ANCAMAN OLIGARKI PARTAI DALAM PEMILU M. Harun Alrasyid
Abstract Political parties is an im because a balance of executive power through his representative in parliament representatives portant part of the political life of society, in the context of building democracy, the role of political parties in Indonesia occupies a strategic position. This paper attempts to review the party's role in the administration of elections in Indonesia.
Keywords: Political Party, Oligarchy Party, Elections
Latar Belakang Di negara yang demokratis, partai politik berfungsi sebagai representasi kepentingan warga negara serta menyalurkan kepentingan dan aspirasi tersebut melalui wakil-wakilnya yang terpilih melalui sebuah pemilihan umum. Di samping itu, partai politik juga memainkan fungsi sebagai komunikator pesan-pesan politik serta media untuk melatih calon-calon pemimpin di masa depan. Sejak 1998 telah terjadi eforia politik yang melahirkan ratusan partai politik dalam Pemilu 1999 yang juga banyak disebut oleh kalangan pengamat sebagai Pemilu yang demokratis pertama setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Sebagian besar partai politik ini dibentuk hanya sebagai
40 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
ekspresi aspirasi dan kepentingan kelompok, tanpa visi demokrasi, struktur bahkan akar konstituen yang jelas. Di satu pihak kelahiran partaipartai baru ini patut disambut sebagai indikasi kerinduan masyarakat terhadap tumbuhnya partai politik baru yang dapat mengimbangi dominasi partai lama seperti Golkar, PDI dan PPP. Namun lahirnya partaipartai baru tersebut, tidak serta merta melahirkan elit politik baru yang sebelumnya hanya didominasi oleh seklompok kecil elit politik yang mendukung rezim Orde Baru.[1] Dapat dikatakan bahwa tumbuhnya partai politik merupakan indikator meningkatnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan politik sebagai arena menyampaikan pendapat guna mempengaruhi kebijakan. Secara teoritis, partai politik memang sangat diperlukan dalam sistem demokrasi. Partai politik dianggap sebagai lembaga politik formal yang berfungsi mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan konstituen dalam pengambilan kebijakan strategis. Selain itu, partai politik juga berfungsi untuk kaderisasi dan rotasi kepemimpinan serta menjadi alat perjuangan rakyat yang efektif melalui proses politik yang legitimate. Meminjam istilah Robert Dahl, partai politik merupakan bagian terpenting dari kehidupan politik masyarakat, karena menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif melalui wakil-wakilnya di parlemen dalam mengontrol jalannya kekuasaan. Jika keseimbangan dapat dijalankan sesuai konsep-normatif (ini menjadi pengalaman negaranegara maju yang lebih dulu memperagakan demokrasi), dipastikan akan terjadi praktik demokrasi secara benar. Dalam konsep demokrasi semacam itu, parpol memiliki peran strategis dalam mengembangkan kehidupan politik secara demokratis. Di Indonesia misalnya, saat ini untuk menjadi presiden harus melalui pintu partai, lainnya tidak boleh. Itu artinya, partai politik akan berpengaruh pada proses pembangunan demokrasi, karena kenyataannya partai politik memiliki kewenangan demikian besar, terutama dalam rekruitmen kepemimpinan. [2]
Pemilu dan Partai Politik Dilihat dari sisi pengalaman demokrasi penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, dapat dikatakan bahwa partai politik memiliki pengalaman yang cukup dalam proses demokratisasi. Pada pemilu 1955, peserta
M. Harun Alrasyid – Ancaman Oligarki Partai dalam Pemilu
| 41
pemilu terdiri dari empat (4) kelompok besar yakni (1) Kelompok partai politik sebanyak 39 parpol, (2) Kelompok Organisasi sebanyak 46, (3) Kelompok Perorangan sebanyak 59 dan (4) Kelompok Kumpulan Pemilih sebanyak 56. Ada dua hal penting yang dapat dipetik dari pengalaman pemilu 1955. Pertama, adanya partisipasi politik masyarakat yang begitu tinggi. Mengapa? Karena pemilu ketika itu diyakini masyarakat Indonesia sebagai sebuah solusi yang paling tepat terhadap semua persoalan yang dihadapi bangsa ketika itu. Kedua, empat kelompok besar sebagai kontestan pemilu seperti yang digambarkan di atas, menunjukan betapa keterbukaan politik ketika itu sangat besar, bahkan politik aliran berkembang bebas dan ikut bersaing secara sehat. Namun diakui, semua kontestan pemilu 1955 dari empat kelompok besar tersebut, belum berhasil mengkonsolidasi dirinya secara matang, sehingga kesan euphoria pada partisipasi politik ketika itu juga cukup kuat.