SKRIPSI
PENGARUH SISTEM AERASI DAN KETERSEDIAAN OKSIGEN TERHADAP LAJU PROSES PENGOMPOSAN DAN KUALITAS KOMPOS BERBAHAN BAKU LIMBAH PENCUCIAN BIJI KAKAO TERFERMENTASI, SERASAH DAUN DAN KOTORAN SAPI
Oleh : DYAH NURHATI AYUNINGTYAS F14053591
2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR i
PENGARUH SISTEM AERASI DAN KETERSEDIAAN OKSIGEN TERHADAP LAJU PROSES PENGOMPOSAN DAN KUALITAS KOMPOS BERBAHAN BAKU LIMBAH PENCUCIAN BIJI KAKAO TERFERMENTASI, SERASAH DAUN DAN KOTORAN SAPI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : DYAH NURHATI AYUNINGTYAS F14053591
Dilahirkan pada tanggal 5 April 1987 di Jakarta Tanggal Lulus : Bogor, September 2009 Menyetujui, Dosen Pembimbing Akademik
Dr.Ir. Lilik Pujantoro, M.Agr. NIP. 19621130 198703 1 003 Mengetahui,
Dr.Ir. Desrial, M.Sc. Ketua Departemen Teknik Pertanian
ii
Dyah Nurhati Ayuningtyas. F14053591. Pengaruh Ketersediaan Oksigen Dan Sistem Aerasi Terhadap Laju Proses Pengomposan dan Kualitas Kompos Berbahan Baku Limbah Pencucian Biji Kakao Terfermentasi, Serasah Daun dan Kotoran Sapi. Di bawah bimbingan : Dr.Ir. Lilik Pujantoro, M.Agr. 2009. RINGKASAN Limbah organik akan menimbulkan pencemaran dan dampak lingkungan yang nyata bila tidak ditangani secara tepat. Dalam hal ini, industri biji kakao kering terfermentasi, terutama pada proses pencuciannya, menghasilkan limbah organik berupa limbah cair (lendir) dan padat (sisa cangkang). Selain itu, serasah daun dan kotoran sapi, juga merupakan contoh lain limbah organik. Salah satu upaya penanganan guna mengatasi limbah organik yakni melalui pengomposan. Haug (1980) mengatakan, bahwa proses pengomposan merupakan proses dekomposisi biologi dari bahan organik pada suhu tinggi, sebagai hasil produksi panas secara biologis, dengan hasil akhir produk yang cukup stabil dalam bentuk padatan (agregat) komplek, dan apabila diberikan pada lahan tidak menimbulkan efek yang merugikan terhadap lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan dan membandingkan suhu optimum, pH, kadar air dan nilai rasio C/N selama proses pengomposan dengan standar proses pengomposan; menentukan dan membandingkan warna, bau, ukuran partikel, tekstur, struktur, kadar air akhir, pH, berat isi dan porositas kompos yang dihasilkan dengan standar kualitas kompos; dan menentukan dan membandingkan kadar nitrogen, forfor, kalium, rasio C/N akhir dan kapasitas tukar kation kompos yang dihasilkan dengan standar kualitas kompos. Penelitian pengomposan ini dilaksanakan berdasarkan pengaruh ketersediaan oksigen dan sistem aerasi. Aplikasi pengomposan berdasarkan ketersediaan oksigen, dibagi menjadi 2, yakni aerob dan anaerob. Sedangkan berdasarkan pengaruh sistem aerasi, pengomposan aerobik dilakukan dengan menggunakan metode windrow teraerasi, yang dibedakan menjadi 3 perlakuan, yakni aerasi alami, aerasi bambu berlubang dan aerasi bambu segitiga. Suhu optimum proses pengomposan sebesar 38.75 - 45.5 oC. Selang nilai pH selama proses pengomposan mulai dari 6.4 - 7.2. Kadar air selama proses pengomposan aerob dan anaerob, berurut-urut 41.533 - 66.74 % dan 48.45 83.059 %. Nilai rasio C/N awal bahan pengompos, sebesar 33.7. Kompos memiliki warna coklat kehitaman dan coklat tua kehitaman. Kompos aerob berbau seperti tanah, sedangkan kompos anaerob berbau busuk daun. Semua kompos memiliki ukuran partikel < 12 mm. Kompos aerasi alami dan anaerob memiliki tekstur lempung pasiran atau kelas tekstur halus, sedangkan kompos aerasi bambu mempunyai tekstur geluh lempung pasiran atau kelas tekstur sedang. Semua kompos memiliki struktur majemuk remah sangat halus. Nilai kadar air akhir kompos, sebesar 41.533 - 42.773 %. Nilai pH akhir kompos, yakni 6.8 - 7.2. Nilai berat isi (bulk density) dan porositas kompos, berurut-urut sebesar 0.566 - 0.673 g/cm3 dan 56.56 - 74.2 %. Nilai kandungan nitrogen kompos, yaitu 1.01-1.215%. Nilai kandungan fosfor kompos sebesar 0.170 - 0.281 %. Kadar kalium kompos sebesar 0.878 - 1.05 %. Nilai rasio C/N akhir, yakni 25.7 - 30.5. Nilai KTK kompos sebesar 28.55 - 32.85 meq/100g.
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 April 1987 dan dibesarkan di kota Jakarta serta Tangerang. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan
Hadi
Mulyono,
S.E.
dan
Supanti.
Penulis
menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK. Kusuma Jaya Tangerang tahun 1993, pendidikan dasar di SDN Kereo 01 Tangerang tahun 1999, pendidikan menengah pertama di SLTPN 153 Jakarta tahun 2002, dan pendidikan menengah atas di SMAN 6 Jakarta tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen TEP, FATETA, IPB melalui jalur SPMB. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan sendra tari saman Bungong Puteh, Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA), UKM Catur IPB dan radio kampus Agri FM. Pada tahun 2008, penulis melaksanakan praktek lapangan di PT. Branita Sadhini, Monsanto-Seed Supply Indonesia, Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa Tengah dengan judul laporan "Mempelajari Aspek Keteknikkan dan Kualitas Pada Proses Produksi Benih Jagung Hibrida di PT. Branita Sandhini Monsanto Seed Supply Indonesia". Penulis menyelesaikan skripsi berjudul "Pengaruh Sistem Aerasi dan Ketersediaan Oksigen Terhadap Laju Proses Pengomposan dan Kualitas Kompos Berbahan Baku Limbah Pencucian Biji Kakao Terfermentasi, Serasah Daun dan Kotoran Sapi" di bawah bimbingan Dr.Ir. Lilik Pujantoro, M.Agr.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang tiada putusnya selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyusun karya tulis berbentuk skripsi. Sesuai dengan salah satu maksud dan tujuan skripsi ini, disajikan untuk memenuhi persyaratan dan melengkapi sebagai ujian, untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis percaya dan sadar bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, namun penulis tetap berusaha dengan sebaik-baiknya, meskipun banyak hambatan yang terjadi antara lain seperti keterbatasan waktu, kemampuan serta pengetahuan dalam pengumpulan data. Oleh karena itu, penulis mengahrapkan kritik serta saran sebagai motivasi bagi penulis untuk menyempurnakan skripsi ini. Oleh karena penulis telah mendapatkan banyak bantuan bimbingan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak yang sangat berharga, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Lilik Pujantoro, M.Agr. selaku Dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, solusi dan rasa semangat. 2. Pak Dede Kusmawan dan Pak Pepen selaku penanggungjawab bagian kompos PUSPIPTEK yang telah memberikan kesempatan berharga untuk melaksanakan penelitian di PUSPIPTEK, memberikan arahan dan membantu jalannya penelitian. 3. Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc. selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan yang telah memberikan bimbingan dan pemecahan masalah dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Chusnul Arif, STP, Msi dan Ir. Parlaungan Rangkuti selaku dosen penguji ujian skripsi. 5. Ir. H. Dedi Pertama selaku Kepala Administrasi PTPN VIII Batulawang, Cisaga, Ciamis yang telah memberikan kesempatan berharga untuk meneliti limbah hasil proses pencucian biji kakao terfermentasi.
v
6. Ibu Mamah selaku sekretaris administrasi, Pak Arif, Pak Bisri dan seluruh staf PTPN VIII Batulawang, Cisaga, Ciamis atas waktu dan bimbingannya serta meingizinkan tinggal serumah dengan beliau di perumahan PTPN VIII Batulawang, Cisaga, Ciamis. 7. Yang tercinta Ayahanda dan Ibunda serta adikkku yang telah memberikan dukungan moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman seperjuanganku, Astiti Puriwigati dan Pandu Gunawan. 9. Lovita, I'i, Jayadi, Marie, Jam, Fadil, Dwinata, kak Dian dan teman-teman lainnya serta seluruh staf di Departemen TEP yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini walaupun kecil artinya dapat bermanfaat bagi pembaca, demi kemajuan PTPN VIII Batulawang dan kiranya jasa baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat ganjarab yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Esa.
Bogor, Agustus 2009 Penulis
Dyah Nurhati Ayuningtyas
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................... 1 B. Tujuan Praktek Lapangan ................................................................... 2
II.
TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Organik .................................................................................. 3 1. Limbah Pencucian Biji Kakao Terfermentasi ................................ 3 2. Serasah Daun ................................................................................ 4 3. Kotoran Sapi ................................................................................. 5 B. Proses Pengomposan ........................................................................... 6 1. Proses Dekomposisi ...................................................................... 6 2. Teknologi Pembuatan Kompos ..................................................... 10 3. Faktor yang Mempengaruhi Laju Proses Pengomposan ................. 12 C. Sistem Aerasi....................................................................................... 16 D. Kompos ............................................................................................... 17 E. Kualitas Kompos ................................................................................. 17
III.
METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 24 B. Alat dan Bahan .................................................................................... 23 C. Metode Penelitian ................................................................................ 23 1. Penelitian Pendahuluan ................................................................. 23 2. Penelitian Utama dan Analisis Laju Proses Pengomposan ............. 29 3. Analisis Kualitas Kompos ............................................................. 32
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan ........................................................................ 33
vii
B. Penelitian Utama dan Analisis Laju Proses Pengomposan .................... 37 1. Suhu ............................................................................................... 37 2. Nilai pH .......................................................................................... 40 3. Kadar Air........................................................................................ 41 4. Nilai Rasio C/N .............................................................................. 44 C. Analisis Kualitas Kompos .................................................................... 48 1. Kualitas Kompos Berdasarkan Sifat Fisik ....................................... 49 a. Warna dan Bau ......................................................................... 49 b. Ukuran Partikel, Tekstur dan Struktur ...................................... 51 c. Kadar Air Akhir ....................................................................... 53 d. Kerapatan Isi (Bulk Density) dan Porositas ............................... 54 e. Derajat pH ................................................................................ 56 2. Kualitas Kompos Berdasarkan Sifat Kimia ..................................... 57 a. Kandungan Total Nitrogen (N) ................................................. 57 b. Kandungan Total Fosfor (P) ..................................................... 59 c. Kandungan Total Kalium (K) ................................................... 61 d. Nilai Rasio C/N ........................................................................ 63 e. Kapasitas Tukar Kation (KTK) ................................................. 64 V.
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN .................................................................................. 67 B. SARAN .............................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 69 LAMPIRAN ......................................................................................................... 73
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Nilai Optimal yang Mempengaruhi Proses Pengomposan dengan metode windrow..................................................................................... 13 Tabel 2. Standar kualitas kompos ........................................................................ 18 Tabel 3. Kualitas sifat fisik dan kimia kompos..................................................... 19 Tabel 4. Unsur-unsur mineral dan peranannya dalam tanaman ............................. 21 Tabel 5. Analisis bahan yang dikomposkan ......................................................... 35 Tabel 6. Komposisi bahan pada awal pencampuran ............................................. 37 Tabel 7. Persamaan regresi linear untuk pencapaian rasio C/N optimal ................ 48 Tabel 8. Hasil uji kualitas warna dan bau ............................................................. 49 Tabel 9. Jumlah partikel sisa hasil ayakan kompos penelitian .............................. 51 Tabel 10. Hasil analisis tekstur dengan diagram segitiga USDA ............................ 52 Tabel 11. Hasil uji kualitas struktur berdasarkan bentuk dan ukuran ...................... 53
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Bagan alir proses pengoalahan biji kakao kering di CV. Agromitra Kencana, Gunung Kencana, Banten 2008 .......................................... 3
Gambar 2a. Limbah padat hasil proses pencucian ................................................. 4 Gambar 2b. Limbah cair hasil proses pencucian ................................................... 4 Gambar 3.
Fase selama proses pengomposan sebagaimana berhubungan dengan CO2 dan suhu (Isroi, 2008) ................................................................ 7
Gambar 4.
Proses umum pengomposan limbah padat organik (Rynk, 1992; Isroi, 2008) ........................................................................................ 8
Gambar 5.
Bagan alir proses penelitian ............................................................... 24
Gambar 6a. Bambu aerasi AABB ......................................................................... 27 Gambar 6b. Celah udara pada pengomposan AABB ............................................. 27 Gambar 7a. Bambu aerasi AABS ......................................................................... 28 Gambar 7b. Celah ulara pada pengomposan AABS .............................................. 28 Gambar 8.
Tempat pengompos anaerob (sketsa pada Lampiran 6) ...................... 28
Gambar 9.
Proses penjemuran limbah dan kotoran sapi....................................... 33
Gambar 10a. Mesin pencacah ................................................................................. 34 Gambar 10b. Hasil cacahan limbah padat ............................................................... 34 Gambar 11a. Hasil cacahan limbah padat ............................................................... 34 Gambar 11b. Hasil cacahan serasah daun................................................................ 34 Gambar 12. Bahan yang akan dikomposkan.......................................................... 35 Gambar 13. Grafik perubahan suhu selama proses pengomposan .......................... 38 Gambar 14. Grafik perubahan pH selama proses pengomposan ............................ 40 Gambar 15. Grafik perubahan kadar air selama proses pengomposan ................... 42 Gambar 16a. Pengomposan aerob aerasi alami ....................................................... 43 Gambar 16b. Pengomposan aerob aerasi bambu segitiga. ....................................... 43 Gambar 16c. Pengomposan aerob aerasi bambu berlubang ..................................... 43 Gambar 17. Grafik perubahan nilai C/N................................................................ 45 Gambar 18. Grafik perubahan nilai rasio C/N dan regresinya................................ 47
x
Gambar 19a. (1) dan (2) Kompos dengan metode aerob aerasi bambu berlubang, (3) Kompos dengan metode aerob aerasi bambu segitiga ................... 49 Gambar 19b. (4) dan (5) Kompos dengan metode aerob aerasi alami, (6) Kompos dengan metode aerob aerasi bambu segitiga....................................... 49 Gambar 19c. Kompos dengan metode anaerob ....................................................... 50 Gambar 20. Grafik nilai kadar air kompos akhir ................................................... 54 Gambar 21. Grafik nilai nilai BD pada kompos akhir............................................ 55 Gambar 22. Grafik nilai nilai porositas akhir kompos ........................................... 55 Gambar 23. Grafik nilai akhir pH kompos ............................................................ 57 Gambar 24. Grafik nilai kadar nitrogen (N) akhir kompos .................................... 58 Gambar 25. Grafik nilai kadar total fosfor (P) kompos akhir ................................. 60 Gambar 26. Grafik nilai kadar total Kalium (K) kompos akhir .............................. 61 Gambar 27. Grafik nilai rasio C/N pada hari ke-30 ............................................... 63 Gambar 28. Grafik nilai KTK kompos akhir ......................................................... 64
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Klasifikasi fraksi tanah menurut standar Internasional dan USDA Prosedur analisis sifat kimia Kompos .............................................. 74
Lampiran 2.
Prosedur Analisis Kualitas Sifat Kimia Kompos .............................. 75
Lampiran 3.
Dimensi dan titik sampling pengukuran suhu pada pengomposan aerob ............................................................................................... 78
Lampiran 4.
Sketsa pengomposan AABB dan titik sampling pengukuran suhu .. 80
Lampiran 5.
Sketsa pengomposan AABS dan titik sampling pengukuran suhu ... 82
Lampiran 6. Sketsa pengomposan anaerob .......................................................... 84 Lampiran 7.
Tabel suhu kompos aerob aerasi alami ............................................ 85
Lampiran 6.
Tabel suhu kompos aerob aerasi bambu berlubang .......................... 86
Lampiran 7.
Tabel suhu kompos aerob aerasi bambu segitiga.............................. 87
Lampiran 8.
Tabel suhu kompos anaerob ............................................................ 88
Lampiran 9.
Tabel kadar air selama proses pengomposan ................................... 89
Lampiran 10. Tabel nilai pH dan rasio C/N selama proses pengomposan .............. 90 Lampiran 11. Tabel hasil uji kandungan C-organik, Nitrogen, Rasio C/N, Fosfor (F), Kalium (K) dan Kapasitas Tukar Kation (KTK), serta jumlah partikel sisa hasil ayakan kompos penelitian.................................... 91.
Lampiran 12. Tabel hasil perhitungan kerapatan (BD) dan porositas (P) ............... 92 Lampiran 13. Diagram segitiga sama sisi kelas tekstur tanah USDA ..................... 93 Lampiran 14. Diagram unsur hara Mengel & Kirkby ............................................ 94
xii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kegiatan pembangunan industri adalah salah satu kegiatan pada sektor ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Ginting, 2007). Dalam pelaksanaannya, terutama disektor perkebunan, terdapat salah satu masalah yang dinilai penting demi melancarkan proses kegiatan industri. Salah satu masalah penting tersebut yakni proses penanganan limbah industri. Proses penanganan limbah industri meliputi berbagai macam jenis limbah termasuk limbah organik. Masalah penanganan limbah dinilai penting, karena jika tidak ditangani secara tepat maka dapat menimbulkan pencemaran dan dampak lingkungan yang nyata, seperti bau, pencemaran badan air sungai, dan lain-lain. Limbah organik merupakan buangan dari bahan organik. Industri biji kakao kering PTPN VIII Batulawang, terutama pada proses pencuciannya, menghasilkan limbah organik berupa limbah cair (lendir) dan padat (sisa cangkang). Dengan kapasitas produksi masa puncak di PTPN VIII Batulawang mencapai 5 ton/hari, maka limbah yang dihasilkan mencapai ± 25.6 kL/hari. Jika keadaan ini terjadi setiap hari dan limbah yang dihasilkan tidak tertanggulangi secara tepat, maka akan menimbulkan dampak lingkungan yang cukup serius. Dampak yang telah dirasakan warga sekitar pabrik PTPN VIII Batulawang, yakni bau tidak sedap dan pencemaran badan air sungai. Contoh lain limbah organik yang banyak ditemukan di jalanan, yakni serasah daun. Serasah daun yang tidak termanfaatkan banyak ditemukan di kawasan kantor dan Perum PUSPIPTEK. Serasah daun yang dihasilkan di PUSPIPTEK mencapai ± 1 ton/hari. Jika serasah daun dibiarkan menumpuk, maka akan merusak estetika pemandangan di sekitar kawasan PUSPIPTEK. Selain itu, kotoran sapi pun termasuk limbah organik yang tidak termanfaatkan di peternakan sapi CV. Barokah Tangerang. Produksi kotoran
1
sapi per harinya di CV. Barokah, mencapai ± 1.5 ton, dengan dampak yang ditimbulkan, yakni bau tidak sedap dan pencemaran badan air sungai. Salah satu upaya penanganan limbah organik
yakni melalui
pengomposan. Pengomposan menurut Indrasti, dkk (2005), merupakan teknologi alternatif yang ramah lingkungan dan hemat energi. Alasan lain, yakni mahalnya harga pupuk buatan. Hal tersebut menurut Murbandono (1999) telah menyebabkan peningkatan kembali minat masyarakat industri dan petani dalam memanfaatkan kompos. Kompos digunakan sebagai pupuk dan pembenah tanah dalam budidaya tanaman (Rahman, 2002). Pupuk dengan bahan baku limbah organik menurut Rahman (2002), dapat meningkatkan kandungan zat nutrisi tumbuhan sehingga aplikasinya dapat bernilai guna, lebih optimal dan relatif lebih aman terhadap lingkungan, serta kesehatan masyarakat. Pelaksanaan kegiatan pengomposan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode. Beberapa diantaranya antara lain berdasarkan ketersediaan oksigen dan sistem aerasi windrow yang digunakan dalam proses pengomposan. Metode tersebut dinilai penulis mudah dan sederhana untuk diaplikasikan pada proses pengomposan skala penelitian.
