimarra
Chironomidae
Ablabesmyia
Chironomidae
30 ± 21,8 (12-53) 1 ± 0,38 (0-1) -
15 ± 10,59 (8-27) 3 ± 0,67 (2-3) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1)
1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 5 ± 3,67 (1-8)
1 ± 1,02 (1-2) 12 ± 9,76 (1-20)
-
-
-
-
-
-
-
-
Chironomidae pupa
1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,77 (5-6) 1 ± 0,38 (0-1)
1 ± 0,67 (1-2) 1 ± 1,76 (0-3)
1 ± 0,67 (0-1) 2 ± 1,02 (1-3)
Chironomidae
Genus 2
-
-
Chironomidae
Chironomus
Chironomidae
Polypedilum
1 ± 1,02 (0-2) 4 ± 1,02 (0-2)
1 ± 3,08 (0-5) 7 ± 1,02 (6-8)
1 ± 0,38 (0-1) 7 ± 2,78 (5-10) 1 ± 0,38 (0-1) 2 ± 2,71 (0-5) 10 ± 8,57 (4-20)
1±1 (0-2) 7 ± 5,39 (3-13)
37
Lampiran 3 (lanjutan) Ordo
Coleoptera (beetles)
Jenis dan kelimpahan rerata (ind/m2)
Famili
Taksa
Chironomidae
Cricotopus
Chironomidae
Parakiefferiella
-
Culicidae
Anopheles
-
Tubificidae
Branchiura
-
Ceratopogonidae
Bezzia
1 ± 1,02 (0-2)
-
Ceratopogonidae
Forcipomyiinae
-
-
Simuliidae
Simulium
1 ± 0,38 (0-1)
Tipulidae
Tipulidae
82 ± 78,85 (0-110) 1 ± 0,38 (0-1)
Stratiomyidae
Stratiomyidae
-
-
Psychodidae
Psichodidae
-
1 ± 0.38 (0-1)
-
1 ± 0,38 (0-1)
Dixidae
Dixella
-
-
1 ± 0,38 (0-1)
-
Hygrobiidae
Hygrobia
-
-
1 ± 0,38 (0-1)
Gyrinnidae
Gyrinidae
-
-
-
Hydraenidae
Hydranidae
-
-
-
ST 1 1 ± 0,38 (0-1)
1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1)
ST 2 2 ± 1,02 (1-3) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 1,92 (0-3)
-
ST 3 4 ± 1,02 (3-5)
ST 4 2 ± 1,15 (1-3)
-
-
-
-
1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 6 ± 10 (0-17) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1)
1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 12 ± 18,59 (1-33) 1 ± 0,77 (1-2) -
38
Lampiran 3 (lanjutan) Ordo
Coleoptera (beetles)
Plecoptera (stoneflies)
Hemiptera
Famili
Taksa
Hydrophilidae
Jenis dan kelimpahan rerata (ind/m2) ST 1
ST 2
ST 3
Boresus
-
-
-
Elmidae larva
Notriolus
-
Elmidae larva
Coxelmis
-
3 ± 3,08 (0-5) 1 ± 1,54 (0-3)
Scirtidae
Scirtidae
-
-
-
Noteridae
Matus
-
-
-
Curculionidae
Stenopelmus larva
-
-
-
Gripopterygidae
Dinotoperla
1 ± 2,31 (0-4) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 1,92 (0,32) 1 ± 1.15 (0-2)
ST 4 1 ± 0,67 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 1,02 (0-2)
-
1 ± 0,38 (0-1)
Gripopterygidae
Eunotoperla
-
-
-
Notonemouridae
Austrocerca
-
-
-
Eustheniidae
Eusthenia
-
-
-
Saldidae
Saldula
-
-
-
Corixidae
Sigara
-
-
-
Hibridae
Merragata
-
-
-
Naucoridae
Naucoris
1 ± 0,38 (0-1)
-
2 ± 3,67 (0-7) 2 ± 1,39 (1-4) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) -
39
Lampiran 3 (lanjutan) Ordo
Famili
Taksa
Jenis dan kelimpahan rerata (ind/m2) ST 1
Hemimptera larva
-
Nannochoristidae
Nannochorista
-
Odonata (damseflies)
Corduliidae
Hemicordulia
Amphipoda
Paramelitidae
Austrogammarus
Lepidoptera TOTAL
Aquatic moth larva
1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 1 ± 0,38 (0-1) 142
ST 2
ST 3 1 ± 0,38 (0-1)
ST 4 -
1 ± 0,38 (0-1)
-
1 ± 0,38 (0-1)
-
-
-
-
-
-
194
1 ± 0,38 (0-1) 64
54
40
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang Jawa Timur tanggal 25 Juli 1986 sebagai anak pertama dari pasangan bapak Mardji S.Pd. dan ibu Darmi S.Pd. Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan Managemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya Malang dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2009, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Magister dan menamatkan studi pada tahun 2013. Penulis menikah pada tahun 2008 dengan AyatullahS.Fil. I. MA. dan telah dikaruniai seorang putri yang bernama Nabila az Zahra (3 tahun).