[3] Sebaliknya pada pemilu 1971, proses fusi sudah dilakukan yang pada akhirnya mengkerucut menjadi tiga partai peserta pemilu. Selanjutnya, pelaksanaan pemilu selama masa orde baru berjalan sesuai rencana penguasa yakni setiap lima tahun sekali, dengan peserta pemilu yang tidak pernah bertambah yakni dua partai ditamba Golkar. Namun demikian sistem partai di Indonesia tidak dapat dikatakan menggunakan sistem multi partai, walau ada dua partai peserta tetap selama lima kali pemilu masa orde baru dan pula sebaliknya. Sedangkan pemilu selama masa orde baru, lebih dilihat sebagai formalitas untuk memberikan legitimasi baru setiap lima tahun kepada kekuasaan Suharto. Tidak ada proses persaingan yang fair diantara peserta pemilu, karena kemenangan hampir telah dipastikan sebelum pemilu berlangsung. Dengan demikian, tidak ada peroses pembelajaran yang berarti bagi dua partai untuk memperkuat dirinya dalam persaingan setiap pemilihan umum. Secara struktural, kedua partai (PDI dan PPP) memiliki struktur yang realatif lengkap sampai ke tingkat daerah (desa). Pertanyaannya, apakah struktur tersebut dapat terkonsolidasi secara efektif untuk melaksanakan fungsi partai secara ideal sampai ke tingkat daerah? Belum tentu, pusat kekuasaan ada pada pemerintah. Sebaliknya, Golkar (bukan partai golkar), dengan ditopang oleh kekuatan militer dan korps pegawai negeri, dapat menguasai seluruh jaringan dan potensi sampai ke tingkat daerah. Termasuk memperkuat sistem organisasinya
42 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
sehingga semakin kokoh dan mantap dibandingkan partai lain yang sangat rapuh.[4] Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pasca Suharto mundur. Pelaksanaan pemilu ditandai dengan euphoria yang luar biasa setelah puluhan tahun terkekang. Disain undang-undang politiknya sangat terbuka terhadap partisipasi masyarakat, sehingga tidak heran partai politik aliran yang muncul pada pemilu 1955 kembali muncul dengan wajah yang berbeda. Perbedaannya, peserta pemilu pada pemilu 1999 hanya terdiri dari partai politik, sedangkan pada pemilu 1955, selain partai politik ada tiga kelompok lain sebagai kontestan pemilu. Setidaknya ada persamaan yang dapat kita cermati. Pertama, baik pemilu 1955 maupun pemilu 1999 dan 2004, masyarakat memiliki keyakinan dan harapan yang sama yakni pemilu merupakan pilihan yang tepat untuk menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi bangsa. Namun harapn tersebut tidak tercapai dan masyarakat kecewa. Kedua, semua kontestan pemilu (partai politik) gagal melakukan konsolidasi diri secara baik, sistem kepartaian belum mantap bahkan sistem rekrutmen calon legislatifnya masih amburadul. Dulu, Pemilu 1955 dipandang demokratis, tapi tujuh pemilu masa Orde Baru merupakan suatu kemunduran tragis sehingga pada 1990-an Huntington menempatkan Indonesia dalam kelompok negara yang terseret dalam gelombang-surut demokratisasi ketiga (the third reverse of democratization). Pada 1998 keadaan berubah. Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 memberi kepastian bahwa demokrasi Indonesia bergerak menuju kematangan. Dalam Pemilu 2009 sekarang ini ada keraguan, seolah tidak ada keyakinan bahwa demokrasi akan bertumbuh dewasa. Bahkan, seperti yang dikhawatirkan Heru Nugroho yang mengutip istilah Sorensen, Indonesia mengalami ancaman demokrasi beku (frozen democracy). Sorensen mengembangkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku. Pertama, sempoyongannya ekonomi baik di tingkat nasional maupun lokal. Kedua, mandegnya proses pembentukan masyarakat warga (civil society). Ketiga, konsolidasi yang cenderung tidak pernah mencapai soliditas namun cenderung semu, dan keempat, penyelesaian masalah-masalah sosial-politik-hukum warisan rezim (otoriter) terdahulu yang tidak pernah tuntas.[5]
M. Harun Alrasyid – Ancaman Oligarki Partai dalam Pemilu
| 43