B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut : 1. Menentukan dan membandingkan suhu optimum, pH, kadar air dan nilai rasio C/N selama proses pengomposan aeorb dan anaerob dengan standar proses pengomposan. 2. Menentukan dan membandingkan kualitas sifat fisik antara lain warna, bau, ukuran partikel, tekstur, struktur, kadar air akhir, pH, berat isi dan porositas kompos yang dihasilkan dengan SNI 19-7030-2004. 3. Menentukan dan membandingkan kualitas sifat kimia antara lain, kadar nitrogen, forfor, kalium, rasio C/N akhir dan kapasitas tukar kation kompos yang dihasilkan dengan SNI 19-7030-2004.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. LIMBAH ORGANIK 1. LIMBAH PENCUCIAN BIJI KAKAO TERFERMENTASI Biji kakao menurut Sunanto (1992), terbagi lagi menjadi 2 bagian utama yaitu kulit dan keping biji. Biji kakao yang juga merupakan bahan baku makanan dari jenis coklat, diangkut ke pabrik untuk diolah agar memenuhi kebutuhan pasar dari segi kualitas. Proses pengolahan biji kakao terfermentasi menjadi biji kakao kering, dimulai pada tahap intake yang diikuti dengan tahap fermentasi sampai dengan tahap pengepakan. Berikut bagan alir proses pengolahan biji kakao kering terfermentasi, Intake biji kakao basah
Bak 1 = 2 hari Bak 2 = 2 hari Bak 3 = 1 hari
Fermentasi Perendaman Pencucian
Cuaca terik
Penjemuran dengan tenaga matahari (±2 hari)
Penirisan Pengeringan Sortasi
Pengepakan Keterangan :
Penjemuran dengan tenaga matahari Pengeringan tahap II dengan bak pengering (1-2) jam
Pengeringan tahap I dengan bak pengering (4-6) jam
Dianginanginkan
= Alur proses = Penerangan proses
Gambar 1. Bagan alir proses pengoalahan biji kakao kering di CV. Agromitra Kencana, Gunung Kencana, Banten 2008. 3
Pada tahap pencucian biji kakao terfermentasi di PTPN VIII Batulawang, terdapat limbah yang dihasilkan berupa limbah padat (Gambar 2a) dan limbah cair (Gambar 2b). Limbah padat yang dihasilkan antara lain sisa cangkang dan biji busuk, sedangkan limbah cair yang dihasilkan umumnya berbentuk lendir. Menurut Felows (2000), lendir hasil fermentasi kakao
mengandung
Yeasts,
L.
plantarum,
lactobacillus
mali,
fermentum,collinoides, acetobacter rancens, aceti, dan oxydans selama 144 jam masa inkubasi.
Gambar 2a. Limbah padat hasil proses pencucian.
Gambar 2b. Limbah cair hasil proses pencucian.
2. SERASAH DAUN Bahan baku pengomposan adalah semua material organik yang mengandung karbon dan nitrogen, termasuk serasah daun. Serasah daun menurut Genie dan Sutantoto (2003) merupakan sumber karbon pada setiap proses pengomposan karena mempunyai nilai rasio C/N yang tinggi. Menurut Peter dan Brian (2001), serasah daun memiliki nilai rasio C/N sebesar 48. Pemanfaatan serasah sebagai pupuk kompos sangat bermafaat. Hal tersebut dikarenakan pupuk serasah menurut Genie dan Sutantoto (2003), dapat menghemat air dalam penggunaannya, mencegah erosi, menghambat pertumbuhan gulma, menjaga sari-sari makanan dalam tanah terhadap pencucian dan penghanyutan oleh air hujan. Selain itu, pupuk serasah dapat menjaga keseimbangan suhu tanah dengan lapisan udara dekat tanah, 4
menjaga tekstur tanah agar tetap remah dan tidak cepat padat, mencegah timbulnya penyakit tanaman akibat percikan tanah oleh air hujan serta menjadi sumber humus. Serasah daun merupakan limbah organik yang tak termanfaatkan yang terdiri atas beragam jenis daun dari tanaman yang berbeda. Jenis tanaman yang beragam juga berarti kandungan unsur yang beraneka ragam. Ini akan memperkaya jenis dan jumlah bahan organik yang diberikan ke tanah (Genie dan Sutantoto, 2003). Limbah biomassa ini selanjutnya dimanfaatkan oleh mikroorganisme, cacing, dan hewan-hewan kecil lain di dalam tanah sehingga terurai lagi menjadi unsur-unsur seperti nitrogen, fosfor, kalium, serta unsur mikro lainnya yang siap menjadi unsur hara bagi tanaman. Proses biologisekologis inilah yang sesungguhnya menyuburkan tanah.
3. KOTORAN SAPI Kotoran ternak merupakan salah satu limbah organik yang berasal dari hewan ternak. Kotoran sapi, apabila difermentasikan dan yang dijadikan pupuk mengandung 3 (tiga) kelompok mikroorganisme utama, yaitu bakteri, fungi dan aktinomisetes. Kotoran ternak jika tidak dimanfaatkan kembali tentu dapat menimbulkan banyak gangguan antara lain menimbulkan bau, lalat dan dapat mengurangi nilai estetika lingkungan seperti pencemaran sungai atau danau (Stafford et al., 1980). Ketersediaan kotoran hewan juga sangat penting untuk membantu proses pengomposan bila nilai rasio C/N terlalu tinggi. Menurut Peter dan Brian (2001), kotoran sapi memiliki nilai rasio C/N sebesar 18. Nisbah C/N kotoran sapi yang rendah memungkinkan adanya pencampuran dengan bahan yang memiliki nilai C/N rasio yang tinggi seperti serasah daun sehingga nilai rasio C/N memenuhi kebutuhan optimal pada proses dekomposisi. Menurut Rao (1982) dalam Erwiyono (1994), penambahan kotoran sapi akan
memacu
terjadinya
proses
dekomposisi
karena
bertambahnya
mikroorganisme pada bahan pembuat kompos. Selain itu, kototran sapi juga mengandung bahan organik yang kaya akan unsur hara. Abbot (1968) dalam Manik (1994) dalam Aryanto, dkk. (2000) melaporkan, bahwa kotoran sapi
5
mengandung rata-rata N 1.65%, P 0.5% dan K 2.3%. Dengan demikian, kotoran sapi dapat dimanfaatkan untuk mensuplai unsur hara pada tanaman. Namun kotoran hewan yang hendak digunakan sebgaia bahan baku kompos harus dikeringkan terlebih dahulu. Kotoran ternak mentah atau baru dinilai kurang layak untuk digunakan. Hal tersebut dikarenakan baunya busuk dan mengandung mikroorganisme patogen, parasit dan bijih rumput liar, sehingga perlu suatu cara untuk mengatasinya (Harada et al., 1993; Aryanto, dkk., 2000).
B. PROSES PENGOMPOSAN Semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat, untuk ikut aktif melakukan pengawasan terhadap pencamaran lingkungan menurut Ginting (2007), merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk melakukan
pengedalian
pencemaran.
Salah
satu
upaya
pengendalian
pencemaran lingkungan yakni dengan melakukan pengomposan. Pengomposan
menurut
Syarifa,
Sudarsono,
&
Sastro
(2003),
didefinisikan sebagai, proses biokimiawi yang melibatkan jasad renik sebagai agensia (perantara) yang merombak bahan organik menjadi bahan yang mirip dengan humus. Menurut Miner, Frank, & Michael (2000), pengomposan diartikan sebagai proses alami secara aerobik dengan tujuan menytabilkan berbagai jenis skala bahan organik baik tanaman hutan maupun bahan baku dari kotoran hewan antara lain kuda dan ternak. Sedangkan Haug (1980) mengatakan, bahwa proses pengomposan merupakan proses dekomposisi biologi dari bahan organik pada suhu tinggi, sebagai hasil produksi panas secara biologis, dengan hasil akhir produk yang cukup stabil dalam bentuk padatan (agregat) komplek, dan apabila diberikan pada lahan tidak menimbulkan efek yang merugikan terhadap lingkungan. 1. Proses Dekomposisi Menurut Haug (1980), dekomposisi merupakan proses penguraian bahan organik yang berasal dari binatang dan tanaman secara fisik maupun kimia yang dilakukan oleh berbagai macam mikroorganisme menjadi zat
6
hara sebagai nurtrisi untuk tanaman. Kegiatan mikroorganisme dalam mendekomposisikan
bahan
organik
disebut
juga
sebagai
proses
mikrobiologis. Proses mikrobiologis menurut Sutanto (2002), merupakan proses konversi biologi bahan organik yang terjadi selama proses pengomposan dan proses ini dilakukan oleh mikroorganisme yang termasuk ke dalam 3 (tiga) kategori utama meliputi bakteri, fungi, dan aktinomisetes. Selama proses pengomposan, terdapat tiga kondisi terpisah yang berhubungan dengan mikroorganisme pendekomposisi dan temperatur, yakni mencakup mesofilik, termofilik, dan pendinginan (lihat Gambar 3).
Gambar 3.
Fase selama proses pengomposan sebagaimana berhubungan dengan CO2 dan suhu (Isroi, 2008).
Salah satu mikroba yang mendekomposisi bahan organik pada tahap termofilik, yakni Bacillus sp. termofil (Anonim). Bacillus sp. termofil merupakan bakteri berbentuk batang yang sering ditemukan dalam kompos Bacillus sp. Sering ditemukan pula alam bentuk rangkaian. Perhatikan
bahwa bakteri ini menghasilkan spora yang menyebabkannya mampu bertahan pada suhu tinggi (di atas 65°C). Proses dekomposisi yang belum sempurna menurut Wang Pokorny (1989) dalam Aziz A. A. (1991) dapat menimbulkan senyawa fitotoksik sehingga nantinya dapat mengganggu
7
pertumbuhan tanaman (Sengkey dan Sri Adiningsih, 1988; Aziz A. A., 1991). Menurut Murbandono (1999), dalam proses dekomposisi bahan organik secara aerob dapat terjadi perubahan-perubahan, antara lain: (a) Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin menjadi CO2 dan air. (b) Protein menjadi amida-amida dan asam amino menjadi lemak amoniak, CO2 dan air. (c) Pengikatan beberapa unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama N selain P, K dan lainnya, yang terlepas kembali bila mikroorgansime itu mati. (d) Penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang mudah diserap oleh tanaman.
Gambar 4. Proses umum pengomposan limbah padat organik (Rynk, 1992; Isroi, 2008) Dekomposisi limbah, khususnya zat organik dalam kondisi anaerobik dapat mengakibatkan produksi gas bio. Secara garis besar proses pembentukan gas bio dibagi dalam tiga tahap yaitu: hidrolisis, asidifikasi (pengasaman) dan pembentukan gas metana (Sufyandi, 2001; Pramatmaja, 2008). Pada tahap hidrolisis, bahan organik dienzimatik secara eksternal oleh enzim ekstraselular (selulose, amilase, protease dan lipase) 8
mikroorganisme. Bakteri memutuskan rantai panjang karbohidrat komplek, protein dan lipida menjadi senyawa rantai pendek. Sebagai contoh polisakarida diubah menjadi monosakarida sedangkan protein diubah menjadi peptida dan asam amino. Pada tahap ini bakteri menghasilkan asam, mengubah senyawa rantai pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen (H2) dan karbondioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan (Damanhuri, 2004). Pembentukan asam pada kondisi anaerobik tersebut penting untuk pembentuk gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Selain itu bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbondioksida, H2S, dan sedikit gas metana. Pada tahap ini bakteri metanogenik mendekomposisikan senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Bakteri ini menggunakan hidrogen, CO2 dan asam asetat untuk membentuk metana dan CO2. Bakteri penghasil asam dan gas metana bekerjasama secara simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan atmosfir yang ideal untuk bakteri penghasil metana. Sedangkan bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Tanpa adanya proses simbiotik tersebut, akan menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam. Komposisi gas bio berkisar antara 60 – 70 % metana dan 30 – 40 % karbon dioksida (Damanhuri, 2004). Nitrogen dan oksigen bukan merupakan hasil dari proses. Hidrogen merupakan hasil dari tahap pembentukan asam, pembentukan hidrogen sulfida oleh bakteri sulfat disebabkan oleh konsentrasi ikatan sulfur. Walaupun hanya sedikit tetapi dapat mencapai 5 % untuk beberapa kotoran, namun dapat mengakibatkan ledakan (Meynell, 1976; Pramatmaja, 2008). Metana merupakan gas rumah kaca yang lebih berbahaya dibanding dengan karbondioksida, selain mudah meledak diketahui merupakan faktor utama
9
pada fenomena pemanasan global (Syed, 1994). Sedangkan untuk karbondioksida dapat menjadi penyebab peningkatan mineral pada air tanah serta membentuk asam karbonik (Damanhuri, 2004). 2. Teknologi Pembuatan Kompos Menurut Damanhuri (2004), teknologi pembuatan kompos digolongkan menjadi 2 (dua) jenis, berdasarkan mikroorganisme pendekomposisinya dan kebutuhan akan oksigen, yaitu : a. Pegomposan
Aerobik.
Pengomposan
aerobik
merupakan
proses
pengomposan yang membutuhkan oksigen selama proses berlangsung. Transformasi biokimia proses ini dapat digambarkan dalam persamaan reaksi sebagai berikut : CHON + O2 + Nutrien → Sel - Sel Baru + CO2 + H2O + NH3 + SO4-2+ Panas + Kompos Pada prinsipnya hasil akhir proses ini adalah sel-sel baru, CO2, air, amoniak, sulfat dan senyawa organik baru bersifat stabil yang dinamakan kompos. Kompos biasanya mengandung unsur lignin yang sukar terurai dalam jangka waktu singkat. Menurut Metcalf & Eddy (2004) terdapat 3 (tiga) jenis metode berdasarkan sistem pengomposannya, yaitu metode aerated static piled, windrow, dan in-vessel composting. Berdasarkan cara
pembuatannya terdapat beberapa macam metode pengomposan yakni metode indore, heap, bangalore, Berkeley, vermikompos, jepang, dan metode lainnya. i. Pengomposan Sistem Windrow, merupakan metode yang paling sederhana dan sudah sejak lama dilakukan. Untuk mendapatkan aerasi dan pencampuran, biasanya tumpukan sampah tersebut dibalik (diaduk). Hal ini juga dapat menghambat bau yang mungkin timbul. Pembalikan dapat dilakukan baik secara mekanis maupun manual. Sistim windrow seperti ini sudah berkembang di Indonesia untuk skala kecil, disebut dengan sistim UDPK.
10
ii. Aerated Static Pile Composting, yakni udara disuntikkan melalui pipa statis ke dalam tumpukan sampah. Untuk mencegah bau yang timbul, pipa dilengkapi dengan exhaust fan. Setiap tumpukan biasanya menggunakan blower untuk memantau udara yang masuk. iii. In-veseel
Composting
System,
meruapakan
suatu
sistem
pengomposan dilakukan di dalam kontainer/tangki tertutup. Proses ini berlangsung secara mekanik, untuk mencegah bau disuntikkan udara, pemantauan suhu dan konsentrasi oksigen. iv. Vermicomposting, merupakan langkah pengembangan pengomposan secara aerobik dengan memanfaatkan cacing tanah sebagai perombak utama atau dekomposer, inokulasi cacing tanah dilakukan pada saat kondisi material organik sudah siap menjadi media tumbuh (kompos setengah matang). Dikenal 4 (empat) marga cacing tanah yang sudah dibudidayakan, yaitu Eisenia, Lumbricus, Perethima dan Peryonix. b. Pengomposan
Anaerobik
(Anaerobic
Digestion).
Pengomposan
anaerobik merupakan proses penguraian senyawa organik yang berasal dari sampah dan berlangsung dalam kondisi tanpa oksigen sehingga menghasilkan gas-gas yang mengandung karbon dioksida dan metan. Perubahan atau transformasi biokimia tersebut menurut Damanhuri (2004) dapat dijelaskan melalui persamaan reaksi sebagai berikut : CHON+ Nutrien
→ Sel - Sel Baru + CO2 + CH4 + NH3 + H2S + Panas + Kompos
Pada prinsipnya produk akhir yang dihasilkan adalah karbondioksida, gas metan, amoniak, hidrogen sulfida dan kompos. Karbondioksida dan methan yang dihasilkan biasanya mencapai 99 % dari total gas yang diproduksi (Yuwono, 2006; Pramatmaja, 2008). Proses ini menurut Damanhuri (2004) dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu : i. Digesti
Anaerobik
dengan
Tingkat
Kepadatan
Rendah.
Konsentrasi kepadatan antara 4-8 %, menggunakan bahan baku sampah
domestik,
kotoran
manusia
dan hewan.
Proses ini
menghasilkan gas methan dan direncanakan untuk skala besar.
11
ii. Digesti Anaerobik dengan Tingkat Kepadatan Tinggi. Konsentrasi kepadatan mencapai 22 %. Keuntungan utama dari proses ini ialah bahwa air yang dibutuhkan jauh sedikit dari digesti anaerobik dengan tingkat kepadatan rendah. 3. Faktor yang Mempengaruhi Laju Proses Pengomposan Pada kondisi alami, limbah organik yang ada di permukaan tanah dengan temperatur permukaan normal dan kondisi aerob akan terdekomposisi secara lambat. Proses dekomposisi alami dapat dipercepat secara buatan dengan memperbaiki kondisi proses dekomposisi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses dekomposisi selama proses pengomposan, antara lain: a. Kebutuhan Nutrisi Mikroorganisme
memerlukan
sumber
energi
untuk
perkembangbiakannya. Zat yang merupakan sumber energi, yaitu karbon untuk proses sintesa jaringan baru dan elemen-elemen anorganik seperti nitrogen, fosfor, kapur, belerang dan magnesium sebagai bahan makanan untuk
membentuk
sel-sel
tubuhnya.
Selain
itu,
untuk
memacu
pertumbuhannya, mikroorganisme juga memerlukan nutrien organik yang tidak dapat disintesa dari sumber-sumber karbon lain. Nutrien organik tersebut antara lain asam amino, purin/ pirimidin, dan vitamin (Murbandono, 2000; Pramatmaja, 2008). b. Mikroorganisme Dekomposer Menurut Damanhuri (2004), Mikroorganisme pengurai dapat dibedakan antara lain berdasarkan kepada struktur dan fungsi sel, yaitu: i. Eucaryotes, termasuk dalam dekomposer adalah eucaryotes bersel tunggal, antara lain : gAryantong, jamur, protozoa. ii. Eubacteria, bersel tunggal dan tidak mempunyai membran inti, contoh: bakteri. Beberapa hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) seperti cacing tanah, kutu juga berperan dalam pengurai sampah. Sesuai dengan
12
peranannya
menurut
Damanhuri
(2004)
dalam
rantai
makanan,
mikroorganisme pengurai dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu : i. Kelompok I (Konsumen tingkat I) yang mengkonsumsi langsung bahan organik dalam sampah, yaitu : jamur, bakteri, actinomycetes. ii. Kelompok II (Konsumen tingkat II) mengkonsumsi jasad kelompok I, dan; iii. Kelompok III (Konsumen tingkat III), akan mengkonsumsi jasad kelompok I dan Kelompok II. c. Kondisi Lingkungan Ideal Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati (Isroi, 2008; http://id.wikipedia.com). Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Parameter kondisi lingkungan ideal yang dapat mempengaruhi proses dekomposisi selama proses pengomposan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai optimal proses pengomposan dengan metode windrow. No. Parameter 1. Ukuran partikel bahana
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. a
Nilai Optimum 2.5 - 4.0 cm 5.0 cm untuk aerasi alami dalam timbunan panjang b Nisbah C/N 25:1 hingga 35:1 Kadar Airc 50% - 60% pHc 6-9 d Suhu optimum 35oC - 55oC Aerasia Secara periodik timbunan dibalik Ukuran timbunana Panjang bervariasi, tinggi 1.5 m, dan lebar 2.5 m Kehalusan partikel Makin halus makin mudah bahana terdekomposisi
Metcalf & Eddy, 2004. b Peter & Brian, 2001.
c d
Sutanto, 2002. Haug, 1980.
13
i. Keseimbangan Nutrien (Rasio C/N) Menurut Sutanto (2002) parameter nutrien yang paling penting dalam proses pembuatan kompos adalah unsur karbon dan nitrogen. Dalam proses pengurai terjadi reaksi antara karbon dan oksigen sehingga menimbulkan panas (CO2). Nitrogen akan ditangkap oleh mikroorganisme sebagai sumber makanan. Apabila mikroorganisme tersebut mati, maka nitrogen akan tetap tinggal dalam kompos sebagai sumber nutrisi bagi makanan. Besarnya perbandingan antara unsur karbon dengan nitrogen tergantung pada jenis sampah sebagai bahan baku. Peter dan Brian (2001) mengatakan bahwa, perbandingan C dan N yang ideal dalam proses pengomposan yang optimum berkisar antara 25:1 sampai dengan 35:1, dengan rasio terbaik adalah 30:1. ii. Derajat Keasaman (pH) Nilai pH ideal dalam proses pembuatan kompos secara aerobik menurut Sutanto (2002), berkisar pada pH netral (6 – 9). Pada awal proses menurut Murbandono (1999), sejumlah mikroorganisme akan mengubah sampah organik menjadi asam-asam organik, sehingga derajat keasaman akan selalu menurun. Murbandono (1999) juga mengatakan, pada proses selanjutnya derajat keasaman akan meningkat secara bertahap yaitu pada masa pematangan, karena beberapa jenis mikroorganisme memakan asam-asam organik yang terbentuk tersebut. Derajat keasaman dapat menjadi faktor penghambat dalam proses pembuatan kompos, yaitu dapat terjadi apabila pH terlalu tinggi (di atas 8), unsur N akan menguap menjadi NH3. NH3 yang terbentuk akan sangat mengganggu proses karena bau yang menyengat. Senyawa ini dalam kadar yang berlebihan dapat memusnahkan mikroorganisme. Namun sebaliknya, jika pH terlalu rendah (< 6), kondisi menjadi asam dan dapat menyebabkan kematian jasad renik. iii. Suhu (Temperatur) Stainforth dan Garry (1989) mengatakan, proses biokimia dalam proses pengomposan menghasilkan panas yang sangat penting bagi
14
mengoptimalkan laju penguraian dan dalam menghasilkan produk yang secara mikroorganisme aman digunakan. Pola perubahan temperatur dalam tumpukan sampah bervariasi sesuai dengan tipe dan jenis mikroorganisme. Pada awal pengomposan menurut Metcalf dan Eddy (2004) seperti pada Gambar 3, temperatur mesofilik, yaitu antara 2545°C akan terjadi dan segera diikuti oleh temperatur termofilik antara 50-65°C. Temperatur termofilik dapat berfungsi untuk mematikan bakteri atau bibit penyakit baik patogen maupun bibit vektor penyakit seperti lalat dan mematikan bibit gulma karena suhu pencapaian tinggi. iv. Ukuran Partikel Ukuran partikel bahan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos harus sekecil mungkin menurut Metcalf dan Eddy (2004). Hal tersebut untuk mencapai efisiensi aerasi dan supaya lebih mudah dicerna atau diuraikan oleh mikroorganisme. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan yang dicerna sehingga pengurai dapat berlangsung dengan cepat. v. Kadar Air Bahan Menurut Sutanto (2002), kandungan air optimum sangat diperlukan dalam proses pengomposan. Kisaran kelembaban yang ideal adalah 50 – 60 %. Kelembaban yang optimum harus terus dijaga untuk memperoleh jumlah mikroorganisme yang maksimal sehingga proses pengomposan dapat berjalan dengan cepat. Apabila kondisi tumpukan terlalu lembab, tentu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena molekul air akan mengisi rongga udara sehingga terjadi kondisi anaerobik yang akan menimbulkan bau. Bila tumpukan terlalu kering (kelembaban kurang dari 40%), dapat mengakibatkan berkurangnya populasi mikroorganisme pengurai karena terbatasnya habitat yang ada (Pramatmaja, 2008). vi. Homogenitas Campuran Sampah Komponen sampah organik sebagai bahan baku pembuatan kompos perlu dicampur menjadi homogen atau seragam jenisnya, 15
sehingga diperoleh pemerataan oksigen dan kelembaban. Oleh karena itu kecepatan pengurai di setiap tumpukan akan berlangsung secara seragam (Pramatmaja,2008). vii. Aktifator Pengompos Aktifator pengompos menurut Sofyan (2006) merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman
yang
dapat
diaplikasikan
sebagai
inokulan
untuk
meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah dan tanaman, yang selanjutnya dapat meningkatkan kesehatan, pertumbuhan, kuantitas dan kualitas produksi tanaman. Aktifator pengompos dapat memfermentasikan bahan organik dan memanfaatkan gas serta panas dari proses pembusukan sebagai sumber energi.
C. SISTEM AERASI Menurut Nair (1982) dalam Aryanto dkk (2000), proses pengomposan aerobik membutuhkan oksigen untuk aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik. Aerasi diperlukan dalam proses pengomposan, karena berfungsi menyediakan oksigen untuk fermentasi aerob, mengontrol suhu kompos, membuang CO2, amonia, kelebihan air dan gas metabolik lainnya. Laju konsumsi oksigen sangat erat kaitannya dengan kelembaban dan umur bahan yang dikomposkan. Pasokan oksigen terhadap bahan yang didekomposisikan tidak dipengaruhi oleh bahan saja, tetapi juga frekuensi dan teknik pembalikan serta ketinggian timbunan. Ketinggian timbunan bahan yang diperbolehkan dalam pengomposan mengurangi tekanan berta bahan dasar kompos dan memperbaiki pasokan oksigen, paling tidak selama tahap pematangan (Sutanto, 2002). Aerator digunakan untuk mengalirkan udara ke dalam tumpukan. Aliran udara tersebut memiliki fungsi ganda, yakni sebagai sumber oksigen untuk proses metabolisme mikroorganisme dan untuk mengalirkan panas buangan yang dihasilkan mikroorganisme tersebut. Selain itu, dengan adanya aerator yang berupa terowongan menurut CPIS (1992) dalam Aryanto dkk. 16
(2000) dapat memungkinkan terjadinya pembuangan sisa proses metabolisme mikroorganisme seperti CO2 dan H2O.
D. KOMPOS Kompos merupakan bahan yang dihasilkan dari proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme yang dapat berguna bagi tanah pertanian seperti memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produktivitas tanaman menjadi lebih tinggi. Kompos umunya berbentuk senyawa organik kompleks yang lambat melepaskan unsur haranya. Hal ini dikarenakan mikroba tanah perlu waktu untuk menguraikan unsur hara sebelum unsur hara ini digunakan oleh tanaman, sehingga dalam penggunaanya perlu dicampur dengan tanah (Djaja Wilyan, 2008). Kompos menurut Wilyan (2008) dinilai baik karena dapat memberikan beberapa manfaat untuk tanah dan juga tanaman, antara lain: 1. Kompos memperkaya mikroba tanah. Di dalam kompos terdapat sejumlah mikroba, sehingga pemberian kompos berarti menambah atau memasukkan mikroba ke dalam tanah. 2. Kompos meningkatkan unsur hara tanah karena kompos mengandung unsur hara makro dan mikro yang penting bagi pertumbuhan tanaman. 3. Kompos dapat memperbaiki struktur tanah karena material seperti tanah. 4. Kompos dapat menyehatkan tanah dan tanaman karena tanaman memperoleh unsur hara yang cukup sehingga dapat tumbuh dengan baik dan sehat, sehingga tahan terhadap serangan penyakit.
E. KUALITAS KOMPOS Indonesia telah memiliki standar kualitas kompos, yaitu SNI 1970302004 dan Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006. Di dalam standard ini termuat batas-batas maksimum atau minimun sifat-sifat fisik, kimiawi atau biologi kompos. Secara umum standar tersebut dipaparkan pada Tabel di bawah ini.
17
Tabel 2. Standar kualitas kompos. Parameter Mutu Fisik
Biologi Kimia
Satuan
Warna
-
Bau
-
Kadar air pH Uji benih Rasio C/N Total N Total P Total K KTK
% % % % meq/100 g
Logam
%
Standar 1 Tidak berbau 55-65 5.5-7.5 Dapat < 35 0.2 > 0.5 > 0.3 70 -
Standar mutu Standar 2* Standar 3 Hitam Tidak Tidak berbau berbau Max 50% 6.8-7.5 4-8 10-25 10-25 0.4 0.1 <5 0.2 <5 Sangat rendah
1. 2.
Japan Bark Compost Association, JBCA 1993 SNI 19-7030-2004 3. KepMen No 02/pert/HK.060/2/2006 * Standar kualitas kompos yang digunakan sebagai pembanding
Untuk mengetahui seluruh kriteria kualitas kompos ini memerlukan analisa laboratorium. Standardisasi penting untuk kompos-kompos yang akan dijual ke pasaran. Standard ini menjadi salah satu jaminan bahwa kompos yang dijual benar-benar merupakan kompos yang telah siap diaplikasikan dan tidak berbahaya bagi tanaman, manusia, maupun lingkungan. Standar kualitas yang terkandung dalam kompos matang dapat ditingkatkan. Peningkatan kualitas kompos menurut Isroi (2008), dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain pengeringan, penghalusan, penambahan dengan bahan kaya hara, penambahan dengan mikroba bermanfaat, pembuatan granul, dan pengemasan. 1. Karakteristik Sifat Fisik a. Warna, Bau dan Kadar Air Warna merupakan sifat tanah yang nyata dan mudah dikenali (Foth, 1951; Purbayati, dkk, 1988). Kompos yang baik memiliki warna coklat gelap kehitaman (Peter & Brian, 2001). Sedangkan kadar air bahan merupakan presentase perbandingan antara berat air
18
dengan berat total padatan bahan. Secara umum standar sifat fisik kompos ditunjukkan pada Tabel 2. b. Ukuran Partikel, Tekstur dan Struktur Kompos adalah bahan organis yang merupakan salah satu unsur pembentuk tanah (Murbandono, 1999), maka sifat fisik kompos diuji layaknya tanah. Ukuran partikel tanah menurut Soetoto dan Aryono (1980) tidak dapat dinyatakan dalam ukuran linear tunggal. Hal tersebut dikarenakan partikel tanah tidak berbentuk seperti tanah atau suatu bola ataupun kubus. Ukuran butir tanah tergantung dimensi yang dapat diukur dan bagaimana cara pengukurannya
(Soetoto
&
Aryono,
1980).
Menurut
Notohadiprawiro (1998), berdasarkan ukuran partikelnya, tanah dibedakan atas 3 (tiga) fraksi utama, yaitu pasir, debu (lanau) dan lempung Lampiran 1. Untuk mengetahui standar ukuran partikel kompos, dapat dilihat Tabel di bawah ini. Tabel 3. Kualitas sifat fisik dan kimia kompos. Parameter Mutu No. 1. Warna a 2.
Bau a
3. 4. 5. 6. 7.
Kerapatan isi (bulk density) b Ukuran partikel a Kapasitas Tukar Kation (CEC) a Kapasitas Tukar Kation (CEC) c Kerapatan isi (bulk density) a
Standar Mutu Coklat tua kehitaman Berbau seperti tanah atau tidak berbau 0.4 - 1.3 g/cm3 < 12 mm > 60 meq/100g 25.54 meq/100g 0.5 - 0.7 g/cm3
a
Peter & Brian, 2001. Arif, 2009. c CPIS, 1992. b
19
Sama halnya dengan tanah, menurut Notohadiprawiro (1998), tekstur kompos merupakan kehalusan atau kekasaran bahan kompos pada perabaan berkenaan dengan berat antar fraksi tanah. Sedangkan, struktur kompos merupakan susunan zarah-zarah kompos
yang
membentuk
pola
keruangan.
Struktur
tanah
berdasarkan bentuknya menurut Notohadiprawiro (1998) dibedakan atas 2 macam, yakni struktur sederhana dan majemuk. Struktur sederhana dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kersai dan pejal, sedangkan struktur majemuk dibedakan lagi menjadi 5 macam, yaitu remah, granuler, gumpal, tiang dan lempeng. Menurut Sofyan (2006), kompos yang baik mempunyai struktur majemuk bentuk remah atau granuler dengan tekstur sedang. c. Nilai pH Reaksi tanah menurut Notohadprawiro (1998) dapat diartikan sebagai
parameter
yang
dikendalikan
kuat
oleh
sifat-sifat
elektrokimia koloid-koloid tanah. Istilah ini mengunjuk kemasaman atau kebasaan tanah, yang derajatnya ditentukan oleh kadar ion hidrogen dalam laruan bahan. Kadar ion H+ biasa dinyatakan dengan besaran pH. Nilai pH berkisar antar 0-14. Sama halnya dengan kompos, menurut Foth (1951) dalam Purbayanti, dkk (1988), kemasaman tanah merupakan salah satu sifat penting, karena terdapat hubungan antara pH dengan ketersediaan unsur hara (Lampiran 2) atau dengan semua pembentukkan dan sifat-sifat tanah. d. Kerapatan Isi (Bulk Density) dan Porositas Menurut
Notohadiprawiro
(1998),
ada
dua
pengertian
kerapatan , yaitu kerapatan jenis (real specifik gravity) dan kerapatan lindak (apperent specifik gravity). Kerapatan lindak disebut juga bulk
density
(BD)
menurut
Cahyono
(1986)
merupakan
perbandingan antara berat kompos kering dan volume total termasuk volume pori-pori kompos. Nilai yang direkomendasikan untuk
20
standar kerapatan media tanam yakni sebesar 0.4 - 1.3 g/cm (Arif, 2009) dan standar lainnya sebesar 500 - 700 kg/m3 (Peter & Brian, 2001). Nilainya berbanding terbalik dengan total ruang pori-pori. Semakin tinggi nilai BD maka semakin berat media tanam tersebut (Arif, 2009). Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kerapatan
isi
juga
mempengaruhi porositas. Porositas adalah volume bahan yang tidak ditempati oleh padatan dari suatu bahan (Cahyono, 1986; Baver, 1961). Porositas juga didefinisikan sebagai perbandingan antara volume rongga (Vv) dengan volume total (V), yang dinyatakan dalam suatu presentase (Hardiyatmo, 1992; Agustina, 2006). 2. Karakteristik Sifat Kimia Perilaku kimiawi tanah dapat ditakrifkan sebagai keseluruhan earksi fisikokimia dan kimia yang berlangsung antarpenyusun tanah dan antara penyusunan tanah (Bolt & Bruggenwert, 1978; Notohadiprawiro, 1998). Karakteristik sifat kimia pada kompos biasanya diuji melalui laboratorium. Secara garis besar mengenai standar kualitas sifat kimia dapat dilihat pada Tabel 2. a. Unsur Hara Menurut Foth (1951) dalam Purbayanti, dkk. (1988), unsurunsur yang pada umumnya dibutuhkan tanaman dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan pada jumlah yang dibutuhkan tanaman, yakni unsur makro dan mikro. Berikut Tabel yang menerangkan tentang peranan unsur hara tanaman. Tabel 4. Unsur-unsur mineral dan peranannya dalam tanaman. Kelompok Unsur Makro
Unsur Nitrogen (N) Fosfor (P)
Kalium (K)
Peranan Penyusun semua protein, klorofil, di dalam koenzim dan asam-asam nukleat. Bagian dari adenosin trifsfat untuk transfer enersi dan sebagai penyusun beberapa protein, koenzim, asam nukleat dan substrat metabolisme. Pengatur mekanisme fotosintesis, translokasi karbohidrat, sintesa protein, dan lain-lain.
21
Unsur Mikro
Kalsium (Ca) Magnesium Mangan (Mn) Besi (Fe) Tembaga Seng (Zn) Klorin (Cl)
Komponen dinding sel. Berperan dalam struktur dan permeabilitas membran. Penyusun klorofil dan enzim aktivator. Pengendali beberapa sistem oksidasi-reduksi dan pembentukkan O2 dalam fotosintesis. Sintesa klorofil dan enzim untuk transfer elektron. Katalisator untuk respirasi dan penyusunan enzim. Mengatur aktivitas metabolik dalam sistem enzim. Aktivator sistem untuk menghasilkan O2 dalam fotosintesis. Molibdenum memfiksasi nitrogen dalam nitrogenase.
Sumber : Purbayanti, dkk. (1988)
b. Rasio C/N Nisbah
C/N
berguna
sebagai
penanda
kemudahan
perombakan bahan organik dan jasad renik tanah. Apabila nisbah C/N terlalu besar, berarti kesediaan C sebagai sumber energi berlebihan menurut bandingannya dengan ketersediaan N bagi pembentukkan protein mikrobia, kegiatan jasad renik akan terhambat. Maka suatu nisbah C/N diatas 25:1 membuat laju mineralisasi bahan organik menjadi rendah, apabila tidak ada sumber
alternatif
N
yang
dapat
dimetabolismekan
oleh
mikroorganisme (ammonium dan nitrat). Nisbah C/N yang terlalu lebar juga dapat mengakibatkan penyematan N mineral tanah dalam jaringan mikrobia sehingga menjadi tak tersedia bagi tumbuhan. Nisbah rasio C/N sempit (< 10:1) dalam bahan organik mengunjukkan bahwa tingkat dekomposisi yang sudah lanjut dan tahan terhadap dekomposisi lebih lanjut (Notohadiprawiro, 1998). c. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kapasitas tukar kation menurut Notohadiprawiro (1998), merupakan kapasitas tanah menjerap dan mempertukarkan kation. KTK diukur menurut jumlah maksimum kation yang dapat dijerap tanah, dinyatakan dalam cmol (+).kg-1. Perubahan nilai KTK bergantung pada nilai pH. Makin tinggi pH, muatan negatifnya makin besar, berarti nilai KTK makin besar.
22
3. Karakteristik Sifat Biologi Kematangan kompos diuji dengan menggunakan tanaman. Pilih tanaman yang responsif dengan kualitas kompos dan mudah diperoleh, seperti: bayam, tomat, atau tanaman kacangkacangan. Tanah yang digunakan untuk pengujian adalah tanah marjinal. Kompos yang bagus ditandai dengan pertumbuhan tanaman uji yang lebih baik daripada perlakuan tanah saja (blangko) (Isroi, 2008).
23
III. METODOLOGI
A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini akan dilaksanakan selama kurang lebih 4 (empat) bulan mulai tanggal 9 Maret hingga 9 Juni 2009 di PUSPIPTEK Serpong; PTPN VIII Batulawang Ciamis, Jawa Barat; Laboratorium Kimia Departemen Ilmu Tanah IPB; dan Laboratorium Fisika dan Mekanika Tanah Departemen Teknik Pertanian IPB. B. ALAT DAN BAHAN Alat-alat yang digunakan saat pelaksanaan penelitian ini antara lain: a.
Termometer
l.
Masker
b.
pH meter
m. Timbangan
c.
Moisture Tester
n.
Gacok
d.
Emerat
o.
Plastik
e.
Sekop
p.
Sprayer
f.
Mini sekop
q.
Ember Plastik
g.
Troli
r.
Selotip
h.
Terpal
s.
Bambu.
i.
Paku
t.
Kalkulator.
j.
Palu
u.
Laptop
k.
Sarung tangan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari, limbah pencucian biji kakao terfermentasi, serasah daun, kotoran sapi dan mikroorganisme dekomposer. Limbah pencucian biji kakao terfermentasi yang merupakan bahan utama pada proses pengomposan, didapatkan dari PTPN VIII Batulawang, Ciamis, Jawa Barat. Serasah daun, kotoran sapi dan bioaktivator didapatkan di PUSPIPTEK Serpong.
24
C. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan Pelaksanaan penelitian akan dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan tersebut antara lain penelitian pendahuluan, penelitian utama, dan analisis kualitas kompos. Untuk memperjelas tahapan penelitian yang dilakukan, dapat dilihat pada Gambar 5. Limbah padat
Serasah Daun
Kotoran Sapi
Limbah cair saring dan endapannya
Penjemuran (Ka ±20%) Pencacahan
Pencacahan
Penjemuran (Ka = ± 15-20%)
Penjemuran (hingga kadar air mencapai ± 15-20 %)
Karakterisasi Bahan
Pencampuran, Homogenisasi dan analisis C/N Bahan
Pembagian bahan pengompos berdasarkan ketersediaan oksigen dan menambahkan aktivator pengompos. Kemudian, membagi lagi bahan pengompos aerob berdasarkan sistem aerasinya.