Dari keempat indikator tersebut Heru Nugroho mencoba memaparkan beberapa bukti yang sekarang ini mengisi dinamika sosial politik Indonesia. Pertama, semenjak krisis ekonomi terjadi yang membawa Soeharto ”lengser” dari kursi kekuasaannya hingga sekarang, ekonomi Indonesia belum menunjukkan kinerja yang membaik bahkan masih berjalan dalam kondisi kritis.[6] Meskipun pada awal pemerintahan Megawati berkuasa terjadi sentimen positif dari pasar, namun lambat laun perekonomian nasional secara umum kembali melemah. Sektor industri, riil, jasa dan keuangan yang seharusnya menjadi panglima dalam penyerapan tenaga kerja pada kenyataannya justru yang paling banyak melakukan pemutusan hubungan kerja. Hingga pengangguran di tanah air mencapai 40 juta jiwa. Angka ini merupakan angka pengangguran terbesar yang pernah ada di Indonesia. Sementara sektor informal yang mampu menyedot banyak tenaga kerja justru hanya diperankan sebagai katub pengaman ekonomi politik nasional. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya tanggung jawab negara pada perekonomian rakyat.[7] Kedua, dengan jatuhnya rezim Orde Baru, secara bersamaan sebenarnya keberadaan negara demikian lemah dihadapan masyarakat. Sementara di sisi lain terjadi penguatan terhadap masyarakat. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya kehadiran organisasi-organisasi sosial maupun politik, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kian hari kian marak melakukan pemberdayaan dan pendidikan politik kepada masyarakat. Namun sayangnya, menguatnya kekuatan masyarakat ini tidak dibarengi dengan perbaikan di aras negara. Akibatnya yang terjadi adalah social chaos. Orang tidak mau lagi patuh kepada hukum karena aparat pemerintah tidak lagi mempunyai wibawa. Masyarakat terlanjur tidak percaya kepada aparat pemerintah karena perilaku mereka yng cenderung korup.[8] Ketiga, konsolidasi sosial politik yang berjalan tersedat. Dari realitas politik yang ada dapat dilihat bahwa elit politik masih berjalan sesuai dengan agenda politik masing-masing. Belum ada kesamaan pandangan tentang route reformasi yang akan dilalui. Berbagai kasus hukum yang mengemuka ternyata hanya diberlakukan sebagai komoditas politik untuk menekan pihak lawan, sama sekali tidak ada komitmen dari para elit politik untuk menegakkan rule of law. Akibat rapuhnya konsolidasi di tingkat elit, maka integrasi sosial di tingkat akar rumput
44 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
juga terancam. Konflik yang berbau agama, etnis, dan politik masih menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu siap meledak kembali. [9] Keempat, bangsa Indonesia masih memiliki sejumlah masalah sosial-politik-hukum yang tidak pernah tuntas. Masalah-masalah tersebut ada yang dibiarkan menggantung seperti kasus peradilan terhadap mantan Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya, maupun penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang masuk kategori ringan dan berat semasa Orde Baru Soeharto berkuasa. Kesemua kasus di atas apabila tidak segera diselesaikan oleh pemerintah di masa sekarang maupun masa yang akan datang maka yang muncul kemudian adalah political distrust, yang pada gilirannya pasti akan mengancam legitimasi pemerintah yang berkuasa maupun demokrasi sebagai agenda bersama. Kondisi ini pun tentu saja menjadi ancaman serius bagi transisi yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia.
Reformasi Partai Satu pertanyaan yang menarik untuk dicarikan jawaban adalah mengapa partai-partai di Indonesia bermunculan dan hanya dalam waktu lima tahun sudah banyak yang rontok ? Paling sedikit ada tiga alasan. Pertama, kebangkitan pretorianisme politik. Transisi adalah masa peralihan dari habitus lama ke habitus baru. Karena peralihan, idealnya transisi tidak menelan waktu berkepanjangan. Indonesia sudah melewatkan delapan tahun sejak keruntuhan Soehartoisme pada 1998. Transisi panjang ini tampaknya gagal. Perubahan signifikan, terutama pemulihan dari krisis multidimensi, tidak terjadi sementara proses politik hanya melahirkan berbagai paradoks yang mendorong kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bergerak ke titik nadir. Di ruas inilah logika kemunculan berbagai partai politik ini masuk akal. Ketika tidak ada organisasi politik yang cukup berwibawa, setiap kekuatan sosial dalam masyarakat akan menjelma menjadi kekuatan politik yang dengan agresif berupaya mempengaruhi proses politik. Ini gejala dalam “masyarakat pretoria”, yang membidani lahirnya pretorianisme politik, ketika seluruh kekuatan sosial bermetamorfosis menjadi kekuatan politik yang terjun bebas ke arena demokrasi.[10]