Metode 1. AAA (AAA)
Metode 2. AABB (AABB)
Metode 3. AABS (AABS)
Metode 4. Anaerob
Proses Pengomposan (selama proses berlangsung, dilakukan pengukuran suhu, kadar air dan pH; penambahan air (hari ke-8 dan 16) untuk kompos teraerasi; serta pembalikan (setiap 5 hari sekali). Penepungan dan Pengepakan
Kompos AAA
Kompos AABB
Kompos AABS
Kompos Anaerob
25
Uji Kualitas Kompos Selesai
Gambar 5. Bagan ailr proses penelitian. a. Penjemuran Penjemuran dilakukan karena bahan mengandung kadar air yang cukup tinggi. Bahan yang dijemur antara lain limbah pencucian biji kakao terfermentasi (limbah padat dan cair) dan kotoran sapi. Bahan kompos mula-mula dijemur hingga kadar air bahan mencapai 15-20%, agar bahan mudah disesuaikan dengan kondisi optimum pengomposan. Selain itu, untuk memudahkan proses pengecilan ukuran pada limbah padat. Mulamula limbah cair diambil endapan scum-nya. Scum merupakan endapan lendir yang telah mengambang. Kemudian, sisa limbah cair disaring dengan
saringan
yang
mempunyai
ketelitian
±0.05
mm
untuk
mendapatkan lendir basah. b. Pencacahan Bahan Pengompos Salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi proses pengomposan yakni, ukuran partikel bahan. Untuk mendapatkan ukuran bahan sesuai standar, yakni antara 2.5 hingga 4 cm (Metcalf & Eddy, 2004), maka dilakukan pencacahan pada serasah daun dan limbah padat kering. Pencacahan dilakukan dengan menggunakan mesin pencacah model MPO 850 HD. Motor penggerak memiliki daya 8.5PK dengan kapasitas pencacahan mencapai 600-700 kg/jam. c. Karakterisasi dan Penentuan Bobot Bahan Pengompos Tahapan penelitian selanjutnya, yakni melakukan karakteristisasi bahan pengompos. Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui nilai rasio C/N dan kadar air bahan sehingga sesuai dengan nilai optimum pengomposan (Tabel 1). Parameter yang diukur yakni kadar C, N dan air, masing-masing bahan. Kemudian, dilakukan penentuan jumlah bahan
26
organik yang akan dicampurkan melalui persamaan menurut Indrasti, dkk (2005), sebagai berikut: % % % % Dimana: % C = Kadar karbon %N
25 35 .........................(1)
= Kadar nitrogen
Penggunaan pendekatan rumus ini adalah untuk menentukan perbandingan bobot bahan karbon organik dan sumber nitrogen agar didapatkan nilai C/N yang ideal dalam proses pengomposan. d. Pencampuran dan Homogenisasi Bahan Bobot bahan baku kompos yang telah sesuai dengan perhitungan formulasi diatas, kemudian dicampurkan. Pencampuran bahan dilakukan agar didapatkan nilai rasio C/N optimum untuk memperlancar jalannya proses pengomposan. Serasah daun dan kotoran sapi dicampur terlebih dahulu, lalu ambil sampel campuran bahan homogen secara komposit. Kemudian dilakukan penambahan limbah pada bahan awal dan dicampur hingga homogen, lalu ambil sampel campuran bahan akhir secara komposit. Pengambilan pada kedua sampel dilakukan untuk mengetahui nilai C/N sesungguhnya melalui analisis laboratorium. e. Pembagian Bahan Berdasarkan pengaruh ketersediaan oksigen, maka bahan pengompos dipisahkan menjadi 2 bagian, yakni aerob dan anaerob, dengan perbandingan 1 : 4, dalam satuan kilogram. Kemudian, bahan kompos aerob diberikan aktivator cair, sedangkan bahan kompos anaerob diberikan aktivator kering, berbetuk remah seperti tanah. Berdasarkan pengaruh sistem aerasinya, kegiatan pengomposan aerobik dilakukan dengan menggunakan metode windrow teraerasi. Adanya perlakuan tersebut maka bahan kompos aerob dipisahkan menjadi 3 bagian, antara lain kompos AAA, AABB dan AABS. Pada masing27
masing metode dilakukan dengan 2 kali ulangan. Dengan total pemisahan bahan menjadi 6 bagian. i.
Metode Aerob Aerasi Alami (AAA) Pengomposan AAA merupakan pengomposan dengan bantuan oksigen dengan sirkulasi alami. Pada metode pengomposan ini, tidak diberikan alat bantu sehingga sirkulasi udara terjadi alami, maka disebut sistem pengomposan aerob aerasi alami (AAA). Dimensi sistem pengomposan AAA, yakni panjang x lebar x tinggi, sebesar 0.7 m x 0.6 m x 0.5 m (Lampiran 3).
ii.
Metode Aerob Aerasi Bambu Berlubang (AABB) Berbeda dengan pengomposan AAA, sistem pengomposan AABB merupakan pengomposan dengan bantuan oksigen, namun sistem aerasi dibantu dengan alat berupa bambu yang dilubangi. Dimensi sistem pengomposan terlampir pada Lampiran 4. Bambu pengomposan AABB (Gambar 6a dan 6b), mempunyai celah berbentuk lubang elips berdiameter ± 1-3 cm yang dibentuk dari bambu utuh dengan jarak antar lubang mencapai 15 cm berselang atas bawah memiliki panjang 90 cm, yang jumlahnya mencapai 7 lubang dalam 1 bambu seperti yang terlihat pada Gambar dibawah.
90 cm
15 cm Gambar 6a. Bambu aerasi AABB
Gambar 6b. Celah udara pada pengomposan AABB.
28
iii.
Metode Aerob Aerasi Bambu Segitiga (AABS) Sistem pengomposan AABS merupakan pengomposan dengan bantuan oksigen, namun sistem aerasi dibantu dengan alat berupa bambu yang dilubangi. Dimensi sistem pengomposan terlampir pada Lampiran 5. Alat bantu pengomposan AABS (Gambar 7a dan 7b), dibuat dengan panjang 90 cm, jumlah celah keseluruhan mecapai 68 celah dan memiliki panjang kali lebar sebesar ± p x l = 3 x 1 cm2.
p 20 cm 90 cm
p
l = 1 cm Gambar 7a. Bambu aerasi AABS
iv.
Gambar 7b. Celah ulara pada pengomposan AABS.
Metode Anaerob Aplikasi pengomposan anaerob ditempatkan pada sebuah ember berukuran ± 100 L yang tertutup dan diisolasi rapat disekeliling tutup ember, lalu disambung dengan pipa berdiameter 1 inchi serta mempunyai panjang 30 cm (Gambar 8). Pipa tersebut dipasang memanjang vertikal pada tengah tutup ember. Lubang ujung atas pipa diselotip sebagian namun tidak terlalu rapat. Hal ini dilakukan untuk mengkondisikan ruangan tanpa oksigen.
29
Gambar 8. Tempat pengompos anaerob (sketsa pada Lampiran 6). Bahan dimasukkan ke dalam ember hingga ±7/8 bagian ember. Untuk memperjelas dimensi aplikasi sstem pengomposan anaerob, dapat dilihat sketsa Lampiran 6. Pemberian ruang ini dan juga penyambungan ember dengan pipa terselotip sebagian, dilakukan untuk menjaga agar gas metan yang tak tertahan dalam bahan dapat dengan mudah keluar ke lingkungan. Aplikasi pengomposan anaerob dilakukan dengan 2 kali ulangan. 2. Penelitian Utama dan Analisis Laju Proses Pengomposan a. Proses Pengomposan Pada proses pengomposan dilakukan pengumpulan data primer berupa data pengukuran parameter proses pengomposan. Pengukuran dilakukan secara langsung terhadap suhu, pH dan kadar air pengomposan, dengan tujuan untuk mengetahui laju proses pengomposan. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer. Sedangkan pengukuran pH dilakukan dengan pH meter dan kadar air diukur dengan menggunakan alat mouisture tester. Parameter suhu diukur setiap hari pada pukul 10.00 WIB. Pengukuran nilai pH dilakukan setiap 5 hari sekali, sedangkan pengukuran kadar air dilakukan 2 hari sekali pada pukul 10.00 WIB. Selama proses pengomposan berlangsung, pada kompos aerob teraerasi dilakukan penambahan air, bila kadar air hampir < 50%. Pada kompos AAA dilakukan pembalikan kompos setiap selang 5 hari. 30
Setelah proses pengomposan selesai, analisis segera dilakukan untuk mengetahui perubahan parameter pengomposan terhadap waktu (laju pengomposan).
Untuk
mempermudah
dalam
menganalisis
laju
pengomposan, maka dibuat data hasil berupa grafik, berdasarkan masingmasing parameter. b. Uji Kualitas Kompos Untuk melihat kualitas produk kompos yang dihasilkan, terdapat beberapa kriteria yang perlu diamati dan diukur melalui uji kualitas sifat fisik, kimia dan biologi. Namun, pengujian yang dilakukan hanya uji sifat fisik dan kimia dikarenakan uji sifat biologi membutuhkan waktu lama. i. Uji Kualitas Fisik Uji kualitas fisik terhadap hasil kompos penelitian dilakukan di laboratorium Fisika Tanah, Departemen Teknik Pertanian, IPB antara lain warna, bau, ukuran partikel, struktur, kadar air akhir, kerapatan isi (bulk density) dan porositas. (a) Warna dan Bau Uji warna terhadap hasil kompos penelitian, dilakukan dengan menggunakan indera penglihatan. Penggunaan metode langsung melalui indera ini dikarenakan metode termudah untuk mengenali warna kompos. Sedangkan uji bau juga dilakukan dengan cara yang sederhana, yakni menggunakan indera penciuman. (b) Ukuran Partikel, Tekstur dan Struktur Ukuran partikel kompos diketahui dengan menggunakan metode analisa ayakan (Lampiran 5). Alat penyaring yang digunakanuntuk mengayak kompos mempunyai ukuran saringan (mesh number) 4.76, 2, 0.84, 0.42, 0.25, 0.105, 0.075 mm. Kompos adalah bahan organis yang merupakan salah satu unsur pembentuk tanah (Murbandono, 1999), sehingga ukuran partikel ataupun tekstur kompos ditentukan berdasarkan klasifikasi fraksi tanah (Tabel 4). Sedangkan
struktur
kompos
hasil
penelitian,
diuji
dengan
31
mengunakan indera peraba dan juga didasarkan atas hasil ukuran partikel yang dominan. (c) Kadar Air Akhir Kadar air akhir dihitung dengan menggunakan metode oven melalui persamaan menurut Asep, dkk (1990) yang dijelaskan sebagai berikut : M
=
W - S .............................................................................. (2)
100% ..................................................................... (3)
Dimana :
W = Berat kompos basah (g) S
= Berat kompos kering (g)
M = Berat air (g) Mo = Kadar air basis kering kompos (%) (d) Kerapatan Jenis (Bulk Density) dan Porositas Pengukuran bulk density (BD) dilakukan pada contoh kompos utuh dimana berat isi merupakan berat kompos kering oven yang terdapat dalam volume kompos utuh. Tata cara pengambilan contoh kompos dapat dilihat pada lampiran 5. Untuk mengetahui nilai BD dan porositas kompos, maka harus diketahui terlebih dahulu berat piknometer dan air destilasi pada suhu ToC (ma) dengan persamaan berikut (Asep, dkk, 1990): ma = "
#$%&' ($)*+ &*% ,&-& . / 0
#$%&' 1 &*% ,&-& . 2 / 0
Dimana :
3 45 4 ........(4)
ma' = Berat piknometer dan air destilasi pada kalibrasi dengan suhu T' oC (g) mf = Berat piknometer kosong (g)
Setelah diketahui berat piknometer dan air destilasi pada suhu ToC, maka dapat diketahui berat jenis partikel pada ToC (Gs) dengan persamaan sebagai berikut menurut Asep, dkk (1990):
32
Gs (ToC ) =
6+ ......................................................(5) 6+ 7 6&869
Dimana :
ms = Berat kompos kering oven di piknometer (g) ma = Berat piknometer dan air pada ToC (g) mb = Berat kompos, air dan piknometer pada ToC (g)
Kemudian dapat diketahui volume padatan (Vs), dengan persamaan sebagai berikut (Asep, dkk, 1990): Vs =
:8;
<+8=
Dimana :
...............................................................................(6)
W = Berat total kompos dalam ring sampel (g) V
= Volume padatan terukur pada three phases meter
Dengan demikian dapat diketahui nilai bulk density (BD) dan porositas (P) dengan persamaan menurut Asep, dkk (1990): BD = S / Vs ..................................................................................(7) P = 100 - Vs .................................................................................(8) ii. Uji Kualitas Kimia Uji kualitas kimia dilakukan di laboratorium kimia tanah Departemen Ilmu tanah, IPB oleh teknisi. Uji kualitas sifat kimia meliputi komposisi hara makro (N, P, K), nisbah C/N, kapasitas tukar kation (KTK) dan pH. Prosedur uji kualitas kimia dapat dilihat pada Lampiran 2. 3. Analisis Kualitas Kompos Analisis juga diperlukan untuk mengetahui metode pengomposan terbaik berdasarkan hasil uji kualitas, baik secara fisik maupun kimia yang telah dibandingkan dengan standar kompos yang ada. Untuk mempermudah dalam menganalisis kualitas kompos, maka peneliti akan membuat data hasil kualitas kompos berupa grafik dan juga tabel. Analisis kualitas fisik kompos dilakukan di laboratorium mekanika tanah Departemen Teknik Pertanian, sedangkan kualitas kimia kompos diuji di laboratorium kimia tanah Departemen Ilmu tanah, IPB.
33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Pendahuluan Bahan yang mengandung nutrisi karbon (C) dan nitrogen (N) merupakan bahan yang paling utama dibutuhkan dalam proses pengomposan. Menurut Gaur (1983), unsur karbon merupakan sumber energi dan unsur nitrogen merupakan zat pembentuk protoplasma. Sedangkan penggabungan dari kedua unsur tersebut, dapat terbentuk sel pada mikroorganisme yang dapat memperbanyak jumlahnya selama proses pengomposan. Maka dari itu, salah satu faktor penting pada proses pengomposan yaitu nilai rasio C/N awal bahan. Selain nilai rasio C/N, kadar air dari masing-masing bahan yang akan dikomposkan juga turut ditentukan. Pada dasarnya, kondisi lembab dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang. Namun, kadar air dalam bahan harus sesuai dengan standar pengomposan karena dapat menimbulkan bau akibat pembusukan jika berlebihan. Dalam hal ini, proses penjemuran diperlukan untuk mengurangi kadar air limbah dan kotoran sapi (Gambar 9). Limbah cair dan kotoran sapi dijemur selama 5 hari untuk mencapai kadar air ± 15-20%, dengan kondisi cuaca cerah.
Endapan Terlarut
Limbah Padat
Kotoran Sapi
Gambar 9. Proses penjemuran limbah dan kotoran sapi.
34
Faktor lain yang menentukan laju proses pengomposan, yakni ukuran partikel bahan (pencacahan). Pencacahan dilakukan setelah penjemuran limbah padat hingga kadar airnya mencapai ± 20%, sehingga membutuhkan waktu 4 hari. Bahan yang dicacah antara lain limbah padat dan sersah daun. Pencacahan bertujuan mempercepat proses pengomposan karena material pengomposan lebih cepat terurai. Mesin pencacah (Gambar 10a dan 10b) dan hasil cacahannya (Gambar 11a dan 11b) dapat dilihat di bawah ini.
Gambar 10a. Mesin pencacah.
Gambar 11a. Hasil cacahan limbah
Gambar 10b. Mata pisau mesin pencacah.
Gambar 11b. Hasil cacahan serasah daun.
Setelah dilakukan pengukuran pada hasil cacahan, ternyata menghasilkan ukuran bahan maksimal 3 cm. Hal ini telah sesuai dengan standar yang disebutkan pada Tabel 1. Selanjutnya, untuk bahan limbah padat, dilakukan penjemuran kembali selama 6 jam agar kadar airnya mencapai ± 15-20%.
35
Penentuan nilai C/N dan kadar air dilakukan pada limbah pencucian biji kakao terfermentasi baik padat maupun cair yang telah dikeringkan, serasah daun dan kotoran sapi (Gambar 12) setelah proses pencacahan bahan.
Limbah Padat
Serasah Daun
Kotoran Sapi
Limbah cair
Gambar 12. Bahan yang akan dikomposkan. Adapun hasil laboratorium penentuan rasio C/N dan kadar air yang didapatkan, dipaparkan pada Tabel berikut. Tabel 5. Analisis bahan yang dikomposkan. No. 1.
2.
3. 4.
Bahan Organik Limbah padat hasil pencucian biji kakao terfermentasi yang telah dijemur. Limbah cair hasil pencucian biji kakao terfermentasi yang telah dijemur. Serasah daun Kotoran sapi
C (%)
N (%)
C/N
Kadar Air (%)
52.43
2.84
18.46
14.42
53.95
2.62
20.59
13.44
52.80 31.76
1.24 1.13
42.58 28.11
14.10 35.29
Tabel 5 menunjukan, bahwa limbah padat yang dihasilkan pada proses pencucian biji kakao terfermentasi, memiliki kandungan nitrogen yang tertinggi dengan rasio C/N terendah yang merupakan sumber nitrogen. Begitu juga dengan limbah cair dan kotoran sapi, yang mempunyai nilai rasio C/N rendah, akan menjadi sumber nitrogen pada proses pengomposan. Sedangkan, serasah daun menjadi sumber energi bagi mikroorganisme dengan nilai rasio
36
C/N tertinggi. Pencampuran keempat bahan diatas, dilakukan untuk penstabilan rasio C/N bahan yang sesuai dengan standar pengomposan. Kebutuhan bahan pengompos yang cukup banyak pada penelitian ini, membuat penambahan serasah daun cukup banyak. Dengan demikian, kebutuhan sumber nitrogen pun turut meningkat. Bahan limbah yang tersedia pun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan akan nitrogen, sehingga penambahan kotoran sapi menjadi alternatif pilihan peneliti. Perbandingan komposisi bahan baku pengomposan yang tepat, ditentukan melalui formulasi nilai rasio C/N. Ketepatan perbandingan bobot terhadap bahan yang dikomposkan, diduga dapat memacu aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik. Hal ini dikarenakan kebutuhan nutrisi dapat tercukupi bagi mikroorganisme sehingga kompos yang dihasilkan dapat memenuhi kualitas kompos yang diinginkan. Penentuan nilai rasio C/N awal yang digunakan untuk mencapai keadaan optimum pengomposan yakni rentang akhir nilai 25 - 35 (Peter & Brian, 2001), yakni sebesar 35. Perbandingan bobot limbah tidak diikutsertakan karena bobot limbah yang telah dikeringkan terlalu sedikit, walaupun terlihat dalam jumlah cukup banyak. Perbandingan bobot yang digunakan hanya serasah daun dengan kotoran sapi. Perbandingan bobot serasah daun (X) dengan kotoran sapi (Y) dihitung dengan rumus : 52.8 @ 31.76 C 25 35 1.24 @ 1.13 C Untuk mendapatkan C/N tersebut, maka perbandingan serasah daun dan kotoran sapi yang digunakan adalah 1 : 3. Aplikasi pencampuran serasah daun dan kotoran sapi yang dikomposkan adalah 75 : 225 dalam satuan kilogram. Pencampuran kemudian yakni limbah yang telah dikeringkan, sejumlah 0.5 kg untuk limbah cair dan 2.5 kg untuk limbah padat. Tabel 6 di bawah ini merupakan paparan pembuktian hasil komposisi bahan setelah proses homogenisasi.
37
Tabel 6. Komposisi bahan pada awal pencampuran. Bahan Organik
C (%)
N (%)
C/N
36.70
1.09
33.7
Kadar Air (%)
Limbah pencucian biji kakao terfermentasi, serasah daun,
54.6
kotoran sapi dan air. Tabel 6 menunjukan, bahwa setelah proses homogenisasi, dengan perbandingan bobot aplikasi yang digunakan menghasilkan rasio C/N yang sesuai standar dan siap untuk dikomposkan. Tahapan penelitian selanjutnya, yakni pemisahan bahan sesuai perlakuan. Pemisahan perlakuan pertama, dilakukan untuk mengetahui pengaruh akibat ketersediaan oksigen pada sistem pengomposan. Satu bagian, yakni 60 kg untuk perlakuan anaerob, ditambah 1.5 kg mikroba anaerob. Kemudian sisanya, yakni 4 (empat) bagian untuk perlakuan aerob sebessar 240 kg, ditambah dengan 0.25 L mikroba aerob. Aplikasi pengomposan anaerob dilakukan dengan 2 kali ulangan, sehingga berat maksimal masing-masing ember, sampai bahan tertampung ± 7/8 bagian adalah sebesar ± 15 kg/ember. Pemisahan perlakuan kedua dilakukan untuk mengetahui pengaruh akibat aplikasi pada sistem aerasi yang berbeda pada pengomposan aerob. Aplikasi pengomposan dibagi menjadi 3 perlakuan sistem dengan 2 kali ulangan. Berat masing-masing, yakni 40 kg/sistem.
B. Penelitian Utama dan Analisis Laju Proses Pengomposan 1. Suhu Indikator kontrol utama pada aktivitas mikroorganisme selama proses degradasi bahan organik, yakni suhu. Bila suhu yang dicapai sesuai dengan suhu optimum mikroorganisme, maka proses pengomposan akan berjalan secara optimal pula. Suhu optimum proses pengomposan pada berkisar antara 35-55oC (Haug, 1980). Perubahan suhu pada proses pengomposan limbah hasil proses pencucian biji kakao terfermentasi dapat dilihat pada Gambar 13.
38
50
Suhu (oC)
45 40 35 30 25 0
10
20
30
40
50
Hari KeAerob Aerasi Alami
Aerob Aerasi Bambu Berlubang
Aerob Aerasi Bambu Segitiga
Anaerob
Gambar 13. Grafik perubahan suhu selama proses pengomposan. Berdasarkan Gambar 13, suhu pengomposan rata-rata cenderung naik sampai hari ke-3 pada setiap metode. Kemudian cenderung menurun hingga mencapai keadaan suhu lingkungan mulai hari ke-21. Suhu optimum yang dicapai selama proses pengomposan, berkisar antara 38.8-45.5 oC. Dengan melihat hal tersebut, maka suhu optimum pengomposan telah sesuai dengan standar pada Tabel 1 menurut Haug (1980). Pada perlakuan anaerob, dicapai suhu tertinggi, yakni mencapai 45.5oC. Hal ini dikarenakan proses pengomposan dilakukan dalam bak tertutup sehingga panas yang dikeluarkan bahan organik tertahan di dalam ember. Sedangkan pada perlakuan aerob, terutama pada AAA, suhu optimum yang dicapai sebesar 43oC lebih kecil dibandingkan pengomposan secara anaerob. Hal ini disebabkan karena pengomposan aerob dilakukan dalam kondisi terbuka, sehingga panas yang dihasilkan pada permukaan kompos, ada yang ikut terbuang bersama udara. Adanya tambahan alat aerasi berupa bambu, membuat capaian suhu optimum hanya sebesar 38.8oC untuk AABS dan 39.5oC untuk AABB. Sedangkan, Suhu maksimum termofilik menurut Isroi (2008), yakni diatas 45oC hingga 70 oC, tidak tercapai. Hal ini disebabkan karena adanya lubang aerasi tambahan, baik di tengah maupun pada sela-sela gundukan. Menurut Indrasti, dkk. (2005), Tidak tercapainya suhu diatas 60oC, dapat 39
memungkinkan masih tersisanya bakteri patogen, parasit dan larva. Selain itu, dimensi gundukan yang terlalu kecil, ditambah dengan celah aerasi yang cukup banyak, membuat panas hasil proses dekomposisi tidak tertahan dan ikut terbawa bersama udara. Hal ini membuat masa panas yang dihasilkan pada masing-masing proses pengomposan pun berbeda-beda. Menurut Stainforth & Garry (1989), masa panas dengan suhu 35-59oC pada metode aerob lebih panjang dari pada anaerob. Sama halnya pada penelitian ini, bahwa masa panas metode aerob dihasilkan selama rentan waktu makimal 7 hari sedangkan metode anaerob, maksimal 4 hari. Aktivitas
mikroorganisme
akan
meningkat
seiring
dengan
meningkatnya suhu pengomposan (Higa, 1990; Pramatmaja, 2008). Mikroorganisme yang beraktivitas selama proses pengomposan dapat tumbuh dan berkembang. Berdasarkan Gambar 3, dalam kondisi suhu optimum, pada perlakuan anaerob, mikroorganisme termofilik dapat berperan, karena mikroorganisme tersebut dapat tumbuh dan berkembang pada suhu > 45oC. Sedangkan pada perlakuan aerob, mikroorganisme yang berperan besar selama proses pengomposan yaitu hanya mikroorganisme mesofilik, karena suhu < 45oC. Semakin tinggi aktivitas mikroorganisme, maka semakin besar pula panas yang dihasilkan melalui metabolisme mikroorgansime yang dilepaskan di dalam kompos, dan suhu pengomposan pun mengalami peningkatan. Suplai
oksigen
yang
cukup
akan
meningkatkan
aktivitas
mikroorganisme sehingga dapat mempercepat proses degradasi (Murbandono, 1999). Terjadinya peningkatan aktivitas mikroorganisme, maka kebutuhan mikroorganisme aerob akan
oksigen
pun meningkat untuk
proses
metabolisme sehingga selama proses pengomposan perlu dilakukan pembalikan kompos. Proses pembalikan yang dilakukan setiap selang 5 hari pada pengomposan AAA, tidak membuat peningkatan suhu. Hal ini diduga suplai oksigen ke dalam bahan cukup merata, sehingga suhu pengomposan setelah proses pembalikan cenderung menurun. Sedangkan, metode AABB dan segitiga tidak mengalami proses pembalikkan. Hal ini dikarenakan sudah tercukupinya ruang aerasi. Suhu proses pengomposan secara global mulai
40
stabil pada kisaran suhu lingkungan, yakni sejak hari ke-21. Suhu yang dicapai berkisar antara 26.5-28oC. Dalam kondisi suhu kompos yang telah mencapai kisaran suhu lingkungan ideal yakni 25-27oC (Sutanto, 2002), maka kompos dikatakan berada pada tahap pematangan. 2. Nilai pH Tingkat keasaman atau nilai pH kompos juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh selama proses pengomposan. Nilai pH tercatat fluktuatif selama proses pengomposan. Hal ini menunjukan adanya aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik dan melakukan metabolisme. Proses perubahan pH pada saat proses pengomposan berlangsung dapat dilihat pada Gambar 14. 7,6 Aerob Aerasi Alami
7,4 7,2
Aerob Aerasi Bambu Berlubang
pH
7 6,8 6,6
Aerob Aerasi Bambu Segitiga
6,4
Anaerob
6,2 0
10
20 30 Hari Ke-
40
50
Gambar 14. Grafik perubahan pH selama proses pengomposan. Berdasarkan Gambar 14, selang nilai pH yang terbentuk secara global, mulai dari 6.4 sampai 7.2 pada akhir pengomposan. Hal ini telah sesuai dengan standar pengomposan menurut Sutanto (2002), yang menyebutkan nilai pH proses pengomposan berkisar antara 6-9. Pada awal proses pengomposan, nilai pH cenderung menurun pada setiap perlakuan sampai hari ke-5, dengan selang nilai pH antara 6.4-6.5. Hal ini menunjukan adanya aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik.
Derajat
keasaman
akan
selalu
turun
karena
sejumlah
41
mikroorganisme mengubah bahan organik menjadi asam organik (Mc.bean, 1995; Setiawati, 2001). Selama proses pengomposan sampai akhir fase pematangan, juga terjadi peningkatan nilai pH yang diperlihatkan setelah hari ke-5 hingga tahap akhir pengomposan. Namun, terkecuali pada pengomposan anaerobik yang masih menunjukan nilai pH yang sama seperti pada hari ke-5 di hari ke-10. Nilai pH pada pengomposan anaerobik setelah hari ke-10 pun akhirnya juga menunjukan adanya peningkatan sampai dengan keadaan netral. Adanya peningkatan nilai pH hingga akhir proses pengomposan, disebabkan oleh terbentuknya NH3 selama proses dekomposisi yang bersifat basa. Selain itu, disebabkan juga oleh pengkonversian asam-asam organik mejadi CO2 serta sumbangan kation-kation basa hasil mineralisasi bahan organik sehingga pH kembali netral (Andhika, 2003). Peningkatan nilai pH pada pengomposan anaerobik yang berjalan lebih lambat, diduga disebabkan oleh kadar air yang tinggi pada bahan. Hal ini yang kemudian membuat keadaan menjadi lembab sehingga mendukung terjaganya suasana asam dalam bahan kompos. Adanya perlakuan aerasi yang berbeda, juga membuat peningkatan pH agak lambat. Hal
ini
dikarenakan
aktivitas
mikroorganisme
berkurang
seiring
berkurangnya suhu pengomposan. Nilai pH yang cenderung stabil yang terlihat pada hari ke-40 hingga hari ke-43 pada pengomoposan dengan nilai pH pada rentan 6.8-7.2. Hal ini diduga karena mikroorganisme yang ada dalam proses pengomposan berada pada fase stasioner, dimana aktivitas degradasi akan stabil sehingga panas yang dihasilkan cenderung stabil (Gumbira-Said, 1987; Noor, E., dkk, 2005). 3. Kadar Air Bahan Faktor pengontrol laju pengomposan selain suhu dan pH yakni kadar air (Said, E.gumbira, Darwis, T., Maarif, M.S., 1987). Pada proses pengomposan secara aerob, kadar air yang baik dijaga pada kisaran 40-65% (Ryak, dkk., 1992; Wilyan Djaja, 2008). Sedangkan pada proses pengomposan secara anaerob kadar air dijaga pada kisaran 60-80%. Gambar dibawah ini merupakan perubahan kadar air selama proses pengomposan.
42
Kadar Air (%)
90 80 70 60 50 40 30 0
10
20
Penyiraman kompos dengan air
30 Hari Ke-
40
50
Aerob Aerasi Alami (AAA)
Aerob Aerasi Bambu Berlubang (AABB)
Aerob Aerasi Bambu Segitiga (AABS)
Anaerob
Gambar 15. Grafik perubahan kadar air selama proses pengomposan. Berdasarkan Gambar 15, pada proses pengomposan secara aerobik, kadar air terus menerus menunjukan penurunan. Penurunan kadar air yang terjadi selama proses pengomposan aerob, disebabkan oleh konsumsi mikroorganisme akan air dan adanya aktivitas pembalikan atau pengadukan. Diduga mikroorganisme membutuhkan asupan air dalam melakukan reaksi enzimatik untuk mengubah protein dari bahan organik sehingga dapat diuraikan menjadi senyawa yang lebih sederhana yang dapat diserap tanaman seperti ammonium (NH4+), nitrat (NO3-) dan nitrit (NO2-). Sedangkan, aktivitas pembalikkan dilakukan agar kompos matang secara homogen. Namun, pembalikkan menimbulkan penguapan kadar air ke udara. Selain itu, penguapan juga terjadi akibat panas yang ditimbulkan. Adanya perlakuan aerasi yang dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yakni AAA, bambu berlubang dan bambu segitiga, memperlihatkan perbedaan pada nilai kadar air yang ada pada bahan (Gambar 15). Kompos AAA mempunyai kadar air lebih besar. Hal tesebut ditunjukan pada grafik kadar air AAA yang berada di atas aerasi buatan dari bambu. Bentuk sistem pengomposan AAA (Gambar 16a), tidak memiliki celah pertukaran udara di bagian tengah sistem, sehingga permukaan kompos langsung berhubungan dengan udara ambien. Hal tersebut membuat kehilangan air yang terjadi dalam sistem tidak terlalu
43
signifikan. Sedangkan sistem pengomposan aerasi berlubang (Gambar 16b), memiliki celah udara, sehingga terdapat ruang tambahan menguapkan air.
Gambar 16a. Pengomposan AAA
Gambar 16b. Pengomposan AABS
Gambar 16c. Pengomposan AABB
Pada Gambar 15 pula, dapat dilihat bahwa kompos AABB mempunyai grafik garis kadar air diatas AABS. Kehilangan air yang berlebih pada pengomposan AABS (Gambar 16c), dikarenakan celah yang digunakan sebagai ruang pertukaran udara lebih banyak di bagian tengah sistem, daripada AABB. Kendati lubang dalam jumlah cukup banyak, pada kompos AABB (Gambar 16b), diduga tidak menguapkan air berlebih. Hal ini dikarenakan, pertukaran udara terjadi di dalam lubang gorong-gorong bambu yang sempit dan jumlah celah udara lebih sedikit dibandingkan dengan sistem pengomposan AABS. Selain itu, sistem aerasi pengomposan bambu segitiga, diduga juga dipengaruhi oleh faktor angin, yang dapat dengan mudah masuk karena gorong-gorong lebih besar. Dengan demikian, air lebih banyak menguap. Penjelasan ini menunjukan, bahwa adanya pengaruh aerasi yang berbeda-beda, memberikan pengaruh pada penurunan kadar air suatu bahan yang dikomposkan. Untuk mengatasi penurunan kadar air pada perlakuan aerob, maka dilakukan penambahan air. Penyiraman menggunakan air sebanyak ± 0.5 liter untuk perlakuan AAA dan ± 1 liter pada perlakuan aerob aerasi buatan pada
44
hari ke-8 dan 16. Adanya penyiraman, membuat peningkatan kadar air yang signifikan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kadar air pengomposan aerob pada kisaran 40-60%. Perlakuan penambahan air dilakukan karena kadar air minimum yang terukur, tercatat kurang dari 53% dan melihat secara kasat mata bahwa keadaan kompos kering. Perlakuan penambahan air hanya dilakukan pada pengomposan aerobik. Hal ini dikarenakan kandungan air dalam bahan kompos aerobik mudah hilang karena penguapan akibat panas, pengadukan dan konsumsi mikroorganisme untuk mengkonversi protein. Pada pengomposan anaerobik, kandungan air dalam bahan kompos tercatat terus mengalami kenaikkan, mulai dari 52% hingga mencapai 83%. Hal ini dikarenakan, keadaan sistem tertutup tanpa udara masuk yang diaplikasikan pada pengmposan anaerob, membuat keadaan sistem menjadi lembab akibat terjadinya pengembunan. Pada pengomposan anaerob, mikroorganisme di dalam sistem, diduga juga beraktivitas dalam melakukan reaksi enzimatik. Sedangkan penurunan secara drastis yang terjadi pada perlakuan anaerob pada hari ke-43 disebabkan oleh penjemuran karena keadaan kompos sangat lembab. Dengan demikian, adanya suplai oksigen pun, yang diaplikasikan melalui metode aerob dan anaerob, memberikan pengaruh laju perubahan kadar air. Jika jumlah udara yang masuk kedalam sistem semakin sedikit, maka semakin tinggi kadar air yang dihasilkan, sehingga kompos semakin lama matang karena kondisi semakin lembab. Pada penelitian ini, metode AAA dinilai lebih baik. Hal ini dikarenakan kadar air tidak cepat berkurang ataupun berlebih, sehingga kompos pun akan cepat matang karena kebutuhan mikroorganisme akan air terkontrol. Dengan demikian, semakin banyak celah udara maka laju penguapan uap air akan semakin besar dan semakin tidak adanya celah udara maka diduga laju pengembunan semakin tinggi sehingga kadar air bahan semakin tinggi dan kompos pun semakin lama matang. 4. Nilai Rasio C/N Laju dekomposisi bahan organik menjadi kompos matang tergantung dari beberapa faktor salah satunya adalah Rasio C/N (Simamora, 2006).
45
Unsur karbon diperlukan mikroorganisme sebagai sumber energi dan nitrogen diperlukan untuk membentuk sel. Nilai C/N rasio yang diperoleh selama proses pengomposan berlangsung, tercatat mengalami penurunan setiap minggunya (Gambar 17).
36
Aerob Aerasi Alami
Rasio C/N
34
Aerob Aerasi Bambu Berlubang
32 30
Aerob Aerasi Bambu Segitiga
28
Anaerob
26 24 0
1
2 3 Minggu Ke-
4
5
Gambar 17. Grafik perubahan nilai C/N. Berdasarkan Gambar 17, keadaan awal bahan yang dikomposkan pada setiap perlakuan, mempunyai nilai C/N rasio yang telah memenuhi standar menurut Peter dan Brian (2001), yakni dengan selang antara 25-35. Penurunan nilai rasio C/N secara umum, diduga akibat berkurangnya kandungan karbon organik (C-organik) karena terdekomposisi menjadi CO2, uap air dan panas. Sedangkan kadar nitrogen (N), juga mengalami penurunan akibat penguraian bahan organik karena penguapan senyawa N yang dihasilkan dalam bentuk gas. Namun, pengurangan senyawa N tidak banyak. Hal ini dikarenakan unsur N diikat oleh senyawa air untuk membentuk senyawa ion amonium (NH4+), nitrat (NO3-) dan nitrit (NO2-), sehingga dapat diserap oleh tanaman. Ion-ion tersebut berasal dari penguraian senyawa protein (Indrasti, Purwoko & Suherman, 2005). Penguraian protein menurut Sugito et al. (1995) dalam Aryanto (2000) dijelaskan sebagai berikut : Protein +H2O
EFGHIJKI
LMMMMMN
polipeptida
46
Polipeptida + H2O
EGOPQIQHPRJKI
LMMMMMMMMN
asam amino
SIJTPUJKI Asam amino + H2O LMMMMMMMMMN NH3 + asam lemak
+ alkohol + aldehid + CO2 NH3(g) + H2O
(NH4+) + (OH-)
VPHFGKGTGUJK (NH4+) + O2 LMMMMMMMMMMMMN HNO2 + H2O + energi VPHFGKGWGWXK HNO2 + O2 LMMMMMMMMMMMN HNO3 + energi
Laju penurunan nilai rasio C/N secara signifikan, terjadi pada kompos dengan metode AAA. Penyebabnya diduga oleh laju dekomposisi mikroorganisme yang tinggi. Laju dekomposisi yang tinggi, mengisyaratkan bahwa banyak terjadi aktivitas pendegradasian senyawa-senyawa organik dan mineralisasi yang dilakukan mikroorganisme, sehingga terjadi penurunan nilai rasio C/N (Thambirajah, 1998; Noor E. dkk., 2005). Sedangkan pada kompos dengan metode AABB dan bambu segitiga, menghasilkan nilai rasio C/N yang lebih tinggi daripada kompos AAA. Hal tersebut diduga akibat banyaknya senyawa N yang hilang dan tidak diiringi dengan pengurangan karbon organik berlebih karena aktivitas dekomposisi menurun. Hilangnya senyawa N berlebih pada kompos adalah akibat banyaknya ruang sirkulasi udara, sehingga senyawa N saat dalam bentuk gas, ikut terbawa bersama udara pada saat sirkulasi udara berlangsung. Dengan demikian, adanya sistem aerasi yang berbeda-beda pada sistem pengomposan yang diaplikasikan, memberikan pengaruh pada laju penurunan rasio C/N pada bahan yang dikomposkan. Semakin banyak celah udara, aktivitas dekomposisi semakin berkurang sehingga penurunan rasio C/N menjadi lebih lambat dan kompos lebih lama matang. Berdasarkan Gambar 17, grafik laju penurunan nilai rasio C/N pengomposan metode anaerob, juga terjadi sangat lambat. Pada Gambar 16, juga ditunjukkan bahwa pada hari ke-30 dengan suhu bahan sama, ternyata nilai rasio C/N yang dihasilkan masih tinggi dan belum matang, terutama
47
pada metode anaerob. Hal tersebut diduga akibat, aktivitas mikroorganisme anaerob dalam mendegradasi bahan organik berjalan sangat lambat, yang ditunjukkan dengan pendeknya masa panas pada metode anaerob. Selain itu, faktor kelembaban juga dapat mempengaruhi suhu yang terbentuk di dalam sistem, sehingga mikroorganisme anaerob termofilik tidak dapat berkembang. Dengan demikian, dapat dikatakan ketersediaan oksigen pun menjadi salah satu faktor laju proses pengomposan. Proses pengomposan pada metode aerob telah diakhiri pada hari ke-30 karena telah terlihat tanda-tanda kematangan, sedangkan untuk pengomposan denga metode anaerob diakhiri pada hari ke-40. Hal ini dikarenakan, pengukuran suhu kompos aerob telah stabil pada suhu lingkungan dan pH pada kisaran normal yakni 6.8-7.2. Penurunan nilai rasio yang bervariasi, yang terjadi pada masing-masing metode yang digunakan, disebabkan oleh adanya perbedaan aktivitas mikroba dalam mendegradasi bahan organik. Untuk mengetahui waktu matang kompos, dengan nilai rasio C/N sesuai SNI 19-7030-2004, yakni 10-25, maka menurut Indrasti dan Wimbanu (2005), dapat dibuat pendekatannya dengan menggunakan persamaan regresi linier dari laju nilai rasio C/N yang diperoleh. Berikut grafik regresi linear yang ditunjukkan pada Gambar 18.
35 y = -0,81x + 33,62 R² = 0,994 y = -1,159x + 33,73 R² = 0,999
Nilai C/N
30 25 y = -2,65x + 33,35 R² = 0,987
20
y = -2,244x + 33,39 R² = 0,982
15 10 0
1
2
3
4 5 6 7 8 Hari Ke- (dalam puluhan)
Aerob Aerasi Alami (AAA) Aerob Aerasi Bambu Segitiga (AABS) Regresi (AAA) Regresi (AABS)
9
10
11
12
Aerob Aerasi Bambu Berlubang (AABB) Anaerob Regresi (AABB) Regresi (Anaerob)
Gambar 18. Grafik perubahan nilai rasio C/N dan regresinya.
48
Berdasarkan hasil persamaan regresi dari grafik nilai rasio C/N, maka untuk mencapai tingkat kematangan kompos optimum dengan nilai rasio C/N
≤ 25, dibutuhkan waktu pengomposan seperti terlihat dalam Tabel 7. Tabel 7. Persamaan regresi linear untuk pencapaian rasio C/N optimal. Perlakuan AAA AABB AABS Anaerob
Persamaan Regresi Linear y = -2.65x + 33.35 y = -2.244x + 33.39 y = -1.159x + 33.73 y = -0.81x + 33.61
R2 0.987 0.982 0.999 0.994
Waktu (Hari) 33 40 76 105
Tabel 7 menunjukkan, bahwa waktu tersingkat diperoleh yakni 33 hari, untuk mencapai nilai rasio C/N ≤ 25 dengan metode AAA. Hal ini diduga karena, adanya pengaruh yang ditimbulkan akibat perlakuan aerasi maupun kecepatan dekomposisi, serta dengan ada atau tidaknya oksigen selama proses pengomposan. Penghematan waktu pun dapat dilakukan selama ± 2 bulan, bila dibandingkan dengan pengomposan dengan metode anaerob. Dengan demikian, proses pengomposan dengan metode AAA lebih cepat bila dibandingkan dengan metode lain yang diteliti. Semakin tinggi suhu yang dihasilkan (50-70oC) dan semakin lama masa panas, maka semakin tinggi pula laju dekomposisi bahan organik sehingga nilai rasio C/N akan semakin cepat menurun dan waktu pengomposan akan semakin singkat. C. Analisis Kualitas Kompos Media tanam yang baik ditunjukkan dengan ketersediaan hara yang baik (Hesse,1984; Larson Clapp, 1984; Aziz A. A., 1991), kapasitas menahan air yang lebih tinggi, sifat fisik media yang baik (Larson Clapp, 1984; Kumazawa, 1984; Aziz A. A., 1991) dan mengurangi sifat fitotoksik akibat hasil dekomposisi dari media (Wang Pokorny,1989; Aziz A. A., 1991). Kandungan unsur hara utama yang sangat penting bagi tanaman, yaitu nitrogen, fosfor dan kalium. Ketiga unsur tersebut, termasuk unsur makro primer bagi tanaman (Indrasti, Purwoko & Suherman, 2005). Untuk menganalisis kematangan kompos dan mengetahui kualitas kompos yang diteliti, maka dilakukan uji laboratorium sifat kimia dan sifat fisik kompos. 49
1. Analisis Kualitas Sifat Fisik Kompos Analisa sifat fisik, mencakup warna, bau dan struktur, melalui indera peraba dan penciuman, serta ukuran partikel, tekstur, kadar air, berat isi (bulk density) dan porositas melalui sampling di Laboratrium. a. Warna dan Bau Kualitas warna dan bau diperlukan juga merupakan salah satu faktor yang memperlihatkan tingkat kematangan kompos. Kualitas warna dan bau dari 4 metode yang diteliti, ditunjukkan pada Tabel 8 dan Gambar 19. Tabel 8. Hasil uji kualitas warna dan bau. Metode AAA AABB AABS Anaerob
Warna Coklat tua kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat tua kehitaman
Bau Berbau tanah Berbau tanah Berbau tanah Berbau busuk daun
Gambar 19a. (1) dan (2) Kompos dengan metode AABB, (3) Kompos dengan metode AABS.