M. Harun Alrasyid – Ancaman Oligarki Partai dalam Pemilu
| 45
Kedua, bentuk kekecewaan terhadap kinerja pemerintah. Secara kasatmata, lahirnya partai-partai baru ini merupakan tanda bahwa legitimasi pemerintah yang diproduksi oleh partai-partai lama sudah usang sehingga perlu ada pemerintah baru yang dihasilkan oleh partaipartai baru. Hal ini bermakna ganda. Positif sebagai salah satu kondisi penting untuk menghasilkan suatu “pemerintah yang bertanggung jawab” sekaligus negatif sebagai bukti ketidakstabilan politik. [11] Ketiga, mencari jalan untuk merebut kekuasaan. Boleh jadi pula, agresivisme mendirikan partai baru di kalangan segelintir pelaku politik ini mencerminkan mentalitas “haus kekuasaan”. Bahwa dengan mendirikan partai otomatis ada jalan untuk meraih jabatan. Umumnya, paradigma ini ada pada para pemain politik baru yang kesulitan bergabung dengan partai lama atau bisa juga para pemain lama yang tidak lagi diperhitungkan oleh partainya. Apa pun alasan dasar di balik pendirian partai-partai ini, yang pasti demokrasi bukan sistem sekali jadi. Dalam konteks itu semua, sudah saatnya parpol untuk segera membenahi diri agar keluar dari kerangkeng oligarki dan elitisme. Parpol semestinya tidak sekadar mempertebal ambisi memperluas kewenangan semata, yang kadangkala justeru memerosotkan citra parpol dimata publik. Justeru parpol dituntut untuk segera merumuskan ulang ideologi, visi-misinya serta program-program dengan spirit populisme. Setidaktidaknya memperbaiki menajemen dan mekanisme kelembagaan dengan landasan prinsip-prinsip demokrasi. Melalui reformasi parpol diharapkan akan menjadi jawaban menyelesaikan problem ketidakpercayaan pemilih, sekaligus upaya pembuktian parpol sebagai motor demokrasi di masa-masa yang akan datang. Dalam pandangan penulis, seharusnya persoalan-persoalan strategis bangsa ke depan dan agenda reformasi perlu dimunculkan ole partai politik, dari pada hanya berkutat pada isu perebutan posisi dengan cara-cara intrik atau mobilisasi suara.
Membangun Sistem Kepartaian yang Kuat Membangun sistem kepartaian yang mapan merupakan bagian penting konsolidasi demokrasi yang tengah dibutuhkan saat ini. Namun, jika ada banyak partai, tetapi sebagian besar hanya mampu menjalankan
46 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
fungsi dan memainkan peran secara minimal, ini hanya menandakan lemahnya sistem kepartaian di mana partai-partai itu eksis. Karena itu, makna keberadaan suatu partai bukan diukur dari kemampuannya memenuhi syarat-syarat formal pendirian partai, tetapi dari kemampuannya menjalankan fungsi dan memainkan peran selayaknya sebagai suatu partai politik. Dari sisi pragmatis, kemampuan ini ditunjukkan dalam kesanggupan partai tidak hanya dalam mengajukan calon, tetapi juga dalam menempatkan calon untuk jabatan publik. Mengajukan calon dan menempatkan calon dalam jabatan publik jelas merupakan dua hal yang berbeda. Pengalaman Pemilu 1999, banyak partai mampu mengajukan calon, tetapi gagal menempatkan calon dalam jabatan publik. Dari sisi prinsipil, kemampuan itu harus ditunjukkan dalam kesanggupan partai mengorganisasi dan menggerakkan warga negara, menyatukan berbagai kepentingan, menformulasi kebijakan publik, dan bertindak sebagai penghubung penting antara warga negara dan negara. Rasanya, bahkan partai-partai besar yang ada di negeri ini sampai kini belum sepenuhnya membuktikan kemampuan mereka dalam hal ini. Partai dengan peraturan dan struktur organisasi yang relatif stabil juga menjadi ukuran untuk sistem kepartaian yang kuat. Ini ditandai dengan kemampuan partai menyelesaikan masalah-masalah internalnya, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal, secara damai. Jika konflik internal partai berakhir pada eksodus sebagian fungsionaris dan anggotanya, dan pada perpecahan organisasi, jelas partai itu gagal memiliki peraturan yang disepakati bersama dan gagal membangun struktur organisasi yang kokoh. Oleh karena itu untuk membangun kontinyunitas, suatu partai politik perlu melakukan kaderisasi. Semangat pelaksanaan otonomi daerah pada saat ini tampak semakin menguat di daerah, terutama bagi daerah yang tingkat kesadaran masyarakat dan pemerintahannya akan kemampuan dan potensi sumber daya daerahnya yang besar. Tentu saja tidak semata-mata hanya dengan argumentasi yang optimistis dan berdasarkan kenyataan kemampuan sumber daya itu saja, akan tetapi juga terkait dengan berbagai latar belakang sejarah masa lalu yang pada intinya bertumpu pada rasa ketidakadilan dan ketertindasan yang telah menjadi traumatik masyarakat di daerah. Demikian juga selain itu bahwa semangat pelaksanaan otonomi