Gambar 19b. (4) dan (5) Kompos dengan metode AAA, (6) Kompos dengan metode AABS.
50
Gambar 19c. Kompos dengan metode anaerob. Berdasarkan Tabel 8 dan Gambar 19, warna pada kompos yang dihasilkan terhadap 4 metode yang diteliti, terdapat perbedaan antara kompos aerob dengan anaerob. Kompos yang baik memiliki warna coklat kehitam-hitaman (Sutanto, 2002) atau kehitaman, berbau seperti tanah (SNI 19-7030-2004). Warna terbaik yang sesuai dengan SNI 19-70302004, dihasilkan pada kompos dengan metode AAA dan anaerob. Hal ini disebabkan, kompos dengan metode AAA mempunyai kandungan air cukup dan diduga terdekomposisi dengan baik. Begitu juga pada hasil kompos dengan metode anaerob, yang memiliki kandungan air akhir lebih besar dari pada kompos metode aerob, sehingga warna lebih gelap. Warna berbeda dihasilkan pada hasil kompos metode aerob aerasi bambu. Hal ini diduga karena, bahan agak kering, menandakan kadar air berkurang karena banyaknya lubang aerasi selama proses pengomposan, sehingga kompos agak kering, sebagian unsur hara hilang terbawa udara dan berwarna coklat kehitaman. Nilai kandungan air yang lebih tinggi akan menyebabkan kompos lebih berwarna gelap, lembab dan lebih berat. Dengan demikian, sistem aerasi dan ketersediaan oksigen memberikan pengaruh perbedaan warna yang terjadi pada kompos hasil penelitian. Kualitas bau pada kompos metode aerob, baik AAA maupun buatan, menghasilkan bau seperti tanah, sehingga telah memenuhi ketentuan SNI 19-7030-2004. Namun, tidak pada kompos dengan metode anaerob, karena kompos yang dihasilkan mempunyai bau yang tidak sedap atau berbusuk
51
daun. Bau busuk diduga muncul karena suasana anaerob pada proses pengomposan yang diaplikasikan. Menurut Anonim (http://faperta.ugm.ac.id), bau busuk dihasilkan oleh gas (partikel padat pada fase gas), seperti amonia (NH3(g)) yang tidak terdegradasi sempurna menjadi nitrat, nitrit dan amonium. Gas amonia yang dihasilkan pada proses pengomposan anaerob, diduga terperangkap karena kondisi tertutup rapat, sehingga gas hanya dapat dihilangkan setelah kompos matang karena kompos dikeluarkan dari ember tertutup dan didiamkan selama beberapa hari. Berdasarkan hasil uji bau, hasil kompos dengan metode aerob dinilai lebih baik daripada anaerob karena mempunyai bau seperti tanah yang diduga karena bahan telah terdekomposisi oleh mikroorganisme dengan baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketersediaan oksigen memberikan pengaruh terhadap bau pada kompos hasil penelitian. b. Ukuran Partikel, Tekstur dan Struktur Untuk mengetahui ukuran partikel kompos yang dihasilkan, maka dilakukan uji ukuran partikel sederhana dengan menggunakan ayakan. Dengan mengayak kompos sesuai ukuran ayakan, maka didapat presentase selang ukuran partikel terbanyak dan kesesuaian terhadap standar kompos yang ada. Hasil presentase ukuran partikel, dari 4 metode yang diteliti, ditunjukkan melalui Tabel 9. Tabel 9. Jumlah partikel sisa hasil ayakan kompos penelitian. Ukuran Ayakan (mm) 4.76 2 0.84 0.42 0.25 0.105 0.075 Lolos saring
Partikel Tersisa (g) AAA 0 5.6 31.1 26.8 17.5 14.8 2.7 1.5
AABB
AABS 0 8.1 32.6 25.4 15.7 13.1 2.3 1.5
Anaerob 0 11.6 33.2 25.4 13.9 11.4 2.2 1.6
0 2.5 24.5 30.3 19.1 17.2 3.3 1.9
52
Berdasarkan Tabel 9, ukuran partikel kompos yang dihasilkan pada penelitian ini, secara global telah memenuhi standar menurut Peter dan Brian (2001), yang mengatakan bahwa ukuran partikel kompos setidaknya harus kurang dari 12 mm. Hal ini dibuktikan dari hasil bahan kompos yang tersisa pada saringan 4.76, maka dapat dipastikan kompos telah lolos saringan 12 mm. Untuk mengetahui tekstur kompos, maka digunakan diagram segitiga sama sisi kelas tekstur tanah United States Department of Agriculture (USDA) (Lampiran 13). Tabel di bawah ini menunjukkan analisis tekstur. Tabel 10. Hasil analisis tekstur dengan diagram segitiga USDA. Klasifikasi Diameter Fraksi Tanah USDA (mm) 2.00 - 0.05 0.05 - 0.002 < 0.002 Klasifikasi Rinci Klasifikasi Jelajah
Presentase Fraksi (%) AAA 63.5 35 < 1.5 Lempung pasiran Tektur halus
AABB
AABS
Anaerob
66.1 31.1 < 1.5 Geluh lempung pasiran Tekstur sedang
70.2 27.5 < 1.6 Geluh lempung pasiran Tekstur sedang
57.3 39.6 < 1.9 Lempung pasiran Tekstur halus
Ukuran partikel kompos berpengaruh langsung terhadap tekstur dan struktur kompos. Berdasarkan Tabel 10, terdapat perbedaan kelas tekstur pada kompos yang dihasilkan. Kelas tekstur terhalus ditunjukkan oleh hasil kompos anaerob kering dan AAA, sedangkan aerob aerasi bambu mempunyai kelas tekstur sedang. Hal ini disebabkan karena, hasil kompos anaerob dan AAA lebih mudah dipotong menjadi ukuran yang sangat kecil pada saat proses penepungan. Kompos memiliki kadar air yang lebih besar dengan sistem aerasi yang tidak terlalu terbuka daripada kompos aerob aerasi dengan bambu. Kompos aerasi bambu dinilai agak kering sehingga bahan mudah patah secara tidak teratur dan tidak mudah dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil lagi. Namun, jika oksigen atau udara tidak ada, dapat terjadi pengembunan, yang berakibat bahan tidak dapat dihaluskan
53
karena basah dan akan menempel pada mesin, sehingga kompos anaerob pun harus dijemur terlebih dahulu hingga kadar air sesuai standar. Sesuai yang telah dijelaskan pada bab metodologi, struktur kompos diketahui melalui cara meraba dan melihat menggunakan indera. Hasil uji struktur ditunjukkan pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Hasil uji kualitas struktur berdasarkan bentuk dan ukuran. Metode AAA AABB AABS Anaerob
Struktur Rinci Remah sangat halus Remah sangat halus Remah sangat halus Remah sangat halus
Struktur Jelajah Majemuk Majemuk Majemuk Majemuk
Berdasarkan hasil uji struktur, tidak terdapat perbedaan, semua hasil kompos menunjukkan struktur remahan sangat halus. Hal ini dikarenakan bahan didominasi oleh serasah daun yang telah melapuk sehingga berstruktur remah dan memiliki dominasi ukuran kurang dari 1 mm. Adanya proses pengecilan ukuran menjadi remahan dengan mesin, membuat kompos mempunyai ukuran partikel yang semakin kecil dan struktur remahan bervariasi menjadi remahan-remahan sangat halus. Berdasarkan ukuran partikel dan tekstur, remahan terhalus dihasilkan pada kompos dengan metode anaerob karena memiliki ukuran partikel terkecil. Dengan demikian, sistem aerasi dan ketersediaan oksigen, memberikan pengaruh terhadap ukuran partikel dan tekstur kompos hasil penelitian. c. Kadar Air Akhir Menurut Peter dan Brian (2001), kadar air kompos dapat diketahui dengan mudah, tetapi akan diperoleh hasil yang fluktuatif bergantung pada perbedaan bahan yang dikomposkan, proses pengomposan dan kondisi penyimpanan. Besarnya nilai kadar air akhir kompos yang diteliti ditunjukkan pada grafik di bawah ini.
54
Kadar Air (%)
50
SNI 19-7030-2004 43,77
42,5 41,93
45
41,53
CPIS, 1992
40 35 Aerob Aerasi Alami Aerob Aerasi Bambu Segitiga
Aerob Aerasi Bambu Berlubang Anaerob
= Nilai batas maksimal aman = Nilai standar
Gambar 20. Grafik nilai kadar air kompos akhir. Berdasarkan hasil penelitian kadar air kompos akhir, bahwa semua hasil kompos telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 19-70302004 dan hampir mendekati nilai standar hasil penelitian yang dilakukan CPIS. Pada dasarnya, semua metode yang diaplikasikan pada penelitian ini, cocok berdasarkan hasil nilai kadar air yang dicapai, namun harus mempertimbangkan waktu penyiraman, pengadukan dan jumlah air yang ditambahkan. Jika kompos yang dihasilkan memiliki kadar air lebih dari 50% maka dimungkinkan terjadinya pembusukkan akibat kekurangan oksigen karena ruang pori, sebagai tempat masuknya oksigen berkurang. Menurut Sutanto (2002), pembusukkan dan kekurangan oksigen terjadi karena kadar N terlalu tinggi, kekurangan bahan ruah dan bahan terpadatkan. Namun, bila kadar air kompos yang dihasilkan kurang dari 35% dapat saja terjadi karena diduga adanya ketidakstabilan total pada kompos karena kekurangan cairan atau karena terlalu lama pada saat penyimpanan sehingga terjadi kehilangan cairan pada bahan. Kompos dengan kadar air kurang dari 35% akan terlihat berdebu dan tidak bagus ketika diraba (Peter dan Brian, 2001). d. Berat Isi (Bulk Density) dan Porositas Bulk density (BD) merupakan perbandingan antara berat kompos kering dan volume total termasuk volume pori-pori kompos. Sedangkan
55
porositas merupakan ruang diantara partikel di dalam tumpukkan kompos (htttp://id.wikipedia.com). Hasil nilai BD dan porositas kompos berturutturut ditunjukkan pada Gambar 21 dan Gambar 22. Bulk Density (kg/m3)
1400 1200
Arif, 2009
1000 800
659
673
608
Peter & Brian, 2001
566
600 400 200
Aerob Aerasi Alami Aerob Aerasi Bambu Segitiga
Aerob Aerasi Bambu Berlubang Anaerob
= Nilai batas minimal aman = Nilai batas maksimal aman
Gambar 21. Grafik nilai bulk density pada kompos akhir.
Porositas (%)
80
74,2 Aerob Aerasi Alami
70 60 50
57,93
62,45 56,56 Aerob Aerasi Bambu Berlubang
40 30
Aerob Aerasi Bambu Segitiga
20 10
Anaerob
0 Gambar 22. Grafik nilai porositas akhir kompos.
Menurut Peter dan Brian (2001), nilai BD yang diperoleh merupakan indikator ukuran partikel dan kadar ash pada kompos. Nilai kerapatan akan meningkat dengan berjalannya waktu, maka kadar abu pun akan meningkat dan ukuran partikel akan mengecil karena proses dekomposisi, pembalikkan dan penyaringan (Raviv et al., 1987; Peter dan Brian, 2001). Berdasarkan Gambar 21, nilai BD hasil penelitian kompos berada pada kisaran 566-673 kg/m3, sehingga telah sesuai standar yang
56
direkomendasikan oleh Peter dan Brian (2001) maupun menurut Arif (2009). BD memiliki keterkaitan dengan nilai porositas, yakni nilai porositas berbanding terbalik dengan nilai BD (Peter & Brian, 2001). Berdasarkan Gambar 22, dapat dilihat bahwa metode pengomposan yang memiliki nilai BD tinggi, maka akan mempunyai ruang pori yang lebih kecil. Hal ini ditunjukkan pada kompos anaerob. Peter dan Brian (2001) mengemukakan, ketika nilai BD tinggi, maka pori-pori lubang masuk udara dan lubang keluaran semakin berkurang, dan kemampuan kompos mengikat air semakin meningkat. Namun kompos yang dihasilkan melalui metode AABS, berdasarkan hasil perhitungan, memiliki nilai BD paling rendah, sehingga mempunyai kemampuan daya serap air rendah pula. Apabila kompos yang dihasilkan semakin lembab, maka nilai bulk density-nya akan semakin tinggi dan kompos akan semakin padat. Apabila kompos semakin padat maka semakin sulit untuk meneruskan air dan ditembus akar tanaman karena air diserap kompos. Akan tetapi, apabila nilai BD berada dibawah standar, maka akan terjadi kehilangan air. Hal ini dikarenakan, partikel kompos semakin kasar karena ukuran partikelnya besar, sehingga menyebabkan banyaknya ruang pori udara yang dapat meloloskan air dari kompos. Selain itu, kemampuan kompos dalam mengikat air pun semakin berkurang karena semakin tingginya kandungan bahan organik. Namun pada dasarnya, kompos hasil penelitian ini telah memenuhi standar, seperti yang telah dikatakan sebelumnya. Dengan demikian, kompos hasil penelitian dapat dijadikan media tanam, bila dilihat dari sifat fisik kerapatan isi dan porositas kompos karena memiliki nilai BD yang memenuhi syarat. e. Nilai pH Nilai pH kompos sangat bergantung pada bahan yang dikomposkan, proses pengomposan dan perlakuan pada kompos (Peter dan Brian, 2001). Berikut grafik yang menunjukkan nilai pH akhir kompos yang diteliti.
57
8
Nilai pH
7
7,1
6,9
6,8
6
7,2
Kep Men No 02/pert/HK.060/2/ 2006 SNI 19-7030-2004 dan JBCA, 1993
5 4 3 Aerob Aerasi Alami Aerob Aerasi Bambu Segitiga = Nilai batas minimal aman
Aerob Aerasi Bambu Berlubang Anaerob = Nilai batas maksimal aman
Gambar 23. Grafik nilai akhir pH kompos. Berdasarkan Gambar 23, nilai pH yang diperoleh pada kompos yang diteliti secara umum berkisar pada selang 6.8-7.2, sehingga telah memenuhi standar mutu menurut SNI 19-7030-2004 dan JBCA, serta Kep Men No 02/pert/HK.060/2/2006 (nilai jelas pada Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa kompos yang dihasilkan telah matang. Namun, nilai pH bukan satu-satunya faktor penentu kematangan kompos. Menurut Mengel & Kirkby (1987) dalam Notohadiprawiro (1998), nilai pH juga dapat memberikan pengaruh terhadap kadar hara yang dikandung media tanam, yang dijelaskan pada diagram Mengel & Kirkby (Lampiran 14). Perbedaan nilai pH akhir kompos, diduga akibat pengaruh aerasi dan ketersediaan oksigen, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 2. Kualitas Sifat Kimia Kompos Uji kualitas sifat kimia meliputi komposisi hara makro (N, P, K), nisbah C/N, kapasitas tukar kation dan pH. Pengujian dilakukan oleh teknisi di laboratorium fisika tanah, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian. Hal ini dilakukan, untuk meminimisasi kesalahan yang dibuat penulis dengan prosedur uji kualitas kimia dapat dilihat pada Lampiran 2. a. Kandungan Total Nitrogen Nitogen (N) merupakan salah satu nutrisi yang paling utama. N secara umum berfungsi, untuk pertumbuhan tanaman, perkembangan daun, serta membantu peningkatan hasil panen. Untuk mengetahui kadar N hasil 58
kompos yang diteliti, maka telah dilakukan uji laboratorium dengan hasil
Kadar Nitrogen (%)
pada Gambar 24. 1,5 1,215
1,173 1,05
1,01
1 0,5
SNI 19-7030-2004 JBCA, 1993
0 Aerob Aerasi Alami Aerob Aerasi Bambu Segitiga
Aerob Aerasi Bambu Berlubang Anaerob
= Nilai Standar minimum
Gambar 24. Grafik kadar nitrogen (N) akhir kompos. Nilai kandungan N secara global yang terlihat pada Gambar 24, telah memenuhi standar minimal menurut SNI 19-7030-2004 dan Japan Bark Compost Association (JBCA) karena berada pada selang 1.01-1.215%. Nitrogen ini banyak terdapat dalam protein-protein, misalnya kotoran hewan dan dibutuhkan dalam pembentukan sel bakteri. Semakin banyak limbah dan kotoran sapi yang dimanfaatkan sebagai bahan pengompos, diduga akan semakin banyak kandungan N karena bahan organik tersebut memiliki kandungan N tinggi. Berdasarkan Gambar 24, nilai kandungan N yang paling tinggi, didapat pada hasil kompos dengan metode AAA pada hari ke-30. Besarnya kandungan N yang diperoleh melalui metode ini, disebabkan oleh terperangkapnya N di dalam bahan yang dikomposkan. Hal ini mengakibatkan, terjadinya pengikatan unsur N oleh air, dari bentuk gas amonia (NH3(g)) menjadi amonium (NH4+), maka N tidak terbuang bersama udara akibat penguapan. Sedangkan kandungan N yang lebih kecil diperoleh melalui pengomposan aerob teraerasi karena banyaknya celah pada sistem yang membuat senyawa N hilang terbawa bersama udara. Lain halnya dengan pengomposan melalui metode anaerob, yang memiliki kandungan N paling kecil karena nilai tersebut didapat pada hari ke-43. Hal tersebut dikarenakan, pada hari ke-30 nilai pH masih dibawah
59
pH normal. Namun, pada hari ke-30 pada data (Lampiran 4), diperoleh unsur N pada kompos metode anaerob sebesar 1.05%. Maka dapat dikatakan, presentase N mengalami pengurangan. Hal ini diduga akibat adanya aktivitas mikroorganisme mesofilik. Kurangnya kadar N dalam bahan pada pengomposan aerob, menurut (Indrasti, Purwoko & Suherman, 2005), disebabkan karena kekurangan air sehingga nitrogen dapat mudah menguap dan terbawa udara. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas kompos. Menurut Dazel et al. (1987) dalam Indrasti, Purwoko & Suherman (2005), jika nilai C/N rendah, maka nitrogen akan banyak dibebaskan ke udara. Namun, jika terlalu tinggi proses pengomposan akan mengalami kelambatan. Menurut Pramatmaja (2008),
jika
tumbuhan
kekurangan
unsur
N
(Nitrogen)
akan
mengakibatkan : 1. Warna daun yang hijau akan berubah menjadi kuning, kering terus berubah warna menjadi merah kecoklatan, 2. Perkembangan buah tidak sempurna, umumnya kecil-kecil dan cepat matang, 3. Menimbulkan daun penuh dengan serat. Dalam penelitian ini, metode aerob dengan AAA dinilai lebih baik karena dapat menghasikan kandungan N lebih tinggi, dalam waktu lebih cepat daripada kompos anaerob. Dengan demikian, besarnya nilai kadar N pada kompos yang diteliti, dipengaruhi oleh jumlah kotoran sapi yang dicampurkan, sistem aerasi dan ketersediaan oksigen. b. Kandungan Total Fosfor Fospor (P) didalam tanah, berfungsi sebagai unsur penting karena membantu pertumbuhan akar yang kuat dan tunas. Unsur ini dibutuhkan pada waktu mulai ada pertumbuhan vegetatif terutama perakaran serta bagian tubuh tanaman yang bersangkutan dengan pembiakan generatif seperti bunga dan buah (Arif, 2009). Untuk mengetahui kandungan P, maka dilakukan uji laboratorium dengan hasil pada Gambar 25.