M. Harun Alrasyid – Ancaman Oligarki Partai dalam Pemilu
| 47
daerah bagi masyarakat di daerah, sedikit banyak dipengaruhi adanya kebangkitan eforia politik yang mewarnai era reformasi bangsa saat ini. Meningkatnya dinamika politik lokal menandakan adanya kehidupan demokratis yang sedang dibangun di daerah. Namun, dalam titik ini yang perlu dicermati adalah tinggi rendahnya dinamika politik akan sangat tergantung dari kualitas aktor politik. Tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat dalam menyampaikan dan memperjuangkan aspirasinya perlu diimbangi dengan semakin berkualitasnya partai politik dalam merespon dinamika yang terjadi. Oleh karena itu partai politik perlu meyiapkan kader-kadernya dalam menjaga agar sistem politik di daerah tetap kondusif bagi perkembangan demokrasi.
Endnote [1] Indonesia termasuk negara yang memiliki pengalaman unik dalam berdemokrasi. Mulai dari demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan demokrasi pancasila masa Orde Baru hingga demokrasi pasca Orde Baru. Masing-masing terdapat kelebihan dan kekurangan yang lebih menjadi pengalaman berharga dalam kerangka menetapkan landasan kehidupan demokrasi yang bisa diterima oleh semua rakyat. [2] Lihat Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971); Larry Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds.), Politics in Developing Countries: Comparing Experiences with Democracy (Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1990), hal. 6-7; dan juga Larry Diamond, Developing Democracy (Baltimore, London: The Johns Hopkins University Press, 1999). [3] Penilaian positif atas pelaksanaan pemilu 1955 juga diberikan oleh Dr. Alfian dalam “Pemilihan Umum dan Prospek Demokrasi di Indonesia,” (dalam Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta, LP3ES), ahli politik LIPI ini berpendapat, “dari segi pelaksanaannya, pemilu dapat dikatakan berjalan dengan bersih dan jujur, dan oleh karena itu suara yang diberikan anggota masyarakat mencerminkan aspirasi dan kehendak politik mereka. [4] Menurut William Liddle, dalam buku Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) mengatakan sebagai berikut: ”Pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-peilu itu dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemiu, namun juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi “partai milik
48 | Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 2 September 2010
pemerintah”. Kompetisi ditekan seminimal mungkin, dan keragaman pandangan tidak memperoleh tempat yang memadai [5] Lihat Heru Nugroho (kata pengantar) dalam John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia. CCSS, Pustaka Pelajar, 2002. lihat juga Heru Nugroho dalam Hadiz & Dhakidae “Social Science and Power in Indonesia”. ISEAS, 2005. The Political Economy of Higher Education [6] Pada saat tulisan ini dibuat, krisis ekonomi gelombang kedua tengah menimpa Indonesia. Krisis terjadi akibat adanya perubahan konstelasi ekonomi dunia yang diakibatkan krisis finasial di Amerika Serikat. Salah satu indikator krisis tersebut adalah kurs mata uang asing yang terus meningkat terhadap rupiah, terutama dolar yang dijadikan alat pembayaran international. Perbandingan kurs dollar terhadap rupiah kurang lebih sebebsar Rp. 11.500, angka yang relatif berat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menargetkan sebesar 6 % lebih. [7] Krisis di Indonesia merupakan kombinasi dari adanya gejolak eksternal melalui dampak penularan (contagion) pada pasar finansial dengan ekonomi nasional yang mengandung berbagai kelemahan struktural, yaitu sistim perbankan dan sektor riilnya. Dalam perkembangannya krisis ekonomi menjalar ke krisis sosial-politik karena kelemahan pada sistim sosial-politik Indonesia. Apa yang terjadi di pasar uang yang terkena panik pada kejadian-kejadian sebelumnya secara historis dilukiskan secara bagus sekali dalam buku yang menjadi seminar mengenai krisis keuangan oleh Charles P Kindleberger, Maniacs, Panics, and Crashes: A History of Financial Crises, (New York : Johan Wiley & Sons, Inc., edisi 3), 1996.