60
Kadar Fosfor (%)
0,5
JBCA, 1993
0,4 0,281
0,3 0,218
0,2
0,171
0,17
0,1
SNI 19-7030-2004
0 Aerob Aerasi Alami Aerob Aerasi Bambu Segitiga
Aerob Aerasi Bambu Berlubang Anaerob
= Nilai Standar minimum
Gambar 25. Grafik kadar total Fosfor (P) kompos akhir. Berdasarkan Gambar 25, kandungan fosfor dari kompos akhir hasil penelitian ini, berkisar rata-rata pada selang 0.170-0.281 %, sehingga telah mampu memenuhi standar minimum SNI 19-7030-2004. Selain itu, kompos juga telah memenuhi KepMen No 02/pert/HK.060/2/2006, yakni tidak lebih dari 5%. Namun, kompos hasil penelitian belum memenuhi kandungan fosfor standar JBCA. Dengan kadar P yang relatif rendah, maka perlu dipadukan dengan pupuk buatan saat aplikasi di lapangan, seperti P2O5. Kombinasi keduanya, akan memberikan seluruh zat yang dibutuhkan tanaman. Selain itu, penambahan sisa makanan dan buah-buahan yang merupakan sumber P (Pramatmaja, 2008) saat homogenisasi, pada bahan yang dikomposkan, juga dapat diaplikasikan agar nutrisi tanaman dapat terpenuhi. Dalam proses pengomposan, ion P sangat sukar berikatan, salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah suhu. Bila suhu relatif hangat pada tanah maka ketersediaan P yang terikat pada mineral tanah meningkat. Disinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Selama proses pengomposan mikroorganisme menghisap sebagian P untuk membentuk zat putih telur dalam tubuhnya. Jika pembuatan kompos berlangsung baik, maka 50-60 % P akan berupa bentuk terlarut sehingga mudah diserap tanaman (Murbandono, 2000). 61
Apabila proses pengomposan berlangsung lama dan masa panas kompos terjadi sebaliknya, kadar P pun diduga menurun. Hal ini dikarenakan P banyak dikonsumsi oleh mikroorganisme sehingga kadar P lebih rendah (diperlihatkan pada kompos aerasi bambu). Pada metode anaerob, juga belum tentu pada akhirnya menghasilkan kadar P paling tinggi, karena kompos belum matang, dan diduga masih akan berkurang karena proses dekomposisi lanjutan. Metode AAA merupakan metode terbaik sesuai pendugaan diatas, karena waktu yang dibutuhkan sampai tahap pematangan relatif lebih cepat. Dengan demikian, ketersediaan oksigen dan sistem aerasi memberikan pengaruh terhadap besarnya kadar P kompos penelitian. c. Kandungan Total Kalium Kalium (K) atau Potassium menurut Anonim (2007) merupakan suatu unsur yang berfungsi dalam pembentukan protein dan karbohidrat. Kalium mempunyai fungsi fisiologis yang khusus pada asimilasi akan terhenti serta meningkatkan turgor dari buah dan seluruh bagian tanaman hingga dapat berdiri tegak, memberi daya tahan lebih besar pada tanaman terhadap serangan penyakit dan meningkatkan kualitas buah (Pramatmaja, 2008). Hasil uji laboratorium kandungan K kompos penelitian, dapat dilihat pada Gambar 26. Kep Men No 02/pert/HK.060/2/ 2006
5,1
Kadar Kalium (%)
4,1 3,1 2,1 1,1
1,05
0,962
0,878
0,89
JBCA, 1993 0,1
SNI 19-7030-2004 Aerob Aerasi Alami Aerob Aerasi Bambu Segitiga = Nilai batas minimal aman
Aerob Aerasi Bambu Berlubang Anaerob = Nilai batas maksimal aman
Gambar 26. Grafik kadar total Kalium (K) akhir. 62
Berdasarkan Gambar 26, kadar kalium kompos yang tersedia berkisar rata-rata pada selang 0.878-1.05 %. Maka dapat dikatakan, semua hasil kompos hasil penelitian, yang telah memenuhi standar JBCA, SNI 2004 maupun KepMen No 02/pert/HK.060/2/2006. Hal ini dikarenakan bahan yang dikomposkan, seperti serasah daun merupakan sumber kalium (Pramatmaja, 2008). Menurut
Murbandono
(1999),
apabila
proses
pengomposan
berlangsung dengan baik, maka pembentukkan senyawa K yang dapat diserap oleh tanaman pun dapat berjalan dengan baik karena sebagian besar kalium pada kompos dalam bentuk terlarut. Jika bahan organik awal yang digunakan untuk pembuatan kompos cukup nitrogennya, maka biasanya unsur hara lainnya P dan K akan tersedia dalam jumlah yang cukup (Dalzell, 1987). Sama halnya dengan unsur N dan P, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengomposkan bahan organik, maka semakin berkurang pula kadar K dalam kompos. Hal ini terjadi pada kompos anaerob yang membutuhkan pengomposan
waktu pengomposan
paling lama.
Apabila
proses
berlangsung lama dan masa panas kompos terjadi
sebaliknya, kadar K pun diduga menurun (diperlihatkan pada kompos aerasi bambu dan anaerob). Kadar K diduga dapat berkurang karena dikonsumsi oleh mikroorganisme yang membutuhkan kalium untuk pertumbuhannya. Mikroba dapat tumbuh lebih banyak tetapi kebutuhan kalium untuk mendukung pertumbuhannya juga meningkat (Pramatmaja, 2008), sehingga tersisa sebagian kalium pada hasil akhir kompos menjadi lebih kecil. Kekurangan K pada tanaman menurut Pramatmaja (2008) dapat menimbulkan gejala antara lain daun agak mengkerut, tampak bercak-bercak kotor, batangnya lemah dan pendek, sehingga tanaman tampak kerdil. Sedangkan gejala yang diperlihatkan pada buah menurut Arif (2009), misalnya buah telah jatuh tanpa dipetik sebelum masak. Dengan demikian, sistem aerasi dan ketersediaan oksigen dapat memberikan pengaruh terhadap kadar K kompos penelitian. Dengan waktu
63
pengomposan yang lebih cepat dan hasil kadar K tertinggi, maka metode pengomposan terbaik pada penelitian ini, yakni AAA. d. Nilai C/N Proses pengomposan merupakan proses biokimia, sehingga setiap faktor yang mempengruhi mikroorganisme tanah, akan mempengaruhi laju dekomposisi. Penyebab pembusukan pada bahan organik diakibatkan adanya karbon dan nitrogen. Kualitas akhir kompos dapat dilihat dari beberapa faktor termasuk rasio antara karbon (C) dan nitrogen (N) atau rasio C/N yang juga menentukan umur dan tingkat kematangan kompos. Hasil nilai rasio C/N akhir, pada kompos dipaparkan pada Gambar 27. 35 30,25
C/N
30
25,7
30,5
JBCA, 1993
27,02
25
SNI 19-7030-2004
20 15 10 5 Aerob Aerasi Alami Aerob Aerasi Bambu Segitiga = Nilai batas minimal aman
Aerob Aerasi Bambu Berlubang Anaerob = Nilai batas maksimal aman
Gambar 27. Grafik nilai rasio C/N pada hari ke-30. Hasil akhir nilai rasio C/N (Gambar 27) yang didapatkan, belum mencapai minimal standar nilai rasio C/N atau melebihi batas maksimum yang ditentukan SNI Kompos 19-7030-2004. Namun hasil akhir kompos menunjukkan penurunan rasio C/N pada awal, menjadi 25.7-30.5, sehingga telah memenuhi standar JBCA. Menurut Sutanto (2002), nilai rasio C/N hasil akhir kompos yang tinggi pada bahan yang dikomposkan dapat menghambat pertumbuhan tanaman dikarenakan masih memungkinkan terjadinya proses dekomposisi lanjutan pada bahan. Selain itu, menurut CPIS (1992), penggunaan kompos yang belum matang karena proses dekomposisi belum sempurna,
64
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan bahan nutrien antara tanaman dengan mikroorganisme tanah, sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Namun apabila nilai rasio C/N dibawah standar, yakni C/N < 10 menurut Pramatmaja (2008), maka kompos telah menghasilkan amonia, dan akan mengakibatkan terhambatnya aktivitas biologi. Dengan demikian, hasil penilitian belum mencapai tingkat kematangan optimum karena nilai rasio C/N masih diatas 25, sehingga masih perlu dilakukan penambahan waktu pengomposan (Tabel 7). Kompos yang hendak diaplikasikan untuk aktivitas pertanian, hendaknya mendekati nilai rasio C/N tanah (10-12), sehingga kandungan unsur haranya dapat diserap dengan baik. e. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kapasitas tukar kation didefinisikan sebagai kapasitas untuk menyerap dan mempertukarkan kation dan umumnya dinyatakan dalam miliekuialen per 100gram bahan (Notohadiprawiro, 1998). Peter dan Brian (2001) mengatakan, bahwa KTK diperlukan untuk mengikat unsur kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan natrium (Na). Menurut Peter & Brian (2001), nilai KTK merupakan salah satu indikator kematangan kompos. Setidaknya nilai KTK yang hendak dicapai hingga kompos matang adalah > 60 meq/100g (Peter dan Brian, 2001; Harada et al., 1981). Nilai KTK hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 28.
Nilai KTK (meq/100g)
80 JBCA, 1993 60 40
32,85
31,25 28,55 30,35
CPIS, 1992
20 Aerob Aerasi Alami Aerob Aerasi Bambu Segitiga
Aerob Aerasi Bambu Berlubang Anaerob
= Nilai Standar minimum
Gambar 28. Grafik nilai KTK kompos.
65
Gambar 27 menunjukkan bahwa nilai KTK belum memenuhi standar JBCA dan juga standar Peter dan Brian (2001), sehingga dapat dikatakan kompos penelitian belum matang. Nilai KTK, bukan satu-satunya faktor penentu kematangan kompos, sehingga kematangan kompos pun harus melihat faktor lain. Namun, nilai KTK hasil akhir kompos, telah melebihi nilai KTK penelitian CPIS, yakni lebih dari 25.54. Nilai KTK yang tinggi menurut Erwiyono (1994), dipengaruhi oleh penurunan kadar C/N dan penurunan ini membuat gugus bermuatan negatif dapat terbentuk. Nilai KTK yang semakin tinggi, dapat memberikan pengaruh baik karena daya absorsi akan menjadi semakin tinggi pula (Indrasti, dkk, 2005). Nilai KTK kompos yang diteliti masih dibawah standar. Maka dapat dikatakan, nilai KTK rendah karena nilai C/N kompos masih > 25. Proses penurunan rasio C/N (dekomposisi) kompos yang belum sempurna, membuat perlunya proses dekomposisi lanjutan, agar nilai KTK menjadi lebih besar. Besarnya nilai KTK, juga dipengaruhi oleh pH kompos. Menurut Notohadiprawiro (1998), semakin tinggi pH, muatan negatifnya semakin besar sehingga KTK makin besar. Selain itu, menurut Notohadiprawiro (1998), nilai KTK tergantung pada kada dan macam lempung, kadar bahan organik, dan senyawa-senyawa organik penyusun bahan organik. Semakin tinggi kadar lempung dan kadar bahan organik, maka nilai KTK semakin besar. Ada macam lempung yang mengandung nilai KTK besar ataupun kecil, dan ada pula senyawa organik penyusun organik yang mempunyai KTK besar ataupun kecil (Notohadiprawiro, 1998). Berdasarkan hasil uji tekstur, kompos anaerob dan AAA mempunyai presentase lempung lebih besar daripada kompos aerasi bambu. Maka nilai KTK yang terendah, yang dihasilkan kompos aerasi bambu diduga karena memiliki kadar lempung paling rendah dan pH lebih rendah, sehingga ionion negatif yang terbentuk lebih sedikit. Kompos anaerob memang mempunyai kadar lempung paling tinggi, namun kompos AAA memiliki nilai KTK paling tinggi. Hal ini diduga karena kompos AAA, memiliki kadar bahan organik lebih tinggi, memiliki senyawa organik penyusun bahan organik dan macam lempung yang mempunyai KTK besar,
66
sehingga lebih banyak ion negatif yang terbentuk. Ion-ion negatif yang dihasilkan selama proses pengomposan akan mengikat kation sehingga semakin banyak senyawa yang dapat diserap oleh tanaman. Sumber ion negatif, pada kompos terdapat pada bahan organik yang mengandung tingkat keasaman tinggi, seperti OH dan COOH (Peter dan Brian, 2001). Dengan demikian, penyataan tersebut diatas, mengindikasikan bahwa sistem aerasi dan ketersediaan oksigen dapat memberikan pengaruh terhadap hasil kompos penelitian.
67
V. KESIMPULAN DAN SARAN
D. Kesimpulan 1.
Nilai pH (6.4-7.2), kadar air kompos aerob dan nilai rasio C/N (33.7) selama proses pengomposan telah sesuai dengan standar pengomposan berturut-turut, menurut Sutanto (2002) dan Peter & Brian (2001). Suhu optimum pengomposan (38.8-45.5 oC) tidak tercapai > 60oC sehingga tidak sesuai dengan standar menurut Indrasti, dkk (2005).
2.
Kompos aerob aerasi alami dan anaerob memiliki kualitas warna coklat kehitaman sesuai SNI 19-7030-2004. Kompos aerob teraerasi telah memenuhi standar kompos tidak berbau, menurut SNI 19-7030-2004. Kompos yang diteliti telah memenuhi standar pH akhir (6.8-7.2) sesuai SNI 19-7030-2004; struktur dan tekstur telah memenuhi standar USDA; dan ukuran partikel (< 12cm), kerapatan (566 - 673 kg/m3) serta porositas (56.56 - 74.2 %) telah memenuhi standar menurut Peter & Brian (2001).
3.
Kompos yang dihasilkan menunjukkan nilai kandungan nitrogen (1.011.215 %), fosfor (0.170 - 0.281 %) dan kalium (0.878 - 1.05 %), telah memenuhi SNI 19-7030-2004. Nilai rasio C/N akhir kompos (25.7 30.5), belum mencapai minimal standar yang ditentukan SNI 19-70302004. Nilai KTK kompos (28.55 - 32.85 meq/100g), belum memenuhi standar menurut JBCA maupun menurut Peter dan Brian (2001).
E. Saran 1.
Untuk penelitian selanjutnya, bahan pengomposan serasah daun dapat diganti dengan cangkang kakao di PTPN VIII Batulawang karena memiliki nilai rasio C/N tinggi yang merupakan sumber karbon organik dan limbah cair pengolahan biji kakao terfermentasi sebagai sumber nitrogen.
2.
Sebaiknya pengomposan dilakukan dengan skala yang besar minimal kapasitas 1 ton agar suhu termofilik dapat tercapai sehingga bakteri patogen dan bibit gulma musnah.
68
3.
Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan penambahan bahan sumber P dan menunggu sampai keadaan kompos benar-benar matang sehingga kadar P dan nilai KTK kompos yang dihasilkan sesuai standar JBCA.
4.
Untuk penelitian selanjutnya, agar dilakukan uji sifat biologis, yakni uji kompos sebagai media tanam untuk beberapa benih.
69
DAFTAR PUSTAKA
Aryanto, Angga Y., dkk. 2000. Aplikasi teknik Aerasi Buatan dan Penambahan Kotoran Hewan Pada Laju Dekomposisi dan Pengaruhnya Terhadap Mutu Kompos dan Sampah Rumah Tangga. Usulan Penelitian Lomba Karya Inovatif. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Anonim. 2000. Biji Kakao Kering. SNI 01-2323-2000. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonim. 2004. Standar Mutu Kompos. SNI 19-7030-2004. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonim. Bioteknologi Dekomposisi Bahan Organik. Http://faperta.ugm.ac.id. [26 Pebruari 2009]. Anonim. Kompos. Http://id.wikipedia.com. [26 Pebruari 2009]. Arif, Chusnul. 2009. Media Tanam. Slide Kuliah. Departemen Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Cahyono, Agus. 1986. Pengaruh Perubahan Gigi Transmisi Traktor Yanmar 330 ]T Terhadap Sifat Fisik Tanah Hasil Pengolahannya. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. CPIS. 1992. Panduan Teknik Pembuatan Kompos dan Sampah: Teori dan Aplikasi. Center for Policy and Implementation Study (CPIS). Jakarta Dalzell, H.W. 1987. Soil Management Compost Production and Use in Tropical and Subtropical Environment. Rome. Damanhuri, E. & Tri, P. 2004. Diktat Kuliah Teknik Lingkungan Pengelolaan Sampah. Departemen Teknik Lingkungan. Institut Teknologi Bandung. Ewiyono, Rudi. 1994. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Dan Aerasi Terhadap Mutu Kompos Limbah Organik Pabrik Kertas. Jurnal Mikrobiologi Indonesia. Vol. 2. Nomor 3. Pusat Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor. Felows, P.J. 2000. Food processing technology. 2nd ed. Woodhead publishing Ltd and CRC press LLC. Tj intern, cornwall. England. Fredy, Andrico Y. 2008. Produksi dan Karakteristik Ubi Jalar Pada Berbagai Perubahan Sifat Fisik dan Mekanik Tanah. Skripsi. Fateta. IPB. Gaur, A.C. 1983. A Manual of Rural Composting. 2nd edition. Avi Publishing Company, Inc. Westport, connecticut. USA.
70
Genie & Rahmanto. 2007. Serasah, Bahan Alami Makana Tanah. Yogyakarta.
[email protected]. [ 18 Juli 2009]. Ginting, Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Edisi Pertama. Yrama Widya Bandung. Haug, R. T. 1980. Composting Engineering. Technomic Publishing Company, Inc. USA. Indrasti, N. S. & Wimbanu, O. 2005. Aplikasi Metode Windrow Pada Pengomposan Campuran Jerami atau Ampas Batang Sagu Dengan Kotoran Sapi. Jurnal Teknik Industri Pertanian. Vol 16 (2). Hal 76-83. Indrasti, N. S., Purwoko & Suherman. 2005. Aplikasi Linear Programming Dalam Formulasi Pupuk Organik Berbasis Kompos Untuk Berbagai Tanaman. Jur Teknologi Industri Pertanian.Vol.15 (2). Hal 60-66. Isroi. 2008. Kompos. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. www.isroi.org. [ 20 Juli 2009]. J. Ronald Miner, Frank J. Humenik & Michael R. Overcash. 2000. Managing Livestock waste to preserve environmental quality. 1st ed. Iowa State University Press. Ames. USA. Kalsim, D. K., Sapei A. 2003. Fisika Lengas Tanah Bagian Teknik Tanah dan Air. Departemen Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Martin, E.J. & Martin, E.T. 1991. Technologies For Small Water And Wastewater Systems. Enironmental Engineering Series. Van Nostrand REindhold. New York. USA. Metcalf & Eddy. 2004. Wastewater Engineering : Treatment and Reuse. 4th ed. Revised by Tchobanoglous, G., Burton, F.L., & Stensel, H.D. Metcalf & Eddy, Inc. McGraw-Hill. New York. USA. Murbandono, H. S. 1999. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. IKAPI. Jakarta. Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Noor, E., dkk. 2005. Pemanfaatan sludge limbah kertas untuk pembuatan kompos dengan metode windrow dan cina. Jur tek indus pert.vol.15(2) hal 67-71. Obeng, Letia, A. & Wright F. W. 1987. Intergrated Resource Recovery : The Cocomposting of Domestic Solid and Human Waste. World Bank Technical Paper. No. 57. The World bank. Washington D.C. Peter & Brian. 2001. Compost Utilization. Technomic Publishing Company, Inc. USA.
71
Pramatmaja, Wahyu A. 2008. Pengelolaan Sampah Secara Terpadu di Dusun Karangbendo, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Skripsi. Teknik Lingkungan. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. UII. www.organisasi.org/rac.uii.ac.id. [26 Pebruari 2009]. Purbayanti, Endang D., Lukiwati, D. R., & Trimulatsih, R. 1988. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Terjemahan. Foth, Henry. Fundamentals of Soil Science. Edisi ketujuh. Gajah Mada University Press. Putri, Prima Azrina. 2008. Pengukuran Panas Jenis, Massa Jenis Dan Konduktiitas Pana Unuk Penentuan Difusivitas Panas Dan Porositas Sambiloto. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Raning. 2008. Audit Energi Pengolahan Biji Kakao Kering Di PTPN VIII Batulawang. Departemen Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Roesmanto, J. 1991. Kakao : Kajian Sosial Ekonomi. Edisi pertama. Aditya Media. Yogyakarta. Aziz, Sandra Arifin, dkk. 1991. Studi Pemanfaatan Sekam, Serbuk Gergaji, Kulit Kayu Dan Kulit Kacang Tanah Sebagai Media Tanam Tumbuh Tanaman Dalam Wadah. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian IPB. Simamora, Agus Sutisna. 2006. Analisis Stabilitas Lereng Tanah Latosol Darmaga Menggunakan Model Tanggul yang dilengkapi dengan Saluran Drainase Tegak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Sapei, Asep, dkk. 1990. Buku Penuntun Pengukuran Sifat Fisik dan Mekanik Tanah. Pengembangan Akademik Pogram Pasca. Fateta IPB. Setiawati, Lya meilany. 2001. Uji Coba Percepatan Proses Pengomposan Kompnen Sampah Domestik Skala Lingkungan. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol. 7(1). Hal 17. Soetoto & S., Aryono S. 1980. Mekanika Tanah (Geologi). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan. Sofyan. 2006. Sukses membuat kompos dari sampah. Agromedia Pustaka. Jakarta. Stafford, D. A., D. L. Hawker & R. Horton. 1980. Methane Production From Waste Organic Matter. CRC Press. Florida. Stainforth, Jill & Garry, Michael E. Mc. 1989. Compost, Fertilizer and Biogas From Human and Farm Waste In The People's RRC. The People Hygene publisher. RRC. Sunanto, Hatta. 1992. Cokelat: Budidaya, Pengolahan Hasil dan Aspek Ekonominya. Kanisius. Yogyakarta.
72
Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik : Pemasyarakatan & Penerapannya. Kanisius. Yogyakarta. Syarifah, A., Sudarsono, G. B. & Sastro, Y. 2003. Teknologi pengomposan. Brosur. ISBN. BPTP. Jakarta. Syed, R. Qasim. 1994. Walter Chiang: Sanitary Landfill Leachate. Technomic Publishing Company, Inc. USA. Wijaya, Andi. 2000. Pengaruh Perlakuan Pemadatan Tanah Terhadap Perubahan Sifat Fisik dan Mekanik Tanah Di Sawah Baru. Skripsi. Fateta. IPB. Wilyan, D. 2008. Cara Mudah Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta. Wood, G. A. R. 1999. Cocoa. Cadbury Limited. New York. United States of America.
73
LAMPIRAN
74
Lampiran 1. Klasifikasi fraksi tanah menurut standar Internasional dan USDA.
Tabel kalsifikasi internasional fraksi tanah (Notohadiprawiro, 1990). Fraksi Tanah Pasir Pasir kasar Pasir halus Debu Lempung
Diameter (mm) 2.00 - 0.02 2.00 - 0.20 0.20 - 0.02 0.02 - 0.002 < 0.002
Tabel klasifikasi United State Department of Agriculture (USDA) fraksi tanah (Notohadiprawiro, 1990). Fraksi Tanah Pasir Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasir tengahan Pasir halus Pasir sangat halus Debu Debu kasar Debu tengahan Debu halus Lempung Lempung kasar Lempung tengahan Lempung halus
Diameter (mm) 2.00 - 0.05 2.00 - 1.00 1.00 - 0.50 0.50 - 0.25 0.25 - 0.10 0.10 - 0.05 0.05 - 0.002 0.05 - 0.02 0.02 - 0.005 0.005 - 0.002 < 0.002 0.002 - 0.0002 0.002 - 0.00008 < 0.00008
Sumber : Notohadiprawiro, 1998
75
Lampiran 2. Prosedur Analisis Kualitas Sifat Kimia Kompos.
a. Kadar Air Bahan Masukkan 10 g contoh ke dalam botol timbang yang bersih dan kering serta diketahui bobotnya, kemudian timbang tepat. Keringkan contoh tanah tersebut di oven pada suhu 105oC sampai bobotnya tetap (± 24 jam). Diamkan selama beberapa menit didesikator, kemudian timbang tepat.
b. Kadar Karbon Organik Timbang bobot cawan porselen kosong. Masukkan sampel 5 sampai dnegan 10 gram, timbang kembali bobotnya. Masukkan ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 12 jam. Dinginkan dalam desikator dan timbang kembali bobotnya. Masukkan ke dalam tanur dengan suhu 700oC selama 2 jam. Angkat dan dinginkan dalam desikator, timbang kembali bobotnya.
c. Kadar Nitrogen Timbang 500 mg kompos ke dalam labu kjeldahl 25 ml. tambahkan campuran Se, CuSO4 dan Na2SO4. Tambahkan 5 ml H2SO4 pekat ke dalam labu. Goyangkan agar semua kompos terbasahi. Dijaga agar campuran kompos tidak memercik ke dinding labu. Tambahkan 5 tetes parafin cair. Panasi labu di kamar aspa dengan api kecil. Kemudian perlahan-lahan diperbesar hingga diperoleh cairan yang berwarna terang (hijau biru). Panasi 15 menit lagi, lalu dinginkan. Tambahkan air kira-kira 50 ml, goyangkan sebentar kemudian pindahkan isi labu secara kuntitatif ke dalam labu destilasi tidak boleh melebihi setengah labu. Ke dalam labu destilasi tambahkan 5 ml NaOH 50%. Destilasi dimulai. Titrasi dengan HCl sampai terjadi perubahan warna hijau ke merah.
d. Kadar Fosfor Masukan 1.5 g contoh ke dalam labu ekstraksi. Tambahkan 15 ml larutan P-A. Kocok dengan mesin lalu saring. Masukan sesuai pipet 5 ml hasil saringan ke dalam tabung reaksi. Tambahkan larutan P-B kemudian kocok. Tambahkan larutan pereduks P-C dan kocok. Tunggu 15 menit dan baca
76
kerapatan optik dengan alat ukur spektrofotometer pada panjang gelombang 660 µm. Untuk pembakuan, buat larutan seri yang mempunyai kosentrasi 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm P kemudian diencerkan dengan larutan Bray-1 dalam labu takar. Ambil larutan baku sbenayak 5 ml dan masukan ke dalam tabung reaksi, kemudian tambahkan 5 ml P-B dan 5 tetes P-C.
e. Kadar Kalium Masukan 5 g contoh kering udara yang lolos saringan 2 mm. tambahkan 12.5 ml HCl 25%, lalu kocok dengan mesin pengocok selama 30 menit. Saring dengan kertas saring berlipat dan filtrat ditampung dalam labu ukur 100 ml, kemudian diencerkan dan diimpitkan hinga tanda tera. Pipet 5 ml filtrat, masukkan ke dalam labu ukur 50 ml, encerkan dengan aquadestilata dan diimpitkan hingga tanda tera. Pipet 5 ml yang telah mengalami pengeceran pada butir 4 ke dalam labu ukur 100 ml yang kemudian diencerkan dan diimpitkan hingga tanda tera. Masukkan 10 ml cairan ini ke dalam tabung reaksi. Tetapkan kalium dengan alat ukur fotometer.
f. Kapasitas Tukar Kation Timbang 2.5 g contoh kering udara ukuran 2 mm dan masukan ke dalam tabung sentrifuse 100 ml. Tambahkan 20 ml larutsn NH4OAc N pH 7.0. Kocok dengan pengaduk sampai merata an biakan slama kurang satu malam. Kocok Kembali lalu disentrifuse selama 10 menit sampai 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Ekstrak NH4oAc N pH 7.0 diulangi sampai 3 kali. Setiap kali penambahan di aduk merata, disentrifuse dan ekstraknya didekantasi ke dalam labu ukur 100 ml, setelah itu ditambahkan larutan NH4oAc sampai tanda tera. Untuk pencucian kelebihan NH4+, tambahkan 10 ml alkohol 80% ke dalam tabung sentrifuse yang berisi residu tanah tersebut. Aduk sampai merata, sentrifuse dan dekantasi dan filtratnya dibuang. Pencucian kelebihan NH4 dengan alkohol ini dilakukan sampai tanah di dalam tabung bebas NH4. Diketahui dengan cara menambahkan beberapa tetes pada filtrat tersebut. Apabila terdapat endapan kuning berarti masih terdapat ion NH4. Tanah dipindahkan secara kuantitatif dari tabung sentrifuse ke dalam labu didih, lalu
77
tambahkan air kira-kira 450 ml. pada labu didih tambahakan butir batu didih, 5-6 tetes parafin cair dan 20 ml NaOH 50%, kemudian didestilasi. Destilat ditampung dalam erlenmeyer 250 ml yang berisi 25 ml H2SO4 0.1 N dan 5-6 tetes indikator conway. Destilasi dihentikan jika destilat yang ditampung mencapai kira-kira 150 ml. kelebiha asam difiltrasi dengan NaOH 0.1 N. titik akhir dicapai bila warna berubah menjadi hijau.
g. Pengukuran pH Kalibrasi pH-meter dengan larutan standar pH 4.0 dan 7.0. Timbang 10 mg contoh, masukan ke dalam botol kocok. Tambahkan 50 ml air destilata (pH H2O1:5). Kocok selama 30 menit dengan menggunakan mesin pengocok. Diamkan selama 5 menit dan ukur dengan menggunakan pH-meter.
78
Lampiran 3. Dimensi pengomposan AAA dan titik sampling pengukuran suhu.
TAMPAK DEPAN
0.5 m x
0.6 m
TAMPAK SAMPING
0.5 m x
0.7 m
79
TAMPAK ATAS
0.5 m
0.7 m
Keterangan : X
Titik sampling pengukuran suhu, pH, dan kelembaban.
80
Lampiran 4. Sketsa pengomposan AABB dan titik sampling pengukuran suhu.
TAMPAK DEPAN
TAMPAK SAMPING
81
TAMPAK ATAS
82
Lampiran 5. Sketsa pengomposan AABS dan titik sampling pengukuran suhu.
TAMPAK DEPAN
TAMPAK SAMPING
83
TAMPAK ATAS
84
Lampiran 6. Skema pengomposan anaerob. 0.254 cm
Gambar jelas Ujung atas pipa
2
1
2 0.3 m 3
5
4
x
0.42 m
0.28 m Keterangan : 1
Selotip
2
Pipa
3
Tutup ember
4
Ember
5
Batas kompos
x
Titik sampling pengukuran
85
Lampiran 7. Tabel suhu kompos aerob aerasi alami selama proses pengomposan.
Hari
T1.1
T1.2
Ke-
(oC)
(oC)
0
27
1
Rata-
Rata-
Hari
T1.1
T1.2
o
ke-
(oC)
(oC)
27
27
16
30
31
30.5
34
34
34
17
30
30
30
2
37
38
37.5
18
29
29
29
3
44
43
43.5
19
28
28
28
4
40
41
40.5
20
27.5
28
27.8
5
38.5
38.5
38.5
21
28
28
28
6
37
37
37
22
28
28
28
7
36.5
36
36.3
23
28
28
28
8
35
35.5
35.3
24
27
28
27.5
9
34
34
34
25
28
28
28
10
33.5
33
33.3
26
28
27.5
27.8
11
33
33
33
27
28
28
28
12
32
32
32
28
28
28
28
13
31
32
31.5
29
27
27
27
14
31
31.5
31.3
30
28
28
28
15
31
31
31
rata T1 ( C)
rata T1 (oC)
Keterangan : T1.1
= Suhu terukur metode aerob aerasi alami ulangan ke-1.
T1.2
= Suhu terukur metode aerob aerasi alami ulangan ke-2.
T1
= Suhu pada pengomposan aerob aerasi alami
86
Lampiran 8. Tabel suhu kompos aerob aerasi bambu berlubang selama proses pengomposan.
Hari
T2.1
T2.2
Ke-
(oC)
(oC)
0
27
1
Rata-
Rata-
Hari
T2.1
T2.2
o
ke-
(oC)
(oC)
27
27
16
27.5
27
27.3
31
30
30.5
17
27.5
27
27.3
2
36
34
35
18
28
27
27.5
3
39
40
39.5
19
28
27.5
27.8
4
37
38.5
37.8
20
27.5
27
27.3
5
35.5
37
36.3
21
28
27
27.5
6
34
35.5
34.8
22
28
27
27.5
7
33.5
35
34.3
23
27.5
26.5
27
8
33
34
33.5
24
27
27
27
9
32
33
32.5
25
27
27.5
27.3
10
31
32
31.5
26
28
27
27.5
11
30
31
30.5
27
28
27.5
27.8
12
30
30
30
28
27.5
27
27.3
13
29
29
29
29
27
26.5
26.8
14
28
28
28
30
28
27
27.5
15
28
28
28
rata T2 ( C)
rata T2 (oC)
Keterangan : T2.1
= Suhu terukur metode aerob aerasi bambu berlubang ulangan ke-1
T2.2
= Suhu terukur metode aerob aerasi bambu berlubang ulangan ke-2
T2
= Suhu pada pengomposan aerob aerasi bambu berlubang
87
Lampiran 9. Tabel suhu kompos aerob aerasi bambu segitiga selama proses pengomposan.
Hari
T3.1
T3.2
Ke-
(oC)
(oC)
0
27
1
Rata-
Rata-
Hari
T3.1
T3.2
o
ke-
(oC)
(oC)
27
27
16
28
28
28
31
32
31.5
17
27
28
27.5
2
33
34
33.5
18
27
27.5
27.3
3
39
38.5
38.8
19
28
28
28
4
37.5
37
37.3
20
28
28
28
5
36.5
35
35.8
21
28
28
28
6
35.5
34
34.8
22
27.5
27.5
27.5
7
34
32.5
33.3
23
27
27
27
8
33
31.5
32.3
24
27
27.5
27.3
9
32
31
31.5
25
27
27
27
10
31
30
30.5
26
26.5
27
26.8
11
30
30
30
27
27
27.5
27.3
12
30
30
30
28
26.5
26.5
26.5
13
29
29
29
29
27
27
27
14
27.5
28.5
28
30
27
27
27
15
27.5
28
27.8
rata T3 ( C)
rata T3 (oC)
Keterangan : T3.1
= Suhu terukur metode aerob aerasi bambu segitiga ulangan ke-1.
T3.2
= Suhu terukur metode aerob aerasi bambu segitiga ulangan ke-2.
T3
= Suhu pada pengomposan aerob aerasi bambu segitiga.
88
Lampiran 10. Tabel suhu kompos anaerob selama proses pengomposan.
Hari
T4.1
T4.2
Ke-
(oC)
(oC)
0
27
1
Rata-
Rata-
Hari
T4.1
T4.2
o
ke-
(oC)
(oC)
27
27
21
28
28
28
34
33
33.5
22
27
27
27
2
37
37
37
23
28
27.5
27.8
3
45
46
45.5
24
27
28
27.5
4
41
41
41
25
27.5
27
27.3
5
38
38
38
26
28
28
28
6
34
35
34.5
27
28
28
28
7
32
34
33
28
27
28
27.5
8
32
33
32.5
29
28
28
28
9
32
33
32.5
30
28
27
27.5
10
31
32
31.5
31
26.5
28
27.3
11
31
32
31.5
32
28
27
27.5
12
30
31
30.5
33
27
27
27
13
30
30
30
34
27
28
27.5
14
30
30
30
35
28
28
28
15
31
31
31
36
27.5
27
27.3
16
30
30
30
37
27
27
27
17
30
30
30
38
28
28
28
18
30
30
30
39
28
27
27.5
19
29
29
29
40
28
27
27.5
20
28
28
28
rata T4 ( C)
rata T4 (oC)
Keterangan : T4.1
= Suhu terukur metode anaerob ulangan ke-1.
T4.2
= Suhu terukur metode anaerob ulangan ke-2.
T4
= Suhu pada pengomposan anaerob. 89
Lampiran 11. Tabel kadar air selama proses pengomposan.
Hari Ke0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 33 34 36 38 40 43
Aerob Aerasi Alami 66.74 63.43 60.68 57.27 59.95 58.95 55.72 53.15 58.76 56.5 54.54 51.60 49.47 47.77 45.59 42.50 -
Kadar Air (%) Aerob Aerasi Aerob Aerasi Anaerob Bambu Berlubang Bambu Segitiga 66.74 66.74 52.45 62.10 61.05 75.00 58.72 56.38 75.43 54.65 50.44 76.04 59.40 58.55 76.56 55.37 54.08 76.92 52.10 50.70 77.49 49.93 49.22 77.94 56.48 56.19 78.04 53.55 52.96 78.59 51.65 50.75 78.97 49.15 48.57 79.11 47.64 47.42 79.59 45.73 45.42 79.89 44.49 43.36 80.03 41.93 41.53 80.45 80.75 81.33 81.98 82.44 83.06 -
90
Lampiran 12. Tabel nilai pH dan rasio C/N selama proses pengomposan.
Tabel nilai pH selama pengomposan. Nilai pH Terukur Hari Ke-
Aerob Aerasi Alami
Aerob Aerasi
Aerob Aerasi
Bambu Berlubang Bambu Segitiga
Anaerob
0
6.8
6.8
6.8
6.8
5
6.4
6.5
6.5
6.5
10
6.6
6.5
6.5
6.5
15
6.7
6.6
6.6
6.6
20
6.8
6.7
6.6
6.7
25
6.9
6.8
6.7
6.8
30
7.1
6.9
6.8
6.9
35
-
-
-
7
40
-
-
-
7.2
43
-
-
-
7.2
Tabel nilai rasio C/N selama pengomposan. Nilai Rasio C/N Terukur Hari Ke-
Aerob Aerasi Alami
Aerob Aerasi
Aerob Aerasi
Bambu Berlubang Bambu Segitiga
Anaerob
0
33.70
33.70
33.70
33.70
10
30.30
30.90
32.64
32.80
20
27.80
28.50
31.40
31.90
30
25.70
27.02
30.25
31.10
40
-
-
-
30.50
91
Lampiran 13. Tabel hasil uji kandungan C-organik, Nitrogen, Rasio C/N, Fosfor (F), Kalium (K) dan Kapasitas Tukar Kation (KTK), serta jumlah partikel sisa hasil ayakan kompos penelitian.
Tabel hasil uji kandungan C-organik, Nitrogen, Rasio C/N, Fosfor (F), Kalium (K) dan Kapasitas Tukar Kation (KTK). Metode
C-
Pengomposan
Organik
Aerob Aerasi Alami Aerob Aerasi Bambu Berlubang Aerob Aerasi Bambu Segitiga Anaerob
N
C/N
P
K
KTK
31.23
1.22
25.70
0.218
1.05
32.85
31.69
1.17
27.02
0.171
0.962
28.55
31.76
1.05
30.25
0.170
0.878
30.35
30.81
1.01
30.50
0.281
0.89
31.25
Tabel jumlah partikel sisa hasil ayakan kompos penelitian. Ukuran Ayakan (mm)
Partikel Tersisa (g) Aerob
Aerob Aerasi
Aerob Aerasi
Aerasi
Bambu
Bambu
Alami
Berlubang
Segitiga
Anaerob
0
0
0
0
2
5.6
8.1
11.6
2.5
0.84
31.1
32.6
33.2
24.5
0.42
26.8
25.4
25.4
30.3
0.25
17.5
15.7
13.9
19.1
0.105
14.8
13.1
11.4
17.2
0.075
2.7
2.3
2.2
3.3
Lolos saring
1.5
1.5
1.6
1.9
4.76
92
Lampiran 14. Tabel hasil perhitungan kerapatan (BD) dan porositas (P). Metode No. Pengomposan Sampel
Ww (g)
Wtot (g)
W (g)
V (g)
So (g)
S (g)
Gs
Vs (%)
BD BD rata (g/cm3) (g/cm3)
P (%)
P rata (%)
Anaerob
A50 A49 A48
94.558 141.4 46.842 33.4 122.5 27.942 1.301 44.66 93.633 139.7 46.067 31.86 125.2 31.567 1.301 47.2 93.535 140.6 47.065 35.49 121.4 27.865 1.301 38.46
0.6257 55.342 0.6688 0.67303 52.801 0.7246 61.545
56.56
Aerob Aerasi Bambu Berlubang
A37 A38 A39
94.061 125.9 31.839 22.66 117.8 23.739 1.272 33.75 93.581 124.4 30.819 19.81 116 22.419 1.272 40.47 94.51 125.7 31.19 20.74 116.3 21.79 1.272 38.42
0.7035 66.254 0.5539 0.60818 59.526 0.5672 61.581
62.45
Aerob Aerasi Alami
A40 A41 A42
94.588 134.9 40.312 28.64 120.7 26.112 1.283 41.24 94.77 136.6 41.83 28.12 122.8 28.03 1.283 48.45 94.628 135.3 40.672 30.34 122.6 27.972 1.283 36.51
0.6331 58.756 0.5786 0.65929 51.555 0.7662 63.491
57.93
Aerob Aerasi Bambu Segitiga
A45 A46 A47
94.562 122.1 27.538 21.42 112.8 18.238 1.217 28.19 93.479 122.1 28.621 21.39 113.1 19.621 1.217 33.32 93.234 121.6 28.366 19.02 113.2 19.966 1.217 43.07
0.6469 71.806 0.5888 0.56643 66.677 0.4636 56.931
65.14
Keterangan : Ww = Berat wadah Wtot = Berat wadah dan kompos W = Berat kompos V = Berat volum kompos di three phases
So S Gs BD
= Berat kompos kering dan wadah = Berat kompos kering = Spesific Gravity = Bulk Density
P
= Porositas
93
Lampiran 15. Diagram segitiga sama sisi kelas tekstur tanah USDA.
Sumber : Notohadiprawiro, 1998.
152
Lampiran 16. Diagram unsur hara Mengel & Kirkby.
Sumber : Notohadiprawiro, 1998.
153